1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Isu terorisme menjadi sebuah isu yang menggemparkan keamanan dunia
internasional sejak tragedi runtuhnya gedung WTC (World Trade Centre) yang
terjadi pada tanggal 11 September 2001. Runtuhnya gedung World Trade Centre
di New York akibat serangan teroris, kini dilihat banyak pihak sebagai defining
moment yang mengakhiri era perang dingin. (Sukma, 2003) Aksi teror merupakan
sebuah kata yang berarti upaya menciptakan ketakutan, kengerian atau kekejaman
oleh seseorang, kelompok atau golongan. Hal ini menunjukkan bahwa dunia
internasional tidak lagi fokus dalam memperhatikan perang ideologi yaitu
pertentangan antara Barat dan Timur (Liberalisme dan Komunisme) yang telah
terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945, akan tetapi saat ini dunia
internasional mulai fokus untuk melakukan perang terhadap terorisme yang mana
tindakan terorisme ini dianggap sebagai salah satu pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM).
Aksi teror merupakan sebuah kata yang berarti upaya menciptakan
ketakutan, kengerian atau kekejaman oleh seseorang, kelompok atau golongan.
(Mardenis, 2011) Aksi teror yang dilakukan merupakan tindakan-tindakan yang
mengancam keselamatan jiwa orang lain sehingga mengakibatkan timbulnya rasa
takut dan rasa tidak aman. Berbagai aksi teror yang telah terjadi menyebabkan isu
teroris merupakan salah satu ancaman bagi dunia internasional, dilakukan oleh
orang, kelompok atau golongan tertentu. Salah satunya adalah aksi serangan
teroris yang terjadi dalam tragedi WTC pada tanggal 11 September 2001, tentu
saja aksi serangan teroris ini telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, martabat
bangsa, dan norma-norma agama.
UPN "VETERAN" JAKARTA
2
Adanya tindakan teror ini sama halnya dengan hancurnya cita-cita
manusia untuk hidup berdampingan secara damai dengan bangsa-bangsa lain.
Aksi serangan teroris juga semakin meningkat di negara-negara eropa, asia, dan
afrika sejak tragedi runtuhnya gedung WTC. Peningkatan aksi teror yang telah
terjadi di berbagai negara telah banyak memberikan dampak negatif bagi
perkembangan dan pembangunan sebuah negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa
aksi terorisme ini ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa yang
menunjukkan gambaran dari berbagai jenis kejahatan, khususnya kejahatan
kekerasan, kejahatan terorganisasi, dan kejahatan yang tergolong luar biasa
(extraordinary crime).
Terorisme sebagai salah satu jenis dari Activities of
Transnational/Criminal Organizations merupakan kejahatan yang ditakuti karena
ancaman dan akibat yang ditimbulkan cukup luas. Ancaman tersebut meliputi
ancaman terhadap kedaulatan negara, masyarakat, individu, stabilitas nasional,
nilai-nilai demokratis dan lembaga-lembaga publik, ekonomi nasional, lembaga
keuangan, demokratisasi, privatisasi, dan juga pembangunan. Akibat dampak
yang ditimbulkan oleh aksi serangan terorisme ini, maka terorisme bukan lagi
dianggap sebagai bentuk kejahatan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan
kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against
peace and security of mankind). (Kusumah, 2002)
Akibat dipicu oleh serangan teroris terhadap Amerika Serikat dan juga
aksi serangan teroris lainnya yang terjadi di berbagai wilayah belahan dunia
termasuk yang terjadi di Indonesia, mengakibatkan respon terhadap terorisme ini
hadir dalam bentuk pembaharuan terhadap kebijakan keamanan (security policy)
masing-masing negara. Serangan-serangan yang dilakukan teroris dianggap
sebagai serangan terhadap kemerdekaan dan peradaban, pembaharuan terhadap
kebijakan keamanan (security policy) merupakan sebagai bagian dari meluasnya
dan mendalamnya konsep keamanan di seluruh dunia.
Sejak runtuhnya WTC dan Pentagon, Amerika Serikat memfokuskan diri
untuk memerangi gerakan islam radikal dan teroris, mereka meyakini bahwa Al-
Qaeda membentuk basis pergerakannya di Asia Tenggara, beberapa negara yang
UPN "VETERAN" JAKARTA
3
dijadikan sel-sel pelatihan yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
(Vaughn, 2009)
Banyaknya aktivitas terorisme yang merupakan mitra dari jaringan teroris
Al-Qaeda yang telah menyerang Amerika Serikat, maka Asia Tenggara sempat
ditunjuk sebagai „front kedua‟ oleh Amerika Serikat dalam Perang Global dalam
Melawan Teror setelah Afghanistan dan Timur Tengah, sebuah label yang
dilekatkan oleh Amerika Serikat melihat keberadaan jaringan-jaringan teroris Al-
Qaeda yang aktif di wilayah Asia Tenggara.
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara sendiri mengakui bahwa
ancaman dari terorisme ini merupakan hal yang serius bagai keamanan kawasan di
Asia Tenggara. Asia Tenggara dianggap sebagai satu kawasan yang berpotensi
menyimpan radikalisme dan terorisme. Salah satu yang menyebabkan pandangan
tersebut adalah keberadaan jaringan kelompok radikal, Al-Qaeda yang telah
memperkuat jaringan regionalnya di kawasan Asia Tenggara. Jaringan radikal ini
memiliki tujuan dan ideologi transnasional dan anti baratnya, adapun tujuannya
adalah untuk mendirikan kekhalifahan atau negara Islam di kawasan Asia
Tenggara, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina.
Implikasi yang lebih jauh lagi yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika
PBB resmi menyatakan bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai
Organisasi Teroris Internasional. Keputusan PBB tersebut mempengaruhi Asia
Tenggara, di mana selama ini Amerika Serikat selalu menekankan bahwa Jamaah
Islamiah merupakan perpanjangan tangan jaringan teroris Al-Qaeda.
Menurut Rohan Guraratna lebih banyak kelompok ekstrimis yang
dipandang lebih mendekati gerakan terorisme, diantaranya: MILF (Moro Islamic
Liberation Front), Abu Sayyaf Goup (ASG) di Filipina, Laskar Jundullah di
Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia, Jemmah
Salafiyah (JS) di Thailand, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO)
dan Rohingya Solidarity Organization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh dan
Jemaah Islamiyah di Australia. (Gunaratna, 2006) Semua gerakan ekstremis
UPN "VETERAN" JAKARTA
4
tersebut aktif dan menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai daerah operasinya
untuk melakukan aksi-aksi terornya.
Di wilayah Filipina kelompok yang dianggap radikal adalah Moro Islamic
Liberation Front (MILF) dan kelompok Abu Sayyaf, kedua kelompok ini
bertujuan untuk mendirikan negara Islam independen terutama di propinsi-
propinsi dengan mayoritas penduduknya menganut agama Islam yaitu di daerah
Mindanao Selatan. Dalam konteks politik Al Qaeda dianggap telah
memberikandukungan ideologis, finansial dan operasional terhadap jaringan
kelompok radikal di wilayah Asia Tenggara, seperti Moro Islamic Liberation
Front (MILF) dan Abu Sayyaf Group (ASG) di Filipina, Jemaah Salafiyah (JS) di
Thailand dan Laskar Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia
(KMM) di Malaysia, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan
Rohingya Solidarity Organisation (RSO) di Myanmar dan Bangladesh.
Semua kelompok radikal yang berada di kawasan Asia Tenggara tersebut
merupakan mitra yang berada di bawah pengawasan dan dukungan kelompok
teroris jaringan Al Qaeda yang berada di Afghanistan. Bantuan finansial, dan
operasional serta tujuan ideologis yang sama menunjukkan serangan teroris yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal ini tidak dibatasi oleh batas-batas
negara. Al Qaeda kemudian menyerukan pembentukan World Islamic Front for
Jihad against the Jews and The Crusaders pada bulan februari 1998, dan
menjadikan front perlawanan ini sebagai jalur koordinasi utama bagi kelompok-
kelompok perlawanan Islam di seluruh dunia. (Gunaratna, 2006, hal. 2)
Kelompok radikal di Asia Tenggara mengadaptasi taktik dan ideologi Al
Qaeda, sehingga dengan banyaknya kelompok radikal dan militant yang memiliki
ideologi dan tujuan yang sama maka kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan
yang penuh dengan kelompok radikal yang aktif untuk melakukan operasi teror
untuk melawan kekuatan barat di kawasan Asia Tenggara. Adapun aksi teror dari
aktivitas kelompok radikal dan militant yang berada di kawasan Asia Tenggara
adalah kasus Bom Bali, dan Bom kedubes Australia di Indonesia, Rencana
pengeboman bandara Changi di Singapura, konflik kekerasan di Filipina Selatan
UPN "VETERAN" JAKARTA
5
dan berbagai aksi teror yang berada di negara-negara lain yang berada di kawasan
Asia Tenggara lainnya.
ASEAN sebagai institusi regional yang bertujuan untuk meningkatkan
kerja sama antara negara-negara yang berada kawasan di Asia Tenggara melihat
bahwa aksi teror yang telah terjadi di kawasan Asia Tenggara merupakan hal yang
harus disikapi dengan serius. Oleh karena hal tersebut maka negara-negara
dikawasan Asia Tenggara segera memperhatikan kebijakan keamanannya baik
dalam bentuk kerja sama keamanan kawasan melalui ASEAN Political Security
Community yang telah disepakati bersama oleh sesama anggota ASEAN. Masing-
masing negara anggota ASEAN memandang bahwa teroris merupakan salah satu
ancaman yang dapat mengganggu kestabilan kawasan dan mengganggu dalam
mewujudkan visi ASEAN Community 2015. Hal ini dapat dilihat dari tindakan
yang diambil ASEAN dengan melakukan Deklarasi Tindakan Bersama Untuk
Kontra-Terorisme yang dibuat setelah KTT ASEAN di Brunei, November 2001.
Indonesia sebagai negara anggota ASEAN pada awalnya melihat peristiwa
terorisme yang terjadi pada 11 Sepetember 2001 sebagai masalah Amerika bukan
masalah Asia. Aksi terorisme pada peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober
2002 dan dilanjutkan dengan aksi teror Bom JW Marriot pada tahun 2003,
membuat negara-negara di Asia memiliki pandangan yang sama dalam melihat
terorisme sebagai masalah keamanan dalam negeri yang sangat serius. (Lestari,
2012)
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara sendiri mengakui bahwa
ancaman dari terorisme ini merupakan hal yang serius bagai keamanan kawasan di
Asia Tenggara. Asia Tenggara dianggap sebagai satu kawasan yang berpotensi
menyimpan radikalisme dan terorisme. Salah satu yang menyebabkan pandangan
tersebut adalah keberadaan jaringan kelompok radikal, Al-Qaeda yang telah
memperkuat jaringan regionalnya di kawasan Asia Tenggara. Jaringan radikal ini
memiliki tujuan dan ideologi transnasional dan anti baratnya, adapun tujuannya
adalah untuk mendirikan kekhalifahan atau negara Islam di kawasan Asia
Tenggara, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina.
Implikasi yang lebih jauh lagi yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika
UPN "VETERAN" JAKARTA
6
PBB resmi menyatakan bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai
Organisasi Teroris Internasional. Keputusan PBB tersebut mempengaruhi Asia
Tenggara, di mana selama ini Amerika Serikat selalu menekankan bahwa Jamaah
Islamiah merupakan perpanjangan tangan jaringan teroris Al-Qaeda.
Pada KTT ke-12 ASEAN yang berlangsung di Cebu, Filipina, masing-
masing negara anggota ASEAN semakin kuat untuk mewujudkan ASEAN Vision
2020 yang kemudian dipercepat menjadi ASEAN Community 2015 dengan
menandatangani “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of
an ASEAN Community by 2015”, yaitu ingin menciptakan kawasan Asia Tenggara
yang memiliki keamanan, stabilitas, dan perdamaian khususnya sesama negara
anggota ASEAN dan umumnya perdamaian di dunia. Kejahatan terorisme yang
merupakan kejahatan transnasional, yang artinya bahwa aksi yang dilakukan
terorisme ini sudah tidak dibatasi oleh negara, melainkan aksi ini sudah bersifat
antar negara yang memberikan dampak negatif tidak hanya bagi keamanan suatu
negara melainkan keamanan daerah kawasan juga ikut terkena dampak dari aksi-
aksi terorisme ini. Sehinggga dalam penanggulangannya diperlukan kerja sama
yang baik diantara negara-negara kawasan dalam menyikapi isu terorisme yang
mengganggu stabilitas kawasan.
Kelompok radikal di Asia Tenggara mengadaptasi taktik dan ideologi Al
Qaeda, sehingga dengan banyaknya kelompok radikal dan militant yang memiliki
ideologi dan tujuan yang sama maka kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan
yang penuh dengan kelompok radikal yang aktif untuk melakukan operasi teror
untuk melawan kekuatan barat di kawasan Asia Tenggara. Adapun aksi teror dari
aktivitas kelompok radikal dan militant yang berada di kawasan Asia Tenggara
adalah kasus Bom Bali, dan Bom kedubes Australia di Indonesia, Rencana
pengeboman bandara Changi di Singapura, konflik kekerasan di Filipina Selatan
dan berbagai aksi teror yang berada di negara-negara lain yang berada di kawasan
Asia Tenggara lainnya.
Serangan-serangan terorisme yang telah terjadi di kawasan Asia Tenggara
telah mengganggu stabilitas keamanan setiap negara yang berada di kawasan Asia
Tenggara, juga mengganggu dalam menjaga dan mencapai visi serta kepentingan
UPN "VETERAN" JAKARTA
7
nasional masing-masing negara anggota ASEAN. Tindakan terorisme tersebut
menimbulkan dampak negatif yaitu merusak perdamaian, dan bahaya yang
ditimbulkan akibat aksi terorisme tidak pandang bulu sehingga manusia yang
tidak bersalah juga menjadi korban, seperti halnya bom bunuh diri yang
mengakibatkan tewasnya orang-orang yang tidak besalah, kerusakan infrastruktur,
mengganggu stabilitas kawasan dan negara, serta mengganggu pembangunan
ekonomi. Imbas dari aksi terorisme ini berdampak terhadap kerja sama kawasan
Asia Tenggara (ASEAN) yang ingin mewujudkan visi ASEAN Community 2015,
adanya masalah terorisme mengakibatkan keamanan kawasan Asia Tenggara
terganggu. Tentu saja hal ini menjadi faktor penghambat dalam mencapai visi
ASEAN tersebut. Dalam piagam ASEAN yang menjadi salah satu tujuan dan
prinsip ASEAN adalah memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan,
dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada
perdamaian di kawasan. (ASEAN Selayang Pandang, 2008)
Melihat dari isi piagam ASEAN tersebut maka merupakan kewajiban bagi
masing-masing negara anggota ASEAN untuk menciptakan dan mewujudkan
nilai-nilai perdamaian tersebut di kawasan AsiaTenggara. Ancaman keamanan
yang dilakukan oleh jaringan terorisme inilah, yang menjadi alasan pentingnya
kerja sama di kawasan Asia Tenggara untuk memberantas terorisme yang
merupakan musuh bersama dari setiap negara-negara anggota ASEAN bahkan
oleh dunia internasional. Stabilitas kawasan dan keamanan nasional merupakan
faktor penting bagi sebuah negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya.
Untuk itu dibutuhkan Keterlibatan peran TNI membantu menangani masalah
terorisme secara legal tercantum dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,
sebagai bagian dari tugas operasi militer, selain perang. (Rifa'i, 2012) ASEAN
merupakan salah satu bentuk kerja sama kawasan di Asia Tenggara yang memiliki
cita-cita untuk menjadi sebuah “komunitas keamanan”, dan terorisme merupakan
salah satupenghambat dalam mencapai cita-cita tersebut. Sehingga salah satu
langkah yang diambil ASEAN sendiri untuk menanggulangi isu keamanan ini
adalah dengan menyepakati adanya sebuah konvensi ASEAN yang fokus dalam
memberantas terorisme di kawasan ASEAN, yaitu ASEAN Convention on
Counter Terrorism. Indonesia sendiri merupakan salah satu pencetus utama untuk
UPN "VETERAN" JAKARTA
8
terbentuknya pilarutama dalam ASEAN yaitu ASEAN Security Community
(Masyarakat Keamanan ASEAN) tentu saja melalui kerja sama ini akan
membantu setiap negara anggota ASEAN untuk mencapai kepentingan
nasionalnya masing-masing.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas tentu saja dalam konvensi ASEAN
tersebut terdapat peran Indonesia dalam menjalin kerjasama bersama Negara
ASEAN untuk menangani isu Terorisme. Sehingga pertanyaan penelitian dalam
masalah ini adalah “Bagaimana Peran Indonesia dalam Pemberantasan
Terorisme Melalui ASEAN on Counter Terorism tentang Pemberantasan
Terorisme di Kawasan Asia Tenggara? periode 2008-2014”
I.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kerja sama Indonesia dan negara-negara anggota
ASEAN untuk memberantas terorisme, melalui Konvensi ASEAN
tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter
Terrorism).
2. Untuk mengetahui peran Indonesia dalam upaya
pemberantasan terorisme di Indonesia elalui Konvensi ASEAN
tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter
Terrorism).
I.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai melalui penelitian ini
adalah sebagai berikut:
UPN "VETERAN" JAKARTA
9
1. Secara akademis penelitian ini hendak memperkaya referensi ilmu
pengetahuan dan karya ilmiah di bidang ilmu politik, khususnya dalam
kajian seputar Politik Luar Negeri yaitu kerja sama keamanan kawasan di
tingkat Regional.
2. Secara praktis penelitian ini mendeskripsikan pentingnya kerja sama
keamanan kawasan ASEAN untuk mencapai visi ASEAN Community
2015 dan juga tercapainya kepentingan Indonesia dalam memberantas
terorisme melalui Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme.
I.5 Tinjauan Pustaka
Isu keamanan di regional ASEAN adalah isu yang sudah lazim dibahas,
namun dalam hal ini penelitian ini menjadi menarik karena ini merupakan isu
Terorisme. Pembahasan Literatur ini diharapkan dapat memperlihatkan
pentingnya penelitian yang dilakukan oleh penulis terkait dengan Peran Indonesia
dalam Kovensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme. Literature review ini
akan dibagi dalam dua kategori yaitu mengenahi ASEAN Convention on Counter
Terrorism (ACCT) dan Penerapan Perlawanan Aksi Teror oleh ASEAN dalam
kasus yang berbeda. Di dalam masing-masing kategori akan ada sekitar 2 tulisan
atau penelitian. Diharapkan dengan adanya literature review ini akan dapat
memperlihatkan kekhasan penelitian ini dan keorisinilitasnya.
Penulisan pertama yaitu penelitian mengenai “Keharmonisan Kerjasama
Kontra Terorisme Negara-negara Anggota ASEAN dalam kerangka ASEAN
Security Community” Jurnal karya ilmiah oleh Yanyan M. Yani pada Volume 1
No. 2 Agustus 2012 Mengutip lebih lanjut mengenahi pengertian ASEAN
Convention on Counter Terrorism (ACCT), yaitu merupakan kerja sama antar
negara-negara anggota ASEAN untuk memberantas isu Teror, memberi titik
terang akan masalah terorisme yang terjadi di Kawasan Asia tenggara, dengan
peraturan serta kebijakan yang dihasilkan dari rapat konvensi tersebut. Sering
terdengarnya isu tentang terorisme memicu negara-negara dunia khususnya
kawasan Asia Tenggara dalam meningkatkan keamanan dan pengawasan dalam
UPN "VETERAN" JAKARTA
10
kasus Terorisme yang terjadi. Hal ini dialami oleh negara-negara anggota di
kawasan ASEAN.
ACCT ditandatangani pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, Januari
2007. Konvensi ini memberikan dasar hukum yang kuat guna peningkatan
kerjasama ASEAN di bidang pemberantasan terorisme. Selain memiliki karakter
regional, ACCT bersifat komprehensif (meliputi aspek pencegahan, penindakan,
dan program rehabilitasi) sehingga memiliki nilai tambah bila dibandingkan
dengan konvensi sejenis. Harmonisasi kerjasama pada ACCT ini terlihat dari
kekompakan negara-negara anggota ASEAN dalam menyetujui netralitas
pengdefinisian terorisme sebagai musuh bersama danjuga upaya kontra terorisme
dengan tetap menyesuaikan pada prinsip penegakkan HAM, Hukum Internasional
dan resolusi PBB serta tanpa melabeli komunitas tertentu sebagai kelompok
teroris. (Yani, 2012) Penyesuaian Hukum Internasional dan resolusi PBB pun
bukan berarti ASEAN mengabaikan prinsip-prinsip yang tercantum dalam
ASEAN Charter seperti non intervensi dan penghormatan kepada kedaulatan
territorial negara-negara anggotanya. Wilayah kerjasama yang disetujuidalam
ACCT ini terfokus pada peningkatan kerjasama preventif seperti pertukaran
informasi, peningkatan pengawasan perbatasan (border control), pembekuan asset
tersangka teroris, perjanjian ekstradisi dan program rehabilitasi serta diutamakan
di dalam wilayah yuridiksinya masingmasing. Artinya dalam merumuskan ACCT,
ASEAN berupaya agar segala kebijakan yang berlaku di wilayah Asia Tenggara
mengenai kontra terorisme adalah bebas dari kepentingan-kepentingan di luar
kawasan serta konsisten dengan prinsip-prinsip dasar ASEAN Charter.
Perbedaan fokus dari penelitian penulis adalah terdapat pada subyek yang
diteliti. Penelitian ini lebih banyak membahas mengenai negara Amerika sebagai
negara yang berperan penting dalam penanganan isu terorisme di kawasan Asia
Tenggara. Sedangkan penulis lebih menekankan kepada negara-negara ASEAN
yang mempunyai peran penting dalam menangani kasus terorisme dengan bentuk
kerjasama lintas negara oleh ASEAN itu sendiri.
Penelitian kedua, yang pembahasannya terkait dengan tema penelitian
penulis adalah penelitian yag dilakukan oleh Yusri Dewi pada jurnal Ilmu
UPN "VETERAN" JAKARTA
11
Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta dalam penelitian mengenai
“Hambatan ASEAN Convention on Counter Terrorism / ACCT dalam
Mengatasi Masalah Terorisme di Asia Tenggara”, penelitian ini
mengungkapkan bahwa pemberantasan aksi terorisme di kawasan Asia Tenggara
ini sulit untuk diwujudkan tanpa komitmen penuh dari seluruh negara-negara di
Asia Tenggara, karena mengingat kompleksnya masalah terorisme. ACCT sebagai
forum atau wadah bagi setiap negara anggota untuk berdialog mengenai
keamanan wilayah regional Asia Tenggara dan berupaya menanggulangi
terorisme dengan mengadakan beberapa pertemuan untuk membicarakan masalah
terorisme dan bagaimana menindaklanjutinya, anatara lain dengan melakukan
pertukaran informasi, meningkatkan sistem keamanan, membuat aturan dengan
kerjasama dalam penyelenggaraan undang-undang anti teror dan menghimbau
pada seluruh peserta untuk membuat aturan dengan penerapan undang-undang
anti teror yang memang sulit untuk dijalankan karena belum semua dari negara
anggota memiliki undang-undang anti teror. (Dewi, Hambatan ASEAN
Convention on Counter Terrorism / ACCT dalam Mengatasi Masalah Terorisme
di Asia Tenggara, 2012)
Peranan ACCT adalah sebagai suatu wadah komunikasi dan pertukaran
informasi mengenai permasalahan terorisme demi memajukan kerjasama antar
negara anggota, khususnya ASEAN dalam menghadapi terorisme di Asia
Tenggara. Namun ACCT hanya merupakan suatu wadah pembuat saran
kebijakan, bukan pengambil keputusan dan badan pemberantasan terorisme dan
kejahatan transnasional, sehingga sumbangan ACCT dalam hal ini atas dasar
kebijakan dan undang-undang yang diadopsi dari negara-negara barat. ACCT
hanya sebuah aturan yang membahas mengenai masalah terorisme yang pada
selanjutnya dikembalikan kembali pada negara anggota masing-masing dalam
pelaksanaannya, sehingga akan sulit untuk menumpas terorisme di Asia Tenggara.
Persamaan dari penelitian penulis dengan jurnal ini adalah upaya dalam
memberantas terorisme yaitu dengan komitmen penuh dari negara-negara ASEAN
serta berpegang penuh dengan konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme
sebagai solusi dari masalah terorisme yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.
UPN "VETERAN" JAKARTA
12
Penelitian ketiga Di dalam jurnal yang berjudul “Implementasi
mekanisme Regional ASEAN dalam penanggulangan Masalah Terorisme di
Asia Tenggara”, yang ditulis oleh Anik Yuniarti membahas tentang bagaimana
ASEAN mempunyai kepentingan bersama untuk bekerjasama dalam memerangi
kejahatan lintas negara, utamanya terorisme. Hal ini karena pada kenyataannya
kejahatan lintas negara termasuk terorisme telah beroperasi secara transnasional.
Sebenarnya ASEAN telah membuat berbagai kesepakatan dan Plan of Action
yang cukup komprehensif dalam upaya penanggulangan bahaya terorisme.
Adanya berbagai kesepakatan dan komitmen yang ada di ASEAN
menunjukkan bahwa upaya memerangi terorisme sesungguhnya tergantung pada
kemauan politik negara-negara ASEAN sendiri dan diselesaikan dalam kerangka
regional. (Yuniarti, 2012) Dalam kaitan ini diperlukan implementasi mekanisme
regional secara nyata dari negara-negara ASEAN. ASEAN harus berdasar pada
kerangka regional dalam melaksanakan berbagai mekanisme regional, meskipun
identitas nasional tetap melekat. Berbagai kesepakatan dan kerjasama yang telah
dibuat ASEAN mencerminkan bahwa ASEAN hendak berupaya membangun
mekanisme regional dalam penyelesaian konflik dan masalah terorisme secara
regional.
Namun demikian, kenyataan yang ada di lingkungan ASEAN belum
mencerminkan itikad yang kuat dari negara-negara ASEAN untuk mematuhi
kesepakatan-kesepakatan dan menggunakan mekanisme regional yang ada untuk
penyelesaian masalah terorisme. Keberadaan ASEAN Security Community juga
masih belum dijadikan tumpuan bagi para anggota ASEAN untuk menyelesaikan
masalah-masalah keamanan ASEAN termasuk mengenai isu terorisme. Penerapan
mekanisme regional di ASEAN untuk memecahkan masalah terorisme di kawasan
Asia Tenggara belum bisa dilaksanakan. Masing-masing negara ASEAN
tampaknya masih mengandalkan pola yang sudah ada, yaitu melalui jalur
bilateral, tidak melalui suatu mekanisme regional yang berlaku umum untuk
keseluruhan anggota ASEAN. Dengan kata lain, respon ASEAN terhadap
masalah aksi terorisme masih cenderung bersifat ad hoc. Masih banyak kasus-
UPN "VETERAN" JAKARTA
13
kasus besar yang seharusnya dibawa pada mekanisme penyelesaian konflik di
ASEAN (regional) tetapi justru dibahas di tingkat bilateral atau bahkan ke tingkat
internasional. Kenyataan sampai saat ini, salah satu prinsip yang amat penting dari
perjanjian persahabatan dan kerjasama di Asia Tenggara, yakni satu format
penyelesaian perselisihan intra ASEAN, belum sepenuhnya dimanfaatkan. Pola
melalui jalur bilateral tampaknya masih digunakan oleh sebagian besar negara
anggota ASEAN untuk menyelesaikan masalah terorisme. Sejalan dengan hal
tersebut di atas, (Luhulima, 1997) bahkan menegaskan, ternyata mekanisme
penyelesaian konflik di ASEAN (regional) belum pernah diaktifkan untuk
pengelolaan atau penyelesaian ketegangan antar negara anggota. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan sebagian kalangan mempertanyakan eksistensi
ASEAN.Tulisan ini hendak menganalisis tentang faktor-faktor yang menyebabkan
sulitnya implementasi mekanisme regional ASEAN dalam mengatasi masalah
terorisme di Asia Tenggara.
Perbedaan jurnal ini dengan penelitian penulis yaitu dari segi pendekatan
yang digunakan. Dalam penelitian penulis akan menggunakan pendekatan yang
lebih cenderung dengan melakukan kerjasama antar regional sesama negara
anggota ASEAN, berbeda dengan jurnal ini yang lebih menekankan pada
melakukan kerjasama melalui tingkat bilateral dan internasional dalam menangani
kasus terorisme.
I.6 Kerangka Pemikiran
I.6.1 Kerjasama Regional
Fenomena globalisasi di satu sisi menjadikan dunia menjadi lebih kecil
dan memungkinkan terjadinya penyatuan wilayah baik dalam arti geografi,
ekonomi, politik dan budaya. Menurut Louis Cantori dan Steven Spiegel dalam
Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, mendefinisikan “Kawasan adalah dua
atau lebih negara yang saling berinteraksi dan memiliki kedekatan geografis,
kesamaan etnis, bahasa, budaya, keterkaitan sosial, sejarah dan perasaan identitas
UPN "VETERAN" JAKARTA
14
yang seringkali meningkat disebabkan adanya aksi dan tindakan dari negara-
negara di luar kawasan” (Perwita & Yani, 2005)
Kerjasama antar negara-negara yang berada dalam suatu kawasan untuk
mencapai tujuan bersama adalah salah satu tujuan utama mengemukanya
kerjasama regional. Dengan membentuk kerjasama regional, maka negara-negara
tersebut telah menggalang bentuk kerjasama intra-regional.
Dari pemaparan hal diatas, terlihat bahwa regionalisme merupakan
fenomena hubungan internasional yang terus berkembang. Konsep ini tidak hanya
sebatas membicarakan unsur geografis semata, bahkan dalam banyak kasus,
elemen-elemen yang terkait begitu beragam, mulai dari ekonomi hingga politik
keamanan. Hal ini tentu saja akan menambah kompleksitas regionalisme sebagai
sebuah konsep dan fenomena dalam hubungan internasional (Perwita & Yani,
2005)
ASEAN merupakan bentuk organisasi regional yang menaungi 11 negara
di Asia Tenggara. Negara tersebut adalah Indonesia, Malaysia, Singapore,
Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Laos, Myanmar, Vietnam, Kamboja dan
Timor Leste (masih sebagai observer). Organisasi yang berdiri tahun 1965 ini,
memiliki tiga prinsip utama yaitu ASEAN Way, Non Interference dan Human
Rights.
Dalam perjalanannya, ASEAN menentukan arah kerjasamanya. Kerjasama
yang dilakukan meliputi bidang-bidang seperti HAM (dengan membentuk badan
HAM ASEAN), ekonomi (melalui AFTA – ASEAN Free Trade Area) dan sempat
dicanangkan pembentukan ASEAN Peace Keeping Operation hingga ASEAN
Convention on Counter Terorism. Semua itu terangkum dalam program ASEAN
Community yang akan segera membumi pada 2015.
Tertera pada undang-undang Republik Indonesia No 5 tahun 2012 tentang
Konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme di Asia Tenggara, bahwa
tindakan terorisme merupakan kejahatan yang bersifat lintas batas negara dan
telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan
ketakutan masyarakat secara luas, hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta
UPN "VETERAN" JAKARTA
15
benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkahlangkah pemberantasan melalui
kerja sama regional.
Begitu pula dengan ASEAN dalam kerjasama Regionalnya. ASEAN
dibentuk bukan hanya untuk mempersatukan negara- negara yang berada dalam
satu kawasan Asia Tenggara. ASEAN juga berusaha untuk memajukan keamanan
terhadap adanya isu terorisme yang terus berdatangan dengan melakukan ASEAN
Convention on Counter Terorism yang antinya diharapkan dapat benar-benar
menumpas kasus terorisme yang sedang berjalan maupun yang akan datang
sehingga kawasan regional di ASEAN tetap aman dari segala bentuk ancaman.
I.6.2 Komunitas Keamanan
Karl W. Deutsch mendefenisikan komunitas keamanan sebagai kelompok
negara yang telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa
hubungan damai antar negara di dalamnya telah terjalin dengan mapan dan dalam
waktu yang cukup lama. (Rajendran, 1986) Komunitas keamanan memiliki sifat
bahwa interaksi damai yang terjalin diantara negara yang bergabung dalam sebuah
komunitas keamanan telah terjalin cukup lama, dengan demikian komunitas
keamanan lebih cenderung untuk mengendalikan konflik yang ada ataupun timbul
dalam komunitas tanpa menghilangkan perbedaan yang ada diantara negara-
negara anggota komunitas.
Mengikuti defenisi yang diperkenalkan oleh Karl Deutsch pada
pertengahan tahun 1950-an, suatu komunitas keamanan diartikan sebagai
kelompok rakyat yang terintegrasi pada satu titik di mana terdapat jaminan nyata
bahwa para anggota komunitas tersebut tidak akan berperang satu sama lain
secara fisik, melainkan akan menyelesaikan perselisihan di antara mereka dengan
cara lain. Deutsch mengobservasi ada dua bentuk komunitas keamanan, yaitu
Amalgamated Security Community dan Pluralistic Security Community (PSC).
(Luhima, 2008)
UPN "VETERAN" JAKARTA
16
Amalgamated Security Community ada ketika terjadi penggabungan dua
atau lebih unit-unit yang tadinya independen ke dalam satu unit yang lebih besar,
dengan satu tipe pemerintahan bersama setelah terjadinya amalgamasi, misalnya
Amerika Serikat. Pluralistic Security Community (PSC) sebagai alternatif yang
tetap mempertahankan interdependensi hukum dari pemerintahan-pemerintahan
yang terpisah. Negara-negara dalam PSC ini memiliki kesesuaian nilai-nilai inti
yang didorong dari institusi-institusi bersama, dan tanggung jawab bersama untuk
membangun identitas bersama dan loyalitas serta rasa “kekitaan” dan terintegrasi
pada satu titik di mana komunitas tersebut memiliki dependable expectations of
peaceful change.
Bentuk komunitas keamanan yang sesuai dengan defenisi di atas sama
dengan konsep pembentukan ASEAN Security Community (Masyarakat
Keamanan ASEAN). Dalam pembentukan ASEAN Security Community juga
menginginkan adanya keinginan untuk membentuk adanya rasa kekitaan (we
feeling) sehingga dengan timbulnya rasa we feeling ini akan membentuk ASEAN
bukan lagi sebagai organisasi internasional melainkan sebgai komunitas regional
yang telah mengalami integrasi. Hal inilah yang ingin dibangun oleh setiap negara
anggota ASEAN sehingga untuk mencapai integrasi tersebut maka ASEAN
Vision 2020 dipercepat menjadi tahun 2015.
Konsep ASC (ASEAN Security Community) sebagai salah satu tonggak
Komunitas ASEAN berupaya memuat prinsip-prinsip yang tidak saja
dimaksudkan untuk membangun budaya hubungan damai tetapi juga untuk
menciptakan di antara negara-negara ASEAN situasi yang damai dan stabil di
dalam negeri masing-masing. Sehingga dengan terbentuknya rasa kekitaan (we
feeling) yang akan mendorong terbentuknya integrasi regional akan menjadikan
komunitas keamanan sebagai bentuk kerja sama yang saling membantu dalam
menghadapi isu-isu keamanan baik yang berasal dari dalam negeri sesama
anggota ASEAN maupun isu yang datang dari luar, seperti misalnya isu terorisme
yang dihadapi kawasan Asia Tenggara menjadikan adanya kerja sama di antara
negara-negara anggota ASEAN untuk memberantas terorisme melalui ASEAN
Convention on Counter Terrorism.
UPN "VETERAN" JAKARTA
17
I.6.3 Counter-Terrorism
Counterterrorism adalah upaya yang dilakukan untuk melawan terorisme.
Upaya counterterrorism Pakistan menggunakan istilah anti-terrorism diartikan
sebagai tindakan yang diambil untuk mempertahankan, melindungi ataupun
tindakan hukum yang dilakukan untuk melawan terorisme (Bokhari, 2013)
Counterterrorism dapat dilaksanakan melalui sejumlah pendekatan. Secara
umumterdapat dua pendekatan untuk melakukan counterterrorism yaitu hard
approach dan soft approach (Romaniuk, 2012). Hard approach menggunakan
cara kekerasan terhadap kelompok teroris. Sedangkan soft approach
menggunakan pendekatan kebijakan-kebijakan strategis tanpa kekerasan ataupun
paksaan (Zakharchenko, 2007, hal. 8). Suatu negara dapat melaksanakan upaya
counterterrorism secara domestik ataupun dengan melibatkan pihak luar, seperti
melakukan kerjasama dengan organisasi internasional ataupun dengan negara lain.
Pendekatan-pendekatan tersebut selanjutnya dijalankan dalam berbagai
cara. Menurut Counter-Terrorism Strategy (Hughes, 2011) upaya
counterterrorism dapat dilakukan dengan beberapa cara: pertama pursuit yaitu
melakukan pengejaran terhadap kelompok teroris dan pihak-pihak yang terlibat
dalam terorisme. Kedua preparation yaitu melakukan persiapan untuk
menanggapi dan mengurangi konsekuensi dari serangan terorisme. Ketiga
prevention yaitu melakukan pencengahan terhadap terorisme dengan mengatasi
penyebab tindakan tersebut. Keempat protection yaitu memberikan perlindungan
terhadap masyarakat dan pelayanan publik.
Cara-cara tersebut dilakukan untuk menangani ataupun mencegah tindakan
terorisme yang ada. Konsep counterterrorism merupakan salah satu konsep yang
digunakan dalam penelitian ini. Konsep ini digunakan untuk melihat cara-cara
counterterrorism yang dilakukan untuk menangani masalah terorisme di Pakistan.
Upaya counterterrorism tersebut difokuskan pada kerjasama yang dilakukan oleh
Pakistan dan Amerika Serikat sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2012. Baik
langkah yang diambil sebagai bentuk pencegahan, pengejaran yang dilakukan
UPN "VETERAN" JAKARTA
18
terhadap jaringan kelompok terorisme, perlindungan terhadap masyarakat ataupun
dalam upaya persiapan untuk menanggapi serangan teror yang akan terjadi.
Untuk mengkaji upaya-upaya menghadapi terorisme dapat menggunakan
sebuah konsep yang biasa disebut dengan Counter-Terrorism atau dalam bahasa
Indonesia biasa disebut sebagai Strategi Kontra-Terorisme. Counter-terrorism
diartikan sebagai tindakan untuk melawan ancaman terorisme, mencegah
terorisme, dan mengurangi pengaruh organisasi terorisme. (Winarno, 2014)
Komitmen utama strategi counter-terrorism ini adalah “menanggulangi
terorisme dengan tetap menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), dan menjadikan
sebuah negara ataupun kawasan tempat yang aman, memungkinkan warga negara
untuk tinggal di wilayah yang aman, bebas, dan adil.” Tujuan ini dicapai melalui
beberapa strategi melawan terorisme, di antaranya: Prevention, Protection dan
Response.
Pertama, prevention. Sebuah upaya mencegah orang-orang masuk ke
dalam jaringan terorisme, baik dalam lingkup suatu negara, kawasan, maupun
internasional. Menanggulangi faktor atau akar penyebab yang dapat menyebabkan
radikalisasi dan rekrutmen oleh para anggota terorisme. Upaya prevention dapat
dilakukan antara lain dengan cara melakukan dialog antaragama dan antarbudaya.
Kedua, protection. Merupakan sebuah upaya melindungi warga negara
serta infrastruktur di suatu Negara dan meminimalisir kerentanan mereka terhadap
serangan. Hal ini dapat dicapai melalui penguatan keamanan batas negara, sistem
transportasi umum, dan infrastruktur lainnya.
Terakhir, response. Prinsip yang terakhir ini merupakan menuntut suatu
negara ataupun suatu kawasan untuk bekerja sama lebih erat dengan organisasi
internasional dan negara lain. Usaha ini dimunculkan karena menyadari sifat
terorisme yang tersebar secara global, sehingga diperlukan kerjasama untuk bisa
saling berbagi informasi mengenai aktivitas terorisme, serta strategi-strategi
terbaik untuk menanggulangi ancaman ini. (Winarno, 2014)
UPN "VETERAN" JAKARTA
19
I.6.4 Terorisme
Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai
dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan, dan ancaman yang memiliki
tujuan untuk mencapai hal yang diinginkan. Perkembangan aksi terorismebermula
dari bentuk fanatisme aliran kepercayaan atau ideologi yang dianut, kemudian
berubah menjadi pembunuhan baik secara perorangan maupun oleh suatu
kelompok terhadap penguasa yang otoriter. Pengertian terorisme untukpertama
kali dibahas dalam European Convention on the Supression of Terrorism (ECST)
di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigm dari Crime against State menjadi
Crimes against Humanity. Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk
menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan
masyarakat umum ada dalam suasasan yang teror. (Wahid, 2004)
Secara etimologi, perkataan “teror” berasal dari bahasa Latin “terrere”
yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dalam perkataan “to fright”, yang
dalambahasa Indonesia berarti “menakutkan” atau “mengerikan”. Rumusan
terorisme secara terminologis, sampai saat ini masih menjadi perdebatan
meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan dirumuskan di dalam peraturan
perundang-undangan.
Terorisme bukan istilah baru, akan tetapi keberadaan istilah ini ditengah-
tengah masyarakat dan dikenal oleh setiap kalangan, baru berkembang setelah
setelah peristiwa 9/11, dan begitu kental di Indonesia setelah terjadinya bom Bali.
Dilihat dari sisi sejarah, Istilah terorisme sendiri tidak bersifat stagnan dan baku,
dalam perkembangannya, penggunaan atau penggunaan istilah terorisme ini bisa
dimanfaatkan oleh setiap pihak yang bertikai terhadap lawannya, dengan begitu ia
akan mempunyai dalih untuk memberlakukan suatu tindakan dan mengeluarkan
kebijakan. Teori ini masih tetap berlaku, meski situasi dan kondisinya telah
berbeda.
Benturan yang terjadi dalam perang global melawan terorisme yang
mempertemukan antara dua kubu, antara kelompok yang disebut dengan Islam
radikal dan Barat menambah catatan sejarah yang pernah terjadi antara hubungan
UPN "VETERAN" JAKARTA
20
Islam dan Barat. Benturan antara Islam dan barat memang bukan hal baru, namun
itu sebuah sejarah yang terus berjalan. Kehadiran Islam pada awalnya pernah
menjadi ancaman bagi barat baik secara wilayah kekuasaan maupun secara
ideologi. Sejarah mencatat, Romawi sebagi cikal bakal perdaban Barat yang sudah
ada jauh sebelum Islam hadir akhirnya jatuh ketangan wilayah umat Islam., tidak
hanya itu, secara ideologi, Islam juga menggantikan ideologi kristen yang
berkembang ditubuh Romawi, yang pernah menjadi agama mayoritas di Barat dan
di Timur sebelum Islam datang. upaya untuk mengembalikan kedigdayaan
Romawi sebagi negara super power dan ideologi Kristen terus diupayakan, meski
belum membuahkan hasil selam berdirinya kehilafahan Islam. Barat hari ini
bukan seperti yang dulu, akan tetapi perubahan yang terjadi belum bisa merubah
pencitraan Islam dimata Barat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Terorisme merupakan sebuah
tindakanseseorang ataupun kelompok orang yang menggunakan kekerasan,
ancaman dan sejenisnya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan akhir tujuan.
Dengan rasa ketakutan yang disebarkan melalui aksi-aksi kejahatan terhadap
kemanusiaan seperti, terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-
orang yang tidak berdosa maka kelompok tersebut dapat mencapai tujuannya.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror (rasa takut/kengerian) terhadap sekelompok
masyarakat.
Aksi terorisme merupakan aksi yang tidak tunduk pada tata cara
peperangan seperti pelaksanaan atau aksi teror yang dilakukan selalu tiba-tiba dan
target korban jiwa yang acak sering kali merupakan warga sipil. Hal ini
merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan para teroris, pelakunya sering
mempublikasikan dan mengatakan pertanggung jawaban terhadap aksi serangan
yang telah dilakukan, di dalam publikasi pertanggung jawaban aksi yang telah
dilakukan pemimpin jaringan teroris juga menyampaikan ancaman kepada negara
dengan melakukan publikasi tersebut maka ketakutan yang dihasilkan dapat
memenuhi tujuan yang ingin dicapai pelaku teroris. Dengan menarik perhatian
masyarakat luas maka teroris memanfaatkan media massa untuk menyuarakan
UPN "VETERAN" JAKARTA
21
pesan perjuangannya, hal tersebut merupakan metode yang sering digunakan
teroris.
Indonesia yang telah mengalami banyak serangan teroris, dan telah
dianggap sebagai sarang dari gembong teroris yang beroperasi di Asia Tenggara,
menyatakan bahwa terorisme telah menjadi tantangan dan ancaman pada tingkat
global dan regional yang telah mengganggu upaya pemerintah untuk melakukan
pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mengatasi
ancaman tersebut dalam kerja sama keamanan kawasan ASEAN yang disepakati
dalam ASEAN Convention on Counter Terrorism, dalam konvensi tersebut
Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya menolak pengaitan terorisme
dengan bangsa, etnis, dan budaya, serta agama tertentu. Untuk memberantas
terorisme dalam kerja sama keamanan kawasan tersebut Indonesia lebih memilih
untuk menggunakan pendekatan soft approach yaitu melalui program
deradikalisasi dan rehabilitasi.
I.6.5 Teori Peran
Teori peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan antara
teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal
dari sosiologi dan antropologi (Sarwono, 2011). Dalam ketiga ilmu tersebut,
istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus
bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia
diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Posisi aktor dalam teater
(sandiwara) itu kemudian dianologikan dengan posisi seseorang dalam
masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, posisi orang dalam masyarakat
sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan
daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan
adanya orang-orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari
sudut pandang inilah disusun teori-teori peran.
UPN "VETERAN" JAKARTA
22
Harapan akan peran tersebut dapat berasal dari peran itu sendiri, individu
yang mengendalikan peran tersebut, masyarakat, atau pihak lain yang
berkepentingan terhadap peran tersebut. Setiap orang yang memegang
kewenangan atas suatu peran akan membentuk harapan tersebut. Bagi aparat
Inspektorat, harapan dapat dibentuk oleh Musyawarah Pimpinan Daerah
(Muspida) yang terdiri dari: Kepala Pemerintahan Daerah, Wakil Pemerintahan
Daerah, dan Sekretaris Daerah ataupun dari rekan kerja yang bergantung pada
hasil kinerja aparat Inspektorat. Individu atau pihak yang berbeda dapat
membentuk harapan yang mengandung konflik bagi pemegang peran itu sendiri.
Oleh karena setiap individu dapat menduduki peran sosial ganda, maka
dimungkinkan bahwa dari beragam peran tersebut akan menimbulkan
persyaratan/harapan peran yang saling bertentangan (Ahmad & Taylor, 2009).
Hal tersebut yang dikenal sebagai konflik peran.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa individu yang berhadapan
dengan tingkat konflik peran akan mengalami kecemasan, ketidakpuasan, dan
ketidakefektivan dalam melakukan pekerjaan dibandingkan individu yang lain.
Hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam hal ini yaitu
Indonesia dalam menjaga komitmen yang ada pada dirinya, dalam hal ini adalah
sulitnya menjaga komitmen untuk bersikap solid dalam menghasilkan sebuah
kerjasama antar negara-negara ASEAN untuk mencegah serta memberantas isu
terorisme di kawasan Asia Tenggara.
UPN "VETERAN" JAKARTA
23
I.7 Alur Pemikiran
I.8 Asumsi
Asumsi adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti dan harus
dirumuskan secara jelas. Manfaatnya untuk memperkuat permasalahan,
membantu peneliti dalam memperjelas objek penelitian, wilayah pengambilan
data dan instrumen data serta mempertegas variabel dalam penelitian. Maka,
asumsi dasar penelitian ini adalah:
a. Masuknya kejahatan terorisme menjadi salah satu akar permasalahan yang
serius di kawasan Asia Tenggara yang mana hal tersebut mendorong
negara-negara Asia Tenggara dalam melakukan kontra terorisme yang
tidak terlepas dari peran Indonesia didalamnya.
Ancaman Keamanan di Asia
Tenggara
Perkembangan Terorisme di Asia
Tenggara Sehingga Terbentuknya
Konvensi ASEAN Tentang
Pemberantasan Terorisme
Peran Indonesia dalam
Pemberantasan Terorisme
Melalui Konvensi Asean Tentang
Pemberantasan Terorisme di
Kawasan Asia Tenggara
UPN "VETERAN" JAKARTA
24
b. Negara-negara Asia Tenggara tidak bisa secara langsung menangani serta
mencegah masuknya kejahatan terorisme dengan sendirinya, dikarenakan
kontrol perbatasan yang lemah sehingga Indonesia sebagai negara dengan
teritorial terluas di Asia Tenggara dan merupakan kepulauan miliki peran
penting dalam menangani lemahnya kontrol perbatasan tersebut.
I.9 Metode Penelitian
I.9.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini merupakan jenis metode
penelitian pendekatan kualitatif dengan penelitian deskriptif, yaitu peneltian
deskriptif menyajikan suatu gambaran yang terperinci tentang satu situasi khusus,
setting sosial, atau hubungan. Penelitian deskriptif dilakukan dengan tujuan
menggambarkan atau mendeskripsikan obyek atau fenomena yang diteliti. Tipe
penelitian deskriptif digunakan jika ada pengetahuan atau informasi tentang gejala
sosial yang akan diselidiki atau dipermasalahkan. Pengetahuan tersebut diperoleh
dari survey literature, laporan hasil penelitian, atau dari hasil studi eksplorasi.
I.9.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini melakukan beberapa teknik pengumpulan data. Dalam
mengumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini
maka dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Teknik penelaahan terhadap dokumen tertulis atau disebut juga
dengan riset kepustakaan (library research). Dalam riset pustaka
penelusuran pustaka lebih dari pada sekedar melayani fungsi-fungsi
untuk menyiapkan kerangka penelitian, tetapi sekaligus memanfaatkan
sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian.
2. Metode Wawancara, dalam mengumpulkan Informasi, data didapat
melalui wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait
UPN "VETERAN" JAKARTA
25
dengan topik penelitian dan studi kepustakaan. Untuk mendapatkan
data, penulis melakukan wawancara kepada narasumber-narasumber
dari Paban Terorisme Direktorat E Badan Intelijen Strategis TNI,
Komandan Komunikasi Khusus Direktorat Intelijen Teknik Badan
Intelijen Strategis TNI, Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan
Kementrian Pertahanan Republik Indonesia dan Deputi Kerjasama
Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di Indonesia
untuk memperoleh data mengenai kerjasama Indonesia dengan negara
ASEAN dalam menanggulangi kasus terorisme.
3. Metode Penelusuran Data Online, merupakan metode penelusuran
data online yaitu tata cara melakukan penelusuran data melalui media
online seperti Internet dan media jaringan lainnya yang menyediakan
fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan
data informasi online yang berupa data maupun informasi teori.
I.9.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data
kualitatif deskriptif. Penelitian analisis data kualitatif deskriptif bertujuan
untuk mendeskripsikan apa yang sedang berlaku. Penelitian ini akan
menggunakan data yang ditemukan dari buku-buku, surat kabar, dokumen
dokumen maupun situs media daring (online) akan ditampilkan dalam
bentuk uraian lalu dianalisis kemudian dieksplorasi secara mendalam, dan
ditarik kesimpulan untuk menjelaskan masalah yang diteliti.
UPN "VETERAN" JAKARTA
26
I.10 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:
BAB I Pendahuluan
Pada BAB I ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,
kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Perkembangan Terorisme di Asia Tenggara dan Terbentuknya
Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN
Convention On Counter Terrorism)
Pada BAB II ini akan diuraikan tentang perkembangan terorisme di
kawasan Asia Tenggara yang pada akhirnya melatar belakangi
proses pembentukan Konvensi Asean tentang Pemberantasan
Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism), serta
tujuan yang ingin dicapai melalui kerja sama kemanan kawasan
dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme.
BAB III Peran Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme Melalui
Konvensi Asean Tentang Pemberantasan Terorisme di
Kawasan Asia Tenggara Periode 2008-2014
Pada BAB III ini akan diuraikan tentang peran Indonesia dalam
Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme di Kawasan
Asia Tenggara, dan hal-hal penting yang diperoleh Indonesia
melalui kerja sama kawasan dalam memberantas terorisme.
BAB IV Penutup
Pada BAB IV ini merupakan bab terakhir yang berisikan
kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada bab
sebelumnya, serta berisikan tentang saran-saran yang berguna dan
mendukung bagi penyusunan hasil penelitian.
UPN "VETERAN" JAKARTA