1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Flu biasa (common-cold), salesma atau batuk pilek adalah infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) yang sangat umum diderita oleh
masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA di
Indonesia adalah 25,5% (kisaran 17,5–41,4%); masyarakat umumnya
mampu mengenali sendiri gejala flu, salesma atau batuk-pilek yang khas
seperti pilek/hidung berair (rhinorrhoea), hidung tersumbat, tenggorokan
sakit dan sakit kepala. Flu, salesma atau batuk pilek sebagian besar (90%)
disebabkan oleh virus saluran pernapasan, umumnya rhinovirus, dan pen-
derita dapat sembuh sendiri (self limiting disease) bergantung pada daya
tahan tubuhnya (Gitawati, 2014).
Lebih dari 83% penderita flu atau salesma seringkali disertai den-
gan batuk akut. Gejala batuk inilah yang paling sering dikeluhkan oleh
pasien rawat jalan saat berobat ke dokter atau puskesmas untuk gejala flu,
kemungkinan karena gejala batuk adalah yang paling dirasakan sangat
mengganggu kualitas hidup keseharian penderita flu (Gitawati, 2014)
Batuk merupakan refleks fisiologis baik waktu sehat maupun sakit
yang bermanfaat untuk mengeluarkan dan membersihkan saluran perna-
pasan dari dahak, zat-zat asing, dan unsur infeksi. Batuk disebabkan oleh
iritasi mekanik dari respon sensorik di larings, di dinding posterior trachea
dan di cabang atas bronkhus. Batuk juga terjadi bila ada iritasi kimia pada
2
reseptor sensorik di saluran terhalus pada saluran udara (Alam et al.,
2012). Klasifikasi batuk bermacam-macam tetapi umumnya dibagi dalam
kelompok besar yaitu batuk akut dan batuk kronik. Klasifikasi batuk kro-
nik bervariasi, ada yang menyatakan batuk kronik adalah batuk yang
berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu, ada yang mengambil
batasan 3 minggu, bahkan 4 minggu. Unit Kerja Koordinasi Respirologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) membuat batasan
batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2
minggu sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang dari
2 minggu. Selain batuk kronik dikenal istilah batuk kronik berulang (BKB)
yaitu batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu dan/
atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut (Supriyatno,
2010).
Untuk mengatasi batuk dapat dilakukan dengan berbagai cara, an-
tara lain dengan tanpa pemberian obat bagi penderita-penderita dengan
batuk tanpa gangguan yang disebabkan oleh penyakit akut, batuk yang di-
alami akan sembuh sendiri, dan biasanya tidak perlu pengobatan. Yang ke-
dua adalah dengan pengobatan yang secara spesifik ditujukan terhadap
penyebab timbulnya batuk, dan yang ketiga adalah dengan pengobatan
simptomatik, yang diberikan kepada penderita yang tidak ditentukan
penyebab batuknya atau kepada penderita yang batuknya dapat menim-
bulkan komplikasi. Obat yang biasa digunakan untuk pengobatan simp-
tomatik biasanya adalah jenis obat yang menurut kategori far-
3
makologiknya seperti antitusif, ekspektoran, dan mukolitik (Alam et al.,
2012)
Diketahui bahwa obat batuk tidak bisa disamaratakan untuk semua
jenis batuk yang diderita. Ekspektoran untuk merangsang dahak dikelu-
arkan dari saluran pernafasan, mukolitik untuk mengencerkan dahak, dan
antitusif untuk obat menekan refleks batuk. Ekspektoran dan mukolitik
diberikan kepada penderita batuk yang berdahak, sedangkan antitusif akan
diberikan kepada penderita batuk yang tidak berdahak (Meriati, Goenawi,
dan Wiyono, 2013)
Dekstrometorfan merupakan salah satu obat batuk supressan (anti-
tusif) yang telah banyak digunakan di dunia sejak tahun 1958 untuk
menggantikan penggunaan kodein fosfat karena struktur dextrometorfan
ada kesamaan dengan morfin dan kodein tetapi dextrometorfan tidak
memiliki efek analgesik dan efek sedatifnya ringan. Dextrometorfan
banyak dijumpai pada sediaan obat batuk dan flu dengan mekanisme
menekan batuk melalui peningkatan ambang batuk secara sentral di
medulla. Dosis rentang yang aman lebih tinggi dari dosis kodein (Bonauli
dan Bhima, 2010; Pujiarto, 2014).
Zat aktif ini selain banyak digunakan pada obat batuk tunggal juga
digunakan pada obat flu kombinasi dengan zat aktif lain seperti fenilefrin,
paracetamol, dan klorfeniramin maleat. Obat yang mengandung dek-
strometorfan tersedia di pasar dalam berbagai bentuk sediaan seperti sirup,
tablet, spray, dan lozenges (Badan POM RI, 2012).
4
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui secara umum obat Dekstrometorfan
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui sifat fisiko kimia dan rumus kimia obat Dekstrometor-
fan.
b. Mengetahui farmakologi umum obat Dekstrometorfan.
c. Mengetahui Farmakodinamik Dekstrometorfan.
d. Mengetahui Farmakokinetik Dekstrometorfan.
e. Mengetahui Toksisitas Dekstrometorfan.
C. Manfaat
1. Manfaat akademik
Untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang farmasi, serta menge-
tahui sediaan, mekanisme kerja, farmakodinamik dan farmakokinetik
serta efek samping dan toksisitas Dekstrometorfan.
2. Manfaat bagi masyarakat
Memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai
pentingnya edukasi dan informasi golongan Antitusif khususnya Dek-
strometorfan.
6
BAB II
FARMASI - FARMAKOLOGI
A. Sifat Fisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat
Dekstrometorfan yang memiliki nama kimia (+)-3-methoxy-17-
methyl-(9α,13α,14α)-morphinan
menurut aturan International Union
of Pure and Applied Chemistry (IU-
PAC) dan struktur kimia C18H25NO
ini tersedia dalam beberapa bentuk
sediaan, antara lain tablet, kapsul,
sirup, dan suspense dalam bentuk
dekstrometorfan hidrobomida. Sifat fisikokimia dekstrometorfan adalah
serbuk berbentuk kristal berwarna putih sampai sedikit kekuningan, tidak
berbau, larut dalam air maupun etanol, dan tidak larut dalam eter (Bonauli,
Bhima, 2010).
7
B. Farmakologi Umum
Dekstrometorfan, salah satu antitusif tersering sebagai komponen
obat flu yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Dekstrometorfan adalah D-
isomer dari kodein dan mekanisme farmakologik sebagai antitusif serupa
kodein, yakni bekerja menekan pusat batuk di medulla otak. Pada dosis
tinggi dapat bersifat adiktif seperti halnya narkotika, akan tetapi dek-
strometorfan tidak memiliki efek analgesik dan relatif aman jika digu-
nakan pada dosis terapi yang direkomendasikan. Meskipun demikian, hasil
meta-analisis menunjukkan sebagai antitusif dekstrometorfan secara klinis
manfaatnya kurang. Antitusif tidak boleh diberikan pada batuk yang pro-
duktif (berdahak) karena supresi batuk akan menghambat pengeluaran da-
hak. Dosis dekstrometorfan pada orang dewasa yang dianjurkan adalah
maksimal <120 mg/hari, dan dalam preparat obat flu kombinasi umumnya
berkisar antara 2,5–15 mg per dosis, 4–6 jam per hari. (Gitawati, 2014).
Dekstrometorfan memiliki efek halusinogen. Zat yang memiliki
peran dalam mengakibatkan efek halusinogen ini adalah metabolit aktif
dari dekstrometorfan yaitu dekstrorfan (3-hydroxy-17-methylmorphinan).
Dekstrorfan dapat terikat dengan afinitas lemah dengan reseptor opioid
tipe sigma dan terikat dengan afinitas kuat dengan reseptor NMDA (N-
methyl-D-aspartate). (Klein et al., 1989; Murray et al., 1984); (Franklin et
al., 1992).
8
C. Farmakodinamika
1. Khasiat
Derivat-fenantren ini berkhasiat menekan batuk, yang sama kuat-
nya dengan kodein, tetapi bertahan lebih lama dan tidak bersifat anal-
getis, sedative, sembelit, atau adiktif. Dekstrometorfan adalah zat aktif
dalam bentuk serbuk berwarna putih, yang memiliki khasiat sebagai
antitusif atau penekan batuk (Badan POM RI, 2012)
2. Kegunaan terapi
Penekan batuk cukup kuat kecuali untuk batuk akut yang berat
3. Kontra indikasi
a. Hipersensitif terhadap dekstromethrofan
b. Diberikan bersama dengan monoamine oxidase inhibitors.
D. Farmakokinetik
Dekstrometorfan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral
dengan kadar serum maksimal dicapai dalam 2,5 jam. Onset efeknya
cepat, seringkali 15-30 menit setelah pemberian oral. Belum ada penelitian
tentang distribusi volume dekstrometorfan pada manusia, akan tetapi
penelitian oleh Silvasti et al. (1989) yang dilakukan pada anjing, distribusi
volume dekstrometorfan berkisar antara 5,0-6,4 L/kg. Waktu paruh obat
ini bervariasi secara individual, dari 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 3-6
jam dengan bioavailabilitas 11%. Metabolisme dan ekskresinya sama den-
gan kodein, yaitu dimetabolisme di hati lalu diekskresi melalui urin dalam
bentuk tak aktif. Metabolisme dekstrometorfan telah diketahui dengan
9
baik dan telah diterima secara luas bahwa aktivitas terapeutik dekstrome-
torfan ditentukan oleh metabolit aktifnya yaitu dextrorphan. Dekstrometor-
fan mengalami metabolisme di hepar oleh enzim sitokrom P-450 dan di-
ubah menjadi dextrorphan yang mempunyai derivat lebih aktif dan poten
sebagai antagonis NMDA. de (Schadel et al., 1995; Pujiarto, 2014)
Dekstrometorfan tidak bekerja pada reseptor opioid tipe mu dan
delta seperti jenis levoisomer, tetapi bekerja pada reseptor tipe sigma
(Badan POM RI, 2012).
E. Toksisitas
1. Efek samping, toksisitas dan gejala toksisitas
Pada penggunaan dengan dosis lazim efek samping yang pernah
muncul seperti mengantuk, pusing, nausea, gangguan pencernaan, ke-
sulitan dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan teng-
gorok. Sebagaimana halnya dengan kodein, dekstrometorfan bisa
menyebabkan pelepasan histamin pada orang yang sensitif. Pada dosis
tinggi, bisa menyebabkan depresi SSP. Dua penelitian mengemukakan
intoksikasi dekstrometorfan yaitu ataksia, nistagmus dan gangguan ke-
sadaran (Badan POM RI, 2012; Pujiarto, 2014).
Pada dosis 5-10 kali lebih besar dari dosis yang lazim, efek samp-
ing yang timbul menyerupai efek samping yang diamati pada penggu-
naan ketamin atau PCP, dan efek ini meliputi: kebingungan, keadaan
seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan
pergerakan, disorientasi, keadaan pingsan, mengantuk (Schwartz,
2005; Siu et al., 2007).
10
2. Penanggulangannya
Tidak ada antidot khusus untuk intoksikasi dekstrometorfan.
Arang diketahui dapat menyerap opiat dan diharapkan dapat mengikat
dekstrometorfan. Prosedur standar lainnya yang juga diharapkan mem-
berikan hasil efektif untuk mengurangi penyerapan dekstrometorfan
dari saluran pencernaan jika dilakukan tepat waktu adalah dengan
melakukan emesis atau bilas lambung (Badan POM RI, 2012).
Penggunaan nalokson untuk menangani keracunan dekstrometor-
fan masih diperdebatkan karena bertentangan dengan laporan tentang
keefektivitasannya. Walaupun tidak ada kontradiksi dalam penggunaan
nalokson, kemampuannya untuk menangani gejala dari keracunan dek-
strometorfan masih dipertanyakan. Ketika digunakan, nalokson se-
baiknya diberikan pada dosis standard yang direkomendasikan untuk
penanganan asupan opioid. (0.4–2 mg I.V. diulangi tiap 2–3 menit
hingga respon dicapai pada dosis maksimum 10 mg). Proses detoksi-
fikasi tetap perlu dilakukan pada pasien dengan riwayat penyalahgu-
naan dekstrometorfan kronis (Badan POM RI, 2012).
Toksisitas bromida akut dapat terjadi pada kasus penyalahgunaan
dekstrometorfan HBr meskipun sangat jarang dan sedikit disebutkan
dalam literatur. Biasanya toksisitas bromida terjadi ketika kadar bro-
mida pada serum lebih besar daripada 50-100 mg/dl. Toksisitas akut
dapat dihubungkan dengan adanya depresi sistem saraf pusat,
hipotensi, dan takikardia. Konsumsi kronis dapat mengakibatkan sin-
drom “bromism”, yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku, ir-
11
itabilitas, dan letargi. Tidak ada antidot khusus untuk menangani tok-
sisitas bromida. Untuk menangani kasus keracunan bromida biasanya
digunakan metode hidrasi dengan menggunakan larutan saline untuk
mendorong ekskresi melalui urin, dan pada kasus yang parah digu-
nakan metode hemodialisis (Badan POM RI, 2012).
12
BAB III
PEMBAHASAN ATAU DISKUSI
A. Penggunaan Dekstrometorfan sebagai Obat Batuk Pilek pada Anak
Batuk pilek merupakan penyakit yang menyerang baik anak
maupun dewasa. Pada anak, batuk pilek banyak terjadi pada usia di bawah
6 tahun. Rata-rata setiap anak mengalami 6 hingga 8 kali keluhan setiap
tahunnya. Gejala terbanyak dialami anak yang diberi obat batuk pilek
adalah batuk berdahak (47,2%), hidung berair/tersumbat (47,2%), demam
(34,9%), batuk kering (30,2%) (Soedibyo, Yulianto dan Wardhana, 2013).
Obat over the counter (OTC), atau obat yang dijual bebas untuk
keluhan batuk pilek, banyak digunakan oleh orang tua untuk mengatasi
keluhan batuk pilek, banyak tersedia untuk anak dengan berbagai macam
kombinasi. Salah satu kandungannya yaitu adalah dekstometorfan. Mary
dkk pada studi postmortem bayi usia 17 hari hingga 10 bulan di Arizona,
didapatkan sepuluh kematian bayi diidentifikasi berkaitan dengan penggu-
naan obat batuk pilek yang mengandung pseudoefedrin, antihistamin, dan
dekstrometorfan (Soedibyo, Yulianto dan Wardhana, 2013).
Beberapa tahun terakhir ini, penggunaan obat batuk pilek untuk
bayi dan anak mendapat pengawasan yang ketat. Selama 20 tahun terakhir,
123 kematian terjadi pada anak yang berusia di bawah 6 tahun diakibatkan
oleh penggunaan obat batuk pilek OTC. Risiko kecelakaan akibat overdo-
sis/kelebihan dosis dan efek merugikan disebabkan oleh banyak faktor. Pe-
doman dosis obat batuk pilek anak sampai saat ini belum terstandarisasi.
13
Dosis anak yang ada saat ini diperoleh dari ekstrapolasi dosis dewasa se-
hingga adanya produk OTC dengan berbagai komposisi kombinasi mem-
permudah timbulnya overdosis/kelebihan dosis. Hal tersebut juga diaki-
batkan karena kurangnya pemahaman/ketidaktahuan orang tua terhadap
obat yang diberikan pada anaknya (Soedibyo, Yulianto dan Wardhana,
2013).
Hasil penelitian mengenai profil penggunaan obat batuk pilek be-
bas pada pasien anak umur dibawah 6 tahun, Soedibyo, Yulianto dan
Wardhana (2013) menunjukkan bahwa “obat batuk pilek terbanyak digu-
nakan adalah obat batuk pilek kombinasi dengan komposisi utama
meliputi klorfeniramin maleat (58,8%), parasetamol (56,5%), gliceryl
guaicolate (50,6%), pseudoefedrin (28,2%), dextromethorphan (22,4%)
dan bromhexine (9,4%).” Batuk sebagai refleks fisiologis anak merupakan
salah satu mekanisme tubuh untuk membersihkan saluran napas dan paru-
paru. Penekanan reflex batuk mungkin dapat memiliki efek yang berba-
haya. Dextromethorphan merupakan antitusif yang bekerja secara sentral,
menekan pusat batuk di susunan saraf pusat. Antitusif merupakan obat su-
portif lain yang diberikan pada batuk kronik tetapi penggunaan antitusif
terutama bagi anak-anak harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pembe-
rian antitusif justru akan membuat sputum tidak dapat keluar karena
menekan refleks batuk yang dibutuhkan untuk mengeluarkan sputum se-
lain antitusif pun dapat menurunkan kerja silia. Antitusif perlu dipertim-
bangkan pada kasus pertusis yang dapat terjadi apnea akibat batuk yang
berat sehingga tidak dapat inspirasi karena batuknya. Pada keadaan terse-
14
but antitusif dapat diberikan tetapi secara umum pemberian antitusif seda-
pat mungkin dihindarkan. Hasil dari dua studi menunjukkan tidak ada per-
baikan gejala batuk pada penggunaan dextromethorphan dibandingkan
dengan placebo (Supriyatno, 2010; Soedibyo, Yulianto dan Wardhana,
2013).
Dalam MIMS edisi ke-118 tahun 2011, terdapat 132 merek obat
batuk pilek yang dijual bebas (kode B dan W) di Indonesia, dengan kombi-
nasi terbanyak ditemukan adalah enam komposisi. Komposisi utama terse-
but adalah klorfeniramin maleat 45%, dextromethorphan 39%, paraseta-
mol 37%, gliceryl guaicolate 31%, phenylpropanolamine 31%, diphenhy-
dramine 23%. Dari 132 merek terdapat 16 merek obat yang masih men-
cantumkan indikasi penggunaaan untuk anak di bawah 2 tahun, dengan
komposisi 31,3% obat mengandung dextromethorphan dan 25% bromhex-
ine. Dibandingkan dengan dosis dalam textbook Nelson of Pediatric edisi
18, beberapa dosis obat seperti parasetamol berada pada rentang dosis
standar. Dosis klorfeniramin maleat, gliceryl guaicolate dan pseudoefedrin
cenderung berada lebih rendah dari dosis minimal. Sedangkan untuk dosis
dextromethorphan berada pada dosis normal sampai melebihi dosis maksi-
mal (Soedibyo, Yulianto dan Wardhana, 2013).
Pemberian obat OTC yang mengandung antitusif, antihistamin,
dekongestan, dan ekspektoran belum terbukti efektivitasnya pada anak,
dan efek samping mengantuk yang terbanyak dirasakan (Soedibyo, Yu-
lianto dan Wardhana, 2013).
15
B. Dekstrometorfan sebagai Obat Flu Kombinasi
Bahan aktif dalam obat flu sebagian besar adalah kombinasi anti-
histamin dengan dekongestan. Variasi bahan aktif lainnya yang ada dalam
kombinasi-tetap (fixed-dose combination) obat flu adalah analgesik, anti-
tusif, ekspektoran dan stimulant. Dekstrometorfan selain banyak digu-
nakan pada obat batuk tunggal juga digunakan pada obat flu kombinasi
dengan zat aktif lain seperti fenilefrin, paracetamol, dan klorfeniramin
maleat. Obat yang mengandung dekstrometorfan tersedia di pasar dalam
berbagai bentuk sediaan seperti sirup, tablet, spray, dan lozenges (Badan
POM RI, 2012). (Gitawati, 2014).
Banyak sekali preparat obat flu dan batuk pilek kombinasi-tetap
(fixed-dose combination) yang ada di pasaran dengan komposisi yang
bervariasi. Sebelum mengonsumsi obat-obat flu sebaiknya diketahui
dahulu bagaimana kondisi gejala penderita, misalnya pada seorang pen-
derita mungkin mengalami hidung tersumbat dan sakit kepala tanpa diser-
tai batuk, sementara penderita lain mengalami pilek (rhinorrhoea), batuk
dan sakit tenggorokan. Jenis kombinasi obat flu yang dipilih untuk gejala
yang berbeda secara rasional seharusnya berbeda pula. Oleh karena tidak
ada preparat tunggal yang mampu mengatasi semua gejala flu sekaligus,
maka preparat flu kombinasi menjadi pilihan utama. Namun, tidak semua
zat aktif yang ada dalam komposisi produk obat flu diperlukan bagi pen-
derita. Dengan demikian pemilihan produk obat flu kombinasi yang ra-
sional seyogyanya disesuaikan dengan gejala yang dialami penderita flu.
Contoh: untuk gejala hidung berair/pilek (rhinorrhoea) dan hidung ter-
16
sumbat, pilihan adalah kombinasi antihistamin dan dekongestan; flu yang
disertai gejala pilek, hidung tersumbat disertai nyeri dan sakit kepala maka
pilihan adalah kombinasi antihistamin, dekongestan dan analgesik; flu
dengan gejala pilek, batuk, hidung tersumbat disertai nyeri dan sakit
kepala, maka pilihan adalah kombinasi antihistamin, dekongestan, analge-
sik dan antitusif; flu yang disertai gejala pilek, hidung tersumbat dan batuk
produktif/berdahak maka pilihan obatnya adalah kombinasi antihistamin,
dekongestan dan ekspektoran (Gitawati, 2014)
Pada umumnya masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
cara memilih dan menggunakan obat batuk swamedikasi memiliki penye-
bab yang sama, menurut Supardi dan Notosiswoyo (2005) pengetahuan
pengobatan sendiri umumnya masih rendah dan kesadaran masyarakat un-
tuk membaca label pada kemasan obat juga masih kecil. Sumber informasi
utama untuk melakukan pengobatan sendiri umumnya berasal dari media
massa. Secara umum, promosi obat yang ditampilkan di media saat ini su-
dah sangat berlebihan dan tidak objektif lagi. Jika hal ini tidak diimbangi
dengan informasi obat yang benar, maka akan menjerumuskan masyarakat
ke arah penggunaan obat yang tidak rasional (Meriati, Goenawi dan Wiy-
ono, 2013)
Jika obat batuk dan obat flu yang mengandung dekstrometorfan
dikonsumsi dengan jumlah 5- 10 kali dosis lazimnya maka dapat terjadi
peningkatan toksisitas bahan tambahan dan atau bahan aktif kombinasi
lainnya. Kombinasi dekstrometorfan dengan guaifenesin dosis tinggi dapat
menyebabkan mual yang hebat dan muntah. Sedangkan kombinasi dengan
17
klorfeniramin dapat menyebabkan rasa terbakar pada kulit, midriasis,
takikardia, delirium, gangguan pernafasan, syncope dan kejang (Badan
POM RI, 2012)
C. Penyalahgunaan Dekstrometorfan
Antitusif opioid ini dapat diperoleh dan digunakan secara bebas
bahkan tanpa perlu menggunakan resep dokter seperti yang saat ini terjadi
pada beberapa Negara berkembang termasuk Indonesia. Peredaran dek-
strometorfan yang terlalu bebas ini meningkatkan resiko terjadinya
penyalahgunaan dan keracunan dekstrometorfan di dunia. Hal ini sesuai
dengan laporan American Association of Poison Control Centers
(AAPCC) yang menyatakan bahwa sejak tahun 2000 terjadi peningkatan
kasus penyalahgunaan dekstrometorfan, yaitu kasus pada remaja
meningkat kurang lebih 100% dari tahun 2000 (1.623 kasus) sampai tahun
2003 (3.271 kasus) dan pada kelompok usia lain meningkat kurang lebih
21% dari tahun 2000 (900 kasus) sampai tahun 2002 (1.139 kasus)
(Bonauli, Bhima, 2010).
Pada dosis tinggi dekstrometorfan dapat bersifat adiktif seperti hal-
nya narkotika (Gitawati, 2014) yang menimbulkan efek psikotropik. Dekstror-
fan adalah zat yang memiliki peran dalam mengakibatkan efek halusinogen
yang merupakan metabolit aktif dari dekstrometorfan. Dekstrorfan bekerja
sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang akan
memproduksi efek yang sama dengan efek dari ketamin maupun fenisik-
lidin (PCP). Hal inilah yang menyebabkan orang menggunakan dek-
strometorfan untuk mendapatkan efek yang mirip dengan penggunaan ke-
18
tamin. Ketamin sendiri adalah obat yang digunakan sebagai anestetik
umum.
Akumulasi dekstrorfan dapat mengakibatkan efek psikotropik. Efek
yang muncul dibagi dalam 4 tingkatan (Badan POM RI,2012):
1. Dosis 100 – 200mg, timbul efek stimulasi ringan
2. Dosis 200 – 400mg, timbul efek euforia dan halusinasi
3. Dosis 300 – 600mg, timbul efek perubahan pada penglihatan dan kehi-
langan koordinasi motorik
4. Dosis 500 – 1500mg, timbul efek sedasi disosiatif
Menurut Badan POM RI (2012) ada beberapa alasan mengapa dek-
strometorfan banyak disalahgunakan, diantaranya adalah :
Desktrometorfan mudah didapat. Dekstrometorfan merupakan yang
dapat diperoleh secara bebas baik di apotek maupun di warung-
warung. Dekstrometorfan yang disalahgunakan umumnya dalam ben-
tuk sediaan tablet, karena dalam bentuk tablet dapat diperoleh dosis
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk sediaan lain seperti
sirup.
Harga dekstrometorfan relatif murah. Menurut Keputusan Menteri Ke-
sehatan Republik Indonesia No. 092/Menkes/ SK/II/2012 tentang
Harga Eceran Tertinggi Obat Generik Tahun 2012, harga eceran tert-
inggi Desktrometorfan HBr tablet 15 mg dengan kemasan kotak isi 10
x 10 tablet adalah Rp. 14.850,- . Dekstrometorfan HBr tablet 15 mg
dengan kemasan botol isi 1000 tablet, harga eceran tertingginya adalah
19
Rp. 53.406,-. Jadi rata rata harga eceran tertinggi untuk 1 tablet Dek-
strometorfan HBr adalah Rp. 50,- hingga Rp. 150,-.
Persepsi masyarakat bahwa obat bebas itu aman, karena dekstrometor-
fan dapat dibeli secara bebas sebagai obat batuk, sehingga banyak
orang beranggapan bahwa penyalahgunaan dekstrometorfan relatif
lebih aman dibandingkan dengan obat golongan narkotika atau
psikotropika yang regulasinya lebih ketat.
Badan POM pada bulan Juni 2013 telah mengeluarkan Surat Edaran
Penarikan sediaan tunggal Dextrometorphan disebabkan karena adanya ke-
mungkinan disalahgunakan untuk mendapatkan efek euphoria layaknya
obat narkotika (Gitawati, 2014).
20
BAB IV
KESIMPULAN
Dekstrometorfan merupakan obat golongan antitusif (obat batuk su-
pressan) dengan kerja menekan pusat batuk di medulla otak. Obat ini tidak
boleh diberikan pada batuk yang produktif (berdahak) karena supresi batuk
akan menghambat pengeluaran dahak. Obat yang memiliki nama kimia
(+)-3-methoxy-17-methyl-(9α,13α,14α)-morphinan ini, diabsorpsi dengan
baik setelah pemberian oral dengan kadar serum maksimal dicapai dalam
waktu 2,5 jam. Onset efeknya 15-30 menit setelah pemberian oral. Dan
dimetabolisme di hati lalu diekskresi melalui urin dalam bentuk tak aktif.
Dekstrometorfan selain banyak digunakan pada obat batuk tunggal juga
sering dijumpai sebagai bahan aktif dalam kombinasi-tetap (fixed-dose
combination) obat flu, karena tidak ada preparat tunggal yang mampu
mengatasi semua gejala flu sekaligus. Penggunaan dekstrometorfan pada
orang dewasa dianjurkan dengan dosis maksimal <120 mg/hari, dan dalam
preparat obat flu kombinasi umumnya berkisar antara 2,5–15 mg per dosis,
4–6 jam per hari. Pada penggunaan dengan dosis lazim memiliki efek
samping mengantuk, pusing, nausea, gangguan pencernaan, kesulitan
dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan tenggorok.
Dekstrometorfan merupakan D-isomer dari kodein tetapi tidak memi-
liki efek analgesik dan efek sedatifnya ringan, akan tetapi apabila dikon-
sumsi dengan dosis tinggi dapat bersifat adiktif seperti halnya narkotika.
Dekstrorfan yang merupakan metabolit aktif dari dekstrometorfan adalah zat
21
yang mengakibatkan efek halusinogen apabila mengkonsumsi dekstrome-
torfan dengan dosis tinggi. Hal inilah yang menyebabakan dektrometorfan
banyak disalahgunakan, selain itu juga karena dekstrometorfan merupakan
obat yang mudah diperoleh dan digunakan secara bebas bahkan tanpa
perlu menggunakan resep dokter.
22
DAFTAR PUSTAKA
Badan POM RI (2012) Mengenal Penyalahgunaan Dekstrometorfan, Vol. 13, No. 6 Jakarta. Penerbit Badan POM RI, hal 4-6.
Bonauli, N., (2010) Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bert-ingkat Per Oral terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wis-tar, Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro, Semarang; Artikel Karya Tulis Ilmiah.
Gitawati, R., (2014) Bahan Aktif dalam Kombinasi Obat Flu dan Batuk-Pilek, dan Pemilihan Obat Flu yang Rasional, Media Litbangkes, Vol. 24 No. 1, hal 11, 13-16.
Meriati, N. W. E., Goenawi, L. R., Wiyono, W., (2013) Dampak Penyu-luhan pada Pengetahuan Masyarakat terhadap Pemilihan dan Peng-gunaan Obat Batuk Swamedikasi di Kecamatan Malalayang, PHAR-MACON Jurnal Ilmiah Farmasi Unsrat, Vol. 2 No. 03, hal 101, 102.
Muchid, A., Umar, F., Chusun., Supardi, S., Sinaga, E., Azis, S., dkk (2006) Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, Di-rektorat Bina Farmasi Komunitas dna Klinik Ditjen Bina Kefar-masian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan, Jakarta; hal 18
Pujiarto, P., S., (2014) Batuk Pilek (Common Cold) pada Anak, InHealth Gazette, Ed. Agust-Nov, hal 5.
Soedibyo, S., Yulianto, A., Wardhana., (2013) Profil Penggunaan Obat Batuk Pilek bebas pada Pasien Anak di bawah umur 6 Tahun, Sari Pediatri, Vol. 14, No. 6, hal 398, 399, 401-403.
Supriyatno, B. (2010) Batuk Kronik pada Anak, Majalah Kedokteran In-donesia, Vol. 60 No. 6, hal 286, 287.
Tjay . T. H, Rahardja . K, (2002) ,Obat –obat penting khasiat, penggunaan , dan efek-efek sampingnya, Edisi 7, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 666, 669.