BAB III
METODE PERMUKAAN RESPON
3.1 Pendahuluan
Pengkajian pada suatu proses atau sistem sering kali terfokus pada
hubungan antara respon dan variabel masukannya (input). Tujuannya adalah
untuk mengoptimalkan respon atau untuk memahami inti dari proses itu sendiri
(Jeff Wu,2000:387). Metode permukaan respon yang dikemukakan oleh Box dan
Wilson pada tahun 1950, merupakan salah satu alat yang efektif untuk mengkaji
hubungan antara respon dan variabel input tersebut (Kleijnen,2008).
Metode permukaan respon atau yang sering disingkat RSM (Response
Surface Methodology) adalah teknik matematika dan statistika yang berguna
untuk memodelkan dan menganalisis data dimana respon yang diteliti
dipengaruhi oleh beberapa variabel dan bertujuan untuk mengoptimalkan respon
(Montgomery, 2001:427). Hubungan antara respon y dan variabel input x adalah:
� = ����, ��, . . , �� +
dimana: � = variabel respon
�� = variabel bebas/ input ( i = 1, 2, 3,...., k )
ϵϵϵϵ = error
Karena bentuk fungsi respon � yang sebenarnya tidak diketahui, maka harus
ada pendekatan atau hampirannya. Perkiraan model didasarkan pada observasi
dari proses atau sistem sehingga dapat membentuk model empirisnya. Sehingga
29
digunakan analisis regresi sebagai teknik dalam statistika yang berguna untuk
membangun model empiris yang diperlukan dalam RSM.
Jika respon yang diharapkan diasumsikan sebagai
���� = ����, ��, . . , �� = �, maka permukaannya dilukiskan oleh � =����, ��, . . , �� yang disebut permukaan respon. Permukaan respon ini secara
grafik dapat digambarkan dalam ruang berdimensi (k+1), suatu ruang yang sukar
dilukiskan. Untuk k=2 misalnya, jika �1 menyatakan temperature dan �2 pressure
sedangkan � hasil (troughtout) dari proses kimia �1 dan �2, maka secara umum
diperoleh permukaan respon � = ����, ���. Grafiknya dapat dilukiskan dalam
ruang berdimensi tiga seperti pada Gambar 3.1. Permukaan Respon
merepresentasikan �1 dan �2 berada pada sumbu mendatar yang tegaklurus
dengan ekspektasi dari � (���� = �� = �). Sedangkan Peta kontur
merepresentasikan garis-garis yang menunjukkan nilai ekspektasi � dari yang
minimum hingga maksimum.
345.00
347.50
350.00
352.50
355.00 155.00
160.00
165.00
170.00
175.00
89.4
90.925
92.45
93.975
95.5
Thr
ough
t
Temperature Pressure
30
Gambar 3.1 Dimensi-3 Permukaan Respon (atas) dan Peta Kontur (bawah)
Sementara jika variabel bebasnya lebih dari dua, belum dapat
divisualisasikan kecuali jika dimisalkan bahwa nilai variabel input lainnya
konstan. Oleh karena itu, hubungan antara variabel input dan variabel respon
dapat dinyatakan dalam bentuk regresi, dimana dalam RSM biasanya dilibatkan
lebih dari satu variabel input, sehingga dapat dibentuk menjadi model regresi
multiple atau berganda, baik linier maupun nonlinier. Kedua model regresi
berganda tersebut dapat disebut sebagai model regresi polinomial. Model regresi
polinomial yang digunakan bisa berupa model orde I (model regresi linier
berganda) ataupun model orde II (model regresi kuadrat berganda). Jadi,
walaupun terdapat banyak variabel input dalam suatu eksperimen, hubungan
antara variabel respon dan banyak variabel input dapat dilihat dalam bentuk model
polinomial.
3.2 Eksperimen Metode Permukaan Respon
345.00 347.50 350.00 352.50 355.00
155.00
160.00
165.00
170.00
175.00Throught
Temperature
Pre
ssu
re
90.463690.463691.4362
92.4087
92.4087
93.3813
94.3538
94.3538
5
31
Kebanyakan dalam masalah RSM, eksperimen dilakukan dalam dua tahap
yaitu eksperimen orde I dan eksperimen orde II. Eksperimen orde I merupakan
tahap penyaringan faktor (screening), sedangkan eksperimen orde II merupakan
tahap optimasi (Jeff Wu,2000:390).
Pada tahap pertama fungsi permukaan respon berdasar pada Desain
Faktorial, dengan pendekatan model regresi orde I yaitu
∈++= ∑=
k
iii xy
10 ββ (3.1)
Setelah mendapatkan daerah yang menuju optimum, fase kedua dilakukan
melalui pendekatan polinomial dengan derajat yang lebih tinggi misalnya model
regresi orde II yaitu
∈++++=<==
∑∑∑∑ jiijji
kk
iii
k
iii xxxxy
iββββ .
1
2
10 (3.2)
Kemudian dari model orde II ditentukan titik stasioner, karakteristik
permukaan respon dan model optimasinya.
RSM pada prinsipnya adalah tekhnik yang meliputi Analisis Regresi dan
Desain Eksperimen untuk menyelesaikan masalah optimasi. Adapun langkah-
langkah analisa pengolahan datanya dapat dilihat pada diagram alir gambar 3.2
(Box dan Hunter, 1978:536).
32
Gambar 3.2. Diagram Alir Analisis Pengolahan Data dengan RSM
3.2.1 Eksperimen Orde I
Dalam RSM, dibutuhkan pencarian titik optimum yang berulang-ulang pada
desain yang digunakan untuk perpindahan dari eksperimen orde I menuju
eksperimen orde II. Pencarian tersebut dilakukan jika pada eksperimen orde I
terdapat efek lengkungan, selanjutnya eksperimen orde I digantikan oleh
eksperimen orde II (Jeff Wu,2000:392). Dalam tugas akhir ini akan dibahas salah
33
satu metode untuk melakukan pencarian titik optimum agar mendekati kenyataan,
yaitu Metode Lintas Pendakian Tercuram atau yang lebih dikenal dengan Method
of Steepest Ascent. Sebelumnya, terlebih dahulu dilakukan uji kelengkungan atau
Curvature Check untuk mengetahui kapan waktu mengganti eksperimen orde I ke
eksperimen Orde II.
Desain untuk Mengestimasi Model Orde I
Desain Faktorial 2k dan Desain Fraksional faktorial 2k-p adalah desain yang
sesuai untuk mengestimasi model orde I (persamaan (3.1)). Dalam penggunaan
desain ini, diasumsikan bahwa dari k buah faktor diberi kode -1 untuk level
rendah dan +1 untuk level tinggi.
Uji Kelengkungan
Misalnya eksperimen orde I berdasarkan pada Desain Faktorial 2k, uji
kelengkungan dilakukan dengan metode penambahan titik pusat dengan ukuran nf
dan nc dimana ”f” menandakan desain faktorial dan ”c” menandakan titik pusat.
Pada desain faktorial diberi kode ’–’ untuk level rendah dan ’+’ untuk level
tinggi, sedangkan titik pusat diberi kode ’0’. Misalkan ��� adalah rata-rata sampel
faktorial dan ��� adalah rata-rata sampel pada titik pusat. Selisih dari ��� dan ��� dapat digunakan untuk menguji adanya lengkungan kuadrat. Apabila nilai ��� − ��� kecil, maka titik pusat berada atau dekat pada bidang yang dilewati titik faktorial,
dan pada bidang tersebut tidak terdapat lengkungan kuadrat. Sebaliknya, jika
��� − ��� besar, maka disana terdapat lengkungan kuadrat. Jumlah kuadrat (sum of
square) untuk lengkungan kuadrat dengan dk = 1 adalah (Montgomery, 2001:272)
34
�� = ������������ !��"�� (3.3)
Untuk menguji lengkung kuadrat murni maka nilai ini dibagi dengan nilai
kuadrat tengah (mean of square) eror. Lebih lanjut berdasarkan ANAVA
pengujian tersebut dilakukan dengan menguji hipotesis:
#$: & '((
()� = 0
#�: & '((
()� ≠ 0
Apabila H0 diterima, dapat disimpulkan tidak terdapat lengkungan kuadrat
pada eksperimen sehingga uji kelengkungan tidak signifikan. Ini artinya
eksperimen orde I dapat dilanjutkan dengan metode Steepest Ascent.
Metode Steepest Ascent
Apabila kondisi optimum dari suatu eksperimen adalah nilai maksimum
respon maka metode ini disebut metode Steepest Ascent. Sebaliknya, apabila
kondisi optimum yang diinginkan adalah nilai minimum respon, teknik ini
dinamakan metode Steepest Descent.
Menurut Sudjana (2002:363), dasar kerja dari metode Steepest Ascent
adalah melakukan sebuah eksperimen sederhana pada bagian permukaan respon
yang luasnya sempit, untuk praktisnya bisa dianggap bidang. Kemudian, tentukan
persamaan bidang ini lalu setelah itu eksperimen harus diambil sedemikian rupa
agar bergerak ke arah optimum atau sekitar optimum pada permukaan respon.
Karena eksperimen berikutnya diharapkan bergerak ke arah mendaki paling cepat
menuju titik optimum atau sekitar optimum pada permukaan respon, maka metode
35
ini dinamakan Lintas Pendakian Tercuram atau yang lebih dikenal dengan
Steepest Ascent. Teknik ini tidak menentukan berapa jauh eksperimen berikutnya
dilakukan dari eksperimen awal, namun cukup mengatakan kepada pelaksana arah
mana eksperimen berikutnya harus dilaksanakan.
Efek linier '� pada model regresi orde I (3.1) dapat diestimasi dengan
metode kuadrat terkecil sehingga meminimumkan jumlah kuadrat-kuadrat
kekeliruan ϵ. Model regresi yang telah diestimasi dinyatakan dengan
�, = '-0 + ∑ '-���/�=1 (3.4)
dan permukaan respon orde I, yaitu peta kontur �,, adalah rangkaian garis sejajar
seperti yang dilihat pada gambar 3.3. Arah dari Steepest Ascent adalah arah yang
mana �, naik secara cepat. Arah ini sejajar dengan garis normal pada kontur yang
dinamakan jalur Steepest Ascent (path of Steepest Ascent), dan garis normal ini
memberikan arah untuk melakukan eksperimen berikutnya.
Eksperimen dilakukan sepanjang jalur Steepest Ascent sampai tidak ada lagi
kenaikan yang lebih jauh pada nilai respon yang diobservasi. Jika model orde I
yang baru dianggap cocok, selanjutnya jalur Steepest Ascent yang baru juga
ditentukan, maka prosedur dilanjutkan ke prosedur berikutnya. Hasilnya,
eksperimen tersebut akan sampai pada daerah sekitar optimum.
36
Gambar 3.3 Permukaan respon Orde I dan Jalur Steepest Ascent
Dengan mengasumsikan titik �1 = �2 = ⋯ = �/ = 0 adalah titik asal,
algoritma dalam menentukan koordinat titik pada jalur Steepest Ascent adalah :
(Montgomery, 2001:435)
1. Pilih suatu ukuran langkah dari salah satu variabel proses, katakanlah ∆�2. Variabel yang dipilih adalah variabel yang memiliki koefisien mutlak
regresi terbesar 3'-23. 2. Ukuran langkah dari variabel proses yang lainnya adalah
∆�� = '-�'-2/∆�2 � = 1, 2, … , /; � ≠ 2 3. Ubah ∆�2 dari variabel kode menjadi variabel aktual.
3.2.2 Eksperimen Orde II
Ketika eksperimen orde I telah menunjukkan tidak cukup cocok pada
daerah eksperimen baru, pendekatan model regresi orde II (3.2) mulai dipakai.
Dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, model orde II yang telah
diestimasi adalah
�, = '-0 + ∑ '-���/�=1 + ∑ '-�2����2/�<2 + ∑ '-����2/�=1 (3.5)
37
Desain untuk Mengestimasi Model Orde II
Eksperimen yang baru akan didesain segera setelah wilayah persekitaran
optimum respon dari model orde I diketahui. Pada eksperimen yang baru,
digunakan model regresi orde II untuk mengetahui adanya lengkungan kuadrat
pada permukaan respon (Kuehl, 2000:431).
Untuk mengestimasi model permukaan respon orde II, biasanya digunakan
Central Composite Design (CCD). Misalnya k buah variabel input dalam bentuk
kode ditunjukkan dengan 9 = ���, … , ��, CCD terdiri dari tiga bagian berikut
(Jeff Wu,2000:412) :
i. Titik sudut (corner points) :� dengan �� = −1,1 ; � = 1, … , / membentuk
bagian faktorial (factorial portion) pada desain.
ii. Titik pusat (center points) :� dengan �� = 0 ; � = 1, … , /.
iii. Titik aksial (axial points) 2k dari bentuk �0, … , ��, … ,0� �� = ;, −;; � =1, … , /.
CCD biasa digunakan pada percobaan berurutan. Yaitu, desain Faktorial 2/
telah digunakan untuk mengestimasi model orde I, model ini telah diuji Lack Of
Fit dan titik aksial ditambahkan agar membuat permukaan kuadrat menjadi
berbaur pada model. Selanjutnya Terdapat dua parameter pada CCD yang harus
diperinci yaitu jarak titik aksial dari titik pusat dinamakan α dan jumlah titik
pusat :�. Rotatability
Untuk memperoleh model Orde II yang bagus dalam menghasilkan nilai
prediksi, model diharuskan memiliki variansi yang stabil dan konsisten yang
38
layak pada titik 9. Variansi dari nilai prediksi repon pada titik 9 adalah
(Montgomery, 2001:457)
<=���9�> = ?�9@�A@A��B9
Desain permukaan respon orde II sebaiknya harus Rotatable, ini artinya
<=���9�> sama pada semua titik 9 yang jaraknya sama pada desain pusat. Dengan
kata lain, variansi pada nilai prediksi respon adalah konstan di lingkaran.
Desain CCD dibuat rotatable oleh pemilihan α. Nilai α untuk rotatability
bergantung dari jumlah titik pada factorial portion dalam desain; pada
kenyataannya, ; = �:C �/D menghasilkan sebuah rotatable CCD dimana :�
adalah jumlah titik yang digunakan pada factorial portion.
Tabel 3.1 dibawah ini menyajikan desain CCD sampai dengan k=6 variabel
input (Devor, Tsong-How, dan Sutherland;2007). Nilai untuk titik aksial
didasarkan pada bentuk kode dari level Desain Faktorial 2k. Pada tabel
tersebut,titik pusat atau :�, ditulis sebagai variabel. Pada umumnya, suatu desain
harus memuat setidaknya dua atau tiga titik pusat agar terbuat beberapa replikasi
untuk mengestimasi eksperimental eror pada model.
Tabel 3.1 Central Composite Design
Jumlah Variabel, k
2 3 4 5 6 :� (untuk 2k atau 2k-p) 4 8 16 32 64
Banyaknya titik aksial = 2k 4 6 8 10 12
; = �:C �/D 1.414 1.682 2.000 2.378 2.828
:� :� :� :� :� :� Total 8 + :� 14 + :� 24 + :� 42 + :� 76 + :�
39
Gambar 3.4 menyajikan CCD yang rotatable untuk dua variabel misalnya
waktu dan temperatur. Desain CCD membutuhkan lima level dari masing-masing
faktor kodenya, yaitu –;, -1, 0,1, ;.
Gambar 3.4 CCD yang rotatable untuk dua variabel
3.2.3 Lokasi Titik Stasioner
Bentuk matriks dari model orde II yang telah diestimasi adalah
�, = '-0 + 9@E + 9@F9 (3.6)
dimana
=
kx
x
x
xM
2
1
=
k
b
β
ββ
)M
)
)
2
1
dan
=
kkkk
k
k
B
βββ
βββ
βββ
)L
)) MOMM
)
L)
)
)
L
))
22
22
22
21
222
21
11211
Titik stasioner merupakan turunan pertama dari y)
terhadap vektor x sama dengan
nol
G�,G9 = E + 2F9 = 0 (3.7)
sehingga
9 = − 12 F−BE
(3.8)
40
disebut titik stasioner dari permukaan kuadrat yang ditunjukkan oleh
persamaan (3.6) dan dinotasikan dengan 9H. Titik stasioner tersebut memenuhi
salah satu dari kemungkinan berikut:
a. Titik maksimum respon
b. Titik minimum respon
c. Titik pelana
Ketiga kondisi di atas dapat dilihat pada gambar 3.5. Selanjutnya, dengan
mensubtitusi persamaan (3.8) ke persamaan (3.6) didapat persamaan respon pada
titik stasioner yaitu
�,I = '-0 + 12 9H@E (3.9)
Gambar 3.5 Permukaan respon untuk (a) titik maksimum, (b) titik minimum, dan
(c) titik pelana.
41
3.2.4 Karakteristik Permukaan Respon
Setelah ditemukan titik stasioner, ditentukan pula karakteristik dari
permukaan respon yang artinya menentukan jenis titik stasioner apakah
merupakan titik maksimum, titik minimum respon atau titik pelana. Untuk
mempermudah pendeteksiannya maka digambarkan kontur dari permukaan
responnya. Dengan program komputer peta kontur dapat dihasilkan untuk analisis
permukaan respon dalam menentukan karakteristik dari permukaan respon.
Apabila hanya terdapat dua atau tiga variabel proses (variabel input), interpretasi
dan kontruksi dari peta kontur akan sangat mudah. Tetapi, apabila terdapat lebih
banyak variabel, analisis yang digunakan adalah Analisis Kanonik.
Metode analisis kanonik yaitu dengan mentransformasikan fungsi respon
dari titik asal x (0, 0, ..., 0) ke titik stasioner 9H dan sekaligus merotasikan sumbu
koordinatnya, sehingga dihasilkan fungsi respon sebagai berikut:
�, = �,I + ∑ J�K�2/�=1 (3.10)
dimana: K� = variabel input baru hasil transformasi
�,I = harga estimasi y pada titik stasioner 9H
J� = nilai eigen yang berupa konstanta dari matriks B, i=1, 2, ..., k.
Sedangkan karakteristik dari permukaan respon ditentukan dari harga J�. Jika nilainya semua positif maka 9H adalah titik minimum, sedangkan jika semua
negatif maka 9H adalah titik maksimum, tetapi jika harganya berbeda tanda
diantara harga J�, maka 9H merupakan titik pelana. (Montgomery, 2001:441)
42
3.3 Multipel Respon
Dalam melakukan eksperimen, seorang peneliti dapat mengukur hasil
eksperimen dari beberapa variabel respon. Hal ini disebabkan karena eksperimen
yang dilakukan berupa suatu sistem, sehingga terdapat beberapa variabel respon
yang harus dipertimbangkan dan harus diperhitungkan secara serempak dalam
satu kali kegiatan eksperimen. Hal tersebut dilakukan agar mendapatkan hasil
yang optimal. Contohnya pada industri menufaktur semikonduktor, terdapat lebih
dari sepuluh variabel respon pada prosesnya, karena masing-masing variabel
respon tersebut mungkin berkorelasi, maka dari itu trade-offs harus dipelajari
untuk menentukan nilai optimum yang menyeluruh atau setidaknya mendapatkan
hasil sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dalam RSM, multipel respon dikategorikan sebagai Generalized RSM
(GRSM). Ada beberapa solusi pendekatan dalam trade-offs untuk memecahkan
masalah multipel respon ini yaitu overlay the contour plots, constrained
optimization, dan fungsi desirability. Pendekatan yang relatif mudah untuk
mengoptimasi beberapa variabel respon dengan sedikit variabel input adalah
overlay the contour plots. Pendekatan constrained optimization memilih satu
respon sebagai sasaran optimasi dan respon yang lain sebagai variabel pembatas
(constraint). Pendekatan yang lebih sering digunakan dalam dunia industri untuk
masalah optimasi adalah pendekatan fungsi desirability, dengan mentransformasi
masing-masing respon �, kepada nilai yang diinginkan dan dinotasikan dengan L� (desirability) dimana 0 ≤ LN ≤ 1.
43
Dalam tugas akhir ini, yang akan dibahas lebih lanjut adalah pendekatan
fungsi desirability (fungsi yang diinginkan). Derringer dan Suich (1980)
mengemukakan bahwa pendekatan fungsi desirability digunakan untuk
mengoptimasi multipel respon secara serempak. Tehnik optimasi ini memakai
istilah target (T), upper (U), lower (L), dan bobot (r). Masing-masing respon
diubah menjadi L� (desirability) yang nilainya bervariasi pada range 0 ≤ LN ≤ 1.
Berdasarkan langkah-langkahnya optimasi ini bertujuan untuk :
1. Mendapatkan desirability tunggal untuk setiap respon
Untuk mendapatkan desirability tunggal pada setiap respon, permasalahan
dapat dirumuskan kedalam 3 golongan:
a. Meminimumkan respon
Jika respon yang diinginkan adalah minimum, maka harus ditentukan nilai
target (T) dan nilai respon maksimum atau Upper (U). Dengan bobot = r,
nilai desirability dapat dihitung melalui persamaan
L = O 1, � < PQR��R�STU , P ≤ � ≤ V0, � > V X (3.11)
b. Targetnya respon
Jika sasaran atau target yang diinginkan adalah respon, maka ditentukan
nilai minimum atau Lower (L), nilai target (T), dan nilai maksimum (U).
Nilai desirability dapat dihitung melalui persamaan
L =YZ[Z\ 0, � < ]Q��^S�^TU_ , ] ≤ � ≤ PQR��R�STU! , P ≤ � ≤ V0, � > V
X (3.12)
44
c. Memaksimumkan respon
Apabila respon yang diinginkan adalah maksmum, maka harus ditentukan
nilai target (T) dan nilai respon minimum atau Lower (L). Nilai desirability
dapat dihitung melalui persamaan
L = O 0, � < ]Q��^S�^TU , ] ≤ � ≤ P1, � > P X (3.13)
Bobot (r) melukiskan ketajaman fungsi desirability untuk setiap respon.
Bentuk desirability dapat diubah-ubah oleh bobot ini. Selain itu, bobot juga
berfungsi untuk memberikan titik berat pada batas maksimum/minimum (U/L),
atau titik berat pada nilai target. Apabila bobot ` = 1 bentuk desirability akan
linier artinya menitikberatkan kepentingan yang sama pada nilai target dan
batasnya. Apabila ̀ > 1 lebih menitikberatkan untuk mendekati nilai target.
Apabila ̀ < 1 hanya menitik beratkan pada sedikit nilai target. Dalam software
Desain-Expert nilai maksimum ` adalah 10 sedangkan nilai minimum ` adalah
0,1.
2. Mengkombinasikan desirability tunggal untuk mendapatkan desirability
gabungan (D).
Setelah mendapatkan nilai desirability pada setiap respon (L�), nilai-nilai
tersebut akan dikombinasikan untuk menghasilkan desirability dari multipel
respon. Desirability gabungan adalah rata-rata geometrik dari desirability
tunggal.
a = �L� ∙ L� ∙ … ∙ Lc��/c (3.14)
dimana m adalah jumlah respon.
45
3. Memaksimumkan D dan mencari pengaturan variabel yang optimal.
Untuk multipel respon yang telah dibahas, dapat dicari solusi optimalnya
dengan fungsi desirability. Dan untuk menggunakan fungsi desirability tersebut
dapat digunakan software Design-Expert. Nilai D pada titik dimana kombinasi
variabel input mengoptimumkan respon disebut nilai D-Optimal.
3.4 Wilayah Robust
Desain Robust adalah suatu sistem optimasi dan penyempurnaan proses
yang bertujuan untuk membuat suatu proses kurang sensitif terhadap variasi (eror)
pada variabel input. Dalam tugas akhir ini pembahasan difokuskan untuk
memperkecil variasi dengan menggunakan teknik POE (propagation of error).
POE adalah suatu alat untuk menentukan wilayah pada permukaan respon dimana
wilayah tersebut robust terhadap variasi dalam variabel input. Inti dari tujuan
desain robust sebenarnya adalah untuk menuju kepada : keputusan yang lebih
baik, proses pelaksanaan yang lebih baik, hasil yang lebih baik, dan pengeluaran
biaya yang lebih bijaksana.
POE mengukur penyebaran variasi dari variabel input kepada respon
sebagai suatu fungsi dari bentuk suatu permukaan. Ketika RSM memperlihatkan
adanya efek lengkungan pada variabel input dan respon, penyebaran variasi akan
terjadi. Hal ini dapat dikurangi dengan menjadikanya menuju bidang datar (linier).
Sebagai contoh, suatu eksperimen dengan melibatkan satu variabel input yaitu
cure temperature yang mempengaruhi kekuatan ultimate shear sebagai variabel
respon. Tabel 3.2 memperlihatkan data hasil eksperimen tersebut. Dalam gambar
46
3.6 dapat dilihat pada daerah “A” bagaimana variasi pada cure temperature yang
bernilai 5o membuat nilai variasi respon (ultimate shear) sangat kecil, tetapi pada
daerah “B” dengan titik cure temperature yang lebih tinggi, variasi respon
menjadi besar. Setelah dilinierkan, variasi yang terjadi pada data menjadi
berkurang.
Tabel 3.2 Data Eksperimen ultimate shear
Gambar 3.6 Penyebaran Variasi proses ultimate shear
Untuk menghitung POE, setelah didapatkan nilai �, dari RSM, selanjutnya
penyebaran variasi dimodelkan dengan
47
?�,2 = ∑ QG�G��T/�=1 ?��2 + ?`dI�L2 (3.15) dimana
? merepresentasikan simpangan baku untuk �,, variabel input, dan residual (eror)
secara berturut-turut. (Whitcomb dan Anderson: 4). Melalui software Design-
Expert, POE akan dengan mudah didapatkan. Setelah diperoleh model akhir yang
cocok melalui RSM, dengan memasukkan nilai estimasi simpangan baku dari
setiap variabel input, akan didapatkan plot POE. Artinya didapatkan pula
permukaan respon dengan wilayah robust. Sebagai contoh, misalnya nilai
prediksi respon ultimate shear dengan variabel input cure temperature adalah
�, = −89892 + 624.06� − 1.0729�2
Asumsikan standar deviasi untuk temperature sekitar 2.5oF. satandar deviasi
untuk residual dapat didapatkan dari ANOVA, misalnya 23.72psi. sehingga:
?�,2 = & j G�G��k/
�=1 ?��2 + ?`dI�L2
lm� = n�624.06 − 2�1.0729����2.5�� + �23.72��
Selanjutnya hasil persamaan diatas akan menghasilkan gambar 3.7. POE
minimum berada disekitar 290oF .
Gambar 3.7 Permukaan POE untuk proses ultimate-shear