BAB IV
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Geografis Boyolali
Kabupaten Boyolali termasuk Daerah tingkat II, Boyolali meliputi
luas 105.510,0965 hektare, terdiri dari lima pembantu Bupati, 19
Kecamatan, dan 267 desa. Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali secara
geografis terletak antara 110022’ bujur timur dan 70071’ lintang timur.
Batas-batas wilayah kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali adalah sebelah
utara Kabupaten Semarang, sebelah Selatan Kabupaten Klaten dan DIY,
sebelah Barat Kabupaten Magelang dan Semarang, Kabupaten Sragen dan
Karanganyar, Sukoharjo dan Kotamadya Surakarta. (Profil Propinsi
Republik Indonesia JATENG:1992:hal 154).
Letak Geografis Kabupaten Boyolali membentang dari barat-timur
sepanjang 48 km, dan utara-selatan 54 km. Sebagian besar wilayahnya
adalah dataran rendah dan dataran bergelombang dengan perbukitan yang
tidak begitu terjal. Menurut ketinggian, wilayah Kabupaten Boyolali
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Boyolali di Bagian barat merupakan Dataran Tinggi yang merupakan
daerah Pegunungan. Pegunungan tersebut antara lain Gunung Merapi
dan Gunung Merbabu, dengan puncaknya Gunung Merapi (2.911 m)
dan Gunung Merbabu (3.141 m), keduanya adalah gunung berapi aktif.
Daerah dengan ketinggian sekitar 700-3.000 m dpl ini meliputi lima
Kecamatan, yaitu Ampel, Cepogo, Musuk, dan Selo, dan ditandai oleh
iklim yang sejuk dan sesuai untuk pertanian. Pertanian yang cocok di
daerah ini adalah jenis tanaman seperti kol, wortel, bawang merah,
tembakau, teh, dan cengkeh. Wilayah ini juga sebagai pusat produksi
susu di Boyolali. Dengan tanah vulkanik yang baik dan dekat pusat
administrasi kabupaten, wilayah ini memiliki kepadatan penduduk
yang sangat tinggi. Pada wilayah kedua gunung berapi, budidaya
pertanian oleh masyarakat hingga batas sekitar 1600-1800 m di atas
permukaan laut dan berakhir di perbatasan hutan nasional yang
dilindungi.
b. Bagian timur Boyolali merupakan dataran rendah. Wilayah terletak
diantara pusat kota Boyolali ke timur hingga menuju arah Kota
Surakarta (Solo), dan sebagian besar merupakan daerah yang datar dan
didominasi oleh sawah. Banyak persawahan di daerah Boyolali bagian
Timur dan banyak ditemukan sumber-sumber air alami sehingga dapat
digunakan untuk mengairi persawahan. Boyolali bagian timur terletak
di ketinggian 100-400 m dpl, selain meliputi daerah pusat kota di
Kecamatan Boyolali dan Mojosongo, juga meliputi empat Kecamatan
lainnya, yaitu Teras, Banyudono, Teras, dan Sawit. Daerah bagian
timur Boyolali berada di jalur utama Semarang-Solo, dengan pusat-
pusat industri berada di jalur utama. Di bagian timur terdapat Bandara
Internasional Adi Sumarmo yang merupakan sarana transportasi udara
untuk kawasan Solo dan sekitarya, serta asrama haji Donohudan yang
digunakan oleh jamaah haji dari Jawa Tengah bagian utara. Tempat
tersebut digunakan sebagai akomodasi ketika hendak berangkat ziarah
ke Makkah untuk ibadah haji melalui Bandara Internasional Adi
Sumarmo karena antara asrama haji dengan Bandara jaraknya sangat
dekat.
c. Bagian Utara adalah Wilayah terluas di Boyolali. Wilayah bagian utara
kabupaten meliputi Kecamatan Sambi, Nogosari, Simo, Klego,
Andong, Karanggede, Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi. Wilayah
tersebut memiliki kepadatan penduduk yang lebih rendah
dibandingkan daerah lainnya, dan memiliki hambatan dari kondisi
geografis, geologis, dan infrastruktur. Kondisi klim relatif kering,
walaupun dilalui oleh beberapa sungai utama Boyolali, sebagaian besar
daerah ini kurang sesuai untuk budidaya tanaman padi persawahan
basah. Boyolali di bagian utara kurang ada dukungan jalan utama
sehingga berdampak pada keberadaan industry yang hampir tidak ada.
Sumber daya alam yang dikelola dan dimanfaatkan adalah budidaya
kayu jati. Hutan jati di daerah utara Boyolali dapat membantu
perekonomian penduduk menjadi lebih terangkat. Pada daerah utara
juga terletak Waduk Bade di Kecamatan Klego, serta ada Waduk
Kedungombo yang daerah genangannya meliputi sebagian Kecamatan
Kemusu dan Juwangi (sedangkan bendungannya termasuk wilayah
Sragen) yang digunakan untuk mengairi lahan persawahan seluas
3.536 Ha di wilayah utara Jawa Tengah dan dimanfaatkan untuk
pengembangan ekonomi dari sektor pariwisata dan perikanan air tawar.
Bagian utara yang berbatasan dengan Kabupaten Grobogan merupakan
daerah perbukitan, bagian dari rangkaian Pegunungan Kendeng.
B. Keadaan Masyarakat Boyolali
Boyolali merupakan wilayah karesidenan Surakarta. Tahun 1973-1975
Boyolali memiliki 5 daerah kawedanan, 19 Kecamatan dan 267 desa
(pembagian administrasi provinsi Jateng 1975). Pada tahun tersebut penduduk
Boyolali terdiri dari 169.404 laki-laki, 186.008 perempuan, 381.152 anak-
anak, jadi jumlah total penduduk Boyolali adalah 736.564 jiwa (biro Pusat
Statistik Jakarta). Angka tersebut membuat Kabupaten Boyolali termasuk 10
terbanyak jumlah penduduk di Jawa tengah. Sebagian besar penduduk
Boyolali adalah asli keturunan Jawa, karena menurut jumlah sensus penduduk
pada tahun 1975 jumlah warga negara asing Cina dan keturunan Cina yang
mendiami Boyolali hanya sejumlah 285 jiwa asli warganegara Cina dan 216
jiwa warga Negara Indonesia keturunan Cina. Sifat gotong royong, tata karma,
dan menghargai orang yang lebih tua seperti di dalam tatanan kesopanan
orang Jawa masih dilakukan masyarakat Boyolali. Perbedaan etnis tidak
membuat luntur nilai-nilai yang sudah ada di Boyolali.
Tahun 1973 – 1975 Boyolali memiliki 156 Lembaga sekolah untuk taman
kanak-kanak, dengan jumlah murid 5170 jiwa, dan tenaga pengajar sebanyak
188 guru. Masing-masing sekolah mempunyai 33 murid. Setiap 33 murid itu
hanya memiliki 1 Guru. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan di
Boyolali tergolong rendah dibandungkan wilayah kabupaten lainnya yang
berada di Jawa Tengah, karena pada tahun itu memiliki perbandingan jika
jumlah 33 siswa seharusnya paling tidak ada 2 guru persekolah. Boyolali
juga memiliki sejumlah 420 Lembaga sekolah untuk Sekolah Dasar, dengan
banyaknya murid 64.624 jiwa dengan tenaga pengajar sejumlah 2.265 jiwa
untuk guru SD, dapat disimpulkan setiap 154 siswa dibimbing sebanyak 5
guru.
Letak geografis Boyolali yang merupakan dataran tinggi dan dataran
rendah, serta memiliki area persawahan sehingga mayoritas mata pencaharian
penduduk Boyolali adalah beternak. Masyarakat Boyolali lebih dikenal
sebagai peternak sapi, hal ini bisa dibuktikan dari data tentang banyaknya
unggas dan ternak di Jawa tengah yang mencapai angka tertinggi pada tahun
1975, yaitu :
Jenis Ternak Jumlah Keterangan
Kuda
Sapi
Kerbau
Kambing
Domba
Babi
Ayam
Itik
4529 ekor
93006 ekor
15092 ekor
134630 ekor
36451 ekor
1705 ekor
389600 ekor
14300 ekor
Jenis peliharaan Kuda, sapi,
kambing merupakan jumlah
ternak terbanyak nomer 1 di
Jawa Tengah.
(sumber : Dinas Peternakan Jawa Tengah tahun 1975)
Potensi di bidang peternakan di Boyolali sudah tidak diragukan lagi.
Sehingga Boyolali juga terkenal dengan penghasil susu sapi terbanyak di Jawa
tengah, berdasarkan kondisi tersebut Kabupaten Boyolali dikenal dengan
sebutan kota sapi dan kota susu.
Kabupaten Boyolali tidak tertinggal pula dalam masalah komunikasi,
walaupun jumlahnya juga terbatas. Pada tahun 1975 Boyolali sudah memiliki
7.729 pesawat radio dan 47 pesawat TV. Jumlah ini masih sedikit
dibandingkan daerah-daerah lain di Jawa tengah. Maka dari itu tingkat
pengetahuan dan pendidikan di Boyolali perkembangannya tidak sepesat
wilayah-wilayah yang memiliki pesawat tv lebih banyak. Jarak dan sarana
transportasi yang berada di Boyolali merupakan faktor penghambat informasi
cepat sampai ke daerah-daerah pedesaan, karena Boyolali sebagian besar
wilayahnya adalah berada di pedesaan.
C. Pemerintahan Boyolali
Boyolali merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Pusat
administrasi Boyolali terletak sekitar 25 km sebelah barat Surakarta. Kabupaten
Boyolali terdiri atas 19 Kecamatan, yang dibagi menjadi 260 desa dan 7
keLurahan.
Perangkat pemerintahan di dalam Kabupaten/kota antara lain:
a. Bupati/walikota, adalah kepala daerah. Bupati adalah pimpinan
pemerintahan kabupaten, sedangkan walikota adalah pimpinan
pemerintahan kota. Dalam menjalankan tugasnya bupati dan walikota
dibantu oleh wakil bupati dan wakil walikota. Letkol Soehardjo adalah
kepala Bupati Boyolali pada tahun 4-11-1972 s/d 09-06-1979
b. DPRD, adalah mitra kerja dari bupati/walikota. Dalam menjalankan
tugasnya, DPRD disebut sebagai lembaga legislatif. DPRD kabupaten/kota
mempunyai tugas mengawasi jalannya pemerintahan di kabupaten/ kota.
Selain DPRD juga bertugas untuk membuat peraturan daerah dan
menetapkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBD).
c. Kepolisian resort (Polres), merupakan lembaga kepolisian yang berada di
tingkat kabupaten/kota. Polres dipimpin oleh seorang kepala kepolisian
resort yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat di
kabupaten/kota.
d. Komando distrik militer (Kodim), adalah lembaga militer yang berada di
tingkat kabupaten/kota. Dipimpin oleh komandan distrik militer (Dandim).
Kodim bertugas menjaga keutuhan wilayah kabupaten/ kota dari ancaman
dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar wilayah kabupaten/kota.
e. Pengadilan negeri, merupakan lembaga peradilan yang berada di tingkat
kabupaten/kota. Pengadilan negeri adalah tempat untuk mengadili perkara
dan tempat orang mencari keadilan. Pengadilan negeri merupakan
pengadilan tingkat pertama. Pengadilan negeri dipimpin oleh seorang
hakim.
f. Kejaksaan negeri, merupakan lembaga kejaksaan yang berada di tingkat
kabupaten/kota. Kejaksaan negeri dipimpin oleh seorang jaksa. Jaksa
bertugas menuntut perkara
Bagan struktur organisasi pemerintahan kabupaten sebagai berikut :
Tugas dan Wewenang :
a. Bupati
Pada dasarnya, bupati memiliki tugas dan wewenang memimpin
penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama
DPRD kabupaten. Bupati dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat di kabupaten setempat. Bupati merupakan jabatan politis (karena
diusulkan oleh partai politik).
b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat
daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
c. Sekretariat Daerah
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Tugas sekretaris daerah
adalah membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan
mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
d. Sekretariat DPRD,
Tugas sekretariat DPRD antara lain:
1. Menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD.
2. Menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD.
3. Mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD.
4. Menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan
DPRD dalam pelaksanaan fungsinya sesuai kemampuan daerah.
e. Polisi Pamong Praja
Tugas polisi pamong praja adalah memelihara ketenteraman dan ketertiban
umum serta merupakan penegak peraturan daerah.
f. Kecamatan
Kecamatan merupakan bagian dari wilayah kabupaten. Kecamatan dipimpin
oleh seorang Camat. Wilayah Kecamatan terdiri atas beberapa
desa/keLurahan.
g. KeLurahan
Wilayah keLurahan terdapat di daerah kota. KeLurahan adalah wilayah kerja
Lurah. KeLurahan merupakan perangkat kabupaten/kota di bawah
Kecamatan.
h.Dinas Daerah
Dinas daerah adalah unsur pelaksana otonomi daerah yang dipimpin oleh
kepala dinas. Kepala dinas diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah.
Contoh dinas daerah antara lain dinas pendidikan, dinas pekerjaan umum,
dinas kesehatan, dinas pendapatan daerah, dan sebagainya.
i. Lembaga Teknis Daerah
Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah
dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah yang sifatnya spesifik
yang berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.
D. Pemilu Tahun 1977
Pemilihan umum bagi negara demokrasi seperti negara Indonesia sangat
penting artinya karena menyalurkan kehendak asasi politik bangsa, yaitu
sebagai pendukung/pengubah personil–personil dalam lembaga negara,
mendapatkan dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang
kekuasaan negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif serta rakyat secara
periodik dapat mengoreksi atau mengawasi lembaga eksekutif khususnya
dan lembaga Negara lain pada umumnya. Indonesia sudah melakukan Pemilu
sejak masa Orde Lama pada masa pemerintahan Soekarno.
Pemilihan umum 1955 merupakan pemilihan umum yang pertama kali
diadakan di Indonesia yaitu pada masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu
1955 berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia dan kebersamaan.
Dengan asas kebersamaan ini setiap individu diakui kesamaan hak dan
kedudukannya sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum. Pemilihan
umum 1955 semua wakil rakyat dipilih melalui pemilihan umum dan tidak
ada yang diangkat (Asshidique 1994:168). Pada masa Orde Baru terjadi
penyelenggaraan pemilihan umum dalam 6 (enam) kali Pemilu yaitu tahun
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Organisasi penyelenggara
pemilihan umum pada masa Orde Baru adalah Lembaga Pemilihan Umum
(LPU) yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Dari sejumlah pelaksanaan
Pemilu tersebut terdapat persamaan dan perbedaan.
Pemilu Tahun 1977 adalah pemilu kedua setelah pemilu pertama pada
tahun 1971 pada masa Orde Baru pemerintahan Soeharto. Pada pemilu tahun
1977 ini pesertanya jauh lebih sedikit yaitu , dua parpol dan satu Golkar. Hal
ini terjadi setelah pemerintah bersama-sama menyedernakan jumlah partai
menurut UU no 3 tahun 1975 tentang partai Politik dan Golkar. Kedua partai
itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai demokrasi
Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar).
Partai Politik adalah terdiri dari dua perkataan, yaitu partai dan politik.
Partai berarti bagian, yaitu suatu kelompok (group) didalam Negara yang
mempunyai tujuan-tujuan tertentu atau kumpulan manusia (a body of person)
yang dipersatukan pendapat da gerakannya untuk dibedakan dari
perkumpulan-perkumpulan lain, sedangkan politik berasal dari kata polis
yang semua berarti city-state di Yunani dan kemudian karena
perkembangannya berarti Negara (Sri Soemantri 1969:20). Pemilu tahun
1977 terjadi penyederhanaan partai politik, karena ketika sistem banyak
partai diterapkan itu akan menjadi masalah bagi Indonesia. Penyederhanaan
Parpol bertujuan untuk menghindari terjadinya perpecahan dalam
masyarakat, dan hal itu juga member pengaruh yang tidak baik pada system
pemerintahan parlementer, karena menimbulkan tidak adanya stabilitas
dibidang politik. Penyederhanaan dua partai adalah sistem dimana dalam
Negara dan Badan Perwakilan Rakyat (parlemen) hanya ada dua partai
politik yang menjadi pengaruh yang menentukan dalam kehidupan polittik.
Diantara dua partai politik tersebut ada satu partai politik yang menguasai
terbanyak mutlak dalam Badan Perwakilan Rakyat (Sri Soemantri:1969:37).
Dalam teori demokrasi liberal Pemilihan Umum adalah prinsip
kedaulatan rakyat dan praktek pemerintahan oleh sejumlah kecil pejabat.
Warga Negara memilih para pemimpinnya dan melalui mereka diputuskan
isu-isu harian yang subtansif. Kepastian bahwa hasil pemilihan umum
mencerminkan kehendak rakyat diberikan oleh seperangkat jaminan (R.
William Liddle.1992:33).
Pemerintah Orde Baru yang merupakan satu-satunya pemerintah dalam
perjalanan panjang bangsa Indonesia, duduk di kursi pemerintahan melalui
proses pemilihan umum secara bertahap melalui berbagai strategi lembaga
serta doktrin politik dan ekonomi. Hal ini dapat meneguhkan kekuasaaannya
diatas landasan yang sangat kokoh, stabil dan efektif.
Uraian Muhadi Sugiono yang dimuat dalam buku Riza Noer Arfani,
menjabarkan tentang perangkat kelembagaan Orde Baru. Ada dua tipe
perangkat kelembagaan yang dibahas dalam bagian ini yaitu lembaga–
lembaga yang ada di dalam pemerintah dan lembaga–lembaga antara yang
memungkinkan masyarakat berinteraksi dengan lembaga–lembaga
pemerintahan. Lembaga–lembaga pemerintah itu mencakup lembaga–
lembaga kepresidenan yang menjadi pusat kegiatan politik di Era Orde Baru
lembaga legislatif yang sering tidak diperhitungkan, lembaga birokrasi yang
menjadi mesin politik dan ekonomi yang efektif bagi rezim Orde Baru dan
lembaga militer (ABRI) yang memiliki fungsi ganda yang khas sebagai
kekuatan pertahanan keamanan dan kekuasaan sosial politik. Lembaga–
lembaga tersebut mencakup partai politik, kelompok kepentingan dan
kelompok penekanan. Secara keseluruhan bagian ini hendak menekankan
bahwa perlembagaan itu memiliki kadar dan intensitas yang masih lemah.
Dalam buku Sikap Politik Tiga Kontestan yang ditulis oleh Burhan
Magenda, bahwa Pemilu merupakan wujud nyata dari demokrasi selalu
memberikan perhatian masyarakat. Banyak tokoh yang memberikan
pendapatnya tentang Pemilu tesebut sehingga muncul pertanyaan tentang
berapa jauh sistem LUBER yang dicanangkan pemerintah dipatuhi oleh
ketiga Organisasi Peserta Pemilu (OPP). Partai Persatuan Pembangunan,
Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia berusaha unuk
memenangkan pemilihan umum pada masa Orde Baru dengan menetapkan
langkah-langkah strategis melalui program partainya agar dapat mengungguli
lawannya. Adapun hakikat dan tujuan dari pemilihan umum adalah :
1. Menyusun lembaga pemusyawaratan atau perwakilan rakyat untuk
mewujudkan susunan tata kehidupan yang dijiwai semangat pancasila dan
UUD 1945.
2. Memilih wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawa isi hati nurani
rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan
mengembangkan kemerdekaan guna memenuhi dan mengemban amanat
penderitaan rakyat (ampera).
3. Pemilihan umum tidak hanya sekedar memilih wakil–wakil rakyat untuk
duduk dalam lembaga permusyawaratan atau perwakilan rakyat tetapi
memilih sosok pemimpin yang bisa mengayomi masyarakatnya dan
melindungi masyarakatnya, dan menanamkan asas demokrasi di
masyarakat.
4. Pemilihan umum adalah suatu alat yang penggunaannya tidak boleh
merusak sendi–sendi demokrasi tetapi menjamin suksesnya perjuangan
Orde Baru yaitu tetap tegaknya pancasila dan dipertahankannya UUD
1945.
5. Tidak untuk menyusun negara baru dengan falsafah baru.
6. Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Pada pasal 21 ayat (3) pernyataan HAM PBB dinyatakan pemilihan umum
dilaksanakan secara berkala, jujur, berkesinambungan, sedangkan pemungutan
suara berlangsung secara bebas dan rahasia. Pelaksanaan pemilihan umum
tersebut adalah berkala atau teratur, jujur, berkesinambungan (sederajat),
bebas dan rahasia yang bersifat universal. Pada pemilihan umum tahun 1955
yang dilaksanakan berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 selain berasaskan pada
langsung, umum, bebas dan rahasia, pada pemilu tersebut juga berasaskan
pada jujur dan berkesamaan. Adapun asas pemilihan umum yang pernah
ataupun yang masih digunakan di Indonesia antara lain :
1. Langsung adalah setiap pemilih memberikan suaranya secara langsung tanpa
perantara atau diwakilkan orang lain.
2. Umum yaitu setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah memenuhi
syarat dapat ikut serta menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
3. Bebas adalah pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dijamin
keamanannya untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya tanpa adanya
paksaan dan tekanan dari pihak manapun.
4. Rahasia adalah pilihannya dijamin oleh peraturan dan tidak akan diketahui
oleh pihak manapun dan dengan cara apapun ketika menentukan
pilihannya/secret ballot.
5. Kebersamaan adalah pemungutan suara dilakukan serentak atau bersama
diseluruh wilayah Indonesia.
6. Jujur adalah panitia penyelenggaraan pemilihan umum haruslah memberikan
informasi sesuai dengan fakta dan peraturan yang berlaku. Adil yaitu panitia
penyelenggara pemilihan umum haruslah memberikan perlakuan yang sama
dan bebas dari kecurangan pihak manapun.
7. Demokratis yaitu menempatkan rakyat sebagai pengambil keputusan yang
dilakukan dengan musyawarah dan voting.
Pada tanggal 2 Mei 1977 diselenggarakan pemilihan umum yang ketiga
dalam Sejarah Nasional Indonesia dan kedua kalinya diadakan berdasarkan UUD
1945 pada masa Orde Baru. Pemilihan umum 1977 hanya diikuti oleh 3 peserta,
dimana dua diantaranya adalah hasil fusi dari beberapa partai yaitu :
1. Partai Persatuan Pembangunan Partai Persatuan Pembangunan ini
merupakan fusi dari partai-partai Islam seperti NU, PERTI, Parmusi dan
PSSI.
2. Golongan Karya
3. Partai Demokrasi Indonesia Partai Demokrasi Indonesia merupaka fusi
dari PNI, Partai Katolik, Partai Kristen dan IPKI (Sukarna 1990:34)
Asas pemilihan umum tahun 1997 masih sama seperti Pemilu sebelumnya
yaitu Langsung, Umum Bebas dan Rahasia (LUBER). Untuk pemilihan
anggota DPR dan DPRD dipakai sistem perwakilan berimbang dengan stelsel
daftar. Dengan demikian maka besarnya kekuatan perwakilan organisasi
dalam DPR dan DPRD adalah sejauh mungkin berimbang dengan besarnya
dukungan dalam masyarakat pemilih. Sistem daftar begitu pula sistem Pemilu
menggambarkan adanya pengakuan terhadap stelsel organisasi yang ikut serta
dalam kehidupan ketatanegaraan. Tiap-tiap daerah Tingkat II mendapat
sekurang-kurangnya seorang wakil yang ditetapkan berdasarkan sistem
perwakilan berimbang yang akan diatur dalam peraturan pemerintah.
a. Aturan- aturan Pemilu
Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 21 tahun 1976
tentang pemungutan suara untuk Pemilihan Umum anggota-anggota dewan
perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Tingkat II Presiden Republik Indonesia, menimbang
bahwa perlu ditetapkan hari dan tanggal pemungutan suara sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 61 Peraturan Pemerintahan Nomor 1 Tahun 1976.
Dan mengingat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, ketetapan
Majelis Permusyarawatan Rakyat Nomor VIII/MPR?1973 tentang Pemilihan
Umum, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum
Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/ perwakilan Rakyat (Lembaran
Negara Tahun 1969 Nomor 58, tambahan Lembaran Negara Nomor 2914)
sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 4 tahun 1976 (Lembaran
Negara Tahun 1975 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3063),
peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 1976 tentang pelaksanaan Undang-
undang nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota
Badan Permusyawaratan/ perwakilan Rakyat Sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang nomor 4 tahun 1975 (lembaran Negara tahun 1976 Nomor 1,
tambahan lembaran Negara nomor 3065). Memutuskan keputusan Presiden
tentang pemungutan suara untuk pemilihan umum anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Tingkat II yang menetapkan : Pertama pemungutan suara
untuk pemilihan umum anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat II diselenggarakan serentak dalam satu hari diseluruh wilayah
Indonesia pada hari Senin tanggal 2 Mei 1977, dan kedua keputusan Presiden
ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Keputusan ini dibuat pada 10 April
1976 dan ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto.
Boyolali termasuk Daerah tingkat II melaksanakan sesuai ketetapan
pemilu diadakan sama seperti ketetapan Presiden yaitu pada hari senin pahing,
tanggal 2 Mei 1977 di setiap daerah. Sebelum diadakannya pemilihan umum
Boyolali sendiri ada persiapan-persiapan menghadapi pemilihan Umum tahun
1977, antara lain dengan pembentukan Badan Penyelenggara / aparat
Pemilihan Umum 1977 yaitu antara lain :
a) Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (P.P.D.II.) Boyolali dibentuk oleh
Gubernur Kepala Daerah/ ketua Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dengan surat keputusan tanggal 1976 nomor: 01/PPD-1/1976, dan
Bupati Kepala Daerah karena jabatannya diangkat sebagai ketua P.P.D.-1.
b) Pengangkatan Wakil ketua dang anggota-anggota P.P.D.-1. Dengan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah/ ketua P.P.D.-1. Jawa tengah tanggal
3 Maret 1976 nomer : P.P.D.-1/07/III/1976.
c) Pengangktan sekretaris P.P.D.-1I Boyolali diatur dengan surat keputusan
Gubernur Kepala Daerah/ ketua P.P.D-I. Jawa Tengah tanggal 3 Maret
1976 nomer : PPD-I/08/III/1976.
Selain itu juga ada peraturan tentang Panitia Pemungutan Suara dalam
Kabupaten Boyolali yang dibentuk oleh Bupati Kepala Daerah/ ketua PPD
tingkat II Boyolali dengan surat keputusannya tanggal 18 Maret 1976 Nomor
14/PPD-II/III/1976, dan Camat karena jabatannya diangkat sebagai ketua PPS
yang bersangkutan. Setiap di Kecamatan terdapat 14 orang yang menjadi PPS
jadi terdapat 266 orang di Boyolali karena Boyolali sendiri terdapat 19
Kecamatan. Dalam prosedural semua terdapat berbagai masalah yang
mempengaruhi pembentukan yaitu adanya pengertian yang baik dan
partisipasi dari semua unsur kekuatan sosial politik, dan yang menghambatnya
adalah banyaknya anggota-anggota parpol yang diajukan oleh masing-masing
Pimpinan Parpol menyatakan keberatan untuk menduduki keanggotan dalam
PPS karena “alasan pribadi”.
b. Partai-Partai Peserta Pemilu
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah 1977 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD
Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1977-1982. Pemilihan
Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan
Karya.
c. Strategi Pemenang Pemilu.
Sistem politik di pedesaan adalah sistem politik yang belum berjalan
dengan baik, karena aspirasi dari rakyat belum mempunyai saluran, partai
yang semula diharapkan dapat dapat menyalurkan aspirasi tidak ada
kegiatannya pada waktu itu, sehingga diperlukan adanya strategi dalam
berpolitik. Pada masa Orde Baru di pedesaan maupun di pusat kota kabupaten
Boyolali Nampak sangat jelas posisi Orde Baru sangatlah kuat, sehingga
muncul sebuah krisis tekanan batin. Beberapa parpol mengadakan strategi
pemilu, Strategi pemilu adalah bagaimana cara untuk mendapatkan suara
terbanyak dari masyarakat. Di dalam Pemilu Tahun 1977 Orde Baru Pemilu di
Boyolali sangat dekat dengan kemenangan Partai GOLKAR. Strategi utama
pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Pemilu yaitu dengan
mengeluarkan Kepres No. 82/1971 secara tegas memasukan PNS ( Pegawai
Negeri Sipil ) sebagai salah satu komponen Golkar. Mobilisasi ini sangat
efektif untuk mengangkat suara Golkar sehingga dengan mewajibkan PNS
mendukung Golkar adalah wujud dari mobilisasi dan bukan partisipasi, karena
pilihannya itu tidak dilandasi oleh kebebasan, melainkan lebih karena paksaan.
Kebijakan ini sering disebut dengan monoloyalitas. Tidak hanya itu upaya
pemerintah untuk memperkecil peran-peran partai politik masih terus
berlanjut. Pada bulan Agustus pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No
3 tahun 1975 tentang organisasi politik yang hanya memiliki kepengurusan
sampai di tingkat kota dan kabupaten, sedangkan di tingkat keLurahan dan
desa hanya memiliki komisaris yang berfungsi sebagai pelaksana. Kebijakan
ini sering disebut dengan floating mass (massa mengambang) (Sjamsuddin
dalam Zulkiply Hamid, 1988: 601). Menjelang masa kampanye 1977, kepala
Kopkamtib Sudomo mengeluarkan daftar “empat jangan” bagi partai politik,
yakni tidak diijinkan untuk (1) menggunakan tekanan untuk mengancam, (2)
mengganggu persatuan nasional, (3) menyinggung martabat pemerintah,
anggota masyarakat lain, dan kepala negara lain, (4) mengevaluasi dan
mengkritik kebijakan pemerintah.
Selama masa persiapan Pemilu 1977, ketegangan antara pemerintah dan
Islam (PPP) meningkat tajam, yang juga dialami oleh PDI. Praktis ketika
diadakan Pemilu pada tanggal 2 Mei 1977, Golkar keluar sebagai kontestan
pemenang Pemilu dengan meraih 39.750.096 suara atau 62,11%, mengulangi
kemenangannya pada Pemilu tahun 1971. Namun perolehan kursinya menurun
menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibanding Pemilu 1971 (Rauf,
dalam Alfian dan Nazaruddin S, 1988: 58)
Orde Baru adalah merupakan entitas yang berwajah ganda: baik dan
buruk. Tetapi mungkin bagi sedikit orang, Orde Baru adalah satu dimensi:
baik sekali atau buruk sekali. Kelompok yang memandang Orde Baru baik
adalah mereka yang diuntungkan secara materi dapat dari kalangan kerabat,
kroni dan kelompok-kelompok yang berada di lingkar inti kekuasaan baik di
pusat maupun di daerah, meskipun hati nurani mereka mengingkari.
Sementara mereka yang memandang Orde Baru buruk atau jahat adalah
mereka yang melihat, merasakan, mengalami, dan dirugikan secara material,
rohani, dan mental-spritual. Kelompok ini adalah mereka yang melihat secara
nyata, karena kemampuannya menganalisis dan arena wawasannya,
penyelewengan besar-besaran para elite Orde Baru terhadap amanat rakyat
baik dibidang ekonomi, sosial-budaya, kehidupan keagamaan maupun
ideologi (Baskara T. Wardaya:2007:6).
Strategi-strategi parpol sangat otoriter dan loyal . hampir semua PNS dan
pegawai pemerintah diharuskan untuk memilih partai Golkar. Pada waktu
pemerintahan Soeharto dianggap sebagai pemimpin yang ditaktor dan ketika
ada kampanye atau semacamnya semua aparat harus menghadirinya tidak
boleh tidak sehingga membuat pegawai negeri yang tidak datang ikut serta
dalam kampanye akan hilang begitu saja. Jika ada yang menyimpang secara
terang terangan pasti tidak akan tau nasib yang akan menimpanya pada waktu
itu (wawancara).
Berlainan dengan parpol PNI dan PPP yang mendapatkan jadwal
kampanye lebih sedikit dan sarana prasarana kampanye lebih minim sehinnga
itu membuat kesenjangan yang sangat Nampak sekali di Boyolali, namun
kesenjangan itupun juga tidak mendapatkan protes yang berat karena menjaga
keamanannya, keterbatasan jam dan jadwal kampanye partai PPP dan PNI
(yang sekarang PDI) membuat kemenangan mereka sangat minim.
Di zaman Pemilu 1977 di Boyolali tidak ada TIM SUKSES yang seperti
sekarang ini, tanpa adanya TIM SUKSES parpol yang dikuasai pemimpin
pada waktu itu pasti jelas akan menang, jadi semua harus menurut berdasarkan
apa yang telah diperintahkan. Keadaan yang sudah dikondisikan itu tidak
dapat ditolak ataupun dipungkiri namun di setiap daerah tetap ada berbagai
persiapan-persiapan sebelum pencoblosan yaitu salah satunya dengan
kampanye. Kampanye adalah mempersiapkan diri untuk memperoleh suara
sebanyak-banyaknya dalam Pemilihan Umum. Boyolali memiliki acara-acara
kampanye yang sangat unik dari berbagai daerah, berikut ini terdapat daftar
kegiatan kampanye Pemilihan Umum tahun 1977 di Boyolali oleh parta
GOLKAR, dengan memasang alat peraga dan dengan mengadakan pertemuan
pada waktu itu terdapat 1.316 tanda gambar ukuran <1m2 , 198.940 gambar
dengan ukuran >1 m 2 , poster sejumlah 6.574, spanduk 345 buah, terdapat pula
pertunjukan kampanye dilapangan sejumlah 4 kali, didalam gedung 193 kali,
dan mengadakan jadwal pawai sebanyak 32 kali. Daftar kegiatan kampanye
Pemilihan Umum tahun 1977 di Boyolali oleh partai Demokrasi Indonesia
yaitu poster hanya sebanyak 17 buah, gambar kecil >1m2 hanya berjumlah
154.442, rapat umum hanya sebanyak 130 kali , pertemuan dilapangan hanya
2 kali dan mendapatkan kesempatan pawai hanya 11 kali. Lain lagi dengan
Partai Persatuan Pembangunan yang memiliki daftar kegiatan kampanye
pemilihan umum tahun 1977 di Boyolali yaitu poster kecil sebanyak 165.435
lembar, spanduk 281 buah, mengadakan pertemuan rapat-rapat umum
sebanyak 131 didalam gedung, di lapangan 16 kali, kemudian mengadakan
pertunjukan dilapangan hanya 2 kali, dan pawai sebanyak 24 kali, dari data
yang diperoleh saja sudah Nampak terlihat pasrtai mana yang sangat dominan.
Kegiatan-kegiatan terstruktur di Boyolali adalah mengadakan kampanye-
kampanye akbar dibalai desa, di lapangan, di kantor-kantor pemerintahan,
dijalan-jalan utama maupun jalan-jalan desa, di pasar-pasar, pegajian-
pengajian yang diselipkan kampanye politik. Masa yang datang sangatlah
ramai jika itu partai yang mendominasi pada waktu itu.
Kampanye pada pemilu tahun 1977 dengan sekarangpun sangat berbeda
sekali pada tahun 1977 kampanye-kampanye di Boyolali dilakukan seperti
karnaval-karnval, pawai anak-anak sekolah dengan mengibarkan bendera
partai Golkar, pada peringatan 17 Agustus juga diadakan pawai di Boyolali
dengan tidak lupa mengibarkan bendera kuning bergambarkan pohon
Beringin, semua ikut serta agar tidak terjadi sesuatu semua anggota keluarga
harus ikut serta dalam kampanye itu. Dengan menggunakan baju partai Golkar
semua berdendang menyorakkan kebesaran partai Golkar. Kampanye biasanya
dilaksanakan sebelumnya dikomando oleh perangkat-perangkat desa di
Boyolali, tugas perangkat desa ini mengumpulkan seluruh warga untuk
mengikuti instruksi mereka yang sudah diberi mandat oleh atasan. Di Boyalali
hampir semua Pegawai pemerintahan memilih Golkar. Di Boyolali jika ada
kepala Departemen Agama mengadakan kampanye beliau tidak berani
mengadakan kampanye besar-besaran karena beliau anggota PPP.
Pemilu tahun 1977 di Boyolali kebebasan sangat terkekang sekali, partai
Golkar di Boyolali adalah pemenang mutlak, menang yang tidak bisa
diganggu gugat, tetapi warga Boyolali menganggap itu semua bisa
merukunkan semua warga jadi tidak semua Kontra dengan keadaan yang telah
di kondisikan. Politik uang pada pemilu 1977 di Boyolali pun tidak ada,
karena sudah mutlak pasti pemenangnya tim Golkar dan tidak ada namanya
serangan fajar. Cara pengumpulan warga di Boyolali pun sangatlah unik yaitu
dengan mengerahkan semua perangkat desa di setiap daerah dan dikumpulkan
untuk menghadiri rapat, setelah selang beberapa jam rapat selesai para
perengkat desa itu mendatangi warga-warganya untuk mempersiapkan diri
bahwa besuk ada kampanye ataupun pencoblosan dan lebih uniknya lagi
semua harus wajib ikut serta dalam kampanye maupun karnaval. Entah
dihatinya memilih partai yang diperintahkannya itu (GOLKAR) atau bahkan
memilih partai lain tanpa sepengetahuan para pamong desa, karena sangat
rahasia, ketika melihat gelagat yang melenceng pasti pamong desa akan
melaporkan kepada yang lebih atasannya lagi, maka dari itu tidak ada yang
berani melawan mereka yang sesungguhnya tugas mereka bukanlah untuk
memaksa dalam pemilihan Umum.
d. Peran Perangkat Desa
Konsep peran menurut Soekamto adalah Peran merupakan aspek yang
dinamis dalam kedudukan (status) terhadap sesuatu. Apabila seseorang
melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia
menjalankan suatu peran. Dalam penelitian ini peran perangkat desa dalam
pemilu 1977 terkait dengan peran tersebut maka perangkat desa idealnya
mendapat hak sesuai dengan perannya.
Pemerintah Desa (PemDes) dan Badan permusyawaratan Desa merupakan
unsur penyelenggara pemerintahan desa. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala
Desa dan Perangkat Desa yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, Kepala Desa dan Perangkat
Desa mempunyai tugas, wewenang, kewajiban dan hak. Penelitian dilakukan
di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Boyolali dipilih
sebagai area penelitian lebih karena di wilayah ini sebagian besar wilayahnya
masih berbentuk Desa dan pemerintahannya dijalankan oleh Perangkat Desa.
Wilayah administratif Kabupaten Boyolali mempunyai 262 Desa dan 5
KeLurahan, atau sekitar 98% dari wilayah Kabupaten Boyolali berbentuk
Desa dan sistem pemerintahannya dijalankan oleh Perangkat Desa.
Dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum terhadap hak-
hak sebagai penyelenggara pemerintahan desa, maka perlu diatur ketentuan
mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kinerja dalam rangka melaksanakan tugas,
wewenang dan kewajiban sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Golkar dapat memegang pemimpin dan aparat desa, sehingga Golkar dapat
mentargetkan jumlah suara yang harus didapat oleh masing-masing pimpinan
dan aparat desa (Rusli Karim1983:200). Pemimpin desa menjadi terjepit
keadaannya ketika tidak bisa menjamin kemenanngannya. Semakin jauh dari
pusat kota maka semakin leluasa pula Golkar menanamkan pengaruhnya.
Anggota Panitia Pemungutan Suara pada pemilihan Umum tahun 1977
menjelaskan tentang apa itu perangkat desa dan menyebutkan tugas-tugas
perangkat desa yang sebenarnya. Perangkat desa meliputi :
a. Lurah yaitu yang bertanggung jawab atas kepemimpinan di desa
wilayahnya sebagai pemimpin di pedesaan, orang-orang dipedesaan
menyebutkannya bapak Kades, jika diperkotaan Kecamatan boyolali
menyebutnya pak Lurah, di Boyoalali sendiri dibagi atas wilayah
Kecamatan di pedesaan dan Kecamatan yang sturkturnya sudah perkotaan.
Kepala Desa merupakan sebutan bagi pimpinan formal desa yang
diberlakukan secara seragam dan sentralistik yang diatur secara rinci
dalam Undang-undang No.5 Tahun 1979 Pasal 4 sampai dengan Pasal 13,
yang mengatur pemilihan, pengangkatan, pemberhentian, hak, wewenang
dan kewajiban Kepala Desa sebagai pimpinan yang loyal pada atasan
(Camat) dan juga pada masyarakat yang telah memberi amanat dan
mandat lewat pemilihan Kepala Desa.
b. Kamituo , yaitu wakil Kepala Desa atau penasehat Kepala Desa. Desa itu
perlu adanya pengganti pak Lurah jika tidak bisa mengikuti kegiatan dari
pusat atau semacamnya.
c. Carik, yaitu juru tulis di desa jika itu di pedesaan, jika di keLurahan carik
adalah sekretaris desa, sebenarnya hampir sama, namun perbedaannya jika
dipedesaan dipilih berdasarkan suara masyarakat sedangkan sekretaris
desa di Kecamatan kota berdasarkan pilihan dari pemerintah pusat di
boyolali.
d. Modin, yaitu ulama desa yang menangani atau membantu warganya untuk
mengurus misalakan pernikahan, lamaran, mengurus jenazah, yasinan di
desa, membantu dibidang keagamaan atau bahkan dalam adat istiadat di
desa tersebut. Jika di pemerintahan keLurahan di kota Modin disebut
KAUR KESRA (KepalaUrusan Kesejahteraan Rakyat) yang mempunyai
tugas yang menyangkut Bidang Ekonomi, Keagamaan dan Administrasi
warga. Namun Modin bekerja lebih dekat masyarakat, beliau berada
ditengah-tengah masyarakat yang membutuhkannya.
e. Bekel, yaitu di setiap desa dibagi menjadi beberapa dusun di Boyolali,
setiap dusun itu memiliki pemimpin yaitu disebut bekel, membantu
mengurusi admistrasi di setiap dusunnya.
f. Bayan, yaitu pesuruh di desa, yang menyuruh untuk gotong royong di
desa, menjenguk warga yang sakit. Jika di keLurahan kota Boyolali
disebut juga dengan sekretaris Kepala Desa.
g. Ulu-ulu di Boyolali hanya ada di system pemerintahan desa di Boyolali
karena ulu-ulu ini bertugas mengurusi perairan di desa sperti di cepogo,
desa selo, dan pedesaan Boyolal lainnya.
Setiap perangkat-perangkat desa itu dibayar dengan bengkok.
Pembagian upah para aparat desa dari tanah bengkok desa ini, adalah
menggunakan sistem pembagian upah per bahu yang artinya satu bahu adalah
sama dengan 750 M² dengan aturan sebagai berikut. Pembagian upah tersebut
besarnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Boyolali, Daerah
tingkat II Jawa Tengah:
1. Lurah Desa mendapatkan 22 bahu
2. Carik Desa mendapatkan 12 bahu
3. Para Staff (4orang)mendapatkan 4 bahu/ orang
4. Modin (2 orang) mendapatkan 2,5 bahu/orang
5. Pamong Desa (6 orang) mendapatkan 3 bahu/orang
6. Kamituo mendapatkan 6 bahu
Total keseluruhan ada 16 (enam belas) orang aparat desa, dimana masing-
masing aparat desa ini langsung memberikan pengawasan kepada para petani
tersebut guna kelancaran panen tanah bengkok desa mereka dan juga agar
mendapatkan keuntungan yang dapat digunakan untuk membayaran upah
mereka selama 4 (empat) bulan pertama, begitu seterusnya.
Kepala Desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh
legitimasi eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan maupun tugas-tugas
yang diemban, menghadiri acara-acara privat warga, bagi relasi antara
masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat Desa). Pelayanan
administratif (surat-menyurat) kepada warga pengayom warga masyarakat.
Para pamong Desa beserta elite Desa lainnya dituakan, secara personal dalam
wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batas-batas kebiasaan dan
kerelaan pamong untuk beranjangsana harus mengetahui semua hajat hidup
orang banyak, sekalipun hanya selembar daun terus-menerus ketika menjadi
pemimpin di Desanya.
Legitimasi mempunyai asal- meski setiap Kepala Desa mempunyai ukuran
dan gaya yang berbeda-beda dalam warganya, dan lain-lain. Satu sisi, para
perangkat Desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai sisi
lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat akar-rumput
ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan
urusan privat dan publik di Desa sering kabur. Sebagai contoh, warga
masyarakat Jika pemerintah Desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka
Kepala Desa yang jatuh dari pohon. Kepala Desa umumnya membangun
legitimasi dengan Kepala Desa selalu tampil dominan dalam urusan publik
dan politik, tetapi hal itu sebenarnya publik maupun privat warga Desa.
Dalam praktiknya antara warga dan pamong Desa menilai kinerja pamong
Desa tidak menggunakan kriteria modern transparansi dan (Lurah Desa)
merupakan personifikasi dan representasi pemerintah Desa. Legitimasi
berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan disampaikan, nilai-nilai
yang diakui, serta tindakan yang diperbuat.
Ketika terjadi pemilu tugas-tugas perangkat desa itu beralih fungsi yang
semestinya. Sistem tersebut berbeda dengan pemerintahan di desa di
Kecamatan kota Boyolali. Pemilu sedang terjadi para perangkat desa itu
dikumpulkan dalam suatu rapat untuk memberitahu warganya tentang
persiapan-persiapan Pemilu. Ketika ada perangkat desa yang tidak hadir
dalam rapat pemilu dibalai desa maka perangkat desa itu akan mendapatkan
sangsi yang sangat tegas dari pimpinan. Kedatangan mereka pun di absen
dengan cara mereka tanda tangan dibuku yang sudah diberi nama dan
keterangan. Perangkat desa mendata warganya dan setiap warga di desa
boyolali mendapatkan jatah untuk tanda tangan, barang siapa tidak tanda
tangan akan dianggap pengkhianat, dan pengkhianat wajib ditindak lanjuti
(wawancara).
Perangkat-perangkat desa memprovokatori kampanye dengan menggiring
semua warganya dalam ikut serta kegiatan kampanye, sampai-sampai tengah
malam memasang poster-poster partai politik. Partai yang paling dominan
dan menguasai kegiatan kampanye yaitu partai bergambarkan pohon
beringin. Tidak ada satupun perangkat desa yang berani melawan perintah
dari Kepala Desa. Perangkat-perangkat desa itu tidak dibayar ketika
menjalankan mandat. Namun dengan keterpaksaan mereka menjalankan
perintah-perintah yang jika tidak dikerjakan akan menanggung resiko yang
sangat besar. Secara sosiologis, desa sebagai suatu komunitas yang
perilakunya ditandai oleh suasana keguyuban dan kerukunan.
Dimasa lalu desa memiliki konotosi sebagai komunitas yang hidup
tenteram dan tertib. Kepala Desa berperan sebagai patron komunitas
setempat, sang patron dituntut untuk berperan sebagai kaki tangan penguasa
yang lebih tinggi. Manakala patron2 di desa telah terbiasa diperankan dan
juga memerankan (Purwosantoso:2002:80). Melalui tangan-tangan birokrasi
pemerintahan Negara mengumpulkan sumber daya, merumuskan berbagai
rencana dan strategi dan mengimplentasikan agenda yang telah
dicanangkannya. Untuk memastikan agenda pembangunan terwujud harus
dipastikan bahwa rancangan dalam skala nasional tersebut bisa dikendalikan
oleh pemerintah pusat melalui rantai kewenangan birokrasi yang tertata dari
pucuk tertinggi (presiden) sampai pemerintah desa. Kekuasaan politik yang
otoriter membuat semakin takut kaum bawahan. Para perangkat desa sangat
loyal terhadap atasannya. Keharusan pemerintah desa di masa pemilu 1977
sebagai pendukung dan mobilisator dukungan bagi Golkar, mau tidak mau
menjadikan pemerintah desa bermusuhan dengan pihak yang tidak
seharusnya dimusuhi pendukung partai Non-Golkar. Perangkat desa harus
memikul beban mental dan psikis dari jajaran elit supra-desa, namun ternyata
hanya Kepala Desa yang mendapat “imbalan” bagi loyalitas yang diberikan.
Pada masa pemerintahan Soeharto, desa mengelola masa untuk partai
politik dilarang untuk memiliki basis organisasional di tingkat desa. Setiap
malam mereka dikumpulkan untuk membahas esuk paginya pencoblosan,
perangkat desa menjadi sepeti boneka yang dijalankan oleh pemerintah pusat
yang semua harus tunduk terhadap perintah-perintah yang tidak sesuai
dengan tugas masing-masing, itu sangat melanggar hak asasi manusia. Ada
juga yang beranggapan partai Golkar adalah “pelindung”, karena jika mereka
menurut sesuai mandate maka bantuan-bantuan akan mudah diperoleh.
Orang-orang desa adalah orang yang mengambang (floating mass) (Geoff
Forrester:2002:303). Berbagai cara pemerintah agar diwilayahnya tidak ada
masa pertain lain selain Golkar dengan menghancurkan segala atribut partai
lain Non-Gokar. Ternyata kepala-Kepala Desa diberi target untuk
mengumpulkan suara Golkar. Pemerintah akan memberikan penghargaan
kepada Kepala-Kepala Desa yang sanggup memenuhi target suara.
Sebaliknya akan memberikan sangsi sosial bagi yang tidak bisa memenuhi
target Perangkat desa digerakkan untuk menggunakan berbagai cara untuk
memenuhi target. Di sepanjang sudut desa banyak sekali atribut partai dengan
nuasansa kuning. Upaya pemerintah agar nuansa kuning tetap memenangkan
Pemilihan Umum serta mempertahankan mayoritas suara mutlak, demi
kaeamanan dan ketertiban yang telah dikondisikan semua memaksa
masyarakat untuk tetap memilih Golkar, ketika salah satu masyarakat sedang
mengalami musibah ketika terjadi pencoblosan dan tidak bisa berhalangan
hadir karena orang tuanya meninggal di luar kota Boyolali, maka perangkat
desa itu sama sekali tidak mengijinkan utnuk pulang kerumah asalnya, harus
tetap berada ditempat sebelum proses pencoblosan selesai, padahal beliau
sedang berada di posisi kehilangan orang tua dan harus mengurusi
meninggalnya orang tuanya, dengan keterpaksaan dan kebencian beliau harus
tetap berada di tempat pemilihan itu, perangkat desa yang sebelumnya sangat
ramah dan dekat dengan warga bisa menjadi seorang aparat desa yang sangat
kasar dan rela melakukan apa saja demi keamannannya.
Kekuatan politik pada masa Orde Baru juga terbagi menjadi tiga PPP,
Golongan Karya dan PDI. Walaupun Golongan Karya selalu menang , tapi
PPP dan PDI juga cukup kuat, bahkan ada beberapa pegawai negeri yang
dicurigai menggerakan PPP Golongan Karya didukukng oleh pegawai negeri,
pamong desa dan sebagian petani atau wiraswasta yang dianggap mampu
untuk ukuran desa, PPP didukung oleh sebagian besar warga Muhamadiyah
dan PDI dikukung oleh keluarga atau anak anak tokoh PNI dan sebagian
besar keluarga yang secara ekonomi kurang mampu untuk ukuran desa itu,
begitu penuh rahasia mengenai kekuatan-kekuatan politik.
e. Pencalonan dan pelaksanaan Pmilihan Umum
Organisasi Partai politik dan Golongan Karya yang dapat mengajukan
Calon Anggota DPRD/DPR ditetapkan dalam keputusan menteri dalam
Negeri / Lembaga pemilihan Umum Nomer : 90/LPU/1976, ialah::
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Jumlah calon yang diajukan oleh masing-masing Organisasi maksimal
sebanyak dua kali jumlah anggota DPR/DPRD yang diplih (pasal 19 ayat 4
Undang-Undang Nomer 15 tahun 1969 jo Undang-Undang noemr 4 tahun
1975). Selanjutnya penelitian terhadap persyaratan masing-masing calon
dilaksanakan oelh panitia panitia yang dibentuk pada tiap-tiap panitia
pemilihan. Setelah penelitian selesai, daftar nama-nama calon sementara
tersebut diumumkan untuk mendapatkan tanggapan seperlunya dari
masyarakat (pasal 52 Peraturan Pemerintahan Nomer 1 tahun 1976).
Pengajuan calon untuk keanggotaan DPRD tingkat II Boyolali dalam
Pemilihan Umum tahun 1977 diterima oleh P.P.D.Tk.II Boyolali dari Partai
Politik dan Golongan Karya sebagai peserta Pemilihan Umum pada tanggal
27 September 1976. Jumlah calon yang diajukan oleh masing-masing
Organisasi, adalah :
NO ORGANISASI JUMLAH CALON
1
2
3
Golongan Karya
Partai Persatuan Indonesia
Partai Demokrasi Indonesia
64 orang
32 orang
40 orang
Susunan panitia PPD, keanggotaannya sebagai berikut :
NO JABATAN NAMA ASAL
1. Ketua Buanggo HP PPD-II Boyolali
2. Wakil Ketua Kapten Nawijo Kodim 0724/Boyolali
3. Sekretaris Drs. Margono PPD II Boyolali
4. Anggota - Drsa.Sadijo
- Sri Widodo
- Moch Suleiman
SH
PemDa Boyolali.
Kejaksaan Boyolali.
Pengadilan Negeri
Boyolali.
A. Persepsi masyarakat terhadap pelaksanann Pemilu Tahun 1977 di
Boyolali
Suatu pemerintahan atau organisasi Negara dibentuk adalah dengan
maksud untuk kepentingan masyarakat, sehingga karenanya segala tindak-
tanduk dari pemerintahan Negara haruslah diarahkan untuk memenuhi
kepentingan masyarakat tersebut ( R.Wiyono,1982:6). Masyarakat Boyolali
pada Pemilu tahun 1977 membutuhkan sosok pemimpin atau kader yang
mampu melindunginya dari kecaman-kecaman oknum yang tidak berhati
nurani. Karena berdasarkan teori tersebut kepentingan masyarakatlah yang
harus diutamakan dan bukan kepentingan dari Pemerintah Negara untuk
mendapatkan suara terbanyak dalam Pemilu 1977. Kepentingan Pemerintah
lebih diutamakan dan tidak dapat menjalankan tugas pemerintah yang
semestinya dalam kegiatan Pemilu sehingga tidak ada tanggung jawab secara
langsung maupun tidak langsung oleh Organisasi kekuatan social Politik.
Syarat mutlak agar suatu Negara dapat disebut Negara demokrasi adalah
terdapatnya dan berfungsi beberapa kekuatan social politik (R.Wiyono,
1982:7). Teori ini tidak cocok dengan keadaan Boyolali ketika terjadi Pemilu
1977, karena di Boyolali hanya Parpol yang mendominasi saja yang
mempunyai kekuatan politik terbesar. Parpol yang tidak memiliki masa
banyak hanya menjadi Parpol pendamping (wawancara). Kondisi yang dibuat
tenang ini sebenarnya hanya Nampak diluarnya saja. Hati masyarakat
Boyolali menjerit karena pemaksaan dan kekerasan terjadi dimana-mana.
Pelaksanaan pemilu pada tahun 1977 adalah pemilu yang tidak
berdasarkan keikhlasan hati masyarakat untuk memilih. Pemilu yang
dianggap hanya sebagai melindungi diri dari rezim Orde Baru, namun disuatu
kondisi dapat dilihat tidak ada partai politik yang berani memberikan suap
menyuap, serangan fajar dan semacamnya, semua tampak bersatu dan rukun,
walaupun mereka sadar bahwa kondisi itu memang dibuat seperti itu agar
tidak terlihat gelagat yang mencurigakan. Seluruh Pegawai Negeri Sipil mau
tidak mau harus memilih partai yang mendominasi pada saat itu. Namun
ketika saya bertanya pada beliau apakah nyaman dengan keadaan pada waktu
itu dibandingkan dengan keadaan sekarang ini beliau berterus terang semua
ada segi positif dan negatifnya.
Positifnya, pada pemilu 1977 semua hadir dalam pemilu dari persiapan,
kampanye, pencoblosan dan penghitungan suara, semua warga rukun dan
tenang, tidak ada yng berani gontok-gontokan dan melawan. Beliau
menganggap perangkat desa adalah tokoh yang memang patut ditiru dalam
apa yang dia perintahkan, karena itu memang amanat.
Negatifnya, tidak adanya hak kebebasan untuk memilih dan pemaksaan
yang kejam dari perangkat-perangkat desa membuat trauma yang mendalam
bagi masyarakat yang menjalani pada pemilu tahun 1977, sehingga membuat
batin mereka tetap tersiksa sampai sekarang, bahkan ada yang tidak berani
menceritakan keadaan yang sesungguhnya.
Fungsi-fungsi yang akan dilakukan Golongan Karya :
a. Sebagai pengamal serta pengaman Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
b. Menyelenggarakan pendidikan politik.
c. Komunikasi politik dengan masyrakat dan pemerintah secara timbal
balik.
d. Pemaduan kepentingan dan pengajuan kepentingan masyarakat sesuai
dengan cita-cita pembaharuan dan pembangunan bangsa (Rusli
Karim,1983: 165).
Berdasarkan fungsi tersebut seharusnya Golongan Karya mampu
merangkul masyarakat Boyolali untuk tetap menjalankan Pemilu secara
Demokrasi, bukan malah memanfaatkan situasi. Banyak Parpol merangkul
masyarakat sesuai dengan tujuan Parpol tersebut. Golongan Karya
merangkul ABRI dan Pegawai Negeri Sipil dalam menjadi kader-
kadernya. Merangkul disini menurut masyarakat Boyolali mengajak secara
paksa, sedangkan masyarakat sendiri juga mempunyai pilihan tersendiri
untuk Parpol yang dikehendakinya.
Pegawai Negeri Sipil yang suka dengan Partai Golkar menganggap
tidak menjadikan itu suatu masalah jika memang harus memilih Golkar,
karena pada waktu pemilu 1977 gaji pegawai masih sangatlah sulit
sehingga itu salah satu hal yang membuat tetap memilih partai dominasi.
Tidak semua sependapat dengan hal tersebut,hal ini terbukti ketika sa;ah
satu pensiunan guru di SMP negeri di Boyolali, sampai sekarang ini
masih merasakan bagaimana keadaan pemilu 1977 di Boyolali. Beliau
ingat sekali ketika Partai itu berkampanye ke kantor tempat beliau
bekerja, para tokoh pemerintahan (beliau tidak mau menyebutkan
namanya) mereka memaksa para guru itu bertanda tangan untuk memilih
partai yang mendominasi. Satu persatu berbaris di ruangan kantor untuk
menandatangani kertas yang sudah disiapkan. Ketidakhadiran ketika
kampanye akan mendapatkan sangsi yang tegas sehingga membuat beliau
mengikut sertakan semua anggota keluarganya untuk memilihnya dan
mengkampanyekannya. Namun beliau sangat senang bisa berlindung
dibawah kaki partai yang mendominasi sehingga membuatnya aman dan
tentram.
Pemilu1977 itu adalah masa lalu yang kelam yang hanya untuk
dijadikan pelajaran buat masa depan agar tidak terulang kembali.
Pelanggaran dan keputusan-keputusan tidak sesuai dengan aturan-aturan
yang telah dibuat oleh Presiden. Perangkat desa yang dengan sengaja
menolak untuk tidak mengikuti perintah dan akhirnya perangkat desa itu
hilang entah dimana, beliau tidak mau menyebutkan siapa korban-korban
pemaksaan pada pemilu 1977.
Ciri yang menonjol didalam periode perkembangan Partai Politik yang
terakhir ini ialah adanya penciutan jumlah partai politik, yakni tinggal tiga
saja: Partai Perstuan Pembangunan; Partai Demokrasi Indonesia;
Golongan Karya (Ahmad Syafii, 1983: 172). Adanya 3 partai membuat
masyarakat tidak kebingungan akan pilihan mereka, masyarakat bisa
dengan mudah disatukan, dan tidak menghabiskan dana Negara seperti
sekarang ini yang Negara harus membiayai bermacam-macam partai untuk
dana kampanye. Kekuatan –kekuatan dengan sistem partai yang hanya
terdiri dari tiga saja bisa menjadikan wadah masyarakat Boyolali untuk
mereka masuk kedalam Partai mana, namun hal itu kembali lagi bahwa itu
semua hanya syarat tertulis yang tidak sesuai dengan kenyataan. Seseorang
yang beragama muslim ingin memilih Partai Perstuan Pembangunan tidak
bisa lantaran dia berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil.