10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Hospitalisasi
a. Pengertian
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak
sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak
berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu
rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi
anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga (Wong,
2009).
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana
atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit
untuk menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di
rumah sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan
ketakutan, cemas, bagi anak (Supartini, 2004). Hospitalisasi juga dapat
diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab
anak dirawat di rumah sakit (Stevens, 1999).
b. Dampak Hospitalisasi Pada Anak
Reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap di rumah sakit
bereda- beda pada masing-masing individu. Hal tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Perkembangan usia anak merupakan salah satu
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
11
faktor utama yang dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan
proses perawatan. Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai
tingkat perkembangan anak (Supartini, 2004). Menurut Sacharin,
semakin muda anak semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri
dengan pengalaman dirawat di rumah sakit. Hal ini tidak berlaku
sepenuhnya bagi bayi yang masih sangat muda, walaupun tetap dapat
merasakan adanya pemisahan. Selain itu, pengalaman anak
sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat juga sangat
berpengaruh. Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak
menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan menyebabkan
anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat di rumah sakit
mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan lebih
kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini, 2004).
Akibat dari hospitalisasi akan berbeda-beda pada anak bersifat
individual dan sangat tergantung pada tahapan perkembangan anak.
Anak usia prasekolah menerima keadaan masuk rumah sakit dengan
sedikit ketakutan. Selain itu ada sebagian anak yang menganggapnya
sebagai hukuman sehingga timbul perasaan malu dan bersalah. Ada
beberapa diantaranya akan menolak masuk rumah sakit dan secara
terbuka menangis tidak mau dirawat. Jika anak sangat ketakutan, anak
dapat menampilkan perilaku agresif, dari menggigit, menendang
nendang, hingga berlari keluar ruangan. Ekspresi verbal yang
ditampilkan seperti dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
12
bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua.
Anak pada usia pra sekolah membayangkan dirawat di rumah sakit
merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan
kemandiriannya terlambat (Wong, 2009).
Biasanya anak akan melontarkan beberapa pertanyaan karena
bingung dan anak tidak mengetahui keadaan di sekelilingnya. Selain
itu, anak juga akan menangis, bingung, khususnya bila keluar darah
atau mengalami nyeri pada anggota tubuhnya. Ditambah lagi, beberapa
prosedur medis dapat membuat anak semakin takut, cemas, dan stres.
Reaksi anak usia prasekolah terhadap perpisahan adalah kecemasan
karena berpisah dengan lingkungan yang nyaman, penuh kasih sayang,
lingkungan bermain, permainan, dan teman bermain. Reaksi
kehilangan kontrol anak merasa takut dan khawatir serta mengalami
kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan tubuh dan nyeri dengan
menggigit bibir dan memegang sesuatu yang erat (Wong, 2009)
2. Insersi Intravena
a. Pengertian
Terapi cairan intravena merupakan pemberian cairan untuk
penggantian cairan, pemberian obat, dan penyediaan nutrien jika tidak
ada pemberian dengan cara lain (Smeltzer & Bare, 2006). Terapi
intravena diberikan untuk memperbaiki atau mencegah
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada penyakit akut dan kronis
dan juga digunakan untuk pemberian obat intravena (Potter dan Perry,
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
13
2005). Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang
dilakukan dengan cara memasukkan cairan melalui intravena dengan
bantuan infus set yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
elektrolit tubuh (Tamsuri, 2007).
Umumnya cairan intravena diberikan untuk mencapai satu atau
lebih tujuan berikut ini:
1) Untuk menyediakan cairan elektrolit, dan nutrien untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
2) Untuk menggantikan air dan memperbaiki kekurangan elektrolit
3) Untuk menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara
intravena (Smeltzer & Bare, 2006).
b. Jenis-jenis larutan Intravena
Larutan elektrolit dianggap isotonik jika kandungan elektrolit
totalnya (anion ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L. Larutan
dianggap hipotonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250
mEq/L dan hipertonik jika kandungan elektrolit totalnya melebihi 375
mEq/L. Perawat juga harus mempertimbangkan osmolalitas suatu
larutan, bahwa osmolalitas plasma adalah kira-kira 300 mOsm/L.
1) Cairan isotonis.
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas sama atau
mendekati osmolalitas plasma. Cairan isotonik digunakan untuk
mengganti volume ekstrasel, misalnya kelebihan cairan setelah
muntah yang berlangsung lama. Cairan ini akan meningkatkan
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
14
volume ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik akan menambah CES
1 liter. Tiga liter cairan isotonik diperlukan untuk mengganti 1 liter
darah yang hilang. Contohnya saline normal (0,9% natrium klorida),
larutan ringer lactate.
2) Cairan hipotonik.
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih kecil
daripada osmolalitas plasma. Tujuan cairan hipotonik adalah untuk
menggantikan cairan seluler, dan menyediakan air bebas untuk
ekskresi sampah tubuh. Pemberian cairan ini umumnya
menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air
masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan di intrasel
dan ekstrasel, sel tersebut akan membesar atau membengkak.
Contohnya salin berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%).
3) Cairan hipertonik.
Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih tinggi
daripada osmolaritas plasma. Pemberian larutan hipertonik yang
cepat dapat menyebabkan kelebihan dalam sirkulasi dan dehidrasi.
Perpindahan cairan dari sel ke intravaskuler, sehingga menyebabkan
sel-selnya mengkerut. Dekstrosa 5% dalam air diberikan untuk
membantu memenuhi kebutuhan kalori. Larutan salin juga tersedia
dalam konsentrasi osmolar yang lebih tinggi daripada CES (Brunner
& Suddarth, 2006).
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
15
c. Penatalaksanaan Keperawatan pada Pasien yang mendapat Terapi
Intravena
Menurut Perry & Potter (2005), tempat atau lokasi vena perifer
yang sering digunakan pada insersi intravena adalah vena supervisial
atau perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses
paling mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang
memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial
dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena
basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median lengan
bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna,
ramus dorsalis). Pembuluh darah yaitu arteri dan vena terdiri dari
beberapa lapisan, masing-masing dengan struktur dan fungsi khusus.
1) Tunika intima
Merupakan lapisan paling dalam dan berkontak langsung
dengan aliran vena. Lapisan ini dibentuk oleh lapisan tunggal sel-
sel endotel yang menyediakan permukaan yang licin dan bersifat
nontrombogenik. Pada lapisan ini terdapat katup, tonjolan
semilunar, yang membantu mencegah refluks darah. Kerusakan
lapisan ini dapat terjadi akibat kanulasi traumatik, iritasi oleh alat
yang kaku atau besar, serta cairan infus dan partikel yang bersifat
iritan.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
16
2) Tunika media
Merupakan lapisan tengah, terdiri dari jaringan ikat yang
mengandung serabut muskular dan elastis. Jaringan ikat ini
memungkinkan vena mentoleransi perubahan tekanan dan aliran
dengan menyediakan rekoil elastis dan kontraksi muskular.
3) Tunika adventisia
Merupakan lapisan terluar, terdiri dari serabut elastis
longitudinal dan jaringan ikat longgar (Dougherty, 2008).
Menurut Perry & Potter (2005), prosedur insersi intravena yaitu:
1) Tentukan lokasi pemasangan, sesuaikan dengan keperluan rencana
pengobatan, punggung tangan kanan / kiri, kaki kanan / kiri, 1 hari
/ 2 hari.
2) Lakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
3) Lencangkan kulit dengan memegang tangan / kaki dengan tangan
kiri, siapkan intravena kateter di tangan kanan.
4) Tusukkan jarum sedistal mungkin dari pembuluh vena dengan
lubang jarum menghadap keatas, sudut tusukan 30-40 derajat arah
jarum sejajar arah vena, lalu dorong.
5) Bila jarum masuk ke dalam pembuluh vena, darah akan tampak
masuk kedalam bagian reservoir jarum.
6) Pisahkan bagian jarum dari bagian kanul dengan memutar bagian
jarum sedikit. Lanjutkan mendorong kanul kedalam vena secara
perlahan sambil diputar sampai seluruh kanul masuk.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
17
7) Cabut bagian jarum seluruhnya perhatikan apakah darah keluar dari
kanul, tahan bagian kanul dengan ibu jari kiri.
8) Hubungkan kanula dengan transfusion set. Buka saluran infus
perhatikan apakah tetesan lancer. Perhatikan apakah lokasi
penusukan membengkak, menandakan elestravasasi cairan
sehingga penusukan harus diulang dari awal.
9) Bila tetesan lancar, tak ada ekstravasasi lakukan fiksasi dengan
plester dan pada bayi / balita diperkuat dengan spalk.
10) Kompres dengan kasa betadine pada lokasi penusukan.
11) Atur tetesan infus sesuai instruksi.
12) Laksanakan proses administrasi, lengkapi berita acara pemberian
infus, catat jumlah cairan masuk dan keluar, catat balance cairan
selama 24 jam setiap harinya, catat dalam perincian harian ruangan.
Bila sudah tidak diperlukan lagi, pemasanggan infus dihentikan.
3. Kecemasan
a. Pengertian
Kecemasan merupakan reaksi emosional yang timbul oleh
penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang dapat menimbulkan
perasaan tidak nyaman dan merasa terancam (Stuart & Sundeen,
2008). Menurut Kaplan (1998) cemas adalah suatu isyarat waspada
yang memperingatkan akan bahaya yang mengancam dan
ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi yang berhubungan
dengan kecemasan tersebut.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
18
Menurut Ann (1996), cemas berbeda dengan takut, walaupun
respon fisik cemas dan takut hampir sama, namun ada beberapa
perbedaan penting antara keduanya, yaitu:
1) Takut merupakan suatu reaksi terhadap bahaya yang spesifik,
sedangkan kecemasan merupakan perasaan samar terhadap
ancaman dari bahaya yang tidak spesifik.
2) Kecemasan menyerang pada tingkat lebih dalam dari pada takut
yaitu sampai pusat kepribadian.
Adapun hospitalisasi dapat diartikan adanya beberapa
perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah
sakit (Stevens, 1999, dalam Rasmun, 2004).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kecemasan akibat hospitalisasi pada anak adalah respon emosional
berupa rasa khawatir dan takut karena anak dirawat atau tinggal di
rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan
beberapa perubahan psikis pada anak
b. Gambaran klinis
Penderita kecemasan akan mengalami 3 (tiga) atau lebih dari
gejala-gejala berikut: gelisah, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, mudah
tersinggung, ketegangan otot dan gangguan tidur. Manifestasi cemas
dapat meliputi aspek fisik, emosi, kognitif dan tingkah laku. Respon
terhadap ancaman dapat berkisar dari kecemasan ringan, sedang, berat
dan panik (Stuart & Sundeen, 2008).
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
19
a. Kecemasan ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-
hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Kecemasan
ringan diperlukan untuk seorang agar berfungsi dan berespon
secara efektif terhadap lingkungan dan kejadian. Seseorang dengan
kecemasan ringan dapat dijumpai hal-hal sebagai berikut:
1) Respon fisiologis
Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala
ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.
2) Respon kognitif
Lapang persepsi meluas mampu menerima rangsangan yang
kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah
secara efektif.
3) Respon perilaku dan emosi
Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara
kadang-kadang meninggi.
b. Kecemasan Sedang
Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu
yang lebih terarah. Orang dengan Kecemasan sedang biasanya
menunjukkan keadaan sebagai berikut:
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
20
1) Respon fisiologis
Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut
kering, anoreksia, diare atau kostipasi, gelisah.
2) Respon kognitif
Lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu
diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.
3) Respon perilaku dan emosi
Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), bicara banyak dan
cepat, susah tidur, perasaan tidak aman.
c. Kecemasan berat
Lapangan persepsi menjadi sangat menurun. Individu
cenderung memikirkan hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan
hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir realistis dan
membutuhkan pengarahan untuk dapat memusatkan area lain.
a) Respon Fisiologis
Nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat, sakit
kepala, penglihatan kabur dan ketegangan.
b) Respon kognitif
Lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan
masalah.
c) Respon perilaku dan emosi
d) Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat dan blocking.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
21
d. Kecemasan sangat berat atau panik
Lahan persepsi sudah sangat sempit sehingga individu tidak
dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa
walaupun sudah diberi pengarahan dan tuntunan. Pada keadaan ini
terjadi peningkatan aktivitas motorik. Tingkat anxietas ini tidak
sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu
yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.
Seseorang dengan panik akan dapat dijumpai adanya :
1) Respon fisiologis
Nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat,
hipotensi, koordinasi motorik rendah.
2) Respon kognitif
Lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat berpikir logis.
3) Respon perilaku dan emosi
Agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, sering berteriak,
blocking, kehilangan kendali atau kontrol diri, persepsi kacau.
c. Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Menurut (Stuart & Sundeen, 2008) ada 2 faktor yang
mempengaruhi kecemasan:
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah semua ketegangan dalam
kehidupan yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan, berupa:
1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan
berkaitan dengan krisis yang dialami individu
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
22
2) Konflik emosional yang dialami individu dan terselesaikan
dengan baik.
3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan
individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan
kecemasan
4) Frustasi akan menimbulkan rasa ketidak berdayaan untuk
mengambil keputusan.
5) Gangguan fisik menimbulkan kecemasan karena merupakan
ancaman terhadap integritas fisik yang mempengaruhi konsep
diri.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah ketegangan dalam kehidupan yang
dapat mencetuskan timbulnya kecemasan, yang dikelompokkan
menjadi dua:
1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi:
a) Sumber internal: kegagalan mekanisme fisiologi system,
imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal
(hamil).
b) Sumber eksternal: paparan terhadap infeksi virus dan
bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan
nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
23
2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan
eksternal:
a) Sumber internal: kesulitan dalam berhubungan
interpersonal dirumah dan tempat kerja, penyesuaian
terhadap tempat baru.
b) Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai,
perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok
d. Instrumen Pengukuran Kecemasan Pada Anak
Untuk mengukur tingkat kecemasan anak terdapat beberapa
instrumen pengukuran kecemasan anak, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) adalah instrumen
kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak usia sekolah.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala kecemasan Spence Children's Anxiety Scale (SCAS).
Instrumen ini terdiri dari 32 pertanyaan, yang memiliki total skor
96. Responden diminta untuk menunjukkan frekuensi setiap gejala
yang terjadi pada empat skala poin mulai dari tidak pernah (skor 0)
sampai poin selalu (skor 3). Hasil kuesioner akan menjadi kriteria
tingkat kecemasan anak: ringan (skor <16), sedang (skor 17-32),
berat (skor 33-48), dan berat sekali/panik (skor >49).
2) Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) preschool adalah
instrumen kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak usia
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
24
prasekolah. Skala ini terdiri dari 28 pertanyaan kecemasan, Skala
ini dilengkapi dengan meminta orang tua untuk mengikuti petunjuk
pada lembar instrumen. Jumlah skor maksimal pada skala
kecemasan SCAS Preschool adalah 112. 28 item kecemasan
tersebut memberikan ukuran keseluruhan kecemasan, selain nilai
pada enam sub-skala masing-masing menekankan aspek tertentu
dari kecemasan anak, yaitu kecemasan umum, kecemasan sosial,
gangguan obsesif kompulsif, ketakutan cedera fisik dan kecemasan
pemisahan (Spence, 2011). Hasil total skor kuesioner akan menjadi
kriteria tingkat kecemasan anak, dengan rentang skor kecemasan
sebagai berikut: ringan (skor < 28), sedang (skor 28-56), berat
(skor 57-84), dan sangat berat/panik (skor >85). Jumlah pertanyaan
dalam instrumen ini terdiri dari 6 sub-skala kecemasan dan pada
item pertanyaan sebagai berikut:
a) Kecemasan umum (1, 4, 8, 14 dan 28)
b) Kecemasan sosial (2, 5, 11, 15, 19 dan 23)
c) Gangguan obsesif kompulsif (3, 9, 18, 21 dan 27)
d) Ketakutan cedera fisik (7, 10, 13, 17, 20, 24 dan 26)
e) Kecemasan pemisahan (6, 12, 16, 22 dan 25)
3) Faces anxiety scale for children dikembangkan oleh McMurtry
(2010) untuk mengukur kecemasan/rasa takut pada pasien anak di
unit perawatan intensif. Anak-anak sering diminta untuk
melaporkan kecemasan / ketakutan sebelum dan selama prosedur
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
25
medis yang menyakitkan, sebelumnya dilakukan penyelidikan awal
dari sifat psikometri dari skala kecemasan wajah. Faces anxiety
scale for children menunjukkan berbagai tingkat kecemasan. Skor
0 memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama sekali, skor 1
(menggambarkan lebih sedikit kecemasan), skor 2
(menggambarkan sedikit kecemasan), skor 3 (menggambarkan
kecemasan) dan skor 4 (menggambarkan kecemasan yang ekstrim
pada anak).
4) Face Image Scale yaitu pengukuran tingkat kecemasan
menggunakan pendekatan ekspresi wajah.
Gambar 2.1. Facial Image Scale with image. scores, 1–5.
Sumber: Buchannan H, Niven H (2002). Validation of a facial Image
Scale to assess child dental anxiety. Int J Paediatr Dent. Vol. 12,
No. 47-52
4. Komunikasi Terapeutik
a. Pengertian
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Keliat
(2006) dikatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah cara untuk
membina hubungan yang terapeutik yang diperlukan untuk pertukaran
informasi, perasaan dan pikiran untuk membentuk keintiman yang
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
26
terapeutik. Sedangkan Purwanto (2004) mendefinisikan komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
b. Manfaat Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik sangat bermanfaat dalam pelayanan
keperawatan. Adapun manfaat komunikasi terapeutik menurut
Purwanto (2004) adalah :
1) Mendorong dan menganjurkan kerjasama antara perawat dengan
klien melalui hubungan perawat dengan klien.
2) Mengidentifikasi, mengungkap perasaan, dan mengkaji masalah
serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan.
Proses komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah
laku klien mengatasi masalah yang dihadapi dalam tahap perawatan.
Sedangkan pada tahap preventif, kegunaannya adalah mencegah
adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri klien.
c. Tujuan Komunikasi Terapeutik
Tujuan diterapkannya komunikasi terapeutik dalam pelayanan
keperawatan sehari-hari menurut Purwanto (2004) adalah :
1) Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan
dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi
yang ada bila klien percaya pada hal yang diperlukan.
2) Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan
yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
27
3) Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.
d. Elemen-Elemen Dalam Proses Komunikasi Terapeutik
Ada beberapa elemen dalam proses komunikasi menurut Potter
dan Perry (2005), antara lain:
1) Referen atau stimulus yang memotivasi atau mendorong seseorang
untuk berkomunikasi dengan orang lain.
2) Pengirim atau encoder yaitu penyampai informasi atau orang yang
memprakarsai pesan atau informasi.
3) Pesan yakni informasi yang diinformasikan atau diekspresikan oleh
pengirim.
4) Saluran yang membawa pesan, baik melalui saran visual,
pendengaran maupun taktil.
5) Penerima atau decoder yaitu orang yang menerima pesan yang
dikirimkan komunikator.
6) Respon dari penerima pesan baik respon verbal maupun non verbal.
Respon dari penerima ini menunjukkan pemahaman penerima
tentang pesan yang diterima.
e. Prinsip-Prinsip Komunikasi Terapeutik
Dalam komunikasi terapeutik, ada beberapa prinsip yang perlu
diketahui. Menurut Rogers (1974) yang dikutip oleh Purwanto (2004),
prinsip-prinsip komunikasi tersebut adalah :
1) Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati,
memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
28
2) Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling
percaya dan saling menghargai.
3) Perawat harus memahami dan menghayati nilai yang dianut oleh
pasien.
4) Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik
maupun mental.
5) Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien
bebas berkembang tanpa rasa takut.
6) Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan
pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya, baik sikap,
tingkah laku sehingga tumbuh makin matang dan mampu
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
7) Perawat harus mampu mengatasi perasaan sendiri secara bertahap
untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah,
keberhasilan maupun frustrasi.
8) Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat
mempertahankan konsistensinya.
9) Memahami arti empati sebagai tindakan yang terapeutik.
10) Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan
terapeutik
11) Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan
meyakinkan orang lain tentang kesehatan. Maka, perawat perlu
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
29
mempertahankan suatu keadaan sehat fisik, mental, spiritual dan
gaya hidup.
12) Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap
mengganggu.
13) Altruisme mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain
secara manusiawi.
14) Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin
mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.
15) Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab
terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan
tanggungjawab terhadap orang lain.
f. Langkah-Langkah Komunikasi Terapeutik
Proses hubungan terapeutik atau tahapan antara seorang terapis
dengan pasiennya dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu:
1) Prainteraksi
a) Prainteraksi mulai sebelum kontak pertama dengan pasien.
b) Dijelaskan bahwa seorang terapis akan mengeksploitasi perasaan
dirinya sendiri, fantasi, kecemasan dan ketakutan dirinya sendiri
(terapis) dalam menghadapi pasien, sehingga kesadaran dan
kesiapan diri terapis untuk melakukan hubungan dengan pasien
dapat dipertanggungjawabkan.
2) Perkenalan atau orientasi
a) Perawat memulai kegiatan yang pertama kali di mana perawat
bertemu pertama kali dengan klien.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
30
b) Kegiatan yang dilakukan adalah memperkenalkan diri kepada
klien dan keluarga bahwa saat ini yang menjadi perawat adalah
dirinya. Dalam hal ini berarti perawat sudah siap sedia untuk
memberikan pelayanan keperawatan pada klien. Dengan
memperkenalkan dirinya, perawat telah bersikap terbuka pada
klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk membuka
dirinya
3) Fase Kerja
Tahap kerja merupakan tahap untuk mengimplementasikan rencana
keperawatan yang telah dibuat pada tahap orientasi. Per awat
menolong klien untuk mengatasi cemas, meningkatkan kemandirian,
dan tanggung jawab terhadap diri serta mengembangkan mekanisme
koping konstruktif.
4) Terminasi
Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari
hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan intim yang
terapeutik sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Keduanya,
terapis dan pasien akan merasakan kehilangan. Terminasi dapat
terjadi pada saat terapis mengakhiri tugasnya. Dalam membina
hubungan yang tera peutik dengan pasien, seorang terapis perlu
mengetahui proses komunikasi dan ketrampilan berkomunikasi
dalam membantu pasien memecahkan masalahnya (Purwanto,
2004).
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
31
g. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik
Suatu proses komunikasi atau proses berinteraksi dengan orang
lain dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut
menurut Potter dan Perry (2005) antara lain :
1) Perkembangan
Perkembangan seseorang mempengaruhi cara berkomunkasi. Anak
dengan perkembangan yang baik akan berbeda kemampuan
berbahasa dan bicaranya dibanding dengan anak yang mengalami
gangguan perkembangan. Untuk dapat berkomunikasi secara efektif
khususnya pada anak-anak, perawat harus memahami pengaruh
perkembangan bahasa dan proses berpikir, karena hal ini
mempengaruhi cara anak berkomunikasi sehingga proses interaksi
dapat berjalan baik.
2) Persepsi
Adalah pandangan pribadi terhadap apa yang terjadi. Persepsi ini
dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Perbedaan persepsi antar
individu yang berinteraksi mengakibatkan terhambatnya komunikasi.
3) Nilai
Adalah standar yang mempengaruhi perilaku dan interpretasi suatu
pesan. Klarifikasi nilai penting untuk membuat keputusan dan
interaksi yang tepat dengan seseorang. Nilai tersebut adalah apa
yang dianggap penting oleh individu dalam hidupnya dan pengaruh
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
32
dari ekspresi pemikiran dan ide. Maka, penting bagi seorang perawat
untuk mengembangkan kepekaan terhadap nilai tersebut.
4) Latar belakang sosiokultural
Budaya merupakan bentuk kondisi yang menunjukkan diri seseorang
melalui tingkah lakunya. Bahasa, nilai, pembawaan dan gaya
komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Perbedaan ini
dapat menghambat komunikasi.
5) Emosi
Emosi adalah perasaan subyektif seseorang terhadap suatu kejadian
atau peristiwa tertentu. Cara seseorang bersosialisasi atau
berinteraksi dengan orang lain dipengaruhi oleh emosi. Hal ini dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima suatu pesan
dengan baik. Selain itu, emosi dapat menyebabkan individu salah
menginterpretasikan pesan yang diterima.
6) Gender.
Perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi komunikasi. Pria dan
wanita mempunyai gaya komunikasi yang berbeda dan satu sama
lain saling mempengaruhi secara unik dalam proses komunikasi.
7) Pengetahuan
Tingkat pengetahuan seseorang akan sangat berpengaruh dalam
berinteraksi dengan orang lain. Seseorang dengan tingkat
pengetahuan yang rendah akan sulit merespon pertanyaan yang
menggunakan bahasa verbal dari orang yang tingkat pengetahuannya
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
33
tinggi. Pesan yang disampaikan menjadi tidak jelas bila kata-kata
yang digunakan tidak dikenal pendengar atau penerima. Seorang
komunikator yang baik perlu mengetahui tingkat pengetahuan
penerima pesan agar informasi yang disampaikan dapat diterima
dengan baik sehingga interaksi dapat berjalan dengan baik.
8) Peran dan hubungan
Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antara orang
yang berkomunikasi atau seseorang berkomunikasi dalam tatanan
yang tepat menurut peran dan hubungan mereka. Komunikasi akan
menjadi lebih efektif apabila masing-masing pihak tetap waspada
terhadap peran mereka dalam berkomunikasi.
9) Lingkungan
Lingkungan akan berpengaruh terhadap komunikasi yang efektif.
Kebisingan dan kurangnya kebebasan seseorang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan dalam berkomunikasi. Untuk itu, ruangan atau
lingkungan yang tenang, nyaman, bebas dari kebisingan dan
gangguan adalah yang terbaik untuk berkomunikasi.
10) Jarak
Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu seperti jarak
personal (20 cm sampai 120 cm) memberikan rasa aman bagi
perawat dan klien dimana perawat duduk bersama klien untuk
mendiskusikan perasaan, pemikiran maupun dalam melakukan
wawancara. Dalam interaksi sosial, orang secara sadar
mempertahankan jarak antar mereka.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
34
5. Anak Pra Sekolah
a. Pengertian anak pra sekolah
Pengertian anak pra sekolah menurut Biechler dan Snowman
(dalam Patmonodewo, 2003), adalah mereka yang berusia antara tiga
sampai enam tahun. Usia tersebut mereka biasanya mengikuti program
pendidikan pra sekolah. Anak pra sekolah di Indonesia, umumnya
mengikuti program Tempat Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain
(KB), dan mengikuti program Taman Kanak-Kanak (TK). Pada
dasarnya program pendidikan pra sekolah yang ada di Indonesia terbagi
menjagi tiga bagian, yakni program pendidikan pra sekolah formal, non
formal, dan informal.
Menurut teori Erikson (dalam Patmonodewo, 2003) yang
membicarakan perkembangan kepribadian seseorang dengan titik berat
pada perkembangan psikososial tahapan nol sampai satu tahun, berada
pada tahapan orang sensorik dengan krisis emosi antara trust versus
mistrust, tahapan tiga sampai enam tahun anak berada dalam tahapan
dengan krisis autonomy versus shame and doubt (dua sampai tiga
tahun), initiative versus guilt (empat sampai lima tahun) dan tahap usia
enam sampai sebelas tahun mengalami krisis industry versus
inferiority.
Menurut teori Piaget (dalam Patmonodewo, 2003) yang
membicarakan perkembangan kognitif, perkembangan dari tahapan
sensorimotor (nol sampai dua tahun), pra operasional (dua sampai tujuh
tahun), operasional konkret (tujuh sampai dua belas tahun), dan
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
35
operasional formal (dua belas sampai lima belas tahun), maka
perkembangan kognitif anak masa pra sekolah berada pada tahap pra
operasional.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa
anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara tiga sampai enam
tahun. Mereka biasanya mengikuti program pra sekolah dan
kindergarten. Umumnya di Indonesia anak pra sekolah mengikuti
program Tempat Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), dan
program Taman Kanak-Kanak (TK).
b. Karakteristik anak pra sekolah
Anak usia pra sekolah yang adalah anak yang berusia 3-6 tahun
yang biasanya mengikuti program kindegarten atau Taman Kanak-
Kanak. Di masa inilah seorang anak sedang mengalami pertumbuhan
dan perkembangan demikian pesatnya baik meliputi jasmani, kognitif,
sosial, dan emosional (Patmonodewo, 2003). Pada masa ini anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat baik
fisik maupun psikisnya. Sehingga rentang usia tersebut disebut dengan
usai emas (golden age) yang merupakan usia yang sangat berharga yang
menjadi dasar bagi perkembangan anak pada usia-usia selanjutnya.
Karakteristik anak usia 4 – 6 tahun menurut Hibana (2005), yaitu:
1) Berkaitan dengan perkembangan fisik, anak sangat aktif melakukan
berbagai kegiatan. Hal itu bermanfaat untuk pengembangan otot-otot
kecil maupun besar.
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
36
2) Perkembangan bahasa juga semakin baik. Anak sudah mampu
memahami pembicaraan orang lain dan mampu mengungkapkan
pemikiranya dalam batas-batas tertentu.
3) Perkembangan kognitif (daya pikir) sangat pesat, ditunjukkan
dengan rasa ingin tahu anak yang luar biasa terhadap lingkungan
sekitar. Hal itu terlihat dari seringnya anak menanyakan segala
sesuatu yang dilihat.
4) Bentuk permainan anak masih bersifat individu, bukan permainan
sosial. Walaupun aktifitas bermain dilakukan secara bersama.
Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami
serangkaian perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang surut
berkenaan dengan rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang
terdahulu telah teratasi, tetapi banyak yang masih tetap ada. Banyak
ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan
dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itu
sendiri (Sunarto dan Hartono, 2006).
Anak-anak seringkali berusaha untuk mengatasi ketakutan-
ketakutan yang timbul dari persoalan-persoalan kehidupan. Tidak ada
seorang pun yang dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-
satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah
terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seseorang begitu takut sehingga
ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang (Sunarto dan Hartono,
2006).
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
37
B. Kerangka Teori
Kerangka teori hubungan hubungan dukungan keluarga dengan tingkat
kecemasan akibat hospitalisasi pada anak pra sekolah disajikan pada gambar
berikut ini.
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber: Diadopsi dari Supartini (2004), Wong (2009), Stuart & Sunden
(2008), dan Patmonodewo (2003)
Hospitalisasi
Faktor yang mempengaruhi
1. Faktor Predisposisi
a) Peristiwa traumatik
b) Konflik emosional
c) Konsep diri terganggu
d) Frustasi
e) Gangguan fisik
2. Faktor Presipitasi
a) Ancaman terhadap integritas
fisik
b) Ancaman terhadap harga diri
Kecemasan
Anak Pra sekolah
Komunikasi Terapeutik
Pemberian Obat Intra
Vena
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
38
Komunikasi
Terapeutik
Pemberian Obat
Intra Vena
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
D. Hipotesis
Hipotesis Penelitian Menurut Sugiyono (2006), hipotesis merupakan
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan
masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Dikatakan
sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori.
Hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang merupakan jawaban
sementara atas masalah yang dirumuskan. Hipotesis yang akan diuji dalam
penelitian ini yaitu:
Ho : Tidak terdapat hubungan komunikasi terapeutik pemberian obat intra
vena dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak pra
sekolah di Bangsal Anak Rumah Sakit Wijaya Kusuma Purwokerto
Tahun 2015.
Ha : Terdapat hubungan komunikasi terapeutik pemberian obat intra vena
dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak pra sekolah di
Bangsal Anak Rumah Sakit Wijaya Kusuma Purwokerto Tahun 2015.
Kecemasan Akibat
Hospitalisasi
Hubungan Komunikasi Terapeutik..., Agung Anggoro, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015