DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden)
TERHADAP DISKRESI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Tesis
Diajukan kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum
Oleh
KRISHNA DJAYA DARUMURTI NPM. 322008017
Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga 2011
DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden)
TERHADAP DISKRESI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Tesis
Oleh:
KRISHNA DJAYA DARUMURTI NPM. 322008017
Telah disetujui untuk diuji:
Tanggal
Pembimbing, Pembimbing,
PROF. DR. TEGUH PRASETYO, SH., MSi TITON SLAMET KURNIA, SH., MH
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Nama Mahasiswa : Krishna Djaya Darumurti NPM : 322008017 Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui,
PROF. DR. TEGUH PRASETYO, SH., MSi TITON SLAMET KURNIA, SH., MH
Pembimbing Pembimbing
Mengesahkan, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
DR. TRI BUDIYONO SH., MHum
Dinyatakan Lulus Ujian tanggal:
iv
ABSTRAK
Kekuasaan diskresi adalah jenis kekuasaan pemerintah
yang spesifik. Dari perspektif analitik, perluasan fungsi
pemerintahan merupakan dasar lahirnya konsep kekuasaan
diskresi sebagai kebebasan pemerintah. Dari perspektif yuridis,
kekuasaan diskresi adalah sebuah keharusan karena kurang
memadainya legislasi dari legislator untuk diimplementasikan
oleh pemerintah. Dari perspektif filosofis, kekuasaan diskresi
adalah pengupayaan ketercapaian tujuan hidup yang paling
fundamental dari negara yaitu salus populi atau public good,
yang mana asas legalitas merupakan sarananya.
Kekuasaan diskresi pemerintah beroperasi di bawah
suatu sistem hukum yaitu the Rule of Law dan berdampingan
dengan asas responsible government. Oleh karena itu terdapat
dasar-dasar pengujian HUKUM terhadap tindakan diskresi
pemerintah, dalam hal ini adalah Principles of Good
Governance dan Asas-asas Efisiensi dan Efektivitas. Dasar-
dasar pengujian tersebut memiliki tiga fungsi dalam
hubungan dengan kekuasaan diskresi pemerintah. Pertama,
kompensasi atas hilangnya jaminan dari asas legalitas. Kedua,
sebagai dasar argumen bagi tindakan. Ketiga, sebagai dasar
legitimasi kemasyarakatan yang menuntut adanya fairness
dan justice bagi tindakan diskresi pemerintah. Tindakan
diskresi pemerintah tidak boleh menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan yang dicanangkannya meskipun
tujuan tersebut legitimate.
v
KATA PENGANTAR
Kekuasaan pemerintah bagaikan sebuah misteri yang
nyata. Berada di dalam hasrat yang tidak terhindarkan di
dalam bentuk hubungan ada pihak yang memerintah dan ada
pihak yang diperintah (the ruler and the ruled). Berada dalam
kenyataan yang tidak ada persamaan martabat, selalu yang
satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu dipakai
paksaan pada hubungan itu. Tidak terhindarkan pula
kecenderungan syahwat penggunaan kekuasaan dari
pemerintah akan berkorelasi mengorbankan kepentingan
umum dari yang diperintah.
Dalam kegalauan persoalan intrinsik atas kekuasaan
pemerintah tersebut di atas, mencuat kecenderungan kuat
dipraktekkannya kekuasaan diskresi di dalam pemerintahan.
Kekuasaan diskresi adalah jenis kekuasaan pemerintah yang
memiliki karakter tersendiri. Ia tidak semata-mata terlihat
telanjang sebagai hanya kekuasaan saja, sebab kekuasaan
diskresi berakar pada dasar adanya perluasan fungsi
pemerintahan yang melahirkan kebebasan pemerintah.
Kompleksitas permasalahan penggunaan kekuasaan
diskresi – yang adalah kebebasan bertindak pemerintah –
inilah yang menjadi pokok bahasannya. Untuk itu di dalam
analisisnya, sebagai kajian dari disiplin Hukum Administrasi
Negara maka bertumpu pada dasar-dasar pengujian hukum
terhadap tindakan diskresi pemerintah. Pengujian hukum
diperlukan untuk mengukur agar tindakan diskresi tidak
vi
menjadi penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang.
Kekuasaan diskresi pemerintah dengan demikian akan diuji
keabsahannya secara hukum.
Apa saja yang tersaji pada tesis ini tidak bisa
dilepaskan dari bantuan ke dua pembimbing tesis saya.
Untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.
DR. Teguh Prasetyo, SH., MSi. yang telah memberikan
masukan-masukan berarti terhadap isi dan pembuatan tesis
ini, terlebih pula beliau dengan segala pengertiannya telah
berkenan memahami kondisi dan situasi penulis sehingga
tesis ini dapat terselesaikan. Demikian pula kepada Bapak
Titon Slamet Kurnia, SH., MH yang telah memberikan
pertolongan dan memasok bacaan buku dan jurnal-jurnal
hukum asing. Beliau bersedia pula untuk mendiskusikan,
melakukan koreksi, memperhalus–mempertajam pemahaman
dan argumen hukum penulis atas isu hukum kekuasaan
diskresi dalam tesis ini. Untuk kesemuanya itu, saya amat
berterima kasih kepada Bapak Titon Slamet Kurnia, SH., MH.
Tak terlupakan kepada Bapak DR. Tri Budiyono, SH., MHum
sebagai sahabat maupun Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana UKSW, semua sahabat dan
rekan sejawat lainnya di FH UKSW, dan Bapak Marthen Toelle,
SH., MH., saya berterima kasih untuk bantuan dan
dorongannya yang telah diberikan hingga memungkinkan saya
dapat menyelesaikan studi saya sekarang ini.
Salatiga, Pebruari 2011
Krishna D. Darumurti
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN ii HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR
iii iv
v DAFTAR ISI vii DAFTAR PERATURAN DAN KASUS ix
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................
1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Landasan Teori ............................................................................ 6
1. Teori Lingkup Kekuasaan Pemerintahan ................................. 7 2. Teori Situasi-Kondisi Keberlakuan Asas Legalitas ................. 9 3. Teori Kontrol terhadap Pemerintah .......................................... 11
E. Metode Penelitian ........................................................................ 1. Pendekatan Penelitian 2. Sumber Penelitian
14 14 18
F. Sistematika ................................................................................... 19 BAB II. KONSEP KEKUASAAN DISKRESI PEMERINTA-HAN ...................................................................................................
21
A. Pendekatan Analitik …………………………………………… 22 1. Akar dari Konsep Diskresi: Konsep Perluasan Kekuasaan Pemerintahan ................................................................................
22
2. Diskresi sebagai Kebebasan Bertindak Pemerintah ................. 29 3. Konsep Kebijakan .................................................................... 34
B. Pendekatan Yuridis (Legal) ........................................................ 36 1. Hakikat dari Kekuasaan Legislatif …………………………... 37 2. Delegasi dari Pembentuk Undang-undang …………………... 39 3. Perbedaan dengan Emergency Power ……………………….. 47 4. Perlindungan Hukum bagi Pembuat Tindakan Diskresi .......... 50
C. Pendekatan Filosofis ................................................................... 53 1. Nilai di dalam Asas Legalitas .................................................. 53 2. Nilai di dalam Kekuasaan Diskresi .......................................... 57
viii
3. Pemerintah sebagai Interpreter Paling Tepat atas Public Good …………………………………………………………….
64
BAB III. DASAR-DASAR PENGUJIAN TERHADAP TIN-DAKAN DISKRESI PEMERINTAH ……………………………
73
A. Kekuasaan Diskresi Versus Legalitas: Pertanggungja-waban? ..............................................................................................
75
1. Kekuasaan Diskresi di dalam Koridor the Rule of Law ……………………………………………………………...
76
2. Pertanggungjawaban atas Tindakan Diskresi Pemerin- tah ……………………………………………………………….
80
B. Pendekatan Right-Based dan Goal-Based sebagai Dasar Pengujian Tindakan Diskresi ……………………………………..
83
1. Tinjauan Umum Pendekatan Rule-Based, Right-Based dan Goal-Based ……………………………………………………...
84
2. Principles of Good Governance ……………………………... 87 2.1. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (General Principles of Proper Administration) ………………………
90
2.2. Asas-asas Pemerintahan berdasarkan HAM (Principles of Human Rights Administration) …………………………..
109
3. Asas-asas Efisiensi dan Efektivitas .......................................... 113 C. Sarana Kontrol terhadap Tindakan Diskresi Pemerintah ….. 115
1. Kontrol Yudisial ……………………………………………... 116 2. Kontrol Politik ...……………………………………………... 127 3. Kontrol Administratif ..………………………………………. 129
BAB IV. PENUTUP ………………………………………………. 133 A. Kesimpulan ……………………………………………………..
133
B. Saran ……………………………………………………………. 135 DAFTAR BACAAN ………………………………………………. 137
ix
DAFTAR PERATURAN DAN KASUS Peraturan UUD 1945. UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme UU No. 39 Tahun 1999. UU No. 9 Tahun 2004. UU No. 10 Tahun 2004 International Covenant on Civil and Political Rights. Kasus Indonesia Putusan Mahkamah Agung RI No. 157/Sip/1960 (Lebanus Tambunan) Putusan Mahkamah Agung RI No. 319K/Sip/1968 (mbok Kromoredjo) Putusan Mahkamah Agung RI No. 42K/Kr/1965 (Machroes Effendi) Putusan Mahkamah Agung RI No. 572K/Pid/2003 (Akbar Tandjung) AS Madison v. Marbury 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803) Chevron, U.S.A., Inc. v. Natural Res. Def. Council, Inc., 467 U.S. 837, 865 (1984) Hamdi v. Rumsfeld 542 U.S. 507 (2004) Hamdan v. Rumsfeld 126 S. Ct. 2749 (2006) Roe v. Wade, 410 US 113 (1965) Jerman Schleyer Kidnapping Case Chemical Weapons Case Inggris R v Hull University Visitor ex p Page (The House of Lords). De Freitas v. Permanent Secretary of Agriculture, Fisheries, Lands and Housing (The Privy Council).
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
1
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendayagunaan kekuasaan diskresi (discretionary
power; pouvoir discretionnaire; discretionaire bevoegdheden;
freis ermessen) dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah
menjadi notoir feit. Hal itu sangat berkaitan erat dengan
konsepsi pemerintahan (bestuur) yang disebut dengan istilah
bestuurzorg, yaitu suatu fungsi pemerintahan yang tidak
hanya mengatur tetapi juga sekaligus mengurus, ordenede en
verzorgende taken. 1 Tetapi dalam koridor the Rule of Law,
keniscayaan pendayagunaan kekuasaan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan ini mengandung suatu
masalah inheren yaitu kompatibilitas. Karena itu isu yang
sangat mendasar ialah batas-batas pelaksanaan kekuasaan
diskresi dalam rangka the Rule of Law.
Terkait dengan hal itu maka yang diangkat sebagai isu
utama dalam penelitian ini adalah tentang dasar-dasar
pengujian (toetsingsgronden) terhadap pendayagunaan
kekuasaan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dasar-dasar pengujian yang dimaksudkan di sini tentunya
adalah Hukum. Maka yang akan dipermasalahkan lebih lanjut
adalah apakah yang akan menjadi tolok ukur Hukum bagi
1 N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Yuridika, 1993, h. 1.
2
pembenaran suatu tindak pemerintahan yang disebut diskresi
itu.
Kekuasaan diskresi merupakan konsep yang
kontroversial. 2 Sumber kontroversi tersebut adalah adanya
inisiatif sendiri dari pemegang kekuasaan, dalam hal ini
pemerintah, untuk mencapai tujuan negara. Penggunaan
kekuasaan diskresi berpotensi menabrak asas the Rule of Law
mengingat diskresi mempunyai sifat bawaan kekuasaan yang
dijalankan tanpa ada peraturan perundang-undangannya atau
tidak menunggu adanya peraturan perundang-undangannya
terlebih dahulu. Memang senyatanya dalam praktik,
penggunaan kekuasaan diskresi berpotensi menimbulkan
dampak negatif merugikan warga negara atau akan
berbenturan dengan kepentingan dan hak warga negara.
Dalam penyelenggaraan negara, kekuasaan diskresi
tidak hanya menjadi tuntutan kebutuhan bagi
penyelenggaraan pemerintahan dalam arti sempit, tetapi juga
dalam ranah penyelenggaraan kekuasaan yudisial. Sebagai
contoh adalah perdebatan klasik antara Hart versus Dworkin
mengenai yang harus dilakukan hakim dalam situasi hard-
cases di mana terjadi ketidakjelasan atau ketiadaan rules.3
Secara konseptual, latar belakang munculnya tuntutan
kebutuhan atas diskresi baik pada ranah pemerintahan
maupun yudisial adalah sama: sebuah tindakan harus
dilakukan meskipun dalam situasi rules-nya membisu, tidak 2 Misalnya di Indonesia terjadi dalam kasus kebijakan release and discharge terhadap obligor BLBI yang kooperatif oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. 3 Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London: Blackstone Press Limited, 1996, h. 147-149.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
3
menyediakan suatu preskripsi (lacunae), atau sekurang-
kurangnya tidak jelas atau kabur (vague). Di sinilah pangkal
tolak dari isu tentang pengujian tersebut.
Tindakan diskresi sangatlah subjektif, yaitu bergantung
pada wisdom dari pemegang/penggunanya serta atas dasar
pertimbangan case by case yang sangat sulit digeneralisasi.
Dengan demikian, kejelasan konsep diskresi itu sendiri (what,
when, where, why and how) sesuatu yang tidak terelakkan
ketika pada saat yang sama berbicara tentang isu uji
keabsahan Hukum-nya.
Tuntutan pengujian adalah konsekuensi niscaya dari
asas the Rule of Law, yaitu keharusan bagi adanya suatu
pemerintahan yang bertanggung jawab atau responsible
government. Tetapi pertanyaannya kemudian: Pengujian
seperti apakah yang memadai terhadap pertanyaan keabsahan
Hukum dari suatu tindakan diskresi yang dilakukan
pemerintah? Tentu pertanyaan itu baru bisa terjawab setelah
ada kejelasan tentang konsep kekuasaan diskresi itu sendiri.
Melalui formulasi lain dapat dinyatakan bahwa kekhasan
konsep kekuasaan diskresi menentukan parameter pengujian
keabsahannya sebagai bentuk implementasi asas the Rule of
Law. Di sinilah urgensi kejelasan konsep kekuasaan diskresi.
Karena berada dalam ranah vague rules atau lacunae,
maka konsep kekuasaan diskresi sendiri menjadi problematik
dan menimbulkan masalah dalam praktik hukum. Salah satu
contoh terkait soal isu tentang kejelasan konsep diskresi
nampak dari pendapat Hadjon dalam anotasinya atas Putusan
4
Perkara Akbar Tandjung (Putusan Nomor 572K/Pid/2003)
yang menyoroti masih jumbuhnya pemahaman discretionary
power dalam konsep Hukum Administrasi dengan konsep
staatsnoodrecht dalam konsep Hukum Tata Negara.4
Kesulitan lain adalah syarat-syarat pemberlakuan
kekuasaan diskresi yang sangat abstrak sehingga hal itu perlu
dikonkretisasi seperti: reasonableness 5 dan doelmatigheid. 6
Hal ikhwal melakukan konkretisasi ini juga masalah: tidak
hanya bagi pelaku tindakan diskresioner, tetapi juga bagi
pihak yang harus melakukan uji keabsahannya. Atas dasar
itulah, di samping isu dasar-dasar pengujian, isu konsep
kekuasaan diskresi juga penting dalam penelitian ini.
Dalam praktik, isu tentang kekuasaan diskresi menjadi
semakin kompleks dalam kaitan dengan bidang keamanan
nasional (national security). Contoh kompleksitas sekaligus
pelajaran berharga atas kasus ini adalah kebijakan perang
melawan terorisme 7 yang dipraktikkan oleh pemerintahan
Presiden George Walker Bush Jr. di Amerika Serikat. Dalam
langkah-langkah represifnya terhadap para teroris,
pemerintahan Bush mendalilkan justifikasi tindakan
diskresioner-nya: ‘in a crisis, executive action validates itself’.
4 Philipus M. Hadjon, Analisis atas Putusan Perkara Ir. Akbar Tandjung Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Administrasi Negara, dalam Amir Syamsuddin, et.al., Putusan Perkara Akbar Tandjung (Analisis Yuridis Para Ahli Hukum), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004, h. 70-71. 5 P.P. Craig, Administrative Law, London: Sweet & Maxwell, 1983, h. 353-360. 6 Indriyanto Seno Adji, Catatan Terhadap Perkara Ir. Akbar Tandjung, dalam Amir Syamsuddin, et.al., Op.cit., h. 32. 7 Kata ‘perang’ di sini bukan kata perang sebagai konsep hukum dalam the law of war, tetapi jargon politik untuk memberi nama kebijakan pemberantasan terorisme oleh pemerintahan Bush.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
5
The Supreme Court of the U.S. dalam kasus Hamdan v.
Rumsfeld 126 S. Ct. 2749 (2006) memberikan pendirian
menentang klaim pemerintahan Bush atas kebutuhan
perluasan kekuasaan pemerintahan di bidang isu keamanan
nasional tanpa campur tangan Congress serta tanpa dapat
dinilai secara yudisial (dikenal sebagai doktrin Presidential
Unilateralism). Justice Breyer (concurring) menyatakan
pendapatnya atas isu ini:
Where, as here, no emergency prevents consultation with Congress, judicial insistence upon that consultation does not weaken our Nation’s ability to deal with danger. To the contrary, that insistence strengthens the Nation’s ability to determine—through democratic means—how best to do so. The Constitution places its faith in those democratic means. Our Court today simply does the same (Hongju Koh, Yale Law Journal, Vol. 115: 2360-2367).8
Kasus Hamdan, dan kasus-kasus lain yang berkaitan
(Hamdi v. Rumsfeld dan Rasul v. Bush), pada pokoknya adalah
tentang perintah sepihak dari Presiden Bush untuk
melakukan penahanan terhadap para tersangka teroris
dengan status sebagai alien enemy combatants untuk
kemudian diadili atas pelanggaran terhadap the law of war
dan applicable laws yang lain di depan military tribunals.
Namun begitu, pendirian the Supreme Court of the United
States berkenaan dengan tindakan diskresioner Presiden
selaku the Commander in Chief sangatlah jelas: “even in times
of war or national crisis, the executive branch may not deprive
suspected enemies of their rights absent explicit congressional
8 Harold Hongju Koh, Setting the World Right, Yale Law Journal, Vol. 115, No. 9, 2006, h. 2360-2367.
6
approval.” Sekalipun dalam kasus tersebut, subjek yang
bersangkutan adalah orang asing. Hal ini adalah sebuah
contoh penting bahwa kepentingan sangat besar seperti
keamanan nasional tidak dapat serta merta dijadikan alasan
untuk dengan mudah melakukan tindakan diskresioner.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan penjelasan singkat dalam Sub-judul di
atas maka yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini ada
dua, yaitu:
1. Apa pengertian konsep kekuasaan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan?
2. Apa dasar-dasar pengujian terhadap penggunaan
kekuasaan diskresi dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan:
1. Memberikan kejelasan mengenai konsep kekuasaan
diskresi secara analitik, yuridis dan filosofis.
2. Memberikan kejelasan mengenai dasar-dasar pengujian
(toetsingsgronden) terhadap penggunaan kekuasaan
diskresi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
D. Landasan Teori
Isu sentral penelitian ini adalah kekuasaan atau
kewenangan diskresi pemerintah dan dasar-dasar pengujian
atas keabsahan dalam penggunaannya. Penelitian ini ratione
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
7
loci adalah penelitian tentang kekuasaan atau kewenangan
diskresi pemerintah dan dasar-dasar pengujian atas
keabsahan dalam penggunaannya dari perspektif hukum
Indonesia.
Isu teoretis yang relevan dengan penelitian ini adalah
tentang lingkup kekuasaan pemerintahan, keberlakuan asas
legalitas dan kontrol terhadap pemerintah. Teori lingkup
kekuasaan pemerintahan dimaksudkan untuk menjelaskan
ruang lingkup keberlakuan kekuasaan diskresi pemerintah
atau dalam bidang-bidang apakah tindakan diskresi
pemerintah dapat terjadi. Teori situasi-kondisi keberlakuan
asas legalitas akan menjelaskan mengenai latar belakang
tuntutan bagi lahirnya kekuasaan diskresi pemerintah.
Sementara teori kontrol terhadap pemerintah sangat
terkait dengan isu dasar-dasar pengujian terhadap tindakan
diskresi pemerintah. Artinya, dalam rangka kontrol terhadap
pemerintah tersebut maka dasar-dasar pengujian di sini
merupakan alat ukur untuk menentukan keabsahan bagi
tindakan diskresi pemerintah. Sedasar dengan itu, maka teori
kontrol terhadap pemerintah di sini akan mendiskusikan asas
the Rule of Law sebagai basis dari asas responsible government
(pemerintahan yang bertanggung jawab).
1. Teori Lingkup Kekuasaan Pemerintahan
Kekuasaan diskresi yang menjadi isu di sini adalah
kekuasaan pemerintah dalam arti sempit, yaitu bestuur.
Dalam pengertian demikian maka lingkup dari kekuasaan
diskresi yang dibahas di sini adalah didefinisikan oleh konsep
lingkup kekuasaan pemerintahan itu sendiri. Sehingga
8
konsekuensinya kemudian, karena kekuasaan diskresi di sini
meng-ada sebagai kekuasaan pemerintah maka di dalam
lingkup kekuasaan pemerintahan tersebut berpotensi untuk
terjadi tindakan diskresi oleh pemerintah.
Diskusi mengenai konsep lingkup kekuasaan
pemerintahan di sini mau tidak mau harus mengacu pada
treatise hukum administrasi. Konsep lingkup kekuasaan
pemerintahan (bestuur) yang dimaksudkan di sini adalah
lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan
legislatif dan kekuasaan yudisial. Pemaknaan demikian,
mengapa tidak digunakan istilah kekuasaan eksekutif,
mengandung suatu pengertian fungsional tertentu. Kekuasaan
pemerintahan, dalam praktik, tidak pernah murni kekuasaan
eksekutif, yaitu murni hanya melaksanakan undang-undang
(dalam praktiknya, pemerintah juga melakukan aktivitas rule-
making, tidak sebatas rule-executing belaka). Tetapi, konsep
kekuasaan pemerintahan tersebut juga bersifat aktif; tidak
hanya kekuasaan terikat, tetapi juga kekuasaan bebas. Hal ini
berarti bahwa lapangan kekuasaan pemerintahan lebih luas
dibandingkan dengan lapangan kekuasaan eksekutif belaka
(berdasar konsepsi asas trias politica).9
Konsepsi lingkup kekuasaan pemerintahan dengan
formulasi yang negatif tersebut, dengan pola residu,
menunjukkan keluasan bidang atau lapangan dari kekuasaan
pemerintahan yang tidak dapat dirumuskan dengan pola
positif-enumeratif. Minus bidang kekuasaan legislatif dan 9 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet – En Rechtmatig Bestuur), Surabaya: Yuridika, 1992, h. 1-5.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
9
kekuasaan yudisial, itulah bidang dari kekuasaan
pemerintahan, dan dijalankan melalui tindak pemerintahan
(bestuurshandelingen). Di dalam bidang tersebut, yang sangat
luas cakupannya, terbuka peluang sangat lebar untuk terjadi
tindakan diskresi oleh pemerintah: kekuasaan regulasi
(delegated legislation); dengan keputusan-keputusan
pemerintah (KTUN); dengan tindakan-tindakan faktual;
tindakan-tindakan polisionil dan penegakan hukum;
pengenaan sanksi pemerintahan, dan lain-lain.10
Pemerintah yang dimaksudkan di sini adalah alat
perlengkapan negara (tingkat pusat dan daerah) yang
menjalankan seluruh kegiatan bernegara dalam
menyelenggarakan pemerintahan.11 Pemerintah tingkat pusat
dan daerah tersebut, dapat merupakan seorang
petugas/pejabat (fungsionaris) maupun badan (lembaga)
pemerintahan.12
2. Teori Situasi-Kondisi Keberlakuan Asas Legalitas
Latar belakang dari kekuasaan diskresi adalah
perubahan situasi-kondisi yang tidak dapat diprediksi oleh
keberlakuan peraturan perundang-undangan, di mana dalam
rangka kontinuitas pemerintahan pemerintah tetap harus
melakukan tindakan. Oleh karena itu, justifikasi bagi
kekuasaan diskresi adalah pembedaan antara situasi-kondisi 10 Philipus M. Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Surabaya: Djumali, 1985; Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, h. 124-179 & 245-265. 11 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni.1986, h. 2. 12 Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1978, h. 42.
10
yang normal dengan situasi-kondisi yang abnormal berkenaan
dengan keberlakuan hukum. Pernyataan ini mengacu pada
pendapat Carl Schmitt:
Every general norm demands a normal, everyday frame of life to which it can be factually applied and which is subjected to its regulations. The norm requires a homogeneous medium. This effective normal situation is not a mere “superficial presupposition” that a jurist can ignore; that situation belongs precisely to [the norm’s] immanent validity. There exists no norm that is applicable to chaos. For a legal order to make sense, a normal situation must exist, and he is sovereign who definitely decides whether this normal situation actually exists. All law is ‘situational law’.13
Dalam situasi-kondisi normal di mana hukum ceteris
paribus (semua variabel dalam keadaan sama) berlaku, maka
asas legalitas yang berlaku, dan kekuasaan pemerintah di
bawah asas legalitas adalah kekuasaan terikat. Dalam situasi-
kondisi abnormal di mana hukum ceteris paribus tidak
berlaku, maka, demi hukum, asas legalitas tidak berlaku, dan
kekuasaan pemerintah dalam situasi demikian adalah
kekuasaan bebas/diskresi.
Pembedaan antara situasi-kondisi normal dan abnormal
berkenaan dengan keberlakuan asas legalitas adalah hal yang
wajar atau alami.14 Sebagai bukti bahwa pembedaan demikian
make sense adalah Art. 4 (1) the International Covenant on
Civil and Political Rights:
13 Pendapat tersebut dinyatakan dalam bukunya berjudul Political Theology: Four Chapters of Sovereignty. Pendapat tersebut diacu oleh Kim Lane Scheppele, Law in a Time of Emergency: States of Exception and the Temptations of of 9/11, Public Law and Legal Theory Research Papers Series, University of Pennsylvania Law School, Research Paper No. 60, 2004, h. 10. 14 Seperti dikenalnya pembedaan antara Hukum Biasa dan Hukum Darurat. Periksa Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
11
In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.
Situasi-kondisi kemasyarakatan tidaklah konstan, dan
perubahan situasi-kondisi kemasyarakatan tidak selalu
mampu diantisipasi oleh asas legalitas, oleh keberlakuan
peraturan perundang-undangan. 15 Sehingga, kekuasaan
diskresi pemerintah untuk mengantisipasi situasi-kondisi
demikian sifatnya niscaya (sine qua non).
3. Teori Kontrol terhadap Pemerintah
Menurut Tamanaha, asas the Rule of Law mengandung
konsepsi bahwa “government officials and citizens be bound by
and to act consistently with the law.” 16 Isu keterikatan dan
keharusan untuk bertindak secara konsisten sesuai dengan
hukum yang berlaku bagi subjek hukum sangat erat
kaitannya dengan konsep tanggung jawab atau tanggung
gugat (responsibility or liability).
Di bawah preskripsi the Rule of Law, hukum merupakan
instrumen dalam rangka kontrol terhadap setiap subjek
hukum, termasuk pemerintah. Asas the Rule of Law
15 Penjelasan lebih luas atas asumsi-asumsi ini akan menjadi isu untuk dibahas secara spesifik oleh Bab II. Pembahasan di sini sebatas dalam konteks menjelaskan bahwa pembedaan situasi-kondisi normal dengan situasi-kondisi abnormal adalah landasan teori bagi kekuasaan diskresi. 16 Brian Z. Tamanaha, A Concise Guide to the Rule of Law, dalam Gianluigi Palombella & Neil Walker, eds., Relocating the Rule of Law, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2009, h. 3.
12
mengkaidahi bahwa pemerintah sekalipun, dalam kedudukan
strukturalnya yang superior terhadap warga negara, tetap
harus bertindak dalam koridor hukum seperti halnya warga
negara biasa. Artinya, baik kepada warga negara maupun
kepada pemerintah, hukum harus berlaku sama sebagai
panglima. Konsepsi ini dikenal sebagai asas supremasi hukum
(supremacy of the law).
Sedasar dengan asas the Rule of Law maka asas
responsible government merupakan tuntutan yang niscaya
supaya makna hakiki dari asas the Rule of Law dapat
berdampak. Yang dimaksudkan di sini adalah keterikatan dan
keharusan untuk bertindak konsisten sesuai hukum yang
berlaku sebagai basis dari the Rule of Law akan hilang
maknanya manakala perilaku sebaliknya dari subjek hukum,
i.c. pemerintah, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Isu
kontrol terhadap pemerintah dimaksudkan supaya
pemerintah terikat pada hukum yang berlaku dan bertindak
konsisten sesuai dengannya dapat terjadi baik ex ante yang
fungsinya preventif maupun ex post yang fungsinya represif.17
Penelitian ini, dengan bertolak secara sadar dari isu
sentral dasar-dasar pengujian terhadap tindakan diskresi
pemerintah, meyakini pendirian bahwa tindakan diskresi
pemerintah di Indonesia, selain tindakan terikat, adalah
tindakan yang harus selalu dapat dipertanggungjawabkan
ketika dipermaklumkan bahwa the Rule of Law merupakan
asas fundamental dalam pengorganisasian negara di bawah
17 Ibid., h. 8.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
13
sistem konstitusional UUD 1945 (vide Pasal 1 Ayat (3) UUD
1945). Pokok pendirian ini tidak seyogianya dipahami dengan
pengertian bahwa kekuasaan diskresi merupakan sesuatu
yang tidak diperbolehkan di dalam sistem konstitusional yang
dibangun berdasarkan asas the Rule of Law ini. Tetapi karena
kekuasaan diskresi merupakan kekuasaan hukum, bukan
kekuasaan buta, maka a fortiori konklusinya ialah kekuasaan
diskresi ini harus digunakan secara bertanggung jawab dan
penggunaannya pun juga dapat dipertanggungjawabkan,
dalam pengertian dapat dikenakan kontrol.
Isu yang problematik dalam kasus ini adalah
ketegangan (tension) antara asas legalitas dengan tindakan
diskresi pemerintah di bawah preskripsi asas the Rule of Law.
Diskresi merupakan pengecualian atas asas legalitas dalam
situasi yang sangat spesifik. Hal ini yang menjadikan isu
kontrol terhadap tindakan diskresi pemerintah, begitu juga
halnya dasar-dasar pengujiannya, menjadi isu yang
problematik, yaitu menentukan batas atas dan batas bawah
bagi keabsahan tindakan diskresi pemerintah. Manakala
tindakan diskresi dilakukan pemerintah secara patut maka
tindakan diskresi tersebut justru diinginkan. Oleh karena itu,
yang berlaku kemudian di sini adalah kaidah a contrario:
Bilamanakah diskresi tidak dilakukan secara patut? Preskripsi
bagi isu ini adalah tentang dasar-dasar pengujian bagi
tindakan diskresi pemerintah sebagai landasan kontrol baik ex
ante maupun ex post yang merupakan fokus utama penelitian
ini.
14
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Untuk menjawab dua isu hukum di atas, sebagaimana
terumus pada rumusan masalah, maka penelitian ini
merupakan penelitian hukum (legal research) 18 dan akan
menggunakan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan
konseptual. Kedua, pendekatan perbandingan. Ketiga,
pendekatan filosofis. Keempat, pendekatan kasus.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) diperlukan
mengingat belum atau tidak ada aturan hukum 19 untuk
masalah kekuasaan diskresi dan dasar-dasar pengujian
hukumnya di Indonesia. Di dalam upaya membangun ke dua
konsep tersebut, penulis beranjak dari pandangan-pandangan
sarjana dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang di
dalam Ilmu Hukum. Dengan mempelajari pandangan-
pandangan sarjana dan doktrin-doktrin hukum, berarti: a.
Penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas
hukum yang relevan dengan isu hukum kekuasaan diskresi;
b. Menjadi sandaran penulis di dalam membangun argumen-
argumen hukum dalam memecahkan isu dasar-dasar
18 Pemahaman dan pengertian penelitian hukum dimaksud adalah sebagai berikut. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum, jika pada keilmuan yang bersifat deskriptif jawaban yang diharapkan adalah true atau false, jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate atau wrong. Oleh karena itu hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung nilai. Lihat dalam Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, h. 35. 19 Ibid., h. 137.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
15
pengujian hukum terhadap kekuasaan diskresi pemerintah.
Dalam rangka pendekatan konseptual ini penulis perlu
merujuk prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat
diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun
doktrin-doktrin hukum.20
Terkait dengan konsep hukum dari batasan hukum atau
pengujian terhadap tindakan diskresi pemerintah dapat juga
ditemukan di dalam undang-undang, meskipun tidak secara
eksplisit sebab memang tidak diatur secara spesifik untuk hal
tersebut. Untuk itu dalam mengidentifikasi prinsip tersebut,
penelitian ini memang perlu memahami terlebih dahulu
konsep tersebut melalui pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang ada.
Konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam
putusan-putusan pengadilan.21 Terkait dengan itu di dalam
upaya memtertajam pemahaman dan argumen terhadap
dasar-dasar pengujian yang digunakan atas kekuasaan
diskresi, maka penelitian ini juga memakai pendekatan
perbandingan (comparative approach). Untuk itu pendekatan
perbandingan dilakukan dengan membandingkan putusan
pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan lainnya
untuk masalah yang sama atau putusan pengadilan di negara
lain untuk kasus yang serupa, 22 dalam hal ini kasus
pengujian hukum kekuasaan diskresi.
20 Ibid., h. 138. 21 Ibid., h. 139. 22 Ibid., h. 133, 95.
16
Pendekatan perbandingan demikian dalam penelitian ini
berguna untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di
antara putusan-putusan pengadilan tersebut. Hal ini untuk
menjawab mengenai pengertian diskresi dalam kasus yang
melahirkan putusan pengadilan itu. Dengan melakukan
perbandingan putusan-putusan pengadilan tersebut, maka
penelitian ini akan memperoleh gambaran mengenai
konsistensi pengertian tindakan diskresi pemerintah dan
batasan hukum dari pelaksanaan kekuasaan diskresi
pemerintah. Demikian pula dengan memperbandingkan
pandangan-pandangan sarjana dan keberadaan doktrin-
doktrin hukumnya, akan bermanfaat bagi penyikapan latar
belakang terjadinya diskresi pemerintah dan dasar-dasar
pengujian hukumnya, baik menurut sistem hukum Indonesia
maupun negara lain.
Pendekatan filosofis (philosophical approach) digunakan
untuk menangkap makna nilai yang terkandung dalam
diskresi itu sendiri dan hukum sebagai tolok ukur dalam
pendayagunaan tindakan diskresi pemerintah. Pendekatan ini
bertujuan untuk melihat konsep kekuasaan diskresi
pemerintah sebagai suatu konsep normatif produk dari sistem
nilai tertentu. Oleh karena itu penelitian ini juga akan
menjawab isu mengapa diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintahan menjadi keharusan (aspek aksiologis). Melalui
pendekatan filosofis maka penulis akan meletakkan dasar
argumen pembenaran keberadaan diskresi pemerintah yang
menimbulkan antinomi dengan asas legalitas.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
17
Tahapan berikutnya dalam pendekatan ini akan menjawab isu
apakah kekuasaan diskresi digunakan untuk mencapai
tujuannya (aspek teleologis). Hal ini diperlukan oleh karena
makna filosofis tujuan kekuasaan diskresi di dalam
pemerintahan adalah hukum itu sendiri, yakni nilai keadilan
dan kemanfaatan. Tahapan terakhir penggunaan pendekatan
ini untuk menjawab isu pentingnya dasar pengujian terhadap
penggunaan kekuasaan diskresi. Dalam hal ini apakah
pemerintah dalam melakukan tindakan diskresinya dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dengan demikian
pendekatan filosofis dalam penelitian ini adalah dalam rangka
supaya konsep kekuasaan diskresi dan tanggungjawab
pemerintah atas penggunaannya dapat diterima dan diakui
keberadaannya secara luas dan umum (make sense to the
world).
Pendekatan kasus (case approach) juga diperlukan
mengingat undang-undang tidak mengatur secara spesifik isu
hukum penelitian.23 Pendekatan kasus dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan
dengan masalah kekuasaan diskresi dan asas-asas hukum
pengujiannya dalam putusan-putusan pengadilan. Dalam
penelitian ini yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan
kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu
pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu
putusan, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
23 Lihat dalam Ibid., h. 124.
18
hakim untuk sampai kepada putusannya.24 Analisis hukum
dengan pendekatan kasus ini dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama, inventarisasi putusan yang relevan dengan isu
hukum penelitian ini sebagai referensi dalam menganalisis isu
hukum penelitian. Tahap kedua, menemukan ratio decidendi
sebagai referensi bagi penulis untuk penyusunan argumentasi
dalam pemecahan isu hukum penelitian.
Pendekatan kasus ini penting karena terkait dengan
penerapan dasar-dasar pengujian yang sifatnya abstrak ke
dalam kasus-kasus konkret sehingga hal itu merupakan
bahan yang sangat berharga dalam rangka melakukan
generalisasi untuk membangun suatu pengertian. Pendekatan
kasus juga akan mencakup putusan-putusan pengadilan
asing. Sebagaimana telah dikemukakan, hal ini dilakukan
juga dalam kaitan dengan pendekatan perbandingan.
2. Sumber Penelitian
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya,
diperlukan sumber-sumber penelitian. 25 Merujuk kepada
macam pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,
maka sumber penelitiannya dapat dibedakan yang berupa
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
24 Ibid., h. 94. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus (case approach) bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi. Dengan demikian pendekatan kasus (case approach) dibedakan dengan studi kasus (case study). Di dalam pendekatan kasus, beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum. Sedangkan studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum. Lihat dalam Ibid., h. 94, 119. 25 Ibid., h. 141.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
19
Bahan hukum primer sebagai sumber dalam penelitian
ini adalah putusan-putusan pengadilan, baik dari putusan
pengadilan di Indonesia maupun putusan pengadilan asing –
terutama terkait dengan penggunaan pendekatan kasus.
Sedangkan bahan hukum sekunder sebagai sumber penelitian
ini adalah tulisan-tulisan hukum (treatise) terutama buku-
buku hukum dan artikel dalam jurnal-jurnal hukum, di
samping itu juga dari kamus-kamus hukum dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder
ini, baik yang berasal dari penulis Indonesia maupun asing.
Memperhatikan operasionalisasi macam-macam pendekatan
yang dipakai dalam penelitian ini, maka bahan-bahan hukum
yang digunakan akan didominasi oleh bahan hukum
sekunder.
F. Sistematika
Penelitian ini akan mengulas hal-hal sebagai berikut.
Bab II akan membahas mengenai konsep kekuasaan
diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tataran
analitik, yuridis dan filosofis. Tataran analitik akan
menjelaskan konsep diskresi itu dari sudut pandang
fungsional pemerintahan. Tataran yuridis akan menjelaskan
konsep diskresi itu sebagai sebuah keharusan dalam
penyelenggaraan pemerintahan (discretionary power as a
must). Dalam kaitan dengan itu maka pada tataran yuridis ini
akan dikaji kompatibilitas konsep kekuasaan diskresi dengan
asas the Rule of Law. Sementara tataran filosofis akan
menyoroti aspek aksiologis mengapa diskresi dalam
20
penyelenggaraan pemerintahan menjadi sebuah keharusan
(keharusan bagi keharusan diskresi).
Bab III akan membahas mengenai dasar-dasar
pengujian terhadap kekuasaan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Beberapa hal yang terkait
dengan pembahasan tersebut antara lain: konteks the Rule of
Law sebagai asas yang harus tetap menjadi acuan bagi
pelaksanaan kekuasaan diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintahan; hubungan antara diskresi dengan asas
legalitas; Principles of Good Governance dan Asas-asas
Efisiensi dan Efektivitas sebagai dasar pengujian terhadap
tindakan diskresi pemerintah serta metode dan sarana
pengujian yang memadai terhadap tindakan diskresi
pemerintah. Bahasan mengenai hal ini dimaksudkan agar
asas the Rule of Law tidak menimbulkan kebuntuan bagi
penyelenggaraan pemerintahan (konsep marginal review atau
marginal toetsing).
Bab IV merupakan bab penutup yang akan berisi
kesimpulan dan saran dikaitkan dengan pembahasan yang
telah dilakukan sebelumnya.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
21
BAB II.
KONSEP KEKUASAAN DISKRESI
PEMERINTAHAN
Bab ini membahas isu konsep kekuasaan diskresi
pemerintahan. Pembahasan ini memiliki tujuan untuk
memberikan kejelasan atas konsep kekuasaan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang masih kontroversial dari
berbagai aspek supaya konsep kekuasaan diskresi tersebut
make sense in the context of the legal system dan sekaligus
make sense in the world.1 Maksud dari pernyataan ini adalah
pembahasan tentang konsep kekuasaan diskresi dilakukan
sedemikian rupa supaya konsep tersebut tidak hanya
akseptabel secara kekuasaan per se, tetapi juga sekaligus
akseptabel secara yuridis dan secara moral/etis.
Untuk itu, pembahasan ini dilakukan dalam tiga tataran
analisis. Pertama, konsep kekuasaan diskresi akan dianalisis
dari perspektif pendekatan analitik untuk meletakkan batasan
pengertian mengenai apa yang dimaksudkan dengan konsep
kekuasaan diskresi pemerintahan tersebut dan apa yang tidak
(Sub-judul II.A). Kedua, dari pendekatan yuridis, konsep
kekuasaan diskresi akan dilihat sebagai produk hukum, suatu
kondisi yang dituntut oleh hukum untuk diadakan.
Pembahasan pada tataran ini akan menganalisis konsep
kekuasaan diskresi pemerintahan sebagai bentuk delegasi dari 1 Neil MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, Oxford: Oxford University Press, 1978, h. 103. Rujukan kepada pendapat MacCormick ini adalah tentang kriteria bagaimana seharusnya suatu legal decisions.
22
legislatif berkenaan dengan kekosongan ketentuan dalam
legislasi, berkenaan dengan norma/kaidah kabur dalam
ketentuan legislasi atau berkenaan dengan kontradiksi dalam
ketentuan legislasi atau berkenaan dengan suatu situasi
tertentu. Pendekatan yuridis akan mengetengahkan kaidah
perlindungan hukum dalam penggunaan kekuasaan diskresi
(Sub-judul II.B). Untuk memperluas insight, pembahasan
pada tataran ini juga akan mengacu pada teori/doktrin yang
berkembang di negara lain. Ketiga, dari pendekatan filosofis
konsep kekuasaan diskresi pemerintahan akan dilihat sebagai
suatu konsep normatif produk dari sistem nilai tertentu.
Dalam pengertian demikian pembahasan di sini akan
mengulas mengenai aspek aksiologis dari konsep kekuasaan
diskresi pemerintahan (Sub-judul II.C).
A. Pendekatan Analitik
1. Akar dari Konsep Diskresi: Konsep Perluasan Kekuasaan
Pemerintahan
Konsep kekuasaan tidak pernah berada dalam makna
yang hampa, bahkan dalam pengertiannya yang sederhana
sekalipun, “kemampuan berbuat atau bertindak”. 2
Pemahaman kekuasaan oleh umum itu berbicara tentang
kekuasaan dalam hubungannya dengan interaksi sosial.
Kekuasaan memperlihatkan suatu kemampuan yang terdapat
di dalam hubungan antar manusia, suatu hubungan sosial
sebagai wadah penerapan kekuasaan.
2 A.S. Hornby, Oxford Advanced Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1983, h. 652.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
23
Kekuasaan dengan demikian memperoleh makna di
dalam hubungan sosial sebagai kekuasaan sosial. Bagian dari
kekuasaan sosial yang ditujukan kepada negara, oleh Ossip K.
Flechtheim disebut sebagai kekuasaan politik. 3 Miriam
Budiardjo mengartikan kekuasaan politik sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum, baik
terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan
tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri.4
Kekuasaan politik, dengan demikian bertujuan untuk
mempengaruhi tindakan dan aktifitas negara dengan
menjalankan penyelenggaraan pemerintahan. 5 Oleh karena
kekuasaan politik ditujukan kepada negara, maka
pelaksanaan kekuasaan politik berada dalam bingkai fungsi
negara. Terkait ini, negara menyelenggarakan minimum fungsi
yang mutlak perlu, yaitu mengusahakan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini dianggap penting,
terutama bagi negara-negara baru dan berkembang.6
Dalam rangka pencapaian tujuan bersama ini maka
negara mempunyai tugas mengintegrasikan kegiatan manusia
dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari
masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana
3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981, h. 38. 4 Ibid., h. 13. 5 Negara dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama, yang mana tujuan terakhirnya ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya atau bonum publicum/common good/common wealth. Ibid., h. 45. 6 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionaire dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 72.
24
kegiatan-kegiatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan
kepada tujuan nasional.
Pengendalian dan pengorganisasian fungsi negara
mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
tersebut dilakukan dengan perantaraan pemerintah beserta
segala alat-alat perlengkapannya.7 Sebab dalam kenyataannya,
pihak atau organ yang menyelenggarakan kekuasaan negara
adalah pemerintah, baik dalam arti sempit – lembaga eksekutif
– maupun dalam arti luas, meliputi seluruh badan kenegaraan
yang terdapat di dalam negara.8
Dilihat dari sudut pandang Hukum Administrasi, fungsi
negara untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya ini terjelmakan sebagai kekuasaan pemerintahan.
Menurut Lemaire terdapat kekuasaan yang kelima dalam
pemerintahan, yaitu penyelenggara kesejahteraan umum. 9
Sehingga pemerintahan dalam arti luas mencakup kekuasaan
atau fungsi penyelenggara kesejahteraan umum (bestuurszorg).
Salah satu alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan
pemerintah di negara-negara demokrasi modern adalah
perluasan peranan negara di setiap sektor kehidupan
masyarakat. Campur tangan negara, terutama di bidang
7 Miriam Budiardjo, Op.cit., h. 38-39. Pemahaman tersebut mewakili salah satu pengertian negara yang didefiniskan sebagai “A body of people occupying a definite territory and politically organized under one government.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul-Minn.: West Publishing Co., 1983, h. 731. 8 Parlin M. Mangunsong, Pembatasan Kekuasaan Melalui Hukum Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 43. 9 Empat kekuasaan atau fungsi pemerintahan lainnya adalah pemerintahan dalam arti sempit atau bestuur; peradilan atau rechtspraak; polisi atau politie; membuat peraturan atau regel-geven. Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, h. 100.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
25
sosial-ekonomi, menyebabkan semakin besarnya keterlibatan
pemerintah di dalamnya. 10 Keterlibatan pemerintah yang
sedemikian luas dalam tugas negara ini menempatkan dirinya
sebagai servis publik, yakni menyelenggarakan dan
mengupayakan suatu kesejahteraan sosial bagi
masyarakatnya.
Dengan demikian fungsi memajukan kesejahteraan
umum yang melekat pada negara, 11 menimbulkan
konsekuensi yang mendasar terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. Pemerintah (bestuur), berkewajiban
memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial
dalam arti seluas-luasnya. Pemerintah wajib meningkatkan
seluruh kepentingan masyarakat, sehingga berakibat
pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada
pemerintah dilimpahkan fungsi servis publik, bestuurszorg.12
Pemerintah sebagai organ kekuasaan negara
menjalankan tugas negara, yaitu melaksanakan fungsi negara
mensejahterakan rakyatnya. Dalam rangka menjalankan
fungsi negara ini pemerintah, sebagaimana kewajiban negara,
aktif terlibat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.
Campur tangan negara ini, sebagaimana ditunjukkan oleh
pemerintah, untuk menjamin terselenggaranya kesejahteraan
sosial. 10 Saut P. Panjaitan, Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 105-106. 11 Dalam literatur Hukum Administrasi dikenal dengan sebutan tipe negara hukum welfare State. 12 Patuan Sinaga dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 73. Menurut pemahaman Lemaire dikerjakan bestuurszorg.
26
Akan tetapi mengingat sedemikian luasnya aspek
kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang digeluti
itu, membawa pemerintah kepada suatu konsekuensi khusus,
yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan
kebijaksanaannya sendiri. Dengan kata lain, agar servis publik
dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada
pemerintah diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk
bertindak atas inisiatif sendiri.13 Kemerdekaan bertindak atas
inisiatif dan kebijaksanaan sendiri ini, di dalam Hukum
Administrasi dikenal dengan sebutan pouvoir discretionnaire,
Perancis ataupun freies ermessen, Jerman.14 Dengan demikian
dalam perspektif hukum administrasi, pouvoir discretionnaire
atau kekuasaan diskresi dapat ditelusuri melalui
perkembangan peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu
alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan pemerintah di
negara-negara demokrasi modern adalah dengan
meningkatnya peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi.
Perkembangan hingga menjadi demikian tersebut memiliki
sejarah panjang, dimulai dari konsep negara nomoi (negara
hukum) dari Plato. Kemudian muncul polizeeistaat atau
nachtwakerstaat yang mana negara tidak diperkenankan turut
serta dalam kehidupan sosial masyarakat. Konsepsi ini
dikenal juga dengan istilah negara hukum formal; negara
13 Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Op.cit., h. 120. 14 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962, h. 24; Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni., 1985, h. 12.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
27
hukum klasik atau rechtsstaat in engere zin; 15 formal
conceptions of the Rule of Law. 16 Berdasarkan konsepsi ini,
peranan negara/pemerintah adalah minimalis mengikuti dikte
asas laissez faire laissez aller. Asas laissez faire laissez aller
mengandung pengertian peranan minimalis negara dalam
mengontrol usaha-usaha pribadi dalam masyarakat dan
besarnya peranan individu dalam melakukan kebebasan
berkontrak. Falsafah ini ternyata justru menimbulkan
penderitaan bagi manusia, karena ia mengakibatkan
terjadinya eksploitasi oleh yang kuat terhadap kelompok
orang-orang yang lemah. Dengan demikian, pada polizeeistaat
atau nachtwakerstaat, negara sepenuhnya hanya
mempertahankan staatsonthouding, yaitu pemisahan antara
negara dengan masyarakat. Sebagaimana diketahui sekarang
ini perkembangan konsep negara hukum–disifatkan sebagai
negara hukum material–sangat dipengaruhi oleh konsep
welvaarstaat atau negara hukum kesejahteraan (welfare State;
social service State); substantive conceptions of the Rule of
Law.17 Pergeseran konsepsi tentang the Rule of Law ini adalah
sesuai dengan perkembangan tuntutan kemasyarakatan, yang
tergambar dalam matriks sebagai berikut:18
15 E. Utrecht, Ibid., h. 21. Pemahaman yang tidak berbeda mengenai negara hukum klasik ini dapat dijumpai pula dalam pendapat Saut P. Panjaitan dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 105-106. 16 Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, h. 91. 17 Ibid., 102. 18 Ibid., h. 91.
28
Pada masa setelah abad ke-17 (abad pencerahan atau
aufklarung), Montesquieu mengemukakan teori trias politica
yang bertujuan membatasi penyelenggaraan kekuasaan
negara, dengan memisahkan kekuasaan pemerintahan atas
tiga bagian: legislatif, eksekutif dan yudisial. Dalam
perkembangannya teori pemisahan kekuasaan di dalam
praktik tidak dapat diterapkan secara utuh dan konsekuen
oleh karena yang terjadi cenderung menyerupai pembagian
kekuasaan. Kini dengan dianutnya konsep negara
kesejahteraan (welfare State) mengakibatkan terjadinya
pergeseran sebagian kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Apabila sebelumnya kekuasaan penyelenggara
pemerintahan, dalam hal ini pemerintah (bestuur), diatur agar
tidak demikian dominan; maka di dalam negara kesejahteraan
justru diberi peluang untuk menjadi dominan dengan
penyebabnya adalah pemberian legitimasi bagi adanya
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
29
kekuasaan diskresi pemerintah.19 Dalam hal ini, kekuasaan
penyelenggara pemerintahan menjadi bersifat bebas dan luas
dalam menjalankan fungsi dan tugas negara. Penjelasan
untuk ini oleh Utrecht diartikulasikan sebagai fungsi servis
publik di dalam penyelenggaraan pemerintahan welfare State
yang mengakibatkan terjadinya pergeseran sebagian
kekuasaan antar lembaga negara yakni dari lembaga legislatif
kepada lembaga eksekutif (pemerintah). Supremasi legislatif
digantikan oleh supremasi eksekutif.20
Dengan demikian terdapat hubungan antara supremasi
eksekutif – yang tercermin pada kemerdekaan bertindak atau
pouvoir discretionnaire, dengan luas bidang kehidupan sosial-
ekonomi dan kepentingan masyarakat – yang mencerminkan
perluasaan kekuasaan pemerintah. Pengertian ini sejalan
dengan pernyataan Tanamaha: “Owing to the overall expansion
of government activities, much of it policy oriented requiring that
discretionary judgments be made, there may have been a
reduction in the total proportion of government actions bound by
legal rules.”21
2. Diskresi sebagai Kebebasan Bertindak Pemerintah
Istilah diskresi yang dipergunakan di sini merupakan
sinonim istilah discretion dalam bahasa Inggris. Konsep
diskresi yang dipergunakan di sini adalah konsep tentang
19 Pada welvaarstaat peranan Hukum Administrasi menjadi semakin luas dan dominan. Hal ini menunjukkan semakin aktifnya negara terlibat dan melakukan campur tangan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, sukar membayangkan suatu negara modern saat ini tanpa adanya Hukum Administrasi di dalamnya. Saut P. Panjaitan dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 106. 20 E. Utrecht, Op.cit., h. 24. 21 Brian Z. Tamanaha, Op.cit., h. 98.
30
kekuasaan (dalam bahasa Inggris disebut discretionary power
dan dalam bahasa Perancis disebut pouvoir discretionnaire).
Sebagaimana nampak di atas, secara terminologis makna
intrinsik diskresi selalu mengandung konotasi kekuasaan.
Kekuasaan di sini dimaknai dalam bentuk hubungan antara
pihak yang memerintah (the ruler) dan pihak yang diperintah
(the ruled). Satu pihak yang memberi perintah, satu pihak
yang mematuhi perintah.22
Kekuasaan dalam hubungan yang memerintah dan yang
diperintah (the ruler and the ruled) di dalam kehidupan politik
disebut kekuasaan politik. Di dalam kekuasaan politik harus
ada penguasa yaitu pelaku yang memegang kekuasaan, dan
harus ada alat atau sarana kekuasaan agar penggunaan
kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik. Oleh Ossip K.
Flechtheim dikatakan bahwa kedua syarat kekuasaan politik
itu terwujud dalam negara (State power) dan ditujukan kepada
negara.23 Hal ini dapat dimengerti karena negara sebagai satu-
satunya pihak berwenang yang mempunyai otoritas untuk
mengendalikan tingkah laku sosial-politik (dengan paksaan).
Dengan demikian pemahaman kekuasaan tidak bisa tidak
harus pula mengkaitkan dengan negara sebagai sumber
kewenangan dari mana kekuasaan memperoleh
kewenangannya.24
22 Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, h. 35-36. 23 Ibid., h. 37-38. 24 Negara merupakan integrasi dan organisasi kekuasaan politik, sebab negara merupakan alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Ibid., h. 39.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
31
Di dalam konteks demikian itu, maka kekuasaan politik
merupakan cerminan dari kekuasaan negara. Sedangkan
negara, dalam hal ini dirumuskan terbatas hanya sebagai
pemerintah atau lembaga eksekutif dari sistem pemerintahan,
termasuk juga perangkat-perangkat (negara) yang menunjang
pelaksanaan berbagai fungsi eksekutif.25
Sebagaimana dijelaskan di atas, konsep diskresi adalah
konsep tentang kekuasaan, dalam hal ini adalah kekuasaan
pemerintah dalam arti sempit (bestuur). Diskresi sebagai
konsep kekuasaan adalah kekuasaan dalam pengertian
spesifik, tidak dalam pengertian rutin. Kekuasaan diskresi di
sini adalah kebebasan bertindak pemerintah. Kebebasan di
sini memiliki pengertian yang netral, yaitu menggambarkan
adanya suatu kekuasaan memilih berbagai tindakan
sebagaimana diungkapkan oleh Stanley de Smith, “…. implies
power to choose between alternative courses of action.” 26
Karena merupakan suatu kebebasan, maka dalam arti
demikian kekuasaan ini tidak dapat diperlakukan sebagai hal
yang tindak lanjutnya bersifat rutin.
Memaknai diskresi dalam pengertian sebagai jenis
kekuasaan yang spesifik ini, kebebasan dalam memilih atau
menentukan suatu tindakan, sangat problematik. Cox lewat
pernyataannya berikut berupaya menggambarkan problematik
tersebut:
Put most simply, discretion represents the judgment as to what activities in an agency are to receive priority. The common
25 Patuan Sinaga dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 71. Negara, dengan demikian dirumuskan secara luas yaitu sistem pemerintahan. 26 Ibid., h. 79.
32
assumption is that, at any moment in time, administrative officials have a choice of what to do, and that the choice affects the agency and the public. The exercise of discretion presumes both the need for and the capacity to exercise judgment. The situation and circumstances drive the decision to exercise discretion. This is not about simply implementing the “routine.” The fundamental question is how to ensure that the discretionary decision-making by bureaucrats is done “rightly.” What will be argued here is that the capacity to exercise discretion well is not merely the result of thinking or wanting to do things well. It involves a priori judgments of what is right that includes an accurate assessment of the situation, an ethical and political framework that defines the boundaries of behavior and the capacity to act.27
Ada beberapa butir pengertian dari pendapat Cox yang penting
untuk ditegaskan kembali di sini. Pertama, pilihan dalam
melakukan tindakan mempengaruhi tidak hanya pembuat
tindakan tetapi juga pihak lain (publik). Kedua, apakah
tindakan diskresi dilakukan secara benar tidak semata hasil
dari pemikiran atau keinginan untuk melakukannya secara
benar, tetapi sangat bergantung pada pertimbangan a priori
mengenai apa yang benar yang menuntut penilaian secara
akurat terhadap situasi yang dihadapi, kerangka etik dan
politik yang menentukan batasan bagi perilaku, dan kapasitas
untuk melakukan tindakan. Dalam pengertian demikian,
memang tepat ketika Cox menyatakan bahwa tindakan
diskresi ini bukan hal yang rutin untuk dilakukan.
Dasar teori dari diskresi adalah pertimbangan mengenai
perkembangan situasi dan kondisi (sikon). Perubahan sikon
adalah keniscayaan. Sementara perubahan peraturan tidak
27 Raymond W. Cox III, Accountability and Responsibility in Organizations: The Ethics of Discretion, Paper presented at the “Ethics and Integrity in Governance Conference Leuven, Belgium June 2-5, 2005, h. 4-5.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
33
niscaya serta merta dapat terjadi. Dalam konteks demikian
Fatovic memberikan kaidah: “Designed for the ordinary and the
normal, law cannot always provide for such extraordinary
occurrences in spite of its aspiration to comprehensiveness.”28
Hakikat kekuasaan diskresi pada pemerintah memperlihatkan
fungsinya dalam hal: (a) menyelesaikan berbagai
permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara
cepat; (b) penyelesaian soal-soal genting yang timbul dengan
sekonyong-konyong dan yang peraturan penyelesaiannya
belum ada.29
Kekuasaan diskresi pemerintah dalam pengertian
sebagai kebebasan bertindak pemerintah memiliki dua bentuk,
yaitu kebebasan kebijakan (beleidsvrijheid) dan kebebasan
penilaian (beoordelingsvrijheid). Kebebasan kebijakan
(wewenang diskresi dalam arti sempit) ada manakala
peraturan perundang-undangan memberikan wewenang
tertentu kepada organ pemerintahan sementara organ
tersebut bebas untuk tidak menggunakannya meskipun
syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.
Kebebasan penilaian (wewenang diskresi tidak dalam arti
sesungguhnya) ada manakala sejauh menurut hukum
diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara
mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan
suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.30
28 Clement Fatovic, Outside the Law: Executive and Emergency Power, Baltimore: The John Hopkins University Press, 2009, h. 2. 29 Saut P. Panjaitan dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 107. 30 Menurut N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet – En Rechtmatig Bestuur), Surabaya: Yuridika, 1992, h. 6-7.
34
3. Konsep Kebijakan
Konsep kebijakan acapkali digunakan sinonim dengan
konsep diskresi di kalangan Sarjana Hukum Indonesia.
Apakah konsep diskresi sama dengan konsep kebijakan
(beleids; policy); ataukah pada kedua konsep ada nuansa
pengertian?
Konsep kebijakan di sini, menurut Thomas R. Dye,
adalah whatever government choose to do or not to do.31 Per
definisi, konsep kebijakan di atas nampak mengandung
elemen diskresi (dengan penggunaan kata whatever), sehingga
oleh karena itu menyamakan kebijakan dengan diskresi
adalah tidak keliru. Pendapat lebih eksplisit dikemukakan
oleh Peter Cane dengan mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan policy tidak lain adalah the non-statutory criteria yang
menjadi dasar suatu keputusan (dan tindakan) pemerintah
yang seyogianya dasarnya statutory.32
Pengertian yang bernuansa dikemukakan oleh Laica
Marzuki berkenaan dengan eksistensi policy rule atau
beleidsregel: “Beleidsregel tidak lain dari freies Ermessen, atau
discretionary power dalam wujud tertulis dan dipublikasi
keluar.” 33 Kebijakan tidak selalu direalisir dalam bentuk
peraturan, tetapi juga dengan tindakan (atau tidak melakukan
tindakan). Khusus dalam konteks peraturan kebijakan,
maksud daripada adanya tindakan ini adalah supaya 31 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press, 2000, h. 107. 32 Peter Cane, Administrative Tribunals and Adjudication, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2009, h. 147. 33 H.M. Laica Marzuki, Sambutan, dalam Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel), Yogyakarta: UII Press, 2005, h. xi.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
35
kebijakan pemerintah tersebut dapat diketahui oleh khalayak
(publik); naar buiten gebracht schriftelijk beleid (harafiahnya
berarti: menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis). 34
Sarjana lain yang juga menyamakan begitu saja konsep
kebijakan dengan diskresi adalah Indriyanto Seno Adji,
meskipun dengan alasan-alasan yang kurang spesifik (jelas).35
Mempertimbangkan paparan yang telah dilakukan di
atas maka secara konseptual kekuasaan diskresi pemerintah
merupakan kekuasaan yang timbul karena perkembangan
atau perluasan konsep fungsi pemerintahan. Diskresi adalah
kebebasan bertindak pemerintah dalam kaitan untuk
menjawab perkembangan tuntutan dalam hidup
kemasyarakatan terkait dengan fungsi pemerintah sebagai
penyelenggara kepentingan umum di dalam sebuah negara.
Kebebasan bertindak pada pemerintah ini lahir karena situasi
keterbatasan pengaturan hukum sebagai landasan bertindak
bagi pemerintah untuk situasi tertentu (antara lain: kaidah
kabur, kekosongan pengaturan atau kontradiksi dalam
pengaturan) padahal aktivitas pemerintahan dalam rangka
penyelenggaraan negara sifatnya adalah terus menerus atau
kontinyu dan tidak boleh terhenti.
Dalam pengertian demikian, diskresi adalah kekuasaan
yang mengandung pengertian sangat spesifik, yaitu
pengecualian bagi situasi normal di mana tuntutan mengenai
tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah sudah 34 Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, h. 152. 35 Indriyanto Seno Adji, Perspektif Ajaran Perbuatan Melawan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25, No. 4, Oktober 2007, h. 283-304.
36
tercakup dalam pengaturan hukum. Dalam situasi normal
maka jenis kekuasaan yang berlaku bagi pemerintah adalah
kekuasaan atau kewenangan terikat. Artinya, dalam situasi
demikian asas legalitas dari asas the Rule of Law akan selalu
menjadi panglima. Pengertian demikian tidak a-historis. Hal
ini dapat dibandingkan dengan pendapat Aristoteles dalam
bukunya Politics (book III, ch xi, § 19):
Rightly constituted laws should be the final sovereign; and personal rule, whether it is exercised by a single person or a body of persons, should be sovereign only in those matters on which law is unable, owing to difficulty of framing general rules for all contingencies, to make an exact pronouncement.36
B. Pendekatan Yuridis (Legal)
Tesis utama pembahasan atas isu konsep kekuasaan
diskresi dengan pendekatan yuridis adalah bahwa konsep
kekuasaan diskresi merupakan legal concept yang eksis di
dalam legal system yang mengkaidahi suatu political system
(baca: asas the Rule of Law) — dalam hal ini penyelenggaraan
negara dan pemerintahan. Dengan demikian konsep yuridis
kekuasaan diskresi berhimpitan dan tarik-menarik dengan
konsep legalitas. Oleh karena itu, isu kekuasaan diskresi
pemerintah tidak dapat dilepaskan dari isu power relations
antara pemerintah dengan legislator (pembentuk undang-
undang).
Sedasar dengan itu, konsepsi yuridis atas konsep
kekuasaan diskresi yang penulis kembangkan di sini adalah
36 Antonin Scalia, The Rule of Law as a Law of Rules, The University of Chicago Law Review, Vol. 56, No. 4, 1989, h. 1176.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
37
bentuk delegasi dari pembentuk undang-undang kepada
bestuur untuk melakukan suatu tindakan baik berupa
tindakan nyata maupun tindakan yuridis (membentuk
keputusan atau peraturan). Diskresi pada bestuur dalam
pengertian ini adalah residu dari kekuasaan pembentuk
undang-undang yang tidak seluruhnya tercakup di dalam
legislasi. Pengertian demikian yang hendak penulis jabarkan
dalam pembahasan pada paragraf-paragraf berikut di bawah
ini.
1. Hakikat dari Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif dalam negara modern merupakan
kebutuhan institusional yang niscaya. Kekuasaan legislatif
dibutuhkan dalam rangka rule-making untuk menghasilkan
legislasi. Menurut Crabbe, legislasi sangat dibutuhkan oleh
negara modern karena: “to accomplish certain political
objectives and certain particular public policies.” 37 Legislasi
merupakan sarana yang lazim digunakan oleh pemerintah
untuk memerintah.38
Kebutuhan akan hadirnya legislasi dalam negara
modern dipertegas dengan asas the Rule of Law yaitu asas
legalitas. Dalam kaitan dengan itu pengertian minimal tentang
the Rule of Law yang disepakati secara universal ialah: “law is
the means by which the State conducts its affairs, that whatever
a government does, it should do through laws.”39
37 V.C.R.A.C Crabbe, Legislative Drafting, London: Cavendish Publishing Ltd., 1994, h. 1 38 Ibid., h. 4. 39 Brian Z. Tanamaha, Op.cit., h. 92.
38
Kekuasaan melakukan rule-making pada lembaga
legislatif merupakan isu ketatanegaraan yang serius. Crabbe
mengemukakan mengenai dilema dalam rule-making legislasi
sebagai berikut:
They have to think of the past, the present and the future. They consider the conduct of society in the past. They write in the present to deal with present particular problems. They speak to the future by laying down rules of conduct for the guidance of society. They have to think of the problems involved from as many different angles as possible – the simple as well as the complex. It is not just a question of changing a few ideas around. They have to think of the legal practitioners who will try to read the law – even if in bad faith – to suit a particular case and who will take advantage of a loophole.40
Pernyataan Crabbe di atas menggambarkan tugas berat yang
harus dihadapi oleh legislator guna menghasilkan legislasi
yang memadai. Pengaturan yang dilakukan oleh legislator
melalui legislasi harus mampu menjawab kebutuhan
pengaturan tidak hanya pada masa kini tetapi juga pada masa
depan, serta harus senantiasa antisipatif atas berbagai
kemungkinan perubahan situasi dan kondisi, termasuk
tindakan memanfaatkan celah di dalam legislasi itu sendiri
baik untuk maksud baik maupun buruk.
Suatu masyarakat selalu berubah adalah sebuah
keniscayaan. Menangani perubahan tersebut, dalam situasi
normal sesuai hukum ceteris paribus, seharusnya adalah
dengan menyesuaikan peraturan yang ada supaya asas
legalitas berlaku sebagai panglima. Tetapi, sebuah
pemerintahan tidak bisa berhenti menunggu penyesuaian
40 V.C.R.A.C. Crabbe, Op.cit., h. 11.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
39
peraturan tersebut. Legislator dan legislasi yang tidak
antisipatif terhadap isu ini akan menimbulkan kemandegan
dalam pemerintahan yang secara sifat harus selalu kontinyu.
Oleh karena itu, diskresi adalah tindakan antisipatif yang
secara yuridis sifatnya adalah keniscayaan. Konsepsi
antisipatif dari legislator tersebut yang akan dijabarkan
selanjutnya di bawah ini.
2. Delegasi dari Pembentuk Undang-undang
Penulis berpendirian bahwa basis teori hukum atas
kekuasaan diskresi adalah delegasi dari pembentuk undang-
undang. Untuk menjustifikasi argumen tersebut penulis
mengacu pada teori yang berkembang tentang praktik
ketatanegaraan mengenai isu emergency power di AS dalam
kaitan dengan hubungan kekuasaan antara legislatif dengan
eksekutif. Menurut teori ini,
Legislators themselves know that Congress is not well suited for emergency action. Rather than trying to legislate for emergencies during emergencies, legislators act beforehand, authorizing the president and executive agencies to act if an emergency arises and generally granting them massive discretion. Legislative action during emergencies consists predominantly of ratifications of what the executive has done, authorizations of whatever it says needs to be done, and appropriations so that it may continue to do what it thinks is right. Aware of their many institutional disadvantages — lack of information about what is happening, lack of control over the police and military, inability to act quickly and with one voice — legislators confine themselves to expressions of support or concern.”41
41 Eric A. Posner & Adrian Vermeule, Terror in Balance: Security, Liberty and the Courts, Oxford: Oxford University Press, 2007, h. 47.
40
Teori yang dikemukakan di atas perlu dimodifikasi
supaya kompatibel dengan penelitian ini. Terkait dengan
modifikasi tersebut ada dua isu yang menjadi perhatian
penulis. Pertama, teori tersebut adalah teori yang menjelaskan
praktik AS yang belum tentu cocok dengan kondisi Indonesia,
sehingga otoritas dari teori tersebut dalam mengkaidahi
adalah pada level komparasi, yaitu sebagai sumber
pengetahuan tambahan belaka. Kedua, teori tersebut
berbicara tentang diskresi dalam konteks emergency power,
sehingga ruang lingkup aplikabilitasnya perlu dibatasi karena
diskresi secara umum dengan diskresi yang lahir dari
emergency power adalah dua konsep berbeda meskipun pada
analisis akhir implikasinya adalah berkenaan dengan
pelaksanaan tindak pemerintahan (governmental action).
Mengacu pada pendapat Posner-Vermeule di atas, poin
argumen yang relevan dengan penelitian ini, sehingga
aplikabel, adalah tentang hubungan kekuasaan antara
legislatif dengan eksekutif (pemerintah) berkenaan dengan
kekuasaan diskresi pemerintah. Pendapat Posner-Vermeule di
atas menjustifikasi argumen penulis bahwa kekuasaan
diskresi sesungguhnya diotorisasi oleh pembentuk undang-
undang melalui praktik delegasi dengan pertimbangan
pembentuk undang-undang mengalami sejumlah kondisi yang
dinamakan institutional disadvantages sehingga darinya tidak
mungkin dituntut untuk melakukan tindakan. Hal ini berarti
bahwa secara prinsip konsepsi yuridis mengenai kekuasaan
diskresi sebagai delegasi dari pembentuk undang-undang
memperoleh pembenaran secara teoretis meskipun teori yang
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
41
dirujuk adalah teori yang menjelaskan praktik ketatanegaraan
negara lain.
Tindakan diskresi tidak bertentangan dengan asas
legalitas (wetmatigeheid van bestuur) dalam pengertian bahwa
semua tindakan pemerintah harus berdasarkan pada
wewenang bertindak yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan (khususnya legislasi atau undang-
undang). Terhadap hal ini dapat dikemukakan argumen,
selain bersetuju dengan pendirian di atas, bahwa di dalam
penyelenggaraan negara (pemerintahan) ditemui kenyataan
yang terjadi yang tidak terhindarkan, yaitu:
a. Semakin banyak, luas, dan kompleksnya masalah yang
dihadapi oleh negara dalam kerangka welfare State yang
menuntut tindakan penyelesaian dari pemerintah;
b. Seringkali pemerintah berbuat sesuatu bukan berdasar
pada ketentuan peraturan perundang-undangan,
melainkan berdasar pada yang ditentukan, digariskan
(penggarisan-penggarisan) atau petunjuk-petunjuk dari
instansi atasan;
c. Dalam hal-hal lain, wewenang pemerintah melakukan
perbuatannya berdasarkan wewenang yang ditetapkan
dalam peraturan, tetapi kerapkali rumusan wewenang
tersebut demikian samar-samar atau demikian luas;
d. Apabila asas legalitas dijalankan secara kaku maka
pemerintah akan sulit mengantisipasi setiap
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, oleh
karena setiap saat harus menunggu peraturan
perundang-undangannya terlebih dulu;
42
e. Di pihak lain, yaitu badan legislatif memiliki sejumlah
kelemahan bawaan, seperti: tidak dapat sepenuhnya
menangani semua perkembangan yang terjadi, tidak
sepenuhnya menguasai persoalan, mengalami
hambatan proses (prosedural) dan kesulitan-kesulitan
dalam setiap kali mengambil keputusan.
Sejumlah kenyataan tersebut menunjukkan posisi
dominan peranan pemerintah dibandingkan peranan legislatif
pada negara modern. Atau bahkan terdapat kekhasan dari
karakteristik kekuasaan pemerintah dibanding dengan
kekuasaan pembentuk undang-undang atau bahkan cabang
kekuasaan negara yang lain untuk menanggapi situasi
keabnormalan. Fatovic mengatakan:
Not only is the executive the authority most directly responsible for enforcing the law and maintaining order in ordinary circumstances, it is also the authority most immediately responsible for restoring order in extraordinary circumstances. But while the executive is expected to uphold and follow the law in normal times, emergencies sometimes compel the executive to exceed the strict letter of the law. Given the unique and irrepressible nature of emergencies, the law often provides little effective guidance, leaving executives to their own devices. Executives possess special resources and characteristics that enable them to formulate responses more rapidly, flexibly, and decisively than can legislatures, courts, and bureaucracies. Even where the law seeks to anticipate and provide for emergencies by specifying the kinds of actions that public officials are permitted or required to take, emergencies create unique opportunities for the executive to exercise an extraordinary degree of discretion. And when the law seems to be inadequate to the situation at hand, executives often claim that it necessary to go beyond its dictates by consolidating those powers ordinarily exercised by other branches of
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
43
government or even by expanding the range of powers ordinarily permitted.42
Sehingga pemerintah tidak hanya sekedar
melaksanakan undang-undang (legisme), melainkan demi
terselenggaranya the Rule of Law dalam pengertian substantif
diperlukan adanya kekuasaan diskresi. Pemerintah tidak
dapat bertindak pasif menunggu perintah dari badan-badan
kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif; pemerintah lah
yang membuat peraturan penyelesaian yang diperlukan itu
beserta tindakan pelaksanaannya. 43 Ini berarti bahwa
sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan legislatif,
diserahkan kepada pemerintah dengan satu syarat bahwa
keberadaan kekuasaan diskresi ini tetap harus dalam koridor
the Rule of Law, tidak dalam pengertian legalitas semata.
Sedasar dengan itu ada beberapa batasan yang sifatnya
prinsipiil atas isu demikian seperti yang dikemukakan oleh
Sunstein:
the executive must follow the law when it is clear, and agency decisions are invalid if they are genuinely arbitrary. I have also emphasized that in some domains, Congress must provide explicit authorization to executive officials. When the executive is raising serious constitutional questions, statutory ambiguity does not constitute adequate authorization, and the executive branch should not be permitted to act on its own. But if the governing statute is ambiguous, the executive should usually be permitted to interpret it as it reasonably sees fit.44
Sunstein mengemukakan isu ini dari perspektif
ketatanegaraan AS tetapi pendapat tersebut dapat 42 Clement Fatovic, Loc.cit. 43 Saut P. Panjaitan, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 111. 44 Cass R. Sunstein, Beyond Marbury: The Executive’s Power To Say What the Law Is, Yale Law Journal Vol. 115, No. 9, 2006, h. 2610.
44
digeneralisir aplikabilitasnya, termasuk bagi Indonesia, karena
sifat umum dari isu yang menjadi perhatian, yaitu hubungan
antara legislatif dan eksekutif.
Amrah Muslimin menguraikan bentuk-bentuk delegasi
dari pembentuk undang-undang sebagai dasar yuridis
tindakan diskresi pemerintah menjadi tiga jenis. Pertama,
delegasi bersyarat (voorwaardelijke delegatie). Ketentuan
undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah
untuk mengadakan atau membentuk suatu peraturan ketika
negara dalam keadaan sangat terdesak (darurat). Kedua,
delegasi dalam bentuk undang-undang penugasan
(machtigingswet). Di dalam undang-undang penugasan hanya
dicantumkan satu atau dua pasal yang mengatur asas-asas
pokok, sedangkan pengaturan dan pengurusannya
sepenuhnya diserahkan kepada pihak pemerintah. Ketiga,
delegasi dalam bentuk undang-undang yang memberikan
kerangka dan batas-batas tertentu (Kaderwet/Raamwet).
Pembentuk undang-undang hanya memberikan kerangka dan
sendi-sendi pokok secara politis di dalam undang-undang,
sedangkan pengkhususannya secara teknis sepenuhnya
diserahkan kepada pihak pemerintah. 45
Teori lain yang juga penting untuk dipertimbangkan
guna memperkaya wawasan teori hukum tentang kekuasaan
diskresi di sini adalah teori completion power. Teori ini diusung
oleh Jack Goldsmith dan John F. Manning, ahli Hukum Tata
Negara AS dari Harvard Law School. Menurut kedua ahli: 45 Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung: Alumni, 1985, h. 72-73.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
45
The completion power is the President’s authority to prescribe incidental details needed to carry into execution a legislative scheme, even in the absence of any congressional authorization to complete that scheme. The completion power complements but does not derive from particular statutory commands. It is a defeasible power; Congress can limit it, for example, by denying the President the authority to complete a statute through certain means or by specifying the manner in which a statute must be implemented. But in the absence of such affirmative legislative limitation or specification, courts and Presidents have recognized an Article II power of some uncertain scope to complete a legislative scheme.46
Teori ini pada hakikatnya adalah teori mengenai
kekuasaan Presiden AS menurut Konstitusi AS. Teori ini
mengkaji hubungan antara Presiden, sebagai kepala
pemerintahan (Chief of Executive), dalam hubungan dengan
Congress (sebagai legislator) dan kekuasaan yudisial. Menurut
teori ini, sebagaimana dikutip di atas, completion power pada
Presiden hanya dapat terjadi/tidak dapat terjadi bergantung
sepenuhnya pada Congress dalam me-legislasi. Completion
power akan terjadi manakala skema legislasi yang dibangun
oleh Congress tidak merumuskan/menjabarkan secara
lengkap dan limitatif kaidah-kaidah tentang langkah-langkah
dalam rangka pengeksekusiannya. Presiden, dalam
pengeksekusiannya, sebagai kepala pemerintahan yang harus
melaksanakan legislasi, akan melengkapinya supaya legislasi
implementatif. Pengertian a contrario, jika Congress telah
secara lengkap dan limitatif menetapkan skema pelaksanaan
legislasinya, maka completion power tidak akan terjadi.
Sumber bagi kekuasaan ini adalah klausul konstitusional “to 46 Jack Goldsmith & John F. Manning, The President’s Completion Power, Yale Law Journal, Vol. 115, No. 9, 2006, h. 2282.
46
take Care that the Laws be faithfully executed” dalam Art. II.
Sec. 3 the United States Constitution, sehingga delegasi dari
pembentuk undang-undang di sini, dalam kerangka teori
completion power, adalah delegasi secara tersirat atau diam-
diam demi hukum.
Lebih lanjut Goldsmith & Manning menjelaskan:
The essence of the completion power is that it confers upon the executive a discretion that is neither dictated nor meaningfully channeled by legislative command. Cabining this power in a principled way depends on the capacity to identify a meaningful line between implementation (which belongs to the President) and legislation (which belongs to Congress). Many of the examples of the completion power outlined above—including the presumption of deference to administrative interpretations of law, the President’s use of military force without congressional authorization, and the Supreme Court’s decision in Dames & Moore—are contested, and these examples illustrate how easily claims of completion power drift into governmental action that, to many, intuitively feels like lawmaking rather than execution.47
Dalam kaitan dengan itu, Goldsmith & Manning menunjuk
beberapa kasus untuk menjelaskan posisi atau pendirian
lembaga yudisial dalam memberi penilaian terhadap
keberadaan tindakan pemerintah dalam kerangka completion
power. Salah satu kasus yang dirujuk keduanya adalah kasus
Chevron.48 Goldsmith & Manning menjelaskan tentang kasus
ini sebagai berikut:
Chevron’s famous two-step framework counsels courts (1) to use “traditional tools of statutory construction” to determine whether Congress has “directly spoken to the precise question at issue,” and then (2) if the statute is ambiguous, to ask only whether the agency interpretation is “permissible” or
47 Ibid., h. 2309. 48 Chevron, U.S.A., Inc. v. Natural Res. Def. Council, Inc., 467 U.S. 837 (1984).
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
47
“reasonable.” This doctrine recognizes that administrative agencies have significant discretion to fill in the details of vague or ambiguous regulatory statutes.49
Dengan menggunakan teori delegasi sebagai basis dari
kekuasaan diskresi pemerintah maka isu yang akan dibahas
selanjutnya ialah tentang pertanggungjawaban. Dalam
delegasi, kekuasaan delegant hilang dengan peralihannya
kepada delegataris. Delegataris dapat melakukan tindakan
secara mandiri berkenaan dengan kekuasaan yang telah
didelegasikan kepadanya oleh delegant. Karena dapat
melakukan tindakan secara mandiri maka implikasi
yuridisnya, a fortiori, delegataris bertanggung jawab secara
mandiri. 50 Dalam kerangka penelitian ini, isu yang sifatnya
konsekuensi logis dari isu sentral penelitian tentang dasar-
dasar pengujian terhadap tindakan diskresi pemerintah
adalah isu kontrol dan pertanggungjawaban. Sehingga terkait
dengan itu, dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya
tindakan diskresi pemerintah secara otomoatis akan
melahirkan pertanyaan tentang pertanggungjawabannya
sendiri dan dasar-dasar pengujian dalam koridor
pertanggungjawaban tersebut. Isu tentang
pertanggungjawaban tersebut akan dibahas dalam infra Sub-
judul 4.
3. Perbedaan dengan Emergency Power
Kekuasaan diskresi dengan kekuasaan darurat secara
prinsipiil saling berhimpitan. Kekuasaan diskresi dengan 49 Ibid., h. 2298. 50 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoretis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, h. 42-44.
48
kekuasaan darurat secara situasional adalah sama-sama
bukan merupakan kekuasaan rutin. Situasi darurat negara
merupakan justifikasi untuk lahirnya kekuasaan darurat
(emergency power), dan jenis kekuasaan ini mengandung
elemen diskresi. Satu contoh adalah dalam keadaan darurat
negara dapat melakukan langkah derogasi atas kewajiban-
kewajiban hukum HAM-nya, i.c. terhadap HAM yang tidak
non-derogable.51
Namun demikian, tidak semua kekuasaan diskresi dan
pelaksanaannya bersumber dari situasi darurat. Sehingga
adalah tepat, meskipun secara hakiki ada kesamaan, namun
Hadjon membedakan kedua konsep ini: kekuasaan darurat
terjadi pada aras Hukum Tata Negara, sementara kekuasaan
diskresi terjadi pada aras Hukum Administrasi. Dari perspektif
Hukum Tata Negara Indonesia, pembenaran bagi pembedaan
di atas adalah kekuasaan darurat merupakan ranah
kekuasaan Presiden sebagai kepala negara (Pasal 12 UUD
1945). 52 Satu pengertian yang perlu dikritisi di sini adalah
sejauhmana ketepatan dalam pengkonsepsian tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Penetapan situasi darurat memang
adalah tindakan Presiden sebagai kepala negara. Tetapi tindak
lanjutnya, apakah tindakan-tindakan yang diambil dalam
rangka situasi darurat tepat diasosiasikan sebagai tindakan
kepala negara, bukan tindakan pemerintahan? Apakah dalam
situasi darurat pemerintah menjadi tiada?
51 Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge: Cambridge Univerity Press, 2002, h. 202-214. 52 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Rajawali Press, 2007, h. 206.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
49
Dalam kasus ini penulis memiliki pendirian bahwa
pembedaan tersebut lebih tepat manakala ditujukan untuk
membedakan bobot dari kekuasaan diskresi itu sendiri, yang
secara arbitrer penulis golongkan sebagai diskresi kuat dan
lemah. Dalam situasi darurat pun yang tetap berlangsung di
sana adalah kekuasaan pemerintahan, tetapi tindak
pemerintahan yang ditempuh tidak bisa dipersamakan dengan
tindakan pemerintah dalam situasi normal, tetapi adalah, per
definisi, tindakan diskresi. Dalam situasi darurat jenis
kekuasaan diskresinya adalah diskresi kuat dengan
pengertian rentang kendali atasnya semakin lemah. Dalam
kasus ini kebebasan bertindak yang dimiliki pemerintah
sangat luas (a.l. dapat men-derogasi pelaksanaan
kewajibannya di bidang HAM). Sementara dalam diskresi
lemah tidak selalu berujung pada tindakan penderogasian
HAM.
Pembedaan mengenai diskresi kuat dan diskresi lemah
juga dapat mengacu pada pembedaan ratione materiae atau
subject matter dari tindakan diskresi yang dilakukan. Misalnya,
pada lapangan national security dan foreign relations,
manakala terjadi tindakan diskresi, maka hal itu adalah jenis
diskresi kuat.53
53 Praktik AS di lapangan Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi menempatkan isu national security dan foreign affairs sebagai diskresi kuat dengan konsekuensi bagi pengadilan hal ini akan diperlakukan sebagai political questions. Namun hal ini tidak selamanya berlaku absolut. Misalnya kasus Hamdan v. Rumsfeld 126 S. Ct. 2749 (2006) yang mana putusan atas kasus tersebut oleh Koh diklaim setting the world of public law right. Harold Hongju Koh, Setting the World Right, Yale Law Journal, Vol 115, No. 9, 2006, h. 2350-2379.
50
4. Perlindungan Hukum bagi Pembuat Tindakan Diskresi
Berdasarkan pembahasan di atas, kekuasaan diskresi
merupakan suatu produk yuridis. Oleh karena itu
implikasinya adalah manakala kekuasaan ini digunakan
dalam tindakan, maka berlaku perlindungan hukum kepada
pembuat tindakan. Asas umum perlindungan hukum bagi
badan/pejabat pemerintah yang melakukan tindakan diskresi
adalah jaminan imunitas dari tindakan judicial review oleh
hakim. Hal ini terkenal dengan adagium ’kebijakan tidak
dapat diadili’ 54 atau dalam Hukum Tata Negara/Hukum
Administrasi AS isu ini akan masuk ke dalam
katagori ’political question’ atau ’non-justicable issue’ di mana
pengadilan akan menahan diri untuk tidak melakukan
intervensi (self-restraint) atas kekuasaan pemerintah yang
sifatnya sangat teknikal ini. Di AS, kasus tentang isu political
question yang kemudian menjadi landmark dan menjadi
preseden bagi kasus-kasus selanjutnya adalah putusan
Marbury v. Madison 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803), di mana
dalam putusan ini Chief Justice Marshall memberikan legal
opinion secara spesifik atas isu tersebut:
By the constitution of the United States, the President is invested with certain important political powers, in the exercise of which he is to use his own discretion, and is accountable only to his country in his political character and to his own conscience … The acts of such an officer, as an officer, can never be examinable by the courts.55
54 Periksa: Surat Edaran Mahkamah Agung No. : M.A./Pemb./0159/77 (25 Februari 1977); Rumusan Kesimpulan-Kesimpulan Lokakarya ”Pembangunan Hukum Melalui Peradilan”, Lembang 31 Mei 1977. 55 Thomas M. Franck, Political Questions/Judicial Answers: Does the Rule of Law Apply to Foreign Affairs, New Jersey: Princeton University Press, 1992, h. 3.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
51
Sunstein mengemukakan bahwa dasar pertimbangan
pengadilan untuk tidak intervensi terhadap tindakan diskresi
pemerintah adalah argumen pragmatisme, yaitu judges lack
expertise and they are not politically accountable. Satu contoh
sebagai perdekatan perbandingan kasus adalah putusan the
Supreme Court of the U.S. dalam kasus Chevron: “In
interpreting law, the agency may “properly rely upon the
incumbent administration’s views of wise policy to inform its
judgments. While agencies are not directly accountable to the
people, the Chief Executive is …” Chevron, U.S.A., Inc. v.
Natural Res. Def. Council, Inc., 467 U.S. 837, 865 (1984).56
Lebih lanjut menurut Sunstein:
In the Court’s view, it would be appropriate for agencies operating under the Chief Executive, rather than judges, to resolve “the competing interests which Congress itself either inadvertently did not resolve, or intentionally left to be resolved by the agency charged with the administration of the statute in light of everyday realities. 865-86657
Secara umum, sebagai pedoman, isu non-yustisiabilitas
tindakan diskresi adalah karena yang menjadi pokok sengketa
bukan isu rechtmatigheid tetapi doelmatigheid. Lingkup dari
kekuasaan yudisial hanyalah menentukan apakah suatu
tindakan sesuai hukum ataukah melanggar hukum, bukan
apakah suatu tindakan itu bermanfaat/tepat guna ataukah
tidak. Selain itu, lingkup dari pengujian oleh hakim hanyalah
sebatas hal-hal yang terkait dengan situasi pada saat tindakan
56 Cass R. Sunstein, Op.cit., h. 2596-2597. Bandingkan dengan Thomas M. Franck, Ibid., h. 45-60 yang mengemukakan empat prudential reasons: the factual evidence is too difficult, no applicable legal standards, too much at stake, judges cannot compel the executive. 57 Cass R. Suntein, Ibid.
52
itu dilakukan (ex tunc), bukan situasi kemudian terkait
dengan tindakan itu (ex nunc).58
Namun demikian, asas umum ini tidak berlaku absolut,
atau seyogianya diabsolutkan, terutama dalam perkaitan isu
responsibility atau accountability yang disalurkan melalui
lembaga peradilan, asas ini dapat direlativisir. Yang menjadi
isu di sini adalah apakah terjadi penyalahgunaan
kewenangan/kekuasaan atau apakah terjadi tindakan
sewenang-wenang. Dalam situasi demikian, tindakan diskresi
pemerintah akan luruh menjadi tindakan individual/pribadi
pejabat yang melakukan tindakan tersebut, dan hal ini dapat
dipertanggungjawabkan secara yudisial sebagai tindak
pidana.59
Isu responsibility atau accountability di sini secara
kelembagaan tidak seyogianya dilokalisir hanya menjadi
yurisdiksi lembaga peradilan. Isu responsibility atau
accountability atas tindakan diskresi pemerintah juga dapat
diuji oleh lembaga kuasi-peradilan atau bahkan oleh lembaga
politik. Secara struktural dalam kelembagaan pemerintahan
sendiri, isu pengawasan internal, pengawasan oleh atasan
terhadap bawahan juga merupakan bagian tidak terpisahkan
di dalam sistem responsibility atau accountability tindak
pemerintahan (infra BAB III Sub-judul C).
58 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, h. 192-194. 59 Isu ini akan dibahas secara lebih spesifik pada Bab III.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
53
C. Pendekatan Filosofis
Sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan
sebelumnya di atas baik secara tersurat maupun tersirat,
hadirnya kekuasaan diskresi pada pemerintah adalah
tuntutan yang sangat kuat, adalah sebuah necessity.
Kekuasaan diskresi pada pemerintah adalah pelengkap bagi
kekuasaan terikat pemerintah yang dipreskripsikan oleh asas
legalitas. Kekuasaan diskresi pemerintah merupakan
keharusan dalam rangka kontinuitas pemerintahan dalam
rangka penyelenggaraan negara. Pemerintah sebagai pelayan
publik secara terus menerus oleh karenanya harus melakukan
tindakan berdasarkan penilaian kepentingan terbaik bagi
publik tanpa pernah terputus dengan alasan tindakan yang
diperlukan tidak memperoleh otorisasi dari undang-undang.
Pembahasan yang hendak dilakukan di sini adalah
memberikan pertanggungjawaban filosofis atas aspek
aksiologis dari kekuasaan diskresi. Yang menjadi isu di sini
adalah nilai-nilai yang saling bersaing (competing values),
tentang nilai mengapa kekuasaan diskresi menjadi keharusan,
dengan konsekuensi bahwa keberadaannya akan
menimbulkan antinomi dengan asas legalitas. Pembahasan ini
adalah dalam rangka supaya konsep kekuasaan diskresi
‘make sense to the world’.
1. Nilai di dalam Asas Legalitas
Asas legalitas sangat vital dalam rangka
pengejawantahan konsep konstitusionalisme, yaitu limited
government (pemerintahan yang terbatas). Sub-judul ini akan
memaparkan aspek nilai di dalam asas legalitas, hal-hal baik
54
atau positif yang dapat disumbangkannya sebagai asas dalam
rangka mengkaidahi penyelenggaraan negara. Pembahasan ini
penting untuk menjawab isu mengapa asas legalitas begitu
didambakan, serta hal-hal negatif apa yang mungkin akan
terjadi dalam penyelenggaraan negara tanpa pengkaidahan
oleh asas legalitas.
Sarjana yang secara spesifik meyakini aspek nilai di
dalam asas legalitas adalah Lon L. Fuller. Nilai yang pertama
adalah asas legalitas memajukan kebebasan individu
(individual autonomy). Kedua, warga dapat menuntut
ketidakadilan yang terjadi dan meminta pemerintah
bertanggung jawab. Ketiga, asas legalitas mengharuskan
pemerintah untuk bertindak sesuai peraturan yang berlaku
dan tidak boleh bertindak arbitrer menuruti kehendaknya
sendiri. Keempat, warga dari sebuah pemerintahan di bawah
asas legalitas lebih dimungkinkan untuk memperoleh
peraturan yang adil dan wajar (just and fair) ketimbang
pemerintahan yang sebaliknya.60
Sarjana yang juga membahas secara cukup luas aspek
nilai dalam asas legalitas adalah Cass R. Sunstein. Sunstein
mengemukakan tujuh nilai di dalam asas legalitas. Pertama,
rules minimize the informational and political costs of reaching
decisions in particular cases. Kedua, rules are impersonal and
blind; they promote equal treatment and reduce the likelihood of
bias and arbitrariness. Ketiga, rules serve appropriately both to
embolden and constrain decision-makers in particular cases.
60 Brian Z. Tamanaha, Op.cit., h. 95.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
55
Keempat, rules promote predictability and planning for private
actors and for the government. Kelima, rules increase visibility
and accountability. Keenam, rules avoid the humiliation of
subjecting people to exercises of official discretion in their
particular case. Ketujuh, rules promote equal application of the
law.61
Sebuah pemerintahan tanpa asas legalitas
membutuhkan seorang penguasa dengan kapasitas filsuf
(philosopher king) atau bahkan malaikat. Penguasa yang
menjalankan kekuasaan tanpa self-interest. Tetapi ini sangat
tidak mungkin. Pemikiran yang dikembangkan Plato tentang
philosopher king adalah pemikiran utopis.62 James Madison
dalam the Federalist No. 51 memberikan caveat sangat
terkenal atas isu ini:
If men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controuls on government would be necessary. In framing a government which is to be administered by men over men, the great difficulty lies in this: You must first enable the government to controul the governed; and in the next place, oblige it to controul itself.63
Dan memang penguasa adalah manusia biasa, bukan
malaikat. Adalah supererogatif menuntut manusia bertindak
laksana malaikat. Asas legalitas, dengan segala
kekurangannya, diperlukan sebagai prasyarat minimal untuk
mencegah penguasa bertindak arbitrer. 61 Cass R. Sunstein, Problems with Rules, California Law Review, Vol. 83, No. 4, 1995, h. 972-977. 62 Tentang Plato dan konsep philosopher king-nya periksa Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London: Blackstone Press Limited, 1996, h. 62. 63 Terence Ball, ed., Hamilton, Madison and Jay: The Federalist with Letters of Brutus, Cambridge: Cambridge University Press, 2003, h. 252.
56
Ketika kekuasaan diskresi lahir, tidak berarti bahwa
asas legalitas kemudian hilang. Kekuasaan diskresi hanyalah
pelengkap dan memberi penyelesaian bagi asas legalitas yang
tidak mampu mengantisipasi perubahan keadaan krusial yang
terjadi. Sehingga, sedasar dengan hal itu, E. Utrecht
menegaskan bahwa kemerdekaan dalam hal itu adalah untuk
membuat penyelesaian, dan bukan kemerdekaan terhadap
undang-undang. 64 Fatovic maupun Tamanaha memberikan
pendapat yang konsisten satu sama lain. Menurut Fatovic,
“However, the possibility – and desirability – of collaboration
between the executive and the legislature in dealing with such
crises does not altogether preclude the possibility or desirability
of unilateral extralegal action by the executive in genuine cases
of emergency. In fact, such action is often necessary.”65
Sementara menurut Tanamaha:
Administrative discretion can be contained within restraints imposed by legislative mandates and procedural requirements. Asking judges to apply broad standards like fairness or reasonableness, or to make policy decisions or engage in interest balancing, does not inevitably destroy the legal character of an otherwise predominantly rule-based legal system. Predictability can still come about if there are shared background understandings or customs – either within society or within the legal culture – that inform the application of the broad standards. As long as the orientation of government officials remains rule-bound when governing rules exist, discretion allowed to government officials to further policy goals is not necessarily a start down a headlong slide to lawless oppression.66
64 E. Utrecht, Op.cit., h. 24. 65 Clement Fatovic, Op.cit., h. 257. 66 Brian Z. Tanamaha, Op.cit., h. 98-99.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
57
2. Nilai di dalam Kekuasaan Diskresi
Kekuasaan diskresi layak diperjuangkan sebagai
keharusan karena di dalam kekuasaan tersebut terkandung
kebenaran nilai yang fundamental, terkandung virtue
(kebajikan), yang tidak lain adalah HUKUM itu sendiri. Dalam
menjawab isu aspek nilai di dalam kekuasaan diskresi ini
penulis mengacu pada doktrin filsafat hukum Lockean.
Jatuhnya pilihan pada pemikiran John Locke adalah
didasarkan pertimbangan objektif dengan alasan persetujuan
atas opinio doctorum yang dikemukakan oleh Fatovic. Menurut
Fatovic: “Lockean constitutionalism can perhaps best be
understood as an attempt to respond to the necessities and
exigencies of political life that the strictest legal formalism
cannot accommodate.”67
Dari hasil kajiannya terhadap pemikiran Locke, Fatovic
merumuskan sejumlah tesis penting dalam pemikiran Locke
untuk memudahkan memahami teori dan kerangka
berpikirnya. Pertama, prerogative is not supposed to be used to
undermine the law even when it contradicts the law. But the
law that is most relevant for Lockean constitutionalism is
contained in the substantive principles of natural law, not the
formal rules of human law. 68 Kedua, In Locke’s political
67 Clement Fatovic, Op.cit., h. 81. 68 Ibid. Sebagai catatan, istilah prerogatif di sini penulis perlakukan sinonim dengan diskresi. Jeferson Kameo yang menelusuri segi etimologis istilah prerogatif mengatakan: “konsep prerogatif berasal dari perkataan prae dan rogo. Berarti sesuatu yang dituntut atau sesuatu yang harus ada sebelumnya. Maksudnya, sesuatu yang harus didahulukan atau diprioritaskan daripada yang lain. Oleh karena itu hak prerogatif berarti suatu hak yang harus didahulukan, eksklusif, sebelum hak-hak lain memperoleh pemenuhan.” Jeferson Kameo, Dapatkah Presiden Abaikan UU?, Suara Merdeka, 11 Mei 2007. Konsepsi Locke sendiri tentang kekuasaan prerogatif adalah “Power to act according to discretion, for the publick good,
58
universe, the higher purposes of law are never subordinated to
formal rules or juridical formulas. It is a constitutional vision in
which legal rules serve ends higher than themselves.69 Ketiga, it
was possible to pursue legitimate ends through unauthorized
means without making a sacrifice of morality on the altar of
necessity as long as the governor presiding over the delicate
process was virtuous.70
Sebagai kaidah, Locke adalah penganut sejati asas the
Rule of Law, i.c. asas legalitas. Pernyataan ini dapat
dibuktikan dengan mengacu pada pernyataan langsung dari
Locke:
For all the power the government has, being only for the good of society, as it ought not to be arbitrary and at pleasure, so it ought to be exercised by established and promulgated laws: that both the people may know their duty, and be safe and secure within the limits of the law, and the rulers too kept within their bounds, and not to be tempted, by the power they have in their hands, to imploy it to such purposes, and by such measures, and they would not have known, and own not willingly (II, § 137).71
Tetapi dalam pernyataannya yang kemudian Locke
mengatakan pendirian yang sebaliknya:
For since in some Governments the Law-making Power is not always in being, and is usually too numerous, and too slow, for the dispatch requisite to Execution: and because also it is impossible to foresee, and so by laws to provide for, all Accidents and Necessities, that may concern the publick; or to make such Laws, as will do no harm, if they are executed with an inflexible rigour, on all occasions, and upon all Persons,
without the prescription of the Law, and sometimes even against it.” Pendapat ini dimuat dalam buku Locke berjudul Two Tretises of Government, Buku II, § 160 sebagaimana dikutip oleh Clement Fatovic, Ibid., h. 38. 69 Ibid., h. 82. 70 Ibid. 71 Ibid., h. 39.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
59
that may come in their way, therefore there is a latitude left to the Executive power, to do many things of choice, which the Laws do not prescribe (II, § 160).72
Hubungan antara dua pernyataan yang saling
bertentangan tentang satu isu ini tidak seyogianya
ditundukkan pada asas derogasi, lex posterior derogat lex priori.
Pernyataan pertama tetap valid, sementara pernyataan kedua
bersifat pengecualian atas pernyataan pertama, dan sifat
pengecualian itu sementara. Terhadap pernyataan kedua
Fatovic memberikan anotasi:
This passage is remarkable not just for its blunt pessimism about the inadequacies of legislative action but even more so for its evident aversion to uniformly rigorous execution of the law. Locke suggested that even where an applicable law exists, strict enforcement of that law might be harmful to a particular individual or even to the community as a whole.73
Analisis dari perspektif Lockean atas isu aspek nilai di dalam
kekuasaan diskresi pemerintah akan bertolak dari dua
pernyataan Locke sebagaimana dikutip di atas.
Dalam kerangka berpikir teori Locke, tujuan negara
merupakan isu sentral. Pemahaman mengenai tujuan negara
akan memberikan pemahaman mengenai hakikat sebuah
pemerintahan. Tujuan negara oleh Locke diletakkan pada
pertimbangan mengapa manusia memilih mendirikan sebuah
negara, yaitu dalam rangka: “for the mutual Preservation of
their Lives, Liberties and Estates” (II, § 123). 74 Supaya
preservasi terhadap ‘lives, liberties and estates’ dapat terjadi
72 Ibid., h. 50-51. 73 Ibid. 74 Ibid., h. 46.
60
maka the Rule of Law merupakan keniscayaan. Di dalam
koridor the Rule of Law, Locke menjelaskan: “all private
judgment of every particular Member [is] excluded, [and] the
Community comes to be Umpire, by settled standing Rules,
indifferent, and the same to all Parties” (II, § 87).75
Untuk mendukung terselenggaranya the Rule of Law,
maka kaidah fundamental bagi negara adalah “the establishing
of the Legislative Power” (II, § 134). 76 Locke memposisikan
kekuasaan legislatif dengan eksekutif terpisah secara
fungsional dalam rangka menegakkan asas bahwa seseorang
tidak boleh menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo iudex in
causa sua). 77 Dalam hubungannya dengan kekuasaan
legislatif inilah, kekuasaan eksekutif (pemerintah) Lockean
memiliki kekuasaan prerogatif.
Fatovic memberikan interpretasi atas teori kekuasaan
prerogatif Lockean pada pemerintah dengan keyakinan bahwa
hal itu tidak untuk menjadikan situasi supremasi eksekutif
atas legislatif, dan hanya dalam konteks “the contingent nature
of politics — and perhaps life more generally — leaves few other
options.” 78 Keyakinan tersebut didasarkan pada pernyataan
Locke sendiri bahwa kekuasaan prerogatif pada pemerintah
sebatas hanya: “a Fiduciary Trust, placed in him, for the safety
of the People, in a Case where the uncertainty, and variableness
of humane affairs could not bear a steady fixed rule” (II, §
75 Ibid. 76 Ibid., h. 47. 77 Ibid. 78 Ibid., h. 49.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
61
156). 79 Locke mempercayai efektivitas kinerja pemerintah
(eksekutif) dalam situasi kedaruratan ketimbang institusi lain
dengan mengatakan: “the best remedy [that] could be found for
this defect, was to trust this to the prudence of one, who was
always to be present, and whose business it was to watch over
the publick good” (II, § 156).80
Supaya tidak dikelirukan, pemahaman atas konsepsi
Locke tentang kekuasaan prerogatif di sini seyogianya
mengacu pada pendapat Fatovic yang menjelaskan bahwa
rationale bagi kekuasaan prerogatif didasarkan: “the
shortcomings and failures of ordinary legal norms. But the
inapplicability of positive legal norms did not result in the
abandonment of norms altogether.”81 Sementara Larry Arnhart
lebih eksplisit lagi, yaitu: “is not ‘a substitute for law’ but ‘a
supplement to law’, where the relevant law is to be understood
as natural law.”82 Basis dari argumentasi di atas adalah sifat
instrumental asas legalitas, sehingga, a fortiori, tujuan tidak
boleh dikorbankan oleh sarana atau alat untuk mencapai
tujuan itu sendiri. (the ends should never be subordinated to
the means).83 Tujuan pada akhirnya merupakan HUKUM itu
sendiri, yang pada analisis akhir akan menjadi dasar
pengujian dalam memberikan judgment apakah kekuasaan
prerogatif memang digunakan untuk mencapai tujuan dari
kekuasaan itu atau tidak. 79 Ibid. 80 Ibid. 81 Ibid., h. 36. 82 Ibid., h. 41. 83 Ibid., h. 51. Hal ini juga disetujui oleh Nomi Claire Lazar, States of Emergency in Liberal Democracies, Cambridge: Cambridge University Press, 2009, h. 136.
62
Memperhatikan pendapat di atas, kekuasaan prerogatif
Lockean bukan kekuasaan buta. Dalam kekuasaan prerogatif
Lockean terkandung aspek tanggung jawab moral yang kuat
pada pemegangnya; bukan asas legalitas yang harus menjadi
panglima, tetapi HUKUM itu sendiri. Hal ini tersirat dalam
analisis yang dilakukan oleh Fatovic berikut ini:
It is that distinction between law and morality that made the character of the executive a matter of vital constitutional significance. If the law could not always provide the proper moral guidance or serve as an effective check against abuses of power, it was imperative that the person who had to decide when it was necessary to exceed the law possess the right virtues. The expectation was that those virtues would harmonize with the spirit of the law without being in thrall to the letter of the law.84
HUKUM di sini, the spirit of the law, bukan legalitas, adalah
salus populi suprema lex. Pemerintah, dalam rangka
penyelenggaraan negara terikat dan didikte oleh asas
fundamental dari natural law yang sifatnya supreme,
incontrovertible, universal, and unexceptionable yaitu the
preservation of society. Dalam kalimat Locke sendiri: “the first
and fundamental natural Law, which is to govern even the
Legislative it self, is the preservation of the Society, and (as far
as will consist with the publick good) of every person in it” (II, §
134).85 Berdasarkan penjelasan Locke di atas, tindakan dalam
kerangka kekuasaan prerogatif bertentangan dengan asas
legalitas, tetapi tidak bertentangan dengan HUKUM sepanjang
tindakan itu melayani tujuan the preservation of society. Lebih
tegas lagi Locke mengatakan: “Salus Populi Suprema Lex, is 84 Clement Fatovic, Ibid., h. 37. 85 Ibid., h. 40.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
63
certainly so just and fundamental, a Rule, that he, who
sincerely follows it, cannot dangerously err” (II, § 158).86 Hal ini
konsisten dengan pendapat Arnhart di atas, bahwa kekuasaan
prerogatif “is not ‘a substitute for law’ but ‘a supplement to
law’.”
Setelah mempertimbangkan penjelasan filosofis di atas
berdasarkan pemikiran Locke, maka penulis sampai pada satu
kesimpulan yang mendasar bahwa di dalam kekuasaan
prerogatif Lockean (atau kekuasaan diskresi sebagai istilah
yang digunakan secara umum di sini) nilai yang hendak
diperjuangkan adalah keadilan dan kemanfaatan.
Pertimbangan kemanfaatan adalah mengacu pada
ketercapaian atas apa yang menjadi tujuan dari negara, yaitu
inheren berkenaan dengan kedayagunaan dan kehasilgunaan
kekuasaan prerogatif itu sendiri. Sementara pertimbangan
keadilan adalah mengacu pada the spirit of the law itu sendiri,
yaitu perlindungan kepentingan fundamental manusia, yaitu
pemenuhan legitimate expectations hidup bernegara secara
sama bagi semua. Hukum ‘salus populi’ mendikte “the best
interests of the community as a whole and not simply for the
benefit of the executive or one segment of that community” yang
harus dipreservasi oleh kekuasaan prerogatif. Sebagaimana
dinyatakan secara langsung oleh Locke: “ ’tis fit that the Laws
86 Ibid., h. 61. Fatovic memberi catatan epistemologis tentang teori Locke sebagai berikut: “Locke consistently maintained a distinction between two systems of law, the human law and the natural law. While human laws are historically contingent, changing, fallible, and potentially breakable, the laws of nature are permanent, unvarying, inerrant, and inviolable … Natural law provides the ultimate standard of legitimacy even after a full-fledged system of positive law has been established. The first commandment of natural law is the welfare of the people.”
64
themselves should in some Cases give way to the Executive
Power, or rather to this Fundamental Law of Nature and
Government, viz. That as much as may be, all the Members of
the Society are to be preserved” (kursif – penulis) (II, § 159).87
3. Pemerintah sebagai Interpreter Paling Tepat atas Public
Good
Dengan kekuasaan diskresi di tangannya, pemerintah
memiliki tempat yang unik dalam situasi ketegangan antara
asas legalitas dengan pertimbangan mengenai salus populis
atau public good. Asas legalitas penting dalam rangka
mencegah potensi kesewenang-wenangan pemerintah karena
dua alasan: “First, government officials are required to consult
and conform to the law before and during actions. Second, legal
rules provide publicly available requirements and standards
that can be used to hold government officials accountable both
during and after their actions.”88 Tetapi hal ini hanya dapat
terjadi dan berlangsung dalam situasi normal/rutin. Dalam
situasi normal, kaidah tentang kekuasaan/kewenangan yang
berlaku adalah kaidah kekuasaan/kewenangan terikat.
Situasi sebaliknya, “Legal rules are general prescriptions
that cannot anticipate every aspect of every situation in advance,
and legal rules can become obsolete as social views and
circumstances change.” Sehingga yang menjadi isu kemudian
adalah solusi atau jalan keluar atas situasi ini. Tamanaha
berpendapat:
87 Ibid. 88 Brian Z. Tamanaha, A Concise Guide to the Rule of Law, dalam Gianluigi Palombella & Neil Walker, eds., Relocating the Rule of Law, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2009, h. 8.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
65
The application of existing rules to unanticipated situations or changed circumstances can have harmful or unfair consequences or lead to socially undesirable outcomes. In such contexts, allowing the decision-maker to use her expertise, wisdom or judgement may produce better results than insisting that she comply with the legal rules ... Underlying this benefit of the Rule of Law is the fear of potential abuse at the hands of government officials, but every functional polity must accord some degree of trust and discretion to government officials.89
Sedasar dengan itu maka yang menjadi isu ialah filosofi
tentang kekuasaan pemerintahan: Mengapa kepada
pemerintah dipercayakan kekuasaan diskresi sementara di sisi
lain asas legalitas ini penting dalam rangka ‘restricts the
discretion of government officials, reducing willfulness and
arbitrariness’?90 Serta filosofi mengenai bagaimana seharusnya
tindakan diskresi pemerintah itu dijalankan, yaitu: Apakah
pemerintah sanggup bertindak amanah dengan kekuasaan
diskresi di tangannya?
Mengapa kepada pemerintah? Pertama, pemerintah
memiliki legitimasi demokratis yang kuat selaku
penyelenggara public good, dibandingkan dengan cabang-
cabang kekuasaan pemerintahan yang lain (pemerintah dalam
arti luas), yaitu legislatif dan yudisial. Argumentasi ini
didukung oleh pemikiran Thomas Jefferson: “The execution of
laws is more important than the making of them.”91 Kekuasaan
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan penting
karena pemerintah berurusan dengan persoalan-persoalan
89 Ibid. 90 Ibid., h. 7. 91 Jeremy D. Bailey, Thomas Jefferson and the Executive Power, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, h. 11.
66
penyelenggaraan kepentingan umum yang bersifat konkret
(dibandingkan legislatif yang fungsi utamanya melakukan
legislasi dan yudisial yang fungsi utamanya melakukan
ajudikasi).
Dalam hubungan dengan cabang-cabang kekuasaan
pemerintahan yang lain, meskipun dikaidahi oleh asas
pemisahan kekuasaan, kekuasaan pemerintah adalah yang
paling besar tanggung jawabnya selaku representasi negara.
Sehingga sangat wajar ketika Fatovic mengatakan: “Not only is
the executive the authority most directly responsible for
enforcing the law and maintaining order in ordinary
circumstances, it is also the authority most immediately
responsible for restoring order in extraordinary
circumstances.”92
Kedua, pemerintah memiliki keunggulan komparatif
institusional dibandingkan dengan lembaga legislatif dan
peradilan/yudisial, khususnya untuk melakukan tindakan
secara cepat dan tepat. Menurut Fatovic:
Executives possess special resources and characteristics that enable them to formulate responses more rapidly, flexibly, and decisively than can legislatures, courts, and bureaucracies. Even where the law seeks to anticipate and provide for emergencies by specifying the kinds of actions that public officials are permitted or required to take, emergencies create unique opportunities for the executive to exercise an extraordinary degree of discretion. And when the law seems to be inadequate to the situation at hand, executives often claim that it necessary to go beyond its dictates by consolidating those powers ordinarily exercised by other branches of
92 Clement Fatovic, Op.cit., h. 2.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
67
government or even by expanding the range of powers ordinarily permitted.93
Dalam menjawab isu tersebut penulis mengacu pada
konsepsi kekuasaan pemerintah (eksekutif) menurut Thomas
Jefferson dalam memberikan pemaknaan mengenai
kedudukan Presiden AS sebagai kepala pemerintahan.
Pendekatan ini menurut penulis sangat rasional karena yang
menjadi isu bukan isu hukum positif yang spesifik, tetapi isu
umum tentang konsepsi kekuasaan pemerintahan yang di
manapun tempatnya konsepsi ini dapat memperoleh
penerimaan (khususnya negara yang secara spesifik menganut
asas demokrasi dalam pemerintahannya).
Menurut Bailey, konsepsi Jefferson tentang kekuasaan
pemerintah dibangun dengan berdasarkan tiga prinsip.
First, the president unifies the will of the nation and thereby embodies it. The source of the president’s claim to embody the will of the nation is his mode of election; because the president is the single nationally elected officer, the president can claim, more than members of Congress, to represent the national will. Because the president must be able to execute that will, it must be surprisingly strong, or energetic. Second, because a constitution can never be adequate for the opportunities and emergencies that will arise, and because the executive is caretaker of the public good, the executive must sometimes act outside the law, or even against it, on behalf of the public good. But the condition for such discretionary action is that the executive “throw himself” on the people for judgment, and, in order to make that judgment as accessible as possible, the executive must avoid broad constructions of the Constitution. Third, in order to provide a standard by which the people can judge executive action, the executive provides “declarations of principle.” Such declarations allow for political change but also
93 Ibid.
68
preserve constitutional limitations on power by enabling the people to judge executive discretion.94
Konsepsi tersebut oleh Jefferson dibangun bukan
berdasarkan teori, tetapi berdasarkan praktik. Pada tataran
teori, Jefferson adalah penganut teori kekuasaan pemerintah
yang lemah. Tetapi ketika menjadi Presiden, Jefferson
menjalankan kekuasaan pemerintahan yang ’energik’. Basis
dari kekuasaan pemerintah yang energik ini terletak di dalam
legitimasi demokratis Presiden sebagai kepala pemerintahan,
dan itu menjadi ruh bagi jajaran birokrasi pemerintahan yang
dipimpinnya. Legitimasi itu, pada satu sisi, memberikan
kedudukan istimewa kepada pemerintah di bawah pimpinan
Presiden selaku caretaker of the public good. Tetapi di sisi lain,
legitimasi tersebut juga tetap diimbangi dengan mekanisme
kontrol dan pertanggungjawaban di mana rakyat sebagai
sumber legitimasi kekuasaan pemerintah akan menjadi hakim
bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
fungsinya sebagai penjaga dan interpreter public good.
Isu terakhir yang masih harus dijawab di sini ialah
filosofi mengenai bagaimana seharusnya tindakan diskresi
pemerintah itu dijalankan. Locke yakin bahwa pemerintah
sanggup, sepanjang batasan untuk itu dipatuhi. Sebagaimana
sudah dikutip sebelumnya, salah satu tesis dari teori Lockean
yang dirumuskan oleh Fatovic berkenaan dengan kekuasaan
prerogatif ialah: “it was possible to pursue legitimate ends
through unauthorized means without making a sacrifice of
94 Jeremy D. Bailey, Op.cit., h. 9-10.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
69
morality on the altar of necessity as long as the governor
presiding over the delicate process was virtuous.”
Dalam teorinya Locke sudah mengantisipasi bahwa
kekuasaan prerogatif sangat mudah diselewengkan. Tetapi
tidak berarti bahwa kekuasaan prerogatif tidak dapat
digunakan di jalur yang benar oleh pemerintah. Locke
mengatakan: “Salus Populi Suprema Lex, is certainly so just
and fundamental a Rule, that he, who sincerely follows it,
cannot dangerously err” (II, § 158). Salus populi adalah sumber
kekuasaan diskresi pemerintah, sehingga pada analisis akhir
kontrol terhadap tindakan diskresi harus dikembalikan
kepadanya. Sedasar dengan itu, dalam memberikan penilaian
atas pemikiran Locke, Fatovic menyatakan:
The exercise of prerogative for the public good demands evidence of certain dispositions and characteristics that allow the executive to manage the affairs of government skillfully and in a manner consistent with its ends. Not surprisingly, familiar attributes of leadership, such as prudence and experience (being “acquainted with the state of public affairs”), are among the most important of these traits (II, § 156). What Locke seems to have in mind is not just the technical ability to deal with emergencies but also the perspicacity to recognize that such a state exists in the first place. However, the greatest stress is placed on moral virtues. The presence of virtue provides some assurance that what prudence and ability initiate will be carried out in the best interests of the community as a whole and not simply for the benefit of the executive or one segment of that community.95
Sehingga yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana
supaya salus populi menjadi suprema lex bagi tindakan
diskresi pemerintah? Asas good faith adalah jawaban hukum
95 Clement Fatovic, Op.cit., h. 65.
70
atas pertanyaan tersebut; 96 secara lebih spesifik asas
legitimate expectations. Ketika pemerintah memutuskan untuk
melakukan tindakan diskresi, maka rakyat berhak memiliki
pengharapan yang sah bahwa tindakan tersebut semestinya
menghasilkan salus populi. Situasi ex ante maupun ex post
akan dapat memberikan gambaran akurat apakah pemerintah
dalam melakukan tindakan didasari good faith atau tidak.
Pada tahap ex ante yang menjadi pertanyaan adalah apakah
pemerintah bertindak ‘prudence’ dan ‘experience’ atau tidak;
apakah terjadi conflict of interest atau tidak97. Sementara pada
tahap ex post yang menjadi pertanyaan adalah apakah
berhasil guna dan berdaya guna atau tidak (aspek
doelmatigheid; expediency).
Dengan beban tanggung jawab yang sangat besar,
tindakan diskresi adalah sebuah dilema bagi pemerintah, bagi
pejabatnya. Atas dasar pernyataan tersebut maka keberanian
pemerintah untuk melakukan tindakan diskresi juga harus
diapresiasi. Hanya pemerintahan otoriter yang
memperlakukan tindakan diskresi sebagai bentuk kesenangan.
Tetapi dalam pemerintahan berdasarkan asas the Rule of Law
dan demokrasi, tindakan diskresi dipenuhi dengan tuntutan
tanggung jawab. Ketika segala prasyarat bagi tindakan
diskresi telah terpenuhi maka tidaklah elok kalau tindakan ini
96 Good faith sebagai asas hukum umum bagi sebuah tindakan artinya, menurut Anthony D’Amato, sebuah tindakan dilakukan: ‘honestly and fairly’ and be guided by truthful motives and purposes, dalam Marion Panizzon, Good Faith in the Jurisprudence of the WTO: The Protection of Legitimate Expectations, Good Faith Interpretation and Fair Dispute Settlement, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2006, h. 20. 97 Isu tentang conflict of interest sangat fundamental karena satu-satunya kepentingan yang harus dilayani oleh pemerintah adalah salus populi.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
71
diungkit-ungkit karena ketidaksesuaiannya dengan asas
legalitas atau lebih serius lagi karena tidak sesuai dengan
kepentingan politik segelintir elit demi power game.
72
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
73
BAB III.
DASAR-DASAR PENGUJIAN
TERHADAP
TINDAKAN DISKRESI PEMERINTAH
Pembahasan dalam Bab ini bertolak dari argumen
bahwa tidak ada kebebasan yang absolut, termasuk pilihan
untuk menggunakan tindakan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Argumen ini tidak
menyangkal bahwa kekuasaan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan merupakan sebuah
keniscayaan. Argumen ini berusaha untuk mendudukkan
konsep kekuasaan diskresi secara proporsional, yaitu sebagai
sesuatu hal yang sifat penggunaannya sangat spesifik dan
tidak boleh diberlakukan sebagai hal yang rutin (business as
usual).
Mengacu pada pembahasan Bab I tentang lingkup
kekuasaan pemerintah, konsep kekuasaan diskresi dalam
penyelenggaraan pemerintahan sangat luas, seluas bidang
urusan yang dicakup oleh konsep pemerintahan itu sendiri
(dalam pengertian sebagai bestuur). 1 Itu berarti, hampir di
semua sektor kehidupan yang dapat dimasuki oleh
pemerintah maka di situ potensi penggunaan kekuasaan
diskresi sangat besar. Mengantisipasi mendalam-meluasnya
penggunaan kekuasaan diskresi, termasuk di dalamnya
adalah penyalahgunaannya, maka isu tentang pengujian atas 1 Supra Bab I Sub-judul D.1.
74
validitas atau keabsahan tindakan diskresi merupakan
tuntutan yang niscaya dalam koridor asas responsible
government sebagai konsekuensi dari asas the Rule of Law. A
fortiori, pembahasan mengenai dasar-dasar pengujian dan
metode pelaksanaan pengujiannya dengan demikian
merupakan isu yang sangat fundamental.
Terkait dengan rasionalisasi di atas maka Bab ini akan
membahas beberapa hal sebagai berikut. Pertama,
pembahasan ini akan mengklarifikasi terlebih dahulu asas the
Rule of Law sebagai asas yang harus tetap menjadi acuan bagi
pelaksanaan kekuasaan diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan secara spesifik hubungan antara diskresi
dengan asas legalitas. Pembahasan ini hendak menegaskan
kembali pembahasan pada Bab II Sub-judul B bahwa
kekuasaan diskresi merupakan pengecualian dari asas
legalitas, tetapi tidak berarti bahwa dalam koridor the Rule of
Law pengecualian ini bersifat absolut tanpa dapat dikontrol
(infra Sub-judul A).
Sebagai bentuk pengecualian atas asas legalitas, maka
dasar pengujian terhadap tindakan diskresi pemerintah tidak
mungkin didasarkan pada peraturan perundang-undangan
(legislasi maupun regulasi). Oleh karena itu, dasar pengujian a
quo adalah apa yang dalam Hukum Administrasi dikenal
dengan istilah Principles of Good Governance yang terdiri dari
General Principles of Proper Administration (Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik) dan Principles of Human Rights
Administration (Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan HAM).
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
75
Sebagai kaidah di sini, keterpenuhan Principles of Good
Governance akan menjadikan tindakan diskresi pemerintah
valid. Selain segi rechtmatigheid, segi doelmatigheid juga
merupakan dasar pengujian dengan asas-asas efisiensi dan
efektivitas (infra Sub-judul B).
Isu terakhir yang akan dibahas dalam Bab ini adalah
metode dan sarana pengujian. Isu tentang metode dan sarana
pengujian selayaknya juga mendapat tempat dalam
pembahasan di sini dengan pertimbangan agar asas the Rule
of Law tidak menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam pembahasan di sini penulis akan juga
fokus pada kontroversi konsep marginal review atau marginal
toetsings untuk diaplikasikan di dalam proses yudisial (infra
Sub-judul C).
A. Kekuasaan Diskresi Versus Legalitas:
Pertanggungjawaban?
Argumen penulis atas isu ini adalah kekuasaan diskresi
merupakan keniscayaan, begitu pula dengan implementasinya
melalui tindakan diskresi. Hukum memberikan imunitas
kepada yang melakukan tindakan diskresi, tetapi imunitas
tersebut bersyarat, yaitu keterpenuhan kriteria hukum, tidak
kehendak sewenang-wenang pembuat tindakan diskresi.
Dalam perspektif the Rule of Law, tindakan diskresi dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya maupun dampaknya
yang merugikan. Asas ini tidak untuk men-discourage
pemerintah/pejabat pemerintah. Asas ini bersifat umum, tidak
76
dalam arti mutlak sebagai konsekuensi dari the Rule of Law.
Manakala syarat-syarat terpenuhi, tindakan diskresi yang
bertentangan dengan asas legalitas tidak dapat diminta
pertanggungjawabnya.
1. Kekuasaan Diskresi di dalam Koridor the Rule of Law
Kekuasaan diskresi lahir karena adanya tujuan
kehidupan bernegara yang harus dicapai, dalam hal ini tujuan
bernegara tersebut adalah untuk menciptakan kesejahteraan
rakyat (konsepsi welfare State). Negara Indonesia adalah
negara kesejahteraan modern seperti tercermin dalam
Pembukaan UUD 1945. Dalam Paragraf Keempat Pembukaan
UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan
bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan
bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiban
memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial
dalam arti seluas-luasnya, terutama kewajiban untuk
mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurszorg).
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif
berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat (public service) yang mengakibatkan pemerintah
tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun
bertindak dengan dalih terjadi kekosongan pengaturan hukum.
Untuk itu kepada pemerintah diberikan kewenangan untuk
campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat,
pemerintah dituntut untuk bertindak aktif di tengah dinamika
kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak,
diberikan kepada pemerintah suatu kebebasan bertindak,
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
77
yaitu kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas
inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
sosial. Karena sifatnya yang demikian maka diskresi
merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang
bergerak bagi pemerintah untuk melakukan tindakan tanpa
harus terikat sepenuhnya pada undang-undang (legislasi). 2
Diskresi dapat dikatakan sebagai bentuk wewenang pada
badan atau pejabat pemerintah yang memungkinkan mereka
untuk melakukan pilihan-pilihan dalam mengambil tindakan
hukum dan/atau tindakan faktual dalam lingkup
pemerintahan.
Apa yang penulis kemukakan di atas merupakan isu
yang universal, dan isu itu sendiri telah ditanggapi dengan
sebuah konsensus. Salah satu justifikasi bagi argumen ini
adalah pernyataan Thomas Jefferson, salah seorang dari the
Founding Fathers AS, “to lose our country by a scrupulous
adherence to written law, would be to lose the law itself, with
life, liberty, property and all those who are enjoying them with
us; thus absurdly sacrificing the end to the means.” 3
Pernyataan Jefferson di atas menegaskan satu pengertian
yang fundamental yaitu tidak segala hal mampu ditampung di
dalam peraturan perundang-undangan sebagai preskripsi bagi
perilaku pemerintah (asas legalitas). Yang tidak mampu
tercakup di dalam peraturan perundang-undangan itulah
2 Markus Lukman sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 242. 3 Dalam Clement Fatovic, Outside the Law: Emergency and Executive Power, Baltimore: The John Hopkins University Press, 2009, h. 253.
78
ranah dari kekuasaan diskresi pemerintah untuk bertindak
manakala syarat objektif mengharuskannya untuk bertindak.
Ada beberapa manfaat atau kelebihan dalam
penggunaan diskresi atau kebebasan bertindak oleh pejabat
pemerintah. Pertama, kebijakan pemerintah yang bersifat
emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera
diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun
masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi
kekosongan pengaturan hukum sama sekali. Kedua, badan
atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme
hukum, dalam arti tidak ada kekosongan pengaturan hukum
bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan
dengan kepentingan umum atau masyarakat luas. Ketiga, sifat
dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga
sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi tidak statis, tetap
dinamis seiring dengan dinamika masyarakat dan
perkembangan zaman.
Meskipun demikian, dengan berbagai segi positifnya,
kekuasaan diskresi bukan cek kosong yang dapat diisi
sesukanya oleh badan atau pejabat pemerintah. Manakala
tindakan diskresi badan atau pejabat pemerintah uncheck
atau unreviewable maka tirani yang akan terjadi; seolah di sini
pemerintah paling benar dan paling tahu apa yang benar.
Situasi demikian sama artinya dengan mendudukkan
pemerintah sebagai pihak dan hakim sekaligus, dan
konsekuensi membahayakan yang paling mungkin terjadi
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
79
adalah bias dalam mempertimbangkan diambilnya tindakan
diskresi itu sendiri.
Secara bernuansa pengertian tersebut nampak dari
pendapat bijak James Madison dalam the Federalist No. 10:
“No man is allowed to be a judge in his own cause because his
interest would certainly bias his judgment, and, not improbably,
corrupt his integrity. With equal, nay with greater reason, a
body of men are unfit to be both judges and parties, at the same
time.”4 Artinya, yang tidak disepakati di sini bukan tentang
validitas kekuasaan diskresi per se dari sudut pandang the
Rule of Law, tetapi pemerintah, pembuat tindakan diskresi,
sebagai pemberi kata final tentang segala apa yang dipandang
sebagai kepentingan terbaik bagi bangsa, bukan institusi lain
yang netral, yang tidak bertindak sebagai pihak maupun
hakim sekaligus.
Di dalam konsepsi the Rule of Law, diskresi adalah
keharusan. Konsepsi the Rule of Law yang digunakan di sini
adalah the Rule of Law dalam arti luas (thick; substantive),
bukan dalam arti sempit (thin; formal), yaitu legalitas. Hasil
Konferensi the International Commission of Jurists di New
Delhi tahun 1959 merumuskan konsepsi the Rule of Law
dalam arti luas:
The “dynamic concept” which the Rule of Law became in the formulation of the Declaration of Delhi does indeed safeguard and advance the civil and political rights of the individual in a free society; but it is also concerned with the establishment by
4 Dalam Thomas M. Franck, Political Questions/Judicial Answers: Does the Rule of Law Apply to Foreign Affairs, New Jersey: Princeton University Press, 1992, h. 156. Pernyataan Madison di atas adalah asas umum hukum yang universal bahwa seseorang tidak boleh bertindak sebagai hakim bagi kasusnya (nemo iudex in causa sua).
80
the state of social, economic, educational and cultural conditions under which man’s legitimate aspirations and dignity may be realized. Freedom of expression is meaningless to an illiterate; the right to vote may be perverted into an instrument of tyranny exercised by demagogues over an unenlightened electorate; freedom from government interference must not spell freedom to starve for the poor and destitute.5
Dalam analisis penulis, konsepsi the Rule of Law dalam arti
luas ini adalah basis justifikasi kekuasaan diskresi
pemerintah, di mana di sini lebih familiar dengan predikat
negara kesejahteraan. Diletakkan di dalam koridor the Rule of
Law, kekuasaan diskresi adalah kekuasaan yang bertujuan.
Tujuan tersebut adalah hukum yang mengontrol, membatasi
dan mengawasi tindakan diskresi, yang secara absah
membolehkan pemerintah bertindak menyimpangi asas
legalitas.
2. Pertanggungjawaban atas Tindakan Diskresi Pemerintah
Penyelenggaraan pemerintahan, dalam arti sebagai
proses kegiatan dari pemerintah, adalah untuk merealisasikan
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam welfare
State, tujuan itu adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat
(umum). Pada keadaan seperti itu pemerintah menjadi mandiri,
paling tidak dalam hal menentukan dan menetapkan prioritas-
prioritas operasionalisasi. Dengan perkataan lain,
pengakomodasian kekuasaan diskresi menyebabkan
5 Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, h. 112-113.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
81
terjadinya perluasan kekuasaan pemerintah.6 Setidaknya ada
dua isu penting yang perlu diperhatikan dari perluasan
kekuasaan pemerintah, sebagai dampak pemberian diskresi;
dan sekaligus menyiratkan betapa penting dan dibutuhkannya
Hukum Administrasi.
Pertama, perluasan tersebut dapat menimbulkan
ketegangan (spanningen) dalam kehidupan masyarakat.
Ketegangan itu menurut W.F. Prins adalah antara kekuasaan
(gezag) dengan kemerdekaan (vrijheid). Sedangkan menurut
Wiarda adalah antara kekuasaan (gezag) dengan keadilan
(gerechtigheid). 7 Kedua, seperti dikatakan Geraint Parry,
kemungkinan timbulnya praktik-praktik pemerintahan negara
organis, yaitu negara yang mempunyai kemauan dan
kepentingan sendiri, sebagaimana halnya seorang individu.
Negara mengadakan campur tangan ke dalam segala urusan
masyarakat atas dasar kepentingan dan kemauannya sendiri.
Patuan Sinaga, menunjukkan dua aspek yang
bertentangan dari suatu negara organis, aspek positif
merupakan inisiatif secara aktif dan agresif dalam
mencampuri seluruh bidang kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat, akan dapat memacu atau mempercepat upaya
pencapaian tujuan (ide-ide) negara. Sebaliknya aspek negatif,
antara lain dalam menetapkan prioritas-prioritas yang harus
ditingkatkan.8 Apa yang dimaksudkan terhadap hal ini adalah
6 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionaire dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 84. 7 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962, h. 37. 8 Patuan Sinaga, Op.cit., h. 85.
82
sebagaimana tercermin dalam slogan dari Sjachran Basah:
“memang kemakmuran dibutuhkan, akan tetapi keadilan lebih
dibutuhkan!” 9 Oleh karena itu dalam negara organis ini,
kepentingan dan kemauan negara – yang diselenggarakan
pemerintah – diinginkan untuk selalu identik dengan
kesejahteraan maupun kemajuan masyarakatnya.
Kebebasan pada pemerintah adalah fitur utama dari
konsep kekuasaan diskresi. Isu apakah kebebasan tersebut
kompatibel dengan asas the Rule of Law telah dibahas
sebelumnya di Bab II (khususnya Sub-judul B) dan disinggung
pula dalam supra Sub-judul A.1. Pembahasan di sini tidak
akan mengulang apa yang sudah dikerjakan sebelumnya,
tetapi lebih banyak pada penajaman-penajaman dan
pengembangan dari analisis sebelumnya. Isu yang perlu lebih
dipertajam di sini pertanggungjawaban dalam tindakan
diskresi pemerintah.
Tesis penulis adalah dalam koridor the Rule of Law,
pertanggungjawaban merupakan keniscayaan. Tidak ada
kebebasan di bawah preskripsi the Rule of Law yang
menimbulkan imunitas mutlak. Perkecualian atas asas
legalitas bukan tanpa pertanggungjawaban. Tanpa
pertanggungjawaban maka tindakan diskresi sangat rawan
untuk disalahgunakan. Pengertian ini merupakan pintu
masuk untuk menjustifikasi pembahasan selanjutnya
mengenai dasar-dasar pengujian bagi tindakan diskresi
pemerintah. 9 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni.1986, h. 11.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
83
Pertanggungjawaban adalah konsep hukum yang sangat
fundamental. Pertanggungjawaban bekerja di bagian hilir,
yaitu secara ex post. Pertanggungjawaban berfungsi
menghubungkan antara asas/kaidah hukum apriori dengan
tindakan a posteriori, dengan memberikan kualifikasi hukum
pada tindakan a posteriori tersebut (apakah sesuai dengan
hukum atau tidak sesuai dengan hukum), dan sekaligus
menentukan akibat hukumnya (pengenaan sanksi atau tidak).
Dengan pengertian demikian, keberadaan asas/kaidah
pertanggungjawaban sangat vital bagi hukum, yaitu supaya
asas/kaidah perilaku hukum bermakna sebagai ‘hukum’
dalam fungsinya yang basic sebagai sarana kontrol.
Asas/kaidah pertanggungjawaban merupakan sebuah
sistem. Di dalamnya terkandung berbagai asas/kaidah sub-
sistem seperti alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai
asas/kaidah pengecualian dari pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban atas tindakan diskresi pemerintah
adalah keniscayaan (sine qua non). Akan tetapi yang lebih
menjadi isu kemudian adalah apakah atas setiap tindakan
diskresi pemerintah dapat dipertanggungjawabkan atau tidak?
Apakah terhadap tindakan diskresi pemerintah terdapat
alasan pembenar yang adekuat secara hukum atau tidak? Isu
ini sangat operasional berkenaan dengan fungsionalitas
kekuasaan dan tindakan diskresi di dalam sistem hukum
yang dikaidahi oleh asas the Rule of Law, bukan apakah
tindakan diskresi melanggar hukum atau tidak karena secara
84
prinsipiil di dalam asas the Rule of Law dalam arti luas
kekuasaan diskresi merupakan kekuasaan hukum yang sah.
B. Pendekatan Right-Based dan Goal-Based sebagai Dasar
Pengujian Tindakan Diskresi
1. Tinjauan Umum Pendekatan Rule-Based, Right-Based
dan Goal-Based
Isu tentang dasar-dasar pengujian tindakan diskresi
pemerintah tidak dapat dipisahkan dengan isu tentang
pengujiannya sendiri. Isu tentang pengujian secara spesifik
adalah tentang proses penerapan dasar-dasar pengujian
tersebut dalam melakukan tindakan pengujian yang secara
konsepsional disebut dengan konsep pertanggungjawaban.
Ruang lingkup isu pengujian di sini meliputi pengujian hukum
(wetmatigheidstoetsing dan rechtmatigheidstoetsing) serta
pengujian kehasil gunaan dan kedaya gunaan
(doelmatigheidstoetsing).
Yang menjadi isu sentral dalam mendiskusikan isu
tentang dasar pengujian tindakan diskresi pemerintah di sini
tiada lain adalah konsepsi tentang HUKUM. Bentuk-bentuk
pengujian ratione materiae yang dikenal yaitu
wetmatigheidstoetsing, rechtmatigheidstoetsing dan
doelmatigheids-toetsing pada analisis akhir merupakan
representasi perkembangan konsepsi tentang HUKUM sebagai
dasar pengujian. Pada pengujian dengan bentuk
wetmatigheidstoetsing, yang merupakan dasar pengujian
adalah undang-undang (legislasi) dan peraturan-peraturan
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
85
pelaksanaannya (regulasi) (wet; lex). Sehingga metode yang
demikian dikenal dengan istilah pengujian dengan pendekatan
rule-based. Pendekatan rule-based hanya adekuat dalam
kasus tindakan pemerintah dalam koridor
kekuasaan/kewenangan terikat.
Dasar pengujian pada rechtmatigheidstoetsing adalah
Hukum (recht; ius), yaitu dengan pengertian a body of ideals,
principles, and precepts for the adjusment of the relations of
human beings and the ordering of their conduct in society.10 Hal
ini lazim dikenal dengan istilah pengujian dengan pendekatan
right-based. Konsep Right di sini dalam bahasa filosofis
mengandung konsepsi: good or just law, which is binding on us
because it is good or just.11
Perbedaan antara rule-based dengan right-based ini
hanya terjadi di dalam diskursus hukum di negara-negara
yang menggunakan bahasa Inggris karena di dalam kosakata
bahasa Inggris tidak diketemukan perbedaan antara ius dan
lex secara spesifik. Kedua konsep berbeda ini hanya terwakili
dalam satu kata yaitu law. Untuk mengatasi kesulitan
membedakan law dalam pengertian lex dengan law dalam
pengertian ius digunakan istilah Right (dengan pengertian
good or just law). Sehingga oleh karena itu, pengujian
berdasarkan Hukum atau ius lebih dikenal dengan istilah
pengujian right-based.
10 Roscoe Pound, Law Finding Through Experience and Reason, Athens: University of Georgia Press, 1960, h. 1-2. 11 George P. Fletcher, Basic Concepts of Legal Thought, New York-Oxford: Oxford University Press, 1996, h. 11-12.
86
Pengujian right-based ini adalah pengujian dalam
koridor asas the Rule of Law dalam arti luas (thick;
substantive). Hal ini nampak eksplisit dalam pendirian Ronald
Dworkin berikut ini:
I shall call the second conception of the Rule of Law the “rights” conception. It is in several ways more ambitious than the rule book conception. It assumes that citizens have moral rights and duties with respect to one another, and political rights against the State as a whole. It insists that these moral and political rights be recognized in positive law, so that they may be enforced upon the demand of individual citizens through courts or other judicial institutions of the familiar type, so far as this is practicable. The Rule of Law on this conception is the ideal of rule by an accurate public conception of individual rights. It does not distinguish, as the rule book conception does, between the Rule of Law and substantive justice; on the contrary it requires, as a part of the ideal of law, that the rules in the rule book capture and enforce moral rights.12
Mengacu pada Dworkin, pendekatan right-based sering
dipertukarkan pemakaiannya dengan pendekatan principle-
based; antonim pendekatan rule-based. 13 Ratione temporis,
pengujian hukum (dalam arti sempit maupun luas) hanya
dapat dilakukan secara ex tunc, yaitu memperhitungkan
semua fakta atau keadaan pada saat tindakan itu
dilakukan.14
Dasar pengujian pada doelmatigheidstoetsing adalah
doel atau tujuan dari tindakan. Sehingga pengujian yang
12 Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Op.cit., h. 102. 13 Hal ini mengacu pada konsepsi Dworkinian tentang hukum sebagai sistem, yaitu sebagai sistem rule dan principle, sebuah konsepsi untuk menentang konsepsi Hartian tentang hukum sebagai sistem ‘rules’ primer dan sekunder. Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London: Blackstone Press Limited, 1996, h. 166. 14 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, h. 193-194.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
87
demikian lebih dikenal dengan penamaan pendekatan goal-
based. 15 Hal ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan
konsepsi hukum yang instrumental (law as a means to an
end).16 Yang menjadi isu dalam doelmatigheidstoetsing ialah
segi hasil guna (pertimbangan efisiensi) dan daya guna
(pertimbangan efektivitas) dari tindakan dikaitkan dengan
tujuan (goal; doel) yang hendak dicapai melalui tindakan itu.
Ratione temporis, pengujian kedaya gunaan dan kehasil
gunaan dapat dilakukan baik ex tunc maupun ex nunc. Yang
dimaksud dengan ex nunc yaitu perubahan fakta dan keadaan
termasuk dalam penilaian suatu tindakan.17
2. Principles of Good Governance
Principles of Good Governance di sini adalah sebuah asas
hukum (legal principle) dalam Hukum Administrasi, yang
merupakan genus dari: General Principles of Proper
Administration (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik),
Principles of Human Rights Administration (Asas-asas
Pemerintahan Berdasarkan HAM), Principles of Public
Participation Administration (Asas-asas Partisipasi Publik
dalam Pemerintahan) dan Principles of Transparent
15 Tentang perbedaan antara pendekatan right-based (principles) dengan pendekatan goal-based (policies) Dworkin memiliki ilustrasi sebagai berikut: “arguments of policy justify a … decision by showing that the decision advances or protects some collective goal of the community as a whole. The argument in favour of a subsidy for aircraft manufacturers, that the subsidy will protect national defence, is an argument of policy. Arguments of principle jutify a … decision by showing that the decision respects or secures some individual or group right. The argument in favour anti-discrimination statutes, that a minority has a right to equal respect and concern, is an argument of principle.”Dalam Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Op.cit., h. 150-151. 16 Brian Z. Tamanaha, Law as a Means to an End: Threat to the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2006. 17 Philipus M. Hadjon, Op.cit., h. 194.
88
Administration (Asas-Asas Transparansi Pemerintahan). 18
Urgensi Principles of Good Governance terletak secara
kontekstual dalam fungsinya sebagai jembatan antara
discretionary power pemerintah dengan perlindungan
kepentingan banyak orang yang terkait. Peranannya dalam
Hukum Administrasi ialah bahwa Principles of Good
Governance ini aplikabel dalam different legal contexts by
different institutions and instruments sebagai dasar pengujian
dalam proses kontrol terhadap pemerintah. Principles of Good
Governance memperluas cakupan pertanggungjawaban
pemerintah kepada rakyat/warga negara tidak hanya
mencakup segi rechtmatigheid tindakan pemerintah tetapi juga
keharusan memberikan kesempatan secara langsung kepada
rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan
memperluas peranan peradilan dalam menguji tindakan-
tindakan pemerintah termasuk memperluas cakupan dasar-
dasar pengujian yang aplikabel.19
Hubungan antara Principles of Good Governance dengan
tindakan diskresi pemerintah dapat dijelaskan melalui dua
teori. Pertama, teori kompensasi. Kedua, teori tentang fungsi
dalam hukum dan masyarakat. Teori kompensasi menjelaskan
bahwa Principles of Good Governance merupakan kompensasi
atas hilangnya jaminan dalam peraturan perundang-
undangan sebagai dasar pengujian keabsahan tindak
pemerintahan karena legislator mendelegasikan kekuasaan 18 G.H. Addink, From Principles of Proper Administration to Principles of Good Governance, dalam G.H. Addink, Principles of Good Governance Reader, Utrecht: Faculteit Rechtsgeleerheid-Universiteit Utrecht, 2003 (Diktat), h. 13. 19 Ibid., h. 15.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
89
diskresi kepada pemerintah. Penjelasan demikian masih
kurang memadai. Menurut teori fungsi dalam hukum,
Principles of Good Governance adalah argumen bagi aktor
utama dalam Hukum Administrasi ketika mereka harus
mengambil keputusan/tindakan. Asas-asas tersebut
membantu memberikan kemungkinan interpretasi terbaik
dalam rangka argumen. Sementara menurut teori fungsi
dalam masyarakat, Principles of Good Governance membantu
dalam menjaga/mengawasi suatu kebijakan supaya
terlegitimasi di dalam masyarakat yang pada saat bersamaan
memiliki tuntutan akan fairness and justice.20
Dalam pembahasan tentang Principles of Good
Governance ini penulis hanya akan fokus pada Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik (General Principles of Proper
Administration) dan Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan
HAM (Principles of Human Rights Administration). Dasar
pertimbangannya ialah karena Principles of Transparent
Administration dan Principles of Public Participation
Administration tidak dapat menjadi dasar pengujian secara
langsung berkenaan dengan rechtmatigheidstoetsing. Principles
of Transparent Administration merupakan instrumen dalam
rangka prosedur pengambilan keputusan atau tindakan yang
mengikutsertakan masyarakat dengan maksud supaya pihak-
pihak yang kepentingannya terkait mengetahui akan adanya
keputusan atau tindakan tersebut sehingga yang
bersangkutan dapat berpartisipasi untuk melindungi 20 G.M.A. van der Heijden dalam Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Bandung: Alumni, 2007, h. 35.
90
kepentingannya (dengan turut mendengar, berpikir, berbicara
dan memutuskan atau meeweten, meedenken, meespreken en
meebeslissen21). Principles of Public Participation Administration
secara substansial berkenaan dengan konsep legal interest i.c.
legal standing. Di Belanda misalnya, sebagai perbandingan,
dalam praktik berdasarkan General Administrative Law Act,
setiap orang dapat menggugat setiap izin yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang hanya jika yang bersangkutan
berpartisipasi dalam persiapan atau preparasi izin tersebut,
misalnya dengan mengajukan pendapat.22
2.1. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (General
Principles of Proper Administration)
Hukum Administrasi menempati posisi yang amat
strategis bahkan memegang kendali sepenuhnya bagi
pengaturan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Oleh
karena itu dalam penyelenggaraan pemerintahan dikenal
beberapa asas yang dijadikan batu-uji (tolok ukur) terhadap
baik atau tidak baiknya pemerintahan suatu negara.
Terdapat dua rumpun atau pengelompokan atas asas-
asas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia. Rumpun pertama adalah yang tercantum dalam UU
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dengan
sebutan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara.
21 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press, 2000, h. 277. 22 Suparto Wijoyo, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan secara Terpadu: Studi Kasus Pencemaran Udara, Surabaya: Airlangga University Press, 2005, h. 336.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
91
Sedangkan rumpun yang kedua terdapat dalam ajaran
(doktrin) di dalam Hukum Administrasi, yang dikenal dengan
sebutan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Dengan
demikian kedua asas umum itu, dapat dikelompokkan ke
dalam satu nama dengan sebutan Asas Pemerintahan yang
Baik (disingkat dengan APB), yang terdiri dari: (1) Asas-Asas
Umum Penyelenggaraan Negara (disingkat AAUPN); dan (2)
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (disingkat AAUPB).
Berdasarkan Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999, Asas-Asas
Umum Penyelenggaraan Negara terdiri dari tujuh asas:
1. Asas kepastian hukum.
Prinsip dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan,
dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara
negara;
2. Asas tertib penyelenggaraan negara.
Prinsip yang menjadi landasan keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara;
3. Asas kepentingan umum.
Prinsip untuk mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
4. Asas keterbukaan.
Prinsip yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan dan rahasia negara;
92
5. Asas proporsionalitas.
Prinsip yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara negara;
6. Asas profesionalitas.
Prinsip yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
7. Asas akuntabilitas.
Prinsip yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus
dapat dipertanggungjawabakan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kelompok asas yang kedua dari Asas Pemerintahan
yang Baik, yaitu Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB) untuk pertama kalinya dikenal melalui hasil laporan
komisi de Monchy dengan penamaan Algemene Beginselen van
Behoorlijk Bestuur.23
Di Indonesia terdapat berbagai perbedaan penerjemahan
Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur ini. Kata
beginselen diterjemahkan menjadi: prinsip-prinsip, asas-asas,
dasar-dasar; sedangkan kata behoorlijk diterjemahkan: yang
sebaiknya, yang baik, yang layak, yang patut. Dalam hal ini,
penulis lebih memilih menggunakan kata “asas-asas”, dengan 23 Komisi de Monchy adalah sebuah komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang dibentuk oleh pemerintah Belanda pada tahun 1946 yang bertugas memikirkan peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang menyimpang. Lihat dalam Ridwan H.R., Op.cit., h. 245.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
93
alasan kata asas merupakan serapan dari bahasa Arab yang
tidak berbeda artinya dengan kata prinsip yang berasal dari
bahasa Inggris; di samping kata asas lebih banyak digunakan
oleh para ahli Hukum Administrasi. Sedangkan untuk pilihan
kata “yang baik”, penulis memilihnya semata-mata alasan
praktis yaitu mengingat kata yang baik sudah dikenal akrab di
kalangan masyarakat maupun pengemban Hukum
Administrasi. Bahkan kata yang baik ini telah menjadi bahasa
peraturan perundang-undangan, yaitu digunakan pada UU
Peradilan Tata Usaha Negara.24 Di samping itu arti kata yang
baik dan yang layak sebenarnya tidak ada perbedaan
pengertiannya secara prinsipil di dalam Hukum Administrasi.
Sementara pilihan kepada kata yang layak, semata-mata
hanya persoalan kepentingan kesesuaian dari segi
kebahasaan saja.25
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB),
digunakan bagi penilaian terhadap pemerintahan tetapi secara
khusus sejak semula ditujukan pada pemerintahan dalam arti
sempit. Hal ini sesuai dengan istilah bestuur pada Algemene
Beginselen van Behoorlijk Bestuur, bukan regering atau
overheid yang mengandung arti pemerintahan dalam arti
luas. 26 Crince Le Roy mengemukakan mengenai asas-asas
sebagai kriteria pemerintahan yang baik:
24 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang pada Pasal 53 Ayat (2) huruf a disebutkan: “Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”. 25 Periksa dalam Ridwan H.R., Op.cit., h. 245-246. 26 Ibid., h. 255.
94
1. Asas kepastian hukum (rechtzekerheids beginsel,
principle of legal security);
2. Asas keseimbangan (evenredigheids beginsel, security
principle of proportionality);
3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan
(gelijkheids beginsel, principle of equality));
4. Asas bertindak cermat (zorgvuldigheids beginsel,
principle of carefulness);
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (motiverings
beginsel, principle of motivation);
6. Asas tidak mencampuradukkan wewenang (verbod van
detournement de pouvoir, principle of nonmisuse of
competence);
7. Asas permainan yang layak (fair play beginsel, principle
of fairplay);
8. Asas pemenuhan pengharapan yang ditimbulkan atau
menanggapi pengharapan yang wajar (principle van
opgewekte verwarchtingen, principle of meeting raised
expectation);
9. Asas keadilan atau kewajaran (redelijkeheids beginsel,
principle of reasonableness or prohibition of
arbitrariness);
10. Asas meniadakan akibat dari keputusan yang batal
(herstel beginsel, principle of undoing the consequences
of an annulled decision);
11. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup
pribadi (principle van beskerning van de persoonlijke
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
95
levenssfeer, principle of protecting the personal way of
life).27
Masing-masing dari asas itu, pengertiannya dijelaskan
secara singkat sebagaimana berikut ini.
a. Asas kepastian hukum (principle of legal security). Asas
ini mengandung pengertian setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut
kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses
peradilan. Dasar bagi asas ini adalah asas yang dalam
Hukum Administrasi disebut presumptio iustae causa,
yaitu setiap tindakan atau keputusan pemerintah harus
dianggap benar menurut hukum (het vermoeden van
rechtmatigheid); dan kerenanya dapat dilaksanakan
demi kepastian hukum selama belum dibuktikan
sebaliknya atau dinyatakan tidak sah oleh hakim
administrasi.
b. Asas keseimbangan (principle of proportionality), Asas ini
mengandung tuntutan agar ada keserasiaan dan/atau
keseimbangan tindakan pemerintah dalam segala
aspeknya; demikian juga atas kelalaian atau kesalahan
yang dilakukan oleh pemerintah harus diberikan
tindakan atau hukuman yang proporsional oleh
atasannya. Suatu tindakan atau keputusan selayaknya
mempertimbangkan atau mengakomodir kepentingan-
kepentingan dan menyeimbangkan kepentingan-
kepentingan tersebut, yakni antara kepentingan 27 Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1978, h. 29-30.
96
keduniaan dan akhirat, antara kepentingan materiil dan
spiritual, antara kepentingan jiwa dan raga, antara
kepentingan individu dan masyarakat, antara
kepentingan perikehidupan darat, laut dan udara,
antara kepentingan nasional dan internasional.28
c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle
of equality). Asas ini mengandung pengertian bahwa
terhadap fakta atau kasus yang sama harus dilakukan
tindakan atau keputusan pemerintah yang sama pula –
dalam arti tidak bertentangan; dan memperlakukan
setiap orang dan subyek pemerintah mempunyai
kedudukan yang sama di dalam hukum (equality before
the law). Asas ini berlaku juga terhadap tindakan
pemerintah yang meskipun bersifat kasuistis, tetapi
tindakannya itu harus tetap berlandaskan pada asas
kesamaan, 29 dengan cara ia harus bertindak cermat
untuk mempertimbangkan titik-titik persamaannya.30
d. Asas bertindak cermat atau asas kecermatan (principle
of carefulness). Asas ini mengandung pengertian bahwa
pemerintah harus bertindak secara hati-hati dan cermat
sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga
masyarakat. Tindakan atau keputusan pemerintah
diambil atas dasar semua faktor atau fakta dan keadaan
yang relevan yang telah dikumpulkan, dipersiapkan 28 S.F. Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Di Indonesia, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 221. Pengertian ini tidak dijumpai dalam pendapat Ridwan H.R., Op.cit., h. 259. 29 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985, h. 223. 30 Ridwan H.R, Op.cit., h. 261.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
97
serta dipertimbangkan secara cermat dan teliti,
termasuk harus mempertimbangkan akibat-akibat
hukum yang muncul dari keputusan/tindakannya.
e. Asas motivasi untuk setiap tindakan atau keputusan
(principle of motivation). Asas ini mengandung pengertian
bahwa atas setiap tindakan/keputusannya, pemerintah
harus mengungkapkan motivasi atau alasan-alasan
tindakannya; dan alasan itu harus jelas, benar serta
adil. Alasan-alasan itu merupakan motivasi dilakukan
tindakan atau dikeluarkannya keputusan pemerintah
dan dijadikan sebagai dasar pertimbangannya. Ruang
lingkup asas pemberian alasan meliputi: (a). syarat
bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan; (b).
ketetapan harus memiliki dasar fakta yang teguh; (c).
pemberian alasan harus cukup dapat mendukung.31
f. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (principle of
nonmisuse of competence). Asas ini mendalilkan bahwa
wewenang yang ada atau diberikan kepada pemerintah
dipergunakan sesuai maksud dan tujuan semula
diberikannya wewenang itu. Suatu prinsip yang
menghendaki pemerintah tidak menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah
ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau
menggunakan wewenang yang melampaui batas.
Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir),
apabila perbuatan pemerintah itu masih terletak dalam
31 Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip dalam Ridwan H.R., Ibid., h. 264-265.
98
lingkungan ketentuan perundang-undangan, sedangkan
tindakan yang sewenang-wenang (willekeur) apabila
tindakan pemerintah tersebut di luar lingkungan
ketentuan perundang-undangan. 32 Mungkin
dikarenakan asas ini berisikan dua hal tersebut, SF
Marbun menyebut juga sebagai asas larangan
menyalahgunakan wewenang dan larangan sewenang-
wenang.33
g. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal
(principle of undoing the consequences of an annulled
decision) Asas ini menghendaki dilakukan cara-cara
untuk meniadakan akibat keputusan yang batal atau
tidak sah melalui pemulihan kembali hak-hak,
menempatkan kembali pada pekerjaan atau
kedudukannya semula, pemberian ganti rugi atau
kompensasi, dan pemulihan atau rehabilitasi kembali
nama baiknya. Peniadaan akibat keputusan yang batal
ini lazimnya terjadi terhadap orang atau pemerintah
yang ditangkap, ditahan, diadili karena kekeliruan
mengenai orangnya atau karena tidak terbukti
melakukan suatu kesalahan atau kejahatan.
h. Asas permainan yang layak (principle of fairplay). Asas
ini menghendaki setiap tindakan pemerintah dilakukan
dan dilaksanakan secara jujur, tidak curang dengan
menjunjung kebenaran dan keadilan (fairness); dan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada 32 Sjachran Basah, Eksistensi ..., Op.cit., h. 248-249. 33 S.F. Marbun, Op.cit., h. 218.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
99
warga negara (termasuk pada pemerintah sendiri) untuk
membela diri dengan memberikan argumentasi-
argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan
pemerintah; dan mencari dan mendapatkan kebenaran
dan keadilan kepada atasannya, instansi banding
(instansi pemerintah yang lebih tinggi atau melalui
administratief beroep), maupun badan peradilan
administrasi atas perlakuan atau penjelasan yang tidak
menyenangkan dari pemerintah.
i. Asas keadilan dan kewajaran (principle of
reasonableness or prohibition of arbitrariness). Asas ini
menghendaki agar setiap tindakan pemerintah selalu
memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas
keadilan menuntut tindakan secara proporsional,
sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang.
Sedangkan prinsip kewajaran menekankan agar setiap
kegiatan pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang
berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan
dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai
lainnya.34
j. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang
wajar (principle of meeting raised expectation). Asas ini
menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi
warga negara. Asas ini juga mendalilkan bahwa suatu
harapan yang sudah terlanjur diberikan kepada warga
34 Ridwan H.R., Op.cit., h. 271.
100
negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak
menguntungkan bagi pemerintah. 35
k. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup
pribadi (principle of protecting the personal way of life).
Asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas
kehidupan pribadi, baik bagi individu pemerintah
sendiri maupun pribadi setiap warga negara, sebagai
konsekuensi dari negara hukum demokratis yang
menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi. Di
Indonesia asas ini acapkali dikaitkan dengan sistem
keyakinan, kesusilaan, dan norma-norma yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat; artinya pandangan
hidup seseorang merupakan hak asasi yang harus
dihormati, tetapi penggunaan hak itu sendiri akan
berhadapan dengan norma dan sistem keyakinan orang
lain yang diakui dan dijunjung tinggi dalam suatu
masyarakat.36
Berkenaan dengan Keputusan TUN (beschikking), ruang
lingkup Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
sebagaimana dipaparkan di atas dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu asas yang bersifat formal
(prosedural) dan asas yang bersifat material (substansial). 37
Asas yang bersifat formal, yaitu: (a) berkenaan dengan
prosedur yang harus dipenuhi dalam setiap pembuatan
ketetapan; atau (b) asas-asas yang berkaitan dengan cara-cara 35 Ibid., h. 272. 36 Ibid., h. 275-276. 37 Menurut P. Nicolai, urgensi dari pembedaan ini adalah untuk perlindungan hukum. Lihat dalam Ibid., h. 257.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
101
pengambilan keputusan, seperti: asas kecermatan dan asas
permainan yang layak. Sedangkan Indroharto memberikan
pemahaman bahwa asas-asas yang bersifat formal, yaitu asas-
asas yang penting artinya dalam rangka mempersiapkan
susunan dan motivasi dari suatu beschikking (yang
menyangkut segi lahiriahnya) yang meliputi asas-asas yang
berkaitan dengan proses persiapan dan pembentukan
keputusan, dan asas-asas yang berkaitan dengan
pertimbangan serta susunan keputusan. Adapun yang
dimaksudkan dengan asas-asas yang bersifat material tampak
pada isi dari keputusan pemerintah, seperti asas kepastian
hukum, asas persamaan, asas tidak mencampuradukkan
kewenangan (larangan sewenang-wenang dan larangan
penyalahgunaan kewenangan).38
SF Marbun menambahkan satu asas ke dalam Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas musyawarah.
Namun patut disayangkan, Marbun tidak memberikan
penjelasan atau argumen mengapa asas tersebut dimasukkan
sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Menurut
Marbun, asas musyawarah menghendaki agar dalam hal
timbul sengketa akibat dari tindakan atau keputusan
pemerintah yang dianggap melanggar dan merugikan hak-hak
warga negara maka dalam penyelesaiannya harus
mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat yang
diliputi semangat kekeluargaan.39
38 Ibid. 39 Asas ini dikutip dari Marbun yang mana merupakan pendapat dan pengertiannya dari dirinya sendiri. Periksa S.F. Marbun, Op.cit., h. 224.
102
Koentjoro Purbopranoto, menambahkan dua asas yang
dipandang sesuai dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan
semangat UUD 1945, yaitu: asas kebijaksanaan (sepientia)
dan asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of
public service). 40 Asas kebijaksanaan (sapientia) merupakan
perpaduan jiwa idealistis-realistis dengan pragmatis yang
sesuai dan selaras dengan cita-cita pemerintah, karenanya
asas kebijaksanaan adalah suatu pandangan jauh ke depan
dari pihak pemerintah (gouverner c’est prevoir), yakni:
a. Pemerintah dalam segala sikap-tindak harus selalu
berpandangan luas, serta selalu dapat menghubungkan
berbagai gejala yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
b. Pemerintah harus pandai memperhitungkan lingkup
akibat-akibat sikap-tindak pemerintahannya dengan
penglihatan jauh ke depan.41
Lebih lanjut Koentjoro Purbopranoto berpendapat bahwa
oleh karena diskresi merupakan kebebasan pemerintah untuk
bertindak dalam suatu situasi yang konkret (kasuistis), maka
diskresi harus didasarkan kepada asas kebijaksanaan, yaitu
dalam pengertian memperhitungkan dampak-dampak negatif
yang mungkin terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian secara tidak langsung, asas kebijaksanaan
dapat dijadikan arah bagi penerapan diskresi (pouvoir
discretionnaire).42
40 Koentjoro Purbopranoto, Op.cit., h. 30. 41 Ibid., h. 34. 42 Patuan Sinaga, Op.cit., h. 86-87.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
103
Terhadap hal tersebut, muncul keberatan jika diskresi
mutlak digantungkan sepenuhnya kepada asas kebijaksanaan.
Pertama, bahwa teramat sulit menentukan secara teoritis
(konsepsional), bagaimana kriteria bijaksana atau tidak
bijaksananya suatu tindakan pemerintah. Apakah hal itu
didasarkan pada hasil akhir yang dicapai, ataukah pada cara-
cara pencapaian tujuan? Kedua, secara praktis, bahwa
keterikatan mutlak justru akan mengurangi eksistensi
maupun hakekat diskresi. Keadaan demikian pada gilirannya
dapat mempengaruhi maksud dan tujuan pemberian diskresi
pada pemerintah.43 Walaupun dirasakan kurang tepat, namun
asas kebijaksanaan dapat dipertimbangkan sebagai dasar
pengujian bagi tindakan diskresi pemerintah.
Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of
public service) mengharuskan pemerintah menjalankan
kekuasaannya untuk mencapai atau memenuhi berbagai
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Kepentingan
umum mengatasi kepentingan seluruh individu, kepentingan
golongan, maupun kepentingan daerah-daerah di dalam
negara. Akan tetapi cakupan maupun hirarki kepentingan
umum tersebut, pada dasarnya masih belum menjawab
permasalahan, yaitu kepentingan umum yang bagaimana
yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam
menyelenggarakan kekuasaannya? Prajudi Atmosudirdjo
mengemukakan empat teori dasar kepentingan umum, yaitu:
1. Teori Keamanan.
43 Ibid.
104
Di dalam teori ini yang terpenting bagi suatu
masyarakat adalah kehidupan yang aman dan sentosa;
2. Teori Kesejahteraan.
Kepentingan untuk kehidupan masyarakat yang
difokuskan teori ini ialah, kesejahteraan dalam
pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan pokok (utama)
secara cepat serta murah. Kebutuhan pokok tersebut
mencakup sandang, pangan, kesehatan dan
kesempatan kerja;
3. Teori Efisiensi Kehidupan.
Fokus utama yang dipentingkan dalam teori ini adalah
keharusan agar masyarakat dapat hidup secara efisien
supaya kemakmuran dan produktivitas dapat
ditingkatkan;
4. Teori Kemakmuran Bersama.
Geraint Parry menyebutnya dengan welfare-society
theory. Bagi teori ini yang terpenting bagi masyarakat
adalah kebahagiaan dan kemakmuran bersama, di
mana berbagai ketegangan sosial (social-tension) dapat
ditanggulangi dengan mantap, serta diikuti oleh upaya
pemerataan tingkat pendapatan masyarakat.44
Untuk sementara ini teori kepentingan kemakmuran
bersama (welfare-society) dapat dijadikan sebagai kerangka
acuan dari kepentingan umum. Dengan demikian pemerintah
harus memperhatikan dan mendasarkan sikap-tindak,
termasuk di dalamnya penggunaan diskresi, pada 44 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, h. 28.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
105
kemakmuran bersama; tidak hanya untuk segelintir anggota
masyarakat saja.45 Asas penyelenggaraan kepentingan umum
sebagai kemakmuran bersama menjadi pilihan kuat sebagai
dasar pengujian tindakan diskresi pemerintah.
Sampai di sini agaknya sudah dianggap memadai
bilamana selama tindakan atas inisiatif sendiri dari
pemerintah memberi atau membawa manfaat bagi
kesejahteraan umum, maka tindakan itu dapat ditolelir.
Namun demikian sebagaimana telah disinggung di muka,
berkembang luasnya inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan
kekuasaan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan,
atau di dalam doktrin judicial review di Inggris hal ini disebut
dengan istilah ultra vires. Konsepsi ultra vires tergambar
dalam pendapat Lord Browne-Wilkinson, the House of Lords,
dalam putusan atas kasus R v Hull University Visitor ex p Page
(1993):
Over the last 40 years the courts have developed general principles of judicial review. The fundamental principle is that the courts will intervene to ensure that the powers of public decision making bodies are exercised lawfully. In all cases, save possibly one, this intervention ... is based on the proposition that such powers have been conferred on the decision maker on the underlying assumption that the powers are to be exercised only within the jurisdiction conferred, in accordance with fair procedures and, in a Wednesbury sense ... reasonably. If the decision maker exercises his powers outside the jurisdiction conferred, in a manner which is procedurally irregular or is Wednesbury unreasonable, he is acting ultra vires his powers and therefore unlawfully.46
45 Patuan Sinaga, Op.cit., h. 88. 46 Andrew Le Sueur, Javan Herberg & Rosalind English, Principles of Public Law, London: Cavendish Publishing Company, 1999, h. 231.
106
Berdasarkan putusan di atas, suatu tindakan pemerintah
masuk ke dalam katagori ultra vires manakala: (a) pejabat
pemerintah bertindak melampaui batas kekuasaan yang
dimilikinya; (b) bertindak tidak mengikuti prosedur yang
seharusnya (procedurally irregular); atau (c) bertindak
unreasonable.
Mempertimbangkan potensi terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan atas pelaksanaan tindakan diskresi oleh
pemerintah tersebut, Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan
dua asas sebagai tolok ukur, yaitu:47
1. Asas legalitas (wetmatigeheid).
Setiap tindakan (keputusan) pemerintah harus diambil
berdasarkan atas suatu ketentuan undang-undang.
2. Asas yuridisitas (rechtmatigeheid).
Setiap tindakan (keputusan) yang diambil oleh
pemerintah tidak boleh melanggar hukum
(onrechtmatige overheidsdaad).
Dengan demikian setiap tindakan atau keputusan pemerintah
harus wetmatig dan rechtmatig. Pendapat Prajudi
Atmosudirdjo di atas kurang tepat. Tolok ukur wetmatigheid
tidak relevan dalam kasus tindakan diskresi. Karena itu,
Principles of Good Governance i.c. Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik dalam hubungannya dengan
tindakan diskresi pemerintah dipertimbangkan sebagai
kompensasi atas ketidakadekuatan asas legalitas sebagai
dasar pengujian keabsahan tindakan diskresi pemerintah.
47 Prajudi Atmosudirdjo, Op.cit., h. 85.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
107
Dasar pengujian lain yang layak dipertimbangkan
adalah asas moralitas. Asas ini agaknya dipengaruhi
pandangan yang membedakan atau memisahkan antara
hukum dengan moral (separation thesis). Atas dasar
pemahaman ini maka agar tindakan pemerintah tidak
mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, maka tindakan
itu tidak hanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum – asas yuridisitas – dan juga secara moral (asas
moralitas).
Pertanggungjawaban pemerintah secara moral atas
tindakan yang dilakukannya adalah ditujukan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.48 Patuan Sinaga memberikan alasan terhadap
urgensi tuntutan moralitas ini. Pertama, dasar pertimbangan
diterapkannya diskresi lebih merupakan ide-ide moralitas
dibandingkan yuridis (hukum). Kedua, keberadaan dari
diskresi itu sendiri yang mendasarkan, menyesuaikan dan
menyelaraskan tindakan-tindakan dengan tujuan-tujuan
beserta akibat yang timbul secara lebih manusiawi. 49 Atas
dasar hal itu maka asas moralitas dapat diperlakukan sebagai
dasar pengujian atas tindakan diskresi pemerintah.
Disadari atau tidak, dalam praktik, banyaknya tindakan
diskresi yang dilakukan pemerintah dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi
menimbulkan permasalahan hukum dan administratif. Ada
beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika diskresi tidak
dilakukan di dalam koridor hukum administrasi. Pertama, 48 Sjachran Basah, Eksistensi ..., Op.cit., h. 151. 49 Patuan Sinaga, Op.cit., h. 100.
108
tindakan aparatur atau pejabat pemerintah yang merugikan
masyarakat karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak
dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat. Sikap tindak
dari pemerintah yang berakibat terjadi kerugian pada
masyarakat merupakan perbuatan melanggar hukum oleh
penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), baik berupa
tindakan penyalahgunaan wewenang (detournement de
pouvoir), atau tindakan sewenang-wenang (willekeur).
Kedua, sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau
malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak populer dan
non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah
yang berwenang. Ketiga, sektor pembangunan justru menjadi
terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau
aparatur pemerintah yang kontra produktif dengan keinginan
rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya. Keempat,
aktivitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan
tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang
tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis
kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunnya
wibawa pemerintah di mata masyarakat sebagai akibat
kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan
merugikan masyarakat.
Terhadap masalah yang dapat timbul dikarenakan
tindakan diskresi ini, maka pemerintah dalam menjalankan
aktivitasnya, terutama dalam mewujudkan tujuan-tujuan
negara (atau mengupayakan bestuurszorg) melalui
pembangunan, tidak dapat bertindak semena-mena,
melainkan sikap tindak itu harus dapat
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
109
dipertanggungjawabkan.50 Argumen atas pernyataan demikian
adalah meskipun intervensi pemerintah dalam kehidupan
warga negara merupakan kemestian dalam konsepsi welfare
State, tetapi pertanggungjawaban setiap tindakan pemerintah
juga merupakan kemestian dalam the Rule of Law yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. 51
Artinya, harus ada akuntabilitas, responsibilitas maupun
liabilitas terhadap tindakan diskresi pemerintah.
Untuk itu beberapa tolok ukur untuk menilai apakah
tindakan pemerintah itu sejalan dengan the Rule of Law atau
tidak haruslah diletakkan dalam tempatnya yang semestinya,
yaitu batasan-batasan yang diberikan oleh Hukum
Administrasi. Diskresi dengan demikian, tidak bisa tidak,
harus dipahami serta dilaksanakan berpijak dan sesuai
dengan ranah bidangnya yaitu Hukum Administrasi. Hukum
Administrasi memberikan parameter atau tolok ukur, yakni
batasan toleransi bagi badan atau pejabat pemerintah dalam
menggunakan kekuasaan diskresinya.
2.2. Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan HAM (Principles
of Human Rights Administration)
Hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan elemen yang
sangat fundamental dalam negara modern berdasarkan asas
the Rule of Law dalam arti luas (thick; substantive). 52 HAM
50 Sjachran Basah sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R., Loc.cit. 51 Ibid. 52 Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Op.cit., h. 102-113. Dalam arti sempit, the Rule of Law (thin; formal) tidak selalu kompatibel dengan HAM. Tamanaha mengatakan secara reflektif: “It should be recalled, however, that the USA adhered to the rule of law even when slavery was legally enforced, and racial segregation legally imposed. What makes this
110
meletakkan batasan terhadap negara dalam hubungan dengan
rakyat/warga negara, berkenaan dengan kekuasaan rule-
making, rule-executing maupun rule-adjudicating. Sehingga
merupakan kaidah yang normal bahwa tindakan diskresi
pemerintah tidak boleh melanggar HAM (baik sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya).
Dalam sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Asas-
asas Pemerintahan Berdasarkan HAM ini perlu ditonjolkan
dalam kaitan dengan positivisasi HAM ke dalam UUD 1945
dan UU No. 39 Tahun 1999. Dengan positivisasi tersebut
maka pengujian tindakan diskresi pemerintah berdasarkan
kaidah-kaidah HAM secara spesifik telah menjadi pendekatan
rule-based. Pendekatan rule-based HAM ini sendiri sangat
adekuat sebagai dasar pengujian terhadap tindakan diskresi
pemerintah meskipun di depan penulis selalu beropini bahwa
pendekatan rule-based tidak adekuat sebagai dasar pengujian
tindakan diskresi pemerintah.
Dasar pertimbangan penulis adalah karena bobot relatif
dari HAM dalam situasi competing interests yang harus lebih
didahulukan dari pertimbangan kepentingan yang lain karena
hakikat HAM sendiri menyangkut nilai manusia yang sangat
fundamental yaitu human dignity. 53 Satu-satunya
pengecualian dalam kasus ini ialah klausul limitations of rights
(Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945): “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan account of the rule of law compatible with evil is the absence of any separate criteria of the good or just with respect to the content of the law.” Ibid., h. 93. 53 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 4-5.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
111
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuann serta
penghormatan atas dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.”54
Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan HAM harus
mendapatkan tempat yang layak di dalam sistem Hukum
Ketatanegaraan Indonesia karena UUD 1945 tidak secara
spesifik memberikan preskripsi mengenai status positivisasi
HAM yang di dalam UUD 1945. Dengan formulasi berbeda,
asas ini sangat fundamental dalam fungsinya sebagai gap filler
ketentuan HAM dalam UUD dan legislasi (undang-undang).
Kondisi ini sangat berbeda dengan teknik positivisasi HAM di
dalam sistem konstitusional AS, yaitu The U.S. Constitution
Amend. IX yang menentukan: “The enumeration in the
Constitution, of certain rights, shall not be construed to deny or
disparage others retained by the people.” Ketentuan tersebut
lazim dikenal dengan sebutan klausul unenumerated rights55
yang mengandung interpretasi: “there are certain rights of so
fundamental a character that no free government may trespass
54 Dalam teori, “A limitation clause is clearly an exception to the general rule. The general rule is the protection of the right; the exception is its restriction.” Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge: Cambridge University Press, 2002, h. 184. 55 Untuk kajian mengenai aspek historikal konsep unenumerated rights, pro-kontra dan prospek aplikabilitasnya dalam putusan pengadilan, periksa Randy E. Barnett, Who’s Afraid of Unenumerated Rights?, University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, Vol. 9, No. 1, 2006, h. 1-22.
112
upon them whether they are enumerated in the Constitution or
not.”56
Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan HAM dapat
diperlakukan sebagai klausul unenumerated rights dalam
kasus Indonesia. Dalam hubungan dengan positivisasi HAM di
dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999, asas ini akan
memberikan efek kepada positivisasi HAM di Indonesia yang
bersifat ‘opened - end’. Hal ini sesuai dengan asas hukum HAM
sendiri yaitu asas natural dan inherent, di mana asas-asas
tersebut mengandung pengertian bahwa HAM bukan
pemberian negara melalui produk hukum positifnya, tetapi
kodrati dan melekat dalam diri setiap manusia semata-mata
karena sifatnya sebagai manusia. 57 Sehingga, mutatis
mutandis, interpretasi The U.S. Constitution Amend. IX yaitu
“there are certain rights of so fundamental a character that no
free government may trespass upon them whether they are
enumerated in the Constitution or not” juga berlaku bagi
Indonesia, untuk mengisi gap yang mungkin terjadi dalam
positivisasi HAM di dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun
1999.58
56 Edward S. Corwin, The Constitution and What It Means Today, New Jersey: Princeton University Press, 1978, h. 440. 57 Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, h. 17; Louis Henkin, The Rights of Man Today, New York: Columbia University Press, 1988, h. 2-3. 58 Di AS, kasus landmark berkenaan dengan klausul unenumerated rights dalam fungsinya sebagai gap filler dari Bill of Rights misalnya: Roe v. Wade, 410 US 113 (1965), tentang hak seorang perempuan untuk melakukan tindakan aborsi berdasarkan hak atas privasi yang tidak dikenal di dalam Konsitusi AS tetapi diturunkan berdasarkan klausul unenumerated rights.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
113
Persinggungan antara tindakan diskresi pemerintah
dengan aspek-aspek HAM sangat terbuka berkenaan dengan
kekuasaan untuk melakukan pembatasan terhadap HAM,
terutama melalui upaya pengaturan. The Privy Council sebagai
pengadilan banding atas putusan the Court of Appeal of
Antigua and Barbuda dalam kasus De Freitas v. Permanent
Secretary of Agriculture, Fisheries, Lands and Housing (1998)
meletakkan tiga kaidah dalam rangka menguji apakah
tindakan pengaturan oleh pemerintah untuk membatasi hak
merupakan pengaturan yang sewenang-wenang atau eksesif:
“(i) the legislative objective is sufficiently important to justify
limiting a fundamental right; (ii) the measures designed to meet
the legislative objective are rationally connected to it; and (iii) the
means used to impair the right or freedom are no more than is
necessary to accomplish the objective.”59
3. Asas-asas Efisiensi dan Efektivitas
Pengertian asas-asas efisiensi dan efektivitas di sini
sejajar dengan pengertian yang diberikan oleh Pasal 5 UU No.
10 Tahun 2004 tentang asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan sebagai Asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang Baik, yaitu setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengertian ini
berlaku mutatis mutandis untuk pengertian efisiensi dan
efektivitas yang penulis gunakan dalam konteks pengujian
59 Nihal Jayawickrama, Op.cit., h. 185.
114
tindakan diskresi pemerintah, yaitu pada aspek kebutuhan
dan kemanfaatannya.
Asas-asas efisiensi dan efektivitas sebagai dasar
pengujian bagi tindakan diskresi pemerintah dimaksudkan
untuk menjawab isu apakah tindakan diskresi tersebut
mencapai tujuan/sasarannya atau tidak; apakah hasil yang
diperoleh sepadan dengan biaya yang ditanggung; apakah
tindakan tersebut tidak terhindarkan ataukah masih ada
alternatif tindakan lainnya dengan hasil yang lebih baik.
Sehingga yang ditekankan di sini adalah aspek ‘impact’ dari
tindakan, yang tidak hanya berlaku pada waktu tindakan
terjadi, tetapi juga untuk jangka waktu tertentu, yaitu pendek,
menengah dan panjang. Pengujian yang demikian ratione
temporis disebut pengujian ex nunc.
Praktik di Swiss berkenaan dengan regulatory impact
assessment dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
pengujian efisiensi dan efektivitas tindakan diskresi
pemerintah secara mutatis mutandis. Mengacu pada regulasi
yang dibuat oleh the Swiss Federal Council 15 September
1999, ada lima tolok ukur dalam rangka melakukan regulatory
impact assessment: (1) Necessity and possibility of State action;
(2) Impacts on individual social groups; (3) Impacts on the whole
economy; (4) Alternative regulations; (5) Expediency in
enforcement. 60 Kelima parameter di atas dapat dijadikan
sebagai definisi operasional pengujian berdasarkan asas-asas
efisiensi dan efektivitas. 60 Klaus Mathis, Efficiency Instead of Justice? Searching for the Philosophical Foundations of the Economic Analysis of Law, Dordrecht: Springer, 2009, h. 205.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
115
Asas-asas efisiensi dan efektivitas sebagai dasar
pengujian tindakan diskresi pemerintah sangat relevan karena
tindakan diskresi sangat berorientasi pada tujuan (goal-
oriented) (supra Bab II khususnya Sub-judul C). Sehingga
apakah pada akhirnya tindakan diskresi tersebut mencapai
tujuannya atau tidak menjadi relevan jika diuji dengan asas-
asas efisiensi dan efektivitas. Asas-asas efisiensi dan
efektivitas ini merupakan dasar pengujian bagi tindakan
pengujian dengan pendekatan goal-based. Rasio dari
pengujian demikian ialah tujuan tidak boleh dicapai dengan
menghalalkan segala cara meskipun tujuan memiliki
kedudukan yang superior.
Namun demikian, pengujian dengan pendekatan goal-
based yang mengacu pada asas-asas efisiensi dan efektivitas
harus diimbangi dengan satu kaidah bahwa tujuan yang
hendak dicapai harus tujuan yang benar, atau dapat
dibenarkan, secara objektif sebagai dasar bagi tindakan yang
dilakukan yang diuji secara ex ante. Temuan dari pengujian
yang demikian ialah apakah pejabat pemerintah bertindak
menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) ataukah
bertindak sewenang-wenang (arbitrariness).
Bagaimana mengukur kebenaran objektif dari suatu
tujuan bagi tindakan? Hart & Sachs menetapkan dua standar
yang berlaku bagi legislasi, yaitu:
First, the interpreter should assume that the legislature is composed of reasonable people seeking to achieve reasonable goals in a reasonable manner; and second, the interpreter should accept the non-rebuttable presumption that members of
116
the legislative body sought to fulfill their constitutional duties in good faith.61
Pengertian tersebut berlaku mutatis mutandis untuk
mengukur kebenaran dan kesahihan tujuan dari tindakan
diskresi pemerintah sebelum dilakukan pengujian apakah
tindakan diskresi pemerintah tersebut sesuai asas-asas
efisiensi dan efektivitas atau tidak. Pertama, penguji harus
meletakkan asumsi dasar bahwa pemerintah reasonable,
berusaha mencapai tujuan yang reasonable, dan dilakukan
dengan cara-cara yang reasonable pula. Sehingga bagaimana
seharusnya yang reasonable itu ditentukan oleh perhitungan
orang yang reasonable pula dalam menyikapi suatu situasi-
kondisi bagi sebuah tindakan. Kedua, penguji harus
mempertimbangkan apakah dalam melakukan tindakan
tersebut pemerintah bertindak good faith atau tidak.
C. Sarana Kontrol terhadap Tindakan Diskresi Pemerintah
Pejabat pemerintah dituntut harus dapat bertanggung
jawab atas tindakan diskresi yang dibuatnya kepada
masyarakat baik dengan atau tanpa adanya proses hukum
berupa gugatan. Dasar pertimbangan dari argumentasi ini
adalah bahwa hal tersebut merupakan kewajiban yang
sifatnya melekat (inheren) pada kewenangan/kekuasaan yang
menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi itu sendiri.
Dengan pengertian lain, pertanggungjawaban merupakan
konsekuensi niscaya dari asas the Rule of Law.
61 Aharon Barak, Purposive Interpretation in Law, New Jersey: Princeton University Press, 2005, h. 87.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
117
Isu yang secara spesifik hendak dibahas di sini adalah
tentang sarana kontrol, yaitu institusi yang memiliki
yurisdiksi dalam melakukan pengujian (review; toetsing)
terhadap tindakan diskresi pemerintah. Isu ini penting karena
secara institusional yurisdiksi untuk melakukan pengujian
sangat spesifik dikaitkan dengan bentuk atau metode
pengujian yang ada. Sehingga yang akan menjadi fokus di sini
adalah kompatibilitas institusional dalam rangka melakukan
pengujian dengan rumus atau formula: bentuk atau metode
pengujian menentukan keadekuatan institusi yang akan
melakukan pengujian.
Isu tentang sarana juga penting supaya tidak terjadi
kemacetan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga
tanpa mengurangi pertimbangan perlunya kontrol terhadap
pemerintah, fleksibilitas bagi pelaksanaan tindakan kontrol
tersebut juga niscaya harus dipertimbangkan. Sehingga pada
analisis akhir akan muncul pertanyaan tentang prospek kasus
demikian di Indonesia. Pembahasan tentang sarana kontrol di
sini dibatasi hanya berkaitan dengan sarana kontrol formal,
yaitu institusi dalam rangka fungsi kontrol yang dibentuk oleh
negara dalam koridor asas legalitas.
1. Kontrol Yudisial
Sarana kontrol yang independensi dan imparsialitasnya
paling kuat adalah lembaga peradilan (yudisial). Upaya hukum
yudisial dalam rangka pengujian ini disebut judicial review.
Terkait dengan itu maka pertanyaan dasar untuk diajukan
adalah apakah judicial review merupakan sarana yang
memadai dalam rangka pengujian terhadap tindakan diskresi
118
pemerintah, terutama segi efisiensi dan efektivitasnya sebagai
aktivitas yang bersifat goal-based? Hadjon memiliki pendirian
spesifik sebagai prinsip umum atas kasus ini sebagai berikut:
Dari segi sejarah lahirnya pemikiran untuk membedakan rechtmatigheidstoetsing dan doelmatigheidstoetsing ternyata bahwa pemikiran itu beranjak dari pemikiran tentang pemisahan kekuasaan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudisial. Sebagai imbangan terhadap kekuasaan eksekutif untuk tidak mencampuri kekuasaan kehakiman (asas kekuasaan kehakiman yang merdeka), kekuasaan kehakiman pun tidak boleh mencampuri bidang kehidupan penguasa. Oleh karena itu peradilan tidak boleh melakukan doelmatigheidstoetsing.62
Hadjon selanjutnya memberikan pendapat yang bersifat
pengecualian atas pendapat sebelumnya di atas:
Pada prinsipnya peradilan tidak mencampuri kebijakan, jadi tidak mengukur perbuatan pemerintah yang berdasarkan kebijakan (op grond van beleidsmatigheid) namun hal itu hendaklah dilihat secara relatif, karena seperti telah disinggung dalam uraian sebelumnya, perbuatan penguasa (dengan memperhatikan asas keserasian yang bertumpu atas asas kerukunan) tidak hanya dinilai berdasarkan norma-norma yang zakelijk tetapi juga dinilai berdasarkan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.63
Pengertian untuk digaris bawahi dari pernyataan di atas
adalah asas yang menyatakan bahwa kebijakan tidak dapat
diganggu gugat tidak absolut, terutama jika kebijakan
tersebut adalah yang dimaksudkan di sini sebagai tindakan
diskresi. Manakala tindakan diskresi mengandung unsur
penyalahgunaan wewenang atau sewenang-wenang maka
imunitas tersebut menjadi hilang dan badan peradilan
memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian. Tetapi 62 Philipus M. Hadjon, Op.cit., h. 193. 63 Ibid.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
119
tatkala yang disengketakan adalah isu efisiensi atau
efektivitas (misalnya: apakah dalam pelaksanaannya tindakan
tersebut menemui tujuan/sasaran yang digariskan atau tidak;
apakah konsekuensi tindakan tersebut setara dengan biaya
atau energi yang dialokasikan – hal ini kaitannya dengan
pilihan atas sarana/cara; pilihan antara melakukan/tidak
melakukan tindakan), maka peran badan peradilan adalah
nihil belaka.
Berkenaan dengan aspek tujuan dari tindakan, yang
dapat diuji adalah apakah tujuan yang menjadi dasar dari
tindakan tepat atau tidak. Di sini pengujian adalah
berdasarkan tolok ukur Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik, yaitu asas larangan penyalahgunaan wewenang dan
asas larangan bertindak sewenang-wenang dengan satu isu
sentral apakah pejabat pemerintah bertindak good faith. Asas
larangan penyalahgunaan wewenang memiliki parameter: (1)
tindakan bertentangan dengan tujuan
kekuasaan/kewenangan; (2) tujuan yang tidak tepat; (3)
penggunaan kewenangan secara patut; (4) penggunaan
kewenangan sesuai dengan tujuannya. Sementara parameter
asas larangan bertindak sewenang-wenang meliputi: (1)
tindakan terbukti unreasonable; (2) tindakan sesuai dengan
kepentingan yang dituju tetapi tidak dapat
diterima/unacceptable; (3) tindakan tidak dilakukan dengan
reasonableness; (4) tindakan harus dilakukan in fairness. 64
Tetapi manakala tujuan tidak mengandung elemen
64 Principles and Criteria for the Administration dalam G.H. Addink, Op.cit.
120
penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang
menurut parameter di atas, dan dalam pelaksanaan tujuan
melalui tindakan dipermasalahkan apakah tujuan tercapai
atau tidak, atau apakah ada alternatif tindakan lain untuk
mencapai tujuan, maka secara tegas hal itu di luar
kompetensi lembaga yudisial; hal itu murni isu political
questions (kebijakan pemerintah tidak dapat diganggu gugat
oleh pengadilan).
Menentukan apakah yang menjadi pokok sengketa
merupakan political questions atau legal questions merupakan
isu yang sulit dalam praktik. Tetapi paling tidak, pembedaan
tersebut sangat membantu mempermudah pekerjaan lembaga
peradilan (khususnya untuk menghindari ketegangan dengan
pemerintah yang memiliki legitimasi demokratis sangat kuat
dan dipercaya sebagai pemangku public good). Dalam konteks
demikian, ada banyak contoh perbandingan kasus yang layak
dijadikan sebagai pedoman. Pertama, Schleyer Kidnapping
Case, sebuah kasus yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi
Jerman berkenaan dengan tindakan pemerintah Jerman
melakukan negosiasi dengan teroris untuk pembebasan
sandera. Tindakan pemerintah Jerman tersebut oleh
penggugat dipermasalahkan berdasarkan Art. 2.2 UUD
Jerman tentang jaminan terhadap hak untuk hidup. Dalam
kasus ini Mahkamah Konstitusi Jerman berpendirian bahwa
isu taktikal dalam rangka pembebasan sandera dari tangan
teroris merupakan diskresi pemerintah kecuali terbukti
sebaliknya bahwa pemerintah bertindak dengan itikad buruk
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
121
dengan tindakan diskresinya tersebut, maka hal ini
merupakan tindakan sewenang-wenang.65
Kedua, Chemical Weapons Case, yang juga diajukan ke
Mahkamah Konstitusi Jerman. Yang menjadi isu dalam kasus
ini adalah upaya penggugat untuk menghalangi penyimpanan
gas saraf dan bahan-bahan berbahaya lainnya untuk
kepentingan militer di dalam wilayah Jerman berdasarkan Art.
2.2. UUD Jerman. Konsisten dengan kasus pertama, dalam
kasus ini Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa UUD
Jerman memberikan kekuasaan diskresi kepada pemerintah
untuk mengadakan perjanjian dalam rangka penyimpanan gas
saraf dan bahan berbahaya lainnya tersebut. Oleh karena itu,
yang dipermasalahkan kemudian adalah: whether its political
judgment had been exercised without mendacious arbitrariness
or willful disregard of the facts. Jika yang terjadi adalah
sebaliknya, maka tindakan diskresi tersebut akan
dipersalahkan dengan basis ‘bad faith’ atau ‘arbitrariness’.66
Franck menyimpulkan prinsip umum berkenaan dengan
kasus-kasus pengujian tindakan diskresi pemerintah oleh
pengadilan di Jerman, berdasarkan analisis kasus yang
dilakukannya sebagai berikut:
The judges will reverse the political decision only where the petitioner can demonstrate that the government was acting in bad faith: if, for example, it can be shown that an action purportedly taken to pursue a lawful objective (to strength NATO defenses) was actually motivated by an unlawful one (to enrich the minister of defense or one of his constituents).67
65 Thomas M. Franck, Political Questions/Judicial Answers: Does the Rule of Law Apply to Foreign Affairs, New Jersey: Princeton University Press, 1992, h. 117. 66 Ibid., h. 119. 67 Ibid., h. 118.
122
Metode pengujian demikian, mengacu pada prinsip
umum/doktrin yang dikemukakan Franck, sangat mungkin
diterapkan di Indonesia.
Berkenaan dengan isu HAM, pengadilan nampak lebih
sensitif berkenaan dengan pengujian tindakan diskresi
pemerintah.68 Misalnya di AS, contoh mutakhir adalah kasus
Hamdi v. Rumsfeld 542 U.S. 507 (2004). Dalam kasus ini,
Supreme Court of the U.S. tidak memasalahkan kebijakan
perang melawan teror yang dijalankan oleh pemerintahan
Bush karena kebijakan tersebut secara teknis sangat sulit
dinilai oleh pengadilan (dan para sarjana sepakat dengan isu
ini 69 ). Berkenaan dengan isu kapasitas pengadilan untuk
menangani isu ini, Supreme Court of the U.S. mengatakan: “it
does not infringe on the core role of the military for the courts to
exercise their own time-honored and constitutionally mandated
roles of reviewing and resolving claims like those presented
here.” (535) 70 Selanjutnya Supreme Court of the U.S.
mengatakan:
we necessarily reject the Government’s assertion . . . that the courts must forego any examination of the individual case. . . . [Such an assertion] cannot be mandated by any reasonable view of separation of powers, as this approach serves only to condense power into a single branch of government. We have long since made clear that a state of war is not a blank check for the President
68 Ibid., h. 63-90. 69 Eric A. Posner & Adrian Vermeule, Terror in Balance: Security, Liberty and the Courts, Oxford: Oxford University Press, 2007, h. 273-275. 70 Jordan J. Paust, Beyond the Law: The Bush Administration’s Unlawful Responses in the ‘War’ on Terror, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, h. 81.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
123
when it comes to the rights of the Nation’s citizens. (535-536)71
Argumen tersebut diperkuat oleh Justice Souter dalam posisi
concurring: “In a government of separated powers, deciding
finally on what is a reasonable degree of guaranteed liberty
whether in peace or war (or some condition in between) is
notwell entrusted to the Executive.” (545)72 Bahkan juga Justice
Scalia dalam posisi dissenting: “Absent suspension [of
habeas], . . . the Executive’s assertion of military exigency has
not been thought sufficient to permit detention without charge”
and “[t]he very core of liberty secured by our Anglo-Saxon
system of separated powers has been freedom from indefinite
imprisonment at the will of the Executive.” (554–55)73
Prinsip penting berkenaan dengan paparan di atas
adalah bahwa kontrol yudisial tidak terelakkan dalam rangka
menanggulangi penyalahgunaan kekuasaan diskresi
pemerintah. Meskipun tindakan diskresi dapat dirasionalisasi
oleh tujuan yang tepat namun tidak berarti bahwa pemerintah
boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang
dicanangkannya. Pemerintah (pejabat pemerintah) terikat oleh
asas good faith dalam melakukan tindakan diskresi (yaitu
untuk tidak melakukan tindakan menyalahgunakan
wewenang atau tidak bertindak sewenang-wenang).
Pengadilan juga memiliki kapasitas yang memadai
untuk menangani perkara demikian (tindakan diskresi
71 Ibid. 72 Ibid., h. 230. 73 Ibid.
124
pemerintah dalam situasi sulit seperti apapun). Henkin et.al.,
memberikan argumen yang elokuen atas kapasitas pengadilan
dalam rangka ‘to say what the law is’ meskipun dalam kasus-
kasus sulit seperti peristiwa 9/11:
Throughout the history of this Republic, the Judiciary has adjudicated cases under the law, and in doing so has ensured the Executive’s compliance with constitutional and statutory protections. However untrained the federal judiciary may be ‘in executing war plans’, it is fully capable of interpreting the Constitution, domestic and international law, and articulating the legal principles that restrain executive overreaching in times of security threat.74
Belajar dari pengalaman beberapa kasus penting di
Indonesia seperti: kasus release and discharge BLBI,
Bulog/Akbar Tandjung, maupun bail out Bank Century, di
mana kasus-kasus ini sarat muatan politik dan menimbulkan
opini publik yang kuat, maka yang dapat direkomendasikan
oleh studi ini ialah keadekuatan aplikabilitas dari dasar-dasar
pengujian yang ada terhadap kasus-kasus tersebut,
khususnya untuk menjawab apakah tindakan diskresi yang
dilakukan pemerintah justifiabel atau tidak (ada/tidak
tindakan penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-
wenang). Apabila terbukti ex nunc terdapat ketidaksesuaian
antara outcome tindakan dengan tujuan dan kemudian terjadi
debat publik yang mengarah pada tuntutan
pertanggungjawaban individual maka dalam kasus ini hukum
memberikan jalan keluar kepada hakim untuk berani
menerapkan asas in dubio pro reo dan menerapkan apa yang 74 Louis Henkin et.al., Brief of Louis Henkin, Harold Hongju Koh, and Michael H. Posner as Amici Curiae in Support of Respondents in Donald Rumsfeld v. Jose Padilla & Donna R. Newman, the Supreme Court of the United States No. 03-1027, h. 4.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
125
selama ini sudah berjalan dalam yurisprudensi Indonesia
yaitu sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
negatif.
Menutup pembahasan di sini penulis akan mengutip
sebuah yurisprudensi kasus penyalahgunaan DO Gula,
Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1966, No.
42K/Kr/1965 atas diri Machroes Effendi yang dituntut sebagai
pegawai negeri memakai kekuasaan yang diperoleh dari
jabatannya melakukan penggelapan berkali-kali (vide Pasal
372 jo. 64(1) KUHP). 75 Duduk perkara kasus ini sebagai
berikut:
Terdakwa sebagai Patih pada Kantor Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Sambas, pada kira-kira bulan Juni 1962, telah mengeluarkan D.O. gula insentif padi yang menyimpang dari tujuannya. Sesungguhnya gula insentif tadi hanya boleh dikeluarkan dalam rangka pembelian pada untuk Pemerintah dari para petani dan menjual gula kepada mereka yang menjual padi kepada Pemerintah. Ternyata terdakwa telah mengeluarkan D.O. gula insentif padi tersebut kepada seorang pemborong, PKPN Singkawang, keperluan Hari Natal, para pegawai Kabupaten, untuk Front Nasional, Kodim, dan untuk keperluan-keperluan lain, seperti untuk ongkos pengangkutan, giling, buruh, dan jasa-jasa lain. Kelebihan harga penjualannya oleh terdakwa digunakan untuk pembangunan-pembangunan daerah, diantaranya untuk menyelesaikan rumah milik Pemerintah Daerah.
Pengadilan Negeri Singkawang dalam putusannya tanggal 24
September 1964 No. 6/1964/Tolakan menghukum terdakwa
dengan hukuman 1 tahun 6 bulan. Pengadilan Tinggi Jakarta
dalam putusannya tanggal 27 Januari 1965 No. 146/1964 75 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002, h. 137-139.
126
PT.Pidana melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum,
dan Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan
Tinggi.
Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi:
Pengeluaran-pengeluaran D.O. di atas sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan terdakwa yang menyimpang dari tujuan yang ditentukan yang berwajib. Akan tetapi perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut, jika ditinjau dari sudut kemasyarakatan, yang dengan perbuatan terdakwa tersebut mendapat pelayanan, menurut Pengadilan Tinggi merupakan perbuatan yang menguntungkan masyarakat daerah itu dan karenanya melayani kepentingan umum, meskipun yang mendapat pelayanan bukan kepentingan ang dimaksud. Kebijaksanaan semacam itu, mengingat akan keadaan di sementara daerah, yang dihadapi oleh aparatur pemerintah daerah, kadang-kadang terpaksa ditempuh demi kelancaran pembangunan daerah atau demi kepentingan masyarakat daerah, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan tersebut tidak menguntungkan Pemerintah Daerah. Tidak terbukti bahwa terdakwa mengambil atau mendapatkan keuntungan dari perbuatannya itu. Tidak pula terbukti bahwa negara mendapat kerugian dari perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut, yang dapat dibuktikan dari fakta:
1. Pembelian padi untuk pemerintah tidak menjadi kurang oleh tindakan terdakwa tersebut; 2. Gula yang oleh terdakwa diberikan kepada orang-orang yang tidak haknya, tidak dijual dengan melanggar harga resmi.
Faktor-faktor kepentingan umum yang terlayani serta faktor-faktor tidak adanya keuntungan yang masuk ke dalam saku terdakwa dan akhirnya faktor tidak dideritanya kerugian oleh Negara, merupakan faktor-faktor yang mempunyai nilai lebih dari cukup guna menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada perbuatan-perbuatan terdakwa, yang terbukti formil masuk dalam rumusan tindak pidana.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung:
Bukanlah Pengadilan Tinggi dalam putusannya menganggap 3 faktor tersebut sebagai unsur-unsur, melainkan adanya 3
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
127
faktor tadi dianggap menghapuskan sifat melawan hukum dari tindakan terdakwa. Mahkamah Agung pada asasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor tersebut di atas yang oleh Pengadilan Tinggi76 dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa itu. Berhubung dengan itu dengan tepat Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya menyatakan perbuatan-perbuatan yang terbukti dilakukan oleh terdakwa bukanlah merupakan suatu tindak pidana.
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis akan melakukan
restatement atas beberapa poin yang prinsip berkenaan
dengan isu kontrol yudisial terhadap tindakan diskresi
pemerintah. Pertama, prinsip umum yang berlaku adalah
kebijakan (tindakan diskresi) tidak dapat digugat. 77 Kedua,
prinsip umum ini direlativisir dengan prinsip khusus yaitu
sepanjang terjadi tindakan penyalahgunaan wewenang atau
tindakan sewenang-wenang maka imunitas tersebut luruh.
Ketiga, manakala tindakan penyalahgunaan wewenang
dan/atau tindakan sewenang-wenang tidak terbukti dan ex
nunc dipermasalahkan segi efisiensi-efektivitas, maka
pengadilan dapat memilih mengikuti pendekatan political
questions untuk menolak mengadili kasus tersebut. Keempat,
marginal toetsings tentang tujuan sebagai dasar tindakan 76 Maksudnya: faktor-faktor: negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. 77 Putusan-putusan Mahkamah Agung RI yang mengukuhkan isu ini: Putusan No. 157/Sip/1960 (perkara Lebanus Tambunan); Putusan No. 319K/Sip/1968 (perkara mbok Kromoredjo).
128
diskresi sangat dimungkinkan berdasarkan kriteria
penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang
dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Kelima,
sanksi pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban individual
pejabat yang melakukan tindakan diskresi sangat
dimungkinkan sepanjang terbukti unsur tindakan
penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang
(i.c. tidak mungkin lagi diterapkan ajaran sifat melawan
hukum materiel dalam fungsinya yang negatif untuk kasus
tersebut). Jika terbukti sebaliknya, maka ranah
pertanggungjawabannya jatuh pada pemerintah/negara.
Prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas sekaligus juga
dimaksudkan untuk memberikan tempat yang layak bagi
tindakan diskresi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan yang dikaidahi oleh asas the Rule of Law.
Tindakan diskresi dibutuhkan karena semakin kompleksnya
tuntutan kepada pemerintah dalam rangka salus populi. Oleh
karena itu itikad baik pada pejabat pemerintah yang
melakukan tindakan diskresi harus diberikan encouragement,
bukan sebaliknya.
2. Kontrol Politik
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, lembaga yang
memiliki kekuasaan secara spesifik untuk melakukan
pengawasan terhadap pemerintah adalah DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat). Berdasarkan Pasal 20A Ayat (1) UUD
1945: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.” Kemudian Pasal
20A Ayat (2) UUD 1945: “Dalam melaksanakan fungsinya,
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
129
selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang
Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.” Hak-
hak DPR yang disebutkan di dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD
1945 adalah hak-hak yang sangat fundamental fungsinya
dalam rangka pelaksanaan pengawasan DPR terhadap
pemerintah.
Secara teori, ada enam bidang pengawasan yang dapat
dijalankan oleh DPR terhadap. Pertama, pengawasan terhadap
penentuan kebijakan (control of policy making). Kedua,
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy
executing). Ketiga, pengawasan terhadap penganggaran dan
belanja negara (control of budgeting). Keempat, pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of
budget implementation). Kelima, pengawasan terhadap kinerja
pemerintahan (control of government performances). Keenam,
pengawasan terhadap pengangkatan pejabat public (control of
political appointment of public officials) dalam bentuk
persetujuan atau penolakan, ataupun dalam bentuk
pemberian pertimbangan oleh DPR.78
Pengawasan yang dijalankan oleh DPR kepada
pemerintah adalah pengawasan politik. Dalam pengertian
bahwa pengawasan oleh DPR adalah terkait fungsinya sebagai
representasi aspirasi rakyat. Pertanggungjawaban pemerintah
melalui proses pengawasan politik ini adalah juga
pertanggungjawaban politik. Sehingga adalah lazim jika dasar 78 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 36.
130
pengujian dalam pengawasan politik ini adalah pertimbangan
politik (political considerations).
Problematik dari pengawasan demikian adalah
objektivitas, walaupun starting point DPR dalam melakukan
pengawasan selalu berkedok hukum (peraturan perundang-
undangan, asas-asas hukum, asas efisiensi dan efektivitas).
Tetapi karena proses dalam pengawasan adalah proses politik,
maka pertimbangan-pertimbangan hukum sering menjadi
kabur. Misalnya, pengawasan tersebut kemudian menjadi alat
untuk menaikkan bargaining position.
Dalam bentuknya yang paling kuat, mekanisme
pengawasan yang dilakukan oleh DPR kepada pemerintah
dapat berujung pada langkah pemakzulan Presiden sebagai
Chief of Executive melalui Mahkamah Konstitusi. Proses
demikian sangat panjang dan rumit, serta dengan batasan-
batasan yuridis-konstitusional yang ketat (vide Pasal 7A, 7B,
Pasal 24C UUD 1945). Peranan Mahkamah Konstitusi dalam
kasus ini dapat menjadi puncak dari seluruh mekanisme
kontrol yang dijalankan oleh DPR kepada pemerintah guna
mengakhiri seluruh kontroversi politik yang terjadi dan untuk
menciptakan situasi kepastian hukum kembali.
3. Kontrol Administratif
Kontrol administratif atas tindakan diskresi pemerintah
dapat dilakukan baik secara internal maupun eksternal. 79
Basis rasionalisasinya ialah tindakan pemerintah, termasuk di 79 Dasar pembedaan internal dan eksternal ini adalah: “review is internal if it takes place within the institution in which the original decision-maker was located at the time the decision was made, but external if it takes place within a different institution.” Peter Cane, Administrative Tribunals and Adjudication, Oxford-Portland: Hart Publishing, 1999, h. 7.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
131
dalamnya tindakan diskresi, sangat teknis, sehingga
memerlukan keahlian teknis pemerintahan untuk melakukan
pengujian tindakan diskresi pemerintah tersebut. Sehingga
pemerintah sendiri yang paling kompeten dan paling
berpengalaman untuk melakukan pengujian. Misalnya
berkenaan dengan pengujian atas dasar asas-asas efisiensi
dan efektivitas.
Dalam unit-unit pemerintahan, model kontrol demikian
sifatnya adalah inheren dalam pola hubungan hirarkis atasan-
bawahan. Dengan atau tanpa kewenangan atributif,
kewenangan kontrol dari atasan kepada bawahan senantiasa
merupakan keniscayaan dengan berdasarkan kaidah
hubungan kerja. Kontrol demikian memiliki satu keunggulan
yaitu untuk menghindari ketegangan dengan badan
pemerintahan yang lain. Sementara kelemahannya ialah soal
objektivitas. Karena berada dalam satu korps maka yang
menjadi isu ialah inkompatibilitas dengan asas nemo iudex in
causa sua.
Satu hal yang prinsip untuk ditegaskan di sini ialah
selemah apapun sarana kontrol tersebut namun dia tetap
adalah sarana kontrol. Setidaknya ada hal-hal tertentu yang
dapat dilakukan dengan itu, misalnya mengurangi potensi
penyalahgunaan kekuasaan, tindakan sewenang-wenang, atau
setidak-tidaknya meminimalisir inefisiensi dan inefektivitas
dalam tindakan-tindakan pemerintah (khususnya tindakan
diskresi). Kalau terdapat kekurangan-kekurangan, maka yang
seharusnya dilakukan adalah bagaimana supaya dapat
dilakukan penguatan fungsi.
132
Di Indonesia, keberadaan sarana kontrol administratif
ini secara umum dikenal dengan istilah upaya administratif
(Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986). Upaya administratif ini
memiliki dua jenis, yaitu keberatan (ditujukan kepada instansi
yang sama) dan banding administratif (ditujukan kepada
instansi atasan atau instansi lain). Lembaga ini memiliki
hubungan yang erat dengan Peradilan Tata Usaha Negara.
Manakala suatu kasus diperiksa terlebih dahulu melalui
upaya administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pasal 51 Ayat (3) UU No.
5 Tahun 1986). Namun karena yurisdiksi ratione materiae
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia terbatas hanya
untuk tindakan pemerintah dalam bentuk Keputusan TUN,
maka lembaga ini tidak dapat menjangkau bentuk
perlindungan hukum selain atas tindakan pemerintah dalam
wujud Keputusan TUN.
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
133
BAB IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kekuasaan diskresi adalah jenis kekuasaan pemerintah
yang spesifik dan make sense tidak hanya secara kekuasaan,
tetapi juga secara yuridis dan filosofis.
Dari perspektif analitik, perluasan fungsi pemerintahan
dalam menjawab makin meluasnya tuntutan kemasyarakatan
terhadap pemerintah merupakan dasar lahirnya konsep
kekuasaan diskresi sebagai kebebasan pemerintah.
Dari perspektif yuridis, kekuasaan diskresi adalah
sebuah keharusan karena kurang memadainya skema legislasi
dari legislator untuk diimplementasikan oleh pemerintah (a.l.
adanya kaidah kabur dan gap atau lacunae dalam legislasi).
Dalam pengertian ini kekuasaan diskresi pada pemerintah
adalah bentuk delegasi dari legislator kepada pemerintah di
mana pemerintah dapat bertindak secara mandiri dan
sekaligus bertanggung jawab secara mandiri atas tindakannya
dalam skema kekuasaan diskresi. Sebagai bentuk kekuasaan
yuridis, pemerintah selaku pembuat tindakan diskresi
memiliki imunitas atas tindakannya tersebut.
Dari perspektif filosofis, kekuasaan diskresi adalah
kekuasaan yang bertujuan, bukan kekuasaan buta. Aspek
aksiologis dari kekuasaan diskresi adalah pengupayaan
ketercapaian tujuan hidup paling fundamental dari negara
yaitu salus populi atau public good. Pengertian yang
134
fundamental di sini adalah asas legalitas merupakan sarana
dalam rangka salus populi/public good. Oleh karena itu,
kedudukan salus populi/public good tidak dapat
dikesampingkan oleh asas legalitas (tujuan tidak boleh
dikesampingkan oleh sarana).
2. Kekuasaan diskresi pemerintah beroperasi di bawah
suatu sistem hukum yaitu the Rule of Law. Di bawah
preskripsi asas the Rule of Law, kekuasaan diskresi
pemerintah hidup berdampingan dengan asas responsible
government. Sehingga oleh karena itu terdapat dasar-dasar
pengujian HUKUM terhadap tindakan diskresi pemerintah,
dalam hal ini adalah Principles of Good Governance dan Asas-
asas Efisiensi dan Efektivitas.
Dasar-dasar pengujian yang dikemukakan di atas
memiliki tiga fungsi dalam hubungan dengan kekuasaan
diskresi pemerintah.
Pertama, kompensasi atas hilangnya jaminan dari asas
legalitas.
Kedua, sebagai dasar argumen bagi tindakan.
Ketiga, sebagai dasar legitimasi kemasyarakatan yang
menuntut adanya fairness dan justice bagi tindakan diskresi
pemerintah.
Dalam pengertian demikian maka tindakan diskresi
pemerintah tidak boleh menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan yang dicanangkannya meskipun tujuan
tersebut legitimate. Dasar-dasar pengujian HUKUM terhadap
Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
135
tindakan diskresi pemerintah ini aplikabel baik dalam rangka
kontrol yudisial, politik maupun administratif.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas penulis menyarankan
dua hal berkenaan dengan pendayagunaan kekuasaan
diskresi oleh pemerintah.
1. Kekuasaan diskresi adalah kekuasaan yang bertujuan
legitimate. Sedasar dengan itu maka penetapan tujuan
berkenaan dengan tindakan diskresi haruslah tujuan yang
benar (supaya tidak terjadi tindakan penyalahgunaan
wewenang). Selain itu, pejabat pemerintah harus memiliki
sikap batin good faith dalam melakukan tindakan diskresi
(supaya tidak terjadi tindakan sewenang-wenang).
2. Berdasarkan asas responsible government, kekuasaan
diskresi pemerintah bukan kekuasaan absolut. Oleh karena
itu tindakan diskresi pemerintah dapat diuji keabsahannya
secara HUKUM. Terkait dengan hal itu maka penulis
menyarankan supaya pengujian tindakan diskresi pemerintah
atas keabsahannya secara HUKUM harus dilakukan:
a. Secara cermat dan berhati-hati,
b. Selalu mempertimbangkan persoalan teknis
pemerintahan yang sangat kompleks serta sikon sangat sulit
yang menjadi latar belakang dari tindakan diskresi pemerintah,
c. Kasus per kasus (case by case) dengan tidak
melakukan generalisasi atas suatu tindakan diskresi
pemerintah dan dasar-dasar pengujiannya.
136
137
DAFTAR BACAAN Buku Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
_____, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Rajawali Press, 2007. Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986. Bailey, Jeremy D., Thomas Jefferson and the Executive Power, Cambridge:
Cambridge University Press, 2007. Ball, Terence, ed., Hamilton, Madison and Jay: The Federalist with Letters
of Brutus, Cambridge: Cambridge University Press, 2003 Barak, Aharon, Purposive Interpretation in Law, New Jersey: Princeton
University Press, 2005. Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi
di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985. _____, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara,
Bandung: Alumni.1986. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1981. _____, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar
Harapan, 1984. Cane, Peter, Administrative Tribunals and Adjudication, Oxford-Portland:
Hart Publishing, 2009. Corwin, Edward S., The Constitution and What It Means Today, New Jersey-
Princeton: Princeton University Press, 1978. Crabbe, V.C.R.A.C., Legislative Drafting, London: Cavendish Publishing
Ltd., 1994.
138
Craig, P.P., Administrative Law, London: Sweet & Maxwell, 1983. Fatovic, Clement, Outside the Law: Executive and Emergency Power,
Baltimore: The John Hopkins University Press, 2009. Fletcher, George P., Basic Concepts of Legal Thought, New York-Oxford:
Oxford University Press, 1996. Franck, Thomas M., Political Questions/Judicial Answers: Does the Rule of
Law Apply to Foreign Affairs, New Jersey: Princeton University Press, 1992.
Hadjon, Philipus M., Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak
Pemerintahan (Bestuurshandeling), Surabaya: Djumali, 1985. _____, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,
1987. _____, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet – En Rechtmatig Bestuur),
Surabaya: Yuridika, 1992. _____, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002. Henkin, Louis, The Rights of Man Today, New York: Columbia University
Press, 1988. Jayawickrama, Nihal, The Judicial Application of Human Rights Law:
National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge: Cambridge Univerity Press, 2002
Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha
Negara, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Kurnia, Titon Slamet, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di
Indonesia, Bandung: Alumni, 2007. Lazar, Nomi Claire, States of Emergency in Liberal Democracies,
Cambridge: Cambridge University Press, 2009. MacCormick, Neil, Legal Reasoning and Legal Theory, Oxford: Oxford
University Press, 1978.
139
Mathis, Klaus, Efficiency Instead of Justice? Searching for the Philosophical
Foundations of the Economic Analysis of Law, Dordrecht: Springer, 2009.
McCoubrey, Hilaire & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London:
Blackstone Press Limited, 1996. Mulyosudarmo, Suwoto, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoretis dan Yuridis
terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Muslimin, Amrah, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung: Alumni, 1985. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2009. Nickel, James W., Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Panizzon, Marion, Good Faith in the Jurisprudence of the WTO: The
Protection of Legitimate Expectations, Good Faith Interpretation and Fair Dispute Settlement, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2006.
Paust, Jordan J., Beyond the Law: The Bush Administration’s Unlawful
Responses in the ‘War’ on Terror, Cambridge: Cambridge University Press, 2007.
Posner, Eric A. & Adrian Vermeule, Terror in Balance: Security, Liberty
and the Courts, Oxford: Oxford University Press, 2007. Pound, Roscoe, Law Finding Through Experience and Reason, Athens:
University of Georgia Press, 1960. Purbopranoto, Koentjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1978. Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, Surabaya: Airlangga University Press, 2000. Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
140
Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002.
Sieghart, Paul, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon
Press, 1983. Spelt, N.M. Spelt, & J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan,
Surabaya: Yuridika, 1993. Sueur, Andrew Le, Javan Herberg & Rosalind English, Principles of Public
Law, London: Cavendish Publishing Company, 1999. Tamanaha, Brian Z., On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University
Press, 2004. _____, Law as a Means to an End: Threat to the Rule of Law, Cambridge:
Cambridge University Press, 2006. Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta:
Ichtiar, 1962. Wijoyo, Suparto, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan
Lingkungan secara Terpadu: Studi Kasus Pencemaran Udara, Surabaya: Airlangga University Press, 2005
Jurnal Barnett, Randy E., Who’s Afraid of Unenumerated Rights?, University of
Pennsylvania Journal of Constitutional Law, Vol. 9, No. 1, 2006. Indriyanto Seno Adji, Perspektif Ajaran Perbuatan Melawan Hukum
terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25, No. 4, Oktober 2007.
Goldsmith, Jack, & John F. Manning, The President’s Completion Power,
Yale Law Journal, Vol. 115, No. 9, 2006. Koh, Harold Hongju, Setting the World Right, Yale Law Journal, Vol. 115,
No. 9, 2006.
141
Scalia, Antonin, The Rule of Law as a Law of Rules, The University of Chicago Law Review, Vol. 56, No. 4, 1989.
Sunstein, Cass R., Problems with Rules, California Law Review, Vol. 83, No.
4, 1995. _____, Beyond Marbury: The Executive’s Power To Say What the Law Is,
Yale Law Journal Vol. 115, No. 9, 2006. Kontribusi Hadjon, Philipus M., Analisis atas Putusan Perkara Ir. Akbar Tandjung
Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Administrasi Negara, dalam Amir Syamsuddin, et.al., Putusan Perkara Akbar Tandjung (Analisis Yuridis Para Ahli Hukum), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Indriyanto Seno Adji, Catatan Terhadap Perkara Ir. Akbar Tandjung, dalam
Amir Syamsuddin, et.al., Putusan Perkara Akbar Tandjung (Analisis Yuridis Para Ahli Hukum), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Mangunsong, Parlin M., Pembatasan Kekuasaan Melalui Hukum
Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Marzuki, H.M. Laica, Sambutan, dalam Abdul Latief, Hukum dan Peraturan
Kebijaksanaan (Beleidsregel), Yogyakarta: UII Press, 2005. Panjaitan, Saut P., Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum
Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Sinaga, Patuan, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionaire
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Tamanaha, Brian Z., A Concise Guide to the Rule of Law, dalam Gianluigi
Palombella & Neil Walker, eds., Relocating the Rule of Law, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2009.
142
Kamus Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, St. Paul-Minn.: West
Publishing Co., 1983. Hornby, A.S., Oxford Advanced Dictionary, Oxford: Oxford University
Press, 1983. Makalah Seminar, Artikel Surat Kabar/Majalah, Lain-lain Addink, G.H., Principles of Good Governance Reader, Utrecht: Faculteit
Rechtsgeleerheid-Universiteit Utrecht, 2003 (Diktat). Cox III, Raymond W., Accountability and Responsibility in Organizations:
The Ethics of Discretion, Paper presented at the “Ethics and Integrity in Governance Conference Leuven, Belgium June 2-5, 2005.
Henkin, Louis, et.al., Brief of Louis Henkin, Harold Hongju Koh, and
Michael H. Posner as Amici Curiae in Support of Respondents in Donald Rumsfeld v. Jose Padilla & Donna R. Newman, the Supreme Court of the United States No. 03-1027.
Kameo, Jeferson, Dapatkah Presiden Abaikan UU?, Suara Merdeka, 11 Mei
2007. Scheppele, Kim Lane, Law in a Time of Emergency: States of Exception and
the Temptations of of 9/11, Public Law and Legal Theory Research Papers Series, University of Pennsylvania Law School, Research Paper No. 60, 2004.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. : M.A./Pemb./0159/77 (25 Februari
1977); Rumusan Kesimpulan-Kesimpulan Lokakarya, Pembangunan Hukum Melalui Peradilan, Lembang 31 Mei 1977.