29
TOTOBUANG
Volume 8 Nomor 1, Juni 2020 Halaman 29—41
BAHASA DI LINTAS BATAS: KAJIAN AKOMODASI KOMUNIKASI
MASYARAKAT PERBATASAN INDONESIA-TIMOR LESTE
(Cross-border Language: a Study of Communication Accomodation
in Indonesian-Timor Leste Border Community)
Inayatusshalihaha & Retno Handayanib
a, b Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur 13220
Pos-el: [email protected]
Diterima: 20 Desember 2019; Direvisi: 27 Maret 2020; Disetujui: 7 April 2020
doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i1.176
Abstract
The RI-RDTL border community in the Motamasin (Metamauk-Salele) cross-border post consists of local
people and migrants from the Timor Leste. Although the ethnic group languages used are generally the same,
there are absorbing elements from other languages that distinguish them. This paper examines how communication between these two groups works. The study includes community attitudes and language choices
used in their daily communication. The study showes that the percentage index of respondents' interpretations of
the questions regarding attitudes towards mother tongue lies on a scale of 61–80. This shows the tendency of
positive attitudes toward their mother tongue, while attitudes toward other languages range on a scale of 0–40
which shows the tendency of negative attitudes. This tendency influences the use and choiceof daily language.
Local people tend to use mother tongue with their ethnic groups and migrant communities from Timor Leste.
Likewise, migrants from East Timor. However, they tend to use local language when they comunicate with local
people. Mother tongue language is only used with their fellow from Timor Leste.
Keywords: communication accommodations, language attitudes, Tetun Terik language, Tetun Porto languange
Abstrak
Masyarakat perbatasan Republik Indonesia-Republik Demokratik Timur Leste (RDTL) di bagian pos lintas
batas Motamasin (Metamauk-Salele) terdiri atas masyarakat lokal dan masyarakat pendatang (eks pengungsi)
dari Timor Leste. Meskipun bahasa kelompok etnis yang digunakan pada umumnya sama, ada unsur-unsur serapan dari bahasa daerah lain yang membedakannya. Tulisan ini mengkaji bagaimana komunikasi antara dua
kelompok masyarakat tersebut. Kajian mencakup sikap masyakarat dan pilihan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di pos lintas batas Motamasin dalam komunikasi sehari-hari.
Dalam kajian ini ditemukan bahwa indeks persentase interpretasi responden terhadap butir tanyaan yang
berkenaan dengan sikap terhadap bahasa ibu terletak pada skala 61–80. Hal ini menunjukkan kecenderungan
sikap positif masyarakat terhadap bahasa ibu di perbatasan RI-RDTL, sedangkan sikap bahasa masyarakat lokal
terhadap bahasa daerah lain berkisar pada skala 0–40 yang menunjukkan kecenderungan sikap negatif.
Kecenderungan ini memmengaruhi penggunaan dan pilihan bahasa sehari-hari. Masyarakat lokal cenderung
menggunakan bahasa ibu dengan kelompok etnisnya dan masyarakat pendatang dari Timor Leste. Demikian
pula dengan masyarakat pendatang dari Timor Leste yang cenderung menggunakan bahasa lokal jika berbicara
dengan masyarakat lokal. Sementara itu, bahasa ibu digunakan dengan sesama penutur dari Timor Leste. Kata-kata kunci: akomodasi komunikasi, sikap bahasa, Tetun Terik, Tetun Porto
PENDAHULUAN
Keberagamanan kelompok etnis yang
mendiami wilayah Indonesia mencerminkan
keberagaman bahasa yang ada. Selain
menunjukkan kekayaan bangsa,
keberagaman bahasa dapat menimbulkan
permasalahan yang berkaitan dengan
komunikasi. Adyana dan Rokhman (2016,
hlm. 89) menjelaskan bahwa ketika
seseorang berkomunikasi dengan berbagai
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41
30
kalangan yang berasal dari kelompok etnis
dan bahasa yang berbeda, ia akan berusaha
menyesuaikan perilaku komunikasinya
dengan perilaku komunikasi mitra tuturnya.
Penyesuaian diri itu dapat dilakukan dengan
cara mengadaptasi perilaku komunikasi satu
sama lain, mempertahankan perbedaan di
antara penutur dan mitra tuturnya, atau
melakukan akomodasi secara berlebihan.
Proses akomodasi tersebut bertujuan untuk
menyesuaikan bahasa pada situasi tutur, baik
dalam interaksi sesama etnis maupun
antaretnis.
Keberagaman etnis dan bahasa tidak
hanya ditemukan di kota-kota besar, tetapi
juga di kawasan perbatasan Indonesia
dengan negara tetangga, seperti Desa Alas
Selatan, Kecamatan Kobalima Timur,
Kabupaten Malaka. Di desa itu terdapat
masyarakat pendatang dari Timur Leste yang
ikut bergabung ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Masyarakat pendatang
ini menyebut diri mereka sebagai eks
pengungsi. Namun, dalam tulisan ini penulis
menyebut masyarakat pendatang atau eks
pengungsi tersebut dengan sebutan
masyarakat Indonesia keturunan RDTL.
Interaksi antara masyarakat Indonesia
keturunan RDTL tersebut dengan penduduk
lokal tentu menimbulkan kontak ataupun
adaptasi bahasa. Sebagai pendatang,
masyarakat Indonesia keturunan RDTL akan
berusaha menyesuaikan diri dengan bahasa
lokal meskipun pengaruh bahasa ibunya
sama sekali tidak dapat dihilangkan.
Demikian pula halnya dengan penduduk
lokal. Selain itu, sebagai desa yang terletak
di perbatasan, Desa Alas merupakan pintu
keluar masuk penduduk Indonesia dan
penduduk Timor Leste.
Tulisan ini mengkaji akomodasi
bahasa masyarakat di Desa Alas Selatan
terhadap penutur bahasa lain. Sikap
masyarakat tutur, pilihan bahasa, dan cara
akomodasi yang digunakan oleh masyarakat
di kawasan perbatasan RI-Republik
Demokratik Timor Leste (RDTL) dalam
berkomunikasi antarkelompok etnis menjadi
objek kajian dalam tulisan ini. Sementara
itu, kajian difokuskan pada komunikasi
penduduk lokal dengan masyarakat
Indonesia keturunan RDTL, bukan dengan
penduduk Timor Leste.
Akomodasi bahasa masyarakat
perbatasan dapat terlihat melalui keterkaitan
ciri sosial dengan pendapat responden
terhadap sejumlah parameter akomodasi
bahasa, baik tentang bahasanya maupun
bahasa pendatang atau bahasa daerah lain
yang juga digunakan di sekitar lingkungan
tempat tinggalnya. Menurut Crystal (2008,
hlm. 6), akomodasi adalah suatu teori
sosiolinguistik yang bertujuan menjelaskan
alasan penutur bahasa memodifikasi
tuturannya sehingga menjadi mirip atau
terkadang menjadi berbeda dengan tuturan
yang digunakan oleh mitra tuturnya.
Sugiyono (2011, hlm. 64) menyatakan
bahwa tingkat akomodasi diukur dengan
menggunakan dua parameter, yaitu (1) cara
responden menyikapi bahasa yang
diakomodasi dan (2) cara responden
menggunakan bahasa atau unsur bahasa
yang diakomodasi. Akomodasi terhadap
sebuah bahasa dianggap positif apabila
seseorang mempunyai kemampuan dan
kesan yang baik terhadap bahasa itu dan
menggunakannya dalam berbagai ranah serta
mewarisi penggunaannya kepada generasi
berikutnya. Ylänne (2008:164) mengatakan
bahwa penutur termotivasi untuk
mengurangi perbedaan komunikatif secara
linguistik antara dirinya dan lawan tutur
pada situasi tertentu untuk menciptakan
komunikasi yang efektif. Di sisi lain,
penutur termotivasi untuk bersikap tidak
akomodatif dan bahkan menonjolkan
perbedaan antara dirinya dan lawan tutur
untuk menekankan perbedaan dan jarak.
Dalam tulisan ini, akomodasi bahasa
didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur
bahasa seorang penutur dalam interaksinya
dengan penutur lain.
Menurut Dhanawaty (2004), seorang
penutur melakukan akomodasi disebabkan
Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)
31
oleh adanya keinginan, antara lain untuk
meningkatkan keefektifan komunikasi,
mengurangi jarak sosial dengan mitra tutur,
menciptakan hubungan yang baik,
meningkatkan prestise dan kesantunan tutur,
dan menurunkan formalitas tutur.
Akomodasi dalam interaksi antarpenutur
bahasa yang berbeda dengan menggunakan
teori akomodasi pernah dilakukan oleh
beberapa penulis. Susilastri (2005) mengkaji
konvergensi linguistis penutur asli bahasa
Jawa terhadap pemakaian bahasa Melayu
Palembang dalam komunitas pasar
tradisional di Palembang. Hasil kajiannya
menyimpulkan bahwa fenomena yang terjadi
dalam kontak bahasa menunjukkan upaya
penutur asli bahasa Jawa membuat sebuah
modifikasi terhadap bahasa Melayu
Palembang agar sesuai dengan pola
pemakaian bahasa Melayu Palembang atau
agar konvergen.
Sugiono dkk. (2011) meneliti
akomodasi bahasa masyarakat multikultural
perkotaan di Indonesia dengan objek kajian
masyarakat yang tinggal di Batam, Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan
Makasar. Persoalan yang menjadi fokus
penelitian tersebut adalah strategi
komunikasi yang digunakan oleh masyarakat
multikultural di daerah perkotaan Indonesia
dalam berkomunikasi antarkelompok etnis.
Dalam penelitian itu terlihat penutur bahasa
daerah lokal pada umumnya bersikap
akomodatif terhadap bahasa pendatang.
Akan tetapi, tingkat akomodasi masyarakat
terhadap bahasa pendatang memiliki ambang
batas tertentu. Kecenderungannya semakin
banyak kelompok etnis yang ada di
lingkungan hidupnya justru dapat
mengurangi tingkat akomodasi. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa secara umum
masyarakat Indonesia yang hidup di kota
besar memiliki tingkat akomodasi yang
memadai untuk hidup berdampingan.
Efendi (2018) mengkaji komunikasi
antarbudaya etnis Jawa dengan etnis Banjar
dengan pendekatan teori akomodasi
komunikasi dan dengan metode deskriptif
kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa masyarakat di Desa Teluk Dalam,
Kecamatan Tenggarong Seberang selalu
melakukan akomodasi komunikasi dengan
menggunakan jenis konvergensi dan juga
divergensi ketika melakukan percakapan
dengan mitra tuturnya yang memiliki latar
belakang budaya dan bahasa yang berbeda.
Dalam proses akomodasi, baik etnis Jawa
maupun etnis Banjar memiliki sikap saling
menghargai dan menggunakan komunikasi
antarpribadi diadik dan triadik.
LANDASAN TEORI
Coupland (2010, hlm. 21) menyatakan
bahwa teori akomodasi komunikasi
merupakan kerangka teoretis umum
mengenai komunikasi antarperseorangan dan
antarkelompok. Dalam bentuknya yang
paling awal, teori akomodasi merupakan
model modifikasi gaya tutur yang bersifat
sosio-psikologis. Namun, saat ini teori
akomodasi memiliki status sebagai model
proses relasional dalam interaksi
komunikatif. Teori akomodasi merupakan
model utama pada antarmuka
sosiolinguistik, komunikasi, dan psikologi
sosial.
Menurut Matthews (1997, hlm. 5)
akomodasi adalah cabang linguistik yang
menelaah penyesuaian-penyesuaian yang
dilakukan penutur dalam mengadaptasi atau
mengakomodasi tuturannya dalam interaksi
dengan mitra tuturnya. Teori akomodasi
komunikasi digagas oleh Giles (1973) dan
dikembangkan oleh Trudgill (1986). Teori
ini melihat motivasi dan konsekuensi yang
mendasari dua penutur menyesuaikan gaya
komunikasi mereka.
West dan Turner (2008, hlm. 219)
mengidentifikasikan empat asumsi teori
akomodasi, yaitu (i) persamaan dan
perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di
dalam semua percakapan, (ii) cara kita
mempersepsikan tuturan dan perilaku orang
lain akan menentukan bagaimana kita
mengevaluasi sebuah percakapan, (iii)
bahasa dan perilaku orang memberikan
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41
32
informasi mengenai status sosial dan
keanggotaan kelompok, dan (iv) akomodasi
bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian dan
norma mengerahkan proses akomodasi.
Keempat asumsi tersebut membentuk dasar
yang kuat untuk mempelajari cara-cara
beradaptasi yang digunakan orang dalam
sebuah komunikasi.
Dhanawaty (2004) membedakan
akomodasi berdasarkan waktu, arah turun
naiknya (ke atas atau ke bawah), dan
kelengkapannya.
(1) Akomodasi berdasarkan waktunya
dibedakan atas akomodasi jangka
pendek dan akomodasi jangka panjang.
Akomodasi jangka pendek adalah
akomodasi yang terjadi dalam kontak
jangka pendek, sedangkan akomodasi
jangka panjang adalah akomodasi yang
terjadi dalam kontak jangka panjang
yang memungkinkan terjadinya
komunikasi bersemuka secara sering.
(2) Akomodasi berdasarkan arah turun
naiknya dibedakan atas akomodasi ke
bawah dan akomodasi ke atas.
Akomodasi digolongkan ke bawah jika
penutur memodifikasi tuturannya
dengan menyerap fitur-fitur dari bahasa
atau dialek mitra tutur yang dianggap
lebih rendah daripada bahasa atau
dialeknya sendiri. Sementara itu,
akomodasi digolongkan ke atas jika
penutur mengadaptasi bahasanya ke
arah fitur-fitur bahasa yang digunakan
mitra tutur yang dirasakan lebih tinggi
prestisenya atau lebih fungsional
daripada bahasa yang digunakannya.
(3) Akomodasi berdasarkan kelengkapan
dibedakan atas (i) akomodasi total
secara fonetis, (ii) akomodasi parsial
secara fonetis, dan (iii) akomodasi
parsial secara leksikal. Akomodasi total
secara fonetis berarti bahwa bunyi
tertentu dimodifikasi menjadi persis
sama dengan bunyi yang ada pada
bahasa sasaran. Akomodasi parsial
secara fonetis berarti bahwa bunyi yang
ada pada bahasa asal dimodifikasi,
tetapi belum menjadi persis sama
dengan yang ada pada bahasa sasaran.
Akomodasi parsial secara leksikal
berarti bahwa sebuah bunyi dalam
lingkungan fonetis tertentu tidak
berubah secara serentak pada semua
leksem.
Akomodasi pada umumnya dibedakan
menjadi konvergensi dan divergensi. Giles
et.al. (1991, hlm. 7–8; lihat juga Coupland,
2010, hlm. 22) mendefinisikan konvergensi
sebagai strategi individu untuk beradaptasi
dengan perilaku komunikatif satu sama lain
yang berkaitan dengan fitur-fitur nonverbal
ataupun verbal seperti kecepatan bicara,
panjang tuturan, fonologi segmental, jeda
bicara, senyuman, gestur, tatapan mata, dan
lain-lain. Divergensi juga digunakan sebagai
istilah yang merujuk pada cara penutur
menonjolkan tuturan dan perbedaan
nonverbal antara dirinya dan orang lain.
Divergensi dilihat sebagai fenomena tingkat
kelompok yang mencerminkan motivasi
penutur untuk memisahkan dirinya secara
simbolis dari keanggotaan kelompok sosial
(etnis, politik, kelas, usia, atau gender) mitra
tutur. Ketika seseorang melakukan
konvergensi, ia bergantung pada persepsi
mengenai perkataan dan perilaku mitra
tuturnya.
West dan Turner (2008, hlm. 225)
menyatakan bahwa konvergensi juga dapat
dimaknai sebagai tindakan penutur untuk (i)
meningkatkan daya tarik bagi lawan tutur,
(ii) memberikan dukungan, (iii)
menunjukkan keterlibatan interpersonal, (iv)
menunjukkan kesalahpahaman, dan (v)
memperoleh persetujuan atau keserasian
dengan lawan tutur. Konvergensi dapat
terjadi secara positif ketika penutur
bertindak dalam gaya yang mirip dengan
lawan tuturnya. Konvergensi juga dapat
bersifat negatif jika dilakukan untuk
mempermalukan, menggoda, atau
merendahkan.
Selanjutnya, divergensi didefinisikan
oleh Littlejohn dan Foss (2008:153) sebagai
strategi yang digunakan penutur untuk
Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)
33
menunjukkan ketaksamaan tuturan dan
perbedaan nonverbal antara penutur dan
lawan tuturnya. Divergensi juga dapat
dianggap sebagai taktik pembedaan
interkelompok yang digunakan oleh
seseorang untuk mencari identitas sosial
yang positif. Divergensi adalah komunikasi
yang menjauh karena penutur menunjukkan
perbedaannya kepada lawan tutur
Divergensi terjadi ketika seorang penutur
berusaha menunjukkan perbedaan-perbedaan
saat berkomunikasi, seperti gaya bahasa,
jeda bicara, bahasa, tatapan mata, dan
lainnya. Divergensi seringkali terjadi ketika
ditemukan perbedaan peran yang jelas dalam
komunikasi, misalnya komunikasi dokter
dan pasien, guru dan murid. Menurut West
dan Turner (2008, hlm. 227), terdapat
beberapa alasan orang melakukan
divergensi. Salah satunya adalah untuk
mempertahankan identitas sosial mereka
satu sama lain dalam rangka ingin selalu
mempertahankan budayanya sendiri di
hadapan lawan tutur ketika berkomunikasi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif. Sudaryana (2017) meyebutkan
penelitian deskriptif sebagai penelitian yang
menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk
dipahami dan disimpulkan. Penelitian
deskriptif dengan pendekatan secara
kuantitatif bertujuan untuk mendeskripsikan
atau menjelaskan suatu fenomena yang
terjadi dalam bentuk angka-angka yang
bermakna.
Populasi dalam penelitian ini adalah
masyarakat yang tinggal di kawasan
perbatasan RI dengan Timor Leste, yaitu di
Dusun Metamauk, Transmetamauk, dan
Mahkota Biru, Desa Alas Selatan,
Kecamatan Kobalima Timur, Kabupaten
Malaka, Nusa Tenggara Timur. Sampel
penelitian berjumlah 108 orang yang terdiri
atas dua kelompok masyarakat, yaitu
kelompok masyarakat asli dan kelompok
masyarakat pendatang yang telah menetap di
Alas Selatan. Adapun penentuan responden
dilakukan secara acak dengan
memperhatikan kriteria tertentu, seperti jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan, kelompok
etnis, dan bahasa daerah responden.
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan instrumen berupa
kuesioner yang dilengkapi dengan
wawancara. Kuesioner dan wawancara
digunakan untuk menjaring informasi
tentang sikap, penggunaan bahasa, dan
akomodasi bahasa responden. Kuesioner
terdiri atas 46 butir pernyataan dan 6 butir
pertanyaan terbuka. Setiap butir pernyataan
diberikan lima kategori jawaban, yaitu
sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak
setuju, dan sangat tidak setuju.
Pengolahan data dilakukan secara
bertahap melalui tabulasi dan penghitungan
indeks terhadap jawaban dua kelompok
responden. Indeks diperoleh dengan
menggunakan skala Likert untuk mengetahui
persentase interpretasi responden terhadap
butir pernyataan. Selanjutnya, hasil indeks
dikategorikan ke dalam skala pemeringkatan
(rating scale) yang terdiri atas lima skala,
yaitu 0–20, 21–40, 41–60, 61–80, dan 81–
100. Adapun kategori dari lima skala
berdasarkan hasil penghitungan indeks
sebagai berikut. Tabel 1
Skala Pemeringkatan
Indeks Kategori
0—20 Sangat Tidak Setuju
21—40 Tidak Setuju
41—60 Ragu-Ragu
61—80 Setuju
81—100 Sangat Setuju
PEMBAHASAN
Pembahasan ini diuraikan
berdasarkan dua subbab pembahasan.
Subbab pertama mengenai bahasa di
kawasan perbatasan Kabupaten Malaka dan
subbab kedua membahas akomodasi
komunikasi masyarakat Alas Selatan.
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41
34
Bahasa di Kawasan Perbatasan Kabupaten
Malaka
Kawasan perbatasan menurut
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008
tentang Wilayah Negara adalah bagian dari
wilayah negara yang terletak pada sisi dalam
sepanjang batas wilayah Indonesia dengan
negara lain, dalam hal batas wilayah negara
di darat, kawasan perbatasan berada di
kecamatan. Dalam laman resmi Pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Timur disebutkan
bahwa kawasan perbatasan antarnegara di
wilayah Provinsi NTT meliputi 10
kecamatan perbatasan darat dan 5 kecamatan
perbatasan laut sebagaimana pada tabel 1.
Tabel 2
Kawasan Perbatasan di Provinsi NTT
Kabupaten Kecamatan
Dar
at Belu Malaka Timur
Rehaat
Lakmanen Tasifeto Timur
Tasifeto Barat
Kobalima
Timor
Tengah
Utara
Insana Utara
Miomaffo Timur
Miomaffo Barat
Kupang Amfoang Utara L
Lau
t Kupang Amfoang Utara
Belu Tasifeto Barat Kobalima
Timor Tengah
Utara
Insana Utara
Alor Alor Barat Daya
(Sumber: www.nttprov.go.id)
Perbatasan darat di Timor Barat
dengan Republik Demokratik Timor Leste
(RDTL) meliputi tiga wilayah kabupaten,
yaitu Kabupaten Belu sepanjang 149,9 Km,
dari Motaain di utara sampai Motamasin di
selatan. Perbatasan darat pada wilayah
enclave Ambenu dengan Kabupaten Kupang
sepanjang 15,2 Km dan dengan Kabupaten
Timor Tengah Utara sepanjang 114,9 Km.
Total garis perbatasan darat di Kabupaten
Belu, Timor Tengah Utara dan Kupang
adalah sepanjang 268,8 Km.
Susanti (tt:208) menyebutkan bahwa di
sepanjang perbatasan di Kabupaten Belu
terdapat tujuh titik pintu pelintas batas dan
titik pos pengamanan bersama, yaitu
Motaain, Motamasin, Nunura, Turiscain,
Dilomil, Lakmars, dan Laktutus. Selain itu,
hampir semua perbatasan darat RI-RDTL
adalah sungai. Di antara sungai yang
berbatasan langsung dengan daratan utama
Timor Leste adalah sungai Aplal, Malibaka,
Baukama, dan Motamasin.
Gambar 1
Peta Perbatasan Darat RI-RDTL
Kawasan perbatasan yang menjadi
lokasi penelitian ini adalah Kabupaten
Malaka, yakni di Desa Alas Selatan,
Kecamatan Kobalima Timur. Menurut data
BPS Kabupaten Belu (2019), Kabupaten
Malaka merupakan pemekaran dari
Kabupaten Belu, terletak pada 124°--88°25
bujur timur dan 9°--10,26° lintang selatan.
Kabupaten Malaka berdiri pada tanggal 11
Januari 2013 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2013 dengan Betun sebagai
ibu kota kabupaten. Malaka memiliki
wilayah seluas 1.160,63 km² yang terdiri
atas 12 kecamatan, yaitu Wewilku, Malaka
Barat, Weliman, Rinhat, Io Kufeu, Sasita
Mean, Malaka Tengah, Botin Leobele, Iaen
Manen, Malaka Timur, Kobalima, dan
Kobalima Timur.
Desa Alas Selatan adalah salah satu
dari empat desa yang masuk wilayah
administrasi Kecamatan Kobalima Timur.
Desa ini terletak 500 meter di atas
permukaan laut dengan luas wilayah sekitar
Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)
35
30,60 km2; terdiri atas 12 dusun (data BPS
Kabupaten Belu, 2019). Menurut data Ditjen
PPMD Kemendesa, jumlah penduduk Desa
Alas Selatan adalah 2.744 jiwa yang terdiri
atas 657 kepala keluarga. Desa Alas Selatan
berbatasan langsung dengan Timor Leste,
yakni berbatasan dengan daerah Salele dan
Suai, Distrik Covalima (lihat tabel 2). Di
desa ini terdapat pos lintas batas Motamasin
(Metamauk-Salele) yang merupakan pintu
perbatasan paling selatan antara Indonesia
dengan Timor Leste. Perbatasan ini diapit
gunung dan hanya dipisahkan sungai kecil. Gambar 2
Pos Lintas Batas RI-RDTL
Budiarta (2013:4) menyebutkan bahwa
di Kabupaten Malaka, terdapat empat suku
dengan empat bahasa yang berbeda.
Keempat suku dan bahasa tersebut adalah
(1) suku Tetun yang menuturkan bahasa
Tetun, (2) suku Bunak atau Marae yang
menuturkan bahasa Bunak, (3) suku Dawan
yang menuturkan bahasa Dawan, dan (4)
suku Kemak yang menuturkan bahasa
Kemak. Penduduk Kabupaten Malaka
sebagian besar berasal dari suku Tetun yang
menggunakan bahasa Tetun.
Bahasa Tetun atau Tetum merupakan
bahasa pergaulan sehari-hari di wilayah
Kabupaten Belu, termasuk Kabupaten
Malaka, dan berkedudukan sebagai bahasa
nasional di Republik Demokratik Timor
Leste. Bahasa ini termasuk anggota
subkelompok Ambon-Timor yang tergolong
bahasa Austronesia bagian tengah (Central
AN). Manhitu (2007) menyebutkan bahwa
bahasa Tetun digunakan di tiga wilayah,
yaitu (1) wilayah dari Selat Ombai hingga
Laut Timor dan termasuk Atapupu dan
Atambua di Timor Barat, Balibo, Fatumean,
Fohoren dan Suai di Timor Timur; (2)
daerah pantai selatan sekitar Alas, Luca dan
Viqueque, termasuk dua kerajaan tua
Samoro dan Soibada; (3) Kota Dili dan
sekitarnya.
Bahasa Tetun memiliki beberapa
dialek sebagai berikut.
(1) Tetun Loos (Tetun Murni), digunakan
oleh para penutur di sekitar Soibada
dan Kerajaan Samoro serta di
sepanjang pesisir antara Alas dan
Luca.
(2) Tetun Terik, digunakan di wilayah
barat laut dan timur laut Timor Timur
dan Timor Barat. Dialek ini sangat
dekat dengan Tetun Belu. Sebagian
besar ahli bahasa-bahasa Timor
berpendapat bahwa Tetun Terik dan
Tetun Loos adalah dialek yang satu
dan sama.
(3) Tetun Belu, digunakan di wilayah
barat daya Timor Timur dan tenggara
Timor Barat.
(4) Tetun Prasa atau Tetun Dili, digunakan
di Dili. Dialek ini distandardisasi
menjadi bahasa resmi di Republik
Demokratik Timor Leste.
Bahasa Tetun yang digunakan di
wilayah Kabupaten Belu (Malaka) dan
RDTL pada umumnya sama, tetapi yang
membedakan adalah adanya unsur-unsur
serapan dari bahasa lain. Bahasa Tetun di
RDTL banyak dipengaruhi bahasa Portugis,
sedangkan bahasa Tetun di wilayah
Kabupaten Belu dipengaruhi oleh bahasa
Indonesia.
Akomodasi Komunikasi Masyarakat Alas
Selatan
Akomodasi komunikasi masyarakat
diuraikan berdasarkan komposisi responden,
sikap bahasa masyarakat perbatasan RI-
RDTL, dan tingkat akomodasi bahasa
masyarakat. Berikut uraian mengenai hal
tersebut.
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41
36
A. Komposisi Responden
Responden dalam kajian ini berjumlah
108 orang yang dapat dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan, kelompok etnis, dan bahasa
daerahnya. Berdasarkan jenis kelamin,
komposisi responden lebih didominasi oleh
laki-laki sebanyak 51% (55 orang) dan
perempuan sebanyak 49% (53 orang).
Responden yang berusia lebih dari 51 tahun
berjumlah 31 orang dari keseluruhan 108
responden atau sebesar 29%, sedangkan
responden yang berusia kurang dari 25 tahun
berjumlah 37 orang atau sebesar 34%.
Sementara itu, responden yang berusia di
antara 25 dan 50 tahun berjumlah 40 orang
atau sebesar 37%.
Berdasarkan tingkat pendidikan,
responden yang berpendidikan tinggi
berjumlah paling sedikit, yaitu 5,6%, diikuti
yang berpendidikan dasar sebesar 45,4%,
dan berpendidikan menengah sebesar 49,1%.
Berkenaan dengan jumlah kelompok etnis
yang tinggal di sekitar rumah responden,
sebanyak 18,5% responden memiliki
tetangga yang berasal dari satu atau dua
kelompok etnis yang berbeda; sebanyak
40,7% responden berada dalam lingkungan
dengan tiga sampai lima kelompok etnis
berbeda; dan 28,7% responden tinggal di
lingkungan dengan lebih dari lima kelompok
etnis berbeda.
Adapun komposisi responden
berdasarkan bahasa daerah yang dikuasai
dan dianggap penting perannya dalam
pergaulan responden dapat dilihat pada
grafik 1 berikut ini.
Grafik 1
Komposisi Responden menurut Bahasa Ibu yang
Dikuasai
Bahasa A merupakan bahasa ibu
responden, sedangkan bahasa B dan C
adalah bahasa daerah lain yang dianggap
sangat penting dalam pergaulan responden.
Berdasarkan grafik 1 di atas, dapat dilihat
bahwa sebagian besar responden berbahasa
Tetun Terik (76%) sebagai bahasa ibu atau
bahasa kelompok etnis (A), diikuti oleh
responden yang berbahasa Tetun Porto
(16%), berbahasa Bunak (7%), berbahasa
Mambae (6%), dan yang paling kecil
persentasenya yang berbahasa Kemak
(0,9%). Bahasa Tetun Terik merupakan
bahasa etnis di Kabupaten Malaka (Belu),
sedangkan bahasa Tetun Porto adalah bahasa
etnis di Timor Leste. Responden yang
berbahasa ibu Tetun Porto dan bahasa
Mambae merupakan eks pengungsi dari
Timor Leste yang menetap di Desa Alas
Selatan. Demikian pula dengan responden
yang berbahasa ibu, yaitu bahasa Bunak dan
Kemak. Mereka tinggal menetap di Alas
Selatan salah satunya karena alasan
perkawinan dengan penduduk desa tersebut.
B. Sikap Bahasa Masyarakat Alas Selatan
Sikap adalah kepercayaan, penilaian,
dan pandangan terhadap bahasa, penutur
atau masyarakatnya, serta kecenderungan
untuk berperilaku terhadap bahasa, penutur
atau masyarakat tersebut dengan cara-cara
tertentu (Siregar dkk., 1998:10). Sikap
bahasa berkaitan dengan perasaan penutur
terhadap bahasa. Crystal (2008:266)
Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)
37
menyatakan sikap bahasa adalah ”the
feelings people have about their own
language or the language of others”. Fasold
(1984) dalam Masruddin (2013:169)
menyatakan bahwa sikap terhadap bahasa
seringkali merupakan refleksi dari sikap
terhadap anggota masyarakat tutur bahasa
itu. Reaksi orang terhadap variasi bahasa
menunjukkan persepsi mereka tentang
penutur bahasa itu, yakni latar belakang
sosial, politik, dan ekonominya.
Tulisan ini membahas sikap
masyarakat Desa Alas Selatan terhadap
bahasa kelompok etnisnya dan juga sikap
masyarakat terhadap bahasa daerah lain yang
digunakan di Desa Alas Selatan. Masyarakat
Alas Selatan yang dimaksudkan adalah yang
tinggal di dusun Transmetamauk,
Metamauk, dan Mahkota Biru.
Transmetamauk merupakan wilayah eks
pengungsi dari Timor Leste yang dihuni oleh
sekitar 143 kepala keluarga. Dusun ini
sebelumnya masuk ke wilayah dusun
Metamauk, tetapi pada tahun 2013
Metamauk mengalami pemekaran menjadi
dua dusun, yaitu Metamauk dan
Transmetamauk. Dusun Transmetamauk
dibangun terutama untuk masyarakat Timor
Leste yang memilih tetap sebagai penduduk
Indonesia. Masyarakat dusun ini
berkomunikasi menggunakan bahasa Tetun
Porto, di samping bahasa Mambae dan Tetun
Terik. Sementara itu, masyarakat Metamauk
dan Mahkota Biru merupakan masyarakat
lokal yang berkomunikasi menggunakan
bahasa Tetun Terik.
Sebanyak 76 orang dari 108 responden
merupakan penutur bahasa Tetun Terik, 17
orang penutur Tetun Porto, 6 orang penutur
bahasa Mambae, 8 orang penutur bahasa
Bunak, dan 1 orang penutur bahasa Kemak.
Bahasa-bahasa tersebut merupakan bahasa
ibu atau kelompok etnis responden. Dalam
kajian ini, indeks persentase interpretasi
responden terhadap butir tanyaan yang
berkenaan dengan sikap terhadap bahasa ibu
mereka terletak pada skala 61–80.
Sementara itu, indeks persentase sikap
terhadap bahasa daerah lain (bahasa A dan
bahasa B) berkisar pada skala 0–40. Indeks
persentase sikap bahasa masyarakat Desa
Alas Selatan dapat dilihat pada grafik 2
berikut.
Grafik 2
Sikap Bahasa Masyarakat Alas Selatan
Masyarakat Desa Alas Selatan dapat
dikatakan cenderung memiliki sikap yang
positif terhadap bahasa ibu atau bahasa
kelompok etnisnya. Hampir seluruh
responden menyatakan mampu berbahasa
kelompok etnisnya dengan baik. Mereka
cenderung memandang bahwa bahasa itu
mengandung banyak nilai luhur dan
meyakini bahwa bahasa itu dapat digunakan
untuk mengekpresikan seluruh rasa dan
pikiran penuturnya. Meskipun demikian,
sebagian responden menyatakan tidak setuju
bahwa bahasa ibu membantu mereka dalam
memperoleh pekerjaan dan memperluas
pergaulan serta memudahkannya dalam
menambah informasi dan pengetahuan.
Menurut pengakuan responden, bahasa
daerah tidak dapat memperluas pergaulan.
Bahasa daerah justru membatasi pergaulan
karena jika hanya menguasai bahasa daerah,
pergaulan akan terbatas pada lingkungan
penutur yang menguasai bahasa itu saja.
Sikap responden yang cenderung
positif terhadap bahasa ibu yang dikuasainya
berbeda dengan sikap responden terhadap
bahasa lain. Jika dilihat dari kemampuan
responden berkomunikasi dengan bahasa
daerah lain yang ada di Desa Alas Selatan,
dapat dikatakan sikap responden cenderung
negatif terhadap bahasa itu. Dari 108 orang
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41
38
76,975
30864
22,209
87654
6,3756
61376
0 50 100
Bahasa Etnis
Bahasa Lain A
Bahasa Lain B
responden, hanya 34 orang yang menyatakan
memiliki kemampuan berbahasa selain
bahasa kelompok etnisnya. Akan tetapi, dari
34 orang tersebut hanya 27 orang yang
menyatakan mampu berbahasa daerah lain
dengan baik.
Hampir seluruh responden yang
menyatakan mampu berbahasa selain bahasa
kelompok etnisnya merupakan penutur yang
bahasa etnisnya adalah Tetun Porto dan
sebagian lainnya berbahasa etnis Mambae
dan Bunak. Sementara bahasa daerah lain
yang mereka kuasai adalah bahasa Tetun
Terik yang merupakan bahasa kelompok
etnis masyarakat Alas Selatan.
Sebagian besar dari 34 responden
cenderung memiliki sikap positif terhadap
bahasa daerah lain yang ada di Desa Alas
Selatan. Sebagaimana terhadap bahasa
kelompok etnisnya, mereka memandang
bahasa daerah lain yang dikuasainya itu
mengadung nilai-nilai luhur dan dapat
digunakan untuk mengekspresikan seluruh
rasa dan pikiran. Selain itu, bahasa tersebut
memudahkan mereka dalam menambah
informasi dan pengetahuan.
C. Tingkat Akomodasi Bahasa
Masyarakat Alas Selatan
Tingkat akomodasi masyarakat
menunjukkan seberapa besar penerimaan
terhadap penutur bahasa tertentu atau bahasa
tertentu itu sendiri oleh kelompok penutur
bahasa daerah lain. Tingkat akomodasi ini
dihitung dengan menilai seberapa besar
penerimaan unsur bahasa tertentu diterima
oleh penutur bahasa daerah lain. Semakin
banyak penggunaan unsur bahasa daerah lain
oleh penutur bahasa tertentu, semakin tinggi
akomodasi penutur bahasa itu terhadap
bahasa yang lain (Sugiyono, 2011, hlm. 82).
Dalam kajian ini, tingkat akomodasi
komunikasi masyarakat Desa Alas Selatan
dilihat dari penggunaan bahasanya. Dari
lima bahasa yang merupakan bahasa ibu
responden, bahasa Tetun Terik merupakan
bahasa mayoritas responden. Bahasa ini
dapat dikatakan sebagai bahasa kelompok
etnis masyarakat Desa Alas Selatan,
sedangkan empat bahasa daerah lainnya
adalah bahasa pendatang. Indeks persentase
penggunaan bahasa ibu masyarakat Alas
Selatan berkisar 77,0% yang menunjukkan
kecenderungan penggunaan bahasa ibu
dalam komunikasi sehari-hari dengan
kelompok penuturnya. Adapun indeks
persentase penggunaan bahasa daerah lain
sekitar 22,2% (bahasa A) dan 6,4% (bahasa
B). Artinya, bahasa daerah lain cenderung
kurang digunakan dalam komunikasi sehari-
hari. Intensitas penggunaannya sangat kecil
jika dibandingkan dengan penggunaan
bahasa ibu. Bahasa daerah lain cenderung
digunakan ketika berbicara dengan
kelompok penutur bahasa itu saja.
Grafik 3
Penggunaan Bahasa oleh Masyarakat Alas Selatan
Bahasa ibu cenderung digunakan
dalam komunikasi sehari-hari dengan
kelompok penutur bahasa itu. Hanya
sebagian kecil responden yang menyatakan
tidak menggunakan bahasa ibunya untuk
berkomunikasi sehari-hari. Responden yang
menyatakan hal tersebut ada yang berbahasa
ibu Bunak (2 orang), Tetun Porto (2 orang),
dan Mambae (1 orang). Terlihat di sini
bahwa responden yang tidak menggunakan
bahasa ibunya dalam komunikasi sehari-hari
adalah responden yang bukan penutur jati
bahasa daerah Alas Selatan, yaitu bahasa
Tetun Terik.
Salah satu responden yang berbahasa
ibu Tetun Terik menyatakan bahwa mereka
menggunakan bahasa Tetun Terik ketika
berbicara, baik dengan masyarakat asli Alas
Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)
39
Selatan maupun dengan masyarakat
pendatang dari Timor Leste. Menurutnya,
masyarakat Alas Selatan yang mengungsi
dari Timor Leste dapat menuturkan bahasa
Tetun Terik dengan baik. Para pengungsi
inilah yang beradaptasi dengan masyarakat
setempat dengan menguasai bahasa Tetun
Terik. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh salah satu responden yang
berbahasa ibu Tetun Porto. Ia berbicara
dengan Tetun Porto atau Mambae dengan
sesama masyarakat Indonesia keturunan
Timor Leste, sedangkan dengan masyarakat
lokal dengan bahasa Tetun Terik. 1 Penutur
Tetun Terik dan Tetun Portu dapat saling
memahami ketika berbicara dengan
bahasanya masing-masing. Meskipun
demikian, ada kosakata Tetun Porto yang
menurut penutur Tetun Terik tidak mereka
pahami terutama kosakata yang merupakan
pengaruh dari bahasa Portugis.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya
bahwa dari 108 responden, 74 orang
responden hanya menguasai bahasa ibu atau
kelompok etnisnya dan 34 responden
mengaku dapat berbahasa selain bahasa ibu.
Hampir seluruh responden yang menyatakan
hanya menguasai bahasa ibunya merupakan
penutur bahasa Tetun Terik, sedangkan yang
menguasai bahasa daerah lain sebagian besar
merupakan penutur bahasa Tetun Porto.
Ada beberapa alasan responden
mempelajari dan menggunakan bahasa di
luar bahasa ibunya, yaitu (i) bahasa itu
merupakan bahasa ibu dari pasangannya
1 Bahasa Tetun Terik (TT) dan Tetun Porto (TP)
dapat dikatakan satu bahasa dengan dialek yang
berbeda karena jika 400 kosakata dasar Swadesh
kedua bahasa tersebut dibandingkan, ditemukan banyak persamaan kosakata. Misalnya kata ayah
dalam TT dan TP sama-sama disebut aman; kata
bintang dalam TT disebut fitun dan dalam TP disebut
pitun (perbedaan di bunyi pertama f dan p); kata
bengkak dalam TT disebut bubu? dan dalam TP
disebut bubu (perbedaan pada bunyi akhir glotal).
Dalam hal bilangan 1—5, bahasa Mambae, Tetun
Terik, dan Tetun Porto hamper memiliki penyebutan
yang sama. Tetun Terik dan Tetun Portu menyebut
1—5 dengan ida, ruwa, tOlu, hat, lima sedangkan
Mambae menyebutnya id, ruwa, tel, pat, lim.
(suami/istri), (ii) bahasa itu digunakan oleh
orang lain, dan (iii) bahasa itu memudahkan
dalam menambah informasi dan
pengetahuan. Dalam hal masyarakat Alas
Selatan, baik masyarakat lokal maupun
pendatang dari Timor Leste, berusaha
mempelajari bahasa masing-masing untuk
menciptakan suasana masyarakat yang
harmonis di samping bahasa itu merupakan
bahasa ibu pasangannya. Meskipun
mayoritas masyarakat lokal tidak menguasai
dengan baik bahasa masyarakat pendatang
dari Timor Leste, mereka berusaha untuk
sekadar menyapa dengan bahasa Tetun Porto
atau Mambae. Sementara itu, masyarakat
pendatang dari Timor Leste beradaptasi
dengan menggunakan bahasa Tetun Terik
untuk berkomunikasi dengan masyarakat
lokal. Berikut beberapa contoh unsur bahasa
daerah lain (bahasa A dan B), berupa
kosakata dan kalimat sederhana, yang
digunakan oleh responden.
Tabel 3
Penggunaan Unsur Bahasa daerah lain
No. Unsur Bahasa Arti
1 amina ibu
2 amama bapak
3 ana anak
4 riu (haris) mandi
5 boe (toba) tidur
6 hemu minum
7 katana parang
8 uma rumah
9 la bae mau ke mana?
10 um hata mari makan
11 mai tur mari duduk
12 mai hemu mari minum
13 ami lao lai kami jalan dulu
14 ami ka lai kami makan dulu
15 au na boe saya mau tidur
16 au ian leka saya baik-baik saja
17 au naha la iskola saya mau ke sekolah
18 ama atu ba nebe? mama mau ke mana?
19 o ba nebe? (o na la bae?)
kamu ke mana?
20 au na la marao (a
tu ba toos)
saya mau ke kebun
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 29—41
40
Adapun unsur-unsur bahasa daerah lain
seperti peribahasa dan ungkapan cenderung
tidak digunakan oleh responden.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa masyarakat perbatasan RI-RDTL,
tepatnya di Desa Alas Selatan cenderung
menggunakan bahasa Tetun Terik sebagai
bahasa ibu ketika berbicara dengan
kelompok etnisnya. Masyarakat lokal
berbicara dengan bahasa ibunya, baik ketika
berkomunikasi dengan kelompok etnisnya
maupun dengan eks pengungsi dari Timor
Leste yang berbahasa Tetun Porto dan
Mambae. Mereka cenderung tidak
menggunakan bahasa daerah lain dengan eks
pengungsi, hanya sesekali menggunakan
unsur bahasa eks pengungsi. Adapun eks
pengungsi dari Timor Leste menggunakan
bahasa ibunya ketika berkomunikasi dengan
kelompok etnisnya dan menggunakan
bahasa Tetun Terik dengan masyarakat
lokal. Hal ini dapat dipahami karena sebagai
masyarakat pendatang, eks pengungsi dari
Timor Leste harus dapat menyesuaikan diri
dengan masyarakat lokal sehingga dapat
diterima dengan baik.
PENUTUP
Akomodatif tidaknya suatu masyarakat
tutur salah satunya dapat dipengaruhi oleh
sikap penutur terhadap bahasa tertentu.
Masyarakat lokal di perbatasan RI-RTDL
cenderung memiliki sikap yang negatif
terhadap bahasa daerah lain. Hal ini dapat
dilihat dari segi penguasaan dan penggunaan
bahasa bahasa daerah lain dalam komunikasi
sehari-hari. Masyarakat lokal Alas Selatan
cenderung tidak menggunakan bahasa daerah
lain dalam komunikasi sehari-hari, baik
dengan sesama kelompok etnisnya maupun
dengan penutur bahasa daerah lain. Jumlah
unsur bahasa daerah lain yang digunakan
ataupun dikuasai sangat terbatas, hanya
ungkapan sapaan sehari-hari.
Berbeda halnya dengan masyarakat
Indonesia keturunan RDTL di Desa Alas
Selatan (masyarakat pendatang) yang lebih
berusaha mempelajari bahasa lokal untuk
dapat menjalin hubungan yang baik dengan
masyarakat lokal. Masyarakat pendatang dari
Timor Leste memiliki kecenderungan untuk
beradaptasi yang tinggi dengan masyarakat
lokal. Hal ini dilakukan agar masyarakat
pendatang dari Timor Leste memperoleh
pengakuan dari masyarakat lokal. Adaptasi
dilakukan dengan mempelajari dan
menggunakan bahasa masyarakat lokal untuk
dapat berkomunikasi dengan mereka. Dengan
demikian, masyarakat pendatang dari Timor
Leste menunjukkan sikap yang lebih
akomodatif dalam berbahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Adyana, Sulis dan Fathur Rokhman. (2016).
Akomodasi Bahasa pada Masyarakat
Kota Pekalongan Etnis Jawa-
Tionghoa-Arab dalam Ranah
Perdagangan. Jurnal Seloka, 5(1),
88—95.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu.
(2019). Kecamatan Kobalima Timur
dalam Angka 2019. Belu: BPS.
_____(2019). Kabupaten Malaka dalam
Angka 2019. Belu: BPS.
Budiarta, I Wayan. (2013). Tipologi
Sintaksis Bahasa Kemak. Disertasi.
Universitas Udayana Denpasar, Bali.
Coupland, Niokolas. (2010). Accomodation
Theory. Dalam Jurgen Jasper et.al.
(ed.), Society and Language Use:
Handbook of Pragmatics Highlight.
Amsterdam: John Benjamin B.V.
Crystal, David. (2008). A Dictionary of
Linguistics and Phonetics. Oxford:
Blackwell Publisher.
Dhanawaty, Ni Made. (2004). Teori
Akomodasi dalam Penelitian
Dialektologi. Jurnal Linguistik
Indonesia, Vol. 22 No. 1, 1—16.
Efendi, Dedy Trio. (2018). Komunikasi
Antarbudaya Etnis Jawa dengan Etnis
Banjar di Desa Teluk Dalam,
Kecamatan Tenggarong Seberang.
eJurnal Ilmu Komunikasi, 6(1), 83—
97.
Bahasa di Lintas Batas …. (Iyanatusshalihah & Retno H.)
41
Giles, Howard et.al. (1991). Context of
Accomodation. Cambridge: Cambridge
University Press.
Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss.
(2008). Theories of Human
Communication. 9th Edition. Belmont:
Thomson Wadsworth.
Manhitu, Yohanes. (2007). Kamus
Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Masruddin. (2013). Influnced Factors toward
the Language Shift Phenomenon of
Wotunese. Jurnal Kajian Linguistik
dan Sastra, Volume 25 Nomor 2,
162—192.
Matthews, P.H. (1997). The Concise Oxford
Dictionary of Linguistics. Oxford:
Oxford University Press.
Siregar, Bahren Umar dkk. (1998).
Pemertahanan Bahasa dan Sikap
Bahasa: Kasus Masyarakat Bilingual
di Medan. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Sugiyono dkk. (2011). Akomodasi Bahasa
Masyarakat Perkotaan di Indonesia.
Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa.
Susanti, Antik Ari. (2020, 21 Februari).
Kehadiran Negara dalam Pengelolaan
Sumber Daya Air di Perbatasan Negara
Republik Indonesia-Republik
Demokratik Timor Leste (RI_RDTL).
Diperoleh dari
https://ejournal.uksw.edu/.
West, Richard, dan Lynn H. Turner. (2008).
Pengantar Teori Komunikasi: Analisis
dan Aplikasi. Jakarta: Salemba
Humanika.
Ylänne, Virpi. (2008). Communication
Accomodation Theory. Dalam Helen
Spencer-Oatey (ed.), Culturally
Speaking: Culture, Communication,
and Politeness Theory (hlm. 164–186).
London: Continuum.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
(2020, 19 Februari). Profil Perbatasan.
Diperoleh dari
http://nttprov.go.id/ntt/profil-
perbatasan/ Direktorat Jenderal Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonsia (2020, 21 Februari).
Ditjen PPMD Mendukung Kampung
Sejahtera di Kabupaten Malaka.
Diperoleh dari
https://ditjenppmd.kemendesa.go.id/ind
ex.php/view/detil/91/ditjen-ppmd-
mendukung-kampung-sejahtera-di-
kabupaten-malaka