KAJIAN PENGARUH SUHU, pH, WAKTU DAN
KONSENTRASI INHIBITOR AKAR KAWAO (Milletia sericea)
PADA DEGRADASI SUKROSA OLEH INVERTASE
Oleh
ANNISA RACHMA
F34102041
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
KAJIAN PENGARUH SUHU, pH, WAKTU DAN KONSENTRASI
INHIBITOR AKAR KAWAO (Milletia sericea) PADA DEGRADASI
SUKROSA OLEH INVERTASE
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ANNISA RACHMA
F34102041
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN PENGARUH SUHU, pH, WAKTU DAN KONSENTRASI
INHIBITOR AKAR KAWAO (Milletia sericea) PADA DEGRADASI
SUKROSA OLEH INVERTASE
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ANNISA RACHMA
F34102041
Dilahirkan pada tanggal 4 Februari 1984
Di Karanganyar
Tanggal lulus : 25 Agustus 2006
Menyetujui,
Bogor, September 2006
Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Prayoga Suryadarma, S.TP, MT Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Annisa Rachma. F34102041. Kajian Pengaruh Suhu, pH, Waktu dan Konsentrasi Inhibitor Akar Kawao (Milletia sericea) Pada Degradasi Sukrosa Oleh Invertase. Di bawah bimbingan Sapta Raharja dan Prayoga Suryadarma. 2006.
RINGKASAN
Kondisi industri gula di Indonesia dewasa ini semakin memprihatikankan. Hal tersebut dapat terlihat dari produksi gula nasional yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Sementara kebutuhan konsumsi gula dalam negeri semakin meningkat. Untuk itu impor merupakan jalan keluar yang paling mudah untuk dilakukan.
Rendahnya produksi gula nasional disebabkan oleh produktivitas dan efisiensi industri gula rendah. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas dan efisiensi industri gula adalah terjadinya kerusakan gula pada saat alat-alat pengolahan gula mengalami kerusakan (down time). Pada saat tersebut, nira gula menunggu untuk dilakukan pengolahan selanjutnya. Lamanya waktu menunggu tersebut menyebabkan degradasi gula (sukrosa) menjadi gula-gula sederhana (invert), seperti glukosa dan fruktosa atau senyawa turunan lainnya. Selain degradasi sukrosa, senyawa-senyawa hasil degradasi sukrosa tersebut dapat mengganggu proses kristalisasi, sehingga dapat menurunkan rendemen gula sukrosa. Kerusakan sukrosa dalam nira diantaranya disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang mengeluarkan enzim dan enzim yang telah ada dalam nira, salah satunya yaitu invertase yang menghidrolisis sukrosa menjadi gula invert. Untuk itu perlu adanya proses penghambatan terhadap aktivitas invertase, sehingga diharapkan rendemen gula sukrosa dapat ditingkatkan.
Pada penelitian ini dilakukan penghambatan aktivitas invertase supaya laju degradasi sukrosa oleh enzim dapat diturunkan. Penghambatan aktivitas enzim dapat dilakukan dengan memberikan kondisi ekstrim bagi reaksi hidrolisis oleh invertase seperti suhu, pH maupun tekanan. Dengan memberikan kondisi ekstrim, diharapkan laju kerusakan sukrosa oleh invertase dapat dihambat. Selain pemberian kondisi ekstrim, penghambatan aktivitas enzim dapat dilakukan dengan penambahan inhibitor. Bahan inhibitor yang digunakan harus sesuai dengan bahan yang akan dihambat aktivitas invertasenya. Bahan inhibitor yang aman untuk pangan misalnya adalah akar kawao (Milletia sericea) yang biasa digunakan oleh petani gula sebagai pengawet nira.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor penghambat laju degradasi sukrosa oleh invertase yang meliputi suhu, pH, waktu dan inhibitor akar kawao (Milletia sericea) yang ditandai dengan penurunan jumlah gula pereduksi. Selanjutnya menentukan permukaan respon faktor yang berpengaruh pada penghambatan laju degradasi sukrosa.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial dua tingkat dengan empat faktor, sedangkan untuk mengetahui permukaan respon digunakan metode permukaan respon (Response Surface Methodology). Nilai rendah dan tinggi untuk suhu adalah 60 dan 80°C, nilai pH rendah 5 dan nilai pH tinggi 8, nilai inhibitor rendah 0,875 g dan nilai tingginya 3,5 g dan waktu reaksi rendah 40 menit dan waktu reaksi tinggi 100 menit.
Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa faktor pH paling berpengaruh diantara faktor yang lain seperti faktor suhu dan inhibitor dan memberikan respon positif terhadap penghambatan laju degradasi sukrosa, sedangkan waktu berpengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa. Naiknya nilai pH menyebabkan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan menurun pada tingkat signifikansi 99,69%. Dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor menyebabkan jumlah gula pereduksi menurun pada tingkat 98,35%. Suhu berpengaruh pada tingkat signifikansi 95,48%, dengan naiknya suhu mengakibatkan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan menurun. Dari hasil analisa metode permukaan respon diketahui kondisi terbaik untuk menghasilkan jumlah gula pereduksi terendah sebesar 155,1 µM dengan nilai faktor reaksi suhu 72,48°C, pH 6,19 dan konsentrasi akar kawao (Milletia sericea) sebesar 3,49 g.
Study on The Effect of Temperature, pH Value, Incubation Time, and Kawao (Milletia serecia) Root Concentration as Inhibitor on Sucrose
Degradation by Invertase.
Summary
The production level of national sugar industry in Indonesia is decreasing from time to time, while the needs of sugar consumption in Indonesia are increasing. The low production level of national sugar industry was caused by decreasing productivity and efficiency of sugar industry. One of the most common cause of bad productivity and efficiency is sugar degradation, where the sugar degradation could occurred when the sugar processing equipment was having a problem or broken (down time). The delaying time of processing the sugarcane juice could convert the form of sugar in the juice (sucrose) in to another form of simple sugar (invert), such as glucose, fructose, or other derivatives compound. Invert sugar forming as a result of sugar degradation will inhibit the sucrose crystallization process and decrease the sugar yield. The sucrose degradation in the sugarcane juice can cause by the existence enzyme on the sugarcane juice, or by the existence of microorganism, which released some enzyme to the juice. One of the most common enzymes is the invertase, which could hydrolyze the sucrose in to form of invert sugar. Due to the related state, an effort is needed to avoid or at least to obstruct the sucrose damage so the yield and the productivity of cane sugar industry can be improved.
On this research, an inhibition of invertase activity was conducted, so the rate of the sucrose degradation could be decreased. The inhibition of enzyme activity could conducted by giving an extreme condition to the hydrolyze reaction, such as temperature, pH, or pressure. By using the extreme condition, hopefully the rate of sucrose damaging by the invertase could be inhibited. Then also add some substance as an inhibitor of the process. One of the substance is the extract of Kawao root (Milletia serecia), which sugar farmers usually used as a sugarcane juice preservative.
The objective of this research was to determined the influence of sucrose degradation inhibitor factors, including temperature, pH value, incubation time, and the addition of Kawao root, which could determined by the decreasing of the reduction sugar. Besides that, it was to determine the factors response surface which correlated to the inhibition of sucrose degradation.
The design experiment which used in this research was two level factorial designs with four factors, while to knowing the response surface, a response surface methodology (RSM) was used. The low and the high point for the temperature were 60oC and 80oC. The low of pH value was 5 and the high one was 8. The low value for inhibitor was 0.875 g while the high one was 3.5 g. The time of low reaction was 40 minutes and the high one was 100 minutes.
Based on the statistic analysis, it was found that the pH factor was the most influencing factor among other factors, such as temperature and inhibitor, and also giving a negative response towards to the rate of sucrose degradation. On the other hand, the factor of time was giving a positive influence towards to the
rate of sucrose degradation. The increasing of pH value caused the decrease of reduction sugar in significant level of 99.69%. With the increasing of inhibitor concentration, caused the decrease of reduction sugar at the level of 98.35%. The temperature was influencing at the significant level of 95.48%. With the increasing of the temperature caused the decrease of the reduction sugar. From the response surface methods analysis, it was found that the best condition to produce the lowest reduction sugar was 155.1 µM with the value of temperature reaction factor of 72.48oC, pH 6.19 and the Kawao root concentration for 3.49 g.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kajian
Pengaruh Suhu, pH, Waktu Dan Konsentrasi Inhibitor Akar Kawao (Milletia
sericea) Pada Degradasi Sukrosa Oleh Invertase” adalah hasil karya saya sendiri
dengan arahan dosen Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas
ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Agustus 2006
Yang membuat pernyataan,
Annisa Rachma
F34102041
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 4 Februari 1984. Penulis
adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Tri Waspodo dan Sri
Rejeki. Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di
SDN 2 Karangmojo. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di
SLTP Negeri 1 Karanganyar pada tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan di SMUN 1 Karanganyar dan lulus pada tahun 2002.
Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut
Pertanian Bogor tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)
di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi pengurus FBI (Forum Bina Islami)
periode 2004/2005 dan pengurus FORCES (For Scientist) periode 2004/2005.
Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2005 dengan topik
“Mempelajari Aspek Pengendalian Mutu Produksi Monosodium Glutamat Di PT
Palur Raya Surakarta”. Untuk menyelesaikan tugas akhir ini, penulis melakukan
penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul ”Kajian Pengaruh Suhu, pH,
Waktu Dan Konsentrasi Inhibitor Akar Kawao (Milletia sericea) Pada Degradasi
Sukrosa Oleh Invertase”.
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
dan hidayah-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dengan judul “Kajian Pengaruh Suhu, pH, Waktu Dan Konsentrasi
Inhibitor Akar Kawao (Milletia sericea) Pada Degradasi Sukrosa Oleh Invertase”,
serta dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi. Karya ilmiah ini ditujukan
untuk mendapatkan gelar sarjana teknologi pertanian pada Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dan membimbing penulis baik selama penelitian dan
penulisan skripsi.
2. Prayoga Suryadarma, STP, MT selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan arahan dan membimbing penulis baik selama penelitian dan
penulisan skripsi.
3. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku dosen penguji yang telah bersedia
memberikan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.
4. Bapak, Ibu, dan adik-adikku tercinta atas pengertian, dukungan, semangat, dan
doa-doanya.
5. Reni, Rian, Mbak Fitri dan Pak Ikhsan rekan satu tim penelitian gula atas
bantuan dan kebersamaanya.
6. Laboran di Departemen Industri Pertanian atas segala bantuan selama penulis
melaksanakan penelitian.
7. Teman-teman di lab. Bioindustri, lab. Teknik Kimia, lab. Pengemasan, lab.
Wastu, lab. DIT dan teman-teman TIN 39 atas bantuan, persaudaraan dan
persahabatannya selama ini.
8. Teman-teman satu bimbingan Mansyur dan Kristin atas bantuan dan
kebersamaannya.
9. Teman-teman ”Andaleb Crew” (sahabatku Lia, M’Wulan, M’Saras, M’Tito,
M’Fatimah, M’Nita, Wacih, Cocom, Yanti, Widi, Firdaus, Lely, Azzi,
Maryam, Sifa dan adik-adik angkatan 42) atas cinta yang telah kalian berikan
dan dukungan selama ini.
10. Teman-teman dari SMU Karanganyar atas kebersamaannya selama ini.
11. Semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan yang tidak dapat
Penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis
berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN .................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
A. SUKROSA ......................................................................................... 5
B. INVERTASE ..................................................................................... 6
C. AKTIVITAS DAN STABILITAS ENZIM ....................................... 7
D. DEGRADASI SUKROSA ................................................................. 8
1. pH ................................................................................................. 9
2. SUHU ......................................................................................... 10
3. KONSENTRASI SUBSTRAT DAN ENZIM ........................... 12
4. INHIBITOR ............................................................................... 12
5. KONDISI LINGKUNGAN ....................................................... 14
E. KAWAO ( Milletia sericea)............................................................. 15
F. ZAT-ZAT BIOAKTIF ..................................................................... 15
III. METODOLOGI ..................................................................................... 17
A. ALAT DAN BAHAN ...................................................................... 17
B. METODE PENELITIAN ................................................................. 17
1. TAHAPAN PENELITIAN ........................................................ 17
2. PROSEDUR PENELITIAN....................................................... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 23
A. AKTIVITAS INVERTASE ............................................................. 23
B. KARAKTERISTIK KAWAO ( Milletia sericea)............................ 24
C. PENGARUH FAKTOR REAKSI.................................................... 26
D. PERMUKAAN RESPON ................................................................ 36
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 41
A. KESIMPULAN ................................................................................ 41
B. SARAN ............................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 43
LAMPIRAN ................................................................................................. 46
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Produksi, produktivitas dan rendemen gula nasional....................... 1
Tabel 2. Perbandingan rata-rata produktivitas tebu dan gula serta
rendemen antara negara produsen ................................................... 2
Tabel 3. Nilai rendah dan tinggi perlakuan ................................................ 19
Tabel 4. Rancangan faktorial dari masing-masing variabel reaksi yang
berpengaruh .................................................................................. 20
Tabel 5. Hasil uji fitokimia kawao ( Milletia sericea) ................................. 24
Tabel 6. Parameter koefisien dan nilai signifikansi ..................................... 27
Tabel 7. Parameter interaksi koefisien dan nilai signifikansi ...................... 31
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dengan
bantuan invertase .......................................................................... 5
Gambar 2. Model persamaan umum untuk pengaruh pH ............................ 10
Gambar 3. Pengaruh nilai pH terhadap aktivitas invertase dari gula tebu ... 10
Gambar 4. Pengaruh suhu terhadap aktivitas invertase dari gula tebu ........ 11
Gambar 5. Pengaruh inhibitor terhadap aktivitas enzim .............................. 13
Gambar 6. Tahapan penelitian ..................................................................... 18
Gambar 7. Kurva aktivitas invertase ............................................................ 24
Gambar 8. Interaksi antara suhu reaksi (X1) dan pH (X2) terhadap jumlah
gula pereduksi ............................................................................ 32
Gambar 9. Interaksi antara pH (X2) dan bahan inhibitor akar kawao (X3)
terhadap jumlah gula pereduksi ................................................. 32
Gambar 10. Interaksi antara pH (X2) dan waktu (X4) terhadap jumlah gula
pereduksi . ............................................................................... 34
Gambar 11. Interaksi antara suhu (X1) dan inhibitor akar kawao (X3)
terhadap jumlah gula pereduksi .............................................. 34
Gambar 12. Interaksi antara suhu (X1) dan waktu (X4) terhadap jumlah
gula pereduksi ......................................................................... 36
Gambar 13. Permukaan respon dari gula pereduksi sebagai fungsi dari
suhu, pH dan inhibitor akar kawao ......................................... 37
Gambar 14. Permukaan respon gula pereduksi pada konsentrasi akar
kawao tetap ............................................................................. 38
Gambar 15. Permukaan respon dari gula pereduksi pada suhu tetap ........... 39
Gambar 16. Permukaan respon dari gula pereduksi pada nilai pH tetap ..... 40
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data hasil analisis gula pereduksi .......................................... 46
Lampiran 2a. Hasil statistik pengaruh linier variabel terhadap jumlah gula
pereduksi menggunakan SAS .............................................. 47
Lampiran 2b. Hasil analisis ragam dari SAS pada hubungan regresi
terhadap respon .................................................................... 47
Lampiran 2c. Hasil analisis residual dari SAS, pengaruh perlakuan
terhadap gula pereduksi........................................................ 47
Lampiran 3a. Hasil anlisis ragam dari SAS, pengaruh perlakuan terhadap
gula pereduksi pada nilai T .................................................. 48
Lampiran 3b. Hasil analisis ragam dari SAS, pengaruh perlakuan terhadap
gula pereduksi pada nilai F .................................................. 48
Lampiran 4. Hasil analisis gula pereduksi pada optimasi ............................ 49
Lampiran 5a. Hasil statistik pengaruh optimasi variabel berpengaruh
terhadap gula pereduksi menggunakan SAS ........................ 50
Lampiran 5b. Hasil analisis ragam dari SAS pada data hubungan regresi
respon ................................................................................... 50
Lampiran 5c. Hasil analisis residual dari SAS, pengaruh perlakuan
terhadap gula pereduksi pada nilai F .................................... 50
Lampiran 5d. Hasil analisis ragam dari SAS, pengaruh perlakuan terhadap
gula pereduksi pada nilai T .................................................. 50
Lampiran 6. Hasil optimasi pengaruh faktor reaksi terhadap gula pereduksi
.............................................................................................. 51
Lampiran 7. Metode Uji Fitokimia (Harborne, 1996) .................................. 52
Lampiran 8. Metode pembuatan pereaksi uji fitokimia ............................... 54
Lampiran 9. Gambar pohon dan akar kawao ............................................... 55
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kondisi industri gula di Indonesia dewasa ini semakin
memprihatikankan. Hal tersebut dapat terlihat dari produksi gula nasional
yang semakin menurun dari tahun ke tahun seperti disajikan pada Tabel 1 dan
posisi indutri gula Indonesia diantara negara-negara produsen gula pada Tabel
2. Sementara kebutuhan konsumsi gula dalam negeri semakin meningkat.
Untuk itu impor merupakan jalan keluar yang paling mudah untuk dilakukan.
Tabel 1. Produksi, produktivitas dan rendemen gula nasional
Tahun Produksi gula (ton) Produktivitas Gula
(ton/ha)
Rendemen (%)
1993 2.482.724 5,90 6,60
1994 2.448.833 5,71 8,02
1995 2.096.471 4,98 6,97
1996 2.094.195 5,19 7,32
1997 2.189.974 5,68 7,83
1998 1.791.553 4,74 6,59
1999 1.488.599 4,37 6,96
2000 1.690.667 4,96 7,04
2001 1.725.467 5,01 6,85
2002 1.755.434 5,01 6,88
2003 1.631.919 4,86 7,21
2004 2.006.575 5,82 7,97
Sumber: Sekretariat Dewan Gula (1999)
Tabel 2. Perbandingan rata-rata*) produktivitas tebu dan gula, serta rendemen antara negara produsen
Negara Rata-rata produktivitas tebu
(ton/ha)
Rata-rata rendemen (%)
Rata-rata produktivitas gula
(ton/ha) Jepang 64,09 11,53 7,41
Thailand 56,76 10,97 6,24
Cina 59,16 11,84 7,00
India 69,33 10,90 7,56
Phillipina 60,70 8,26 5,00
Indonesia 70,13 7,05 4,95
USA 78,44 11,61 9,11
*) rata-rata dihitung dari Tahun 1996/97 sampai 2002/2003 Sumber: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2003)
Rendahnya produksi gula nasional disebabkan oleh produktivitas dan
efisiensi industri gula rendah. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas
dan efisiensi industri gula adalah terjadinya kerusakan gula pada saat alat-alat
pengolahan gula mengalami kerusakan (down time). Pada saat tersebut, nira
gula menunggu untuk dilakukan pengolahan selanjutnya. Lamanya waktu
menunggu tersebut menyebabkan degradasi gula (sukrosa) menjadi gula-gula
sederhana (invert), seperti glukosa dan fruktosa atau senyawa turunan lainnya.
Selain degradasi sukrosa, senyawa-senyawa hasil degradasi sukrosa tersebut
dapat mengganggu proses kristalisasi, sehingga dapat menurunkan rendemen
gula sukrosa.
Kerusakan sukrosa atau degradasi sukrosa karena proses inversi yang
terjadi saat pembuatan gula dapat diakibatkan oleh adanya mikroorganisme
dan enzim-enzim dalam nira. Selain adanya enzim karena dihasilkan oleh
mikroorganisme, dalam nira tebu telah terkandung beberapa jenis enzim.
Salah satu enzim yang ada pada nira dan dapat merusak sukrosa menjadi gula
invert adalah invertase.
Degradasi sukrosa akibat proses inversi oleh invertase perlu dihambat
pada proses produksi gula supaya rendemen gula yang dihasilkan semakin
meningkat. Penghambatan laju degradasi sukrosa dapat dilakukan dengan
menghambat aktivitas invertase untuk mengubah sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa. Penghambatan dapat dilakukan dengan menambahkan bahan
penghambat atau disebut inhibitor pada saat proses inversi yang disebut proses
inhibisi. Bahan inhibitor ini akan mengubah aktivitas dari suatu enzim dengan
menggabungkannya dalam suatu jalur yang mempengaruhi ikatan substrat dan
nilai “turn-over”nya. Bahan-bahan ini dapat berupa bahan alami maupun
kimia (logam). Beberapa peneliti telah melakukan usaha untuk menghambat
aktivitas invertase, seperti Mealor dan Townshend (1968) dalam Trojanowicz
et al (2004) menyatakan bahwa kation logam seperti Cu(II), Zn(II), Cd(II) dan
Pb(II) dapat menghambat aktivitas invertase.
Selain penambahan inhibitor, penghambatan aktivitas enzim dapat
dilakukan dengan memberikan kondisi ekstrim bagi reaksi inversi oleh
invertase seperti suhu, pH maupun tekanan. Seperti penghambatan aktivitas
invertase yang dilakukan oleh Cavaille dan Didier (1996) dengan
mengkombinasikan perlakuan tekanan tinggi dan suhu, sedangkan menurut
Causette et al (1998), perlakuan suhu dan tekanan yang tinggi akan
mempengaruhi kualitas produk (sukrosa) akibat terjadinya reaksi lain yang
tidak diinginkan (lateral reaction) sedangkan Causette et al (1998) melakukan
inaktivasi enzim dengan menggunakan gelembung gas inert.
Penambahan bahan inhibitor harus disesuaikan dengan bahan atau
produk yang akan dihambat aktivitas invertasenya hingga didapatkan hasil
yang optimal (kondisi optimum penghambatan aktifitas enzim) dan tidak
merugikan. Bahan inhibitor yang digunakan untuk produk makanan sebaiknya
dari bahan alami seperti menggunakan umbi kentang (Solanum tuberosum L.).
Ewing et al (1977) dan Pressey (1966) telah mengidentifikasi adanya inhibitor
invertase di dalam umbi kentang. Pressey (1994) dan Weil et al (1994) dalam
Greiner et al (1998) juga telah melakukan studi mengenai adanya inhibitor
invertase di dalam tembakau dan tomat.
Bahan lain yang diduga sebagai inhibitor adalah akar Kawao (Milletia
sericea ) yang biasa digunakan oleh para petani gula sebagai pengawet nira.
Dengan ditemukannya bahan inhibitor alami dan kondisi reaksi yang dapat
menghambat aktivitas invertase diharapkan laju degradasi sukrosa oleh
invertase pada proses produksi gula atau proses lain yang membutuhkan
kandungan sukrosa tinggi dapat dikurangi sehingga kualitas produk tetap baik
bahkan diharapkan semakin meningkat dan aman untuk produk pangan.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengetahui pengaruh faktor penghambat laju degradasi sukrosa oleh
invertase yang meliputi suhu, pH, waktu dan inhibitor akar kawao
(Milletia sericea)
2. Menentukan permukaan respon faktor yang berpengaruh pada
penghambatan laju degradasi sukrosa oleh invertase
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SUKROSA
Sukrosa, biasanya diketahui sebagai gula meja (table sugar), merupakan
disakarida yang dibentuk dari sebuah molekul α-D-glukosa dan molekul β-D-
fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1, β-2 glikosidik. Ketika ikatan α-1,
β-2 glikosidik terputus oleh reaksi hidrolisis, akan terbentuk campuran
glukosa dan fruktosa. Campuran monosakarida-monosakarida tersebut
disebut sebagai gula invert (invert sugar), yang merupakan turunan dari
sukrosa. Sukrosa dapat dihidrolisis dengan bantuan enzim yang disebut
sebagai invertase atau sukrase (Wang, 2004). Reaksi hidrolisis sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa dengan bantuan invertase dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dengan bantuan invertase
Menurut Pennington dan Charles (1990) sukrosa adalah gula
nonpereduksi dan stabil terhadap panas, larutan netral sampai suhu 100°C.
Fruktosa akan terurai pada suhu 60°C dan glukosa maupun fruktosa tidak
stabil pada larutan basa, pada kondisi seperti itu sukrosa umumnya paling
stabil. Sukrosa akan berubah atau pecah menjadi dua komponen
monosakarida, glukosa dan fruktosa dalam larutan asam. Reaksi ini akan
dipercepat dengan peningkatan keasaman dan peningkatan suhu. Kebanyakan
reaksi sukrosa dalam larutan termasuk metabolisme manusia, dimulai dengan
reaksi inversi.
Reaksi inversi adalah reaksi hidrolisis irreversible dimana satu molekul
sukrosa dan satu molekul air menghasilkan satu molekul glukosa dan satu
molekul fruktosa. Proses ini dipercepat dengan panas. Inversi larutan sukrosa
murni diproses paling cepat sampai mendekati 5000 kali pada 90°C dibanding
pada 20°C. Pada prakteknya reaksi ini terjadi pada pH dibawah 7 dan proses
dipercepat dengan penurunan pH. Reaksinya adalah indotermik dengan energi
aktivasi 25,9 kilokalori per mol pada 20°C. Reaksi ini dapat juga melalui
katalisis biokimia dengan beberapa enzim, khususnya invertase (Pennington
dan Charles, 1990).
B. INVERTASE
Secara molekuler enzim merupakan protein yang tersusun atas
serangkaian asam amino dalam komposisi dan sekuens yang teratur dan tetap.
Enzim merupakan biokatalisator yang diproduksi oleh sel hidup dan
diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu enzim intraseluler yang bekerja di
dalam sel dan enzim ekstraseluler yang bekerja di luar sel (Judoamidjojo et
al., 1989).
Menurut Foyer et al (1997), enzim yang biasanya menghidrolisis sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa adalah invertase. Glukosa dan fruktosa
dilibatkan dalam memberi sinyal jaringan dengan perubahan sukrosa sel
tanaman menjadi nutrisi yang dibutuhkan. Jadi aksi invertase memberikan
isyarat sukrosa dengan memproduksi dua molekul masenjer sebagai hal yang
penting pada proses ini. Sehingga invertase menjadi enzim dengan dua fungsi,
sebagai katalis pemecah sukrosa dan pemberi informasi keadaan karbon.
Asam invertase (β-fruktosidase; EC 3.2.1.26) adalah enzim pengkatalis
tidak balik yang memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa yang
merupakan kunci enzim dalam metabolisme sukrosa dalam buah apel (Beruter
1985, Beruter et al. 1997) sebagai pengikat jaringan dalam tanaman (Quick
and Schaffer 1996) (dalam PAN et al, 2005).
Invertase terdapat dalam jumlah yang beragam pada tanaman atau hewan
dengan varietas yang luas. Sumber utama diyakini berasal dari ragi (yeast) dan
fungi lainnya. Reed (1966) dalam Pancoast (1980) menyatakan bahwa ragi
Saccharomyces cerevisiae dan S. carlsbergensis merupakan sumber utama
penghasil invertase untuk aplikasi industri. Aspergillus orizae dan A. Niger
adalah fungi yang juga merupakan sumber invertase.
Invertase memecah ikatan antara dua gula dengan hidrolisis. Invertase
termasuk dalam kelas enzim yang diketahui sebagai hidrolase. Beberapa dari
enzim tersebut bekerja dengan memecah ikatan selain kerja yang lain dengan
membelokkan ikatan pada waktu yang bersamaan. Enzim yang membelokkan
ikatan pada waktu yang bersamaan dengan pemecahan mengakibatkan satu
dari gula yang dilepaskan mengalami perubahan konfigurasi dari bentuk awal
dirubah dari alpha menjadi beta (enzyme.co.uk).
Invertase tebu dimurnikan dari jaringan batang tebu dewasa menjadi
bagian elektroforetikal yang sama dengan penukaran ion kromatografi DEAE-
Cellulose dan CM-Cellulose pada kolom kromatografi. Berat molekul enzim
invertase murni adalah 218 kDa panda SDS-Polyacrylamid gel elektroforesis.
Bila enzim dikarakterisasi ditemukan invertase tebu adalah glikoprotein alami
dan mengandung 7,29 % gula. Aktivitas enzim tertinggi pada pH 7,2 dan suhu
60°C (Rahman et al., 2004).
C. AKTIVITAS DAN STABILITAS ENZIM
Aktivitas enzim didefinisikan sebagai kecepatan pengurangan substrat
atau kecepatan pembentukan produk pada kondisi optimum. Satu unit aktivitas
enzim selulase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menghasilkan satu
mikromol gula reduksi (glukosa) setiap menit (Lehninger, 1993).
Aktivitas enzim dapat dipengaruhi oleh konsentrasi substrat, pH, dan
suhu (Pelczar dan Chan, 1986). Setiap enzim berfungsi optimal pada suhu, pH
dan konsentrasi substrat tertentu. Konsentrasi substrat yang rendah
menyebabkan daerah aktif pada enzim tidak semuanya terikat pada substrat.
Terdapat suhu optimal dimana reaksi berlangsung sangat cepat. Di atas suhu
optimal, kecepatan reaksi menurun tajam karena enzim sebagai protein akan
terdenaturasi, sedangkan pada suhu terlalu rendah beberapa enzim tidak dapat
bekerja. Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh pH karena sifat ionik gugus
karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhi pH.
Stabilitas dan aktivitas enzim ditentukan oleh konformasi tiga
dimensinya. Aktivitas enzim pada suhu tinggi terjadi melalui dua mekanisme,
yaitu mekanisme intrinsik dan ekstrinsik. Mekanisme intrinsik yaitu struktur
enzim secara alamiah mendukung aktivitasnya yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor interaksi elektrostatik, interaksi hidrofobik, kandungan asam amino
alifatik, ikatan disulfida, dan kekompakan struktur. Ikatan hidrofobik akan
semakin kuat pada suhu tinggi untuk enzim termostabil, sebaliknya akan
semakin lemah untuk enzim termolabil karena terjadi denaturasi. Mekanisme
ekstrinsik yaitu terjadinya stabilitas panas akibat adanya interaksi multipoint
dengan komponen-komponen lain dan adanya faktor penstabil panas, yaitu
pengikatan substrat dengan komponen berberat molekul rendah, kontak antara
protein-protein, gugus prostetik, kation logam dan lain-lain (Nam-Soo dan
Kim, 1991).
Enzim merupakan salah satu jenis protein globular. Stabilitas dan
aktivitas enzim ditentukan oleh konformasi tiga dimensinya yang dipengaruhi
oleh struktur tertier protein. Terdapat empat jenis interaksi yang menstabilkan
struktur tersebut pada suhu, pH dan konsentrasi ion normal, antara lain ikatan
hidrogen, gaya tarik ionik, interaksi hidrofobik dan jembatan kovalen.
(Lehninger, 1988).
D. DEGRADASI SUKROSA
Banyak faktor yang mempengaruhi laju reaksi suatu enzim. Diantaranya
yang paling penting adalah konsentrasi substrat dan enzim. Beberapa faktor
utama lainnya adalah suhu, pH, kekuatan ionik dan adanya inhibitor.
Sesungguhnya, segala sesuatu yang mempengaruhi struktur tersier protein
enzim akan mempengaruhi laju reaksi enzim (Page, 1989).
Degradasi sukrosa oleh enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain: pH, suhu, lama pemanasan, konsentrasi substrat dan konsentrasi enzim.
Laju degradasi sukrosa dapat diperlambat atau bahkan dihambat dengan
penambahan inhibitor.
1. pH
Konsentrasi nyata H+ dan juga OH- di dalam larutan dinyatakan oleh
nilai pH. Pengukuran pH adalah satu prosedur yang paling penting dan
sering dipergunakan dalam biokimia karena pH menentukan banyak
peranan penting dari struktur dan aktivitas makromolekul biologi, seperti
aktivitas katalitik enzim (Lehninger, 1995).
Menurut Chaplin dan Bucke (1990) enzim adalah molekul ampoter
yang mengandung sejumlah asam dan golongan dasar terutama pada sisi
permukaan. Kondisi golongan ini akan berubah-ubah tergantung pada
konstanta disosiasi asam dengan pH lingkungannya. Hal ini akan
mempengaruhi keadaan total enzim dan beban distribusi pada permukaan
luar dengan penambahan reaktif dari golongan aktif pengkatalis. Efek ini
sangat penting pada sisi aktifnya. Perubahan yang terjadi pada kondisi pH
mempengaruhi aktivitas, daya larut dan stabilitas enzim.
Perubahan laju enzim sebagai fungsi dari pH disebabkan oleh tiga
faktor.
1. Status protonasi dari sisi cabang asam amino pada bagian aktif
komplek enzim-substrat yang berubah, menghasilkan suatu perubahan
dalam kemampuaanya memecah ES menjadi P (misal, perubahan pada
Vmax).
2. Perubahan yang bersifat ion dari molekul substrat atau bagian yang
aktif mengubah kecenderungan dua molekul untuk berkombinasi
membentuk ES.
3. Pergeseran pH menjauhi netral dapat menurunkan kestabilan bentuk
protein, mengarah pada laju denaturasi enzim pada suhu pengujian.
Ke1 Ke2 EH2 H+ + EH- H+ + E= + + + S S S αKs Ks βKs EH2S H+ + EH-S H+ + E=S Kes1 Kes2
Gambar 2. Model persmaan umum untuk pengaruh pH (Stauffer, 1989).
Nilai pH merupakan faktor yang juga berpengaruh terhadap aktivitas
enzim. Kebanyakan dari enzim tidak aktif atau infaktif pada nilai pH yang
ekstrim. Hal tersebut dapat disebabkan oleh nilai pH yang ekstrim dapat
merusak protein yang merupakan komponen penyusun enzim. Pengaruh
faktor nilai pH terhadap aktivitas enzim dapat dilihat pada Gambar 3
(Rahman et al., 2004).
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Suhu (oC)
Akt
ivita
s re
latif
.
Gambar 3. Pengaruh nilai pH terhadap aktivitas invertase dari gula tebu (Rahman et al., 2004)
Berdasarkan Gambar 3, nilai pH merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap aktivitas invertase dari tebu gula. Peningkatan nilai pH dari 2
sampai dengan 7 dapat menyebabkan peningkatan aktivitas enzim. Dilain
pihak, peningkatan pH di atas 7 dapat menyebabkan penurunan aktivitas
invertase.
2. Suhu
Menurut Chaplin dan Bucke (1990) denaturasi oleh panas pada
enzim disebabkan terutama oleh interaksi protein dengan lingkungan yang
mengandung air. Protein umumnya lebih stabil dalam konsentrat daripada
larutan lemah. Dalam keadaan kering atau secara umum protein tersebut
aktif dalam suatu periode sampai suhu 100°C.
Peningkatan suhu pada reaksi enzim mempunyai dua pengaruh, yaitu
peningkatan suhu dapat meningkatkan laju reaksi dan peningkatan suhu
meningkatkan laju inaktifasi enzim. Sesuai dengan aturan, peningkatan
10°C akan menyebabkan laju reaksi dua kalinya, sementara laju inaktifasi
akan meningkat 64 kalilipat (Stauffer, 1989).
Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
aktivitas enzim. Peningkatan suhu dapat meningkatkan reaksi, akan tetapi
peningkatan suhu yang tinggi akan menyebabkan denaturasi protein,
sehingga akan menurunkan aktivitas enzim. Pengaruh suhu terhadap
aktivitas invertase dapat dilihat pada Gambar 4 (Rahman et al., 2004).
0
20
40
60
80
100
120
0 2 4 6 8 10 12
pH
Akt
ivita
s re
latif
Gambar 4. Pengaruh suhu terhadap aktivitas invertase dari gula tebu (Rahman et al., 2004)
Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa faktor suhu
berpengaruh terhadap aktivitas invertase. Semakin tinggi suhu yang
diberikan akan meningkatkan aktivitas invertase. Dilain pihak,
peningkatan suhu lebih lanjut (di atas 60oC) dapat menyebabkan
penurunan aktivitas invertase. Peningkatan suhu di atas 60oC dapat
menyebabkan denaturasi protein yang merupakan senyawa penyusun
enzim. Selain suhu, tekanan juga merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap aktivitas enzim. Peningkatan tekanan di atas 50 Mpa dapat
menurunkan aktivitas enzim (Cavaille dan Didier, 1996).
3. Konsentrasi Substrat dan Enzim
Pada konsentrasi substrat yang tinggi, acapkali ditemukan laju
reaksinya lebih kecil dari nilai maksimum. Hal ini dapat diterapkan bahwa
pada konsentrai tinggi tersebut, substrat dapat menghambat laju konversi
menjadi produk. Jenis penghambatan ini akan membentuk komplek (dead
end complex) satu sisi manakala molekul substrat terikat pada enzim, dan
molekul substrat lain terikat pada sisi lain (sekunder) enzim. Sebagai
contoh, invertase dihambat oleh sukrosa pada konsentrasi tinggi, penisilin
asilase terhambat pada konsentrasi tinggi bensil penisilin (Suryani dan
Mangunwidjaja, 2002).
Invertase dapat mengkatalisis sukrosa pada konsentrasi di atas
59%wt/vol. Peningkatan konsentrasi sukrosa lebih lanjut sampai
80%wt/vol menurunkan aktivitas enzim secara signifikan, mungkin
disebabkan oleh konsentrasi air rendah, inhibisi oleh substrat atau agregasi
substrat (Somiari dan Bielecki, 1995 dalam Filho et al, 1999).
Brown pada tahun 1902 melakukan penelitian tentang invertase,
menyatakan bahwa bila konsentrasi sukrosa lebih tinggi daripada enzim,
kecepatan reaksi menjadi tidak tergantung pada konsentrasi sukrosa
(Pancoast, 1980).
4. Inhibitor
Sejumlah substansi mungkin menyebabkan penurunan laju reaksi
katalisis enzim. Beberapa diantaranya adalah protein denaturan non-
spesifik. Substansi lain yang bertindak spesifik dikenal sebagai inhibitor.
Aktifitas yang hilang mungkin dapat dibalikan, dimana aktifitas mungkin
diperbaiki dengan menghilangkan inhibitor atau tidak dapat balik,
hilangnya aktivitas tergantung waktu dan tidak dapat dikembalikan selama
waktu pengamatan (Chaplin dan Bucke, 1990). Banyak bahan yang
mengubah aktivitas dari suatu enzim dengan menggabungkannya dalam
suatu jalur yang mempengaruhi ikatan substrat dan/atau nilai ”turn
over”nya. Bahan-bahan yang mereduksi aktivitas suatu enzim dengan cara
ini dikenal sebagai inhibitor.
0
5
1015
20
25
3035
40
45
0 10 20 30 40
konsentrasi inhibitor [pmol]
aktiv
itas
inve
rtase
[pka
t]
Gambar 5. Pengaruh inhibitor terhadap aktifitas enzim
Banyak bahan yang dapat mengubah aktivitas suatu enzim dengan
menggabungkannya dalam suatu jalur yang mempengaruhi ikatan substrat.
Bahan-bahan yang mereduksi aktivitas suatu enzim dengan cara ini
dikenal sebagai inhibitor. Inhibitor terbagi menjadi dua jenis, yakni
inhibitor reversible yang membentuk kompleks dinamik dengan enzim dan
inhibitor irreversible yang dikenal dengan racun pengkatalis (contohnya
beberapa logam berat, seperti merkuri, Hg2+). Inhibitor mengikat molekul
enzim dan menurunkan aktivitasnya (Flickinger dan Drew, 1999).
Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh adanya berbagai senyawa
dalam cairan reaksi. Beberapa zat yang dapat meningkatkan aktivitas
enzim disebut aktivator. Sebaliknya beberapa zat yang dapat menurunkan
aktivitas enzim disebut inhibitor. Gejala yang terakhir ini sering dijumpai
berbagai reaksi enzimatik (Suryani dan Mangunwidjaja, 2002). Ada
berbagai mekanisme dimana inhibitor enzim dapat bekerja.
Mekanisme tersebut antara lain:
a. Penghambatan Kompetitif
Suatu bahan yang berkompetisi secara langsung dengan suatu
substrat normal untuk suatu daerah (site) ikatan enzim dikenal dengan
suatu inhibitor kompetitif. Inhibitor seperti ini biasanya menyerupai
substrat dimana secara spesifik mengikat daerah aktif tetapi bila berbeda
darinya sehingga menjadi tidak reaktif.
b. Penghambatan Non-Kompetitif
Dalam inhibisi non-kompetitif, inhibitor mengikat secara
langsung ke kompleks enzim-substrat tetapi tidak ke enzim bebas. Inhibisi
yang tidak kompetitif menyatakan bahwa inhibitor ini akan
mempengaruhi fungsi enzim tetapi tidak terhadap ikatan dengan
substrat. Untuk enzim dengan substrat tunggal, sangat sulit untuk
mengemukakan bagaimana hal ini terjadi dengan pengecualian
terhadap inhibitor kecil.
c. Penghambatan Campuran
Inhibisi yang terjadi karena enzim dan senyawa substrat-enzim
mengikat inhibitor. Inhibisi campuran berikatan dengan bagian (site)
enzim yang ikut serta baik dalam pengikatan substrat dan katalisator.
d. Penghambatan oleh produk
Sebagian besar enzimatik menghasilkan produk berupa penghambat.
Jenis penghambat ini dapat berbentuk kompetitif atau bukan kompetitif.
Beberapa contoh menyajikan penghambatan reaksi enzimatik oleh produk
yang dihasilkan. Amiloglukosidase oleh glukosa, invertase oleh glukosa
dan fruktosa, β-amilase oleh maltosa, dan lain-lain. Jenis penghambatan
ini juga retroinhibition.
5. Kondisi Lingkungan
Inaktivasi enzim dan mikroorganisme dapat dilakukan dengan
perlakuan suhu yang tinggi. Akan tetapi perlakuan suhu yang tinggi juga
dapat menyebabkan perubahan produk, sehingga kualitasnya menurun.
Metode lain yang dapat digunakan untuk menurunkan aktivitas enzim dan
mikroorganisme tanpa merusak produk yang diinginkan adalah dengan
cara pemberian gelembung gas inert. Pemberian gelembung gas inert
nitrogen mampu menurunkan aktivitas enzim (Causette et al., 1998).
E. KAWAO ( Milletia sericea)
Tumbuhan ini merupakan perdu memanjat, tegak, panjang 10-30 m,
disana sini ditemukan di hutan dan di tepi sungai mulai dari dataran rendah
sampai ±1000 m dpl (Backer, Schoolflora). Akar warnanya kehitaman-
hitaman, gemangnya sebesar jari tangan, bagian teras berair, sebagian dari
akar keluar di atas lumpur. Menurut Teysmann (natuurk. Tijdschr v.N.I. jilid
34 hlm. 407) orang jawa memberikan sepotong akar dalam cairan palem yang
masih segar (Bel het verse palmsap) agar cairan tersebut tidak menjadi asam
(dalam Heyne, 1987).
Milletia sericea W. & A. (Pongamia sericea VENT.).
Nama daerah. Ind. : Akar mumba, A. tuba, Bori akar (manado) – Sunda :
Areuy kawao, Tuwa laleur.
F. ZAT-ZAT BIOAKTIF
Metabolisme sekunder saat ini dikenal penting pada kehidupan tanaman.
Metabolit sekunder berfungsi sebagai sistem perlindungan melawan serangga,
bakteri, virus dan fungi yang digunakan sebagai sistem kekebalan hewan
(Vickery dan Vickery, 1981). Diantara senyawa metabolit sekunder ini
terdapat terpenoid, fenol dan alkaloid.
1. Terpenoid
Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari
komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang
mudah menguap (C10 dan C15), diterpena yang sukar menguap (C20),
sampai ke senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol
(C30), serta pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1987).
2. Fenol
Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari
tumbuhan, yang mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik mengandung
satu atau dua penyulih hidroksil. Senyawa fenol cenderung mudah larut di
dalam air karena umumnya fenol berikatan dengan gula sebagai glikosida,
dan biasanya terdapat pada vakuola sel.
Flavonida merupakan golongan fenol terbesar, tetapi fenol
monosiklik sederhana, fenil propanoid dan quinon fenolik juga terdapat
dalam jumlah besar. Beberapa golongan polimer penting terdapat pada
lignin, melanin dan tanin adalah senyawa polifenol dan kadang-kadang
satuan fenolik dijumpai pada protein, alkaloid dan di antara terpenoid
(Harborne, 1987).
3. Alkaloid
Alkaloid umumnya mencakup senyawa basa yang mengandung satu
atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari
sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat optis aktif
dan berbentuk kristal, hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar.
Fungsi alkaloid dalam tumbuhan masih belum jelas, diduga sebagai
pengatur tumbuh atau penghalau serta penarik serangga (Harborne, 1987).
Menurut Harbone (1996) alkaloid memiliki kelarutan yang berbeda.
Alkaloid umumnya larut dalam pelarut lipofil tetapi dalam bentuk
garamnya larut dalam pelarut hidrofil. Alkaloid dalam tanaman umumnya
terdapat dalam bentuk garam, sehingga alkaloid dapat diekstrak dengan
pelarut hidrofil.
Alkaloid dan saponin yang terekstraksi dari tanaman mahkota dewa
diduga menyebabkan tingginya daya inhibisi pada enzim tirosin kinase (Salim,
2006). Setiawan (2006) menyatakan bahwa saponin merupakan senyawa
glikosida terpenoid atau glikosida steroid. Saponin adalah senyawa aktif yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air.
III. METODOLOGI
A. ALAT DAN BAHAN
3. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain alat gelas
(erlenmeyer, tabung reaksi, gelas piala, pipet tetes, corong); peralatan ukur
(pipet mikro, pipet volumetri, labu takar, termometer, spektrofotometer,
stopwatch dan timbangan); serta peralatan pendukung (water bath dan
vortex).
4. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain sukrosa,
invertase dari SIGMA-Aldrich I 9253 dengan aktivitas 39 unit/mg,
aquades, buffer pH 4; 4,5; 5; 6,5 dan 8. Dan bahan inhibitor alami yaitu
akar kawao (Millettia sericea) diperoleh dari perkebunan agropolitan
daerah Leuwiliang, Bogor. Bahan-bahan kimia lainnya seperti pereaksi
DNS.
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan terdiri atas tahapan penelitian dan
prosedur penelitian. Penjelasan untuk tahapan maupun prosedur adalah
sebagai berikut.
1. Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu (1) penentuan
aktivitas invertase, (2) karakterisasi akar kawao (Millettia sericea), (3)
penentuan pengaruh variabel terhadap jumlah gula pereduksi, (4)
penentuan permukaan respon pengaruh variabel terhadap jumlah gula
pereduksi. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat di Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Alir Tahapan Penelitian
a. Penentuan aktivitas invertase
Aktivitas enzim diukur berdasarkan definisi satu unit aktivitas
invertase, yaitu banyaknya invertase yang dapat menghasilkan 1
mikromol gula pereduksi dari substrat sukrosa selama 1 menit pada
kondisi percobaan. Kondisi yang digunakan adalah kondisi optimum
invertase, yaitu pada suhu 55°C, di dalam larutan buffer asetat pH 4.5.
Slope yang diperoleh dari gula pereduksi yang dihasilkan pada setiap
konsentrasi yang diujikan merupakan besarnya aktivitas enzim.
b. Karakterisasi akar kawao (Millettia sericea)
Karakterisasi akar kawao perlu dilakukan untuk mengetahui
kandungan bahan aktif apa yang terkandung didalamnya. Dengan
diketahui kandungannya maka diharapkan dapat diketahui sifat-sifat
dari bahan tersebut. Karakterisasi akar kawao dilakukan dengan uji
fitokimia akar kawao.
c. Penentuan pengaruh faktor reaksi
Penentuan faktor reaksi dilakukan dengan menginteraksikan nilai
minimum dan maksimum faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim.
Faktor tersebut diantaranya adalah suhu, pH, waktu dan inhibitor akar
Penentuan Aktivitas Enzim
Penentuan Pengaruh Faktor Reaksi
Permukaan Respon Faktor Yang Berpengaruh
Karakterisasi Akar Kawao (Millettia sericea)
Mulai
Selesai
kawao (Millettia sericea) pada konsentrasi yang telah dipilih untuk
mendapatkan kondisi optimum penghambatan aktivitas invertase
terhadap laju degradasi sukrosa. Suhu yang digunakan adalah 60° -
80°C (X1), pH 5 – 8 (X2), konsentrasi inhibitor akar kawao (Millettia
sericea) 0,875 – 3,5 gr (X3) dan waktu 40-100 menit (X4). Konsentrasi
sukrosa yang digunakan adalah 25 g/l dan konsentrasi invertase yang
digunakan ditentukan sampai batas absorbansi dapat terbaca yaitu
0,003 g/l dengan aktivitas 39 unit/mg. Hasil dari pengaruh faktor
diolah secara statistika dengan SAS untuk mendapatkan bentuk
pengaruh dan tingkat signifikansinya.
Rancangan percobaan yang digunakan untuk menentukan
pengaruh faktor reaksi dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial
dua taraf (two level factoria design) dengan empat variabel proses,
yaitu suhu reaksi (X1), pH reaksi (X2), konsentarsi inhibitor (X3) dan
waktu (X4). Nilai tertinggi dan terendah dari variabel yang
mempengaruhi reaksi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rendah dan tinggi perlakuan
Jenis Perlakuan Kode Nilai rendah (-) Nilai tinggi (+) Suhu (°C) X1 60 80 pH X2 5 8 Inhibitor akar Kawao (gr) X3 0,875 3,5 Waktu (menit) X4 40 100
Model rancangan percobaan untuk mengetahui pengaruh variabel
proses terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut: 4
Y = ao + ∑ aixi + ∑ aijxixj i=1 i<j
Keterangan:
Y : respon dari masing-masing perlakuan
ao, ai, aij : parameter regresi
xi : pengaruh linier variabel utama
xixj : pengaruh linier dua variabel
d. Permukaan respon faktor yang berpengaruh
Penentuan permukaan respon hampir sama dengan penentuan
faktor reaksi, namun selain dengan nilai rendah dan tinggi ditambah
dengan nilai 1,68 dari nilai rendah maupun tinggi dengan
menggunakan Metode Permukaan Respon (Response Surface
Methodology). Rancangan faktorial untuk mengetahui permukaan
respon dari masing-masing variabel reaksi yang berpengaruh dapat
dilihat pada Tabel 4. Selanjutnya untuk mengetahui bentuk dari
permukaan respon digunakan program STATISTICA.
Tabel 4. Rancangan faktorial dari masing-masing variabel reaksi yang berpengaruh
Run Kode (X1)
Kode (X2)
Kode (X3)
Suhu (°C)
pH Inhibitor (gr)
1 -1 -1 -1 60 5 0,875 2 -1 -1 1 60 5 3,5 3 -1 1 1 60 8 3,5 4 1 -1 -1 80 5 0,875 5 1 -1 1 80 5 3,5 6 1 1 -1 80 8 0,875 7 -1 1 -1 60 8 0,875 8 1 1 1 80 8 3,5 9 0 0 0 70 6,5 2,1875 10 0 0 0 70 6,5 2,1875 11 1,68 0 0 86,8 6,5 2,1875 12 -1,68 0 0 53,2 6,5 2,1875 13 0 1,68 0 70 9 2,1875 14 0 -1,68 0 70 4 2,1875 15 0 0 1,68 70 6,5 4,4 16 0 0 -1,68 70 6,5 0
Model rancangan percobaan untuk mengetahui permukaan
respon variabel reaksi inhibisi invertase dengan bahan alami adalah
sebagai berikut: 4 4
Y = ao + ∑ aixi + ∑ aijxixj + ∑ aiixi2
i=1 i<j i=1 Keterangan :
Y : respon dari masing-masing perlakuan
ao, ai, aij, aii : parameter regresi
xi : pengaruh linier variabel utama
xixj : pengaruh linier dua variabel
xi2 : pengaruh kuadratik variabel utama
2. Prosedur Penelitian
Prosedur percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
a. Penentuan aktivitas invertase
Larutan invertase 0.003 g/l sebanyak 1 ml dan larutan sukrosa
25 g/l sebanyak 1 ml disiapkan pada tabung reaksi. Masing-masing
tabung reaksi kemudian diinkubasi di dalam water bath suhu 55°C
sehingga suhu tersebut dicapai oleh larutan di dalam tabung reaksi.
Selanjutnya sukrosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi
invertase dan mulai diukur waktu reaksi (t=0). Reaksi dihentikan
pada masing-masing waktu yang diujikan, yaitu 0, 30, 60, 90, 120,
180, 240, dan 300 (detik), dengan memasukkan 2 ml pereaksi DNS.
Kemudian tabung tersebut dimasukkan ke dalam water bath pada
suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah 10 menit, tabung reaksi
dikeluarkan dan didinginkan untuk diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 540 nm.
b. Karakterisasi akar kawao (Millettia sericea)
Karakterisasi akar kawao (Millettia sericea) dilakukan dengan
membawa sampel akar kawao (Millettia sericea) ke tempat
pengujian fitokimia bahan. Uji fitokimia dilakukan di Laboratorium
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
c. Penentuan pengaruh faktor reaksi
Dibuat larutan sukrosa dengan konsentrasi 25 g/l dan larutan
enzim konsetrasi 0,003 g/l dalam buffer 5; 6,5 dan 8. Larutan
sukrosa 66,5 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diinkubasi
dalam waterbath dengan dishaker 120 rpm pada suhu 60, 70 dan
80°C hingga mencapai suhu yang diinginkan. Larutan sukrosa yang
telah mencapai suhu yang dibutuhkan kemudian ditambahkan akar
kawao (Millettia sericea) dan larutan enzim 70 ml dan dimulai waktu
reaksi. Reaksi dihentikan pada waktu 40 dan 100 menit untuk nilai
waktu rendah dan tinggi dengan memasukkan DNS 2 ml pada tabung
reaksi yang berisi sampel yang telah diambil dari masing-masing
erlenmeyer. Penghentian reaksi untuk nilai tengah pada waktu 70
menit. Kemudian tabung tersebut dimasukkan ke dalam water bath
pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah 10 menit, tabung reaksi
dikeluarkan dan didinginkan untuk diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 540 nm.
d. Permukaan respon faktor yang berpengaruh
Prosedur untuk penentuan permukaan respon hampir sama
dengan prosedur penentuan pengaruh faktor. Faktor-faktor yang
berpengaruh dilakukan percobaan kembali untuk mendapatkan
permukaan respon dari faktor yang berpengaruh.
Pada percobaan untuk menentukan permukaan respon faktor
yang berpengaruh, reaksi dilakukan dalam waktu 70 menit dan
dihentikan reaksinya dengan penambahan DNS 2 ml pada sampel 2
ml yang telah diambil dalam tabung reaksi. Nilai hasil reaksi antar
faktor interaksi untuk pemukaan respon dianalisis kembali dengan
analisis statistik untuk mendapatkan kondisi atau nilai terbaik pada
jumlah gula pereduksi terendah.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penghambatan terhadap aktivitas invertase dalam mengkonversi sukrosa
menjadi gula pereduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, pH,
penambahan inhibitor dan waktu. Hasil penelitian mengenai pengaruh faktor
reaksi terhadap penghambatan aktivitas invertase pada degradasi sukrosa dibagi
atas beberapa bagian sesuai dengan tahapan penelitian. Pada tahap awal (A)
disajikan aktivitas invertase yang digunakan dalam penelitian. Tahap kedua (B)
menghasilkan karakteristik akar kawao (Milletia sericea) yang menunjukkan
kandungan bahan aktif didalamnya. Hasil dari tahap ketiga (C) dari penelitian ini
adalah faktor-faktor reaksi yang berpengaruh untuk menurunkan jumlah gula
pereduksi dan tahap terakhir (D) disajikan permukaan respon dari faktor-faktor
yang berpengaruh serta nilai terendah yang dicapai pada penelitian ini.
A. Aktivitas Invertase
Aktivitas katalitik enzim dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan
perubahan substrat yang dapat diubah menjadi produk setiap satuan waktu
pada suatu reaksi kimia spesifik oleh enzim tersebut. Nilai aktivitas enzim
yang diketahui menunjukkan kemampuan enzim dalam mengkatalisis suatu
reaksi.
Aktivitas enzim didefinisikan sebagai kecepatan pengurangan substrat atau
kecepatan pembentukan produk pada kondisi optimum atau jumlah enzim
yang mengubah satu mol substrat menjadi produk per detik. Berdasarkan
percobaan terhadap enzim yang digunakan maka diketahui slope hasil reaksi
yang menunjukkan kemampuan enzim untuk menghasilkan produk sebesar
0,3072 µM/detik atau enzim dapat mengubah substrat sebesar 0,036864
µM/menit. Nilai aktivitas yang diperoleh tersebut dapat dikatakan rendah,
karena konsentrasi substrat yang diubah menjadi produk relatif kecil terhadap
waktu namun hal tersebut bukan merupakan permasalahan dalam mengetahui
pengaruh faktor reaksi pada degradasi sukrosa oleh invertase. Aktivitas
invertase yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam bentuk
kurva pada Gambar 7.
0
20
40
60
80
100
0 100 200 300 400
lama inkubasi (detik)
kons
entr
asi
gluk
osa+
fruk
tosa
(uM
)
Gambar 7. Kurva aktivitas invertase, y = 0,3072 x
B. Karakteristik Kawao ( Milletia sericea)
Kawao merupakan tumbuhan perdu yang memanjat, tegak, panjang 10-
30 m, biasa ditemukan di hutan-hutan dan di tepi-tepi sungai mulai dataran
rendah sampai ± 1000 m dpl. Akar kawao (Milletia sericea) biasa digunakan
oleh petani gula aren sebagai pengawet nira aren supaya tidak masam.
Kandungan yang terdapat dalam akar kawao (Milletia sericea) dapat diketahui
melalui uji fitokimia yang merupakan uji kualitatif terhadap bahan
fitokimianya yang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil uji fitokimia Kawao (Milletia sericea)
Jenis Contoh Jenis Pengujian Hasil Pengujian Akar Kawao Skrining fitokimia
- Alkaloid - Saponin - *Tanin - *Fenolik - Flavonoid - *Triterfenoid - *Steroid - Glikosida
+ + + +
+ - +
+ + + + + + +
+ + + + Keterangan : * : tidak termasuk lingkup akreditasi + + : Positif - : Negatif + + + : Positif kuat + : Positif + + + + : Positif kuat sekali
Berdasarkan hasil uji fitokimia seperti pada Tabel 5, kandungan bahan
aktif paling banyak dalam akar kawao (Millettia sericea) adalah alkaloid,
flavonoid dan glikosida yang memberikan respon positif kuat sekali dengan
pembentukan warna. Selain tiga bahan tersebut, bahan lain yang terdapat
dalam akar kawao (Millettia sericea) dalam jumlah yang relatif lebih sedikit
diantaranya saponin, fenolik, triterfenoid dan steroid. Bahan-bahan bioaktif
yang terdapat dalam akar kawao (Millettia sericea) umumnya dikenal sebagai
bahan antimikroba.
Flavonoid disintesis oleh tanaman untuk merespon infeksi akibat
mikroba sehingga efektif secara in vitro terhadap mikroorganisme. Aktivitas
flavonoid mungkin disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk
kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut, dan dengan dinding sel.
Flavonoid yang bersifat lipofilik mungkin juga akan merusak membran
mikroba. Senyawa flavonoid juga memperlihatkan efek inhibitori
(penghambatan) terhadap berbagai virus. Menurut Iswantini et al.(2003), temu
putih yang mengandung terpenoid, alkaloid dan flavonoid berpotensi tinggi
sebagai antikanker. Ekstrak kasar flavonoid temu putih pada berbagai
konsentrasi dibawah nilai LC50-nya mempunyai daya hambat terhadap
aktivitas tirosin kinase melebihi inhibitor sintetis genistein. Daya hambat
tertinggi diperoleh dari fraksi teraktif ekstrak kasar flavonoid temu putih, yaitu
sebesar 93,4 %.
Flavonoid dapat bekerja sebagai antivirus, anti organisme, dan
antioksidan untuk mengendalikan radikal bebas yang dapat menyebabkan
tumor. Senyawa ini dapat mengobati gangguan fungsi hati, mengurangi
pembekuan darah, anti hipertensi, merangsang pembentukan estrogen, dan anti
inflamasi (Hakim, 2005). Kuerselin, salah satu antioksidan dari kelompok
flavonoid, terdapat pada tanaman tingkat tinggi. Flavonoid pada tanaman
dapat berfungsi sebagai penangkap anion superoksida, lipid peroksida radikal,
kuensing, oksigen sirglet, dan pengkelat logam. Flavonoid sebagai derivat
benzo-γ-piran mempunyai banyak kegunaan disamping fungsinya yang pokok
sebagai vitamin P untuk menaikkan resistensi dan menurunkan permeabilitas
kapiler darah. Efek lain flavonoid sangat banyak macamnya terhadap berbagai
organisme dan efek ini dapat mejelaskan mengapa tumbuhan yang
mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan.
Alkaloid merupakan senyawa nitrogen heterosiklik dan memiliki efek
antimikroba. Alkaloid dalam tanaman herbal biasanya diekstrak untuk
dimanfaatkan sebagai bahan dasar obat-obatan. Selain senyawa alkaloid,
senyawa dalam tanaman yang biasa digunakan sebagai obat adalah senyawa
glikosida. Salah satu manfaat dari senyawa glikosida pada tanaman adalah
sebagai bahan antikanker seperti senyawa yang lain seperti alkoloid. Alkaloida
merupakan racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang
luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa. Umumnya mengandung nitrogen
dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat
dalam tanaman sebagai garam asam organik.
Bahan glikosida dapat menghambat pertumbuhan penyakit seperti pada
penelitian Jaime Rodriguez, Rita Castro dan Ricardo Riguero menunjukkan
senyawa aktif triterpen glikosida menghambat pertumbuhan tumor pada sel
limfoid, sel tumor paru manusia, sel tumor serviks, dan melanoma tikus pada
kisaran konsentrasi 0,38-0,46 mg/ml.
C. Pengaruh Faktor Reaksi
Proses degradasi sukrosa menjadi gula pereduksi (glukosa dan fruktosa)
oleh invertase dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya suhu, pH, waktu
dan bahan inhibitor. Faktor-faktor tersebut dapat dioptimalkan sehingga laju
degradasi sukrosa oleh invertase dapat dihambat. Pada penelitian ini dilakukan
interaksi antar faktor yang berpengaruh terhadap hasil degradasi sukrosa
menjadi gula pereduksi. Gula pereduksi hasil degradasi dianalisis dengan
metode DNS (dinitrosalicylate), kemudian hasil analisis dihitung secara
statistik sehingga dapat diketahui pengaruh linier dari faktor-faktor reaksi
tersebut.
Hubungan faktor reaksi terhadap respon dapat diketahui melalui
serangkaian percobaan yang sistematis dan diuji melalui analisis statistika.
Hubungan antara faktor reaksi dengan respon dapat disajikan dalam suatu
model atau persamaan linier. Melalui persamaan linier tersebut diketahui
pengaruh linier dari suhu, pH dan konsentrasi inhibitor serta interaksi antar
dua faktor terhadap respon.
Koefisien parameter dan nilai signifikansi analisis jumlah gula pereduksi
hasil degradasi sukrosa disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Parameter Koefisien dan Nilai Signifikansi
Parameter Koefisien % Pengaruh Signifikansi Intersep 42729.000 0.9787 Suhu (X1) -949.906 0.11 0.9548 pH (X2) -2330.139 1.8 0.9969 Inhibitor (X3) -2014.881 1.8 0.9835 Waktu (X4) 83.19271 0.0032 0.9810 R2 0.9272
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor reaksi yang
diberikan yaitu suhu (X1), pH (X2) dan inhibitor akar kawao (Millettia sericea)
(X3) memberikan pengaruh terhadap penurunan hasil degradasi sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa, sedangkan faktor waktu tidak memberikan
pengaruh terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Ketiga faktor (suhu, pH
dan inhibitor akar kawao(Millettia sericea) tersebut mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap jumlah gula pereduksi hasil degradasi sukrosa atau
memberikan respon positif terhadap penghambatan laju degradasi sukrosa.
Data dan analisis gula pereduksi yang dihasilkan dari proses degradasi sukrosa
disajikan pada Lampiran 2.
Berdasarkan Tabel 6 faktor yang paling berpengaruh adalah faktor pH
pada selang kepercayaan 99,69 persen dengan memberikan pengaruh negatif
pada jumlah gula pereduksi atu memberikan respon positif terhadap
penurunan laju degradasi sukrosa. Pengaruh negatif dari faktor pH artinya
dengan semakin meningkatnya pH pada proses reaksi menyebabkan jumlah
gula pereduksinya menurun.
Penurunan laju degradasi sukrosa yang ditandai oleh penurunan jumlah
gula pereduksi diakibatkan oleh menurunnya aktivitas invertase. Hal tersebut
disebabkan oleh enzim merupakan protein yang tersusun atas asam amino
yang mudah rusak akibat perubahan pH. Perubahan pH dapat mengakibatkan
menurunnya aktivitas enzim karena enzim dalam bentuk protein mempunyai
titik isoelektrik yaitu pada pH yang menunjukkan jumlah muatan positif dan
negatif sama dalam protein sehingga mempengaruhi proses ionisasi protein.
Perubahan kedudukan ionisasi rantai samping asam amino dapat
mempengaruhi bagian sisi aktif enzim dengan adanya perubahan pH sehingga
aktivitasnya menurun karena mengganggu pengikatan substrat dengan enzim.
Perlakuan pH yang diberikan dapat menurunkan laju degradasi sukrosa
karena perubahan pH yang berarti nilai pKa lingkungan juga berubah dapat
merubah permukaan sisi aktif enzim sehingga mengganggu proses pengikatan
enzim dengan substrat pada sisi aktif enzim dan pada akhirnya tidak terbentuk
produk. Menurut Winarno (1995) pada umumnya enzim bersifat amfolitik,
yang berarti enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun
gugus basanya, terutama pada gugus residu terminal karboksil dan gugus
terminal aminonya. Perubahan keaktifan enzim diperkirakan akibat perubahan
pH lingkungan disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau
komplek enzim substrat.
Aktivitas enzim paling besar terjadi pada pH optimum untuk reaksinya.
Invertase pH optimumnya 4,5 dan aktif diantara pH 3.0 dan 5,5 (NCBE
Enzymes for Education, 2004), sedangkan pada penelitian ini diberikan
perlakuan dari pH 5 sampai pH 8 yang mengakibatkan kerusakan struktur
protein invertase sehingga gula pereduksi yang dihasilkan semakin menurun
seiring meningkatnya pH. Kerusakan struktur enzim dapat disebabkan
terganggunya ikatan kovalen dalam kerangka polipeptida, yaitu ikatan
hidrogen antara gugus R-residu. Menurut Martin et al (1981) perubahan enzim
mempengaruhi aktivitas enzim baik perubahan struktur ataupun dengan
berubahnya fungsi akibat ikatan substrat atau katalisis.
Pada kondisi basa aktivitas invertase rendah karena ion OH- yang
berlebihan. Kelebihan ion OH- akan berakibat berubahnya muatan enzim
sehingga mengganggu pengikatan enzim dengan substrat. Pada pH tinggi, ion
substrat (SH+) mengalami ionisasi dan kehilangan muatan positif :
S H+ S + H+
Perubahan muatan substrat disebabkan oleh ionisasi atau protonasi, dimana
pada kondisi tersebut substrat tidak dapat berinteraksi dengan enzim
(Stauffer,1989). Maka dengan perlakuan pH diatas pH optimum (pH 5)
sampai pH basa (pH 8) menghasilkan jumlah gula pereduksi yang semakin
menurun hal tersebut disebabkan oleh terganggunya interaksi antara enzim
dengan sukrosa sebagai substrat untuk membentuk produk berupa gula
pereduksi.
Faktor kedua yang berpengaruh terhadap jumlah gula pereduksi hasil
degradasi sukrosa oleh invertase adalah bahan inhibitor akar kawao (Millettia
sericea) (X3). Pada tingkat kepercayaan 98,35 persen, akar kawao (Millettia
sericea) memberikan pengaruh positif terhadap penurunan laju degradasi
sukrosa. Pengaruh dari akar kawao (Millettia sericea) yaitu dengan semakin
tinggi konsentrasi kawao (Millettia sericea) yang diberikan menyebabkan
jumlah gula pereduksi menurun.
Kandungan akar kawao (Millettia sericea) yang diduga dapat
menginhibisi atau menghambat aktivitas invertase adalah senyawa alkaloid.
Diantara beberapa jenis bahan inhibitor invertase, bentuk lainnya seperti
glikoprotein, polipeptida dan alkaloid (Trojonowics., et al, 2004). Proses
inhibisi terjadi apabila sisi aktif enzim yang biasa berikatan dengan substrat
digantikan oleh senyawa dari kawao, maka sifat inhibisinya kompetitif. Sifat
inhibisi lain yang mungkin terjadi yaitu inhibisi non-kompetitif. Proses
tersebut terjadi apabila inhibitor mengikat pada kompleks enzim substrat
sehingga mempengaruhi fungsi enzim tetapi tidak mempengaruhi ikatan
dengan substrat.
Proses inhibisi invertase oleh akar kawao (Millettia sericea) dapat terjadi
karena senyawa bioaktif dari akar kawao (Millettia sericea) membentuk
komplek dengan protein dalam hal ini protein enzim melalui ikatan non-
spesifik seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik sebagaimana
pembentukan ikatan kovalen. Dengan adanya komplek enzim dengan senyawa
dari akar kawao (Millettia sericea) maka struktur dari enzim akan berubah
sehingga daya katalitik terhadap substratnya terganggu.
Faktor waktu reaksi memberikan pengaruh positif terhadap laju
degradasi sukrosa pada selang kepercayaan 98,1 persen. Artinya dengan
semakin lamanya waktu reaksi maka jumlah gula pereduksi yang dihasilkan
juga semakin meningkat. Hal tersebut tidak diharapkan pada proses
penghambatan laju degradasi sukrosa. Naiknya jumlah gula pereduksi yang
dihasilkan mungkin terjadi karena kandungan gula yang terdapat dalam akar
kawao (Millettia sericea) terekstrak dengan semakin lamanya waktu reaksi.
Namun pada kenyataannya akar kawao (Millettia sericea) tetap dapat
memberikan efek penghambatan terhadap aktivitas invertase. Pengaruh positif
waktu tehadap kenaikan jumlah gula pereduksi bukan berarti akar kawao
(Millettia sericea) tidak bisa menghambat aktivitas enzim namun apabila
waktu reaksi melebihi waktu maksimal efektivitas akar kawao (Millettia
sericea) sebagai inhibitor maka senyawa aktif tersebut telah rusak dan gula
dalam akar kawao semakin banyak terekstrak dan terukur sebagai gula
pereduksi.
Pada selang kepercayaan 95,48 persen, suhu (X1) memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap penurunan laju degradasi sukrosa. Suhu reaksi
mempunyai pengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa atau
memberikan respon positif terhadap penurunan laju degradasi sukrosa.
Semakin tinggi suhu reaksi yang diberikan menyebabkan jumlah gula
pereduksi yang dihasilkan menurun.
Enzim merupakan protein, sehingga sifat enzim sama dengan protein.
Suhu lingkungan yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya denaturasi
protein (enzim), sedangkan suhu yang rendah menyebabkan aktivitas
katalitiknya rendah. Menurut Martin et al (1981) suhu yang ditingkatkan terus
menerus menyebabkan energi kinetik molekul enzim semakin besar sehingga
melebihi energi penghalang untuk memecah ikatan sekunder yang mengikat
enzim atau sifat katalis aktifnya. Akibat kehilangan struktur sekunder dan
tersier adalah sama dengan kehilangan aktivitas katalitik enzim. Hilangnya
struktur sekunder dan tersier enzim dapat terjadi akibat putusnya ikatan
hidrogen dan hidrofobik sehingga enzim mengalami denaturasi. Pada kondisi
normal, struktur aktif enzim dijaga oleh keseimbangan nonkovalen yang
berlainan, yaitu ikatan hidrogen, hidrofobik, ionik dan van der walls.
Kenaikan suhu akan menurunkan kekuatan ikatan tersebut sehingga molekul
protein enzim akan terbuka (Lehninger, 1993).Dengan rusaknya struktur
enzim maka enzim sudah tidak stabil atau stabilitasnya rendah.
Menurunnya jumlah gula pereduksi yang dihasilkan disebabkan oleh
aktivitas invertase menurun. Aktivitas invertase rendah karena bagian
apoenzim yang tersusun atas protein rusak akibat suhu tinggi. Rusaknya
struktur enzim mengakibatkan enzim kehilangan daya katalitiknya sehingga
tidak optimal untuk mengkonversi sukrosa menjadi gula-gula pereduksi.
Sementara aktivitas enzim untuk mengkatalisis suatu reaksi mempunyai
kisaran suhu tertentu. Invertase (biasa disebut sukrase atau sakarase) memecah
disakarida sukrosa menjadi monosakarida glukosa dan fruktosa. Enzim ini
aktif antara suhu 10°C dan 65°C. Inaktifasinya mulai 65°C dan enzim total
tidak aktif setelah 5 menit pada suhu 90°C (NCBE Enzymes for Education,
2004). Bila invertase diberikan pada suhu diatas 65°C maka enzim tersebut
sudah mulai tidak aktif untuk menghidrolisis sukrosa dan menghasilkan gula
pereduksi yang rendah. Hal tersebut karena enzim telah rusak, kerusakan
enzim yang merupakan protein dapat berupa berubahnya konfigurasi struktur.
Menurut Simanjuntak (2006) diatas suhu tertentu enzim akan kehilangan
ikatan kuat dari struktur dalam 3 dimensi yang berguna untuk aktivitas
katalitik.
Tabel 7. Parameter Interaksi, Koefisien dan Nilai Signifikansi
Parameter Koefisien Signifikansi Interaksi X1 dan X2 28.979 0.9960 Interaksi X1 dan X3 16.393 0.9493 Interaksi X1 dan X4 -0.578646 0.9150 Interaksi X2 dan X3 126.746 0.9669 Interaksi X2 dan X4 -4.920139 0.9531 Interaksi X3 dan X4 -1.134921 0.6490 R2 0,9272
Hasil interaksi suhu reaksi dengan pH pada Tabel 7 berpengaruh positif
terhadap laju degradasi sukrosa. Interaksi kedua faktor berpengaruh pada
tingkat kepercayaan 99,6 persen. Pada Gambar 8, peningkatan pH dapat
menurunkan laju degradasi sukrosa yang ditandai dengan menurunnya jumlah
gula pereduksi yang dihasilkan. Penurunan jumlah gula pereduksi disebabkan
oleh pengaruh dari pH sebagai faktor utama, yaitu berpengaruh negatif
terhadap jumlah gula pereduksi. Penurunan laju degradasi sukrosa tidak terlalu
tajam terjadi saat pH dinaikan pada suhu di nilai tinggi (80°C), sedangkan
penurunan laju degradasi sukrosa pada suhu di nilai rendah (60°C) lebih
curam dikarenakan kenaikan pH mempunyai pengaruh negatif terhadap
respon.
suhu rendah
suhu rendah
suhu tinggi
suhu tinggi
0
500
1000
1500
2000
2500
pH rendah pH tinggi
pH
gula
per
eduk
si (
µmol
)
Gambar 8. Interaksi antara suhu reaksi (X1) dan pH (X2) terhadap jumlah
gula pereduksi
Perbedaan kemiringan pada penurunan gula pereduksi disebabkan oleh
suhu tinggi (80°C). Pada suhu tinggi enzim telah mengalami denaturasi
sehingga dengan kenaikan pH tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan
jumlah gula pereduksi.
pH rendah
pH rendah
pH tinggipH tinggi
0200400600800
100012001400160018002000
inhibitor rendah inhibitor tinggi
inhibitor
gula
per
eduk
si (µ
M)
Gambar 9. Interaksi antara pH (X2) dan bahan inhibitor akar kawao
(Millettia sericea) (X3) terhadap jumlah gula pereduksi
Interaksi pH dengan bahan inhibitor akar kawao (Millettia sericea)
berpengaruh positif terhadap laju degradasi sukrosa. Interaksi kedua faktor
berpengaruh pada tingkat kepercayaan 96,69 persen. Interaksi faktor reaksi
terhadap gula pereduksi disajikan pada Gambar 9. Gambar tersebut
menunjukkan dengan semakin tinggi konsentrasi akar kawao (Millettia
sericea) yang diberikan pada nilai pH rendah dapat menurunkan jumlah gula
pereduksi, namun pada konsentrasi akar kawao (Millettia sericea) tinggi
jumlah gula pereduksi yang dihasilkan meningkat. Pada konsentrasi akar
kawao (Millettia sericea) rendah laju penurunan degradasi sukrosa lebih besar
karena dipengaruhi oleh peningkatan pH yang dapat merusak struktur protein
enzim sehingga daya katalitik enzim untuk mengkonversi sukrosa menjadi
gula pereduksi menjadi rendah.
Perbedaan kemiringan antara garis pH rendah dengan garis pH tinggi
mengindikasikan adanya kenaikan gula pereduksi pada nilai inhibitor tinggi
(8) seiring penambahan konsentrasi inhibitor kawao (Millettia sericea).
Peristiwa tersebut mungkin disebabkan oleh senyawa bioaktif akar kawao
(Millettia sericea) tidak stabil atau rusak pada pH tinggi sehingga tidak efektif
lagi sebagai inhibitor ataupun kandungan gula yang mungkin ada dalam akar
kawao (Millettia sericea) terekstrak dan terhidrolisis selama proses reaksi.
Menurut Robinson (1993) saponin merupakan senyawa glikosida terpenoid
atau glikosida steroid dan bersifat polar. Jadi seiring bertambahnya jumlah
akar kawao (Millettia sericea) yang diberikan maka gula pereduksi yang
dihasilkan juga bertambah. Namun pada pH rendah dengan penambahan
inhibitor akar kawao (Millettia sericea) dapat menurunkan laju degradasi
sukrosa yang artinya inhibitor akar kawao (Millettia sericea) dapat bekerja
efektif pada kisaran pH tertentu. Apabila inhibitor akar kawao (Millettia
sericea) digunakan diluar kisaran pH optimumnya maka akar kawao (Millettia
sericea) tidak efektif lagi sebagai bahan inhibitor.
Interaksi faktor pH dengan waktu memberikan pengaruh negatif terhadap
laju degradasi sukrosa pada tingkat kepercayaan 95,31 persen. Interaksi kedua
faktor tersebut disajikan pada Gambar 10.
pH rendah
pH rendah
pH tinggipH tinggi0
200400600800
100012001400160018002000
waktu rendah waktu tinggi
waktu
gula
per
eduk
si (µ
M)
Gambar 10. Interaksi antara pH (X2) dan waktu (X4) terhadap jumlah
gula pereduksi
Pada Gambar 10 dengan semakin lama waktu reaksi maka jumlah gula
pereduksi yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan jumlah gula
pereduksi pada pH rendah lebih curam dibandingkan dengan pH tinggi. Hal
tersebut membuktikan bahwa enzim rusak pada pH tinggi atau pH tinggi
terbukti lebih efektif terhadap penghambatan enzim.
Interaksi suhu reaksi dengan inhibitor akar kawao (Millettia sericea)
berpengaruh positif terhadap laju degradasi sukrosa. Interaksi kedua faktor
berpengaruh pada tingkat kepercayaan 94,93 persen. Interaksi faktor reaksi
terhadap gula pereduksi disajikan pada Gambar 11.
inhibitor rendah
inhibitor rendah
inhibitor tinggi
inhibitor tinggi
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
suhu rendah suhu tinggi
suhu
gula
per
eduk
si (µ
mol
)
Gambar 11. Interaksi antara suhu (X1) dan inhibitor akar kawao (Millettia
sericea) (X3) terhadap jumlah gula pereduksi
Pada Gambar 11 diketahui bahwa kenaikan suhu berpengaruh pada
penurunan laju degradasi sukrosa yang dibuktikan dengan menurunnya jumlah
gula pereduksi yang dihasilkan. Namun, terdapat perbedaan kemiringan antara
garis inhibitor rendah dengan garis inhibitor tinggi yang mengindikasikan
adanya penurunan jumlah gula pereduksi lebih tinggi untuk nilai rendah
inhibitor (0,875 g) saat suhu dinaikkan. Penurunan gula pereduksi untuk
inhibitor rendah lebih curam dibandingkan dengan inhibitor tinggi seiring
kenaikan suhu. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sisi aktif enzim telah
terganggu oleh adanya inhibitor dengan konsentrasi tinggi sehingga semakin
meningkatnya suhu, pengaruh terhadap penurunan gula pereduksi tidak
sebesar pada konsentrasi inhibitor rendah.
Penurunan laju degradasi sukrosa pada inhibitor tinggi tidak sebesar
penurunan dengan penambahan inhibitor rendah. Hal tersebut terjadi selain
karena aktivitas enzim telah terganggu oleh adanya inhibitor akar kawao tetapi
juga oleh adanya kandungan gula yang ada dalam akar kawao (Millettia
sericea). Dengan semakin tingginya konsentrasi akar kawao (Millettia sericea)
yang diberikan maka kandungan gula yang mungkin terekstrak secara tidak
langsung selama reaksi dan terjadi hidrolisis dengan kenaikan suhu semakin
tinggi. Kandungan gula akibat hidrolisis tersebut dapat meningkatkan nilai
pengukuran terhadap gula pereduksi akibat konversi sukrosa oleh invertase.
Interaksi antara suhu dengan waktu memberikan pengaruh negatif pada
laju degradasi sukrosa. Interaksi antara kedua faktor tersebut memberikan
pengaruh pada selang kepercayaan 91,5 persen. Semakin lamanya waktu
reaksi maka jumlah gula pereduksi yang dihasilkan semakin meningkat.
Peningkatan jumlah gula pereduksi pada suhu tinggi lebih landai
dibandingkan dengan kenaikan gula pereduksi pada suhu rendah. Hal tersebut
disebabkan pada suhu rendah aktifitas enzim untuk mendegradasi sukrosa
lebih besar dibandingkan pada suhu rendah. Interaksi antara kedua faktor
tersebut disajikan pada Gambar12.
suhu rendah
suhu rendah
suhu tinggisuhu tinggi
0
200
400600
800
1000
12001400
1600
1800
waktu rendah waktu tinggi
waktu
gula
per
eduk
si (µ
M)
Gambar 12. Interaksi antara suhu (X1) dan waktu (X4) terhadap jumlah
gula pereduksi
D. Permukaan Respon
Respon faktor-faktor yang mempengaruhi laju degradasi sukrosa dapat
diketahui dengan menggunakan Metode Permukaan Respon, yaitu suatu
bentuk analisa yang digunakan pada respon yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor dan bertujuan untuk menentukan kondisi optimum dari respon tersebut.
Analisis statistik terhadap pengaruh linier dari faktor reaksi terhadap respon
berguna untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masing-masing faktor dan
interaksinya terhadap respon. Hasil analisis pengaruh linier faktor reaksi, yaitu
suhu, pH dan inhibitor akar kawao (Millettia sericea) mempunyai pengaruh
yang nyata terhadap jumlah gula pereduksi. Analisis selanjutnya bertujuan
untuk memperoleh kondisi terbaik penurunan laju degradasi sukrosa sehingga
didapatkan jumlah gula pereduksi yang minimum.
Hasil analisis dengan metode permukaan respon disajikan pada Gambar
13. Gambar 13, merupakan gambar permukaan respon dari model persamaan :
Y = 310,5725 - 199,914X1 - 359,399X2 – 124,74X3 + 144,629 X12 + 711,813
X1X2 + 193,514 X22 + 434,28 X3X1 + 515,516 X3X2 + 106,36 X3
2
Pada model persamaan diketahui bahwa kenaikan suhu mempunyai
pengaruh negatif pada jumlah gula pereduksi. Faktor lainnya juga memberikan
pengaruh negatif pada jumlah gula pereduksi dengan selang kepercayaan
93,03 untuk pH dan 90,8 untuk penambahan inhibitor akar kawao (Millettia
sericea). Hal tersebut menunjukkan dengan semakin naiknya nilai suhu, pH
dan inhibitor akar kawao (Millettia sericea) dapat menurunkan laju degradasi
sukrosa dengan menurunnya jumlah gula pereduksi karena aktivitas dari
invertase dapat dihambat oleh faktor-faktor tersebut. Model persamaan
diperoleh dari hasil analisis statistik yang disajikan di Lampiran 5.
Gambar 13. Permukaan respon dari gula pereduksi sebagai fungsi dari suhu, pH dan inhibitor akar kawao (Millettia sericea).
Hasil analisis canonical terhadap permukaan respon diketahui bahwa
model permukaan respon berbentuk sadel (saddle point). Hal tersebut
menyebabkan nilai optimum tidak dapat ditentukan dari model permukaan
respon. Perkiraan nilai terbaik diperoleh dari estimasi nilai minimum respon.
Jumlah gula pereduksi minimum adalah 155,1 µM dengan kondisi reaksi :
suhu 72,48°C, pH 6,19 dan konsentrasi akar kawao (Millettia sericea) 3,49 g.
Permukaan respon dari interaksi antara dua faktor pada salah satu faktor
utama bernilai tetap disajikan di Gambar 14. Gambar 14, merupakan gambar
permukaan respon dari jumlah gula pereduksi sebagai fungsi dari suhu dan pH
dengan konsentrasi inhibitor akar kawao (Millettia sericea) tetap.
2500 2000 1500 1000 500 0 -500
2500 2000 1500 1000 500 0 -500
(a) (b)
Gambar 14. Permukaan respon dari gula pereduksi pada konsentrasi akar kawao (Millettia sericea) tetap, (a) sisi pada pH rendah dan sisi pada suhu tinggi, (b) sisi pada pH tinggi dan sisi pada suhu rendah
Dari Gambar 14a dapat diketahui bahwa pada pH rendah gula pereduksi
mengalami penurunan tajam seiring kenaikan suhu. Namun pada suhu tinggi
gula pereduksi mengalami kenaikan yang tidak begitu tajam seiring dengan
kenaikan pH. Jumlah gula pereduksi rendah terjadi saat pH rendah dan suhu
reaksi berada di nilai tinggi.
Pada Gambar 14b, gula pereduksi mengalami penurunan seiring
turunnya suhu pada pH tinggi. Pada suhu rendah gula pereduksi naik dengan
tajam sejalan dengan penurunan pH. Pada suhu rendah dan pH tinggi
menghasilkan jumlah gula pereduksi yang terendah. Jadi jumlah gula
pereduksi tertinggi saat nilai pH rendah dengan suhu rendah
Pengaruh interaksi antara faktor pH dengan konsentrasi inhibitor akar
kawao (Millettia sericea) disajikan pada Gambar 15. Gambar 15 merupakan
respon terhadap jumlah gula pereduksi pada suhu tetap dengan fungsi dari pH
dan konsentrasi inhibitor akar kawao (Millettia sericea).
2000 1500 1000 500 0 -500
2000 1500 1000 500 0 -500
(a) (b)
Gambar 15. Permukaan respon dari gula pereduksi pada suhu tetap, (a) sisi pada inhibitor rendah dan sisi pada pH tinggi, (b) sisi pada inhibitor rendah dan sisi pada pH rendah
Dari Gambar 15a, diketahui bahwa jumlah gula pereduksi menurun
tajam seiring dengan kenaikan pH saat konsentrasi inhibitor rendah.
Sedangkan pada pH tinggi gula pereduksi cenderung naik terhadap kenaikan
konsentrasi inhibitor akar kawao (Millettia sericea). Jumlah gula pereduksi
maksimum terjadi saat kondisi pH rendah dengan konsentrasi inhibitor juga
rendah. Pada saat nilai pH tinggi dan konsentrasi inhibitor rendah jumlah gula
pereduksi rendah.
Pada Gambar 15b, gula pereduksi mengalami penurunan cenderung
landai dengan turunnya nilai pH pada konsentrasi inhibitor tinggi. Jumlah gula
pereduksi naik tajam seiring turunnya konsentrasi inhibitor pada nilai pH
rendah. Jadi jumlah gula pereduksi tertinggi pada nilai pH rendah dengan
konsentrasi inhibitor rendah, sedangkan nilai gula pereduksi terendah saat
nilai pH tinggi dengan konsentrasi inhibitor rendah.
Respon untuk interaksi antara faktor suhu dan inhibitor terhadap jumlah
gula pereduksi dengan nilai pH tetap disajikan pada Gambar 16. Pada Gambar
16a dapat diketahui jumlah gula pereduksi menurun dengan tajam seiring
dengan kenaikan suhu reaksi pada konsentrasi inhibitor rendah. Namun pada
suhu tinggi gula pereduksi mengalami kenaikan tidak begitu tajam seiring
naiknya konsentrasi inhibitor. Jumlah gula pereduksi maksimum terjadi pada
saat konsentrasi inhibitor rendah dengan suhu reaksi yang diberikan juga
rendah. Sehingga nilai minimum gula pereduksi tercapai pada saat diberikan
inhibitor berupa akar kawao (Millettia sericea) pada konsentrasi tinggi dan
dicapai juga saat diberikan suhu reaksi yang tinggi.
1400 1000 600 200 -200
1400 1000 600 200 -200
(a) (b)
Gambar 16. Permukaan respon dari gula pereduksi pada nilai pH tetap, (a) sisi pada inhibitor rendah dan sisi pada suhu tinggi, (b) sisi pada inhibitor tinggi dan sisi pada suhu rendah
Berdasarkan Gambar 16b, gula pereduksi menurun agak landai pada
konsentrasi inhibitor tinggi seiring turunnya suhu. Namun pada suhu rendah
gula pereduksi naik dengan tajam sejalan turunnya konsentrasi inhibitor yang
diberikan.
V. KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Laju degradasi sukrosa oleh invertase dapat dihambat dengan
mengoptimumkan faktor yang berpengaruh pada aktivitas invertase. Faktor
yang berpengaruh terhadap jumlah gula pereduksi adalah suhu reaksi, pH dan
konsentrasi inhibitor berupa akar kawao (Milletia sericea). Suhu reaksi
berpengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa pada tingkat signifikansi
95,48 persen. pH berpengaruh negatif terhadap laju degradasi sukrosa pada
tingkat signifikansi 99,69 persen dan konsentrasi inhibitor akar kawao
berpengaruh negatif pada tingkat signifikansi 98,35 persen. Namun faktor
waktu berpengaruh positif pada tingkat signifikansi 98,1 persen.
Interaksi antara suhu dengan pH berpengaruh positif pada tingkat
signifikasi 99,6%. Interaksi antara pH dan konsentrasi inhibitor akar kawao
(Milletia sericea) berpengaruh positif pada tingkat signifikasi 96,69%.
Interaksi antara pH dan waktu berpengaruh positif pada tingkat signifikansi
95,31%. Interaksi antara suhu dan konsentrasi inhibitor berpengaruh negatif
pada tingkat signifikansi 94,93%. Interaksi antara waktu dan konsentrasi
inhibitor akar kawao (Milletia sericea) berpengaruh negatif pada tingkat
signifikansi 91,5 %.
Hasil pendugaan nilai terendah dari jumlah gula pereduksi yang
menunjukkan penurunan laju degradasi sukrosa sebesar 155,1 µM dihasilkan
dengan nilai faktor reaksi suhu 72,48°C, pH 6,19 dan konsentrasi akar kawao
(Milletia sericea) sebesar 3,49 g. Hasil analisis canonical terhadap permukaan
respon diketahui bahwa model permukaan respon berbentuk sadel (saddle
point). Hal tersebut menyebabkan nilai optimum tidak dapat ditentukan dari
model permukaan respon. Model dari permukaan respon yang menghasilkan
nilai tersebut adalah
Y = 310,5725 - 199,914X1 - 359,399X2 – 124,74X3 + 144,629 X12 + 711,813
X1X2 + 193,514 X22 + 434,28 X3X1 + 515,516 X3X2 + 106,36 X3
2
B. SARAN
Dalam penelitian ini, penentuan bahan aktif inhibitor (alkaloid,
flavonoid, glikosida dan lain-lain) dari akar kawao (Milletia sericea) yang
dapat menghambat aktivitas invertase dan proses pemurniannya belum dikaji
lebih mendalam, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut.
Dengan mengetahui kandungan bahan aktif yang dapat menghambat aktivitas
invertase diharapkan dapat diaplikaskan di industri dengan memproduksi
sendiri bahan tersebut dan menerapkannya untuk menghambat laju degradasi
sukrosa pada proses pembuatan gula kristal.
DAFTAR PUSTAKA Causette, M., A. Gaunand., H. Planche., P. Monsan., dan B. Lindet. 1998.
Inactivation of Enzymes by Inert Gas Bubbling. Enzyme Engineering XIV. Vol. 864. New York.
Cavaille, D. dan D. Combes. 1996. High Pressure and Temperature: How to
Diactivate Enzymes in Two Different Ways. Enzyme Engineering XIII. Vol. 799. New York.
Chaplin, M.F and C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University
Press, New York. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Tinjauan Perkembangan Industri
Gula Tebu Nasional dan Kebijakannya. Sekretariat Dewan Gula Indonesia-Dirjen Perkebunan, Jakarta.
Ewing, E. E., M. Devlin, D. A. Mcneill, M. H. McAdoo and A. M. Hedges. 1977.
Changes in Potato Tuber Invertase and Its Endogenous Inhibitor After Slicing, Including a Study of Assay Methods. J. Plant Physiol. , 49 : 925-929).
Filho, U. C., C. E Hori,. dan E. J Ribeiro,. 1999. Influence of the Reaction Products in the Inversion of Sucrose by Invertase. Brazilian J. Chem Eng, 16 (2).
Flickinger, M. C. dan S. W. Drew. 1999. Kinetics and Stoichiometry (Growth,
Enzymes). Encyclopedia of Bioprocess Technology : Fermentation, Biocatalysis and Bioseparation. John Wiley and Sons, Inc., New York.
Foyer, C., A. Kingston-Smith and C. Pollock. 1997. Sucrose and Invertase, an
Uneasy Alliance. Iger Innovation:17-21. Greiner, S., S. Krausgrill dan T. Rausch. 1998. Cloning of Tobacco Apoplasmic
Invertase Inhibitor. J. Plant Physiol. February 1;116(2):733-742. Hakim, L. 2005. Inhibisi Formula Ekstrak Sidaguri (Sida rumbifalia) dan Seledri
(Apium gravealens) Pada Enzim Xantin Oksidase Serta Efek Anti Inflamasi. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Padmawinata K, Soediro I. Penerjemah. Terjemahan dari : Phytochemical Method. ITB, Bandung.
Harborne, J. B. 1987. Phytochemical Methods. 2nd ed. Terjemahan: Metode
Fitokimia oleh Padmawinata, K dan I. Soediro. ITB, Bandung.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, Jakarta.
Iswantini, D., Purwatiningsih, Saprudin. 2003. Kajian Potensi Senyawa Flavonoid
Dari Temu Putih Sebagai Antikanker Secara Enzimatis. Laporan Penelitian. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Judoamidjojo, R., E. Mulyono, E. G. Said dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi.
Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB, Bogor. Lehninger, A.L. 1995. Dasar-dasar Biokimia (terjemahan). Erlangga, Jakarta. Lehninger, A.L.1988. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1. Terjemahan. Penerjemah :
Maggy Thenawidjaja. Erlangga. Jakarta. Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida dan Alkaloida. Universitas
Sumatra Utara. Martin, D. W., P. A. Mayes, V. W. Rodwell and Associate Autors. 1981. Harper’s
Review of Biochemistry. 18th edition. Lange Medical Publications, California.
Nam-Soo, K, Kim, S. 1991. Some molecular characteristic and improving method
for thermal stabillity of enzyme. Kor J Appl Microbiol Biotech 19:100-108.
NCBE Enzyme for Education. 2004. Invertase Preparation. J. The United
Kingdom. Pan, Q.H, K.Q Zou, C.C Peng, X.L Wang and D.P Zhang. 2005. Purification,
Biochemical and Immunological Characterization of Acid Invertase from Apple Fruit. Journal of Integrative Plant Biol, 47(1); 50-59.
Page, S. D. 1989. Prinsip-prinsip Biokimia. Terjemahan. Jakarta. Pancoast, H. M. dan W. R. Junk. 1980. Handbook of Sugar. Second Edition. AVI
Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Pelczar, MJ dan CS Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Edisi 1. Terjemahan
SR Hadioetomo, Imas T, Angka LS. UI Press, Jakarta. Pressey, R and R. Shaw. 1966. Effect of Temperature on Invertase, Invertase
Inhibitor, and Sugars in Potato Tubers. Journal of Plant Physiol. P 1657-1661.
Pennington, N.L and C. W. Baker. 1990. Sugar A User’s Guide to Sucrose. Van
Nostrand Reinhold, New York.
Rahman, M., P.K. Sen., F.M. Hasan., S.M.A. Miah, dan H.M. Rahman. 2004. Purification and Characterization of Invertase Enzyme from Sugarcane. Pakistan J Biol Sci, 7 (3) : 340-345.
Robinson, T. 1993. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi ke-6.
Terjemahan Kosasin Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung. Salim. 2006. Penentuan Daya Inhibisi Ekstrak Air dan Etanol Daging Buah
Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerf) Terhadap Aktivitas Enzim Tirosin Kinase Secara In Vitro. Skripsi. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sekretariat Dewan Katahanan Pangan. 2003. Ekonomi Gula 11 Negara Pemain
Utama Dunia: Kajian Komparasi dan Perspektif Indonesia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.
Setiawan, M. P. 2006. Inhibisi Ekstrak Air dan Etanol Sambiloto (Andrographis
paniculata [Burm.f.] Nees) Terhadap Aktivitas Tirosin Kinase. Skripsi. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB, Bogor.
Simanjuntak, M.T. 2006. Pengantar Kinetika Enzim. Diktat Kuliah Biokimia.
Departemen Farmasi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatra Utara, Medan.
Suryani, A dan J. Mangunwidjaya. 2002. Rekayasa Proses. Jurusan Teknologi
Industri Pertanian, Fateta, IPB. Bogor. Stauffer, C. E. 1989. Enzyme Assays for Food Scientists. Van Nostrand Reinhold,
New York Trojanowicz, M., D. Compagnone, C. Goncales, Z. Jonca, dan G. Palleschi. 2004.
Limitations in The Analytical Use of Invertase Inhibition for the Screening of Trace Mercury Content in Environmental Samples. J. Anal Sci, 20.
Vickery, M. C. dan B. Vickery. 1981. Secondary Plant Metabolism. University
Park Press, Baltimore. Wang, N.S. 2004. Enzyme Kinetics of Invertase Via Initial Rate Determination.
Department of Chemical Engineering. University of Maryland. Collage Park MD 20742-2111.
Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta.
Lampiran 1. Data Hasil Analisis Gula Pereduksi
Suhu °C (X1) pH (X2) Inhibitor (gr) (X3) Waktu (X4) Jumlah gula pereduksi
(µmol) 60 5 0,875 40 1874 60 5 0,875 100 3976,5 60 5 3,5 100 1917,75 60 8 3,5 100 232,75 80 5 0,875 40 409 80 5 0,875 100 617,75 80 5 3,5 100 594 80 8 3,5 100 439 80 8 3,5 40 329 80 8 0,875 40 116,5 80 5 3,5 40 346,5 80 8 0,875 100 135,25 60 8 0,875 100 102,75 60 8 3,5 40 160,25 60 5 3,5 40 731,5 60 8 0,875 40 101,5 70 6,5 2,1875 70 212,75 70 6,5 2,1875 70 257,75
Lampiran 2. Hasil analisis statistik hasil gula pereduksi pada penelitian utama
Lampiran 2a. Hasil statistik pengaruh linier variabel terhadap jumlah gula
pereduksi menggunakan SAS
Respon permukaan untuk Variabel Y: respon (Gula Pereduksi)
Rata-rata Respon 697.472 Root MSE 445.235 R2 0.9272 Koef. Variasi 63.836
Lampiran 2b. Hasil analisis ragam dari SAS pada hubungan regresi terhadap
respon
Regresi Derajat bebas
Jumlah kuadrat
R2 F-Ratio Prob>F
Linier 4 8619166 0.5272 10.870 0.0065 Kuadratik 1 480711 0.0294 2.425 0.1704 Antar faktor 6 6058620 0.3706 5.094 0.0340 Total regresi 11 15158498 0.9272 6.952 0.0134
Lampiran 2c. Hasil analisis residual dari SAS, pengaruh perlakuan terhadap gula
pereduksi
Regresi Derajat bebas Jumlah kuadrat
R2 F ratio Prob>F
Lack of fit 5 1188391 237678 234.7 0.0495 Pure error 1 1012.5 1012.5 Total error 6 1189404 198234
Lampiran 3a. Hasil analisis ragam dari SAS, pengaruh perlakuan terhadap gula
pereduksi pada nilai T
Parameter Derajat bebas
Pendugaan parameter
Standar deviasi
T pada H0 Parameter=0
Prob>[T] Pendugaan dari data berkode
Intersep 1 42729 16660 2.565 0.0426 235.25 Suhu X1 1 -949.906 471.192 -2.016 0.09 -381.875 pH X2 1 -2330.139 566.216 -4.11 0.0062 -553.125 Inhibitor X3 1 -2014.881 730.629 -2.758 0.033 -161.406 X4 1 83.193 31.386 2.651 0.038 246.719 X1*X1 1 5.2 3.339 1.557 0.1704 520 X2*X1 1 28.979 7.421 3.905 0.0079 434.6875 X2*X2 0 0 . . . 0 X3*X1 1 16.393 8.481 1.933 0.1014 215.156 X3*X2 1 126.746 56.538 2.242 0.0662 249.531 X3*X3 0 0 . . . 0 X4*X1 1 -0.5786 0.371 -1.56 0.1699 -173.594 X4*X2 1 -4.920 2.474 -1.989 0.094 -221.406 X4*X3 1 -1.135 2.827 -0.401 0.702 -44.6875 X4*X4 0 0 . . . 0
Lampiran 3b. Hasil analisis ragam dari SAS, pengaruh perlakuan terhadap gula
pereduksi pada nilai F
Parameter Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F rasio Prob>F
Suhu (X1) 5 7060051 1412010 7.123 0.0166 pH (X2) 4 9698993 2424748 12.232 0.0048 Inhibitor (X3) 4 2185712 546428 2.756 0.1288 Waktu (X4) 4 2272362 568091 2.866 0.1204
Lampiran 4. Hasil analisis gula pereduksi pada kondisi optimasi
Suhu (°C) pH Inhibitor (gr) Gula Pereduksi (µmol) 60 5 0,875 1874,000 80 5 0,875 409,000 80 8 3,5 329,000 80 8 0,875 116,500 80 5 3,5 346,500 60 8 3,5 160,250 60 5 3,5 731,500 60 8 0,875 101,500 70 6,5 2,1875 212,750 70 6,5 2,1875 257,750
86,8 6,5 2,1875 57,227 53,2 6,5 2,1875 43,818 70 9 2,1875 37,455 70 4 2,1875 213,364 70 6,5 0 63,36470 6,5 4,4 15,182
Lampiran 5a. Hasil statistik pengaruh optimasi terhadap gula pereduksi
menggunakan SAS
Permukaan respon untuk Variabel Y: respon
Rata-rata respon 310.572500 Root MSE 442.786987 R2 0.6226 Koef. Variasi 142.5712
Lampiran 5b. Hasil analisis ragam dari SAS pada data hubungan regresi respon
Regresi Derajat bebas Jumlah kuadrat R2 F-Ratio Prob>F Linier 3 915007 0.2936 1.556 0.2948 Kuadratik 3 45819 0.0147 0.0779 0.9697 Antar faktor 3 979699 0.3143 1.666 0.2721 Total regresi 9 1940526 0.6226 1.1 0.4711
Lampiran 5c. Hasil analisis residual dari SAS, pengaruh pelakuan terhadap gula
pereduksi pada nilai F
Regresi Derajat bebas Jumlah kuadrat R2 F ratio Prob>F Lack of fit 5 1175349 235070 232.2 0.0498 Pure error 1 1012.5 1012.5 Total error 6 1176362 196060
Lampiran 5d. Hasil analisis ragam dari SAS, pengaruh perlakuan terhadap gula
pereduksi pada nilai T
Parameter Derajat bebas
Pendugaan parameter
Standar deviasi
T pada H0 Parameter=0
Prob>[T] Pendugaan dari data berkode
Intersep 1 16342 10095 1.619 0.1566 184.068992 Suhu X1 1 -204.771 216.422 -0.946 0.3806 -199.913952 pH X2 1 -1938.8295 1138.129 -1.704 0.1394 -359.398596 Inhibitor X3 1 -1585.137 1053.912 -1.504 0.1833 -124.740202 X1*X1 1 0.40614 1.45357 0.279 0.7893 114.629073 X2*X1 1 16.94792 10.43659 1.624 0.1555 711.812500 X2*X2 1 30.96227 65.4946 0.473 0.6531 193.514206 X3*X1 1 11.7500 11.9275 0.985 0.3626 434.280000 X3*X2 1 93.7302 79.5169 1.179 0.2831 515.515873 X3*X3 1 21.9752 84.7055 0.259 0.8040 106.359984
Lampiran 6. Hasil Optimasi Pengaruh Faktor Reaksi Terhadap Gula Pereduksi
Canonical Analysis of Response Surface (based on coded data)
Critical Value Factor Coded Uncoded
X1 0.147874 72.484290 suhu X2 -0.124632 6.188421 pH X3 0.586550 3.490409 inhbtor
Predicted value at stationary point 155.100946
Eigenvectors Eigenvalues X1 X2 X3 702.546101 0.576588 0.652280 0.492012 -83.354128 -0.381979 -0.317120 0.868059 -204.688710 0.722245 -0.688451 0.066310
Stationary point is a saddle point.
Estimated Ridge of Maximum Response for Variable Y: gl_prdks Coded Radius
Estimated Response
Standard Error
Uncoded Factor Values X1 X2 X3
0.0 184.068992 311.872206 70.000000 6.500000 2.200000 0.1 233.540837 309.585364 69.153210 6.302287 2.123633 0.2 296.465544 302.860396 68.240286 6.118720 2.032906 0.3 373.168319 292.399936 67.302180 5.942265 1.935619 0.4 463.776028 279.560126 66.352402 5.769797 1.834854 0.5 568.347644 266.616456 65.396413 5.599773 1.732036 0.6 686.914193 257.062265 64.436776 5.431352 1.627907 0.7 819.493523 255.609164 63.474834 5.264037 1.522892 0.8 966.096628 267.286084 62.511352 5.097517 1.417248 0.9 1126.730648 295.619785 61.546794 4.931589 1.311143 1.0 1301.400421 341.433031 60.581458 4.766112 1.204690
Lampiran 7. Metode Uji Fitokimia (Harborne, 1996)
Uji Alkaloid
Sebanyak 1 gram ekstrak dilarutkan dengan kloroform dan beberapa tetes
NH4OH kemudian disaring dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak kloroform
dalam tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M lalu lapisan asamnya
dipisahkan dalam tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini diteteskan pada
lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Dragendorf, Mayer dan Wagner yang
akan menimbulkan endapan dengan warna berturut-turut merah jingga, putih dan
coklat.
Uji Flavonoid
Sebanyak 5 ml filtrat ditambahkan serbuk magnesium (0.5 gram). 1 ml
alkohol klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol 95% dengan volume sama),
dan amil alkohol, kemudian dikocok kuat-kuat. Terbentuknya warna merah,
kuning, dan jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya golongan
flavonoid.
Sebanyak 1 ml ekstrak ditambah dengan 1 ml metanol 95%, 0.5 g Zn dan 2
tetes HCl 2N, didiamkan selama 2 menit lalu ditambah 1 ml HCl pekat. Uji akan
positif untuk glikosida flavonoid bila dalam 2-5 menit terbentuk warna merah
intensif.
Uji Terpenoid dan Steroid
Sebanyak 2 gram ekstrak tanaman dilarutkan dengan 25 ml etanol panas
(50°C) kemudian disaring ke dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai kering.
Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan ke dalam lempeng tetes
lalu ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan 1 tetes H2SO4 pekat (uji
Lieberman-Bunchard). Warna merah atau ungu menunjukkan kandungan
terpenoid, sedangkan warna hijau atau biru menunjukkan kandungan steroid.
Uji Saponin
Sebanyak 1 gram ekstrak tanaman dimasukkan ke dalam gelas piala dan
ditambahkan 100 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit kemudian disaring.
Selanjutnya filtrat digunakan untuk pengujian. Uji saponin dilakukan dengan
pengocokan 10 ml filtrat ke dalam tabung tertutup selama 10 menit. Timbulnya
busa hingga selang waktu 10 menit (buih stabil) menunjukkan adanya saponin.
Uji Tanin
Sebanyak 1 gram ekstrak tanaman ditambahkan 100 ml air panas, dididihkan
selama 5 menit dan disaring. Sebagian filtrat ditambahkan FeCl3. Terbentuknya
warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapatnya tanin.
Lampiran 8. Metode pembuatan pereaksi uji fitokimia
Pereaksi Dragendorff
Bismut subnitrat (basic), BiNO3(OH)2BiO(OH) ditimbang sebanyak 0.85
gram, kemudian dilarutkan dalam pelarut campuran CH3COOH glasial 10 ml
dengan 40 ml H2O. Campuran ini kemudian ditambahkan larutan KI (KI sebesar 8
gram dilarutkan dalam 20 ml H2O).
Pereaksi Mayer
HgCl2 ditimbang sebanyak 1,3 gram kemudian dilarutkan dalam 30 ml H2O
dan dihomogenkan (larutan 1). KI ditimbang sebesar 5 gram lalu dilarutkan
kedalam 30 ml H2O kemudian dihomogenkan (laruitan 2). Larutan 1 dan 2
kemudian dimasukkan kedalam labu takar 100 ml dan ditambahkan H2O hingga
tanda tera. Pereaksi ini disimpan dalam botol coklat atau berwarna untuk
menghindari kerusakan.
Pereaksi Wagner
KI ditimbang sebesar 2 gram dan I2 ditimbang sebanyak 2,5 gram.
Keduanya dimasukkan kedalam gelas piala dan ditambahkan H2O sebanyak 100
ml lalu dihomogenkan. Setelah itu, larutan disaring dan disimpan dalam botol
coklat atau berwarna.
Pereaksi Lieberman-Burchard
Asam sulfat pekat dipipet sebanyak 5,0 ml lalu dimasukkan ke dalam gelas
piala dan disimpan dalam penangas es (dalam keadaan dingin). Setelah itu
ditambahkan asam asetat anhidrat sebesar 5,0 ml dan volume akhir dijadikan 50
ml dengan pelarut etanol p.a(∼ 40 ml etanol p.a).
Lampiran 9. Gambar Pohon dan Akar Kawao (Milletia sericea)
batang
daun
akar
akar
Recommended