1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar
penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan
menggantungkan hidup serta penghasilannya dari usaha dibidang pertanian,
sehingga tanah pertanian merupakan sumber daya kehidupan dan memegang
peranan penting bagi kehidupan masyarakat. Dalam pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tertulis bahwa “bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.1
Tanah juga mempunya fungsi sosial yang di atur dalam Pasal 6 UUPA
dinyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal
tersebut mengandung pengertian bahwa semua hak atas tanah apapun yang ada
pada seseorang tidak bolehdigunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadinya tetapi penggunaantanah tersebut harus juga memberikan
kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat dan negara.
Hal tersebut ditegaskan dalam penjelasan umum fungsi sosial hak-hak
atas tanah mewajibkan hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan
sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya, sifatnya dan tujuan
pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dipelihara
1 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Tangerang, Interaksara, Hal 54.
2
dengan baik dan dijaga kualitas, kesuburan serta kondisi tanah sehingga dapat
dinikmati tidak hanya pemilik atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainnya.
Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga beban
dari setiap orang, badan hukum/instansi yang mempunyai suatu hubungan
hukum dengan tanah.Pengolahan tanah meliputi berbagai kegiatan fisik dan
mekanik tanah yang bertujuan untuk membuat media pekarangan tanaman lebih
baik.2
Namum pada asasnya tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan
sendiri secara aktif oleh yang mempunyai tanah (pasal 10 UUPA). Dalam
penjelasan (pasal 10) dijelaskan bahwa mengusahakan sendiri secara aktif tidak
berarti harus mengerjakannya sendiri namun bisa pula dengan menyewakannya
kepada orang lain. Salah satu prinsip dasar dari hukum agraria (UUPA) adalah
“Landreform” .Prinsip tersebut dalam ketentuan UUPA diatur dalam Pasal 10
Ayat (1) dan (2) yang memuat suatu asas yaitu, bahwa “tanah pertanian harus
dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri yang dalam
pelaksanaannya diatur dalam peraturan perundangan”. Untuk melaksanakan asas
tersebut maka diperlukan adanya ketentuan tentang batas minimal luas tanah yang
harus dimiliki oleh petani supaya dapat hidup dengan layak penghasilan yang
cukup bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
2Zelin amalia.2016 .Perjanjian bagi hasil tanah milik pertanian. Semarang vol.V No.2 Fakultas
Hukum.Unversitas Diponegoro .hal 34
3
Banyaknya masyarakat pedesaan yang berprofesi sebagai petani
terutama sebagai buruh tani.Buruh tani adalah orang yang bekerja dibidang
pertanian tetapi tidak mempunyai lahan sendiri, hanya menggarap lahan milik
orang lain untuk menerimaupah atas balas jasa yang diberikan Tingkat
kesejahteraan buruh tani adalah diukur dengan pendapatan buruh tani yang
diperoleh dari selisih antara penerimaan.3
Sistem pembayaran upah yang sudah menjadi tradisi di masyarakat
sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Dalam kerjasama ini terdapat
nilai-nilai sosial dan moral yang sangat dihormati oleh masyarakat seperti
tolong-menolong dan gotong royong. Adapun para pihak yang berakad dalam
sistem pembayaran upah ini adalah para pihak yang membentuk perjanjian
yaitu petani yang punya lahan dengan orang yang bekerja untuk menanam yang
sekaligus memanen.
Orang yang berhak mendapatkan upah adalah orang yang disuruh
langsung oleh pemilik lahan, dan kedua belah pihak sama-sama orang yang
baligh, berakal, dan cakap hukum, kaitannya dengan para pihak tidak ada yang
bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Selain itu dilihat dari segi
objek perjanjian yaitu pekerjaan menanam dan menuai tanaman palawija.4
Perjanjian dalam sistem pengupahan ini tergantung kesepakatan awal, jika yang
disuruh itu bisa melakukan pekerjaan awal yaitu menanam tanaman palawija
3https://id.wikipedia.org/wiki/Buruh_tani akses 2 januari 2018 4A.sartika 2013 .Analisa kesejahteraan Buruh Tani. Vol .2 Fakultas Ilmu Sosial Jurusan
kesejahteraan sosial.universitas Raden Intan. Hal.61
4
maka otomatis dia juga berhak atas pekerjaannya yang kedua yaitu
memanennya. Objek perjanjian dalam sistem pengupahan ini adalah pekerjaan
yang harus dilakukan oleh buruh yaitu menanam dan menuai. Waktu kerja yang
disepakati para pihak cukup jelas yaitu pada waktu menanam palawija dan
waktu panen. Jam kerja disesuaikan menurut luas sawah dan jumlah pekerja,
biasanya di mulai jam 07.00-15.00 sore.
Tidak ada waktu yang pasti berapa lama yang diperlukan akan tetapi
yang dipakai adalah kebiasaan masyarakat adat, pemilik lahan biasanya bisa
memperkirakan berapa orang yang akan menanami sawahnya sehingga tidak
memberatkan pekerjaan yang menanam. Hal itu diperbolehkan karena sudah
ada kesepakatan antara kedua belah pihak dan sudah sama-sama mengetahui
konsekuensinya. Pembayaran upah dalam sistem pengupahan ini tidak secara
jelas nominalnya, karena harus menunggu masa panen terlebih dahulu, dan
mereka belum mengetahui upah yang akan mereka dapatkan.5
Di beberapa daerah di Indonesia, sewa tanah pertanian dikenal dengan
beberapa istilah yang berbeda seperti di Tapanuli Selatan disebut "mengasi", di
Sumatera Selatan disebut "sewa bumi", di Kalimantan disebut "cukai" di
Ambon disebut "sewa ewang" dan di Bali disebut "ngupetenin". Untuk daerah
Sulawesi Selatan, sewa tanah pertanian dikenal dengan istilah "paje’".6
Umumnya praktek sewa menyewa tanah pertanian ini masih terjadi di daerah
5 Ibid, 6Fia s. aji. 2012.(kanwil badan pertanahan nasional provinsi gorontalo),hak sewa tanah
pertanian
Vol.2 No.4 Fakultas Hukum Universitas Gorontalo. Hal.22
5
pedesaan dan pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat masing-masing.
Hubungan antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada
adanya rasa saling percaya dan kejujuran antara keduanya, jadi tidak melalui
suatu proses formal untuk terjadinya suatu perjanjian sewa menyewa tanah
pertanian.Oleh karena itu pada saatnya hak sewa tanah pertanian akan
dihapuskan melalui suatu undang-undang, akan tetapi undang-undang yang
dimaksud hingga 53 tahun usia UUPA belum juga ada, sehingga meskipun
bersifat sementara hak sewa tanah pertanian ini tetap diakui eksistensinya.7
Hak sewa tanah adalah hak yang di beri wewenang dari penyewa kepada
penerima sewa untuk menggunakan tanah milik pemberi sewa dengan
kewajiban membayar uang sewa pada tiap –tiap waktu tertentu. Peraturan dasar
hak sewa di atur dalam pasal 44 dan 45 UUPA No.5 Tahun 1960. Dalam
hukum adat hak sewa sering disebut dengan “Jual Tahunan”.8
Hak sewa tanah pertanian sebagai salah satu hak yang bersifat sementara
dalam kenyataannya di masyarakat masih sering terjadi. Dimana dalam
masyarakat ada yang dikenal dengan sewa untuk tanah sawah dan sewa untuk
kebun. Yang membedakan antara kedua sewa tanah pertanian tersebut biasa
dari segi pembayaran uang sewa tanahnya yaitu sewa untuk sawah dibayar
depan sedangkan sewa untuk kebun dibayar belakang atau pembayaran
7Ibid, 8 Ibid,
6
dilakukan setelah panen, mirip dengan perjanjian bagi hasil dan dalam hukum
adat dikenal dengan sewa tanah hasil pertanian.9
Dalam rangka melindungi golongan petani (penggarap) atau buruh tani
yang terkadang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek golongan orang
yang kuat yang mengandung unsur exploitasi atau memeras golongan petani
lemah (buruh tani) maka pemerintah Indonesia mengatur tentang perjanjian
antara penggarap tanah dengan pemilik lahan melalui Undang-Undang No.2
Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang merupakan dasar
hukum untuk mengatur tentang pemilik lahan dengan penggarap lahan hal
tersebut mengatur agar para pihak tidak merasa di rugikan dan di untungkan
terhadap perjanjian bagi hasil terhadap tanah pertanian tersebut.
Perjanjian Bagi Hasil merupakan salah satu perjanjian yang berhubungan
tanah yang mana obyeknya bukan tanah namun melainkan segala sesuatu
yangada hubunganya dengan tanah atau yang melekat pada tanah seperti
tanaman-tanaman, hak mengerjakan, menggarap, atau menanami tanah tersebut,
dansebagainya. Materi Bagi Hasil tanah pertanian itu sendiri masuk dalam
ruang lingkup hukum tanah adat teknis, yaitu perjanjian kerjasama
yangbersangkutan dengan tanah tetapi yang tidak dapat dikatakan berobyek
tanah, melainkan obyeknya adalah tanaman10.dan dalam hal ini banyaknya
masyarakat tidak tahu tentang peraturan tanah tersebut yang mana banyak
9Ramia Syuhada. 2016, Perjanjian Sewa Tanah Perkebunan Kelapa Sawit ( Studi Kasus di
Kampung Harapan Bagan Sinembah Riau )FH-Univertsitas Sumatera Utara. Hal 24 10 Ter Haar Bzn,Asas-asas dan Susunan Hukum Adat , Terjemahan K. Ng Subekti Poesponoto,
(Jakarta : Pradnya Paramita, 1999), hal. 20
7
penggarap berpatokan dengan hukum adat terdahulu untuk di jadikan dasar
dalam perjanjian tersebut.
Penggunaan tanah pertanian milik orang lain diatur dalam Pasal 24
UUPA yang menentukan bahwa penggunaan tanah yang bukan miliknya
dibatasi dandiatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Pasal 24
UUPA merupakan pengecualian dari Pasal 10 UUPA yang menentukan bahwa
setiaporang atau badan hukum yang mempunyai pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif,dengan
mencegah cara-cara pemerasan. Pengelolaan tanah oleh bukan pemiliknya
dapat dilakukan melalui gadai,usaha bagi hasil, menumpang, dan sewa
tanahpertanian sebagaimana di atur dalam Pasal 16 ayat (1) butir H dan Pasal
53 ayat (1) UUPA. Pasal 58 UUPA diatur bahwa selama peraturan perundang-
undanganini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik tertulis maupun
tidak tertulis yang berkaitan dengan bumi,air, kekayaan alam dan hak atastanah
yang ada mulainya berlakunya undang-undang ini tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini.11
Perjanjian bagi hasil ini merupkan suatu kerja sama dengan kesepakatan
antara dua belah pihak yang saling suka dan tidak ada unsur paksaan.Untuk
mencapai suatu kata kesepakat bagi hasil ini adalah undang-undang No.2 tahun
1960 tentang Perjanjian Bagi hasil dalam bidang pertanian yang mengatur
11 Nurmadany rizka.2013.Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Kecamatan
Bulakumba Kabupaten Brebes Jawa TengahJurnal Hukum Perdata Vol. 21 Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang.
8
mengenai berjalannya perjanjian tanah pertanian, namun dalam kenyataannya
di lapangan tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Proses musyawarah juga di
tentukan secara tegas yaitu di lakukan secara langsung antara pemilik tanah dan
penggarap tanah, dengan di pimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.12
Contoh perjanjian bagi hasil dalam bidang pertanian di daerah
minangkabau (Sumatera Barat) perjanjian bagi hasil di kenal dengan istilah
“memperduai” atau “babuek sawah urang” dalam kenyataannya dilakukan
secara lisan di hadapan kepala adat. Imbangan hasil tergantung pada kesuburan
tanah,penyedia bibit, jenis tanaman dan sebagainya. Apabila bibit disediakan
oleh pemilik tanah maka hasilnya di bagi dua antara pemilik tanah dan
penggarap tanah tanpa memperhitungkan nilai, benih serta pupuk lain halnya
apabila tanah kering atau sawah di Tanami palawija, dimana pemilik tanah
menyediakan bibit dan pupuk, maka hasilnya di bagi dua, akan tetapi
memperhitungakan harga bibit dan pupuk perjanjian ini disebut dengan “sadua
bijo”.13
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian
BagiHasil maka pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah antara para pihak
harusdidasarkan pada pembagian yang adil. Selain itu hak dan kewajiban kedua
belahpihak juga tercantum dalam Undang-Undang tersebut. Khususnya yang
berkaitandengan terjaminnya kedudukan hukum yang layak bagi para
12 H.Abdurrahman, 1993,dalam kumpulan tulisan untuk mengenang teuke mohammad Radhie,
universitas tarumanegara,Setara Press.Hal 49 13 Ibid,
9
penggarap. Namun dalam prakteknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
tentangPerjanjian Bagi Hasil ini tidak sepenuhnya diterapkan oleh para pihak
dalamperjanjian bagi hasil tanah pertanian tersebut, melainkan para pihak
tersebutmenggunakan kebiasaan atau hukum Adat dalam pelaksanaannya.
Sebagai contohbentuk perjanjian yang seharusnya dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960tentang Perjanjian Bagi Hasil dibuat dalam bentuk tertulis
di hadapan Kepala Desa,hal tersebut berbanding terbalik dengan praktiknya
karena pada umumnyaperjanjian tersebut yang dilaksanakan dalam bentuk tidak
tertulis dan kesepakatan antara kedua belah pihak.14
Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan hukum di
mana pemilik tanah karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri
tanahnya, tetapi ingin mendapatkan hasil atas tanahnya. Dengan kata lain,
perjanjian bagi hasil, adalah suatu bentuk perjanjian antara penggarap, di mana
penggarap diperkenankan mengusahakan tanah itu dengan pembagian hasilnya
antara penggarap dengan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan
yang telah disetujui bersama. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dapat terjadi
pada pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak Gadai, dan dalam praktek dapat
juga diatas tanah lungguh atau tanah bengkok.15
Di wilayah Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang,
masih banyak dilaksanakan atau dilakukan perjanjian usaha Bagi Hasil untuk
14Eko Bayu setiawan SH. 2014 pelaksaan perjanjian bagi hasil dalam bidang pertanian,
Fakultas Hukum.UMM Malang. Hal 3 15Riski Olivia Citra Dewi,2011,Aspek Keadilan Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Di Ds Sedah Kec.Jenangan Kab. Ponorogo,FH-UMS,Volume 2 Hal.21
10
tanah-tanah pertanian. Perjanjian penggarapan tanah pertanian dengan Bagi
Hasiltersebut telah dilaksanakan dimulai sejak dahulu bahkan sudah turun-
temurundari generasi ke generasi selanjutnya.Perjanjian usaha bagi hasil tanah
pertanian di selama ini di Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten
Malangberdasarkan kepercayaan dan kesepakatan antara petani penggarapdan
pemilik tanah kepercayaan inilah modal utama bagi seorang penggarapuntuk
dapat ijin mengelola tanah pertanian yang bukanmiliknya, denganobyek
perjanjian yakni tanah pertanian, dan semua yang melekat pada tanah.
Berdasarkan uraian di atas,maka penulis akan menyusun skripsi ini dengan
judul “Pelaksaan perjanjian Bagi Hasil Dalam Bidang Pertanian Ditinjau
Dari Undang-Undang No 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil
(Studi Desa PandansariLor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang
Provinsi Jawa Timur)”
Di mana hal ini didalam praktek terdapat kendala-kendala dan kesulitan-
kesulitan yang di sebabkan oleh berbagai faktor, yakni antara lain kurangnya
kesadaran hukum dan pengetahuan dari berbagai pihak yang berkepentingan
atas perjanjian tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarakan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
11
1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian bagi hasil dalam bidang pertanian
di Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang Provinsi
Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960?
a) Bagaimana bentuk perjanjian bagi hasil tanaman palawija di Desa
Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang Provinsi
Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960?
b) Siapa saja pihak-pihak yang termasuk dalam perjanjian bagi hasil di
Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang
Provinsi Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960?
c) Berapa lama jangka waktu dalam perjanjian di Desa Pandansari Lor
Kecamatan Jabung Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960?
d) Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian bagi
hasil di Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang
Provinsi Jawa Timur ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960?
2. Apa faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan perjanjian bagi hasil
pertanian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 di Desa
Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang Provinsi Jawa
Timur?
12
C. Tujuan Penulisan
Dari penulisan hukum yang akan dilakukan oleh penulis maka ada
beberapatujuan yang ingin dicapai,yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui seberapa efektif pelaksaan perjanjian bagi hasil
dalam bidang pertanian di Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung
Kabupaten Malang Provinsi jawa Timur di tinjau dari Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960. Dan juga mengetahui tentang bentuk perjanjian
bagi hasil,hak dan kewajiban penggarap dan pemilik lahan,jangka waktu
perjanjian bagi hasil serta hasil imbangan hasil dari perjanjian bagi hasil
tanah pertanian.
2. Untuk mengetahui faktor dan alasan yang menjadi penghambat
pelaksaan perjanjian bagi hasil pertanian menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 di Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung
Kabupaten Malang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan-
kepentingan sebagai berikut:
1. Manfaat akademis
Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis mauapun praktisi serta
masyarakat umum untuk memberikan pengetahuan bagi masyarakat luas
mengenai peraturan-peraturan yang telah di buat sedemikian rupa akan tetapi
13
kurang efektifitas dalam realitanya, mulai dari hal-hal yang terjadi dalam
perjanjian bagi hasil di bidang tanah pertanian di Desa Pandansari Lor
Kecamatan Jabung Kabupaten Malang.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi pengembang ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum
pada khususnya terutama Hukum Administrasi Negara tentang aspek
keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Pandasari
Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang.
b. Sebagai wawasan dan pengetahuan maupun wacana keilmuan tentang
penegakan hukum terhadap perjanjian bagi hasil dalam bidang
pertanian di Desa Pandasari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang.
3. Bagi masyarakat
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dasar kepada masyarakat
tentang perjanjian bagi hasil dalam bidang pertanian.
4. Kegunaan Penelitian
Dengan tercapainya penelitian hukum ini,maka penulis berharap penelitian
ini memberikan dampak beberapa dampak positif yang di antaranya ialah :
A. Bagi Penulis
Penulisan hukum ini di buat dengan harapan dapat memberikan manfaat
tambahan pengetahuan pihak-pihak yang membacanya mengenai
14
Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Pada Tanaman Palawija
Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian
Bagi Hasil (Studi di desa Pandansari Lor Kec.Jabung Kab.Malang. Di
samping itu, Kegunaan yang didasarkan pada alasan subjektif penulis dalam
melakukan penelitian hukum ini ialah berguna sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang.
B. Bagi Masyarakat
Penelitian hukum ini di buat dengan harapan dapat memberikan
informasi dan edukasi hukum terhadap Pelaksanaan Bagi Hasil Tanah
Pertanian Pada Tanaman Palawija Kaitannya dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil (Studi di desa
Pandansari Lor Kec.Jabung Kab.Malang) khususnya masyarakat umum yang
desa Pandansari Lor.
E. Metode penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian Hukum sosiologis empiris, dengan
menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu metode pendekatan yang
mengkaji terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
perjanjian bagi hasil yang terjadi di masyarakat dan mengapa Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tidak efektif dalam
pelaksanaannya.
15
1. Metode Pendekatan
Metode yang di gunakan adalah yuridis sosiologis,artinya suatu penelitian
yang di lakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan
masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding),
yang kemudian menuju pada identifikasi (problem-identifikasi) dan pada
akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah (problem-solution).16Jadi secara
yuridis perjanjian bagi hasil dalam bidang pertanian di Desa Pandansari Lor
Kecamatan Jabung Kabupaten Malang dikaitkan dengan Undang-Undang No.2
Tahun 1960 kemudian secara sosiologis perjanjian bagi hasil dalam bidang
pertanian di Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang di
kaitkan ke dalam masyarakat.
2. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pandansari Lor Kecamatan Jabung
Kabupaten Malang dengan pertimbangan bahwa adanya kesenjangan antara
Undang-Undang No.2 Tahun 1960 Tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian dengan
keadaan dan fakta yang ada di lapangan serta sering terjadinya manipulasi hasil
panen yang di lakukan oleh pemilik tanah serta kurang memahaminya sistem
undang-undang ini sehingga banyak di monopoli sendiri oleh pemilik tanah.
16 Fakultas Hukum UMM,Pedoman Penulisan Hukum, 2016 ,hal 18
16
3. Jenis data yang digunakan
a) Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil penelitian lapang atau bahan yang
diperoleh dari sumbernya secara langsung dari responden17 mengenai
pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian pada tanaman palawija.
b) Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari studi dokumen selama penelitian seperti
buku-buku Agraria dan Hukum Adat, perundang-undangan mengenai
perjanjian bagi hasil yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Keputusan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211 Tahun 1980-No.
714/Kpts/Um/9/1980, tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi PresidenNomor
13 Tahun 1980, serta dokumen-dokumen yang diperoleh dari Desa Pandansari
Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang.
c) Data Tersier
Jenis data mengenai pengertian baku bahan hukum yang dapat menjelaskan
baik bahan hukum primer maupun sekunder yang di peroleh dari Ensiklopedia
kamus,Grossary dan lain lain.18
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
17 Ibid, 18 Ibid,
17
a) Teknik Pengumpulan Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari lokasi penelitian atau
data yang bersumber dan berasal dari informan yang berkaitan dengan
perjanjian bagi hasil.
1) Wawancara
Wawancara adalah wawancara dengan menggunakan daftar
pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya (Sulistyo-Basuki, 2006: 171).
Peneliti harus mengajukan pertanyaan yang sama dengan urutan yang
sama kepada semua responden agar menimbulkan tanggapan yang sama
sehingga tidak menimbulkan kesulitan pengolahan karena interpretasi
yang berbeda. Wawancara terstruktur dirancang sama dengan kuesioner,
hanya saja bukan pertanyaan tertulis yang diajukan tetapi pertanyaan lisan
yang dilakukan oleh seorang pewawancara yang merekam jawaban
responden.19
Wawancara dilakukan oleh peneliti bila peneliti mengetahui secara jelas
dan terperinci informasi yang dibutuhkan dan memiliki satu daftar
pertanyaan yang sudah ditentukan atau disusun sebelumnya yang akan
disampaikan kepada responden. Pewawancara memiliki sejumlah
pertanyaan yang telah disusun dan mengadakan wawancara atas dasar atau
panduan pertanyaan tersebut. Ketika responden merespon atau memberikan
19Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, ( Diktad), Surakarta: Program
Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2002, hlm. 1
18
pandangannya atas pertanyaan yang diajukan, pewawancara mencatat
jawaban tersebut. Kemudian pewawancara melanjutkan pertanyaan lain
yang sudah disusun atau disediakan. Pertanyaan yang sama kemudian akan
ditanyakan kepada setiap orang responden dalam peristiwa yang sama.
Pewawancara meminta reponden menjelaskan jawabannya secara
mendalam. Promping adalah upaya untuk menjamin responden telah
memilih sejumlah kemungkinan sebelum menjawab pertanyaan.
2) Dokumentasi
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang
berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk
surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan
sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga
memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah
terjadi di waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa
macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian,
memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan
flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain.
4.TeknikAnalisis Data
Teknik analisa data deskriptif kualitatif adalah peneliti memaparkan
data yang didasarkan pada kualitas yang relevan dengan permasalahan20
yang di bahas dalam penulisan penelitian ini berkaitan dengan ruang
20 Fakultas Hukum UMM, Pedoman Penulisan Hukum,2016 halaman 16
19
lingkup perjanjian bagi hasil serta prosedur pelaksanaan perjanjian bagi
hasil yang di lakukan di Desa Pandasari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten
Malang dengan menguariakn data secara bermutu dalam bentuk kalimat
yang teratur,runtut,logis. Tidak tumpang tindih dan efektif sehingga
memudahkan dalam pemahaman dan interpretasi data.
F. Sistematika penulisan
Untuk memudahkan penulisan hukum ini, sistematika yang digunakan
penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, penulis akan menguraikan mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan hukum
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan menguraikan mengenai kajian pustaka dan teori yang
berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti serta kerangka pemikirannya,
antara lain membahas mengenai Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian, hak dan
kewajiban antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai yang diatur dalam
Undang–undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah
Pertanian.
20
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan
sebagai jawaban atas perumusan masalah yaitu, apakah bentuk, lamanya jangka
waktu, dan berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa
Pandansari Lor Kecamatan Jabung Kabupaten Malang Sudah sesuai dengan
Peraturan Perundang–Undangan. Dan apakah imbangan pemilik tanah dan
penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Pandasari Lor
Kecamatan Jabung Kabupaten malang sudah memenuhi unsur keadilan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang ditujukan pada pihak-
pihak terkait dengan permasalahan penelitian