BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bank sebagai lembaga keuangan yang terdapat di sebuah negara memiliki peran
yang sangat signifikan. Perannya sebagai lembaga intermediary antara kelompok
yang surplus dan kelompok yang defisit dana tidak tergantikan. Begitu pentingnya
dunia perbankan, sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan ―nyawa‖ untuk
menggerakkan roda perekonomian suatu negara1. Tentu saja ungkapan semacam ini
bukanlah statement yang hiperbolis. Karena pada kenyataannya, perbankan memang
memiliki peran signifikan.
Aktivitas perbankan bisa diartikan, yaitu membeli uang dari masyarakat yang
memiliki surplus dana (simpanan) dan melakukan penjualan terhadap dana yang
masuk tersebut ke beberapa orang dalam bentuk pembiayaan (pinjaman). Selisih
antara pinjaman dan simpanan (negative spread) inilah yang menjadi keuntungan
bagi sebuah lembaga perbankan—selain pendapatan dari jasa-jasa lainnya.
Dari sisi simpanan, selain dengan cara memastikan bahwa uang yang disimpan
oleh masyarakat (nasabah) akan aman, bank memiliki strategi khusus untuk menarik
minat nasabah menyimpan uangnya di bank tersebut, yaitu dengan menggunakan
instrumen ―bunga‖.
1 Kasmir, Dasar-dasar perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2002) h. 2
Pada umumnya bunga diartikan sebagai biaya yang dikenakan kepada peminjam
uang, atau imbalan yang diberikan kepada penyimpan uang, yang besarnya telah
ditentukan di muka dalam bentuk prosentase.2
Sisi lainnya, bagi pembiayaan, untuk memperoleh pinjaman calon peminjam harus
dapat meyakinkan bank bahwa dia mampu membayar hutang sesuai dengan kontrak
berikut bunganya.3
Bunga yang didapatkan oleh bank dari peminjam (bunga debet) inilah yang
kemudian sebagiannya diberikan kepada pihak nasabah (penabung) sebagai hadiah
atas dananya yang telah ditabungkan pada bank. Masalah akan timbul, jikalau pihak
peminjam tidak mendapatkan keuntungan dalam usaha yang dia jalankan. Membayar
hutang pokoknya saja tidak bisa, apalagi membayar bunganya (kredit macet).
Dari kasus di atas, mengindikasikan bahwa instrumen bunga yang terdapat dalam
aktivitas perbankan tidak natural (yukhalif sunnatallah), hal ini berdasar pada
kepastian bagi pihak bank untuk mendapatkan bunga dari dana yang dipinjamkannya
kepada pihak peminjam. Padahal dalam berbisnis terdapat prinsip untung dan rugi.
Segala usaha yang dilakukan oleh pihak peminjam tidak selamanya akan
menghasilkan keuntungan, akan tetapi bisa juga mengalami kerugian.
Bagi seorang peminjam (debitur), apabila usahanya mendapatkan keuntungan,
maka pengembalian hutang kepada bank beserta bunga yang ditetapkan tentu tidak
2 Muh. Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 157
3 Muh. Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996) h. 155
akan jadi masalah, tetapi akan berbeda persoalannya apabila hasil usaha yang
dilakukan oleh pihak debitur mengalami kegagalan (baca: kerugian), maka
pengembalian bunga yang telah ditetapkan sebelumnya oleh bank akan menjadi
beban berat bagi pihak debitur, dan hal ini merupakan zulm. Dan zulm dalam Islam
dilarang. 4
Dari hal tersebut kemudian para ulama mulai berpikir untuk mendirikan bank yang
tidak berbasiskan pada operasional bunga, dan memberikan alternatif prinsip
operasional yaitu, profit and loss sharing (PLS) yang dianggap lebih adil dan islami,
yaitu bank syariah. Dengan begitu para muslimin akan merasa nyaman ketika
melakukan transaksi di industri perbankan.
PLS sendiri dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari
pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.5 Menurut hukum
perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis lainnya didirikan
terutama dengan satu tujuan: pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama.
Mudharabah dan musyarakah adalah dua model bagi-hasil (PLS) yang lebih disukai
dalam hukum Islam, dan diantara kedua model ini, maka mudharabah adalah metode
PLS yang paling umum digunakan.6
4 Lihat buku Latifa M. Algoud dan Mervyn K. Lewis Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek,
Prospek. Jilid II, (Jakarta: Serambi, 2003) h. 61
5 Analisa Fatwa Tentang Kebolehan Revenue Sharing, artikel di akses pada 02 Agustus 2010,
http://azzanurlaila.blogspot.com/2009/06/analisa-fatwa-tentang-kebolehan-revenue_22.html
6 Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Untuk Lembaga
Keuangan Syariah. h. 65
Dalam praktek perbankan syariah, mudharabah lebih cocok digunakan
dibandingkan dengan musyarakah. Musyarakah hanya cocok untuk bank apabila
bank tersebut berfungsi sebagai bank partisipan yang aktif dalam menjalankan bisnis.
Bagi bank, hal tersebut tidak praktis dan merupakan tindakan pemborosan.
Mudharabah bukan hanya cocok dengan bank syariah, namun fungsi pokok
perbankan adalah memberikan modal kepada individu atau kelompok yang ingin
berusaha, dan ini adalah mudharabah.7
Walaupun akad mudharabah (bagi-hasil) ini dapat menggantikan instrumen bunga
dalam dunia perbankan. Akan tetapi instrumen mudharabah dalam kenyataan di
lapangan juga memiliki kelemahan, khususnya dalam hal pembiayaan yang
menggunakan akad mudharabah.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa bunga memiliki karakteristik ―pasti‖.
Bank dalam melakukan pembiayaan kepada debitur tidak memperdulikan keadaan
untung atau ruginya debitur, baik debitur dalam kondisi untung maupun rugi, pihak
debitur harus melakukan pembayaran bunga kepada bank.
Berbeda dengan mudharabah, penggunaan sistem ini dalam operasional perbankan
syariah menimbulkan beberapa permasalahan, beberapa diantaranya adalah;
1. Standar Moral
Karena konsep mudharabah ini, tidak memperhitungkan kepastian akan
pengembalian pokok pinjaman (seperti layaknya bunga), bahkan dalam idealnya bank
juga harus siap-siap menanggung kerugian apabila debitur merugi. Maka ketika
melakukan pembiayaan, bank tidak hanya melakukan analisa lebih teliti terhadap
7 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Jogjakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995) h.436
bisnis yang akan dijalankan, akan tetapi juga analisa yang lebih komprehensif
terhadap moral calon debitur yang akan dibiayainya. Kriteria kejujuran dan ke-
amanahan yang sulit untuk dikuantifikasi menjadi persoalan.
2. Berkaitan dengan Para Pengusaha
Penggunaan model ini, menuntut bank untuk lebih aktif mendapatkan informasi
yang lebih detail tentang aktivitas bisnis yang mereka biayai. Bagi pengusaha
keterlibatan yang tinggi ini akan mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya
lebih meminta kebebasan yang luas dari pada campur tangan dalam menggunakan
dana yang mereka pinjamkan.8
Oleh karena itu pula, dengan 2 hal permasalahan yang ditimbulkan dari akad
pembiayaan mudharabah di atas, bisa menjadi pemicu meningkatnya pembiayaan
macet (Non Performing Financing) dalam aktivitas pembiayaan yang ada di bank
syariah.
Terdapat hal yang paradoksal sebenarnya bagi pihak bank terhadap pembiayaan
dengan skim mudharabah ini. Di satu sisi mudharabah dengan tingkat risiko yang
tinggi memungkinkan bank untuk memilih skim-skim yang lain, minimal untuk dapat
mengurangi risiko yang diakibatkan oleh produk-produk pembiayaan bank. Oleh
karena itu pula proporsi skim murabahah saat ini di perbankan syariah menempati
posisi tertinggi—skim murabahah relatif memiliki risiko yang lebih kecil—bukannya
skim mudharabah. Di sisi lain, mudharabah adalah salah satu skim di bank syariah
8 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: penerbit, 2005) h. 114
yang ideal, dan yang di gadang-gadang bisa menggantikan posisi bunga di bank
konvensional.
Berikut adalah data statistik komposisi pembiayaan yang terdapat di bank syariah
pada periode 2006 sampai dengan 2010;
Diagram 1.2 Komposisi Pembiayaan Bank Syariah
Sumber: Bank Indonesia, (data diolah)
Kenyataan seperti di atas yang menjadikan penulis tertarik untuk menuangkan ide
ini dalam sebuah penelitian (skripsi), yang juga sebagai bentuk tugas akhir dalam
memperoleh kesarjanaan. Skripsi tersebut penulis beri judul “STRATEGI
MANAJEMEN RISIKO TERHADAP PEMBIAYAAN MUDHARABAH
UNTUK MENCEGAH PEMBIAYAAN MACET (STUDI KOMPARASI DI
DUA BANK SYARIAH).”
(Dalam Miliar Rupiah)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang tulisan di atas, maka penulis melakukan pembatasan masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Manajemen risiko terhadap pembiayaan mudharabah yang dilakukan oleh masing-
masing bank syariah.
2. Strategi bank syariah melalui manajemen risiko untuk mengurangi pembiayaan
macet dalam melakukan financing.
3. Periode analisis dari penelitian ini dibatasi hanya untuk periode tahun 2009
Adapun perumusan masalah yang dapat diambil adalah:
1. Bagaimana manajemen risiko yang digunakan masing-masing bank syariah dalam
mengantisipasi pembiayaan bermasalah terhadap produk pembiayaan
mudharabah?
2. Di antara bank yang menjadi objek penelitian, manajemen risiko bank manakah
yang paling efektif untuk mengantisipasi pembiayaan bermasalah dari produk
pembiayaan mudharabah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui strategi manajemen risiko yang dilakukan oleh masing-masing
bank syariah terhadap pembiayaan mudharabah.
2. Untuk mengetahui strategi manajemen risiko yang paling efektif terhadap
pembiayaan mudharabah agar mencegah Non Performing Financing yang terdapat
di bank syariah.
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Secara Akademik
Sebagai aset pustaka yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh kalangan
akademisi, baik dosen maupun mahasiswa, dalam upaya memberikan
pengetahuan, informasi, dan sebagai proses pembelajaran mengenai tata cara
manajemen risiko terhadap pembiayaan mudharabah yang ada di industri
perbankan syariah.
2. Secara Praktek
Mengurangi tingkat pembiayaan macet (NPF) yang terjadi di bank syariah dan
meningkatkan penggunaaan produk pembiayaan yang berbasiskan skim
mudharabah.
D. Kajian Pustaka (Review Terdahulu)
Untuk mendukung materi dalam penelitian ini, berikut akan dikemukakan
beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh:
1. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Murabahah dan
Mudharabah Pada Bank Syariah di Indonesia.
Septiana Ambarwati9 melakukan penelitian pada tiga bank umum syariah di
Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan
Bank Mega Syariah Indonesia (BSMI). Pada periode Desember 2004 hingga Maret
2008 bertujuan melakukan perhitungan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
9 Septiana Ambarwati, Faktor – faktor yang mempengaruhi pembiayaan murabahah dan
mudharabah pada bank syariah di Indonesia, (Thesis S2 Program pasca sarjana, PSTT UI Jakarta.
2008)
pembiayaan murabahah dan mudharabah di Bank Umum Syariah. Ambarwati
memformulasikan dua model penelitian. Model pertama adalah model faktor yang
mempengaruhi pembiayan murabahah, yaitu:
LnMUR it = α0 + α1 LnNPF i (t-1) + α2 LnSWBI i (t-1) + α3 LnBunga i (t-1) + ε
Dimana: MUR = pembiayaan murabahah (juta Rp)
α0 = konstanta
α1 = koefisien variabel NPF
α2 = koefisien variabel SWBI
α3 = koefisien variabel Bunga
NPF = pembiayaan bermasalah %
SWBI = Sertifikat Wadiah Bank Indonesia %
Bunga = Bunga kredit bank konvensional – konsumsi (%)
ε = standart error
Sedangkan model untuk menilai faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan
mudharabah menurut Ambarwati diformulasikan sebagia berikut :
LnMud it = α0 + α1 LnNPF i (t-1) + α2 LnMur i (t-1) + α3 LnR i (t-1) + ε
Dimana:
Mud = pembiayaan mudharabah (juta Rp)
α0 = konstanta
α1 = koefisien variabel NPF
α2 = koefisien variabel murabahah
α3 = koefisien variabel bagi hasil puas
NPF = pembiayaan bermasalah %
SWBI = pembiayaan murabahah %
Bunga = tingkat bagi hasil (%)
ε = standart error
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan murabahah pada tiga bank
umum syariah periode Desember 2004 hingga Maret 2008, dipengaruhi secara
signifikan oleh variabel NPF (negatif) dan SWBI (positif), dan tingkat suku bunga
pinjaman bank konvensional (positif), sementara itu pada penelitian pembiayaan
mudharabah pada tiga bank umum syariah periode desember 2004 hingga maret
2008, dipengaruhi secara signifikan oleh variabel pembiayaan murabahah (negatif)
dan tingkat bagi hasil (positif) sedagkan variable NPF tidak signifikan berpengaruh,
namun mempunyai arah hubungan yang negatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati cukup jelas dengan memisahkan antara
pembiayaan murabahah dan mudharabah termasuk variabel yang
mempengaruhinnya. Sehingga dapat terlihat jelas faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi secara signifikan pada kedua jenis pembiayaan tersebut.
Perbedaannya adalah penulis memfokuskan diri untuk meneliti proses pencegahan
terhadap pembiayaan macet dalam pembiayaan mudharabah melalui manajemen
risiko yang dimiliki oleh kedua bank syariah dan melakukan perbandingan diantara
ketiganya untuk dapat menilai efektifitas dari manajemen risiko yang kedua bank
syariah tersebut lakukan. Selain itu, variable yang digunakan oleh peneliti hanyalah
untuk produk pembiayaan mudharabah, dan tidak mengikutsertakan murabahah
sebagai bahan penelitian.
2. Risiko dan Manajemen Risiko dalam Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Tesis Lusianna Elizabeth.10
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah
metode penelitian kepustakaan dengan menggunakan berbagai jenis bahan pustaka,
atau penelitian ini dapat juga diklasifikasikan sebagai penelitian hukum normative;
atau bisa juga disebut sebagai penelitian hukum doktrinal.
Dengan bahan-bahan penelitiannya berupa bahan-bahan hukum yang dapat
diklasifikasikan;
1. Bahan Hukum Primer
a. Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
b. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
c. Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan
d. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Perbankan, dan
e. Berbagai peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum yang dijalankan
berdasarkan prinsip syariah.
2. Bahan hukum sekunder, antara lain; buku-buku teks yang membahas mengenai
perbankan syariah, dan buku-buku teks lain yang mempunyai relevansi dengan
bahasan dalam penelitian ini, serta beberapa tesis dan disertasi yang pada
pokoknya memiliki kaitan erat dengan pembahasan dalam penelitian ini.
10
Lusianna Elizabeth, Risiko dan Manajemen Risiko dalam Transaksi Pembiayaan
Mudharabah, (Thesis S2 Program Pasca sarjana, PSTT UI Jakarta. 2009)
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan
ensiklopedia.
Adapun tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif-normatif karena hasil
penelitian ini menggambarkan secara menyeluruh mengenai kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam transaksi mudharabah. Selain itu, hasil penelitian ini juga akan
memaparkan bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada
nasabah/deposan mudharabah dalam hal bank mengalami risiko-risiko perbankan.
Dengan hasil penelitian yang diperoleh adalah seperti berikut ini;
1. Bahwa bank syariah juga mengalami risiko yang lazim dialami oleh bank
konvensional, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuidtas,
risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategic, dan risiko kepatuhan.
Adapun hal yang membedakannya adalah terdapatnya risiko yang secara nature
dimiliki oleh bank syariah, yaitu; benchmark risk, withdraw al risk, fiduciary risk,
dan displaced commercial risk.
2. Teknik manajemen risiko yang dapat digunakan untuk meminimalisir risiko yang
ada di bank syariah adalah dengan cara mengadopsi pendekatan berbasis rating
internal (Internal Rating Based). Dan melakukan screening terhadap calon
nasabah dan proyek yang akan dibiayai.
Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara menganalisa pembiayaan
pada bank syariah, guna meminimalisir risiko pembiayaan yang rentan muncul. Yaitu
melalui;
1. Pendekatan analisis pembiayaan
2. Prinsip analisis pembiayaan
Perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah, peneliti tidak
melihatnya dari sisi hukum normative, akan tetapi murni dari strategi yang dapat
dilakukan oleh bank syariah, kemudian mengomparasikannya dan menemukan
strategi yang paling tepat untuk bisa digunakan.
3. Penerapan Manajemen Risiko Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Pada Bank
Syariah
Oleh Alia11
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif-analitis-evaluatif.
Hasil penelitian ini adalah:
1. Manajemen risiko pembiayaan merupakan pengelolaan terhadap risiko-risiko yang
melekat pada kegiatan pembiayaan bank syariah agar tidak melampaui tingkat
yang tidak dapat ditolerir yang dapat merugikan atau bahkan membahayakan
kelangsungan usaha bank, sehingga menjadi suatu probabilitas dalam meraih
keuntungan.
2. Risiko yang dihadapi oleh bank syariah lebih rumit ketimbang pada bank
konvensional, untuk itu diperlukan suatu peraturan tentang manajemen risiko bagi
bank syariah. Namun pada saat ini, belum ada peraturan baku mengenai
manajemen risiko bagi bank syariah, sehingga bank syariah masih mengadopsi
peraturan manajemen risiko bank konvensional yang dikeluarkan oleh Bank
11
Alia, dengan judul “Penerapan Manajemen Risiko Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Pada
Bank Syariah”. (Skripsi S1 Perbankan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2004)
Indonesia, hanya saja setiap bank diberi kebijaksanaan untuk membuat peraturan
manajemen risiko sendiri yang disesuaikan dengan ciri khas usahanya.
3. Manajemen risiko pembiayaan pada Bank Syariah Mandiri telah melakukan
fungsinya dengan mengidentifikasi risiko, mengukur, mengendalikan dan
memantaunya, yang bermuara pada peraturan Bank Indonesia dan risiko yang
dihadapi oleh Bank Syariah Mandiri.
4. Peraturan manejemen risiko pembiayaan berbasis bagi hasil seperti mudharabah
dan musyarakah pada Bank Syariah Mandiri tidak diatur secara terpisah dengan
pembiayaan lainnya, padahal karakteristik risiko pembiayaan berbasis bagi hasil
dengan berbasis margin berbeda.
Perbedaan dengan kajian peneliti adalah, selain peneliti menggunakan metodologi
kuantitatif untuk menggambarkan efektifitas sebuah manajemen risiko bank syariah,
terdapat 2 hal lagi yang membedakan dengan penelitian Alia, yaitu:
1. Peneliti melakukan studi komparatif untuk menemukan model manajemen risiko
yang paling tepat digunakan.
2. Penelitian tidak hanya didasarkan pada hasil analisis yang sifatnya deskriptif, akan
tetapi juga kuantitatif, ini sebagai bentuk pengukuran yang bisa lebih tepat .
4. Peranan Studi Kelayakan Pembiayaan Terhadap Tingkat Non Performing
Financing (Studi Kasus BPRS Harta Insan Karimah Ciledug).
Oleh Diah Agustina Prameswari, 12
dengan hasil penelitiannya:
12
Diah Agustina Prameswari, “Peranan Studi Kelayakan Pembiayaan Terhadap Tingkat Non
Performing Financing‖ Studi Kasus BPRS Harta Insan Karimah Ciledug (Skripsi S1 Perbankan
Syariah Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007)
1. Penerapan studi kelayakan di BPRS Hikmah dilaksanakan sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan oleh Dewan Direksi yakni sebagai berikut:
Pertama, pengajuan proposal pembiayaan dilakukan dengan cara wawancara dan
survey dan memenuhi semua persyaratan yang ada, kedua analisa pembiayaan;
dalam tahap inilah dilakukan penilaian kelayakan usaha nasabah dengan cara a)
dilihat kondisi dan volume usaha calon nasabah b) laba bersihnya harus dapat
mengcover angsurannya c) jaminan yang bankable atas nama pemohon dan nilai
jaminan harus diatas 100% dari jumlah plafon pembiayaannya. Ketiga, keputusan
pembiayaan, Keempat penandatanganan akad dan yang Kelima realisasi
pembiayaan.
2. Kecenderungan (Trend) tingkat Non Performing Financing (NPF) BPRS Hikmah
mengalami kenaikan dari tahun 2003 sebesar 1.3% hingga pada tahun 2005
menjadi 3,1%. Disebabkan karena adanya regulasi Bank Indonesia mengenai
kolektibilitas, tidak ketatnya kebijakan perusahaan dalam hal penilaian kelayakan
usaha nasabah, kurangnya fungsi pengawasan dan pemantauan nasabah oleh
petugas bank, estimasi biaya (biaya yang diproyeksikan tidak sesuai dengan
realisasi), daya beli masyarakat menurun atas produk yang dihasilkan oleh
nasabah, cash flow menurun serta turn over nasabah lama.
3. Secara umum, studi kelayakan memiliki peranan terhadap tingkat NPF di BPRS
Hikmah. Hal ini dapat dibuktikan dengan rasio NPF BPRS Hikmah (3.1 %) yang
masih di bawah standar Bank Indonesia dan persentase jumlah nasabah
bermasalah dibandingkan dengan jumlah total nasabah pembiayaan masih relatif
kecil hanya sebesar 0.53%.
Kalau Diah Agustina fokus kajiannya adalah pada peranan studi kelayakannya,
peneliti memfokuskan pada sisi manajemen risiko terhadap pembiayaan yang
berskimkan mudharabah.
E. Kerangka Teori
Gambar 1.1
Skema Mudharabah Aplikasi Teknis Perbankan
Seperti yang terlihat pada Gambar.1.1 bank memberikan modal 100% kepada
pihak debitur, sedangkan debitur memberikan seluruh keahlian atau keterampilannya
untuk mengelola suatu usaha/proyek. Dari skema tersebut, dapat terlihat bahwa bank
dalam hal ini banyak bergantung pada sebuah entitas yang disebut kepercayaan yang
ada pada pihak debitur, hal ini menjadikan nilai risiko terhadap pembiayaan dengan
akad ini semakin tinggi, karena kepercayaan tidak bisa dikuantifikasi. Dengan
manajemen risiko yang baik sekaligus efektif untuk mengurangi pembiayaan
bermasalah, bank akan dapat menjaga uang yang dipercayakan masyarakat kepada
pihak bank, sehingga tidak terjadi misalokasi pembiayaan.
Adapun flow chart dari kerangka teori ini dapat digambarkan sebagai berikut;
F. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan
―Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007‖.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan ini, maka disusun sistematika penulisan yang
terdiri dari lima bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka,
Kerangka Konsep, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II KAJIAN TEORITIS Membahas tentang Manajemen Risiko, Bank dan
Risiko, Pembiayaan, Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini memuat tentang Rancangan
Penelitian, Ruang Lingkup Penelitian, Jenis Penelitian, Jenis Data, Sumber Data,
Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Memuat tentang hal-hal baik Internal
maupun Eksternal yang mempengaruhi strategi manajemen risiko bank, Strategi
Manajemen Risiko Bank Untuk Mengantisipasi Pembiayaan Bermasalah, Komparasi
dan Efektifitas Manajemen Risiko Bank Syariah Untuk Mencegah Pembiayaan
Mudharabah Bermasalah.
BAB V PENUTUP Berisikan Kesimpulan dan Saran dari Penulis.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. MANAJEMEN RISIKO
1. Manajemen Risiko
Manajemen risiko didefinisikan sebagai “suatu metode logis dan sistematik dalam
identifikasi, kuantifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta melakukan
monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses.‖13
Manajemen risiko adalah titik sentral manajemen strategis dalam sebuah
organisasi. Fokus manajemen risiko adalah mengenal dengan pasti risiko dan
mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah makin besarnya risiko yang dapat
diterima. Hal ini berkaitan erat dengan risk event yang terjadi dalam sebuah aktifitas,
yaitu peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko baik dari kejadian internal
maupun eksternal.
Kejadian internal yang dimaksud adalah kejadian yang bersumber dari dalam
institusi itu sendiri, seperti kesalahan sistem manusia dan kesalahan prosedur.
Kejadian internal pada dasarnya bisa dicegah agar tidak terjadi. Sebaliknya, kejadian
eksternal adalah kejadian yang bersumber dari luar dan tidak mungkin dapat
dihindari.14
13
Ferry N. Indroes & sugiarto, Manajemen Risiko Perbankan-Pemahaman Pendekatan Pilar
Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaanya di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2008) h.5
14 Ferry N. Indroes & sugiarto, Manajemen Risiko Perbankan-Pemahaman Pendekatan Pilar
Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaanya di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2008) h.8
Berikut adalah proses manajemen risiko yang bisa diterapkan dalam sebuah
aktifitas manajemen risiko:
Gambar 2.1 Proses Manajemen Risiko
a. Identifikasi dan Pemetaan Risiko15
1) Menetapkan kerangka kerja untuk implementasi strategi risiko secara
keseluruhan.
2) Menentukan definisi kerugian.
3) Menyusun dan melakukan implementasi mekanisme pengumpulan data.
4) Membuat pemetaan kerugian ke dalam kategori risiko yang dapat dan tidak
dapat diterima.
b. Kuantifikasi dan Pemetaan Risiko
1) Aplikasi teknik permodelan dalam mengukur risiko.
2) Perluasan dengan memanfaatkan tolok ukur (benchmarking), permodelan
(modelling), dan peramalan (forecasting) yang berasal dari luar
15
Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan, (Jakarta: Rajawali Press. 2008) h. 8-10
Identifikasi & Pemetaan
Risiko
Kuantifikasi/Menilai/
Peringkat Risiko
Menegaskan Profil
Risiko/Rencana Manajemen
Risiko
Solusi Risiko Implementasi
Tindakan Mitigasi
Pemantauan dan Pengkinian/
Kaji Ulang Risiko dan Kontrol
organisasi/eksternal. Sumber eksternal yang dimaksud berasal dari praktik-
praktik terbaik yang telah dilakukan di dalam industri (best practices).
c. Menegaskan Profil Risiko dan Rencana Manajemen Risiko
1) Identifikasi selera risiko organisasi (risk appetite), apakah manajemen secara
umum terdiri dari:
a) Penghindar risiko (risk averter)
b) Penerima risiko sewajarnya (risk neutral); atau
c) Pencari risiko (risk seeker)
2) Identifikasi visi stratejik (strategic vision) dari organisasi, apakah organisasi
berada dalam visi:
a) Agresif yang terobsesi untuk mengejar peningkatan volume usaha serta
keuntungan sebesar-besarnya untuk mendukung pertumbuhan; atau
b) Konservatif yang ingin menjaga kelangsungan usaha pada situasi aman
dengan volume usaha dan keuntungan yang stabil.
Penghindar risiko tidak bersedia menerima risiko dengan tingkat tinggi.
Sebaliknya, pencari risiko bersedia menerima risiko tinggi untuk mendapatkan
hasil yang lebih tinggi. Visi stratejik yang agresif bersedia menerima risiko tinggi
untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Visi ini biasanya diterapkan pada
organisasi yang berada pada tahap pertumbuhan. Sebaliknya, visi stratejik yang
konservatif tidak bersedia menerima risiko dengan tingkat tinggi. Biasanya
organisasi pada tahap konservatif adalah organisasi yang telah mapan dengan
aktifitas yang stabil.
d. Solusi Risiko/Implementasi Tindakan Terhadap Risiko
1) Hindari (Avoidance): Keputusan yang diambil adalah tidak melakukan
aktifitas yang dimaksud. Misalnya sebuah bank mendapat tawaran untuk
melakukan bisnis pencucian uang (money loundering) dari kegiatan terorisme
yang menjanjikan keuntungan dari penempatan jumlah besar dengan bunga
yang sangat rendah. Risiko aktifitas tersebut adalah ancaman penutupan bank
serta ancaman terhadap pelakunya. Maka, bank memutuskan untuk tidak
melakukan aktifitas tersebut.
2) Alihkan (Transfer): Membagi risiko dengan pihak lain. Konsekuensinya
terdapat biaya yang harus dikeluarkan atau berbagi keuntungan yang diperoleh.
Misalnya untuk pembiayaan proyek yang sangat besar, sebuah bank melakukan
skema pinjaman sindikasi. Sindikasi adalah bentuk berbagi bisnis, risiko dan
hasil yang lazim dilakukan bank. Pengalihan risiko juga termasuk penggunaan
lembaga asuransi sebagai penanggung kerugian dengan membayar premi.
Selain itu, penggunaan sumber daya di luar organisasi (outsourcing) juga
termasuk ke dalam pengalihan risiko.
3) Mitigasi Risk (Mitigate Risk): Menerima risiko pada tingkat tertentu dengan
melakukan tindakan untuk mitigasi risiko melalui peningkatan kontrol, kualitas
proses, serta aturan yang jelas terhadap pelaksanaan aktifitas dan risikonya.
Misalnya, pengikatan pinjaman dan agunan pada bank. Pengikatan sangat
rentan untuk terjadi masalah. Akibatnya adalah bank tidak dapat atau berada
pada posisi hukum yang lemah dalam penyelesaian pinjaman atau eksekusi
agunan. Bank perlu menerapkan sistem dan prosedur yang jelas tentang
pengikatan serta aspek-aspek pendukungnya. Selanjutnya ditetapkan dengan
tegas mengenai sanksi yang dapat dikenakan kepada individu-individu yang
melakukan penyimpangan prosedur.
4) Menahan Risiko Residual (Retention of Residual Risk): Menerima risiko
yang mungkin timbul dari aktifitas yang dilakukan. Kesediaan menerima risiko
dikaitkan dengan ketersediaan penyangga jika kerugian atas risiko terjadi. Peran
inilah yang ditekankan dalam membahas manajemen risiko perbankan.
Perbankan harus mengambil berbagai macam risiko dalam menjalankan
aktifitasnya. Risiko yang dimaksud tidak dapat dihindari, dialihkan dan
dimitigasi. Akibatnya, risiko tersebut harus ditanggung sejalan dengan
pelaksanaan aktifitas. Misalnya bank menerima transaksi pembelian valuta
asing dari nasabah secara forward tiga bulan ke depan. Untuk mitigasi risiko,
bank melakukan forward ulang kepada bank lain dan mengharuskan nasabah
untuk menyerahkan setoran jaminan. Pada situasi normal, mitigasi risiko cukup
untuk menangani kemungkinan risiko yang akan terjadi. Namun, jika situasi
menjadi tak terkendali, yaitu nilai tukar melonjak drastis, nasabah membatalkan
kontrak dengan menjual pada pasar spot dan membiarkan setoran jaminan
diambil bank. Pada situasi itu terjadi kerugian karena setoran jaminan diambil
bank dan setoran jaminan tidak dapat menutupi kerugian tersebut. Situasi inilah
yang dikatakan sebagai risiko residual yang harus ditanggung bank. Setiap
risiko residual pada bank diperlukan ketersediaan modal untuk menyangganya.
Keempat tindakan ini bisa juga disebut sebagai bentuk strategi yang digunakan
bank dalam mengelola risiko yang terdapat dalam aktifitas perbankan dan juga
sebagai salah satu bentuk pengurangan atas risiko yang mungkin akan muncul dalam
pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan.
e. Pemantauan dan Pengkinian/Kaji Ulang Risiko dan Kontrol
1) Seluruh entitas organisasi harus yakin bahwa strategi manajemen risiko telah
diimplementasikan dan berjalan dengan baik.
2) Lakukan pengkinian dengan mengevaluasi dan menindaklanjuti hasil evaluasi
terhadap implementasi kerangka manajemen risiko yang terintegrasi ke dalam
strategi risiko keseluruhan.
2. Perbedaan Manajemen Risiko Perbankan Syariah dan Perbankan
Konvensional.
Pada dasarnya manajemen risiko adalah sebuah tindakan untuk mengantisipasi
terjadinya kerugian dari aktifitas bisnis yang dilakukan. Dalam konteks perbankan,
manajemen risiko bisa juga digunakan untuk menganalisa sebuah risiko di masa
mendatang. Akan tetapi pada kenyataannya, kejadian di masa mendatang adalah
mustahil untuk diketahui. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Luqman : 34
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah
yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok[1187]. dan tiada seorangpun
yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.‖
Perbankan syariah dan perbankan konvensional adalah hal yang berbeda satu dan
lainnya. Oleh karena itu pula, sangat logis jika dikatakan bahwa sistem manajemen
risiko antara bank syariah dan bank konvensional tentunya juga berbeda. Perbedaan
itu dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini:
a. Risk Event
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa manajemen risiko memiliki
kaitan yang erat dengan risk event. Peristiwa yang menyebabkan risiko (risk event)
atau bisa didefinisikan sebagai munculnya kejadian yang dapat menciptakan potensi
kerugian atau hasil yang tidak diinginkan. Korelasinya dengan perbedaan antara
manajemen risiko bank syariah dengan bank konvensional dari sisi ini adalah tidak
terdapatnya bunga sebagai instrumen bank syariah memberikan nafas yang lebih lega
terhadap perbankan syariah untuk memanaje portofolio surat berharga yang
dimilikinya.
Contoh dari kesalahan manajemen risiko internal yang salah pada lembaga
konvensional adalah sebagai berikut:
Pada Desember 1994 terdapat sebuah lembaga keuangan Orange Country yang
mengalami kerugian akibat salah dalam mengambil sikap terhadap arah suku bunga
the Fed untuk portofolio yang dimilikinya sehingga mengakibatkan perusahaan
tersebut mengalami risk loss sebesar USD 164 Milion yang kemudian menjadikan
Orange Country bangkrut.
b. Hukum
Prinsip yang dianut dalam penerapan manajemen risiko mengacu kepada salah
satu prinsip dalam ilmu fiqih yang dikenal dengan istilah sad adz dzari’ah. Secara
teknis sad adz dzari’ah dapat didefinisikan sebagai ―sikap preventif dan penerapan
prinsip kehati-hatian untuk mencegah dan memitigasi risiko pelanggaran maupun
risiko lainnya dengan tetap memperhatikan aspek pertumbuhan, produktifitas, tingkat
keuntungan, manfaat dan kemaslahatan dari tindakan hukum dalam suatu kondisi
yang optimal.‖16
Sedangkan yang terdapat pada bank konvesional, landasan hukum
hanya bersandar pada hukum positif.
c. Operasional
1) Aksi (tindakan)
Bank syariah tidak boleh mengakses transaksi derivatif yang dianggap sebagai
instrumen yang cukup efektif untuk melindungi risiko kredit. Larangan ini
menguatkan pentingnya pengawasan internal bank syariah.17
2) Aktor (pelaku)
Dalam proses manajemen risiko di bank syariah terdapat Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang ikut serta mengawasi proses operasional bank itu sendiri.
Berdasarkan fatwa DSN-MUI nomor 01 tahun 2000 disebutkan mengenai
mekanisme kerja DPS, salah satu diantaranya adalah menilai aspek syariah
terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan bank, memberikan
opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan
dalam laporan publikasi bank.
16
Zainul Hakim ―Evaluasi tingginya risiko pembiayaan murabahah dibandingkan dengan
risiko pembiayaan bagi hasil: (Analisis risiko dengan metode internal)‖, (Thesis S2 Program Pasca
sarjana, PSTT UI Jakarta, 2009) h. 20
17
Lusianna Elizabeth, Risiko dan Manajemen Risiko dalam Transaksi Pembiayaan
Mudharabah, (Thesis S2 Program Pasca sarjana, PSTT UI Jakarta. 2009) h. 36
d. Produk
Bank syariah hanya menawarkan produk jual-beli valuta asing (sharf) dengan
bentuk spot, yaitu transaksi pembelian valuta asing (valas) untuk penyerahan pada
saat itu (over the counter) atau paling lambat penyelesaiannya dalam jangka waktu
dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari
dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari. Sedangkan untuk
bentuk jual-beli valas forward, swap dan option hukumnya adalah haram.18
Gambar 2.2 Perbedaan Manajemen Risiko Bank Syariah dan Konvensional
B. BANK DAN RISIKO
Bank adalah lembaga keuangan yang aktifitas utamanya adalah menghimpun dana
dan menyalurkannya dalam bentuk pemberian pinjaman dan investasi. Dalam
menghimpun dana, bank menggunakan strategi ―penarik‖ bagi nasabah berupa balas
jasa yang menguntungkan. Balas jasa yang dimaksud adalah ―bunga‖ bagi bank
konvensional dan ―bagi-hasil‖ bagi bank yang beroperasi menurut syariah.
18
______________, Fatwa DSN-MUI nomor 28/DSN-MUI/III/2002 ―tentang jual beli mata
uang (Al-Sharf)‖.
Risiko paling laten yang selalu mengancam aktifitas perbankan adalah hilangnya
uang baik dari sisi pasiva maupun sisi aktiva.19
Seperti yang kita ketahui, bank adalah
lembaga intermediary antara sektor surplus unit dan sektor defisit unit.
Sebagai lembaga perantara, falsafah yang mendasari kegiatan usaha bank adalah
kepercayaan masyarakat (public confidence). Oleh karena itu, bank juga disebut
sebagai lembaga kepercayaan masyarakat. Yang ciri-ciri utamanya adalah sebagai
berikut:20
1) Dalam menerima simpanan dari Surplus Spending Unit (SSU), bank hanya
memberikan pernyataan tertulis yang menjelaskan bahwa bank telah menerima
simpanan dalam jumlah dan untuk jangka waktu tertentu.
2) Dalam menyalurkan dana kepada Defisit Spending Unit (DSU), bank tidak
selalu memita agunan berupa barang sebagai jaminan atas pemberian kredit
yang diberikan kepada DSU yang memiliki reputasi baik.
Dalam melakukan kegiatannya, bank lebih banyak menggunakan dana masyarakat
yang terkumpul dalam banknya dibandingkan dengan modal dari pemilik atau
pemegang saham bank. Untuk itu, bank harus menjaga apa yang telah dipercayakan
masyarakat melalui penempatan dananya pada bank bersangkutan. Selaras dengan itu
pula, bank harus mampu mengelola setiap risiko yang muncul dari aktifitas usahanya.
19
Ferry & sugiarto Indroes, Manajemen Risiko Perbankan-Dalam Konteks Kesepakatan Basel
dan Peraturan Bank Indonesia. (Jakarta: Graha Ilmu. 2006) h. 8
20
Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-dasar perbankan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006) h. 4
Seperti yang kita ketahui bahwa risiko itu sendiri memiliki beberapa macam jenis;
yaitu risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko hukum,
risiko reputasi, risiko stratejik dan risiko kepatuhan.21
Zainul Arifin22
mendefinisikan berbagai macam jenis risiko di atas, sebagai
berikut;
1) Risiko Kredit / Pembiayaan (Credit Risk)
Risiko kredit adalah risiko yang timbul akibat kegagalan counterparty
memenuhi kewajibannya. Risiko kredit sulit dikenali tanpa menguji portofolio
kredit. Faktor kunci bagi pengendalian risiko kredit adalah diversifikasi dari tipe-
tipe kredit, diversifikasi dalam wilayah geografis dan jenis-jenis industri yang
dibiayai, kebijakan agunan dan sebagainya, dan yang paling penting adalah standar
pengendalian kredit yang diterapkan. (Pembahasan mengenai hal ini akan penulis
bahas lebih dalam di Sub-Bab C, Pembiayaan).
2) Risiko pasar (Market Risk)
Risiko pasar (market risk) adalah risiko yang timbul karena adanya pergerakan
variable pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang
dapat merugikan bank. Termasuk dalam variable pasar ini adalah suku bunga dan
nilai tukar.
Bank syariah tidak akan menghadapi risiko tingkat bunga, walaupun dalam
lingkungan di mana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di
21
_____________, PBI No.5/8/PBI/2003. ―Tentang Kualitas Aktiva Produkti Bagi Bank
Syariah‖
22
Drs. Zainul Arifin, MBA, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. (Jakarta: Pustaka Alvabet.
2006) h. 61-62
pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya risiko likuiditas sebagai
akibat adanya nasabah yang menarik dana dari bank syariah dan berpindah ke
bank konvensional.
3) Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Risiko likuiditas adalah risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mampu
memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Pengukuran risiko likuiditas adalah
kompleks. Faktor kuncinya adalah bahwa bank tidak dapat dengan leluasa
memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh
karena itu, bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak
likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan, dan terlalu sedikit akan
berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui
sebelumnya, yang dapat berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan
profitabilitas. Lebih-lebih bagi bank syariah yang dilarang melakukan peminjaman
dana yang berbasis bunga, tentu akan lebih sulit untuk memperoleh dana.
4) Risiko Operasional (Operational Risk)
Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan karena
ketidakcukupan dana atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia,
kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempangaruhi operasional
bank.
5) Risiko Hukum (Legal Risk)
Risiko hukum adalah risiko yang disebabkan karena adanya kelemahan aspek
yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum,
ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan
perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan
yang tidak sempurna.
6) Risiko Reputasi (Reputation Risk)
Risiko reputasi adalah risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi
negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap
bank.
7) Risiko Strategis (Strategic Risk)
Risiko startegis adalah risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan
pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang
tidak tepat, atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal.
8) Risiko Kepatuhan (Compliance Risk)
Risiko kepatuhan adalah risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang
berlaku. Pengelolaan risiko kepatuhan dilakukan melalui penerapan risiko
pengendalian intern secara konsisten.
C. PEMBIAYAAN
1. Teori Pembiayaan
Dalam sub-bab sebelumnya telah disinggung sedikit perihal risiko pembiayaan
(kredit). Bank sebagai lembaga intermediasi, dalam kegiatan usahanya tidak bisa
terlepas dari kegiatan pembiayaan. Dalam kegiatan pembiayaan, selain bank bisa
mendapatkan keuntungan bank juga sangat mungkin mengalami kerugian.
Pembiayaan menurut Muhammad adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan
yang dikeluarkan untuk mendukung invetasi yang telah direncanakan.23
“A loan is a type of debt. Like all debt instruments, a loan entails the
redistribution of financial assets over time, between the lender and the borrower. In a
loan, the borrower initially receives or borrows an amount of money, called the
principal, from the lender, and is obligated to pay back or repay an equal amount of
money to the lender at a later time.”24
Pembiayaan oleh Veithzal Rifai diartikan sebagai kepercayaan (trust), berarti
lembaga pembiayaan selaku shahibul mal menaruh kepercayaan kepada seseorang
untuk melaksanakan amanah yang diberikan.25
Dalam kodifikasi produk yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, pembiayaan
adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berupa:
1) transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah,
2) transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahioya bittamlik
3) transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna`.
4) transaksi pinjam meninjam dalam bentuk piutang qordh, dan
5) transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah dalam transaksi multijasa
23
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. (Yogyakarta; UPP AMP YKPN. 2005)
h.17
24
http://en.wikipedia.org/wiki/Loan. di akses pada tanggal 8 Juli 2010
25
Veithzal Rifai, dkk. Islamic Financial management (Jakarta: Rajawali Press. 2008) h. 3
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Umum Syariah dan/atau
Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayaai dan/atau
diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan ujroh, tanpa imbalan, atau bagi hasil.26
Menurut Syafi’I Antonio,27
berdasarkan sifat penggunaannya, pembiayaan dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu;
1. Pembiayaan Produktif
Pembiayaan produktif ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam
arti luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun
investasi.
Pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu;
a. Pembiayaan Modal Kerja
Pembiayaan modal kerja ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan
produksi baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif dan untuk keperluan
perdagangan atau peningkatan kegunaan suatu barang.
b. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada nasabah untuk keperluan investasi yaitu
keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha
ataupun pendirian proyek baru. Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan
dalam jumlah besar dan berjangka waktu yang cukup lama. Pembiayaan investasi
26
__________, Peraturan Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Jakarta:
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006) h. 6
27
M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press. 2001)
h.160
yang diberikan oleh bank syariah pada umumnya menggunakan skema
mudharabah ataupun musyarakah.
c. Pembiayaan Konsumtif
Pembiayaan konsumtif digunakan untuk kebutuhan konsumsi yang akan habis
digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
2. Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan mudharabah dalam fatwa DSN-MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
diartikan sebagai berikut:
―pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha
yang produkif.‖
Dalam pembiayaan mudharabah (bagi hasil) ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh kedua belah pihak, yaitu: (1) nisbah bagi hasil yang disepakati; dan
(2) tingkat keuntungan aktual bisnis yang di dapat. Oleh karena itu, bank sebagai
pihak yang memiliki dana akan melakukan perhitungan nisbah yang akan dijadikan
kesepakatan pembagian pendapatan.28
Adapun cara penetuan prinsip bagi hasil yang dipergunakan sesuai dengan
Ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang menjelaskan bahwa pembagian hasil
usaha bank syariah dapat mempergunakan revenue sharing maupun profit sharing.
Saat ini seluruh bank syariah masih mempergunakan revenue sharing baik dalam
berbagi hasil bank syariah sebagai pengelola dana dengan pemodal (penghimpun
28
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN. 2005)
h.109-110
dana) maupun bank syariah sebagai pemodal kepada nasabah debitur (pengelolaan
dana dengan prinsip mudharabah dan musyarakah).
Adapun yang disebut dengan revenue sharing adalah yang dibagi dalam prinsip
mudharabah adalah hasil usaha pengelolaan dana mudharabah tersebut, dalam istilah
akuntansi sering dikenal dengan laba kotor (gross profit), karena dalam prinsip
mudharabah, modal mudharabah tidak diperkenankan untuk dibagi, penjualan
terkandung modal mudharabah, sehingga tidak diperkenankan melakukan pembagian
hasil usaha mudharabah dari penjualan (omzet). Sedangkan prinsip profit sharing
hasil usaha yang dibagi merupakan pendapatan hasil usaha bersih. Untuk
membedakan kedua prinsip tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi sebagai berikut:
Uraian Jumlah Prinsip Bagi Hasil
Penjualan 100
Harga Pokok Penjualan 65
Laba Kotor (gross profit) 35 Net Revenue Sharing
Beban-beban 25
Laba Bersih (net profit) 10 Profit Sharing
Akad (transaksi) berbasis bagi hasil merupakan wacana paling dominan dalam
literatur keuangan islam di seluruh dunia, termasuk dalam wacana perbankan syariah
di Indonesia, terutama dalam dua model, mudharabah dan musyarakah. Sebagian
ulama dan masyarakat luas meyakini bahwa instrument yang paling tepat sebagai
pengganti mekanisme bunga pada bank konvensional, untuk diterapkan pada bank
syariah adalah mekanisme bagi-hasil (profit and loss sharing). Sedemikian kuatnya
keyakinan itu, sehingga keberadaan bank syariah sangat identik dengan bank bagi
hasil. Sehingga ada anggapan luas di masyarakat bahwa produk pembiayaan yang
paling syariah adalah pembiayaan bagi hasil.
3. Kekurangan dan Kelebihan Pembiayaan Mudharabah
Dalam tesisnya Lusianna Elizabeth29
menyebutkan mengenai beberapa risiko yang
terkait dengan pembiayaan mudharabah, yaitu;
1. Business Risk (risiko atau bisnis yang dibiayai) yakni risiko yang terjadi pada
first way out (risiko kebangkrutan). Risiko ini dipengaruhi oleh;
a. Industry risk, yaitu risiko yang terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh;
1) Karakteristik masing-masing jenis usaha yang bersangkutan.
2) Kinerja keuangan jenis usaha yang bersangkutan (industrial financial
standard).
b. Faktor negatif lainnya yang mempengaruhi perusahaan nasabah seperti
kondisi grup usaha, force majeur, permasalahan hukum, pemogokan dan
riwayat pembayaran.
2. Character Risk (risiko terhadap karakter buruk atau moral hazard dari
mudharib), yakni risiko yang terjadi pada third way out. Character risk
dipengaruhi oleh hal berikut;
a. Kelalaian nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank.
b. Pelanggaran ketentuan yang telah disepakati sehingga nasabah dalam
menjalankan bisnis yang dibiayai tidak lagi sesuai dengan kesepakatan.
29
Lusianna Elizabeth, Risiko dan Manajemen Risiko dalam Transaksi Pembiayaan
Mudharabah, (Thesis S2 Program Pasca sarjana, PSTT UI Jakarta. 2009) h. 57
c. Pengelolaan internal perusahaan, seperti manajemen, organisasi, pemasaran,
teknis produksi dan keuangan yang tidak dilakukan secara professional sesuai
standar pengelolaan yang disepakati antara nasabah dan bank.
Syafi’i Antonio30
berpendapat dalam bukunya, bahwa terdapat tiga risiko yang
terdapat dalam pembiayaan mudharabah;
1. Side streaming; nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebutkan
dalam kontrak.
2. Lalai dan kesalahan yang disengaja.
3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
Risiko merupakan tingkat ketidakpastian mengenai suatu hasil yang diperkirakan
akan diterima. Pembiayaan mudharabah memiliki tingkat risiko yang tinggi karena
jika terjadi kerugian diluar kelalaian mudharib, maka hanya pihak shahibul mal yang
menanggung semua kerugian. Tentu saja kerugian tersebut berbentuk modal yang
diberikan kepada mudharib. Risiko seperi ini murni disebabkan oleh business risk
atau risiko atas bisnis yang dibiayai.
Akan tetapi dibalik sisi negatif (risiko) tersebut di atas, dikatakan oleh Umer
Chapra31
bahwa bentuk-bentuk pembiayaan islami yang paling menguntungkan
adalah cara bagi hasil mudharabah (commenda) dan musyarakah (kemitraan). Pada
bentuk ini, pemilik modal menyediakan dana, bukan sebagai pemberi pinjaman, tetapi
30
M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press. 2001)
h.94
31
Umer Chapra, ―Pengharaman Bunga bank: Rasionalkah?” (Jakarta: Shari’ah Economics and
Banking Institute (SEBI). 2001) h. 52-53
lebih sebagai investor. Ia berbagi untung dan rugi dan tidak memperoleh jaminan di
muka atas keuntungan yang positif, apapun hasil akhir dari usaha ini.
Selain dapat memberikan keuntungan yang maksimal, selaras dengan hal itu,
risiko yang ditimbulkan dari pembiayaan mudharabah pun memiliki risiko yang
tinggi jika dibandingkan dengan pembiayaan berbasiskan penjualan, semisal
murabahah, salam dan istishna’.
Akan tetapi yang terjadi saat ini di bank syariah, justru pembiayaan yang
berbasiskan penjualan, yaitu murabahah mendapat porsi yang lebih besar
dibandingkan dengan pembiayaan mudharabah.
Sejumlah faktor ditengarai menjadi penyebab pesatnya pembiayaan murabahah
dibandingkan dengan pembiayaan mudharabah. Selain itu, sangat menarik untuk
mengaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kedua jenis pembiayaan tersebut,
yang diharapkan menjadi masukan bagi terwujudnya keseimbangan antara
pembiayaan murabahah dan mudharabah. Hal ini untuk mengembalikan karakteristik
utama perbankan syariah yaitu pembiayaan yang yang berprinsip bagi hasil.32
Walaupun sebenarnya secara syariah halal, namun mengutip pernyataan Chapra
dari tesis yang dibuat oleh Septiana Ambarwati33
(2000) murabahah tidak lebih
merupakan produk sekunder dari bank syariah. Sedangkan produk yang primer
32
M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press. 2001)
h.137
33
Septiana Ambarwati, Faktor–faktor yang mempengaruhi pembiayaan murabahah dan
mudharabah pada bank syariah di Indonesia, (Thesis S2 Program pasca sarjana, PSTT UI Jakarta.
2008) h. 6
seperti mudharabah atau musyarakah belum mendapatkan proporsi yang
sepantasnya, dari seluruh operasional perbankan syariah.
Dengan meningkatkan porsi pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diharapkan
lebih menggerakan sektor riil karena menutup kemungkinan disalurkannya dana pada
kepentingan konsumtif dan hanya pada usaha produktif. Bila ditinjau dari konsep
bagi hasil, maka harus ada return yang dibagi, hal tersebut hanya bisa terjadi bila
uang digunakan untuk usaha produktif. Bila ditinjau dari prinsip ketaatan terhadap
syariah, pembiayaan dengan prinsip jual beli dan sewa memberikan celah yang lebih
besar untuk melakukan penyimpangan terhadap prinsip syariah.34
Sistem bagi hasil diangaap sangat baik karena dengan sistem ini nasabah dan bank
syariah sama-sama menentukan bentuk dan arah pengelolaan dana yang disetorkan
nasabah. Keuntungan yang diperoleh dibagi diantara kedua belah pihak dengan
transapansi. 35
Meningkatnya prosentasi pembiayaan melalui pola mudharabah dan musyarakah
diharapkan dapat menggairahkan sektor riil. Investasi akan meningkat yang disertai
juga dengan pembukaan lapangan kerja baru. Akibatnya tingkat pengangguran akan
dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat akan bertambah. Dampak lain dari
tingginya pembiayaan bagi hasil adalah akan mendorong tumbuhnya pengusaha atau
investor yang yang mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Hal ini akan
34
Septiana Ambarwati, Faktor–faktor yang mempengaruhi pembiayaan murabahah dan
mudharabah pada bank syariah di Indonesia, (Thesis S2 Program pasca sarjana, PSTT UI Jakarta.
2008) h. 5
35
Karnaen Perwataatmadja, et.al.,Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005) h. 17-18
menyebabkan berbagai inovasi baru, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya
saing bangsa ini.36
5. Fitur dan Mekanisme Aplikasi Pembiayaan Mudharabah
Gambaran sederhana dari fitur dan mekanisme pembiayaan mudharabah sendiri
seperti yang dijelaskan dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Tahun 2008,
seperti berikut ini;
1. Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal) yang menyediakan dana
dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola
dana (mudharib) dalam kegiatan usahanya;
2. Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun
tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah, antara lain bank dapat
melakukan review dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah
berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
3. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam nisbah yang
disepakati;
4. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak;
5. Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah, pengembalian dana,
dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan
nasabah.
36
Zainul Hakim ―Evaluasi tingginya risiko pembiayaan murabahah dibandingkan dengan
risiko pembiayaan bagi hasil: (Analisis risiko dengan metode internal)‖, (Thesis S2 Program Pasca
sarjana, PSTT UI Jakarta, 2009) h. 8
6. Pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang dan/atau
barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan;
7. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk
uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan;
8. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk
uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;
9. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk
barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable
value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya;
10. Pengembalian pembiayaan atas dasar mudharabah dilakukan dalam dua cara,
yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode akad, sesuai dengan
janka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah;
11. Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola
dana (mudharib) dengan disertai bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan; dan
12. Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat ditanggung
oleh bank selaku pemilik dana (shahibul mal) adalah maksimal sebesar jumlah
pembiayaan yang diberikan (ra’sul maal).
D. PEMBIAYAAN BERMASALAH (NON PERFORMING FINANCING)
Pembiayaan bermasalah adalah semua fasilitas pembiayaan yang diberikan
berdasarkan analisa bank, nasabah telah atau akan mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya kepada bank, sehingga tingkat risiko bank menjadi lebih
tinggi.37
Selain itu, Rasjim Wiraatmadja38
mendefinisikan pembiayaan bermasalah dengan
―pembiayaan yang berpotensi tidak mampu mengembalikan pembiayaan
berdasarkan syarat-syarat yang telah disetujui dan ditetapkan bersama secara tiba-
tiba tanpa menunjukan tanda-tanda terlebih dahulu.
Faktor-faktor penyebab pembiayaan bermasalah menurut Tb. Irman S.39
ada
empat, yaitu: Prosedur, Pengelolaan, Administrasi dan Pengawasan dan Debitur.
Gambar 2.3 Faktor Penyebab Pembiayaan bermasalah
1. Prosedur Pemberian Kredit
b. Informasi dari data-data calon debitur sangat kurang mengenai:
1) Debitur (Identitas);
37
__________, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Modul Diklat Berbasis
Komptensi KJKS/UJKS Pola Syariah, (Jakarta: KUKM, 2006) h. 98
38
Rasjim Wiraatmadja, Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan Kredit Bermasalah,
(Jakarta:Majalah Info Bank 1997) h. 41
39
Tb. Irman S, Anatomi Kejahatan Perbankan-Saatnya Kriminalitas Perbankan Terungkap
(Jakarta: MQS Publishing & AYYCCS Group. 2006) h. 143-148
2) Perusahaan;
3) Saham/Pemilik Saham/Modal;
4) Proyek/Kegiatan Usaha;
5) Jaminan/Agunan/Aset;
6) Dokumen – dokumen, akta, surat-surat.
c. Penyimpangan dari prosedur tata cara pemberian kredit dalam pelaksanaan
yang dikarenakan:
1) Kurangnya tenaga yang berkualitas dalam bidang perkreditan;
2) Adanya campur tangan dari pemegang/pemilik saham atau modal;
3) Adanya campur tangan dari pejabat bank.
d. Niat
Adanya niat tidak baik dari pemilik bank atau pemilik saham atau pejabat
bank/pengurus, hal ini bisa terjadi apabila sebenarnya debitur mempunyai usaha
yang tidak layak untuk mendapatkan kredit, tetapi dimodifikasi sedemikian
rupa sehingga mendapatkan kredit.
e. Kebijakan
Adanya kebijakan disebabkan adanya pertimbangan kerugian apabila dana yang
dihimpun tidak disalurkan, sehingga menimbulkan kebijakan pemberian kredit
secara luas kepada siapa saja tetapi mengabaikan tata cara pemberian kredit
yang benar.
1. Pengelolaan Kredit
a. Kurangnya kemampuan pengelolaan kredit
Kemampuan teknis para pengelola kredit sangat diperlukan. Kurangnya
kemampuan dalam menganalisa terhadap keadaan keuangan dan prospek usaha
debitur telah menghasilkan keputusan-keputusan yang salah sehingga
mengakibatkan kegagalan dalam pengelolaan kredit.
b. Analisa terhadap kebutuhan kredit
Analisa dalam memberikan kredit harus tepat sesuai dengan kebutuhan debitur.
Jumlah dan waktu tahapan harus dianalisa secara tepat sehingga tidak kelebihan
dan kekurangan dalam jumlah kredit serta tidak terlalu cepat dan terlalu lambat
dalam pemberian waktu kredit.
c. Lemahnya sistim informasi kredit
Bank sering memberikan informasi kredit yang lebih baik dari keadaan
sebenarnya, sehingga penilaian menjadi baik dalam hal kesehatan bank.
Laporan tersebut menyebabkan penelitian terhadap keadaan masalah kredit
terlewatkan. Langkah perbaikan tidak dapat segera dilaksanakan karena adanya
informasi yang baik namun tidak sebenarnya.
d. Konsentrasi kredit kepada pihak terkait
Pihak terkait menerima kredit dari bank sehingga menimbulkan pelanggaran
pada Batas Maximum Pemberian Kredit (BMPK)
2. Administrasi dan pengawasan
a. Struktur pengawasan dan kontrol administrasi maupun operasional perbankan
harus terdapat dalam buku pedoman dan tatacara kerja pengawasan dalam bank.
b. Metode pengawasan struktur dan fungsional tidak dilaksanakan secara ketat
karena adanya pengaruh manajemen atau pemegang saham ataupun pemilik
bank atau pejabat bank untuk mendahulukan pihak terafiliasi dalam penyaluran,
tetapi melalaikan pembayaran sehingga menyebabkan terjadinya tunggakan
angsuran pokok maupun bunga.
c. Sistim laporan audit yang menyatukan pelanggaran di dalam prosedur dan
pengelolaan kredit ke dalam laporan umum secara keseluruhan, misalnya
disatukan dengan laporan marketing, sumber daya dan lain-lain sehingga
apabila ditotal dan dibagi rata per item, akan memunculkan laporan hasil audit
yang baik.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003
tentang Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah, khusus untuk pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah kualitasnya ditetapkan menjadi 4 (empat) golongan
yakni lancar, kurang lancar, diragukan dan macet. Kemudian peraturan tersebut
dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah yang efektif mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2007.
Dalam Peraturan perubahan tersebut dijelaskan bahwa pengelompokan golongan
kualitas pembiayaan mudharabah ditetapkan menjadi 5 (lima) golongan kualitas
yakni:
1. Lancar atau kolektabilitas 1
2. Kurang lancar atau kolektabilitas 2
3. Diragukan atau kolektabilitas 3
4. Dalam perhatian khusus atau kolektabilitas 4
5. Macet atau koletabilitas 5
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan kualitatif bersifat komparasi. Komparatif karena bersifat
membandingkan strategi yang dimiliki oleh kedua bank syariah dalam menangani
risiko yang ditimbulkan dari produk pembiayaan mudharabah.
A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang dilakukan bersifat deskripsi-analitis, dimana tahap awal
dilakukan dengan cara mempelajari teori-teori yang berhubungan dengan tema peneliti,
kemudian menganalisis sisi praktis yang terdapat di bank yang menjadi objek
penelitian dan pada akhirnya menyimpulkan mengenai strategi manajemen risiko yang
paling efektif untuk menangani pembiayaan mudharabah yang berpotensi
menimbulkan pembiayaan bermasalah.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif-komparatif, yaitu suatu proses
penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu
fenomena sosial dan masalah manusia. Atau mengemukakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang
dan perilaku yang diamati.
Sedangkan berdasarkan tipe penyelidikannya, penelitian ini termasuk kategori tipe
studi komparasi, yaitu studi yang dilakukan apabila peneliti tertarik untuk mengetahui
perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya mengenai satu atau
beberapa variable.
Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif, karena data yang dianalisis tidak untuk
menerima atau menolak hipotesis (jika ada), melainkan hasil analisis itu berupa
deskripsi dari gejala-gejala yang diamati, yang tidak selalu harus berbentuk angka-
angka atau koefisien antarvariabel. Pada penelitian kualitatif pun bukan tidak mungkin
ada data yang kuantitaif.40
C. Jenis Data
Data yang digunakan untuk bisa menjawab perumusan masalah pertama,
―Seberapa besar peran manajemen risiko yang digunakan masing-masing bank
syari’ah dalam mengantisipasi pembiayaan bermasalah terhadap produk
pembiayaan mudharabah?” menggunakan data-data kualitatif yang dikumpulkan
melalui teknik wawancara. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan yang kedua,
―Diantara bank yang menjadi objek penelitian, manajemen risiko bank manakah
yang paling efektif untuk mengantisipasi pembiayaan bermasalah dari produk
pembiayaan mudharabah? peneliti menggunakan data kuantitatif, yaitu berupa
laporan keuangan masing-masing bank syariah di tahun 2009.
D. Sumber Data
Data diperoleh dari wawancara yang dilakukan dengan pihak divisi manajemen
risiko yang mengetahui dengan jelas kondisi manajemen risiko dan juga laporan
keuangan yang dikeluarkan oleh masing-masing bank. Untuk data yang diperoleh dari
laporan keuangan, peneliti memilih data-data yang menjadi fokus dalam penelitian ini,
yaitu data yang berkaitan dengan pembiayaan mudharabah dan Non Performing
Financing yang ada di dalamnya.
40
Subana dan Sudrajat. ―Dasar-dasar Penelitian Ilmiah‖ Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 17-18
E. Teknik pengumpulan data
Berdasar cara perolehannya, data penelitian ini menggunakan tiga metode, yaitu:
1. Penelitian kepustakaan (library research)
Kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data sekunder (Nur
Indrianto, Bambang S, 2002: 150). Penulis memperoleh informasi yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan penulis teliti yang berasal dari buku, jurnal, koran,
internet dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
2. Melalui teknik wawancara (indepth interview) kepada pihak yang memiliki
otoritas berkenaan dengan tema penelitian di bank masing-masing.
3. Studi Dokumentasi, merupakan data-data yang diperoleh melalui laporan
keuangan yang dikeluarkan oleh bank bersangkutan melalui jejaring (website)
utama masing-masing, www.bankmuamalatindonesia.com dan
www.banksyariahbukopin.com.
F. Analisis Data
Pertama-tama peneliti akan memaparkan hal-hal yang mempengaruhi strategi
manajemen risiko masing-masing bank syariah, baik secara internal maupun
eksternal di tahun penelitian, kemudian data yang diperoleh melalui teknik
pengumpulan data akan penulis paparkan sebagai bentuk manifestasi dari strategi
manajemen risiko masing-masing bank syariah, kemudian dari pemaparan data,
peneliti menganalisa efektifitas dari masing-masing strategi manajemen risiko bank
syariah masing-masing.
Adapun gambaran proses analisis data dapat terlihat seperti di bawah ini;
Gambar 3.3
BAB IV
Internal Eksternal
Data: Wawancara, Dokumentasi, Laporan
Keuangan, dll.
Analisa
Kesimpulan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mengacu kepada metodologi penelitian yang sudah dibahas di bab sebelumnya.
Peneliti pada bab ini akan mengungkapkan dan menganalisa berbagai macam strategi
yang telah digunakan oleh pihak bank untuk mengantisipasi terjadinya pembiayaan
bermasalah dari produk pembiayaan mudharabah, yang pada hakikatnya inheren
terhadap risiko pembiayaan.
Sebelum membahas tentang strategi masing-masing bank, alangkah baiknya penulis
mendeskripsikan bank syariah yang menjadi objek penelitian terlebih dahulu. Adapun
deskripsi bank tersebut adalah sebagai berikut;
1. Sejarah Singkat
a. PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk
Bank Muamalat didirikan pada tanggal 24 Rabiuts Tsani 1412H/1 November
1991 berdasarkan akta Nomor 1 tanggal 1 Nopember 1991 dari Yudo Paripurno,
S.H., Notaris di Jakarta. Akta pendirian tersebut telah disahkan oleh Menteri
Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. C2-
2413.HT.01.01.Th.92 tanggal 21 Maret 1992 dan telah diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia No. 34 tanggal 28 April 1992, Tambahan No. 1919A.
Pendirian bank ini digagas oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dengan dukungan Pemerintah
Republik Indonesia. Modal awal diperoleh dari sejumlah pribadi, pengusaha serta
pejabat muslim dengan nominal sebesar Rp 84 Miliar. Selain itu, tambahan modal
awal juga diperoleh dari masyarakat, sehingga melengkapi jumlah modal awal
menjadi total sebesar Rp 106 Miliar. Acara pengumpulan modal dilaksanakan di
Istana Presiden Bogor, Jawa Barat. Walaupun Bank Muamalat mulai didirikan
pada November 1991, akan tetapi Bank Muamalat baru mulai beroperasi pada
tanggal 27 Syawwal 1412 H/1 Mei 1992.
b. PT Bank Syariah Bukopin
PT Bank Syariah Bukopin dahulu bernama PT. Bank Persyarikatan Indonesia
(BPI), didirikan berdasarkan Akta Nomor 102 tertanggal 29 Juli 1990 dengan
nama PT. Bank Swansarindo Internasional yang dibuat dihadapan Dr. Widjojo
Wilami, SH., Notaris di Samarinda. Dalam perkembangannya, PT Bank
Persyarikatan Indonesia (BPI) yang merupakan bank umum tersebut kemudian
diakuisisi oleh PT Bank Bukopin, Tbk untuk dikembangkan menjadi sebuah bank
syariah yang kini menjadi PT Bank Syariah Bukopin (BSB).
Dalam praktiknya, PT Bank Syariah Bukopin mulai beroperasi dengan
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah setelah memperoleh izin
operasi syariah dari Bank Indonesia (BI) pada 27 Oktober 2008. Selanjutnya, pada
11 Desember 2008, PT Bank Syariah Bukopin diresmikan oleh M. Jusuf Kalla,
Wakil Presiden Republik Indonesia (periode 2004-2009). Komitmen penuh dari
PT Bank Bukopin, Tbk sebagai pemegang saham mayoritas diwujudkan dengan
menambah setoran modal dalam rangka untuk menjadikan PT Bank Syariah
Bukopin sebagai bank syariah dengan pelayanan terbaik.
Pada semester kedua 2009, tepatnya, 10 Juli 2009, melalui Surat Persetujuan
Bank Indonesia (BI), PT Bank Bukopin, Tbk telah mengalihkan Hak dan
Kewajiban Unit Usaha Syariah-nya ke dalam badan usaha PT Bank Syariah
Bukopin. Dalam bisnisnya, PT Bank Syariah Bukopin memposisikan sebagai bank
yang fokus pada pembiayaan usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan
segmentasi usaha pendidikan, kesehatan, konstruksi, dan perdagangan. Selain hal
tersebut, PT Bank Syariah Bukopin juga melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat (individu-individu) dan perusahaan-perusahaan yang ada di tanah air.
2. Perkembangan Kinerja Keuangan Bank Syariah Bukopin dan Bank
Muamalat Indonesia
Gambar 3.1
Kondisi Perkembangan Kinerja Keuangan Bank Syariah Bukopin
Sumber: Laporan Keuangan Bank Syariah Bukopin 2009
Seperti yang terlihat pada gambar 2.1, perkembangan Bank Syariah Bukopin,
walaupun dalam operasionalnya baru berjalan selama kurang lebih 2 tahunan, akan
tetapi jika dilihat dari kinerja keuangan yang dimilikinya mengindikasikan bahwa
bank ini memiliki manajemen yang tidak kalah bagus dibandingkan dengan bank-
bank syariah lain yang telah lebih lama berdiri.
Dari tahun 2008 total asset yang hanya sebesar Rp 606.055.020.734,- di tahun
2009 naik 225,87% menjadi Rp 1.974.947.633.237,-. Financing to Deposit Ratio
(FDR), yang terlihat dari total jumlah pembiayaan yang diberikan terhadap Dana
Pihak Ketiga (DPK) di tahun 2008 hanya sebesar 84,96%, di tahun 2009 naik
menjadi 100,62%. Ini mengindikasikan bahwa Bank Syariah Bukopin di tahun
2008 tidak menyalurkan seluruh dananya yang diperoleh dari sisi funding.
Sedangkan untuk kondisi di tahun 2009 sebaliknya, besaran FDR sebesar 100,62%
mengindikasikan bahwa Bank Syariah Bukopin selain telah menyalurkan seluruh
dananya yang diperoleh dari funding, justru lebih dari itu, Bank Syariah Bukopin
telah mengikutsertakan modalnya untuk membantu tambahan sumber untuk
pembiayaan.
Gambar 3.2
Kondisi Perkembangan Kinerja Keuangan Bank Muamalat Indonesia
Sumber: Laporan Keuangan Bank Muamalat Indonesia, 2009 (data diolah)
Untuk kinerja keuangan Bank Muamalat Indonesia, gambar di atas
mendeskripsikan bahwa asset bank ini dari tahun 2008 yang hanya sebesar Rp
12.610,85,- miliar naik menjadi 16.027,18 miliar. Akan tetapi sangat disayangkan,
naiknya besaran asset tidak diselarasi dengan naiknya Financing to Deposit Ratio,
bahkan FDR mengalami penurunan. Di tahun 2008 FDR Bank Muamalat mencapai
104.41% yang mengindikasikan bahwa proses intermediasi Bank Muamalat berjalan
lancar, akan tetapi di tahun 2009 FDR-nya justru turun sebesar 85.82%.
Tidak sampai di situ saja, selain dari sisi FDR yang mengalami penurunan sebesar
18.59%, ternyata dari sisi pembiayaan bermasalahnya (Non Performing Financing),
Bank Muamalat Indonesia mengalami peningkatan dari 3.85% di tahun 2008, naik
sebesar 0.25% menjadi 4.10% di tahun 2009.
3. Statistik Deskriptif Lancar dan Non Lancar Bank Syariah Bukopin dan
Bank Muamalat Indonesia
Tabel 3.1
Kolektibilias Pembiayaan Lancar dan Non Lancar Tahun Berjalan
Bank Muamalat Indonesia
(Dalam Miliar Rupiah) Pos Tahun 2006 Tahun 2007
Tahun 2008
Tahun 2009
a. Lancar 6.246.890 94.25% 8.362.907 97.04% 10.061.613 95.67% 10.887.455 95.27%
b. Non
Lancar 381.110 5.76% 255.093 2.96% 455.386 4.33% 540.544 4.73%
c. Total
Pembiayaan 6.628.000 100% 8.618.000 100% 10.517.000 100% 11.428.000 100%
Sumber: Laporan Keuangan BMI
Bank Muamalat Indonesia sebenarnya telah cukup lama beroperasi, yaitu dimulai
pada tahun 1992. Berkaitan dengan pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Muamalat
sendiri, dari tahun ke tahun (year on year) dari data di atas memperlihatkan bahwa
Bank Muamalat dalam melakukan pembiayaan mengalami kenaikan rata-rata sebesar
9.3%. Kondisi pembiayaannya yang dikategorikan sebagai pembiayaan lancar, dari
tahun ke tahun jika dilihat sisi nominalnya mengalami peningkatan terus-menerus,
selaras dengan total pembiayaan yang dilakukan, walaupun secara prosentase
berfluktuasi.
Sedangkan untuk kategori pembiayaan yang masuk dalam kriteria pembiayaan
Non Lancar, pembiayaan di tahun 2006 adalah tahun yang paling tinggi tingkat Non
Lancar nya dibanding dengan tahun lainnya, yaitu sebesar 5.76%, hal ini terjadi
dikarenakan faktor mikro dan makro yang tidak kondusif bagi pembiayaan bank
syariah.
Tabel 3.2
Kolektibilias Pembiayaan Lancar dan Non Lancar Tahun Berjalan
Bank Syariah Bukopin
Pos Tahun 2008 Tahun 2009
a.Lancar 146.729 97.73% 1.205.842 96.75%
b.Non
Lancar 18.664 2.27% 73.941 3.25%
c.Total
Pembiayaan 165.393 100% 1.279.783 100%
Sumber: Laporan Keuangan Bank Syariah Bukopin
Untuk Bank Syariah Bukopin yang pada tahun 2008 baru saja menjadi Bank
Umum Syariah (BUS), pembiayaannya mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, pada tahun 2008 hanya berkisar Rp 165.393 Miliar, di tahun 2009 telah
mencapai Rp 1.279.783 Miliar. Sedangkan pembiayaan yang kategorinya Lancar
mengalami penurunan, dari sebesar 97.73% di tahun 2008, turun sebesar 96.75% dan
pembiayaan Non Lancar nya pun naik hampir 1%, dari 2.27% di tahun 2008 menjadi
3.25% di tahun 2009.
4. Statistik Deskriptif Kolektibilitas Non Lancar Berdasarkan Jenis
Pembiayaan Bank Syariah Bukopin dan Bank Muamalat Indonesia.
Tabel 3.3 Kolektibilitas Pembiayaan Lancar dan Non Lancar BSB
Berdasarkan Portofolio
Kolektibilitas Pembiayaan Murabahah
Jumlah Lancar
Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
887.168.636.228 31.947.991.875 675.671.773.966 10.384.741.822 14.977.092.786
Kolektibilitas Pembiayaan Mudharabah
Jumlah Lancar
Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
375.246.162.497 315.697.290 556.441.975 - 4.298.683.730
Kolektibilitas Pembiayaan Musyarakah
Jumlah Lancar
Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
873.758.314.002 - - - -
Kolektibilitas Pembiayaan Qardh
Jumlah Lancar
Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
535.375.000 - - - -
Sumber: Laporan Keuangan Bank Syariah Bukopin 2009 (diolah)
Tabel 3.4 Kolektibilitas Pembiayaan Lancar dan Non Lancar BMI Berdasarkan
Portofolio
Kolektibilitas Pembiayaan Murabahah
Jumlah Lancar
Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
88.164.187.138 157.155.361 15.234.596 8.775.189 50.493.753
Kolektibilitas Pembiayaan Mudharabah
Jumlah Lancar
Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
1.324.534.483 37.422.255 5.627.504 13.451.517 17.824.603
Kolektibilitas Pembiayaan Musyarakah
Jumlah Lancar
Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
3.658.987.819 646.295.378 20.253.380 248.990.795 27.663.984
Kolektibilitas Pembiayaan Qardh
Lancar
Dalam Perhatian
Khusus Kurang Lancar Diragukan Macet
Jumlah 305.311.547 39.025 700.000 - 362.154
Sumber: Laporan Keuangan Bank Muamalat Indonesia 2009 (diolah)
A. Kondisi Internal dan Eksternal Bank Syariah
Yang dimaksud dengan kondisi internal dan eksternal dalam bahasan kali ini,
peneliti membatasi hanya pada periode penelitian, yaitu pada tahun 2009. Kondisi-
kondisi di bawah ini adalah kondisi dimana baik secara langsung maupun tidak
langsung memberi pengaruh terhadap strategi bank syariah dalam menangani risiko
pembiayaan mudharabah.
1. Internal
a. Bank Muamalat Indonesia
Fokus kebijakan pembiayaan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 2009
adalah meminimalisasi risiko kredit akibat dampak dari krisis dengan mengambil
langkah-langkah konsolidatif.41
Hal ini menyebabkan pertumbuhan yang tidak terlalu
besar pada sisi pembiayaan dibanding tahun sebelumnya.
Grafik 4.1 Perkembangan Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia
Bank Muamalat mencatat pertumbuhan sebesar 8,66 % yaitu dari Rp 10.517,86
miliar menjadi Rp 11.428,01 miliar pada akhir 2009. Bandingkan dengan periode
2006 sampai dengan akhir 2007 yang mengalami peningkatan mencapai 30,02%.
Walaupun begitu tingkat pembiayaan bermasalah bersih masih berada dalam batas
yang ditentukan, yaitu 4.10%.
Tahun 2009 adalah tahun transisi bagi kepengurusan di BMI untuk masa bakti
2009-2014. Bersamaan dengan kepengurusan yang baru, BMI yang awalnya
41
Laporan keuangan Bank Muamalat Indonesia tahun 2009
30,20%
8,66%
2006 2007 2008 2009
menetapkan fokus segmen bisnisnya hanya pada segmen ritel, diperluas menjadi tiga
segmen, yaitu ritel, korporasi dan tresuri.
b. Bank Syariah Bukopin
Awal tahun 2009, Bank Syariah Bukopin (BSB) baru beroperasi dengan pola
syariah dan baru mengkonversikan nasabah maupun sistemnya menjadi syariah. BSB
bersinergi dengan media massa dan mengikuti berbagai event untuk berpromosi. Mei
2009, dana masyarakat dan pembiayaan mulai tumbuh. Bahkan, pada Juli 2009,
ketika BSB melakukan spin off dengan menggabungkan UUS Bukopin ke dalam
BSB, posisi keuangan BSB meningkat dari sebelumnya hanya Rp 606,05 miliar
menjadi Rp1,70 triliun. BSB berhasil menutup tahun buku 2009 dengan mencetak
laba bersih Rp 831 juta, mengalami kenaikan 110,77% dari tahun sebelumnya yang
masih minus Rp 7,71 miliar.
Tabel 4.1 Aktivitas Bank Syariah Bukopin
2009
Januari Mei Juli Desember
Mengkonversi
nasabah maupun
sistem, menjadi
syariah
Fungsi
intermediary
BSB semakin
terlihat, dengan
meningkatnya
funding dan
financing.
Posisi keuangan
meningkat dari
sebelumnya hanya
Rp606,05 miliar
menjadi Rp1,70
triliun.
Laba bersih
mengalami
kenaikan 110,77%
dari minus Rp7,71
miliar menjadi
Rp831 juta.
Selama 2009, langkah besar yang dilakukan BSB meliputi beberapa hal berikut;
1) Pengembangan bisnis syariah dengan fokus kepada UMKM.
2) Melakukan spin off dengan memasukkan UUS Bukopin ke dalam BSB.
3) Memperkenalkan dan memperkuat positioning BSB kepada pasar.
4) Meningkatkan standar layanan dengan memperkuat TI, SDI, dan infrastruktur.
Selain itu, percepatan juga dilakukan, antara lain dengan memperkuat marketing
dan memperbanyak jaringan outlet serta meningkatkan kualitas business process,
mulai dari operasional, marketing, hingga business control dengan target
pertumbuhan bisnis overall sebesar 40%. Target ini ditunjang keyakinan bahwa
kondisi makro 2010 mulai membaik dan akan pulih kembali sehingga Indonesia
menjadi lebih baik.
2. Eksternal
Kondisi perdagangan yang terjadi di Indonesia menyulitkan pihak bank untuk
memonitor ataupun menganalisa laporan keuangan yang diberikan oleh pihak debitur,
karena di Indonesia berlaku assematric information, misalnya harga barang antara
satu lokasi dengan lokasi yang lain berbeda menimbulkan bank kesulitan dalam
menilai kebenaran besaran harga yang benar yang dilaporkan oleh nasabah. Hal ini
memungkinkan terjadinya kecurangan yang bisa dilakukan oleh pihak mudharib.
Tahun 2009 merupakan tahun yang penuh dinamika bagi industri perbankan
syariah. Dari sisi eksternal, dampak krisis sedikit banyak berimbas pada kinerja
sektor riil di Indonesia yang pada gilirannya berdampak pula pada perlambatan
akselerasi pertumbuhan bisnis bank syariah.
Perkembangan marketshare bank syariah belum banyak mengalami perkembangan
dan masih berada di bawah angka 10%, yakni sekitar 2,61%. Meski demikian, dari
sisi pembiayaan, secara nasional, perbankan syariah tetap mampu tumbuh sebesar
22,76% di akhir 2009 menjadi Rp 52,27 triliun dari Rp 36,85 triliiun pada tahun
2008. Jika dibandingkan dengan total pembiayaan perbankan nasional yang mencapai
Rp 1.437 triliun, perbankan syariah baru berkontribusi sebesar 3,26%.
Pada tahun ini juga, sistem keuangan global dan kawasan dapat dikatakan tidak
berjalan dengan baik. Beruntung, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh 4,3%.
Namun, pelaku bisnis sektor keuangan kembali diuji dengan kondisi krisis likuiditas.
Padahal, ketika itu, posisi perbankan sedang over likuid dengan posisi financing to
deposit ratio (FDR) rata-rata 70%.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, infl asi 2009 tercatat 2,78%. Rendahnya inflasi
pada 2009 sejalan dengan moderatnya pertumbuhan ekonomi, menguatnya nilai tukar
rupiah, menurunnya harga-harga komoditas dunia, dan menurunnya harga bahan
bakar minyak (BBM) dalam negeri.
Jika mengacu kepada hasil penelitian42
Septiana Ambarwati, bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi pembiayaan mudharabah ada 3 hal, yaitu sebagai berikut:
42
Septiana Ambarwati, Faktor – faktor yang mempengaruhi pembiayaan murabahah dan
mudharabah pada bank syariah di Indonesia, (Thesis S2 Program pasca sarjana, PSTT UI Jakarta.
2008)
1. Dipengaruhi secara signifikan oleh varibel pembiayaan murabahah (negatif)
Grafik 4.2 Pembiayaan Murabahah tahun 2009
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI 2009. (data diolah)
Untuk pembiayaan murabahah, di tahun 2009 Bank Muamalat
mengalokasikan dananya sebesar 40.16 %, sedangkan untuk pembiayaan
mudharabah sebesar 12.24%.
2. Tingkat bagi hasil (positif)
Grafik 4.3 Tingkat Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI 2009. (data diolah)
3. Non Performing Financing (NPF) tidak signifikan namun memiliki arah
hubungan negatif.
Grafik 4.4 Persentase Pembiayaan Bermasalah
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, BI 2009. (data diolah)
Maka, baik secara langsung maupun tidak, strategi manajemen risiko pembiayaan
mudharabah yang terdapat pada masing-masing bank juga dipengaruhi oleh ketiga
variable tersebut di atas.
B. Strategi Manajemen Risiko Bank Syariah
1. Bank Muamalat Indonesia
Usaha yang dilakukan oleh BMI dalam rangka meminimalisasi risiko yang
ditimbulkan dari pembiayaan mudharabah, antara lain:
a. Hasil penjualan/pendapatan dari bisnis yang dibiayai seluruhnya harus melalui
mekanisme mutasi rekening di bank sehingga dapat dengan mudah dikontrol
bersama dengan nasabah tanpa perlu klarifikasi lagi untuk memastikan
kebenaran data penjualan/pendapatan tersebut.
b. Menggunakan objek bagi hasilnya adalah revenue sharing.
c. Fasilitas mudharabah ini sebaiknya diberikan kepada nasabah yang sudah
eksisting dengan past performance yang tergolong prime customer dan telah
teruji bukan kepada new customer.
d. Sebaiknya bank membiayai suatu bidang usaha dengan kondisi sedang dalam
tahap pertumbuhan, bukan dalam tahap penurunan usaha sehingga jika dilihat
dari sisi product life cycle, produk dari bidang usaha tersebut harus sedang
dalam masa pertumbuhan juga bukan dalam masa pengenalan, kematangan dan
bahkan penurunan.
e. Sebaiknya bidang usaha yang dibiayai disesuaikan dengan kemampuan staf
marketing banknya dalam menguasai aspek-aspek teknis dari usaha tersebut.
f. Jangan memberikan fasilitas mudharabah kepada suatu perusahaan yang
tergolong start up company (baru memulai usaha).
g. Bidang usaha yang akan dibiayai harus telah diyakini benar dampak risikonya
(pilih usaha yang paling manageble risikonya).
h. Sedapat mungkin alur nasabah dikuasai oleh bank.
i. Memberikan covenant, yaitu jika realisasi objek bagi hasil tidak sesuai dengan
proyeksi, maka bank berhak ikut melakukan pengelolaan usaha tersebut
minimal aspek keuangannya.
j. Memonitor dengan baik keteraturan dan ketepatan waktu nasabah dalam
memberikan laporan objek bagi hasil sebagai ukuran bank dalam menilai aspek
character nasabah.
k. Me-review kebijakan pembiayaan dan manajemen risiko yang salah satunya
adalah dengan memperbarui alur persetujuan pembiayaan dengan memberikan
kewenangan kepada Divisi Manajemen Risiko ikut secara dini menentukan
apakah usulan pembiayaan dapat dilanjutkan atau tidak. Selain itu telah
dilakukan review terhadap kebijakan dan prosedur pembiayaan, salah satunya
adalah penyesuaian limit Persetujuan Komite Pembiayaan yang disesuaikan
dengan kondisi risiko serta target pertumbuhan bisnis Bank Muamalat.
2. Bank Syariah Bukopin
Sedangkan untuk Bank Syariah Bukopin (BSB) startegi yang dilakukan untuk
mengantisipasi munculnya pembiayaan bermasalah dari portofolio pembiayaan
mudharabah adalah;
a. BSB memanage risiko pembiayaan bukan berdasarkan project financing, atau
perportofolio pembiayaan yang dimilikinya, semisal pembiayaan mudharabah,
musyarakah dan lain sebagainya, akan tetapi berdasarkan company atau
nasabah yang akan dibiayai, misalnya berdasar analisis 5 C; capital, collateral,
condition, character dan capacity.
b. BSB memberikan perhatian yang lebih terhadap dua risiko yang sudah pasti ada
di bisnis perbankan untuk membantu proses pencegahan pembiayaan
bermasalah dari pembiayaan mudharabah, yaitu risiko pembiayaan dan risiko
operasional. Sedangkan untuk 6 risiko yang lain43
akan berjalan selaras dengan
hasil manajemen terhadap dua risiko ini—jika 2 risiko ini dapat dikelola dengan
baik, maka ke 6 risiko yang lainnya akan berjalan dengan baik pula. Oleh
karena itu pula dalam wawancara yang dilakukan dengan Bapak Tawakal
43
Enam Risiko yang lainnya tertuang dalam PBI No.5/8/PBI/2003. ―Tentang Kualitas Aktiva
Produkti Bagi Bank Syariah‖
Allaihi, Ketua Divisi Manajemen Risiko BSB mengatakan ―Risiko pembiayaan
dan risiko operasional adalah risiko yang terbesar. Di luar itu, kita punya
macam-macam risiko lagi, misalnya risiko hukum, risiko strategic, dan lain
sebagainya. Akan tetapi yang harus benar-benar kita maintenance adalah dua
risiko tadi. Dengan mengelola dua risiko tersebut, itu juga artinya kita
mengelola 8 risiko yang ditetapkan BI.‖44
c. Pihak Divisi Manajemen Risiko bank melakukan mapping terhadap
pembiayaan terdahulu yang telah dilakukannya. Kemudian dari situ dibuat
semacam Peringkat Risiko Pembiayaan Internal yang setiap bulannya
dikumpulkan, dianalisa dan kemudian dilaporkan kepada pihak manajemen
untuk kemudian diambil langkah kebijakan pembiayaan terhadap sektor-sektor
tertentu yang telah di mapping.
d. Bank Syariah Bukopin meng-grading calon nasabahnya berdasar profitability
yang diperoleh perusahaan setiap tahunnya, yaitu;
Tabel 4.2 Penilaian Risiko Nasabah
Berdasarkan Profitability Ratio
Kategori Persentase
Low Risk > 20%
Low to Medium Risk 10-20%
Medium to High Risk 5-10%
High Risk < 5%
44
Wawancara pribadi dengan Bapak Tawakal Allaihi, Selasa 13 Juli 2010
e. Karena BSB memiliki fokus pengembangan usaha pada sektor UMKM yang
notabene sering tidak bankable, maka untuk pembiayaan yang berada < Rp 500
juta, BSB melakukan kerjasama dengan beberapa BPRS dan BMT untuk
menjadi tangan panjang pembiayaan yang dilakukan, hal ini berkaitan erat
karena apabila BSB melakukan secara langsung pembiayaan tersebut kepada
UMKM yang berada pada plafon < Rp 500 juta, maka cost yang dikeluarkan
BSB justru akan lebih besar.
f. Untuk menghitung risiko pembiayaan yang ada, BSB menggunakan beberapa
variabel sebagai alat penghitungan;
1) Borrower Grade, yaitu sebuah data historical nasabah.
2) Manajemen perusahaan
3) Pendidikan calon nasabah
4) Komplain dari kolega calon nasabah
5) Bankchecking
6) Projection cashflow45
Dari semua data di atas kemudian dibuat scoring untuk masing-masing variabel
yang kemudian dijumlahkan untuk dibuat menjadi penghitungan risiko pembiayaan
yang terdapat pada calon nasabah.
45
Wawancara pribadi dengan Bapak Tawakal Allaihi, Selasa 13 Juli 2010
C. Komparasi Di antara Bank syariah
Hasil dari masing-masing strategi manajemen risiko yang dilakukan Bank
Muamalat dan Bank Syariah Bukopin tergambar pada laporan kolektibilitas untuk
pembiayaan mudharabah seperti di bawah ini;
Tabel 4.3
Pembiayaan Mudharabah Tahun 2009 Bank Muamalat
Berdasarkan kolektibilitas
Lancar Rp 1.324.534.483
Dalam Perhatian Khusus (DPK) Rp 37.422.255
Kurang Lancar Rp 5.627.504
Diragukan Rp 13.451.517
Macet Rp 17.824.603
Jumlah Rp 1.398.860.362
Diagram 4.1 Kolektabilitas Pembiayaan Murabahah BMI Tahun 2009
Sumber: Laporan Keuangan Bank Muamalat Indonesia Tahun 2009 (data diolah)
Total pembiayaan mudharabah pada tahun 2009 tercatat sebesar Rp 1.398,86
miliar atau turun 28,01% dibanding posisi tahun 2008 yang sebesar Rp 1.943,16
miliar dan berkontribusi terhadap 12.24% total pembiayaan.
Dari total pembiayaan sebesar Rp 1.398,86 miliar, 94,67% tergolong dalam
kategori Lancar, sedangkan sisanya 2,67% Dalam Perhatian Khusus (DPK), 0,4%
Kurang Lancar, 0,96% Diragukan dan 1,27% masuk dalam kategori Macet. Dari total
pembiayaan yang dilakukan mayoritas di arahkan ke sektor ekonomi jasa usaha yaitu
sebesar 82,20%. Dari sektor jasa usaha ini pula, pembiayaan yang tergolong lancar
dan macet memiliki sumbangsih paling besar.
Tabel 4.4
Pembiayaan Mudharabah Tahun 2009 Bank Syariah Bukopin
Berdasarkan kolektibilitas
Lancar Rp 78.428.016.758
Dalam Perhatian Khusus (DPK) Rp 315.697.290
Kurang Lancar Rp 556.441.975
Diragukan Rp 0
Macet Rp 4.298.683.730
Jumlah Rp 83.598.839.753
Diagram 4.2 Kolektibilitas Pembiayaan Mudharabah BSB Tahun 2009
Sumber: Laporan Keuangan Bank Syariah Bukopin Tahun 2009
Dari total pembiayaan sebesar Rp 83.598.893.753, sebanyak 93,81% dalam
kategori Lancar, sedangkan sisanya 0,38% Dalam Perhatian Khusus (DPK), 0,66%
Kurang lancar, 0% Diragukan dan 5,14 % Macet. Sedangkan sumbangan
kolektibilitas Macet terbesar dari pembiayaan mudharabah yang digunakan muncul
dari penggunaan modal kerja sebesar 5,14% sedangkan untuk investasi 0%.
D. Alur Pembiayaan Bank Muamalat dan Bank Syariah Bukopin
D.1. Alur Pembiayaan Bank Muamalat
CALON
NASABAH
ACCOUNT
MANAGER
SUPPORT
BUSINESS
MANAGER
KOMITE
PEMBIAYAAN
Surat
Pemohonan
Inisiasi &
Solisitasi
▪ Trade
checking
▪ Informasi
Pembeli/Penju
al/Bowheer/
Pesaing
▪ Verifikasi
Data /
Informasi
▪ Kunjungan
setempat
(OTS)
Kelengkapan
Data
▪ Analisa
Kelayakan
Pembiayaan
▪ Pembuatan
Memorandum
Usulan
Pembiayaan
(MUP) &
FPN
Review FPN
▪ Review
FPN
▪ Pemberian
Keputusan
▪ Penerbitan
Surat
Persetujuan
Pembiayaan
(SPP)
Penandatangan
an SPP
Penyampaian
SPP
▪ Bank
checking
▪ Taksasi
▪ Verifikasi
Data /
Informasi
▪ Analisa
Yuridis
▪ Opini Legal
▪ Taksasi
Review SPP
▪ Review FPN
▪ Pemberian
Keputusan di
cabang
Penerimaan
SPP
D.2. Alur Pembiayaan Bank Syariah Bukopin
INISIASI SOLISITASIANALISA &
EVALUASILAYAK ? Ya
ALUR PROSES PEMBIAYAAN
SELESAI
Tidak
PEMBUATAN
PROPOSAL
PENGAJUAN
OPINI RMG &
KEPATUHAN
KOMITE DISETUJUI ? Ya
Tidak
PERSETUJUAN AKAD
DOKUMENTASI
&
ADMINISTRASI
PENCAIRAN MONITORING LancarPELUNASAN
PENYELESAIAN
PEMBIAYAAN
BERMASALAH
Tidak
Ya
E. Efektivitas Manajemen Risiko Terhadap Pembiayaan Mudharabah
Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,
kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang
dicapai, makin tinggi efektivitasnya‖.46
Mengacu kepada ketetapan Bank Indonesia bahwa pembiayaan yang dikategorikan
dalam kategori performing financing adalah untuk kolektibilitas pertama (Lancar) dan
kedua (Dalam Perhatian Khusus), sedangkan untuk kategori non performing
financing adalah untuk kolektibilitas ketiga (Kurang Lancar), keempat (Diragukan),
dan kelima (Macet), maka untuk melihat efektivitas dari strategi manajemen risiko
46
http://dansite.wordpress.com/2009/03/28/pengertian-efektifitas/ diakses pada 2 Agustus 2010
masing-masing bank syariah untuk mencegah pembiayaan bermasalah (NPF) dapat
dilihat dari seberapa besar persentase performing financing yang dibukukan masing-
masing bank syariah.
Adapun data performing financing dari masing-masing bank syariah adalah
sebagai berikut;
Tabel 4.5
Performa Keuangan Bank Muamalat Indonesia Tahun 2009
Performa Keuangan Persentase
Performing Financing 97,36%
Non Performing Financing 2,64%
Tabel 4.6
Performa Keuangan Bank Syariah Bukopin Tahun 2009
Performa Keuangan Persentase
Performing Financing 94,19%
Non Performing Financing 5,81%
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa dari total pembiayaan mudharabah yang
dilakukan oleh masing-masing bank syariah, Bank Muamalat memiliki performing
financing yang lebih besar, yaitu sebesar 97,36% dan Bank Syariah Bukopin hanya
sebesar 94,19%. Hal ini menunjukkan bahwa strategi manajemen risiko yang
digunakan oleh Bank Muamalat untuk mencegah pembiayaan bermasalah pada tahun
penelitian lebih efektif dibandingkan dengan strategi yang dilakukan oleh Bank
Syariah Bukopin.
Selain itu, penilaian juga dapat dilakukan melalui penghitungan menggunakan
rumus Non Performing Financing (NPF), sebagai berikut;
Jadi Non Performing Financing Bank Muamalat Indonesia pada tahun 2009 adalah
sebagai berikut;
Sedangkan untuk Non Performing Financing Bank Syariah Bukopin pada tahun
2009 adalah sebagai berikut;
Adapun untuk kriteria-kriteria penggolongan kolektibilitas (Lancar, Dalam
Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet) mengacu pada peraturan
Bank Indonesia, khususnya lagi Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/22/DPbS
Tanggal 18 Oktober 2006 (terlampir).
Rumus NPF = Kurang Lancar, Diragukan dan Macet
Total pembiayaan
Rumus NPF = Rp 5.627.504 + Rp 13.451.517 + Rp 17.824.603
Rp 1.398.860.362 = 2,64%
Rumus NPF = Rp 556.441.975 + Rp 0 + Rp 4.298.683.730
Rp 83.598.839.753
= 5,81%
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Strategi manajemen risiko terhadap pembiayaan mudharabah sebagai langkah
preventif untuk mencegah pembiayaan bermasalah di Bank Syariah Bukopin
dan Bank Muamalat berbeda. Bank Muamalat Indonesia mengelola risiko
berdasar project financing (per produk), sedangkan Bank Syariah Bukopin
tidak mengelolanya berdasarkan produk pembiayaan yang dimilikinya, akan
tetapi berdasarkan analisa kinerja calon nasabah.
2. Fokus manajemen risiko terhadap project financing yang dilakukan oleh Bank
Muamalat Indonesia terbukti lebih efektif dibandingkan Bank Syariah Bukopin
yang dalam manajemen risiko terhadap pembiayaannya menitikberatkan pada
seberapa nilai kapabilitas calon nasabah. Ini terlihat dari lebih kecilnya Non
Performing Financing untuk pembiayaan mudharabah yang terdapat pada
Bank Muamalat yaitu sebesar 2,46% dibanding Bank Syariah Bukopin yang
lebih tinggi, yaitu sebesar 5,81%.
B. Saran
1. Objek penelitian tidak hanya menggunakan dua bank syariah, akan tetapi tiga
bank syariah untuk memberikan deskripsi yang lebih bagus terhadap hasil
penelitian.
2. Untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan atau mirip dengan penelitian yang
peneliti lakukan, alangkah lebih baiknya dalam proses penilaian nilai efektifitas
strategi manajemen risiko yang digunakan masing-masing bank syariah
menggunakan pendekatan penghitungan Model CreditRisk+.
3. Bank Syariah Bukopin seharusnya dalam melakukan strategi manajemen risiko
terhadap pembiayaan mudharabah menilainya berdasar project financing (per
produk pembiayaan), dengan harapan fokus manajemen risiko per produk
pembiayaan akan bisa mengurangi risiko yang dimunculkan dari pembiayaan
yang berskimkan mudhadarabah.