2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Limbik
Kata limbik berasal dari bahasa Latin, “limbus”, yang berarti perbatasan. Kata
limbik pada awalnya digunakan untuk menjelaskan struktur tepi di sekeliling basal
dari serebrum, tetapi arti sistem limbik telah diperluas sebagai lintasan neuronal yang
mengatur tingkah emosi dan motivasi. Sistem ini sangat berhubungan dengan
keberadaan kita dan apapun yang kita lakukan. Bentuk-bentuk emosi seperti perasaan
takut, marah, senang, susah, lapar, haus, sampai pada perilaku seksual manusia diatur
oleh sistem ini.3
Sistem limbik merupakan perubahan dari struktur primif otak, yang terletak di
atas batang otak dan di bagian dalam korteks. Sistem limbik mencakup beberapa
bagian yaitu hipotalamus, hipokampus, amigdala, forniks, dan area-area subkortikal
di sekelilingnya seperti cingulated gyrus, ganglia basalis, ventral tegmental area, dan
prefrontal cortex serta cincin korteks serebral yang mengelilingi struktur subkortikal
limbik yang disebut korteks limbik. Dari beberapa bagian tersebut, yang paling utama
dan berperan dalam sistem limbik adalah hipotalamus.4
Gambar 2.1 : Sistem limbik pada otak3
3
2.2 Bagian – Bagian Sistem Limbik
2.2.1 Hipotalamus
Hipotalamus adalah bagian otak yang memiliki fungsi terbesar sebagai pusat
pengaturan fungsi tubuh. Hipotalamus terletak di atas kelenjar pituari dan di bawah
thalamus (karena itu disebut hipotalamus). Hipotalamus mengandung banyak nuclei,
setiap nukleus mempunyai tugas masing-masing dalam mengatur fungsi internal
tubuh. Hipotalamus merupakan bagian dari sistem limbik. Hipotalamus mernerima
masukan dari organ-organ sensorik, terutama bau, cecap, dan penglihatan. Keluaran
berjalan melalui batang otak, korda spinalis dan kelenjar pituari, mengatur motor
somatik, motor otonom, dan sekresi hormone. Hipotalamus dibagi atas zona lateral,
medial, anterior, dan posterior.5
2.2.2 Hipokampus
Hipokampus merupakan suatu struktur korteks primitif yang membentang di
sepanjang lantai kornu inferior dari ventrikel lateral dan bersinambung dengan
forniks di bawah splenium dari korpus kalosum. Hipokampus dapat juga disebut
dengan kornu Ammonis (tanduk Ammon).6 Hipokampus sangat penting dalam ingatan
jangka pendek (short term memory) dan jangka panjang (long term memory). Jika
terjadi lesi atau kerusakan pada area hipokampus ini, maka penderita tidak dapat
membangun ingatan baru.7
2.2.3 Amigdala
Amigdala berasal dari bahasa Latin “amygdalae” adalah sekelompok jaringan
saraf yang berbentuk kacang almond. Amigdala ditemukan oleh Joseph LeDoux,
seorang ahli syaraf dari New York.7 Amigdala merupakan kompleks nuclei yang
terletak tepat di bawah korteks dari tiang (pole) medial anterior setiap lobus
temporalis. Bagian dari amigdala yang sangat berkembang dan penting adalah
basolateral nuclei.6
Amigdala menerima sinyal neuronal dari semua bagian korteks limbik seperti
juga neokorteks lobus temporal, parietal dan occipital, terutama pada area asosiasi
4
auditorik dan area asosiasi visual. Amigdala merupakan bagian sistem limbik yang
sangat berperan dalam melakukan pengelolaan dan ingatan terhadap reaksi emosi.
Amigdala bekerja pada tingkat bawah sadar. Amigdala berproyeksi pada jalur sistem
limbik seseorang dalam berhubungan dengan alam sekitar dan pikiran. Berdasarkan
hal ini, amigdala membantu menentukan pola respon perilaku seseorang sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan setiap keadaan. Dari hipokampus, rangsangan yang
telah memiliki makna dikirim ke amigdala. Amigdala mempunyai serangkaian
tonjolan dengan reseptor yang disiapkan untuk berbagai macam neurotransmitter
yang mengirim rangsangan kearah sentralnya, sehingga terbentuk pola respon
perilaku yang sesuai dengan makna rangsangan yang diterima (pusat pengambil
keputusan).4
Gambar 2.2 : Letak hipotalamus, hipokampus, dan amigdala pada sistem limbik (C. George Boeree,
2009)
2.2.4 Forniks
Forniks merupakan suatu traktus serabut putih berbentuk busur yang
membentang dari formasio hipokampal ke diensefalon dan area septal. Serabut-
serabutnya dimulai sebagai sebagai alveus, suatu lapisan putih pada permukaan
hipokampus yang menghadap ke ventrikel dan mengandung serabut-serabut dari girus
dentatus dan hipokampus. Dari alveus, serabut-serabut tersebut menuju ke aspek
medial hipokampus dan membentuk fimbria, suatu pita pipih yang terdiri dari serabut
5
pipih yang naik di bawah splenium korpus kalosum dan membelok ke depan untuk
berjalan di atas thalamus, membentuk krus thalamus.6 Dalam sistem limbik, forniks
berperan dalam menghubungkan antara hipokampus dan hipotalamus.3
2.2.5 Area – Area Subkortikal yang Berhubungan
Area-area subkortikal di sekitar sistem limbik terdiri dari cyngulate gyrus,
ganglia basalis, ventral tegmental area, dan prefrontal cortex. Cygulate gyrus
merupakan bagian dari serebrum yang berada di atas korpus kalosum. Cyngulate
gyrus dalam sistem limbik berperan untuk bertanggung jawab dalam memperhatikan
suatu hal, pengaturan emosi dalam suatu keadaan, dan mengasosiasi memori serta
berperan dalam fungsi penciuman dan merasakan rasa sakit. Gangglia basalis
merupakan komponen kortikal dan subkortikal dalam sistem pengontrolan motorik
pada serebrum dan batang otak yang saling berhubungan. Ganglia basalis pada sistem
limbik bertanggung jawab dalam pengaturan ekspresi, perilaku, dan fokus suatu
masalah.6
Ventral tegmental area berada di bawah thalamus dan mengandung hormon
dopamine yang berperan dalam merasakan rasa senang. Jika terjadi lesi pada area ini,
maka penderita akan sulit untuk merasakan kesenangan dan cenderung berhubungan
dengan alkohol dan narkoba. Prefrontal cortex berada pada lobus frontalis dan di
depan area motorik. Area ini dalam sistem limbik berperan dalam perencanaan masa
depan seseorang dan penentuan perilaku yang tepat. Prefrontal cortex juga
mengandung hormon dopamine seperti halnya ventral tegmental area.7
Selain area-area tersebut, area yang juga berhubungan dengan sistem limbik
yaitu girus dentatus yang berperan dalam mengkontribusi memori-memori baru dan
juga perasaan senang seseorang. Korteks limbik juga memiliki peran penting dalam
sistem limbik sebagai area asosiasi serebral untuk mengatur perilaku tubuh dan
sebagai gudang informasi dalam berbagai pengalaman.4
2.3 Autisme
6
Autisme ditemukan oleh seorang psikiatris dari Harvard, Leo Kanner pada
tahun 1943. Pada awalnya autisme dianggap sama dengan permulaan schizophrenia
pada anak karena keduanya menunjukkan penarikan diri dari lingkungan sosial dan
keterlibatan yang tidak sesuai. Akan tetapi pada penderita autis tidak terdapat
halusinasi maupun delusi, dan tidak dapat tumbuh menjadi schizopenia ketika
dewasa.8
Dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) autisme dikategorikan
sebagai persasive developmental disorder, sebuah istilah yang digunakan untuk
merujuk pada masalah psikologis berat terutama saat anak-anak, melibatkan masalah
kognitif, sosial, perilaku, dan emosional anak yang berat sehingga dapat
menyebabkan masalah pada proses perkembangannya.8
Autis berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada
diri sendiri. Dalam kamus psikologi, autisme diartikan sebagai cara berpikir yang
dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, menanggapi dunia
berdasarkan dunia dan harapan sendiri, menolak realitas dan keasyikan ekstrim
dengan pikiran dan fantasi sendiri.9
Dalam DSM-IV, autistic disorder adalah adanya gangguan atau abnormalitas
perkembangan pada social dan komunikasi serta ditandai dengan terbatasnya aktivitas
dan ketertarikan terhadapa suatu hal.10
Perilaku autistik digolongkan dalam 2 jenis, yaitu perilaku yang exesive
(berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku
eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk), berupa menjerit, menggigit,
mencakar, memukul, dan lainnya. Penderita juga sering menyakiti dirinya sendiri
(self-abused). Perilaku deficit diawali dengan gangguan bicara, perilaku social kurang
sesuai, deficit sensory sehingga dianggap tuli, proses bermain cukup sulit dipahami,
dan emosi tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan
sering melamun.9
2.3.1 Ciri – Ciri Penderita Autis
7
Pada penderita autis, terdapat beberapa ciri-ciri pada gangguan kualitatif yaitu
gangguan kualitatif pada interaksi sosial yang timbal balik, gangguan kualitatif pada
komunikasi, dan gangguan kualitatif dalam pola perilaku, minat dan kegiatannya.
Tabel 2.1 : Gangguan kualitatif pada penderita autis (http://www.angelfire.com/mt/matrixs/ htm)
Gangguan kualitatif Ciri-ciri
Gangguan kualitatif pada interaksi
sosial
Tidak mampu menjalin interaksi sosial
dengan orang-orang di sekitarnya
Kurangnya kontak mata
Gerak-gerik tidak tertuju
Mata dan ekspresi yang tidak jernih
Tidak bisa berempati (merasakan apa yang
diderita orang lain)
Gangguan kualitatif pada komunikasi Perkembangan bicara terlambat
Sulit dalam menggunakan bahasa verbal
maupun non-verbal
Sering menggunakan bahasa yang kurang
bisa dimengerti secara berulang-ulang
Gangguan kualitatif pada pola
perilaku, minat dan kegiatan
Kurang kreatif dan imajinatif serta senang
meniru ucapan orang
Mempertahankan satu minat atau lebih
dengan cara yang sangat khas
Sering melakukan gerakan-gerakan yang
sulit dipahami secara berulang-ulang
Sering terpukau pada suatu benda
Pada penderita autisme, tidak semua ciri-ciri dari gangguan kualitatif di atas
dapat terjadi. Menurut penelitian ICD-10 (International Classification of Diseases)
pada tahun 1993 dan DSM-IV pada 1994, tidak semua penderita autis memiliki ciri-
ciri yang sama. Seseorang dapat dikatakan menderita autis jika orang tersebut
mengalami dua jenis ciri-ciri pada gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, satu
8
jenis ciri-ciri pada gangguan kulitatif dalam komunikasi, dan satu jenis ciri-ciri pada
gangguan kualitatif pola perilaku, minat, dan kegiatan.2
2.3.2 Cara Belajar, Mengingat dan Berbicara Penderita Autis
Penderita autisme memiliki cara yang berbeda dalam pengolahan informasi
dengan orang normal. Penderita memproses informasi secara mono, yaitu tidak dapat
mengaktifkan seluruh indera secara bersamaan dan efektif. Hal inilah yang
menyebabkan jika saat berbicara, penderita autisme kesulitan untuk memperhatikan
orang lain atau mengerjakan kegiatan lain. Kecendrungan mono ini merupakan
sumber dari berbagai masalah lain seperti control diri dan toleransi terhadap stimulus
lingkungan. Sebagai individu autis, penderita harus terus-menerus beradaptasi dengan
lingkungannya untuk bisa memahami dunia dan orang-orang disekitarnya. Penderita
anak-anak bahkan dewasa tetap mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengaan
orang lain. Dunia luar dirasakan sebagai tempat yang tidak aman dan
membingungkan, sehingga penderita lebih suka menarik diri dari lingkungannya.11
Individu autis dapat memproses arti dari suatu kejadian, tetapi tidak dapat atau
mengalami kesulitan untuk mengakses informasi dari memori. Hal ini menyebabkan
individu autis tidak tahu harus berbuat apa dan cenderung menghindar dari situasi-
situasi tersebut. Selain itu, individu autis juga mengalami kesulitan dalam memonitor
ekspresi diri seperti gerakan, bahasa tubuh, ekspresi wajah, intonasi suara, volume
suara, dan penggunaan kata-kata. Tidak adanya kapasitas monitoring yang efisien ini
menyebabkan mereka kesulitan untuk mengekspresikan diri sesuai dengan harapan
sosial.1,11
Sebagai adaptasi dan kompensasi terhadap keterbatasan tersebut, penderita
autisme dapat melakukan beberapa cara seperti, mengaktifkan satu indera saja dan
menutup yang lain dengan tujuan meningkatkan efektifitas dan fokus pada
pengolahan informasi. Kemudian individu autis memiliki metode rote-learning yaiu
menghafal informasi yang diterima secara apa adanya. Metode inilah yang dapat
menyebabkan beberapa penderita autis menonjol dalam bidang matematika dan
menghafal nama-nama.11
9
Recommended