BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hari Rawat Penderita Diare
Rata rata pasien di rawat antara 3 hingga tujuh hari, namun juga
tergantung dari berat ringannya diare yang dialami. Rata rata pasien yang
terserang diare berumur 0 hingga umur 14 tahun. Penyebab utama dari
penyakit diare adalah faktor makanan dan lingkungan. Biasanya terjadi jika
kita mengabaikan pola hidup sehat. Penyakit diare bisa dicegah sejak dini, jika
orang tua lebih proaktif terhadap anak dengan menerapkan pola hidup sehat.
Misalnya cuci tangan sebelum makan.
Penurunan berat badan dan gangguan gizi dapat menyebabkan diare
menjadi lebih parah, lebih lama dan lebih sering terjadi, dibandingkan dengan
kejadian diare pada anak yang tidak menderita gangguan gizi. Lingkaran setan
ini dapat diputus dengan memberi makanan kaya gizi selama anak diare dan
ketika anak sehat. Obat antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin.
Antibiotik hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah (kemungkinan
besar shigellosis), suspek kolera, dan infeksi berat lain yang tidak
berhubungan dengan saluran pencernaan, misalnya pneumonia. Obat anti-
protozoa jarang digunakan. Obat-obatan “anti-diare” tidak boleh diberikan
pada anak kecil dengan diare akut atau diare persisten atau disenteri. Obat-
obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak,
malah dapat menimbulkan efek samping berbahaya dan terkadang berakibat
fatal (WHO dan IDAI, 2011).
Riwayat pemberian makan anak sangat penting dalam melakukan
tatalaksana anak dengan diare dan menentukan jumlah hari perawatan di
rumah sakit. Selain itu frekuensi buang air besar (BAB) anak, lamanya diare
terjadi (berapa hari), apakah ada darah dalam tinja dan apakah ada muntah.
Tanda-tanda dehidrasi ringan atau dehidrasi berat, rewel atau gelisah,
letargis/kesadaran berkurang, mata cekung, cubitan kulit perut kembalinya
6
7
lambat atau sangat lambat, haus/minum dengan lahap, atau malas minum atau
tidak bisa minum (WHO dan IDAI, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi lama hari rawat diare adalah
sebagai berikut :
1. Jenis diare akut atau kronik
2. Frekuensi buang air besar (BAB) anak
3. Lamanya diare terjadi (berapa hari)
4. Darah penderita : normal atau ada kelainan fungsi ginjal
5. Urine : protein urine negatif atau protein urine positif
6. Apakah ada darah dalam tinja
7. Apakah ada muntah.
8. Kondisi dehidrasi ringan, sedang atau dehidrasi berat.
9. Balita rewel atau gelisah sehingga tidak bisa istirahat
10. Balita letargis/ kesadaran berkurang, mata cekung, cubitan kulit perut
kembalinya lambat atau sangat lambat.
11. Balita haus/minum dengan lahap, atau malas minum atau tidak bisa
minum (WHO dan IDAI, 2011).
B. Diare
1. Definisi
Diare adalah pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair,
dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya, bayi dikatakan diare bila
lebih dari 3 kali sedangkan neonatus dikatakan diare apabila lebih dari 4
kali buang air besar (Sudarti, 2010).
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya
frekuensi defekasi lebih dari biasanya ( > 3 kali) disertai perubahan
konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah atau lendir
(Suraatmadja, 2005).
Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal
(meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair.
(Suharyono, 2008).
8
2. Jenis-jenis diare
Jenis diare dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
a. Diare akut
Diare akut yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi yang
sebelumnya sehat.
b. Diare kronik
Diare kronik yaitu diare yang berlanjut sampai 2 minggu atau lebih
dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah
selama masa diare tersebut. Diare kronik sering dibagi menjadi :
1) Diare persisten yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi
2) Protacted diare yaitu diare yang berlangsung lebih dari minggu
dengan tinja cair dan frekuensi 4 kali atau lebih per hari
3) Diare intraktabel yaitu diare yang timbul akibat berulang kali
dalam waktu yang singkat.
4) Prolongid diare yaitu diare yang terjadi lebih dari 7 hari
5) Cromik non spesifik diare yaitu diare yang berlangsung lebih dari
3 minggu tetapi tidak disertai gangguan pertumbuhan dan tidak
ada tanda-tanda infeksi maupun malabsorbsi (Suraatmadja,
2005).
3. Tanda klinis
Tanda klinis penyakit diare menurut Sudarti (2010) adalah sebagai
berikut :
a. Cengeng
b. Gelisah
c. Suhu meningkat
d. Nafsu makan menurun
e. Tinja cair, lendir kadang-kdang ada darahnya. Lama-lama darahnya
berwarna hijau asam
f. Anus lecet
9
g. Dehidrasi, bila terjadi dehidrasi berat maka volume darah akan
berkurang nadi cepat dan kecil, denyut jantung cepat, tekanan darah
turun, kesadaran menurun dan akhirnya syok.
h. Berat badan turun
i. Turgor kulit menurun
j. Mata dan ubun-ubun cekung
k. Selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering.
4. Penyebab Diare
a. Infeksi
1) Enteral yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran pencernaan yang
merupakan penyebab utama terjadinya diare yang meliputi :
a. Infeksi bakteri yaitu vibrio E Coli, Salmonella Shigella
Campylobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya.
b. Infeksi virus enterovirus (virus ECHO) Coxsaekre,
Poliomelitis, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus.
c. Infeksi parasit cacing (ascaris irichiuris, oxurys,
strongiloides).
2) Parental yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat
pencernaan. Misalnya OMA (Otitis Media Akut).
b. Malabsorbsi
1) Karbohidrat
2) Lemak
3) Protein
4) Makanan misalnya basi, beracun
5) Psikologis misalnya rasa takut atau cemas (Sudarti, 2010).
c. Gangguan Osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat
diserap karena penyakit mucosal yang disebabkan tekanan osmotil
dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit ke dalam rongga usus.
10
d. Gangguan Sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal: oleh toksin) pada dinding
usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam
rongga usus, sehingga akan terjadi peningkatan isi dari rongga usus
yang merangsang sehingga timbul diare.
e. Gangguan Motilitas Usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare,
sebaliknya bila peristaltic usus menurun mengakibatkan bakteri
tumbuh berlebihan dapat menimbulkan diare (Sudarti, 2010).
C. Penanganan Diare
1. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis pada diare kronik sangat penting bukan saja untuk
mengetahui lamanya diare, tetapi kalau mungkin juga harus
mengungkap penyebab terjadinya diare kronik, derajat beratnya
melabsorpsi, menemukan adanya penyakit yang mendasari karena itu
selain anamnesis mengenai diare akut, harus ditanyakan pula:
1) Penanganan yang telah dilaksanakan
2) Makanan yang diberikan sebelum dan selama diare, serta reaksi
pada pemberian makanan tersebut
3) Obat-obatan yang diberikan
4) Kemampuan pencernaan sebelum dan selama sakit untuk
menentukan adanya intoleransi. Dalam praktek ditentukan melalui
uji Challenging and withdrawal (Uji tantang dan henti).
b. Pemeriksaan fisik
1) Nutrisi
Karena pada umumnya penderita diare kronik sudah
menderita KEP, penentuan status nutrisi sangat penting.
Kekurangan mikronutrien, seperti vitamin A dan Zine dapat
11
memperpanjang lamanya diare, tetapi sering manifestasi klinis
kekurangan mikronutrien ini belum muncul. Memeriksa kadar
mikronutrien ini relatif mahal dan sukar. Oleh karena itu dalam
praktek, tanpa pemeriksaan lebih dulu, semua penderita diare
kronik diberi suplementasi mikronutrien tertentu.
Kemampuan makan anak dinilai berdasarkan riwayat
makan sewaktu sehat dan riwayat makan selama sakit, keadaan
umum serta pengamatan, untuk sampai pada kesimpulan cara dan
bentuk pemberian makanan. Apakah sepenuhnya dapat diberikan
makanan enternal atau memerlukan makanan parenteral. Apakah
bentuk makanan yang diberikan cair, saring, lunak, atau biasa.
Kemampuan makan anak dinilai berdasarkan riwayat
makan sewaktu sehat dan riwayat makan selama sakit dihubungkan
dengan manifestasi klinis yang muncul sewaktu diberi makanan
tersebut untuk sampai pada dugaan apakah ada intoleransi
terhadap jenis makanan tertentu.
2) Status hidrasi
Pada diare kronik dengan KEP hati-hati dalam penentuan
hidrasi karena adanya indikator dehidrasi yang mengganggu
penentuan derajat dehidrasi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pada diare kronik pemeriksaan yang paling sederhana yang
dapat dilakukan dimanapun adalah melihat tinja, apakah tinja berdarah
atau tidak. Pemeriksaan laboratorium sederhana yang dapat
dilaksanakan dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai berikut :
12
Tabel 2.1
Pemeriksaan Laboratorium untuk Penderita Diare
Pemeriksaan Indikasi Arti pemeriksaan dan apa
yang harus dicari
Makroskopis
tinja
Rutin Adanya darah menunjukkan
disentri. Biasanya Shigella
Mikroskopis
tinja
Diare akut dan kronik yang
tidak bereaksi terhadap
pemberian cairan dan
makanan serta pengobatan
anti-mikroba
Anamnesis adanya infeksi
cacing
Adanya trofozoit dan.atau kista
untyk mendiagnosis giardiasis
dan amubiasis. Adanya sel
darah merah sebagai bukti
adanya kuman invasif,
misalnya shigella
Adanya telur cacing
Biakan tinja dan
sensitivitas
Pengamatan atiologi diare
kronik (terutama bila
gizinya buruk)
Adanya bakteri penyebab,
bersama-sama dengan
kepekaan antibiotika
pH tinja dan zat
reduksi
Diare kronik yang
berhubungan dengan
intoleransi terhadap
karbohidrat
Sewaktu diberi oralit, tinja
yang keluar bertambah
Rendahnya pH ditambah
adanya gula (tes Benedict atau
Clinitest tablet) menunjukkan
penyerapak karbohidrat seperti
laktosa, sukrosa dan glukosa
yang buruk
Darah Rutin : Analisis gas darah Adanya kelainan elektrolit
Gangguan fungsi ginjal
2. Penatalaksanaan
Melihat banyaknya kelainan yang terjadi pada diare kronik serta
dampak negatifnya maka penanganan diare kronik harus menyeluruh
ditujukan pada semua aspek, simultan dan sedapat mungkin sampai tuntas,
selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2.1. berikut ini :
13
Gambar 2.1
Patogenesis dan Penatalaksanaan Diare Kronik
Penatalaksanaan diare kronik meliputi rehidrasi enteral.Parenteral,
nutrisi dan medikamentosa.
a. Rehidrasi enteral / parenteral
1) Tanpa KEP
Pada dehidrasi ringan/sedang, tetap diupayakan memberikan
terapi rehidrasi oral. Kalau perlu cairan diberikan melalui pipa
nasogastrik sampai anak bisa minum Oralit efektif untuk sebagian
besar penderita diare kronik. Pada sebagian kecil penderita mungkin
terjadi gangguan absorpsi monosakarida (glukosa) sehingga diare
menjadi berat. Pada kasus demikian dilakukan rehidrasi intravena.
Infeksi/Overgrowth
bakteri
Patofisiologi
Antibiotika (tes resistensi)
Probiotik/Sinbiotik
Penatalaksanaan
Kerusakan epitel dan
villi usus
- ASI
- Susu rendah / bebas laktosa
- Mikronutrien
- Enzim pankreas
- Kolestiramin
Maldigesti/Malabsor
psi
Susu formmula Khusus
- Pepti junior. Nutramigen
Pregestimil
Formula tempe
Makanan
- Modisco I – II
- Makanan cair – lunak - biasa
Dehidrasi KEP (-) : = Oralit, RL-Glukosa
KEP (+) : URO : CaReMal. DG
10%
14
Cara pemberian cairan intravena sama dengan pemberian pada diare
akut.
2) Dengan KEP
Cairan yang diberikan adalah CaReMal, kalau perlu dengan
sonde lambung. Infus hanya diberikan dalam keadaan dehidrasi
berat/syok dan muntah yang tidak terkendali.
Cairan yang dipakai infus untuk penderita diare kronik dengan
KEP adalah DG 10% (banyak mengandung K). Banyaknya cairan
yang diberikan 200 ml/kg.b.b/24 jam, diberikan dengan rincian : 60
ml/kg.b.b. diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan hanya 16
jam.
Pantau dengan ketat untuk mencegah kelebihan cairan dengan
perhatian khusus pada tanda-tanda udem dan produksi urin.
Tabel 2.2
Tanda Awal Udem Paru
b. Terapi Nutrisi
Tujuan pemberian nutrisi pada diare kronik adalah agar
pertumbuhan dan perkembangan tetap berlangsung optimum. Nutrisi
sedapat mungkin diberikan peroral karena lebih murah, efek samping
sedikit, dan yang paling penting ternyata rehabilitasi mukosa jauh lebih
cepat dan sempurna kalau diberikan nutrisi intra luminal.
Nutrisi yang diberikan harus lengkap dan karena adanya
maldigesti/malabsorpsi, maka nutrisi tersebut harus berkualitas tinggi dan
mudah dicerna. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering.
Tanda awal udem paru.
- Bertambahnya frekuensi pernafasan 5x/menit
- Bertambahnya hitung nadi 30 kali/menit
dilakukan dengan menghitung nafas dan nadi
setiap 30 menit
Gejala udem paru
- Ronki basah kasar tak nyaring pada paru
15
Makanan yang diberikan :
1) Nutrisi enternal
a) Pada bayi yang mendapat ASI, ASI harus dilanjutkan.
b) Kalau ASI tidak ada, beri susu formula rendah/bebas laktosa.
Kalau dengan susu formula rendah/bebas laktosa tidak ada
perbaikan, dapat diberikan susu formula khusus seperti Pepti
Junior, nutramigen, Pregestimil dll.
c) Pada anak-anak, makanan yang diberikan adalah Modisco I atau II.
Kalau keadaan sudah membaik, berikan makanan cair atau lunak
yang biasa dikonsumsi sesuai dengan umur.
2) Nutrisi Parenteral total (Total Parenteral Nutrition = TPN).
Nutrisi parenteral total (NPT) adalah suatu teknik memberikan
nutrisi yang diperlukan tubuh melalui intravena. Nutrisi yang diberikan
terdiri dari air, elektrolit, asam amino, emulsi lemak, mineral, vitamin
dan trace elements. NPT ini diberikan kepada penderita yang tidak
dapat mentoleran atau menyerap zat makanan yang diberikan per oral.
NPT ini mahal dan pembuatannya sulit. Komplikasi pemberian NPT
dapat disebabkan oleh faktor metabolik, mekanik dan infeksi. Bila
diberikan dengan benar nutrisi parenteral ini sangat bermanfaat,
bahkan bisa menyelamatkan jiwa, tetapi jika tidak benar akan
berbahaya dan merugikan, oleh karena itu nutrisi parenteral hanya
diberikan bila diet enteral tidak mungkin memenuhi kebutuhan
penderita.
Pelaksanaan NPT secara rinci tidak dibicarakan disini karena
merupakan topik yang luas dan mendalam, yang memerlukan
tatalaksana tersendiri. Lazimnya di Indonesia baru dapat dilaksanakan
di sarana pelayanan tersier.
16
c. Medikamentosa
1) Antibiotika
Antibiotika pada umunya tidak dianjurkan, bahkan berbahaya
karena dapat mengubah/overgrowth usus, sehingga diare bertambah
buruk. Jika diperlukan berikan sesuai dengan hasil biakan dan tes
resistensi.
2) Obat Anti Diare
Pemberian obat pengeras tinja (kaolin, pektin, arang aktif,
attapulgit dan smeetite), dan obat antidiare (difenoksilat dan loperamid
tidak dianjurkan. Obat-obatan ini berbahaya karena memberikan kesan
“sembuh palsu” dan yang paling penting mempengaruhi motilitas usus
yang justru menghambat pengeluaran bakteri bersama tinja dan
memberi kesempatan kepada bakteri untuk lebih lama dalam tubuh dan
berkembang biak dalam usus.
3) Kolestiramin
Kolestiramin (anion exchange resin) mengikat asam empedu
yang toksis untuk usus menjadi kompleks yang tidak larut dan
dikeluarkan bersama tinja sehingga stimulasi terhadap usus hilang.
Dosis 4-20 gram cukup efektif dalam mengurangi jumlah tinja.
4) Bismut sub salisilat.
Seperti kolestiramin bismut juga mengikat asam empedu.
d. Pengobatan lain
Mikronutrien seperi Vit.A, B12, asam folat, Nn dan Fe, sangat
berguna untuk regenerasi mukosa dan reaksi imunologis (Ngastiyah,
2005).
3. Penanganan Dini (Rehidrasi Dini) Diare di Rumah
Penanganan diare (rehidrasi dini) di rumah sangat penting untuk
mengurangi derajat dehidrasi yang dapat menimbulkan kejang. Penanganan
diare di rumah dapat dilakukan oleh orang tua, nenek, tetangga atau petugas
kesehatan terdekat. Pada dehidrasi ringan/sedang, tetap diupayakan
memberikan terapi rehidrasi oral. Anak harus dipaksa sampai anak bisa
17
minum. Rehidrasi dapat diberikan dengan memberi minum air matang,
memberikan oralit, memberikan teh manis, memberikan kuah sayur,
memberikan LGG, memberikan air tajin, memberikan susu dan
memberikan ASI. Oralit efektif untuk sebagian besar penderita diare. Pada
sebagian kecil penderita mungkin terjadi gangguan absorpsi monosakarida
(glukosa) sehingga diare menjadi berat. Pada kasus demikian dilakukan
perlu dirujuk ke Puskesmas atau rumah sakit.
Dalam tata laksana diare di rumah jika anak tidak diberi ASI maka
oralit tetap diberikan. Jika berumur kurang dari 6 bulan dan belum
mendapat makanan padat berikan susu formula selang-seling dengan oralit
atau cairan rumah tangga. Pemberian cairan peroral oralit pada 4 jam
perama untuk anak dibawah usia 6 bulan yang tidak diberikan ASI, berikan
100-200 ml susu selang-seling dengan oralit atau cairan rumah tangga.
Penangan dini diare dapat dilakukan dengan :
a. Memberikan cairan oralit setiap anak buang air besar,
b. Jika tidak ada oralit berikan air matang
c. Memberikan kuah sayur atau air tajin
d. Jika anak masih menyusu tetap berikan ASI dan MP-ASI
e. Tidak boleh memberikan obat apapun kecualu dari petugas kesehatan
f. Memberikan obat zinc sesuai dosis selama 10 hari berturut-turut. Cara
memberikan dengan melarutkan zinc ke dalam satu sendok makan
dengan air matang.
g. Segera bawa ke fasilitas kesehatan jika timbul demam, ada darah dalam
tinja, diare makin parah, muntah terus menerus, anak terlihat sangat
haus, anak tidak mau makan dan minum (Depkes RI, 2010).
4. Klasifikasi Dehidrasi
Berdasarkan klasifikasi dehidrasi WHO, maka dehidrasi dibagi tiga
menjadi dehidrasi ringan, sedang, atau berat.
18
a. Dehidrasi Ringan
Tidak ada keluhan atau gejala yang mencolok. Tandanya anak
terlihat agak lesu, haus, dan agak rewel.
b. Dehidrasi Sedang
Tandanya ditemukan 2 gejala atau lebih gejala berikut:
1) Gelisah, cengeng
2) Kehausan
3) Mata cekung
4) Kulit keriput, misalnya kita cubit kulit dinding perut, kulit tidak
segera kembali ke posisi semula.
c. Dehidrasi berat
Tandanya ditemukan 2 atau lebih gejala berikut:
2) Berak cair terus-menerus
3) Muntah terus-menerus
4) Kesadaran menurun, lemas luar biasa dan terus mengantuk
5) Tidak bisa minum, tidak mau makan
6) Mata cekung, bibir kering dan biru
7) Cubitan kulit baru kembali setelah lebih dari 2 detik
8) Tidak kencing 6 jam atau lebih/frekuensi buang air kecil
berkurang/kurang dari 6 popok/hari.
9) Kadang-kadang dengan kejang dan panas tinggi (Suraatmadja, 2005)
D. Status Gizi
1. Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah tanda-tanda atas penampilan fisik yang
diakibatkan karena adanya keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan
pengeluaran zat gizi oleh suatu organisme. Status gizi seseorang
dipengaruhi oleh tingkat konsumsi atau asupan makanan dan status
kesehatan (Almatsier, 2001). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap
status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila
tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien,
19
sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi
mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu
atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh
memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan
efek toksis atau membahayakan (Almatsier, 2001).
Malnutrisi adalah keadaan patologis akibat kekurangan atau
kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi. Ada empat
bentuk malnutrisi yaitu : 1) under nutrition, yaitu kekurangan konsumsi
pangan secara relatif atau absolut untuk periode tertentu; 2) specific
defisiensi, yaitu kekurangan zat gizi tertentu, misalnya kekurangan vitamin
A, yodium, Fe dan lain-lain; 3) over nutition yaitu kelebihan konsumsi
pangan untuk periode tertentu; 4) Imbalance yaitu, karena disproposi zat
gizi misalnya : kolesterol terjadi karena tidak seimbangnya LDL (Low
Density Lipoprotein) (Supariasa, 2001).
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan
akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat. Hal ini
disebabkan oleh:
a. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau
muntahnya akan bertambah hebat. Orang tua sering hanya memberikan
air teh saja (teh diit)
b. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran dan
susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
c. Makanan yang diberikan sering tidak dicerna dan diabsorbsi dengan
baik dengan adanya hiperperistaltik.
20
2. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
a. Secara langsung
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.
Ditijau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi
( Supariasa, 2001).
Berat badan merupakan antropometri yang paling banyak
digunakan karena parameter ini mudah dimengerti sekalipun oleh
mereka yang buta huruf ( Arisman, 2004).
2) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan
pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti hati dan otot ( Supariasa, 2001).
3) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting
untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (
supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan
mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan
tubuh seperti kelenjar tiroid ( Supariasa, 2001).
4) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode
penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi
(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (
Supariasa, 2001).
21
Pengukuran dengan antropometri paling sering
digunakan di masyarakat kerena mudah dilakukan, sederhana,
peralatan murah dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Secara umum
antropometri adalah ukuran tubuh manusia, ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2001).
b. Secara tidak langsung
1. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan
status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis
zat gizi yang dikonsumsi.
2. Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah
dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti
angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian
akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan
dengan zat gizi (Supariasa, 2001).
3. Faktor ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan
masalah ekologi sebagai hasil einteraksi beberapa faktor fisik,
biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia
sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi
dll (Supariasa, 2001).
Penilaian status gizi sangat berguna untuk mengetahui
status kesehatan masyarakat di suatu wilayah. Penilaian status gizi
secara tidak langsung dengan survei konsumsi makanan. Survei
konsumsi makanan sering dipergunakan sebagai salah satu teknik
untuk menunjukan tingkat keadaan gizi. Survei konsumsi makanan
yang sering dipakai adalah recall 24 jam. Dalam metode ini
responden disuruh untuk mengingat dan menceriterakan semua
22
yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu atau kemarin
(Supariasa. 2001).
2. Klasifikasi Status Gizi
a. Menurut WHO NCHS
Untuk menentukan klasifikasi status gizi diperlukan ada
batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini di
setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para
ahli di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan klinis
(Supariasa, 2002:73).
Setelah didapatkan hasil pengukuran antropometri selanjutnya
dilakukan perbandingan dengan standar dari WHO-NCHS (National
Center of Health Statistic). Klasifikasi status gizi WHO-NCHS dengan
score simpang baku (Z score) dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.3
Klasifikasi Status Gizi menurut WHO NCHS
dengan Skor Simpangan Baku ( Z Score )
No. Indeks Status Gizi Keterangan
1 BB/U Gizi lebih > 2,0 SD
Gizi baik - 2,0 s/d + 2,0 SD
Gizi kurang < - 2,0 SD
Gizi buruk < - 3,0 SD
2 TB/U Normal ≥ - 2,0 SD
Pendek (stuted) < 2,0 SD
3 BB/TB Gemuk (obes) > 2,0 SD
Normal - 2,0 s/d + 2,0 SD
Kurus (wasted) < - 2,0 SD
Sangat kurus < - 3,0 SD
Secara antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dan sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dan
23
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum
digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan
energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam
tubuh (Supariasa dkk, 2002).
b. Klasifikasi menurut Gomez
Baku yang digunakan oleh Gomez adalah baku rujukan
Harvard. Indeks yang digunakan adalah berat badan menurut umur
(BB/U). Sebagai baku patokan digunakan persentil 50. Klasifkasi
status gizi yaitu normal, ringan, sedang dan berat.
Tabel 2.4
Klasifikasi KEP menurut Gomez
Kategori (derajat KEP) BB/U (%)*)
0 = Normal
1 = Ringan
2 = Sedang
3 = Berat
90 %
89-75 %
74 – 60 %
60 %
Sumber : Supariasa, 2002
c. Klasifikasi Bengoa
Bengoa mengklarifikasikan KEP menjadi tiga kategori, yaitu
KEP I, KEP II dan KEP III. Indeks yang digunakan adalah berat badan
menurut umur.
Tabel 2.5
Klasifikasi KEP menurut Bengoa
Kategori BB/U (% baku) *)
KEP I
KEP II
KEP III
90 – 75
75 - 61
Semua penderita dengan Oedema
Sumber : Supariasa, 2002
24
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Harsono dalam Mirambi (2010) ada berbagai faktor secara
tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama pada anak
balita antara lain sebagai berikut :
a. Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan
b. Prasangka buruk terhadap makanan tertentu.
c. Adanya Kebiasaan atau pantangan yang merugikan
d. Kesukaan yang berlebihan terhadap jenis makanan tertentu.
e. Jarak kelahiran yang terlalu rapat.
f. Sosial ekonomi.
g. Pola Asuh
h. Penyakit penyerta yang memperburuk status gizi
i. Akibat Gizi yang tidak seimbang
j. Kurangnya asupan gizi dan protein.
k. Makanan yang tersedia kurang mengandung energi
l. Nafsu makan anak terganggu sehingga tidak mau makan
m. Gangguan dalam saluran pencernaan sehingga penyerapan sari
makanan dalam usus terganggu.
n. Kebutuhan yang meningkat, misalnya karena penyakit infeksi yang
tidak diimbangi dengan asupan yang memadai.
25
E. Kerangka Teori
Gambar 2.2
Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Suharyono, 2008 dan WHO dan IDAI, 2011.
Kejadian
Diare
Status gizi Lama hari
rawat
Faktor yang mempengaruhi lama hari rawat :
1. Jenis diare akut atau kronik
2. Frekuensi buang air besar (BAB) anak
3. Lamanya diare terjadi (berapa hari)
4. Darah penderita : normal atau ada
kelainan fungsi ginjal
5. Urine : protein urine negatif atau protein
urine positif
6. Apakah ada darah dalam tinja
7. Apakah ada muntah.
8. Kondisi dehidrasi ringan, sedang atau
dehidrasi berat.
9. Balita rewel atau gelisah sehingga tidak
bisa istirahat
10. Balita letargis/ kesadaran berkurang,
mata cekung, cubitan kulit perut
kembalinya lambat atau sangat lambat.
11. Balita haus/minum dengan lahap, atau
malas minum atau tidak bisa minum
26
F. Kerangka Konsep
Gambar 2.3
Kerangka Konsep Penelitian
Variabel penelitian
G. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah status gizi penderita diare meliputi
darah, urine, BB, TB, kulit dan derajat dehidrasi serta lama hari rawat pada
balita di RS Muhammadiyah Roemani Semarang Tahun 2011.
Lama hari rawat
penderita diare
pada balita
Status gizi :
1. Darah (Hb)
2. Urine
3. BB
4. TB
5. Kulit
6. Dehidrasi
27