BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI,
DAN KONSTRUK ANALISIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Kajian Tematisasi
Kajian tentang Tema atau struktur Tema sudah dimulai sejak abad ke-19. Pada
waktu itu pakar linguistik Weil (1818-1909) mengkaji titik awal sebuah ujaran yang
diikuti dengan urutan pernyataan pesan yang mengikuti klausa dalam wacana. Pelopor
dalam kajian tema yang terkenal adalah Vilem Mathesius (1882-1945) pakar linguistik
aliran Praha. Kajian Mathesius dikenal sebagai kajian struktural tentang topik dan
fokus yang maksudnya sama dengan Tema dan Rema. Tema merupakan topik yang
dibicarakan dan rema adalah fokus penjelasan tentang Tema. (Sinar, 2009).
Brown dan Yule (1983:133-134) juga mengungkapkan tentang tematisasi
dalam linieritas pengorganisasian teks. Ia mengatakan “Thematization and Staging”
dengan pernyataan sebagai berikut, “..............thematization as a discoursal rather
than simply a sentential process. What the speaker or writer puts first will influence
the interpretation of everything that follows.”
Berdasarkan kutipan di atas dinyatakan bahwa tematisasi sebagai wacana lebih
dari sekedar proses kalimat. Apa yang pembicara dan penulis letakkan pertama kali
akan mempengaruhi interpretasi berikutnya. Sementara itu mengenai “Staging”, ia
mengemukakan bahasa, “A more general, more inclusive term than thematization
Universitas Sumatera Utara
(which refers only to the linear organization of texts) is ‘Staging”. (Brown dan Yule,
1983:134). “Staging” merupakan istilah yang lebih umum dan inklusif daripada
tematisasi (yang merujuk hanya pada susunan linear teks).
Dalam penelitian ini, tematisasi yang dikaji adalah Tema dengan menggunakan
teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Halliday (1994:38)
mendefinisikan Tema sebagai berikut.
The Theme is one element in a particular structural configuration which, taken as a whole, organized the clause as a message; this is the configuration of Theme + Rheme. A message consists of a Theme combined with a Rheme. Within that configuration, the Theme is the starting-point for the message; it is the ground from which the clause is taking off. (Tema adalah satu unsur di dalam konfigurasi struktural tertentu yang secara keseluruhan mengorganisir klausa sebagai pesan; Ini adalah konfigurasi Tema + Rema. Sebuah pesan terdiri atas sebuah Tema yang dikombinasikan dengan Rema. Di dalam konfigurasi ini, Tema sebagai titik awal keberangkatan pesan tersebut; Itu adalah dasar berlepasnya sebuah klausa) Kajian tematisasi ini muncul dari adanya pemahaman bahwa bahasa berfungsi
untuk menyampaikan pesan. Pesan ini disampaikan secara bersistem. Hal ini
menunjukkan bahwa bahasa mempunyai aturan agar dapat menyampaikan pesan
dengan susunan yang baik dan teratur. Fungsi bahasa ini disebut fungsi tekstual di
mana Tema merupakan titik awal dari satu pesan (the starting point of the message)
yang terealisasi dalam klausa.
Di dalam bahasa Inggris dan Indonesia, Tema ditandai dengan posisi di awal
klausa atau unsur paling depan dari klausa. Tema dinyatakan dengan unsur pertama
klausa sedangkan unsur klausa sesudah Tema disebut Rema (Saragih, 2007:8).
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.1: Posisi Tema dan Rema dalam Teks
Theme: Point of departure of clause as a message; local context of clause as a piece of text Initial position in the clause
Rheme: Non-Theme – where the presentation moves after the point of departure, what is presented in the local context set up by theme Position following initial position
Tema dari segi bentuknya dapat berupa partisipan, proses ataupun sirkumstan
berbentuk kata, frasa, maupun kalimat. Jika hanya ada satu unsur dalam klausa yang
berpotensi menjadi Tema maka unsur tersebut disebut Tema sederhana dan dilabeli
dengan nama “Tema”. Sebaliknya, jika di dalam sebuah klausa terdapat lebih dari satu
unsur yang berpotensi menjadi Tema, maka dikatakan Tema tersebut sebagai Tema
kompleks.
Menurut Saragih (2006:112-114), Tema kompleks dibagi atas tiga jenis yaitu
(1) Tema Tekstual, (2) Tema Antarpersona dan (3) Tema Topikal. Tema Topikal
adalah unsur pertama representasi pengalaman. Ini berarti bahwa Tema Topikal dapat
berupa proses, partisipan, atau sirkumstan. Jika di dalam satu klausa hanya terdapat
satu Tema atau Tema sederhana maka Tema itu cukup diberi label Tema bukan Tema
Topikal.
Selanjutnya, Saragih (2007:47) menjelaskan Tema dapat diidentifikasi
berdasarkan kompleksitasnya dan kebermarkahannya. Kompleksitas terdiri dari
Tunggal (single) dan Majemuk (multiple). Kebermarkahan terdiri dari Bermarkah
(unmarked) dan tidak Bermarkah (marked), seperti terlihat di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.2: Klasifikasi Tema Berdasarkan Komplesitas dan Kebermarkahannya
Kompleksitas
Tunggal Majemuk
Tunggal –
Bermarkah
Majemuk –
Bermarkah
Kebermarkahan:
Bermarkah
Tidak Bermarkah Tunggal tidak Bermarkah
Majemuk – tidak Bermarkah
2.1.2 Kajian Translasi dan Penerjemah
Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya
penerjemah, yang tercermin dari cara seseorang dalam memahami, memandang, dan
mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang digunakan. Pengalihan pesan dalam
proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa
sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi
yang dilematis. Di satu sisi penerjemah harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber
ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus
penerjemah harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran.
Pada hakekatnya, teori translasi sudah menyediakan pedoman untuk mengatasi
masalah-masalah penerjemah. Namun, sebagai pedoman umum, teori translasi tidak
selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan letak terjemahan yang timbul
dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu padanan untuk suatu
ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan, diterima dan dianggap
Universitas Sumatera Utara
benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara mendalam, bukan
merupakan padanan yang benar.
Pada hakikatnya kajian translasi menitikberatkan proses menerjemahkan
berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran sedemikian rupa sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu
dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam
bahasa sumber (Nida, 1976). Sebelumnya, Nida (1964) juga menyatakan bahwa
translasi yang sempurna adalah yang bisa menciptakan efek sebagaimana teks aslinya.
Ahli lainnya (Catford,1974) menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks
bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Mohanty
dalam Dollerup dan Lindegaard, (1994) menyatakan bahwa penerjemahan bukan
hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi-
kultural. Pernyataan ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya
menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya.
Al Zouby dan Al Asnawi (2001) mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai
tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang
terlibat dalam penerjemahan dan tindakan opsional yang ditentukan oleh preferensi
personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang
alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasraran. Mereka
membedakan pergeeran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro (micro shift) dan
pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal
yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan
unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika
padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran.
Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya dan retorik yang
memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis. Zellermeyer
(1987) menjelaskan bahwa pergeseran (shift) dalam penerjemahan sebagai
‘metamessages’. Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan (addition),
penghilangan (delition), substitusi (substitution) dan penyusunan kembali
(reordering).
Penerjemahan teks selalu terkait erat dengan masalah budaya. Pemahaman
budaya agar dapat menerjemahkan teks sangat diperlukan. Masyarakat mempunyai
budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman budaya masyakarat tersebut
sehingga teks dapat diterjemahkan sesuai dengan makna yang terdapat dalam bahasa
sumber. Penerjemah merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu adalah untuk
membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan
oleh penuli asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah
pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Apabila ilmu pnegetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari
budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya.
Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi bahasa yang digunakan tidak bisa dipahami
Universitas Sumatera Utara
oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar,
tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering
terjadi, tujuan praktis penerjemahan tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang
demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca
teks terjemahan (Damono, 2003).
Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan
mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis
teks bahasa sumber, penerjeman sebagai mediator, dan pembaca teks bahasa sasaran.
Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi
penulis teks bahasa sumber, penerjemah, pembaca teks bahasa sasaran (Nababan,
2004).
Apa yang dimaksud dengan budaya? Dalam ruang lingkup Studi
Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut
semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby,
1995). Konsep budaya ini didefinisikan oleh Gohring (1977), dan Newmark (1988)
sebagai berikut.
As I see it, a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning : knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models fro perceiving, relating, and otherwisw interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one
Universitas Sumatera Utara
who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are materail presentations.... (Goodenough, 1964).
Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where people’s behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make one’s own behavior conform to the expectations of the society concerned-unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior. (Gohring dalam Snell-Hornby, 1995).
The way of life and its manifestations that are perculiar to a community taht uses a particular language as its means of expressions. (Newmark, 1988)
Dari definisi budaya di atas dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya
merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya
mempunyai hubungan yang erat dengan prilaku (tindakan) dan peristiwa atau
kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku
dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap
sesuatu diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan ungkapan
tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa.
Konsep bahwa bahasa adalah budaya dan budaya diwujudkan melalui perilaku
kebahasaan dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. House
(2002) berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan
dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa. Pendapat ini sejalan
dengan pandangan bahwa budaya merupakan suatu terjemahan, bukan kata, frase,
klausa, paragraf atau teks yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari
penerjemah.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kerangka Teori
“Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa”
(Sinar, 2003:13). Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah
teori Systemic Functional Linguistics dan teori translasi. Oleh karena itu, bab ini akan
menjelaskan kedua teori tersebut, yaitu teori Translasi yang dikemukakan oleh Larson
dan Catford dan teori Systemic Functional Linguistics yang dikemukakan oleh
Halliday. Teori-teori itu dilengkapi oleh model-model penerjemahan yang relevan
dengan penelitian ini.
Secara sistematis, teori yang digunakan peneliti dalam translasi dwibahasa:
Inggris-Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai-berikut.
(1) Kerangka Teori
(2) Teori Translasi dan Penerjemahan
(3) Model-model Penerjemahan
(4) Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Catford
(5) Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi
(6) Teori Systemic Functional Linguistics
(7) Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics
(8) Berbagai Model Systemic Functional Linguistics
(9) Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics
(10) Metafungsi Bahasa
(11) Orientasi Teoritis
(12) Penelitian Sebelumnya
Universitas Sumatera Utara
(13) Konstruk Analisis
2.3 Teori Translasi dan Penerjemahan
Pada penelitian ini perlu dibedakan antara kata ‘translasi’ dan ‘penerjemahan’.
Kata ‘penerjemahan’ mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata
‘translasi’ sebagai padanan kata ‘translation’ artinya hasil dari suatu penerjemahan
(Nababan, 2003:18). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah translasi
untuk hasil penerjemahan dan istilah penerjemahan untuk proses alih pesan dalam
translasi.
Berdasarkan pengertian di atas, menerjemahan berarti mengalihkan pesan yang
terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sedemikian rupa sehingga
orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran kesannya sama
dengan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nida (1976) dalam Hanafi (1986:25) yang mengatakan bahwa, “Translating
consist in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the
message of the source language, fist in meaning and secondly in style.” Hal ini berarti,
di dalam kajian translasi harus dicari padanan yang paling dekat dengan bahasa
penerima terhadap bahasa sumber, baik dalam hal makna maupun gaya bahasanya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Catford (1965) dalam Nababan (2003:19)
menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks bahasa sumber yang
berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Di dalam proses alih pesan
tersebut, terdapat faktor linguistik dan budaya. Steiner (1994:103) mengatakan,
Universitas Sumatera Utara
“Translation can be seen as (co) generation of text under specific contraints that is
relative stability of some situasional factorand, therefore, register, and, classically,
change of language and (context of) culture”. Di dalam hal ini, faktor situasi, budaya,
dan perubahan bahasa sumber dan bahasa sasaran menjadi hal-hal yang menjadi
perhatian penerjemah. Dengan demikian, penerjemahan bukan hanya aktivitas
bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi-kultural. Pernyataan
ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan
bahasa tetapi sekaligus transfer budaya.
Jacobson dalam artikelnya “On Linguistic Aspecct of Translation” (1959)
dalam Shuttlewarth dan Cowie (1997:82-88), menyatakan translasi dapat dibagi
menjadi tiga jenis berikut ini.
a. Intralingual Translation (Translasi Intralingual) yaitu penerjemahan yang
hanya melibatkan satu bahasa (bahasa yang sama) saja dalam prosesnya.
b. Interlingual Tranlation (Translasi Interlingual) yaitu penerjemahan yang
melibatkan dua bahasa yang berbeda.
c. Intersemiotic Translation (Translasi Intersemiotik) yaitu penerjemahan suatu
simbol yang mempunyai makna ke dalam simbol lain yang juga mempunyai
makna yang sama.
Esksistensi translasi yang dikemukakan oleh Jakobson (1959:232-239) di atas
dapat diklasifikasikan pada konteks translasi bahasa Indonesia sebagaimana terlihat
dalam figura berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.3: Klasifikasi Eksistensi Translasi
Translasi
Kebahasaan Nonkebahasaan Kebahasaan/ Non-kebahasaan
Intra-kebahasaan Inter-kebahasaan
Translasi ekabahasa
Translasi multibahasa
Translasi dwibahasa
Translasi Bahasa Indonesia-Belanda
Translasi Bahasa Indonesia-Inggris
dan sebagainya
Dari ketiga klasifikasi yang dinyatakan oleh Jacobson tersebut, penelitian ini
berkonsentrasi pada jenis translasi kedua, yaitu interlingual translation, tepatnya antara
dua bahasa yang berbeda yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
merupakan bahasa regional penduduk terbesar di Asia Tenggara sedangkan bahasa
Inggris merupakan bahasa internasional yang berasal dari kawasan Eropa Barat.
Menurut Tou (1997:27) konsep penerjemahan dapat dibedakan atas tiga hal,
yaitu (1) teori fenomena, (2) fenomena studi, dan (3) praktik atau kegiatan
mengerjakan fenomena tersebut. Skema berikut diciptakan untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas tentang konsep yang diadopsi seorang peneliti. Sebagai
fenomena studi, penerjemahan bisa diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berbeda,
yaitu penerjemahan sebagai fenomena bahasa, penerjemahan sebagai fenomena bukan
bahasa, dan penerjemahan sebagai fenomena bahasa/bukan bahasa.
Figura 2.4: Skema Penerjemahan (Adaptasi dari Choliludin, 2007:21)
TEORI FENOMENA - teori penerjemahan - translatologi - ilmu penerjemahan - translatik - kajian penerjemahan
FENOMENA STUDI
PENERJEMAHAN Fenomena bahasa Intralingual - penerjemahan monolingual Penerjemahan Interlingual - penerjemahan bilingual - penrjemahan multilingual Penerjemahan Intersemiotik - fenomena bukan bahasa - fenomena bahasa/bukan bahasa
KEGIATAN MENGKAJI FENOMENA
Universitas Sumatera Utara
Pada hakikatnya, penerjemahan mencakup pemakaian dua bahasa dengan ide
atau makna yang sama (Beekman dan Callow, 1974:58-59). Oleh karena itu,
penerjemahan yang benar adalah penerjemahan yang dapat mentransfer makna dari
bahasa sumber ke bahasa sasaran. Kemampuan menerjemah selain berkaitan dengan
kemampuan menguasai kosa kata, struktur bahasa juga harus dapat memahami situasi
komunikasi dan konteks budaya bahasa sumber, sehingga dapat mentransfer ke dalam
kosa kata, struktur, dan konteks budaya bahasa sasaran (Larson, 1984:15).
Sejalan dengan pendapat di atas, translasi dan penerjemahan berhubungan erat
dengan cara memahami bahasa. Menurut Halliday dan Hasan (1985:5-8), cara
memahami bahasa terletak pada kajian sebuah teks yang memiliki konteks di
dalamnya. Maka dalam proses yang sama, konteks dan teks adalah aspek. Gagasan
tentang sesuatu yang menyertai teks yang melewati batas, yang dikatakan dan ditulis
meliputi nonverbal lain yang muncul dalam lingkungan total yang diungkap. Maka,
lingkungan total yang berlaku sebagai penghubung antara teks dan situasi yaitu tempat
teks yang sebenarnya itu muncul dan ini disebut konteks situasi.
Setiap teks, baik lisan maupun tulisan, mengungkap makna dalam konteks
penggunaannya. Oleh karena itu, bahasa dalam hubungannya dengan struktur sosial
menimbulkan konsekuensi untuk menggambarkan konteks yang diperankan bahasa.
Contoh fenomena ini sering dialami oleh Bronislaw Malinowski. Malinowski
menghadapi masalah cara menerjemahkan atau menyampaikan pikirannya tentang
bahasa dan budaya Kariwian di Pulau Trobriand pada para pembaca penutur bahasa
Inggris. Budaya yang dia pelajari berbeda dengan budaya orang inggris. Malinowski
Universitas Sumatera Utara
kemudian mengadopsi berbagai metode. Pada tahap ini, dia memperkenalkan konsep
konteks situasi dan konteks budaya; dan dia menganggap bahwa keduanya sama-sama
penting bagi pemahaman terhadap sebuah teks sebelum menerjemahkannnya
Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorang komunikator
yang menjembatani alur informasi dari penulis dan pembaca yang semestinya bisa
menghilangkan sedemikian rupa campur tangan atau subyektivitas. Untuk itu setiap
penerjemah perlu memiliki suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan
(Machali, 2000:104). Newmark (1988:4) menilai bahwa sebuah teks yang akan
ditranslasikan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum dialihkan.
Dinamika penerjemahan ini digambarkan sebagai berikut.
Figura 2.5 Dinamika Translation (Newmark, 1988:4)
9 The truth (the facts of the matter)
1 SL writer
2 SL norm
3 SL culture
4 SL setting and tradition
5 TL relationship 6 TL norm 7 TL culture 8 TL setting and tradition
TEXT
10 Translator
Universitas Sumatera Utara
Terlepas dari berbagai kemungkinan keputusan yang bisa diambil oleh
penerjemah dalam proses penerjemahan sebagai akibat dari keragaman faktor penentu
tersebut di atas, Machali (2000:105) memberikan suatu pegangan dasar dalam proses
penerjemahan. Machali menilai bahwa gambar dinamika penerjemahan Newmark
tersebut menunjukkan, bahwa yang terletak paling atas adalah ‘truth’ kebenaran
berupa fakta atau substansi permasalahan yang akan diterjemahkan yang dibahas
dalam teks atau ‘field’ menurut Halliday. Sejauh perubahan yang ada tidak
menyebabkan perubahan truth (tetap mempertahankan makna referensial) maka
kesepadanan masih dapat berterima. Perubahan atau pergeseran lain yang menyangkut
kaidah bahasa (nomor 2 dan 6 dalam dinamika translasi tersebut) tidak membuat
bergesernya ‘truth’ sehingga masih berterima. Dinamika tersebut di atas memberi
peluang terjadinya campur tangan penerjemah. Machali (2000:106) mengungkapkan
bahwa campur tangan penerjemah dalam proses penerjemahan disebabkan oleh:
(1) merupakan terjemahan manusia (human translation) bukan terjemahan mesin
(machine translation);
(2) bahasa bukanlah sebuah “jaket pengaman” yang mengikat pemakainya
(penerjemah) untuk hanya memilih satu bentuk tertentu; dan,
(3) penerjemah (manusia) mempunyai keunikan (pandangan, prasangka, dll.)
2.3.1 Model-model Translasi
Larson (1984:17) menyatakan bahwa saat menerjemahkan sebuah teks, tujuan
penerjemah adalah mencapai translasi idiomatik yang sedemikian rupa, berusaha
Universitas Sumatera Utara
untuk mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber ke dalam bentuk alami dari
bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan merupakan kegiatan yang berkenaan
dengan studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi, dan konteks
budaya teks bahasa sumber yang dianalisis dengan maksud untuk menentukan
maknanya. Makna yang ditemukan kemudian diungkapkan dan dikonstruksikan
kembali dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa dan konteks
budayanya.
Di dalam hal ini, Larson (1984:4) secara sederhana menampilkan diagram
proses menerjemah suatu bahasa.
Figura 2.6 Proses Translasi Model Larson (Diadaptasi dari Choliludin, 2007:31)
Teks yang Diterjemahkan
MAKNA
Makna yang Diekspresikan Kembali
Translasi
Menemukan Makna
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu, Johannes (1979) membagi bahasa penerjemahan atas dua
bagian, yaitu bahasa keilmuan dan bahasa sastra. Menurutnya penerjemahan bahasa
keilmuan harus mempunyai kriteria-kriteria denotatif sebagai berikut.
(1) bahasa yang dipergunakan adalah bahasa resmi bukan bahasa pergaulan
(2) mempunyai sifat formal dan objektif
(3) mempunyai nada yang tidak emosional
(4) perlu memperhatikan keindahan bahasa
(5) menghindari kemubaziran (redundancy)
(6) mempunyai isi yang lengkap, jelas, ringkas, meyakinkan, tepat dan padat.
Bahasa sastra berbeda dalam pemakaian ungkapan dan kiasan, yang tidak
dijumpai dalam bahasa ilmu. Kriteria-kriteria bahasa sastra ialah sebagai berikut:
(1) bahasa sastra bersifat konotatif
(2) bahasa sastra mengutamakan keindahan sedangkan bahasa ilmu tidak.
(3) bahasa sastra bersifat elastis merupakan dasar karya-karya sastra, sementara
karya-karya ilmiah mengutamakan kepadatan isi.
2.3.2 Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Cadford
Teori translasi mempunyai kelebihan, yaitu dapat memenuhi keinginan peneliti
dalam penyelesaian masalah budaya di dalam penerjemahan. Budaya di sini mencakup
segala sesuatu yang secara historis tercipta karena pola berpikir suatu masyarakat baik
tersurat maupun tersirat, baik yang rasional maupun irrasional. Secara garis besar
kesulitan-kesulitan dalam penerjemahan dapat dibedakan menjadi dua kategori besar.
Universitas Sumatera Utara
Kedua kategori ini adalah kesulitan yang berkaitan dengan kebahasaan ‘linguistic
problems’ dan kesulitan yang bersifat non kebahasaan ‘nonlinguistic problems.’
Selanjutnya, dalam penerjemahan adanya perbedaan antara sistem bahasa
sumber dan sistem bahasa sasaran juga ditunjukkan oleh perbedaan struktur baik
tataran kata, frasa, klausa, dan kalimat. Dalam bahasa Inggris, inconceivable ditulis
sebagai satu kata tetapi terdiri atas tiga morfem: in, conceive, dan able. Jika kata itu
dialihkan ke dalam bahasa Indonesia, translasinya akan berbunyi: tidak dapat
dipikirkan atau tidak dapat dibayangkan. Persoalan-persoalan seperti ini dapat dicari
solusinya dengan menggunakan teori penerjemahan yang berorientasi pada penetapan
tema dan rema dalam teks bahasa sumber dan translasinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, proses translasi adalah proses mengekspresikan
kembali makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tanpa mengubah makna
bahasa sumber tersebut. Untuk itu, penelitian ini menerapkan teori translasi Larson
dan Cadford. Hal ini disebabkan di dalam penerjemahan ada kesulitan yang
disebutkan kesulitan bahasa ‘linguistik’ dan kesulitan budaya. Catford (1965)
mengatakan kesulitan ialah kesulitan yang berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Hal
yang sama juga disebutkan oleh Larson (1984) bahwa salah satu masalah yang paling
sulit dalam penerjemahan ialah perbedaan antara budaya.
Penerjemahan adalah masalah latar belakang budaya dari penerjemah.
Walaupun kemampuan menerjemah seseorang baik karena menguasai bahasa sumber
dan bahasa sasaran dengan kuantitas yang sama artinya, orang tersebut mengetahui
perbedaan persepsi linguistik bahasa sumber dan sasaran. Si penerjemah juga diminta
Universitas Sumatera Utara
meguasai konteks estetika dan budaya bahasa sumber dan sasaran sehingga dengan
pengetahuan materinya yang memadai, ia melakukan mampu penerjemahan.
Menurut Halliday (1985) langkah pertama dalam menerjemah adalah
menemukan makna yang terkandung melalui analisis makna. Menganalisis teks
dengan menggunakan seperangkat framework akan memberikan gagasan
komprehensif pada para pembaca untuk menghasilkan sebuah hasil translasi. Setiap
teks baik lisan maupun tulisan mengungkap makna dalam konteks penggunannya.
Jadi, dengan konteks di sekitar teks, teks menciptakan makna. Untuk dapat memahami
makna teks dapat dilakukan dengan menggunakan framework seperti berikut ini.
Figura 2.7: Kedudukan Teks, Konteks, dan Makna dalam Wacana
TEKS KONTEKS Metafungsi bahasa Konteks Situasi - fungsi ideasional - medan wacana - fungsi antarpersona - pelibat wacana - fungsi tekstual - sarana wacana
Konteks Budaya - institusional - ideasional
Intertekstual - teks yang berkaitan Intratekstual - koherensi - kohesi
MAKNA
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan figura di atas dapat dipahami bahwa teks, konteks dan makna
adalah tiga unsur yang salig berkaitan erat. Makna teks terealisasi melalui fungsi
ideasional, antarpersona, tekstual, dan konteks berperan mempengaruhi makna yang
disampaikan oleh teks. Dengan demikian, teks mengungkapkan maknanya dalam
kaitanya dengan konteks yang terdapat di dalam teks tersebut.
2.3.3 Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi
Catford (1965:20) menegaskan konsep pergeseran bisa dilihat dari dua
perspektif yang berbeda tentang translasi: (1) translasi sebagai produk, (2) translasi
sebagai suatu proses. Sebagai produk, konsep pergeseran formal identik dengan
konsep pergeseran yang mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah
padanan di seleksi dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menunjukkan
kesejajaran bentuk teks (unit, struktur, ataupun kelas) dalam bahasa sumber. Sebagai
suatu proses, pengertian pergeseran formal sejajar dengan istilah transposisi
(transposition) yang dikemukakan oleh Newmark (1988) yaitu suatu cara atau
prosedur penerjemahan melalui perubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke
dalam bahasa target.
Catford (1965:73-82) membedakan pergeseran dalam translasi ke dalam dua
jenis sebagai-berikut.
(1) level shift yang muncul di permukaan dalam bentuk item bahasa sumber pada
level linguistik tertentu mempunyai padanan dalam level yang berbeda.
Misalnya, tataran gramatika berpadanan dengan leksis.
Universitas Sumatera Utara
(2) category shift yaitu suatu istilah generik yang mengacu pada pergeseran yang
mencakup empat kategori sebagai berikut.
a. structure-shifts, yakni pergeseran struktur yang menyangkut perubahan
gramatikal antara struktur bahasa sumber dan sasaran.
b. class-shifts, yakni pergeseran kelas bila kata dalam bahasa sumber
dipadankan dengan bahasa sasaran mempunyai kelas gramatikal yang
berbeda.
c. unit-shifts, yakni pergeseran unit yang menyangkut perubahan ‘rank’
misalnya dari kata diterjemahkan menjadi frasa.
d. intra-system-shifts, yakni pergeseran intra sistem yang terjadi bila secara
formal bahasa sumber dan target mempunyai kondisi yang kelihatannya
sejajar tetapi secara konstituen mempunyai perbedaan. Misalnya, bentuk
tunggal dalam bahasa sumber menjadi bentuk jamak dalam bahasa
sasaran.
Al Zouby dan Al Asnawi (2001) mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai
tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang
terlibat dalam penerjemahan dan tindakan operasional yang ditentukan oleh preferensi
personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang
alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Mereka
membedakan pergeseran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro (micro shift) dan
pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal
yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan
unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika
padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran.
Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya, dan retorik yang
memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis.
Berdasarkan penjelasan di atas, pergeseran dalam penerjemahan terjadi karena
berbagai aspek, bergantung pada konteksnya. Di dalam hal ini, Zellermeyer (1987)
menjelaskan bahwa pergeseran (shift) dalam penerjemahan sebagai ‘metamessages’.
Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan (addition), penghilangan
(delition), substitusi (substitution), dan penyusunan kembali (reordering).
2.4 Teori Systemic Functional Linguistics
Penelitian ini menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang
dikemukakan oleh Halliday. Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia
memperoleh dua penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam
penelitian ini. Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) oleh
Tengku Silvana Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan
Sistemik-Fungsional (terbit 2003 dan dicetak ulang 2008). Terjemahan kedua
Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa
dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata
Bahasa dan Wacana (2006) dan Fungsi Tekstual dalam Wacana: Panduan Menulis
Rema dan Tema (2007).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sinar (2008:14), teori ini meyakini bahwa bahasa atau teks selalu
berada pada konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih (2007:1), teori
ini dikembangkan oleh Halliday (2004) dan para pakar lainnya, seperti Martin (2003),
Halliday dan Matthiessen (2001), Kress (2002). Teori ini berkembang di Inggris,
tetapi perkembangannya sangat pesat terutama di Universiy of Sydney, Australia sejak
Linguistics Department dibuka di universitas itu pada 1976.
Sinar (2003:14) menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua
implikasi. Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang
memiliki kerangka penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan
mengikuti prinsip-prinsip teori Systemic Functional Linguistics. Kemudian, investigasi
fenemona analisis wacana mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara
interpretatif bersifat semiotik, tematis, dan antardisiplin.
Selanjutnya, Sinar (2003:15) bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi
kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk
memperhatikan hubungan sistem(ik) dalam berbagai kemungkinan pada jaringan
sistem hubungan dan dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang
vertikal atau paradigmatik. Di samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan
sistem-sistem makna. Sistem-sistem makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik
berada di belakangnya, di bawahnya, di atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang
fenomena yang sedang diinvestigasi.
Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal. Ketiga hal tersebut
menekankan bahwa analisis wacana memberi perhatian pada realisasi fungsional
Universitas Sumatera Utara
sistem dalam struktur-struktur dan pola-pola yang secara struktur bersifat horizontal
dan sintagmatis. Perhatian juga ditujukan pada fungsi-fungsi atau makna-makna yang
ada dalam bahasa tersebut dan fungsi-fungsi atau makna-makna yang beroperasi di
dalam tingkat dan dimensi bervariasi dalam bahasa yang bersangkutan.
Menurut Saragih (2007:1-6), pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian,
yang saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa
terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain,
bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan
untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Oleh karena itu, teks yang digunakan
untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan
untuk melaporkan satu peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks
sejarah berbeda dengan teks fisika, dan struktur teks politik berbeda dengan teks
kesastraan.
Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan
berdasarkan konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata
lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur
tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic
Functional Linguistics terdiri atas konteks situasi (register) dan budaya (culture) yang
di dalamnya termasuk ideologi (ideology).
Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi
atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi
antarpemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) dalam Butt, dkk.
Universitas Sumatera Utara
(2003:4) konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yaitu field, tenor, dan mode of
discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti (1) medan (field), yakni apa—what
yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat (tenor), yakni siapa—who yang terkait
atau terlibat dalam interaksi, dan (3) cara (mode), yakni bagaimana—how interaksi
dilakukan.
Lebih lanjut, Halliday (1974) dalam Saragih (2007:2) menegaskan bahwa
bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang
berbeda dengan pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang
berpendapat bahasa sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam
diri manusia. Dengan kata lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional
Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar
teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara teks dan konteks sosial adalah hubungan
construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks
menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu saat konteks sosial terbentuk
dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat berikutnya, teks yang wujud itu
merujuk dan membentuk konteks sosialnya.
Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam
kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu (1) memaparkan atau menggambarkan
(ideational function), (2) mempertukarkan (interpersonal function), dan (3) merangkai
(textual function) pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa
(metafunction), yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi
direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa
(lexicogrammar) merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang
mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia. Dari ketiga
fungsi itu, kajian ini berkaitan dengan fungsi tekstual. Akan tetapi, karena uraian
mengenai pemakaian bahasa mencakup metafungsi bahasa, maka uraian tentang
fungsi tekstual akan dikaitkan dengan dua fungsi yang lain secara parsial atau jika
fungsi eksperiensia atau antarpersona menambah kejelasan uraian fungsi tekstual.
Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional
terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan
pengertian ini ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah
fungsional dalam grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan
klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para
pakar Systemic Functional Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit
linguistik, unit linguistik itu dikaji dari tiga posisi, yakni dari (1) unit yang lebih besar
di atasnya yang di dalam unit di atasnya itu unit linguistik itu menjadi elemen/
konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan
membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya
dengan unit kajian.
Fungsi tekstual bahasa menunjukkan bagaimana pesan dalam bahasa dirangkai
agar menjadi teks yang padu. Secara struktural, untuk merangkai pesan dalam klausa,
dua aspek tata bahasa digunakan, yaitu Tema dan Rema. Struktur Tema di dalam
klausa, menurut teori Systemic Functional Linguistics, ditentukan oleh konteks sosial.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai bagian dari konteks situasi, unsur cara berkait dengan struktur Tema. Dengan
kata lain, cara berkaitan langsung atau mempengaruhi stuktur Tema dan Rema.
Selanjutnya, cara sebagai bagian dari konteks situasi atau register merupakan realisasi
ideologi. Sebagai unsur semiotik sosial di atas register, terdapat konteks budaya yang
menjadi penentu cara. Dengan kata lain, budaya secara parsial menentukan struktur
Tema dan Rema.
Menurut Saragih (2007:5-6), bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan.
Dalam menyampaikan pesan secara berpola, bahasa memiliki aturan bahwa pesan
yang disampaikan tersebut disusun atau dirangkai dengan baik. Dengan demikian,
bahasa berfungsi untuk merangkai pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk
keterkaitan, satu (unit) pengalaman (dalam experiential meaning dan interpersonal
meaning) relevan dengan pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan
sesudahnya. Dengan tugasnya membentuk kerelevanan pengalaman dengan
pengalaman lain agar membentuk satu kesatuan (oneness), fungsi tekstual berkaitan
dengan lingkungan atau konteks satu pengalaman linguistik.
Dalam satu situasi atau kesempatan, sumber daya (resources) bahasa (kata,
frase, dan klausa) memiliki kemampuan yang sama untuk (pertama kali) muncul
dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, menurut Saragih (2006:106), ”Semua sumber
daya bahasa memiliki probabilitas yang sama untuk muncul pertama kali. Akan tetapi,
pada saat satu sumber daya muncul pertama sekali, pemunculannya telah menghalangi
atau mengurangi kemungkinan pemunculan sumber daya lain.”
Universitas Sumatera Utara
Contohnya, apabila penutur telah mengucapkan klausa Banjir di desa itu
telah membawa korban jiwa, pemunculan klausa Ketegangan di Bangkok antara
kelompok baju merah dan pemerintah meningkat tidak relevan lagi. Sebagai akibat
pemunculan banjir di desa itu, klausa yang lebih relevan adalah Regu penolong dan
bantuan pangan telah didatangkan. Ini berarti, pemunculan sumber daya bahasa
pertama sekali memegang peran penting dalam pemunculan sumber daya yang lain.
Sumber daya bahasa yang pertama disampaikan, yang disebabkan oleh pengaruh
konteks pemakaian bahasa, memiliki fungsi yang berbeda bagi penutur (addresser)
dan mitra tutur (addressee). Bagi penutur unsur pertama ini merupakan unsur penting.
Unsur pertama inilah yang akan diuraikan dalam sumber daya berikutnya atau yang
menjadi tumpuan dalam pemunculan sumber daya berikutnya. Sumber daya pertama
dalam satu unit pengalaman atau klausa dalam perspektif penutur disebut Tema
(Theme) dan sumber daya bahasa berikutnya setelah tema disebut Rema (Rheme).
Bagi mitra tutur, unsur pertama menjadi tidak jelas atau hilang karena sudah
terlalu lama terdengar dalam bahasa lisan. Sementara itu, unsur yang terakhir menjadi
jelas karena terakhir disampaikan dan masih dapat disimak dalam proses penuturan.
Dengan demikian, dari perspektif pendengar atau mitra tutur, unsur pertama disebut
Lama (Given), sementara unsur terakhir disebut Baru (New).
2.4.1 Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics
Teori Systemic Functional Linguistics adalah teori yang memandang bahwa
kajian bahasa tidak terlepas dari konteksnya. Berkaitan dengan penelitian ini, kajian
Universitas Sumatera Utara
translasi tidak lepas dari kajian terhadap teks dan konteks. Dalam hal ini, baik teks dan
hasil translasi merupakan produk teks yang baru dan itu merupakan unit bahasa yang
fungsional dalam konteks sosial. Artinya, teks sumber dan teks sasaran adalah unit arti
atau unit semantik dan dapat direalisasikan oleh berbagai unit tata bahasa.
Teori Systemic Functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai
dimensi analisis dalam teks dan wacana. Dalam dimensi bahasa, analisis dapat
dilakukan terhadap tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi
atau ortografi. Ketiga strata ini mempunyai pengertian bahwa suatu makna
direalisasikan ke dalam tata bahasa atau disebut leksikogramatika dan akhirnya
direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun tulisan.
Selaras dengan penjelasan di atas, analisis juga dapat diterapkan kepada teks
sumber dan teks sasaran translasi. Analisis kedua teks tersebut dapat diterapkan dari
dimensi rangkaian teks (cohesion) dan dimensi koherensi yang merupakan susunan
tata cara yang terjalin erat dan teratur satu sama lain.
Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga
mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial (context) selalu menyertai
teks dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Halliday mengistilahkan construal
yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan
ditentukan oleh teks. Menurut Halliday (1978) dalam Saragih (2007:2), konteks sosial
terbagi tiga yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre), dan konteks
ideologi. Konteks situasi merupakan unsur yang penting dalam bahasa karena manusia
berbicara atau menulis harus disesuaikan dengan konteks situasinya.
Universitas Sumatera Utara
Kelebihan lainnya teori Systemic Functional Linguistics adalah pada analisis
konteks budaya teks sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan
keberhasilan teks mencapai sasarannya. Teori ini memandang teks mempunyai ciri
budaya yang memberi karakteristik atau fitur pada teks tersebut. Dalam suatu interaksi
sosial teks, ia harus melalui suatu tahapan untuk menghasilkan tujuan yang tepat
sasaran dan setiap teks membawa misi yang berbeda sehingga dengan demikian teks
ini juga menghasilkan karakteristik tahapan yang berbeda-beda.
Konteks budaya disebut juga dengan genre yaitu kegiatan berbahasa yang
bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang berorientasi pada tujuan di mana
penulis/penutur melibatkan diri sebagai anggota-anggota dari budaya itu sendiri
(Sinar, 2003:68). Selanjutnya, konteks teks mempunyai ideologi yang merujuk sikap,
nilai yang dikontruksikan secara sosial menjadi konsep yang diyakini oleh masyarakat.
Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur makna (semantik, tata bahasa
(leksikogrammar) dan bunyi (fonologi) mempunyai konteks situasi budaya di atasnya.
Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa seperti terdapat dalam diagram
berikut.
Figura 2.8: Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)
Ideologi
Budaya
Situasi
Semantik Tata Bahasa Fonologi
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu semua, maka peneliti akhirnya memilih teori Systemic Functional
Linguistics. Hal ini dimaksudkan agar di dalam perjalanan panjang penelitian ini dapat
mengeksplorasi teks dengan memahami dan mengkaji unsur-unsur yang terdapat di
dalam bahasa, yaitu analisis tekstual dan di luar bahasa yaitu konteks sosial bahasa
yang mencakup konteks situasi (register). Hal itu disebabkan bahasa tidak dapat
dipisahkan dari konteksnya. Dengan kata lain, untuk memahami bahasa maka
sebaiknya memahami konteks.
2.4.2 Berbagai Model Systemic Functional Linguistics
Berbagai model Systemic Functional Linguistics telah dikembangkan oleh
Halliday di Universitas Sydney dan para pengikut teori ini. Di antaranya, model
Systemic Functional Linguistics telah dirancang dan dikembangkan oleh Fawcet di
Universitas Cardiff, Gregory di Universitas York, yang kemudian diterapkan oleh
Young di Universitas Leuven Catholic, model Martin di Universitas Sydney, dan
model Halliday yang dikembangkan oleh Matthiessen di Universitas Macquarie.
Model Systemic Functional Linguistics dirancang dan dikembangkan oleh para
pengikut teori ini dengan didasarkan pada hubungan bahasa dan konteksnya. Bahasa
dibangun atas unsur makna yang dirangkaikan atau disusun menurut strukturnya
(lexicogrammar) yang pada akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi (fonologi) ataupun
tulisan (grafologi). Halliday (1991:8) menganggap bahwa terdapat hubungan yang erat
antara bahasa dan konteks sebagaimana terlihat dalam figuru berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.9: Bahasa dan Konteks (Adaptasi dari Halliday, 1991:8) sistem (potensi) instan konteks fungsi bahasa BUDAYA SITUASI
(ranah budaya) (Jenis situasi) bahasa SISTEM TEKS Note: kiri – kanan = instansiasi [cf. iklim cuaca] atas– bawah = realisasasi [dalam bahasa, leksikogramatika, fonologi]
Selanjutnya, Martin (1993) dalam Sinar (2008:8-9) menjelaskan dalam
rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuansinya, untuk
memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai
sistem semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.
Figura 2.10: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial (Adaptasi dari Martin, 1993:142)
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, Matthiessen (1993) dalam Sinar (2008:17) merancang stratifikasi
bahasa dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna
(semantik), di dalam makna terdapat leksikogrammar dan di dalam leksikogrammar
terdapat fonologi. dengan demikian bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu
semantik, leksikogrammar, dan semantik.
Figura 2.11: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)
bahasa
leksikogramatika
semantik
Konteks: sistem makna tingkat lebih tinggi
Isi
Fonologi ekspresi
Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori
Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.12: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks (Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2008:55)
Konteks Halliday (1964)
Gregory (1967)
Ure & Elis (1977)
Halliday (1978)
Fawcett (1980)
Martin (1992)
Budaya Genre Medan Wacana
Medan Wacana
Medan Wacana
Medan Wacana
Pokok Persoalan
Medan Wacana
Pelibat Wacana personal
Formalitas Tujuan Hubungan
Pelibat Wacana
Pelibat Wacana fungsional
Peran
Pelibat Wacana
Tujuan pragmatik
Pelibat Wacana
Situasi
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan
konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana,
pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai
rujukan untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory
membagi pelibat wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional,
sedangkan Ure dan Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan
peran. Fawcet membagi pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.
2.4.3 Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics
Di dalam konsep Systemic Functional Linguistics dijelaskan bahwa (1) bahasa
merupakan sistem semiotik dan (2) bahasa juga bersifat fungsional (3) bahasa
berfungsi untuk membuat makna dan bahasa mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi
memaparkan pengalaman yang disebut dengan fungsi ideasional, fungsi
Universitas Sumatera Utara
mempertukarkan pengalaman atau fungsi antarpersona dan fungsi merangkaikan
pengalaman atau fungsi tekstual, dan (4) bahasa bersifat kontekstual.
2.4.3.1 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial
Systemic Functional Linguistics berbeda dengan aliran linguistik lain karena
berdasarkan teori ini, bahasa dipandang sebagai fenomena sosial yang wujudnya
sebagai semiotik sosial. Konsep semiotik pada mulanya berasal dari konsep tanda
yang berhubungan dengan istilah ‘semainon’ (penanda). Oleh karena itu, Fawcett
(1984:xiii) mengatakan bahwa semiotik merupakan kajian tentang sistem tanda dan
penggunaannya. Dengan demikian, semiotik bukan sebagai kajian tentang tanda
melainkan sebagai kajian tentang sistem tanda. Dengan kata lain, semiotik sebagai
suatu kajian tentang ‘makna’ yang paling umum.
Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus
ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan
makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang
berkenaan dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut
meliputi baik bentuk-bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan
lainnya, maupun bentuk-bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk
dalam ruang lingkup seni, misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan
seterusnya. Ini semua pembawa makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam
konteks ini budaya didefinisikan sebagai seperangkat sistem semiotik, sistem makna
yang semuanya saling berhubungan. Pengertian umum tentang semiotik ini tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu kesatuan lahiriah, tetapi semiotik
sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang sebagai tatanan yang bekerja
melalui semacam bentuk luar keluaran (output) yang disebut tanda, tetapi tatanan-
tatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan merupakan jaringan-
jaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan untuk melihat
bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara
bersama-sama membentuk budaya manusia.
Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim
dengan kebudayaan. Menurut Sinar (2008:21), “Konsep semiotik sosial adalah bahwa
hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti
ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan
lingkungan arti tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan
sistem sosial atau kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga
digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial,
dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam
pengertian ini, bahasa dijelaskan dengan menggunakan pandangan sosial karena
dimensi sosial sangatlah signifikan dan yang selama ini paling diabaikan dalam
pembahasan-pembahasan bahasa dalam pendidikan.
Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan
tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau
sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih
abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua
dengan anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata
nilai dan ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut
Halliday (1975) dalam Sinar (2008:20-21), belajar bahasa adalah belajar memaknai
yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian,
seseorang dalam aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui
bahasa yang dipelajari dalam sistem sosial kehidupannya.
2.4.3.2 Bahasa adalah Fungsional
Halliday dan Hasan (1985:10) mendefinisikan teks sebagai bahasa yang
fungsional. Fungsional diartikan sebagai bahasa yang melakukan perkerjaan yang
sama dalam suatu konteks. Di dalam konteks ini, bahasa yang fungsional bukan kata-
kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis.
Dengan demikian, hakekat teks adalah sebagai entitas semantik, sehingga sebuah teks
harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebuah produk maupun
sebagai sebuah proses.
Menurut Saragih (2006:3) terdapat tiga pengertian dalam konsep fungsional di
dalam konteks sosial.
(1) Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa.
(2) Bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai
pengalaman. Ketiga fungsi ini disebut dengan metafungsi bahasa.
Universitas Sumatera Utara
(3) Satu unit bahasa fungsional terhadap unit lain yang lebih besar. Artinya satu
unit bahasa dapat menjadi unit bahasa yang lebih besar misalnya kata, frase
dan klausa. Bahasa dalam analisis wacana dengan pendekatan linguistik
fungsional sistemik mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi memaparkan,
mempertukarkan dan merangkai pengalaman.
2.4.3.3 Fungsi Bahasa Membuat Makna
Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia
mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat
makna dalam teks. Halliday (1975) dalam Sinar (2008:20) berpendapat bahwa belajar
bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar-
mengajar. Di dalam hal ini, Halliday (1975:37) memandang pembelajaran bahasa
sebagai belajar memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian,
teori Systemic Functional Linguisticsi mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan
linguistik.
Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial
memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa
bahasa adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan
linguistik. Bagi praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami
perspektif bahwa seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat
hubungannya dengan bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan
bahasa. Di dalam fungsi bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia
Universitas Sumatera Utara
sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik
yang dikonstruksikan oleh anak tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.
2.4.3.4 Bahasa adalah Kontekstual
Secara historis, bahasa terikat dengan penutur dan situasi penuturannya. Situasi
penggunaan bahasa seperti ini bersifat kontekstual, sehingga pemahaman makna
bahasa tersebut terikat pada konteks pemakaiannya (Sinar, 2008:23). Konsep konteks
ini merujuk pada hubungan linguistik dengan konteks budaya yang disebabkan oleh
ketergantungan makna linguistik terhadap konteks budaya. Hal ini disebabkan bahasa
merupakan ungkapan ekspresi seseorang dalam merespon kondisi sosial budayanya,
sehingga makna dari setiap kata dalam tingkat tertentu sangat tergantung pada konteks
pembicaraan seseorang.
Halliday dan Hasan (1985) dalam Saragih (2006:4) bahasa adalah kontekstual
karena pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Ada teks dan ada teks
lain yang menyertainya: teks yang menyertai teks itu disebut konteks. Namun,
pengertian mengenai hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan
atau ditulis, tetapi juga meliputi kejadian-kejadian yang nonverbal lainnya pada
keseluruhan lingkungan teks itu. Bahkan, menurut Saragih (2006:4), “Dengan
pengertian konstrual ini, dalam satu konteks sosial tertentu hanya teks tertentu yang
dihasilkan. Sebaliknya, dengan teks tertentu hanya konteks sosial tertentu pula yang
(dapat) dirujuk.”
Universitas Sumatera Utara
Dalam teori Systemic Functional Linguistics, konteks terbagi atas konteks
linguistik dan konteks sosial. Konteks linguistik merujuk pada bahasa itu sendiri
sedangkan kontek sosial terbagi atas tiga yaitu (1) konteks situasi yang mencakup
‘field’, ‘tenor’ dan ‘mode’, (2) konteks budaya, dan (3) konteks ideologi. Konteks
situasi diperlukan untuk memahami jenis teks. Konteks situasi yaitu konteks yang
memiliki teks yang mengungkap dan mewakili lingkungan tempat makna itu
dipertukarkan.
Konteks situasi dijabarkan oleh Halliday dan Hasan (1985) dalam Sinar
(2008:56-59) melalui tiga cirinya, yaitu (1) Medan Wacana (Field of Discourse), (2)
Pelibat Wacana (Tenor of Discourse), dan (3) Sarana Wacana (Mode of Discourse).
Ketiga ciri tersebut dijelaskan oleh Halliday dan Hasan (1985) dalam Choliludin
(2007:10-13) berikut ini.
(1) Field of discourse adalah istilah abstrak bagi pernyataan ‘apa yang sedang terjadi’ yang mengacu pada pilihan substansi linguistik si pembicara. Pilihan linguistik yang berbeda dibuat oleh pembicara yang berbeda tergantung pada jenis tindakannya, selain tindakan berbicara langsung yang mereka pandang sendiri saat ikut andil di dalamnya. Misalnya, pilihan linguistik akan beragam menurut andil pembicara masing-masing, apakah ikut dalam pertandingan sepak bola, berpidato politik, melakukan operasi atau membahas tentang obat-obatan.
(2) Tenor of discourse adalah istilah abstrak untuk hubungan antara orang-orang yang ikut andil dalam berbicara.bahasa yang digunakan orang beragam tergantung pada jenis hubungannya, seperti hubungan interpersonal antara ibu dan anak, dokter dan pasien, atau derajat orang atas dan yang rendah seorang pasien tidak akan memakai kata sumpah serapah untuk menyebut seorang dokter di hadapannya dan seorang ibu tidak akan memulai permintaan kepada anaknya dengan mengatakan, “Maaf apakah bisa kalau kamu...” menerjemahkan tenor of discourse secara benar dalam translasi bisa cukup menyulitkan. Hal ini tergantung pada apakah seseorang itu memandang tingkat formalitas teretntu sebagai hal yang ‘benar’ dari sudut pandang budaya bahasa sumber atau dari sudut pandang budaya bahasa sasaran. Misalnya, seorang remaja Amerika boleh menggunakan tenor yang sangat
Universitas Sumatera Utara
informal dengan dengan orang tuanya dengan menggunakan nama depan dan bukan dengan panggilan ibu atau ayah. Tingkat formalitas ini akan sangat tidak bisa diterima oleh kebanyakan kebudayaan lain. Seorang penerjemah harus memilih antara mengganti tenornya untuk disesuaikan dengan budaya pembaca sasaran atau tetap seperti aslinya, yaitu mentransfer tenor informalnya untuk memberikan kesan jenis hubungan yang biasa dilakukan oleh para remaja dengan orang tuanya di masyarakat Amerika. Apa yang dipilih penerjemah pada situasi teretntu tentunya akan bergantung pada apa yang dia lihat sebagai tujuan penerjemahan secara menyeluruh.
(3) Mode of discourse mengacu pada jenis peran yang dimainkan bahasa (bicara/pidato, esai, kuliah, instruksi), yaitu jenis peran yang diharapkan partispian terhadap bahasa dalam suatu situasi: organisasi teks yang simbolik, status yang dimiliki dan fungsinya dalam konteks termasuk alat penghubung (lisan/tulisan atau gabungan dari keduanya), dan juga mode retorika, apa yang sedang dicapai oleh teks dalam kondisi kategori berikut ini yaitu persuasif, paparan, didaktis, dan hal senada. Misalnya, seperti ‘re’ adalah kata yang diterima dalam bahasa surat bisnis tetapi sangat jarang digunakan dalam bahasa lisan.
2.4.4 Metafungsi Bahasa
Makna metafungsional adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga
fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi
ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan
interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan
realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan
pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotis
dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Matthiessen, 1995:6;
Halliday & Martin, 1993:29; Halliday & Matthiessen, 1999:7-8).
Berdasarkan penjelasan di atas, makna metafungsional melingkupi tiga jenis
makna, dan realisasinya di dalam teks dapat dilihat dari unsur-unsur leksikogramatika
(lexicogrammar), yaitu cara kata-kata disusun beserta segala akibat maknanya dalam
Universitas Sumatera Utara
membentuk registernya. Sebagai salah satu wilayah makna metafungsional, makna
tekstual tercipta dari gabungan antara fungsi ideasional dan fungsi interpersonal.
Makna tekstual adalah makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika
yang menjadi media terwujudnya sebuah teks, tertulis atau lisan, yang runtut dan yang
sesuai dengan situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang
bersifat periodik (Martin, 1992:10,13,21).
Pada tataran kelompok kata dan klausa, makna tekstual diungkapkan dengan
tematisasi, hubungan makna secara repetisi, sinonimi, antonimi, hiponimi,
kohiponimi, meronimi, dan komeronimi untuk mengungkapkan kohesi leksikal. Pada
tataran wacana, makna tekstual diungkapkan dengan rajutan leksikal, jalinan referensi,
akumulasi penataan Tema-Rema pada tingkat klausa, Hiper-tema/Hiper-rema pada
paragraf, dan struktur teks. Makna tekstual pada tingkat wacana sesungguhnya adalah
persoalan bagaimana sebuah teks itu ditata dan dimediakan sehingga tercipta
sebagaimana wujudnya.
Dalam hal tematisasi pada tataran klausa, Tema yang paling dominan pada
teks-teks tersebut adalah Tema Topikal Tak Bermarkah, disusul Tema Tekstual dan
Tema Topikal Bermarkah yang kesemuanya mengungkapkan kekohesifan yang cukup
tinggi pada tataran klausa. Pada tataran wacana, tematisasi direalisasikan oleh pola
pengembangan topik (dalam hubungan Tema Rema dan Hiper-tema Hiper-rema).
Dalam hal rajutan leksikal, terbukti bahwa rajutan leksikal merealisasikan
makna tekstual melalui berbagai variasi hubungan makna (yang meliputi repetisi,
sinonimi, antonimi, hiponimi, kohiponimi, meronimi, dan komeronimi). Hubungan
Universitas Sumatera Utara
tersebut menunjukkan tidak saja cakupan pokok persoalan yang disajikan secara
ideasional tetapi juga kerekatan di antara leksis-leksis tersebut secara tekstual.
Kerekatan leksis dalam berbagai variasi hubungan semantis tersebut menunjukkan
bahwa teks-teks tersebut memiliki derajat kohesi leksikal yang cukup tinggi pada
tataran wacana. Di dalam hal jalinan referensi, terbukti bahwa jalinan referensi
berfungsi untuk mengidentifikasi partisipan yang ada di dalam teks menurut sistem
pengacuan. Secara tekstual, pengacuan pada jalinan referensi dapat mencerminkan
derajat kekohesifan teks. Sebagian besar partisipan pada teks-teks tersebut adalah
partisipan benda umum, bukan partisipan benda manusia. Selain itu, benda yang
disebut sesudahnya bukan selalu merupakan benda yang disebut sebelumnya. Hal ini
menunjukkan makna bahwa benda-benda yang dimaksud adalah benda-benda yang
memenuhi konsep generalitas, yaitu benda-benda yang sudah diabstrakkan untuk
menyatakan generalisasi, bukan benda-benda yang secara eksperiensial berada di
sekitar manusia. Secara tekstual, cara pengacuan di atas lebih berorientasi kepada
makna tekstual pada tataran wacana.
2.4.4.1 Fungsi Ideasional
2.4.4.1.1 Fungsi Eksperensial
Di dalam fungsi eksperensial, bahasa terdiri dari enam proses yaitu proses
material, verbal, mental, relasional, perilaku, dan wujud. Setiap proses didampingi
oleh partisipan yang direalisasi oleh nomina atau grup nomina. (Sinar, 2008:31-37;
dan lihat juga, Saragih, 2006:28-41).
Universitas Sumatera Utara
(1) Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik, seperti mendorong,
mengangkat dan berlari. Proses material didampingi oleh dua partisipan utama
yaitu aktor dan gol. Partisipan lain yang dapat mendampingi proses material
adalah jangkauan dan penerima. Contohnya:
Pemerintah membangun gedung sekolah ini. Aktor Proses Material Gol
(2) Proses verbal berada di antara proses mental dan realsional dan proses ini
melibatkan informasi misalnya berkata, bertanya, menyapa. Partisipan dalam
proses verbal adalah penyampai, pesan, target, dan penerima. Contohnya:
Turis itu bertanya kepada saya suatu alamat Penyampai proses verbal penerima target
(3) Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi dan
persepsi misalnya melihat, mencintai, dan berpikir. Partisipan dalam proses mental
adalah pengindera dan fenomenon. Contohnya:
Para ilmuwan tersebut mengamati kelinci percobaan tersebut Pengidera proses mental fenomenon
(4) Proses relasional adalah proses hubungan antarunit bahasa yang terbagi atas
hubungan intensif, hubungan sirkumstan, dan hubungan posesif. Ketiga hubungan
ini dibagi atas mode intensif (posisi kedua entitas dapat saling dipertukarkan) dan
atribut (posisi kedua entitas tidak dapat saling dipertukarkan). Partisipan dalam
proses relasional terdiri atas bentuk, nilai, penyandang, dan atribut. Hubungan
intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas yang lain, seperti:
ayahnya (adalah) seorang dokter Penyandang proses relasional atribut
Universitas Sumatera Utara
Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan lingkungan
yang terdiri atas lokasi (waktu, tempat, urut), sifat, peran atau fungsi, penyerta dan
sudut pandang, seperti:
Ulang tahunnya (adalah) tanggal 15 Februari Penanda proses relasional nilai (sirkumstan: waktu)
Hubungan posesif menunjukkan kepunyaan, misalnya:
Tanah itu (adalah) milik kami Milik proses relasional pemilik
(5) Proses perilaku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang
menyatakan tingkah laku fisik manusia. Secara semantik, proses tingkah laku
terletak di antara proses material dan mental. Partisipan dalam proses ini adalah
petingkah laku. Proses ini ditandai dengan verba bernafas, batuk, pingsan, tidur,
tertawa, dan sebagainya. Contohnya:
Anak itu telah tidur dengan nyenyak Petingkah laku proses tingkah laku sirkumstan
(6) Proses wujud (eksistensial) menunjukkan keberadaan satu entitas. Secara semantik
proses wujud berada di antara proses material dan relasional. Partisipan dalam
proses wujud (eksistensial) ini adalah maujud (eksisten) Proses ini ditandai oleh
verba ada, berada, muncul, terjadi, bertahan, tumbuh, dan tersebar. Contohnya:
Ada banyak nasabah di bank itu. Proses wujud maujud sirkumstan
2.4.4.1.2 Fungsi Logika
Selain fungsi eksperensial, juga terdapat fungsi logika di dalam fungsi
ideasional. Fungsi logika yang dimaksudkan di sini yaitu bahwa bahasa memiliki satu
Universitas Sumatera Utara
atau lebih dari satu klausa yang disusun berdasarkan hubungan logis berdasarkan
posisi antarklausa dan makna antarklausa. Posisi antarklausa mengacu pada status
satu klausa dengan klausa lainnya yang disebut taksis. Sedangkan makna antarklausa
menunjukkan arti atau fungsi satu klausa dengan klausa yang mendahuluinya yang
dimaksud dengan hubungan logis semantik.
Taksis terbagi atas parataksis (hubungan klausa yang setara ditandai dengan
angka 1,2,3.....n) dan hipotaksis (hubungan klausa yang tidak setara yang ditandai
dengan α, β, χ, δ ). Hubungan logis semantik menunjukkan makna yang timbul antar
klausa dan dibagi dua yaitu ekspansi dan proyeksi. Ekspansi menunjukkan bahwa
klausa kedua memperluas makna klausa pertama dengan tiga cara yaitu elaborasi,
ekstensi, dan ganda sedangkan proyeksi merupakan representasi kembali pengalaman
linguistik ke pengalaman linguistik lain.
Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa parataksis menunjukkan
kesetaraan hubungan dua klausa. Sebaliknya, hipotaksis menunjukkan ketidaksetaraan
hubungan dua klausa. Elaborasi menunjukkan makna klausa pertama sejajar/setara
dengan makna klausa kedua. Ekstensi berarti makna klausa kedua menambah makna
yang ada pada klausa pertama. Ganda berarti makna klausa kedua melipatgandakan
makna yang ada pada klausa pertama. Proyeksi lokusi menunjukkan proyeksi kata
sedangkan proyeksi ide menunjukkan proyeksi makna.
Figura 2.13: Hubungan Logis dan Taksis (Adaptasi dari Halliday, 1994:216-220)
Hubungan Logis Taksis
Universitas Sumatera Utara
Semantik Parataksis Hipotaksis
Elaborasi (=) Anak itu buta; dia tidak
bisa melihat apa-apa.
1=2
Anak itu buta, yang
sangat menyusahkan kami
α = β
Ekstensi (+) Ayahnya bekerja di
Medan dan ibunya
bekerja di Surabaya
1+2
Ayahnya bekerja di
Medan sedangkan ibunya
bekerja di Surabaya
α + β
Ekspansi
Ganda (x) Dia sedang marah dan
karena itu dia pergi
1x 2
Dia pergi karena dia
marah
α x β
Lokusi (“) Dia berkata, “aku akan
pergi.”
1”2
Dia mengatakan bahwa
dia akan pergi
α ” β
Proyeksi
Ide (‘ ) He thought, “I’ll go
now.”
1’2
Dia berpendapat dia harus
pergi
α ’ β
2.4.4.2 Fungsi Antarpersona
Setelah dijelaskan fungsi memaparkan (fungsi ideasional) yang mencakup
fungsi eksperensial dan logika, maka berikut ini dijelaskan fungsi kedua bahasa yaitu
memaparkan pengalaman atau disebut fungsi antarpersona. Fungsi antarpersona
adalah fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan pengalaman dalam interaksi
sosial. Fungsi antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam
saling bertukar pengalaman linguistik. Dengan kemampuan berinteraksi sosial, maka
manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan suatu aksi maka dari segi
Universitas Sumatera Utara
semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar yang disebut dengan protoaksi yaitu
pernyataan (memberi informasi), pertanyaan (meminta informasi), tawaran (memberi
barang dan jasa), dan perintah (meminta barang dan jasa).
Keempat aksi dasar atau protoaksi tersebut kemudian direalisasikan ke dalam
tingkat tata bahasa yang disebut modus. Aksi pernyataan biasanya direalisasikan ke
dalam modus deklaratif. Aksi pertanyaan biasanya direalisasikan oleh modus
interogatif dan aksi perintah direalisasikan oleh modus imperatif. Namun, aksi tawaran
tidak mempunyai modus karena tidak mempunyai modus yang Bermarkah sebagai
realisasinya. Dengan demikian, tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga
modus. Modus itu dibangun oleh lima unsur yaitu subjek, finit, predikator,
komplemen, dan adjunct.
Figura 2.14:
Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct dalam Teks
Kami akan mengadakan Rapat besok pagi
Subjek Finit Predikator Komplemen Adjunct
Mood Residue
2.4.4.3 Fungsi Tekstual
Fungsi ketiga dari bahasa adalah merangkai pengalaman yang disebut dengan
fungsi tekstual. Fungsi tekstual bahasa adalah sebuah interpretasi bahasa dalam
fungsinya sebagai pesan. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik
Universitas Sumatera Utara
kepada bahasa itu sendiri, dalam arti bahwa bahasa berkaitan dnegan aspek situasional
dimana bahasa atau teks terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, fungsi titik temu
membuat bahasa atau teks relevan secara internal ke dalam bahasa itu sendiri
demikian juga secara eksternal kepada konteks atau situasi di mana bahasa itu
digunakan. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang untuk membedakan
sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual dan
pada sisi yang lain dari yang bukan teks sebagai bahasa terpisah dari yang lain.
2.5 Teks Translasi
Teks sebagai sarana untuk menyatakan suatu makna, gagasan, ide, pikiran
dalam bentuk bahasa yang tersusun atas kata, frase sampai pada klausa dan paragraf
perlu mendapat perhatian bagaimana makna teks tersebut dapat diekspresikan melalui
struktur atau tata bahasa sampai akhirnya dapat didengar atau dibaca orang lain.
Pengekspresian makna dari satu bahasa tentulah tidak sama cara atau srukturnya
dengan bahasa lain. Perbedaan struktur bahasa ini tidak hanya berkaitan dengan
masalah linguistik namun juga non linguistik seperti masalah budaya. Untuk dapat
memahami apa yang dimaksud dengan teks maka di bawah ini dibahas pengertian
teks.
2.5.1 Pengertian Teks
Saragih (2002) memberikan pengertian teks sebagai unit bahasa tertulis yang
diawali dengan huruf besar dan diakhiri dengan tanda baca. Kridalaksana (2001)
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak; (2)
deretan, kata, kalimat, dsb.; (3) bentuk bahasa tertulis, naskah.
Halliday dan Hassan (1976:1) menyatakan bahwa:
A text is a unit of language in use. It is not a grammatical unit, like a clause or sentences; and it is not defined by its size. A text is sometimes envisaged to be some kond of super-sentence, a grammatical unit that is larger than a sentence but it is related to a sentence in the same way that a is relateed to a clause, a clause to a group and so on. Sebuah teks adalah terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunannya. Unit-unit
bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun
tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Teks terkadang pula
digambarkan sebagai sejenis kalimat yang super yaitu sebuah unit grammatikal yang
lebih panjang daripada sebuah kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Jadi
sebuah teks terdiri dari beberapa kalimat sehingga hal itulah yang membedakannya
dengan pengertian kalimat tunggal. Selain itu, sebuah teks dianggap sebagai unit
semantik yaitu unit bahasa yang berhubungan dengan klausa yaitu satuan bahasa yang
terdiri atas subyek dan predikat dan apabila diberi intonasi final akan menjadi sebuah
kalimat.
Singkatnya, sebuah teks adalah sesuatu yang dihasilkan secara lisan atau
tulisan yang mempunyai makna. Sebuah rangkaian kata tidak menghasilkan teks. Teks
lebih dari itu. Sebuah teks bisa panjang atau pendek tapi teks diciptakan atau
dihasilkan untuk membuat makna. Berdasarkan definisi tersebut, apakah isi tabel di
bawah ini adalah –Teks A, B, dan C?
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.15: Perbandingan Teks Berdasarkan Ukuran Panjang Kalimat
A B C
Ouch Cow mouse sweet house were sea anger
It was in the middle of June when they first started to work on the house. It is now late November and the house still looks like it did before. Nothing seems to have progressed.
Teks ‘A’ bisa menjadi sebuah teks atau bisa juga hanya serangkaian huruf. Teks A
dapat dimaksudkan untuk membawa makna - bunyi atau ekspresi rasa sakit bagi
sebagian orang. Teks A bisa juga menjadi kata “Touch” dengan alfabet ‘T’ yang
hilang dan karena itu sekarang tak bermakna atau hanya huruf yang tertera tanpa
makna yang dimaksudkan. Pendapat yang sama juga terhadap teks B dan C.
Selanjutnya, untuk memberikan makna, sebuah teks dihasilkan untuk
melakukan fungsi tertentu. Ide teks ini sejalan dengan Teori Fungsional Bahasa yang
diajukan oleh Halliday dan Buhler. Apakah kita menulis untuk fungsi atau alasan
tertentu? Kita menulis untuk menuangkan pikiran kita di atas kertas, untuk
menyatakan kepada orang lain tentang norma-norma dan aturan-aturan, untuk
mengajar orang lain suatu perihal tertentu, untuk mengeksplorasi berita tertentu, untuk
mengekspresikan perasaan, untuk menyatakan kesulitan-kesulitan kita dan membuat
kreativitas kita mengalir dan untuk tujuan-tujuan lainnya. Kita menulis ketika kita
tidak cukup mampu mengutarakannya secara lisan. Terkadang, kita menulis dengan
beberapa tujuan. Misalnya, kita bisa menulis untuk mempromosikan sebuah produk
yang kita inginkan pelanggan beli dan mengkonsumsinya. Pada saat yang sama, kita
memberikan mereka informasi sehingga mereka dapat membuat pilihan yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah contoh iklan minuman kesehatan menampilkan gambar segelas
minuman jus berwarna yang bagus dan bersama dengan tulisan tentang manfaat apa
yang dapat diberikan minuman tersebut kepada pelanggan yang meminumnya. Pada
teks yang sama, penghasil minuman tersebut bisa memasukkan komposisi minuman
dan tulisan tentang kebaikan komposisinya. Penulis teks berusaha membujuk pembaca
untuk membeli minuman itu dan terakhir, penghasil minuman memberikan informasi,
walaupun informasi itu bisa membantu untuk membujuk para pembaca.
Sebuah buku teks sains yang ditulis untuk mengajarkan atau
menginformasikan pembaca tentang suatu ilmu pengetahuan bisa berisi ilustrasi visual
yang “cerah” dengan tulisan di bawah gambar sebagai tambahan charts, grafik dan
diagram. Apakah kartun tersebut menampilkan hal yang lucu dan tidak serius? Penulis
dan penerbit bisa menyatukan tayangan visual tersebut untuk membujuk pembaca
sehingga merasa mudah memahami ilmu pengetahuan atau untuk menunjukkan ilmu
pengetahuan tidak berarti membosankan (Mahanji dan Moidjie, 2006).
2.5.2 Pengorganisasian Teks
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa teks adalah unit semantik yang
mempunyai makna. Pada umumnya, konstruksi makna dalam teks diakibatkan oleh
dua level: Struktur Makro dan Mikro. Bagaimana penulis teks merangkaikan kata-kata
dan visual dan menyatakan ide, pesan, informasi, emosi dan lain-lain direfleksikan
dalam teks. Dengan kata lan ada banyak komponen yang membantu memberikan
makna kepada teks; sebagian komponen tidak beraturan dan sebagian lagi sifatnya
Universitas Sumatera Utara
lebih beraturan. Di sini dijelaskan makna apa yang dimasukkan ke dalam teks pada
tiap-tiap dua level Struktur Makro dan Mikro.
Struktur Makro teks menggunakan susunan ideasional dan format. Struktur
Makro dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana penulis teks
menyusun idenya?” Sebaliknya, Struktur Mikro menggunakan struktur gramatikal dan
kalimat dalam uraiannya. Struktur Mikro dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan
“jenis struktur kalimat, gramatikal dan kata apa yang digunakan penulis?’.
2.5.2.1 Struktur Makro Teks
Struktur Makro Teks dapat dianalisis dengan cara pertama dengan memahami
susunan ideasionalnya. Ketika tahap ini telah dilakukan maka akan dianalisis format
dalam teks dan implikasinya terhadap penerjemahan.
Dari perspektif ideasional, teks apapun disusun secara deduktif atau induktif.
Jika teks disusun secara deduktif, urutannya bergerak dari umum ke khusus, misalnya
teks berikut ini.
Many countries have become aware that tourism is the best resource for boosting economy and employment. Economist find it an excellent and easy means to assure the welfare and wellbeing for a country population; it allows tourist in general and the rich in particular to come in the country and spend their money in return for piece of mind, happiness, fun, amenity, healthy environment, good service or safe exploration. It has become an important resource for developed countries such as United State of America, United Kingdom, France, Spain, etc.; and developing countries like China, Egypt, Thailand, Malaysia, etc.
Paragraf di atas memberikan pembaca ide utama tentang keseluruhan teks
yakni ide utama seluruh peristiwa dinyatakan di awal; dan yang mengikuti setelahnya
Universitas Sumatera Utara
adalah rincian penjelas yang menjelaskan lebih khusus dan rinci ide utama. Inilah
yang disebut dengan susunan deduktif. Penulis bisa berpindah dari ide umum
penjelasan dan ilustrasi melalui penambahan, kontras, contoh, dan lain-lain.
Cara lain menulis teks yakni memulainya dengan penjelasan khusus dan
kemudian bergeser ke penjelasan umum. Inilah yang dimaksudkan dengan susunan
teks yang induktif dimana penulis memberikan penjelasan khusus tentang observasi
yang menuntun pada penjelasan umum, misalnya teks induktif berikut ini.
Zainul had a dream to become a gynaecologist or pilot from childhood. Although he did well in schools in science and mathematics in the secondary certificate exam, he was offered a scholarship to study asian studies in University of Paris. Poor that his family was, he was compelled to accept the offer. Now he has graduated and become a brilliant lecturer in University of Malaya. Therefore, he understands that life is not what you want to be, it is what it is. Teks ini dimulai dengan penjelasan khusus tapi berakhir dengan penjalasan
umum atau ide utama. Apakah teks bergerak dari penjelasan umum ke khusus atau
dari penjelasan khusus ke umum akan tergantung pada penulis dan maksud mereka.
Ada beberapa cara menulis yang diterima oleh kelompok-kelompok tertentu
(kelompok yang dikategorikan menurut daerah geografis, suku bangsa, profesi, suai
dan sebagainya). Terdapat norma-norma tertentu bagi kelompok tertentu. “Budaya’
tiap-tiap kelompok masyarakat bisa menjadi faktor penentu bagaimana tiap-tiap
kelompok mengutarakan ide dan pikiran mereka. Anggota-anggota kelompok tertentu
mengutarakan maksud mereka dengan cara yang sama baik dalam bentuk lisan
maupun tulisan.
Universitas Sumatera Utara
Cara berbahasa yang sama baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dapat
dibuktikan dengan mengamati masyarakat Melayu, dan cara berfikir mereka dan cara
mereka berbahasa. Misalnya penutur Melayu dari Penang mengenali contoh
komunikasi berikut ini.
Ketika Mengunjungi Rumah Melayu di Penang
Tuan Rumah : Dudok sat nah. Nak buat kopi.
(Duduklah sebentar. Mau membuat kopi)
Tamu : Tak payahlah susah-susah. Dah minum dah tadi.
Tuan Rumah : Tak pa. Bukan ada apa-apa, air kosong saja.
Tamu : (Diam)
Ketika tuan rumah kembali dengan kopi, percakapan berlanjut dengan
perlahan, dimulai dengan tamu mengutarakan maksudnya, seringkali dengan cara
berbasa-basi (tidak langsung ke maksud utama). Tamu bisa memulai pembicaraan
dengan pertanyaan tentang keluarga, cuaca, lingkungan/tetangga, pekerjaan, dan lain-
lain. Komunikasi fatis ini bisa memakan waktu sebentar sebelum tamu mengutarakan
maksudnya-untuk meminjam sesuatu, atau meminta rekomendasi pekerjaan atau
meminjam mobil tuan rumah atau hanya sekedar berkunjung.
Contoh di atas bertujuan untuk menunjukkan budaya orang Melayu (secara
umum), melihat mereka menghindari “bahasa yang kasar”. Tergantung pada hubungan
kedekatan tamu dengan tuan rumah. Tuan rumah dapat memprediksi bahwa
percakapan dibangun untuk sesuatu. Bagian percakapan ini disebut “Percakapan fatis”
oleh sebagian sosiolinguis. Untuk tujuan apa pun suatu percakapan dipakai, susunan
Universitas Sumatera Utara
ide, maksud, rencana dan perasaan digunakan sebagai hal yang umum oleh orang
Melayu. Oleh karena itu, jika dua orang Melayu melakukan percakapan, mereka tidak
menemukan kesalahan memahami maksud tujuan mitra bicaranya. Namun jika salah
seorang diantaranya adalah orang Melayu dan satu lagi adalah orang asing yang tidak
berbagi pemahaman yang sama. Komunikasi ini akan berakhir dengan cara yang
berbeda. Orang asing tersebut bisa mengakhiri percakapan dengan merasa tersinggung
karena dibiarkan sendiri oleh orang Melayu sebagai Tuan rumah, sementara tuan
rumah mengira orang asing ini tidak mempunyai sopan-santun jika merespon dengan
mengatakan, “Ya, Saya nak kopi.” Atau dengan mengatakan, “Saya tak mau kopi,
saya perlu berbicara dengan anda.
Cara teks tertulis Melayu disusun seperti cara teks lisan Melayu disusun,
karena itu bisa beraneka ragam teks bahasa Inggrisnya. Contoh lainnya
keberanekaragaman tersebut adalah bukti pada teks yang dihasilkan oleh para
praktisioner yang sah dan novelis, dan pratisioner medis dan orang-orang di
periklanan (Mahadi dan Moindie, 2006).
2.5.2.2 Struktur Mikro Teks
Selain struktur makro, memperhatikan struktur mikro juga penting dalam
terjemahan. Pada dasarnya, analisis mikro struktur melibatkan pengujian sintaksis dan
leksis teks. Seringkali terdapat jenis teks yang menggunakan struktur sintaktis ke arah
akhir tertentu. Misalnya legislasi mengandung banyak pernyataan dalam kalimat pasif.
Dalam legislasi, orang yang merancang peraturan atau undang-undang tidak lah
Universitas Sumatera Utara
sepenting peraturan atau undang-undang yang harus dipatuhi masyarakat atau
pembaca. Bentuk imperatif, misalnya, digunakan dalam teks sains misalnya lembaran
dokumen keselamatan penggunaan suatu materi yan bertujuan untuk menginstruksi
pembaca tentang cara penggunaan bahan kimia yang benar. Bentuk imperatif
menyampaikan pesan /instruksi dengan cara yang cepat, tepat dan ringkas. Singkatnya,
dalam iklan kata-kata dan pemakaian kata adalah suatu norma.
Struktur kalimat bisa dirubah dan kata-kata bisa bervariasi atau diubah untuk
memberi makna yang berbeda, untuk membuat nada bahasa yang berbeda dan untuk
melakukan fungsi yang berbeda. Meminta seseorang untuk duduk bisa menggunakan
bentuk-bentuk bahasa seperti berikut ini:
1) Please take a seat.
2) Please have a seat.
3) Have a seat.
4) Sit!
5) Would you like to sit?/ Would you like to take a seat?
6) Take a seat.
Bentuk pertama “peraturan atau undang-undang” digunakan dalam dialog pada
suasana resmi tapi terlalu resmi jika digunakan di antara Teman-Teman, juga bersifat
terlalu instruktif .
Bagaimanakah “Have a seat” diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu?
Haruskah “Silahkan duduk?” atau “Duduklah” atau “duduk” atau secara literal
“Ambillah kursi” atau “Ada kursi?”. Jika kita menerjemahkan teks lisan, kita bisa
Universitas Sumatera Utara
menentukanpilihan dengan lebih mudah karena petunjuknya bisa didapat dari intonasi,
titinada suara pembicara. Dalam teks tertulis, maka analisis struktur makro berkaitan
dan sejalan dengan analisis struktur mikro.
Dalam penerjemahan, jika tidak menggunakan aspek sintaksis dan lesikal ini
maka akan membuat terjemahan kurang efektif. Penerjemah dapat membuat
terjemahan yang maknanya kurang atau berlebih dari teks bahasa sumber (disebut
undertranslation dan overtranslation), bahkan lebih buruk lagi yaitu salah
menerjemahkan.
Analisis leksis penting disesuaikan dengan struktur makro untuk memastikan
teks bahasa target sama koherensi dan kohesif nya dengan teks bahasa sumber.
Konsep koherensi dan kohesi dijelaskan sedikit lebih banyak.
2.5.3 Jenis Teks
Di samping keberanekaragaman menurut “kelompok partisipan komunikasi”,
susunan teks beraneka ragam menurut fungsi teksnya. Dalam konteks ini, variasi ini
melahirkan adanya jenis teks.
Banyak linguis menyatakan bahwa ada banyak jenis – jenis teks yang
melakukan berbagai fungsi dan untuk berbagai jenis pembaca bahasa target. Tiap-tiap
linguis bisa mengkategorikan teks ini dengan cara yang berbeda. Misalnya menurut
fungsi teks, menurut tujuan komunikasi, dan partisipan dalam komunikasi. Mereka
menggunakan istilah misalnya “genre”, “register”, dan “style” yang berbeda dengan
jenis teks atau untuk memperluasnya, dan penggunaan teks tersebut bisa bermacam-
Universitas Sumatera Utara
macam satu dengan yang lain karena perbedaan konsep-konsep yang dicakup dalam
ide teks tersebut atau disebabkan apa yang dilihat linguis sebagai istilah yag tepat.
Apapun istilah dan cara yang dipakai linguis untuk mengklasifiksaikan teks,
para penerjemah tidak perlu terlalu atau sangat memperhatikannya. Apa yang lebih
penting bagi para penerjemah adalah pengetahuan bahwasanya penulis menulis untuk
tujuan yang berbeda dan untuk pembaca bahasa target yang berbeda. Dengan
demikian, penulis melakukan cara tertentu dalam menulis untuk mencapai tujuan
mereka. Sebagai penerjemah, perlu diperhatikan ciri-ciri teks tertentu untuk membuat
kita mampu mentransfer pesan yang dikodekan dalam teks bahasa sumber.
Jenis teks adalah salah satu yang menjadi perhatian penerjemahan dengan
pengertian bahwa kata, struktur dan wacananya tergantung pada medan dan status
tersebut digunakan. Halliday dan Hasan (1976) menegaskan bahwa teks bisa secara
lisan maupun tulisan.
Kata ‘Teks’ dalam linguistik merujuk pada “teks apapun, yang secara
keseluruhan sebagai satu kesatuan.” Newmark (1981) menyatakan teks dibagi ke
dalam (1) Teks Ekspresif, (2) Teks Informatif, (3) Teks Vokatif. Teks Ekpresif
mencakup tulisan kesusastraan misalnya: puisi, drama, novel, cerita pendek, dan lain-
lain; Teks Informatif mencakup laporan sains, dan teknis, buku teks; dan Teks Vokatif
berkaitan dengan tulisan polemik misalnya: publisitas, pemberitahuan, hukum dan
peraturan, propaganda, dll. Walaupun demikian, Newmark menegaskan bahwa teks
apapun itu apakah ekspresif, informatif, atau vokatif bisa masuk ke dalam bahasa
standard dan tidak standard, dimana hal in harus diperhatikan oleh penerjemah.
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya Newmark (1981), Reiss (2001) mengklasifikasikan jenis teks
dari perspektif penerjemahan komunikatif. Reiss mengkategorikan jenis teks ke dalam
(1) informatif, (2) ekspresif, dan (3) Operatif. Teks Informatif merepresentasikan
objek dan fakta; Teks Ekspresif mengekspresikan sikap atau perilaku pengirim; dan
Teks Operatif membuat suatu seruan/permohonan kepada penerima teks.
Crystal dan Davy (1969) menyatakan bahwa gaya bahasa (style) tergantung
pada jenis teks. Bagi mereka, jenis teks tergantung pada bidang wewenang mereka
mengklasifikasikan teks ke dalam teks percakapan, jurnalistik, agama, sain, dan
sebagainya.
Hal penting lainnya yang perlu diingat dalam penerjemahan adalah bahwa
biasa ditemukan teks yang mempunyai fungsi dominan, tujuan dan beberapa subfungsi
lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam iklan kesehatan sebelumnya teks bisa bersifat
persuasif, tapi juga sekaligus informatif. Juga terdapat teks yang mempunyai
subfungsi, misalnya ditemukan dalam teks legal yang mencakup teks yang berkaitan
dengan praktek hukum.
Halliday (1978) memahami teks mempunyai medan makna, pelibat dan
diaktualisasikan ke dalam modus. Analisis struktur makro akan dipandu dengan baik
dengan menggunakan ketiga konsep ini. Medan makna adalah lokasi atau tempat teks
ini dihasilkan dan digunakan, pelibat tergantung pada pembaca dan konsumen teks
dan jarak yang penulis ciptakan antara dirinya dan pembacanya. Dengan istilah
pelibat, komunikasi dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk formal, atau semi-formal,
non-formal atau koloqial. Modus adalah bentuk teks tersebut misalnya apakah teks
Universitas Sumatera Utara
tersebut ditulis untuk dibaca atau teks lisan yang dibuat ke dalam tulisan sebagai
referensi atau ditulis untuk diujarkan, dan sebagainya.
Aspek-aspek ini menjadi bukti yang lebih banyak, ketika analisis mikrostruktur
dilakukan yang membantu kita untuk membuat dan menyesuaikan jenis teks, untuk
menentukan prosedur penerjemahan yang paling tepat sehingga aspek-aspek ini dapat
dipindahkan dalam bahasa terjemahan.
Setelah selesai dengan analisis struktur makro, maka dapat dilanjutkan aspek
teknis dan konkret struktur makro. Komponen-komponen teks sebaiknya diperiksa
apakah terdapat unsur-unsur berikut ini.
(1) Teks terdiri dari daftar isi, kata pengantar, lampiran, bibliografi, ucapan terima
kasih, diagram, uraian singkat isi buku dan sampul depan.
(2) Dituliskan dalam bab, paragraf, menggunakan bentuk visual seperti gambar,
tabel, dan sebagainya.
(3) Jika teks diketik apakah ukuran dan jenis huruf teks semuanya sama dalam
teks dan dipakai secara konsisten.
(4) Apakah unsur-unsur tertentu yang digunakan dalam teks berulang dalam
seluruh isi teks – kutipan? Analogi? Puisi? Latihan? Kartun ? dan sebagainya.
Seluruh komponen ini menghasilkan susunan ideasional dan format,
penerjemah bisa mnggabungkan semua jenis informasi –penulis, tahun buku
diterbitkan, pembaca yang dituju (apakah khusus atau tersirat), tujuan teks, tahun
cetak ulang, informasi tentang penerbit, dan sebagainya. Pembaca bisa menanyakan
Universitas Sumatera Utara
apakah manfaat informasi teks ini baginya karena ada sebagian informasi yang
mungkin tidak berguna baginya. Sebagai contoh berikut ini.
Di suatu program iklan, “Old Spice” salah diterjemahkan karena penerjemah
gagal memahami dua hal yaitu konteks dan budaya.
Finally, I decided to give my father Old Spice.
Akhirnya saya berikan ayah saya rempah lama.
Tanpa konteks, terjemahan menjadi salah. Apakah terjemahan tersebut kedengaran
ganjil? Mengapa anda memberikan ayah anda rempah lama? Apakah tujuannya?
Apakah rempah lama bermakna khusus? Sekarang jika anda mempunyai konteks
seperti di bawah ini, bagaimanakah terjemahannya?
I didn’t know what to give him. What would be good for him? I gave him a wallet the year before. I thought and thought. Finally, i decided to give him Old Spice. Dengan konteks ini, bisakah teks diterjemahkan dengan lebih tepat?
Berdasarkan konteks dan petunjuk ekstra linguistik yang belum disebutkan di atas,
terjemahan yang paling memungkinkan untuk “Old Spice” adalah minyak wangi Old
Spice (Old spice perfume). Dari konteks yang diberikan dapat diduga orang yang
berbicara sedang mencari hadiah untuk ayahnya. Bisa kemungkinan hadiah atau
hadiah natal atau hadiah khusus untuk suatu kesempatan yang dirayakan setiap tahun.
Anda juga tidak akan berfikir bahwa seorang pria menginginkan rempah-rempah
untuk ulang tahunnya, apakah lama atau baru, kecuali ia adalah pria yang suka
memasak atau seorang koki.
Universitas Sumatera Utara
Agar tidak salah menerjemah, penerjemah sebaiknya memahami bahwa Old
Spice adalah minyak wangi pria. Berdasarkan pengetahuan dunia dan ekstra linguistik,
kita yakin Old Spice merujuk pada nama minyak wangi. Pada tahun 60-an dan 70-an
dulu terdapat minyak wangi yang dinamakan Old Spice yang sangat populer.
Singkatnya penerjemahan yang tepat tidak akan dapat dilakukan tanpa analisis struktur
makro teks, konteks situasi, konteks budaya yang terdapat di dalam struktur makro.
2.5.4 Konteks Situasi Teks
Halliday, McIntosh dan Stevens (1964) menyatakan bahwa konteks situasi
(register), ditinjau dari kerangka konseptual mempunyai tiga pokok bahasan yaitu
medan makna (Field), pelibat (Tenor) dan sarana (Mode). Menurut Halliday, dan
kawan-kawan (1964), medan, sarana, dan pelibat wacana adalah prinsip-prinsip yang
digunakan untuk memberi tafsiran konteks situasi teks atau wacana:
(1) Medan wacana adalah seluruh kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang
termasuk di dalamnya topik yang sedang dibicarakan, tujuan kegiatan
tersebut sehingga perlu dilakukan.
(2) Sarana Wacana adalah media yang dipilih partisipan untuk mengadakan
interaksi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, secara
spontan ataupun terencana, dan jenis genre atau sarana retoris dapat sebagai
narasi, didaktis, persuasif, basa-basi, dan lain-lain.
(3) Pelibat Wacana adalah jenis peran interaksi antara partisipan ketika
berhubungan dengan lawan bicara di dalam hubungan sosial, jenis-jenis
Universitas Sumatera Utara
hubungan dapat berupa permanen atau sementara tuturan yang dilakukan
antar-pelibat.
2.5.5 Kohesi dan Koheren
2.5.5.1 Kohesi
Kohesi adalah salah satu standard tekstualitas yang berkaitan dengan struktur
luar teks. Baker (1992) menjelaskan bahwa kohesi adalah rangkaian leksikal,
hubungan tata bahasa atau hubungan lainnya yang terjalin secara logis dalam struktur
luar. Hoed (1991) dan Swales (1990) menjelaskan kohesi sebagai properti teks yang
membantu pembaca atau pendengar memahami teks. Karena itu, papan arah penunjuk
jalan dalam teks berperan penting. Charolles (1978) menyatakan bahwa kohesi adalah
aspek yangsaling berkaitan dengan koherensi dalam pembuatan teks. Jadi kohesi dan
koherensi tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling membantu untuk dapat
mencapai logika dan keterhubungan. Dalam penerjemahan, perlu menangani kohesi
dengan hati-hati karena tiap-tiap bahasa mempunyai sarana kohesifnya masing-masing
(Callow, 1975). Halliday dan Hasan (1976) menjelaskan bahwa kohesi adalah aspek
tekstual non-struktural dan dikategorikan ke dalam referensi, substitusi, elipsis,
conjungsi dan leksikal. Kohesi dibuat berdasarkan kriteria-kriteria tersebut untuk
menunjukkan hubungan semantik eksternal antara pranggapan (presupposition) dan
diperanggapan (presupposed) di antara kalimat-kalimat teks, contohnya:
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.16: Teks dan Kategori Kohesi
Teks Kategori Kohesi
My daughter does physical exercises
every day. She wants to reduce her
weight.
Does the minister speak French
language? Yes, he does so.
You have said that. No, I haven’t.......
The spread of nuclear in the world poses
a danger to human being, the fauna and
flora. Thus many people have raised
their voices to stop it. But to no avail
since superpowers avail themselves the
right of possessing it.
Of course you know Nurhaliza. She was
the best student of our school. Now she
is a PhD candidate in medicine at the
University of London.
Referensi Kohesif : “she” merujuk pada
“my daughter”.
Substitusi Kohesif : “so” adalah
substitusi dari kata kerja “speak”.
Elipsis Kohesif : elipsis kata kerja
leksikal “said”.
Konjungsi Kohesif : menunjukkan
hubungan semantik kausalitas “thus” dan
pertentangan “but”
Leksikal : “student” dan ‘candidate
berpraanggapan “Nurliza” ; “university”
berkolokasi dengan “school”.
Saragih (2003) menjelaskan satu unit pengalaman dalam klausa dapat
dihubungkan dengan klausa lain sebagai unit pengalaman dengan hubungan makna.
Keterkaitan ini membentuk satu kesatuan yang disebut kohesi. Kohesi adalah ciri satu
Universitas Sumatera Utara
teks. Kohesi terbentuk dengan tautan makna antarklausa. Tautan ini direalisasikan
oleh empat alat kohesi (cohesive device), yaitu:
(1) perujuk (reference)
(2) elipsis/substitusi
(3) konjungsi (conjunction)
(4) kohesi leksikal (lexical cohesion)
Pautan makna antarklausa membentuk kesatuan yang disebut teks atau wacana.
Tautan dalam teks semakin erat jika semakin banyak alat kohesi yang digunakan
dalam teks. Dengan kata lain, teks yang padu ditandai dengan eksistensitas dan
intensitas variasi alat kohesi yang digunakan.
Kohesi juga merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan itu kohesi
adalah ‘organisasi sintaktik’. Organisasi sintaktik itu adalah merupakan wadah ayat-
ayat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian organisasi
tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Ini bermaksud bahwa kohesi adalah
hubungan di antara kalimat di dalam sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal
maupun daro segi tingkat leksikal tertentu. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan
kohesi yang baik, seorang penulis akan dapat menghasilkan wacana yang baik.
(1) Perujuk
Perujuk sebagai alat kohesi terdiri dari pronomina (pronoun), penunjuk
(demonstrative), dan perbandingan (comparatives). Pronomina adalah kata ganti diri
untuk orang seperti kamu, engkau, saya. Penunjuk menyatakan posisi partisipan atau
sirkumstan relatif kepada pemakai bahasa seperti ini, itu, di sini, di situ. Perbandingan
Universitas Sumatera Utara
meletkkan dua proses, partisipan atau sirkumstan atau lebih pada perspektif pemakai
bahasa dengan mendapat proses, partisipan, sirkumstan tertentu sama dalam, lebih
dalam kualitas dari yang lain, atau paling dalam kualitas dari sejumlah proses,
partisipan, sirkumstan yang lain, seperti besar, lebih besar, paling besar.
Perujukan merujuk kepada unsur sebelum atau selepas yang berkaitan dengan
hubungan semantik. Perujukan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu perujukan eksoforik
dan perujukan endoforik. Perujukan eksoforik berasal dari kata “ekso” yaitu “keluar”
yang berarti apabila kita tidak dapat menemukan rujukan dalam teks maka kita akan
keluar dari teks agar dapat memahami teks tersebut. Selain itu perujukan eksoforik ini
digunakan untuk merujuk kepada hal-hala yang mempunyai kaitan dengan situasi
yang berkembang di depan penutur ataupun pendengar yang menerima pesan ataupun
informasi yang telah disampaikan kepadanya.
Halliday dan Hasan (1976) mengatakan bahwa perujukan eksoforik ini
menerangkan tentang situasi yang merujuk kepada sesuatu yang telah didentifikasi
dalam sesuatu konteks bagi sebuah situasi. Sedangkan Harimurti Kridalaksana (1982)
memberikan pengertian bahwa perujukan eksoforik ini adalah fungsi yang
menunjukkan kembali kepada sesuatu yang ada di luar daripada sebuah situasi. Hal ini
berarti bahwa perujukan eksoforik ini adalah merujuk kepada hal-hal yang di luar
daripada konteks.
Menurut Azmi Abdullah (2005) perujukan eksoforik terbagi ke dalam tiga
jenis yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Konteks Segera
Dalam konteks segera atau dikenal dengan Immediate Context, kita dapat
langsung memahami maksud kalimat itu melalui pemahaman yang berdasarkan dua
hal. Pertama, pengetahuan shared knowledge dalam contoh kalimat, “Keadaan
ekonomi dunia sekarang gawat. Oleh karena itu, pemerintah mengambil beberapa
langkah yang praktis untuk menangani masalah tersebut.“ Kedua, pengetahuan dunia
wacana dalam contoh kalimat, “Terlihat dari kelakuannya, Pangeran Charles marah
kepada Putri Diana”. Dari contoh kalimat tersebut dapat dilihat bahwa ada kalimat
atau wacana yang tidak segera memberikan pemahaman atau maksud kalimat tersebut
sehingga memerlukan rujukan terhadap konteks sebelumnya.
b. Perujukan Endoforik
Perujukan endoforik ini merujuk kepada apa yang hanya ada di dalam sebuah
teks. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Halliday dan Hasan (1976) yang
mengatakan bahwa perujukan endoforik ini merujuk hanya kepada teks. Harimurti
Kridalaksana (1982) memberikan pendapat bahwa perujukan endoforik ini adalah hal
atau fungsi yang menunjukkan kembali pada hal-hal yang ada dalam wacana,
termasuk pada perujukan anaforik dan perujukan kataforik.
c. Perujukan Anaforik
Perbedaan antara perujukan anaforik dan kataforik dilihat dari letak perujuk
dan penganjur. Letak “perujuk” dalam perujukan anaforik adalah di belakang
“penganjur”.
Universitas Sumatera Utara
(2) Elipsis/ Substitusi
Pertautan yang erat antar klausa terbentuk dengan pelesapan dan penggantian
unsur klausa. Elipsis menunjukkan penghilangan atau pelesapan bnetuk linguistik
dengan bentuk linguistik yang hilang itu dapat ditemukan atau dijajagi dari konteks.
Dalam klausa Amin membeli buku dan pensil untuk anaknya sesungguhnya dilesapkan
sejumlah bentuk linguistik. Bentuk lengkap teks itu adalah Amin membeli buku untuk
anaknya dan Amin membeli pensil untuk anaknya. Dengan demikian, bentuk linguistik
yang dilesapkan atau benyuk elipsis adalah “untuk anaknya” dan “Amin membeli.”
Sama dengan elipsis, substitusi juga menunjukkan penghilangan atau
pelesapan bnetuk linguistik. Perbedaannya adalah bentuk linguistik yang hilang itu
diganti dengan bentuk linguistik lain. Dalam teks Kami membeli buku; Ali juga
membeli itu yang dilesapkan dalam klausa kedua adalah buku; tetapi kata buku diganti
dengan itu. Sesungguhnya bentuk lengkap teks itu adalah Kami membeli buku; Ali
juga membeli buku.
(3) Konjungsi
Konjungsi berfungsi menghubungkan dua klausa atau lebih. Dalam sistemnya
konjungsi dapat dirinci berdasarkan makna, wujud dan fungsinya. Menurut maknanya,
konjungsi terdiri dari konjungsi tambahan, perbandingan, waktu dan akibat atau
konsekuensi yang masing-masing masih dapat dirinci lebih lanjut, seperti dalam bagan
berikut. Secara rinci, makna logis konjungsi masih dapat dibagi ke berbagai sub
bagian, seperti diringkas dalam bagan dengan kata, grup, atau frase sebagai
realisasinya.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.17: Konjungsi dalam bahasa Indonesia
No. Makna Submakna Realisasi Konjungsi
1
2
Tambahan
Perbandingan
Waktu
Konsekuensi
Penambahan
Pilihan
Kesamaan
Perbedaan
Bersamaan
Berurutan
Tujuan
Kondisi
Akibat
Pengecualian
Cara
Konklusif
Dan, lagi pula, di samping itu
Atau, sebagai ganti, jika tidak..lalu..
Sama dengan, yakni, seperti,.......
Tetapi, kecuali, berbeda dengan.....
Ketika, pada saat yang sama, sementara
itu,......
Lalu, akhirnya,sesudah itu.
Sampai, sehingga, supaya,......
Lalu, jika, kalau tidak,............
Jadi, sebagai simpulan, sebab,..
Namun demikian, bagaimanapun,
tetapi,....
Dengan cara ini, dengan, (dan) lalu,.
Jadi, dengan demikian, sebagai
simpulan,...
(4) Kohesi Leksikal
Tautan antar- atau intra klausa kompleks dapat terjadi oleh ikatan makna unsur
leksikal. Tautan berdasarkan makna leksikal ini disebut kohesi leksikal yang terdiri
atas ulangan, sinonim, antonim, hiponim, meronim, dan kolokasi.
Universitas Sumatera Utara
a. Ulangan
Dua klausa atau lebih akan bertaut jika satu kata dalam klausa pertama diulang
dalam klausa kedua dan seterusnya. Pengulangan leksikal dapat dibedakan atas dua
jenis yaitu ulangan penuh atau sempurna dan ulangan sebagian atau variasi.
Ulangan penuh menunjukkan bahwa unsur leksikal diulang sepenuhnya
sebagaimana ditampilkan pertama sekali atau diperkenalkan, seperti buku diulang
sebagai buku lagi. Berbeda dengan ulangan penuh, ulangan sebagian, variasi, atau
turunan menunjukkan bahwa satu kata yang ditampilkan pertama sekali atau saat
diperkenalkan diulang kembali dengan variasi bentuk. Dengan kata lain, ulangan
sebagian merupakan penampilan bentuk lain dari satu kata sebagai turunan dari kata
itu. Dengan pengertian ini, kata “menulis” dipandang sebagai diulang dengan
pemmunculan leksis seperti “ditulis, penulis, tulisan, menulisi, menuliskan, penulisan,
dan kepenulisan. Berikut adalah teks dengan contoh pemakaian ulangan.
Ali membeli rumah. Rumah itu disewakannya kepada udin
(rumah: ulangan penuh)
Ali membeli rumah. Pembelian itu mengecewakan isterinya karena lingkungan
perumahan itu tidak baik.
(membeli-pembelian, rumah-perumahan: ulangan sebagian atau variasi)
b. Sinonim
Pemakaian dua kata yang bersinonim dalam dua klausa membuat kedua klausa
bertaut. Sinonim dibatasi sebagai dua kata yang mempunyai sejumlah hal (pemakaian)
sama. Batasan ini mengisyaratkan bahwa dua kata yang bersinonim juga mempunyai
Universitas Sumatera Utara
perbedaan. Pada dasarnya, tidak ada dua kata yang identik dalam arti. Jika dua kata
berbeda dalam bentuk (tulisan atau ucapan), kedua kata itu tidak identik dalam arti.
Walaupun kata ‘kawin” dan “nikah” bersinonim dengan tes sederhana dapat
ditunjukkan bahwa mas kawin berterima sementara *mas nikah tidak berterima;
demikian juga “akad nikah’ berterima, sedangkan *akad kawin tidak berterima.
c. Antonim
Dua unsur leksikal dikatakan berlawanan atau antonim jika makna
pertentangan atau perlawanan wujud di dalam kedua kata itu. Dengan dua kata
berlawanan dua klausa atau lebih dapat bertaut. Antonim terbagi atas dua bagian
berdasarkan sifat perlawanannya, yaitu berlawanan dalam dua hala (binary atau
categorical) dan dalam rentang (cline atau continuum).
Berlawanan dua hala adalah unsur leksikal yang hanya memiliki satu unsur
leksikal lain sebagai lawannya. Kata seperti itu disebut juga kata yang berlawanan
secara kategorikal. Dengan sifatnya yang dua hala atau kategorikal apabila sesuatu
berada dalam sifat kata tertentu sesuatu itu tidak berada dalam sifat kata lain yang
menjadi lawannya. Sebaliknya bila sesuatu tidak berada dalam sifat kata itu sesuatu itu
berada dalam sifat kata yang menjadi lawannnya. Misalnya lawan mati adalah hidup.
Seorang yang mati harus tidak hidup, sebaliknya seorang yang hidup harus tidak mati.
Berlawanan dalam rentang menunjukkan bahwa satu unsur leksikal memiliki
sejumlah kata sebagai lawannya. Sebagai contoh, lawan dari panas tidak selamanya
dingin. Beberapa kemungkinan dapat menjadi lawan kata itu seperti sejuk, beku.
Universitas Sumatera Utara
d. Hiponim
Hiponim menunjukkan hubungan ‘anggota-kelompok.’ Dua kata atau lebih
merupakan hiponim jika satu kata merupakan anggota dari kata yang menjadi grup
atau kelompoknya. Dengan kata lain, hiponim merupakan rincian atau anggota dari
satu kelompok, misalnya hubungan antara bunga dengan ros, dahlia, mawar, atau
kana. Dengan pengertian yang sama, kata hewan mencakup anggota sebagai
hiponimnya seperti kutu, kecoa, semut, ikan, ular, tenggiling, kera, beruang, kuda,
harimau dan gajah. Hubungan sesama anggota hiponim merupakan hubungan
horizontal yang disebut kohiponim.
e. Meronim
Kata dengan pertautan meronim dengan yang lain menunjukkan bahwa kata itu
adalah bagian atau unsur dari kata yang lain yang lebih luas cakupannya. Dengan kata
lain, dalam meronim terdapat hubungan ‘bahagian-keseluruhan’, seperti hubungan
antara tanaman dan hiponimnya akar, batang daun, cabang dan bunga. Hubungan
meronim ini adalah hubungan vertikal. Hubungan sesama bahagian atau unsur, seperti
dalam tanaman:
d. Kolokasi
Kolokasi merupakan hubungan probabilitas dalam pemunculan antara dua kata
atau lebih. Berbeda dengan hubungan arti dalam sinonim, antonim, hiponim dan
sinonim, kolokasi menunjukkan kemungkinan pemunculan satu kata dengan kata lain.
Dengan demikian, jika satu kata muncul dalam satu klausa, kata lain sangat besar
kemungkinannya untuk muncul di klausa kedua atau berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam bahasa Inggris kata ‘snow’ dikatakan berkolokasi dengan ‘white’
karena begitu kata ‘snow’ muncul di dalam klausa pertama dalam satu teks, kata
‘white’ besar kemungkinannya untuk muncul di klausa berikutnya. Kata ‘ice’
berkolokasi dengan kata ‘cold’ demikian juga ‘friend’ berkolokasi dengan kata
‘relation’, dan kata ‘family’ dengan ‘neighbourhood.’
Di dalam bahasa Indonesia dapat diasumsikan bahwa kata ‘darah’ berkolokasi
dengan kata ‘merah’. Demikian juga kata ‘hujan’ berkolokasi dengan kata ‘deras’ atau
‘gerimis.’ Dalam pola hubungan yang sangat erat, satu kata langsung dengan yang lain
dengan membentuk satu kesatuan, seperti antara ‘pertumpahan’ dan ‘darah’ menjadi
‘pertumpahan darah’; demikian juga ‘naik daun’, ‘di atas angin’, ‘sanak saudara’,
‘beranak pinak’, ‘maju mundur’ dan ‘hidup mati.’
2.5.5.2 Koherensi
Koherensi adalah peristiwa yang tersusun secara logis dalam teks. Susunan
logis dapat digunakan untuk membuat makna dalam bahasa. Baker (1992) menyatakan
bahwa koherensi berkaitan dengan hubungan konseptual dan diberi makna melalui
pengetahuan intrinsik teks dan pengetahuan ekstrinsik yaitu pengetahuan encyclopedia
pembaca. Hoey (1991) menyatakan koherensi adalah properti teks yang dapat
dievaluasi oleh pembaca. Charolles (1979) menjelaskan bahwa koherensi berhubungan
dengan teks yang menggunakan struktur makro dan mikro. Misalnya:
My father went to the Bumiputera bank. He was fishing there. Then he turned
off the light and slept.
Universitas Sumatera Utara
Teks di atas tidak koheren karena tidak ada kelogisan dalam rangkaian
peristiwa atau proposisi-proposisinya. Tidak ada hubungan antara bank dan fishing
(memancing). Juga tidak ada hubungan antara ‘fishing’ (memancing) dan ‘turning off
the light’ (mematikan lampu). Masalah tersebut adalah aspek-aspek yang tergantung
pada kelogisan proposisi. Tetapi jika penerjemah tidak mempunyai pengetahuan
duniawi yakni dia bukan orang malaysia dan belum pernah ke Malaysia, maka ia bisa
mengira bank Bumiputera adalah nama sungai dan jadi ayahnya memancing di sana.
Konsep yang salah tersebut terjadi ketika penerjemah tidak mempunyai pengetahuan
yang baik tentang dunia bahasa sumber. Karena itu penerjemah harus berhati-hati
dengan hal tersebut karena bisa menyebabkan tidak koheren.
Enkvist (1990) mengklasifikasikan koherensi ke dalam tujuh kategori yaitu :
(1) Hubungan antara koherensi dan kohesi (struktur dalam dan luar teks dan
tekstur).
(2) Pesan dan metapesan (pesan tentang peasn yang diekspresikan oleh sarana
paralinguistik dan interaksi).
(3) Pengaruh interpretasi (pengetahuan yang sama antara penulis, interpreter, dan
situasi)
(4) Relevansi konteks situasional (konteks dan interpretasi)
(5) Pengetahuan dan interpretabilitas reseptor (pengetahuan linguistik dan empiris)
(6) Strategi teks dan kategori (jenis teks), dan
(7) Strategi, struktur dan proses (gaya bahasa tulisan).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Budaya dalam Penerjemahan
Budaya, yang bertentangan dengan barbarisme, adalah cara pandang, berfikir
dan persepsi yang beradab dan berbudi dalam suatu masyarakat. Karena itu budaya
adalah sarana bagi bahasa apapun. Perusakan menara Babel telah telah menyebabkan
perbedaan bahasa dan budaya. Derrida (1985) menyatakan bahwa suku Semetic yang
ingin memaksakan bahasa mereka kepada semua suku, tapi dekonstruksi menara
tersebut merusak impian ini sehingga menambah kebingungan dan perbedaan bahasa
mereka disebabkab oleh kurangnya komunikasi dengan menggunakan budaya dan
leksis.
Perbedaan bahasa dan budaya bisa menjadi masalah kajian dan penelitian
dalam penerjemahan. Budaya merupakan unsur yang penting dalam penerjemahan.
Misalnya:
“Let’s make a toast!”
Terjemahan (mari kita bakar roti!)
Apakah terjemahan “Let’s make a toast!” adalah Mari kita bakar roti (Literal:
Let us toat bread) atau Mari kita minum merayakannya (Literal: Let us drink to
celebrate it) akan sangat tergantung pada konteks ujaran tersebut. Dalam film dimana
satu cuplikan menampilkan sekelompok orang berkumpul bersama, sambil memegang
gelas dan salah seorang diantaranya menuangkan sebotol minuman, subjudul yang
dibaca “Mari kita bakar roti” sangatlah diluar dari konteks peristiwa tersebut. Jika
penerjemah belum menonton film tersebut, membuat terjemahan yang salah ini sangat
dapat dimengerti. Dengan kata lain, penerjemah hanya melihat baris kalimat pada
Universitas Sumatera Utara
skrip tanpa melihat filmnya, dia dapat membuat kesalahan ini dalam terjemahan.
Dengan adanya adegan film yang ditayangkan kepada penerjemah tersebut, akan ada
sedikit keraguan bahwa sekelompok orang diminta mengangkat gelasnya untuk
minum bersama dan karena ini terjemahan “mari kita bakar roti” adalah terjemahan
yang salah. Jika terdapat keraguan, maka tayangan sebaikanya disaksikan sehingga
memungkinkan penerjemah mengenali dan menyesuaikan makna situasi tayangan
tersbut. Dengan demikian, dapat diperoleh terjemahan yang benar dan tepat.
2.6.1 Pengertian Budaya Penerjemah
Setiap penerjemah mempunyai budaya. Budaya yang dimiliki penerjemah akan
mempengaruhi cara pemahaman makna teks yang akan diterjemahkan, sehingga
penerjemah perlu memahami budaya teks yang akan diterjemahkan. Jika penerjemah
tersebut adalah orang Indonesia dan akan menerjemahkan sebuah teks bahasa
Indonesia ke dalam teks bahasa Inggris maka diperlukan pemahaman budaya bahasa
Inggris. Dalam hal ini penerjemah tidak dapat memaksakan budaya penerjemah
sebagai orang Indonesia ke dalam teks bahasa Inggris karena kedua bahasa Indonesia
dan Inggris adalah dua bahasa yang berbeda budaya.
Sebaliknya, jika ia seorang Indonesia yang ingin menerjemahkan teks bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia maka tetap diperlukan pemahaman budaya bahasa
Inggris dengan tujuan teks bahasa Inggris tersebut dapat dipahami dengan baik
sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis teks bahasa Inggris tersebut. Dengan
memahami makna teks bahasa Inggris tersebut tergantung pada budayanya maka
Universitas Sumatera Utara
penerjemah akan dapat mentransfer makna yang ada dalam teks bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan budaya Indonesia. Dengan demikian, tidak
dapat dipahami dengan baik suatu teks jika budaya teks tersebut tidak ikut serta
dipahami dan setiap teks dengan bahasa yang berbeda maka akan mempunyai budaya
yang berbeda sehingga penerjemah perlu menyesuaikan teks tersebut sesuai dengan
budayanya masing-masing.
2.6.2 Aspek Budaya Penterjemah
Ada delapan aspek budaya yang harus diperhatikan saat hendak
menterjemahkan. Berikut ini adalah dua belas aspek tersebut:
(1) Perangkat Mental
Kata ‘house’ dalam bahasa Inggris seringkali dipadankan dengan kata ‘rumah’
dalam bahasa Indonesia meskipun kedua padanan itu tidak sama persis maknanya.
(2) Ungkapan-ungkapan Steriotip
Ungkapan steriotip ialah ungkapan-ungkapan seperti Good Morning, Good
Afternoon, Good Evening, atau Good Night. Padanan untuk ungkapan-ungkapan
semacam ini tampaknya mudah dan sederhana. Good Morning (bahasa Inggris)
biasanya dipadankan dengan selamat pagi. Tetapi sesungguhnya konsep morning
dalam bahasa Inggris tidak sama dengan konsep pagi dalam bahasa Indonesia. Ihwal
semacam ini kadang-kadang menimbulkan kesulitan bagi penerjemah.
Universitas Sumatera Utara
(3) Peristiwa Budaya
Tiap-tiap negara mempunyai apa yang disebut dengan Peristiwa Budaya. Di
Amerika Serikat orang mengenal apa yang disebut dengan Thanksgiving Day. Di
Jawa, terutama di Surakarta dan Yogyakarta, orang mengenal peristiwa-peristiwa
budaya seperti, Sekaten, Tedhak Siti, Kenduren dan sebagainya. Dalam peristiwa –
peristiwa budaya semacam itu penerjemah juga akan menjumpai banyak kesulitan-
kesulitan dalam menerjemahkannya karena dalam peristiwa-peristiwa budaya seperti
itu akan ditemukan istilah-istilah budaya yang tidak akan dapat ditemukan di negara
lain.
(4) Bangunan Tradisional
Biasanya di setiap negara sekarang ini banyak bangunan yang sama dengan
bangunan yang terdapat di negara lain. Fenomena semacam ini barangkali karena
adanya film-film di T.V. Namun demikian di masing-masing negara masih banyak
terdapat bangunan yang mempunyai ciri khas lokal, dan tidak terdapat di negara atau
di daerah lain. Misalnya di Cina terdapat apa yang disebut Tembok Cina, Kota
Larangan, sedang di Thailand terdapat apa yang disebut Pagoda, di Mesir dapat
ditemui Pyramid. Di Sumatera Barat ada rumah yang disebut Rumah Gadang, dan di
Jawa, khususnya di Sala dan Yogyakarta, ada bangunan atau bagian dari bangunan
yang disebut Pendhopo Agung, Gandhok, Gadri dan sebagainya. Bangunan seperti itu
dalam penerjemah menimbulkan banyak kesulitan.
Universitas Sumatera Utara
(5) Kekerabatan
Setiap bangsa di suatu negara mempunyai sistem kekerabatan. Sistem
kekerabatan ini tampaknya sederhana bagi yang memilikinya. Tetapi yang tampaknya
sederhana itu ternyata menimbulkan banyak kesulitan bagi seorang penerjemah karena
sistem kekerabatan ini berbeda daro bangsa atau etnik yang satu dengan yang lain. Di
sistem kekerabatan orang Jawa dikenal istilah Bapak dan Ibu. Penyebutan Bapak dan
Ibu tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan karena penyebutan Bapak dan
Ibu itu tampaknya bersifat universal. Tetapi di dalam sistem kekerabatan etnis Jawa
sangat rumit karena di atas Bapak dan Ibu, ada Pak/Bu-gedhe, Mbah/Eyang, Mbah/
Eyang Buyut, Mbah/Eyang Canggah, Mbah/Eyang Wareng, Mbah/Eyang Udheg-
Udheg Siwor, dan sebagainya. Di bawah Bapak/Ibu terdapat Bu/Pak Cilik. Masih ada
lagi sebutan Ipe dan Pripean. Sedangkan dalam Bahasa Inggris kita hanya mengenal
kata-kata Father, Mother, Aunt, Uncle, Brother, Sister, Grandfather/mother dan
sebagainya yang tentu saja sistem kekerabatan antara kedua bangsa itu tidak sama. Ini
jelas akan menimbulkan banyak kesulitan bagi seorang penerjemah.
(6) Kata Ganti
Kata-kata seperti I, You, He, She, It, We, dan They tampaknya juga tidak
menimbulkan masalah dalam penerjemahan. Tetapi kata ganti he dan she sering juga
menimbulkan masalah. Kata ganti he dan she menunjukkan jenis seks yang berbeda,
ialah jenis seks laki-laki dan perempuan, sedangkan perbedaan itu tidak terdapat
dalam sistem bahasa Indonesia. Fenomena ini juga kadang-kadang menimbulkan
kesulitan bagi seorang penerjemah meskipun tidak begitu serius. Dalam bahasa
Universitas Sumatera Utara
Indonesia kata he, dan she dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
dia/ia, beliau, bapak. Kesulitan akan timbul manakala seorang penerjemah harus
menerjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Masalah seperti ini
akan timbul apabila seorang penerjemah harus menerjemahkan kata you dari bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia apalagi ke dalam bahasa Jawa karena kata you
mempunyai padanan (equivalent) dengan engkau, kamu, anda, saudara, dan bapak
(Soemarsono, 1988) sedangkan kata itu mempunyai padanan dengan kowe, sliramu,
sampeyan, panjenengan, dan panjengan dalem yang penerapannya lebih rumi
terutama apabila ditinjau dari kepantasannya atau status dari lawan bicaranya.
(7) Undha-Usuk Basa (Speech levels)
Bahasa Jawa khususnya mempunyai apa yang disebut dengan Undah Usuk
Basa. Menurut Sudaryanto Bahasa Jawa memiliki empat varian yaitu ngoko, krama,
ngoko alus, atau krama alus. Sedangkan Sriyasa menyatakan bahwa di kota Sala dan
Yogyakarta orang Jawa menggunakan tiga varian dalam kehidupan berbahasa sehari-
hari, ialah basa ngoko, basa madya, dan basa krama. Masih menurut Sriyoso (1991)
dalam bahasa Jawa sebenarnya terdapat kurang lebih ada 13 varian. Penggunaan
varian-varian bahasa ini sangat rumit sehingga pada jaman sekarang banyak orang
Jawa sendiri, terutama yang muda, tidak dapat menggunakannya dengan benar.
(8) Idiom
Idiom juga sarat dengan muatan budaya dan vatiasi idiom sangat luas. Feare (1980) mengatakan, idiom is an expression which has a special meaning, and this meaning cannot be understood completely by looking at the individual words in the idioms. (Feare ,1980)
Universitas Sumatera Utara
Feare memberikan contoh idiom seperti go over, die down, break in, dan
sebagainya. Orang lain mungkin memasukkan ungkapan seperti to burry the hatchet,
dan to beat about the bush sebagai idiom. Menerjemahkan idiom bukanlah pekerjaan
yang mudah. Pertama-tama seorang penerjemah harus mampu mengenali atau
menentukan apakah suatu ungkapan tertentu itu adalah sebuah idiom atau bukan.
Kemudian setelah seorang penerjemah dapat mengenali bahwa ungkapan itu dapat
dikategorikan sebagai idiom barulah mampu menentukan makna idiom itu. Kemudian
mencari padanan yang tepat.
2.6.2.1 Budaya Universal
Budaya universal sebagian besar muncul dari negara kolonial dan adikuasa dan
berpengaruh secara universal karena kekuasaan mereka dan memonopoli media dan
investasi yang menyebarkannya ke seluruh dunia. Setiap orang di dunia mengetahui:
apa artinya jazz, tenis, pizza, dan lain-lain; tapi kungfu, grillot, sepak raga, dan lain-
lain perlu dijelaskan ke bangsa-bangsa lainnya yang berbeda budaya.
2.6.2.2 Budaya Agamis dan Budaya Sosial
Munculnya ide seperti humanisme dan revolusi industri telah memarjinalkan
agama sebagai faktor penentu kehidupan sehari-hari di Eropa. Agama telah menjadi
masalah pilihan dan bukan sistem atau kode kehidupan, telah dibuat tunduk terhadap
ide dan budaya. Namun di negara islam, agama menentukan budaya dan pandangan
hidup manusia.
Universitas Sumatera Utara
Di Perancis, Inggris, Jerman, Amerika dan lain-lain, budaya, aksi seperti
bermesraan di depan umum diterima, namun hal ini tidak diterima oleh masyarakat di
negara islam. Demikian juga halnya dalam memberi salam di Eropa termasuk Perancis
biasa dengan ciuman namun tidak sama dengan di negara Islam. Contohnya kalimat:
Le Professeur a embrasse la secretaire le Matin. Jika kalimat ini diterjemahkan:
“Guru mencium sekertarisnya pagi tadi” tanpa memperhatikan keberagaman budaya
akan memberikan makna konotatif perlokusi yang berbeda misalnya perselingkuhan
atau tidak bermoral kepada pembaca muslim, sehingga lebih baik menerjemahkannya
“Guru memberi salam kepada sekertaris tadi pagi.
Memberi nama putra anda Jesuis atau Jesus tidak berterima di negara Islam
tapi menamainya Isa yaitu nama Jesus dalam bahasa Arab akan berterima. Masalahnya
adalah orang Arab yang Kristen bisa menamai anaknya Isa. Itulah yang Nida
maksudkan dengan budaya linguistik karena semua nama yang disebut merujuk pada
satu orang yang sama, sedangkan masyarakat memahami nama-nama tersebut berbeda
menurut budaya bahasanya.
Demikian juga halnya dalam rasa anggur di Eropa adalah bagian dari budaya
Eropa. Pembaca Eropa tidak akan melihat hal yang buruk dengan anggur misalnya :
John used to wine and dine his girlfriend. Pembaca Eropa akan mengerti bahwa
dulunya John memberi makanan mahal kepada pacarnya. Jika diterjemahkan kata per
kata : John biasanya memberi arak dan makan-makan dengan kekasihnya. Membaca
terjemahan ini, pembaca muslim bisa memahami perbuatan John berdosa, maka untuk
Universitas Sumatera Utara
masyarakat muslim lebih baik menerjemahkannya: John makan dan minum bersama
kekasihnya.
Dari contoh-contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa melakukan
penerjemahan ditentukan dan disesuaikan dengan budaya agamis dan budaya
sosialnya. Sesuatu aksi yang diterima atau lazim di masyarakat tertentu, belum tentu di
terima oleh masyarakat lain dengan agama yang berbeda karena setiap aksi
masyarakat juga dipengaruhi oleh agama yang dianutnya.
2.6.2.3 Budaya Akademis
Budaya akademik adalah kategori lainnya yang perlu dikaji dalam bahasa-
bahasa. Di Eropa, mahasiswa masuk universitas di usia 17 atau 18 dan juga di
Malaysia. Masalah yang sebagian besar terjadi ada pada gelar Diploma dan Profesor.
Sebagian besar negara di dunia mengikuti atau dipengaruhi oleh sistem Akedemik
Inggris, tapi akademik Perancis dan Jerman mempunyai sistem hirarki yang berbeda
dan telah mempengaruhi beberapa negara. Negara Arabofon mengikuti keduanya
sistem Akademik Inggris dan Perancis.
Masalah yang timbul dari budaya akademik adalah khusushya antara negara-
negara Fransofon, Jermanofon dan Anglofon dan negara-negara berbahasa Melayu
adalah banyak Diploma seperti DEA, DESS, Agregation, CAPES, dan EUG tidak
berequivalen dengan sistem akademik Melayu. DEA, DESS, dan CAPES adalah
kuliah singkat satu tahun setelah gelar Magister. Yang mengejutkan adalah menurut
sistem akademik Perancis, mahasiswa tidak diperbolehkan program Ph.D tanpa
Universitas Sumatera Utara
mempunyai salah satu dari tiga gelar DEA, DESS, atau CAPES. Gelar “Agregation
misalnya di Perancis sangat dihargai di Perancis dan mempunyai makna diploma yang
sangat pintar.
Untuk menerjemahkan diploma tersebut ke dalam budaya akademik Melayu,
penerjemah harus memberikan tambahan catatan kaki untuk menjelaskan isi dan
hirarki diploma tersebut. Terlebih lagi, nama profesi mengajar mempunyai konotasi
yang berbeda. Misalnya Professeur adalah nama umum untuk guru dari sekolah
menengah sampai universitas. Di melayu, dalam budaya akademik terdapat hirarki.
Untuk sekolah menengah guru sekolah disebut Guru tapi di tingkat universitas disebut
pensyarah, professor madya atau profesor. Karena itu penerjemah harus berhati-hati
dalam menerjemahkan istilah atau kata yang berkaitan dengan sistem akademik.
2.6.2.4 Budaya Legalisasi
Dhuic dan Frison (1993) menjelaskan ada masalah yang berkaitan dengan teks
resmi Perancis dan Inggris karena sistem resmi Inggris tergantung pada doktrin dan
kode sedangkan sistem resmi Inggris tergantung pada hukum umum dan keadilan.
Karena sistem resmi Malaysia dipengaruhi oleh sistem resmi Inggris, maka ada
masalah dalam menerjemahkan teks resmi Perancis ke dalam bahasa Malaysia. Karena
itu penerjemah harus memperhatikan kekhususan dua dunia yang berbeda tersebut.
Misalnya:
tribunaux correctionnels (criminal courts)
cour de cassation (court of cassation)
Universitas Sumatera Utara
communeaute de bien (communal estate)
cour de la surete de l’etat (state security court)
certificat de concubinage (certificate of concubinage), dan lain-lain.
Dengan demikian, budaya akademik, budaya resmi harus diberi catatan kaki.
Pada akhirnya, budaya adalah cara yang berbeda dalam hal melihat segala sesuatu dan
tergantung pada persepsi tertentu tentang dunia tertentu. Persepsi tersebut tidak dapat
saling dipertukarkan di antara bahasa-bahasa. Bahasa tergantung pada budayanya.
Karena itu, bahasa tidak menentukan budaya tetapi budaya yang menentukan bahasa.
2.7 Orientasi Teoritis
Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada penemaan yang terdapat di
dalam analisis tekstual disebut Tema dan Rema dalam teks. Tema dan Rema diteliti
berdasarkan teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Kajian
Tema dan Rema dilakukan dalam tiap-tiap klausa tunggal. Dengan demikian, jika
ditemukan ide dalam bentuk kalimat, maka kalimat tersebut dipisahkan ke dalam
klausa-klausa tunggal terlebih dahulu sebelum diidentifikasi Tema dan Remanya. Hal
ini disebabkan klausa dipandang sebagai unit yang tertinggi di dalam bahasa karena
klausa mampu membawa tiga fungsi bahasa sekaligus, yaitu memaparkan,
mempertukarkan, dan merangkai pengalaman.
Tema ditandai melalui unit bahasa yang terletak di awal kalimat dan Rema
adalah unsur yang terdapat setelah Tema. Jadi, dalam mengidentifikasi Tema dapat
diketahui, bahwa unit bahasa yang terletak di awal klausa adalah Tema. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Saragih (2006:112-113), Tema dalam teori Systemic Functional Linguistics dibedakan
menjadi Tema sederhana dan Tema kompleks. Tema sederhana adalah jika terdapat
satu unit bahasa yang berfungsi sebagai Tema, tetapi jika lebih dari satu unit bahasa
yang berfungsi sebagai Tema maka disebut sebagai Tema kompleks. Dalam kajiannya,
Tema Kompleks juga terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Tema Tekstual, Tema
Antarpersona, dan Tema Topikal.
(2) Tema Tekstual dapat diidentifikasi jika Tema tersebut berupa,
a. kata ganti relatif (misalnya: who, which, that, whom, whose);
b. penerus (misalnya: ee..., mmm,...well..);
c. konjungsi (misalnya: dan, atau tetapi);
d. penghubung (misalnya: dengan demikian, oleh sebab itu).
(3) Tema Antarpersona dapat diidentifikasi melalui unit bahasa yang berupa,
b. vokatif yaitu nama oranng atau objek yang ditujukan padanya;
c. keterangan modus yaitu pendapat, ide pribadi, misalnya: seharusnya,
sebaiknya;
d. pemarkah pertanyaan, misalnya: apakah;
e. kata tanya pertanyaan informasi, misalnya: mengapa, siapakah, di
manakah.
(4) Tema Topikal terdapat pada unit bahasa yang berfungsi sebagai partisipan,
proses ataupun sirkumstan.
Selain itu, Tema juga dapat dibedakan berdasarkan Tema Tunggal dan Tema
Majemuk, Tema Bermarkah, dan Tema tak Bermarkah. Tema Bermarkah dapat
Universitas Sumatera Utara
diidentifikasi jika yang menjadi Tema tersebut adalah kata benda atau kata ganti benda
ataupun frasa kata benda yang berfungsi sebagai subjek. Namun, jika terdapat
komplemen, frase adverba atapun frase preposisi yang terletak di awal klausa maka
unit-unit bahasa tersebut adalah Tema tak Bermarkah. Dengan demikian, berbagai
jenis Tema ini, yang mencakup Tema Tekstual, Tema Antarpersona, Tema Topikal,
Tema Tunggal, Tema Majemuk, dan Tema Bermarkah-Tema tak Bermarkah,
keseluruhannya akan dikaji dalam klausa-klausa yang ditemukan di dalam teks
translasi penelitian ini.
2.8 Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai Tema dan Rema pernah dilakukan sebelumnya di
antaranya berjudul “Theme and Rheme in The Thematic Organization of Text:
Implications for Teaching Academic Writing” oleh Lixia Wang seorang master
pendidikan (TESOL) dari University of South Australia dan juga sebagai dosen di
Jurusan Sastra Inggris di Nanjing University of Finance and Economics di China.
Penelitiannya adalah tentang Tema dan Rema dengan menggunakan teori Systemic
Functional Linguistics dengan tujuan untuk memperbaiki kohesi dalam teks akademik.
Melalui penelitiannya, beliau menyatakan bahwa dengan menganalisis Tema dan
Rema dalam teks, mahasiswa dapat belajar melakukan analisis yang sama dalam
tulisan mereka sehingga akan memperbaiki kohesi dalam tulisan mereka. Dalam
penelitian ini juga dibahas masalah umum yang menyebabkan kesalahan dalam
menggunakan Tema dan Rema dengan menggunakan tulisan mahasiswa sebagai
Universitas Sumatera Utara
contoh kesalahan. Karena itu penelitian ini menunjukkan bagaimana mahasiswa
memperbaiki kemampuan kohesi tekstual dalam tulisan khususnya tulisan akademik.
Selain itu, penelitian Tema-Rema juga dilakukan oleh Arif Budiman dan
Kristianto dengan judul “How Much Shift on Theme-Rheme Construction Affect on the
Meaning of Translation”. Penelitian ini memfokuskan pada pidato pelantikan Obama
dengan tujuan untuk menjelaskan kontsruksi Tema bahasa Inggris dan Indonesia,
memperlihatkan konstruksi Tema menurut kategori dan konstituen dalam kedua versi
bahasa tersebut dan untuk menemukan efek pergeseran struktur Tema pada makna
ataupun ketepatan penerjemahan. Penemuan penelitian ini adalah (1) variasi Tema
dalam kedua teks mencakup Tema Topikal Antarpersona dan Tekstual, dengan Tema
Topikal lazim yang paling dominan, (2) pergeseran struktur Tema antara bahasa
Indonesia dan Inggris dapat dibagi ke dalam pergeseran kategori dan perubahan
konstituen Tema, dan (3) secara umum pergeseran struktur Tema tidak banyak
mempengaruhi makna dan tidak mempengaruhi makna secara keseluruhan pada klausa
atau tekstur teks.
Penelitian pergeseran dalam translasi bahasa Indonesia dan Inggris telah
dilakukan sebelumnya oleh Putra Yadna dan Resen (1986) dengan studi kasus
“Pergeseran Formal Fase Kata Benda dalam Penerjemahan Bahasa Inggris-Indonesia.”
Hasil temuan dari analisis ini adalah adanya pergeseran unit, struktur, dan kelas kata.
Selain itu, Yadnya dalam disertasinya mengkaji, “Pemadanan Makna Berkonteks
Budaya: Sebuah Kajian Translasi Indonesia-Inggris.” Hasil temuannya adalah translasi
dapat tercapai dalam berbagai tataran (level), juga terdapat pergeseran mikro (vertikal
Universitas Sumatera Utara
dan horizontal) dan pergeseran makro. Perbedaan sistem bahasa Indonesia dan Inggris
telah mengakibatkan pergeseran formal menjadi wajib dan otomatis faktor perbedaan
sistem makna kata antar bahasa Inggris dan Indonesia menyebabkan terjadinya
pergeseran semantik yang bersifat wajib.
Selain itu, penelitian penerjemahan dwibahasa pernah dilakukan oleh Diana
Chitra Hasan dengan judul “Penerjemahan Informasi Implisit dari Bahasa Inggris ke
Bahasa Indonesia”. Penelitian ini memberikan informasi implisit dari bahasa Inggris
ke bahasa Indonesia yang dikategorikan sebagai penelitian dengan metode deskriptif
karena dalam penelitian ini dipaparkan informasi implisit dalam bahasa Inggris dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia, yang selanjutnya dilakukan analisis terhadap
kesepadanan antara unsur bahasa sumber dan terjemahannya dalam bahasa sasaran
sehingga faktor-faktor yang menyebabkan tercapai atau tidaknya kesepadanan dalam
penerjemahan tersebut. Data dalam penelitian ini diambil dari tiga buah novel dan
terjemahannya, yaitu (1) 4,50 from Paddington karya Agatha Christie yang diterbitkan
oleh Fontana Books pada tahun 1979 dan diterjemahkan oleh Lily Wibisono dengan
judul Kereta 4,50 dari Paddington terbitan Gramedia, Jakarta pada tahun 1987; (2)
Absolute Power karya David Baldacci (1996) dan diterjemahkan oleh Hidayat Saleh
dengan judul Kekuasaan Absolut diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 1997;
(3) Bloodline karya Sidney Sheldon (1977) dan diterjemahkan oleh Threes Sulastuti
Garis Darah diterbitkan oleh Gramedia (1991). Dari penelitian terhadap informasi
implisit dalam bentuk elipsis dan bahasa figuratif ditemukan beberapa jenis prosedur
penerjemahan yang dapat mengalihkan pesan bahasa sumber antara lain adalah
Universitas Sumatera Utara
modulasi bebas berupa pergeseran sudut pandang dan eksplisitasi serta pergeseran
tataran dari tataran gramatikal ke tataran leksikal. Jenis prosedur penerjemahannya
dapat mengalihkan pesan yang terkandung dalam bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran dengan tepat. Sedangkan penerjemahan harfiah terhadap sebagian unsur
figuratif, seperti metafora, tidak dapat mengalihkan informasi implisit dengan baik.
Penelitian tentang terjemahan dilakukan oleh Roswita Silalahi dalam
disertasinya dengan judul “Dampak Teknik, Metode, dan Ideologi Penerjemahan Pada
Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical Nursing dalam Bahasa Indonesia”. Ada
dua pendekatan penerjemahan yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu: pendekatan
bawah-atas (bottom-up approach) dan pendekatan atas-bawah (top-down approach)
(Baker, 1992; Newmark, 1988). Jika penerjemah mulai dengan satuan lingual yang
lebih kecil dari teks (misalnya kata, frasa, klausa, dan kalimat), dia menerapkan
pendekatan bawah-atas. Sebaliknya, jika penerjemah mulai dari tataran yang paling
tinggi, yaitu teks, dan dilanjutkan pada tataran yang lebih rendah, dia menerapkan
pendekatan atas-bawah. Temuan dalam penelitian ini adalah: Pertama, delapan teknik
penerjemahan diterapkan dalam menerjemahkan teks Medical-Surgical Nursing yaitu
teknik harfiah (literal), peminjaman murni, peminjaman alamiah, calque, transposisi,
modulasi, penghilangan, dan penambahan. Berdasarkan frekuensi penggunaannya,
teknik harfiah menempati urutan pertama (489), yang diikuti oleh peminjaman murni
(224), peminjaman alamiah, transposisi (68), calque (67), modulasi (25), penghilangan
(16), dan teknik penambahan (9). Kedua, secara teori, teknik harfiah, peminjaman
murni dan peminjaman alamiah, dan teknik calque berorientasi pada bahasa sumber
Universitas Sumatera Utara
sedangkan teknik transposisi, modulasi, penghilangan, dan teknik penambahan
berorientasi pada bahasa sasaran. Dengan demikian, metode penerjemahan yang
dipilih penerjemah adalah metode penerjemah literal, setia, dan semantik. Ketiga,
penggunaan teknik penerjemahan dan pemilihan metode penerjemahan lebih dilandasi
oleh ideologi foreignisasi dalam menerjemahkan teks sumber data penelitian.
Keempat, dalam hal kualitas terjemahan, didapatkan 338 (64,75%) diterjemahkan
secara akurat, 136 (26,05%) kurang akurat, dan 48 (9,20%) tidak akurat. Dari aspek
keberterimaannya, 396 (75,86%) berterima, 91 (17,44%) kurang berterima dan 35
(6,70%) tidak berterima. Sementara itu, 493 (96,29%) data sasaran mempunyai tingkat
keterbacaan tinggi dan 19 (3,71%) mempunyai tingkat keterbacaan sedang. Kemudian,
teknik peminjaman murni, teknik peminjaman alamiah, calque, dan juga harfiah
memberikan dampak yang sangat positif terhadap keakuratan terjemahan, sementara
kekurang akuratan dan ketidak akuratan yang terjadi pada terjemahan lebih
disebabkan oleh penerapan teknik penghilangan, penambahan, modulasi, dan teknik
transposisi. Kekurang berterimaan dan ketidak berterimaan cenderung disebabkan oleh
penggunaan kalimat yang tidak gramatikal, dan masalah yang menghambat
pemahaman pembaca sasaran cenderung disebabkan oleh penggunaan istilah asing
yang tampaknya belum akrab bagi pembaca, kolokasi yang tidak tepat, kata bahasa
Indonesia yang belum lazim bagi pembaca dan kesalahan ketik.
Penelitian juga dilakukan oleh Syahron Lubis dalam disertasinya yang berjudul
“Penerjemahan Teks Mangupa Dari Bahasa Mandailing ke Dalam Bahasa Inggris”.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris
Universitas Sumatera Utara
memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan dalam struktur bahasa seperti
afiksasi, pemajemukan, reduplikasi, pemenggalan kata, sistem pronomina, struktur
frasa, pola-pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna
generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufisme. Juga ditemukan bahwa masyarakat
Mandailing dan Inggris berbeda luas dalam sejumlah aspek kultural seperti agama dan
kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender,
pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Adanya perbedaan struktur kedua bahasa,
menerjemahkan frase, kata majemuk dan kalimat dari teks sumber ke dalam teks
sasaran menghadapi masalah. Subjek kalimat, jumlah dan konjungsi yang sering
implisit dalam teks sumber juga menyebabkan masalah penerjemahan. Pemakaian
banyak kata arkais juga membuat kesulitan penerjemahan dan karena bahasa
Mandailing tidak memiliki tenses, hal itu juga menyebabkan masalah penerjemahan ke
dalam bahasa Inggris yang memiliki tenses. Oleh sebab itu penerjemahan teks
mangupa tidak hanya menghadapi masalah-masalah kebahasaan tetapi juga masalah-
masalah budaya dan berbagai teknik penerjemahan diperlukan untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut ssupaya tercapai terjemahan yang akurat, terbaca dan dapat
diterima penutur asli bahasa sasaran.
Persoalan tentang pergeseran dalam terjemahan juga disinggung dalam
penelitian Abdul Munif. Melalui penelitiannya yang berjudul “Pergeseran Dalam
Penerjemahan Klausa Pasif Dari Novel The Lord of The Rings: The Return of The
King Karya JRR Tolkien yang Diterjemahkan oleh Gita Yuliani K.” Penelitian Abdul
Munif berorientasi pada (1) Pendeskripsian pergeseran bentuk dalam penerjemahan
Universitas Sumatera Utara
klausa pasif, (2) Pendeskripsian pergeseran makna dalam penerjemahan klausa pasif,
(3) Ketepatan penerjemahan klausa pasif yang mengalami pergeseran bentuk dan
makna. Data penelitian ini klausa pasif yang mengalami pergeseran dalam
penerjemahan. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling purposif. Kriteria
sampel dalam penelitian ini adalah klausa pasif yang berbentuk be + past participle
dan terjemahannya yang mengalami pergeseran bentuk dan makna. Adapun hasil dari
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bentuk-bentuk pergeseran dalam
penerjemahan klausa pasif meliputi; pergeseran tataran ada 12 data (14%), pergeseran
struktur ada 43 data (60%), dan pergeseran kelas kata ada 4 data (6%), (2) pergeseran
makna dalam penerjemahan klausa pasif meliputi; pergeseran pasif-aktif ada 20 data
(26%), pergeseran topik-komen ada 15 data (19%), pergeseran makna leksikal ada 23
data (30%), dan pergeseran makna gramatikal ada 11 data (14%), dan (3) ketepatan
makna pada pergeseran dalam penerjemahan klausa pasif meliputi; kategori
terjemahan tidak tepat ada 2 data (3%). Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh bahwa
untuk mendapatkan terjemahan yang wajar dan setia makna khususnya penerjemahan
klausa pasif dapat dapat digunakan salah satu teknik atau strategi dalam penerjemahan
yang disebut dengan pergeseran (translation shift).
Masalah pergeseran juga diteliti oleh Lydia K. Sitompul. Penelitiannya
berjudul “Pergeseran Penerjemahan Teks Beregister Popular Pada Serial Komedi
Friends Episode “The Last One”. Penelitian ini berorientasi pada pergeseran yang
terjadi pada penerjemahan teks film atau subtitle pada serial komedi televisi Friends
episode terakhir yang berjudul “The Last One”. Pergeseran yang ditemukan dapat
Universitas Sumatera Utara
dikelompokkan berdasarkan bentuk, penyebab, dan efeknya. Bentuk pergeseran pada
tataran morfem, pergeseran pada tataran sintaksis, pergeseran kategori kata,
pergeseran pada tataran semantik, dan pergeseran karena perbedaan sudut pandang
budaya. Kelima bentuk pergeseran tersebut ditemukan pada data, yang kemudian
dianalisis secara deskriptif. Analisis dilakukan untuk mendapatkan sebab-sebab
terjadinya pergeseran. Karakteristik data sebagai transkip dan subtitle dari sebuah
moving picture berperan penting sebagai penentu sebab terjadinya pergeseran.
Karakteristik tersebut adalah data yang bergenre komedi dengan ragam bahasa lisan.
Dialog pada tayangan bergenre komedi memiliki kaitan erat dengan konteks adegan
yang melingkupinya. Konteks tersebut berperan dalam mendeskripsikan kejenakaan
pada setiap adegan, sehingga penerjemahan utuh tidak diperlukan. Ciri bahasa popular
dengan ragam lisan pada data yang eksprefis dinilai sebagai dialog minor. Ciri tersebut
bertentangan dengan ciri subtitle film yang singkat dan padat. Pergeseran yang terjadi
yaitu pengurangan atau reduksi. Reduksi pada penerjemahan tayangan bergenre
komedi mengakibatkan terjadinya reduksi pemahaman pemirsa terhadap kejenakaan
yang terjadi. Reduksi kejenakaan sebagai efek dari pergeseran dikelompokkan
menjadi reduksi kejenakaan ringan dan reduksi kejenakaan fatal.
2.9 Konstruk Analisis
Penelitian ini menggunakan model penelitian yang menitikberatkan pada
penggabungan teori translasi Larson dan Cadford dengan teori Systemic Functional
Linguistics dengan pusat perhatian pada analisis Tema dan Rema.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.18: Model Penelitian
PENELITI
Teks yang Diterjemahkan
Menemukan Makna
Makna yang Diekspresikan Kembali
Translasi
MAKNA Konteks Situasi
Konteks Budaya
Konteks Ideologi
Analisis Tema dan Rema
Tema D minan o
Jenis Pergeresan Tema
Sebab Pergeseran Tema dan Rema
Universitas Sumatera Utara
Model penelitian yang didesain sedemikian rupa untuk mengaplikasikan teori
translasi Larson dan Cadford serta penerapan LSF menempatkan peneliti pada dua
sisi. Sisi pertama, peneliti bekerja secara objektif untuk membaca, meneliti, dan
menerjemahkan teks bahasa sumber agar menjadi teks translasi dalam bahasa sasaran.
Sisi kedua, peneliti harus bekerja secara objektif dan ilmiah dalam mengdentifikasi
dan menganalisis Tema-Rema dalam teks translasi dwibahasa Indonesia-Inggris.
Di antara dua sisi, sisi translasi dengan sisi Tema-Rema terdapat perangkat
bahasa dan konteksnya dalam analisis Systemic Functional Linguistics. Di dalam hal
ini, konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi yang melatarbelakangi tata
bahasa sumber dan tata bahasa sasaran menjadi bahan pertimbangan sekaligus penentu
ketepatan pemahaman terhadap teks bahasa sumber dan teks translasi dalam bahasa
sasaran. Dengan kata lain, untuk menemukan makna teks bahasa sumber harus
diperhatikan konteks yang melatarbelakangi bahasa tersebut, sehingga makna tersebut
dapat diekspresikan kembali dengan relatif sama dalam translasi bahasa sasaran.
Kedua teks tersebut (bahasa sumber dan bahasa sasaran) sama-sama bergantung pada
konteks pemakaian bahasa dalam kajian Tema dan Rema yang menjadi fokus
penelitian ini. Hasil kajian ini, peneliti akan menemukan Tema dominan, jenis
pergeseran Tema, dan faktor yang menyebabkan persegeran Tema.
Universitas Sumatera Utara