34
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Flu biasa (common-cold), salesma atau batuk pilek adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang sangat umum diderita oleh masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,5% (kisaran 17,5– 41,4%); masyarakat umumnya mampu mengenali sendiri gejala flu, salesma atau batuk-pilek yang khas seperti pilek/hidung berair (rhinorrhoea), hidung tersumbat, tenggorokan sakit dan sakit kepala. Flu, salesma atau batuk pilek sebagian besar (90%) disebabkan oleh virus saluran pernapasan, umumnya rhinovirus, dan penderita dapat sembuh sendiri (self limiting disease) bergantung pada daya tahan tubuhnya (Gitawati, 2014). Lebih dari 83% penderita flu atau salesma seringkali disertai dengan batuk akut. Gejala batuk inilah yang paling sering dikeluhkan oleh

Faris Maringan S. (12700082)- Dekstrometorfan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Faris Maringan S. (12700082)- Dekstrometorfan

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Flu biasa (common-cold), salesma atau batuk pilek adalah infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) yang sangat umum diderita oleh

masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA di

Indonesia adalah 25,5% (kisaran 17,5–41,4%); masyarakat umumnya

mampu mengenali sendiri gejala flu, salesma atau batuk-pilek yang khas

seperti pilek/hidung berair (rhinorrhoea), hidung tersumbat, tenggorokan

sakit dan sakit kepala. Flu, salesma atau batuk pilek sebagian besar (90%)

disebabkan oleh virus saluran pernapasan, umumnya rhinovirus, dan pen-

derita dapat sembuh sendiri (self limiting disease) bergantung pada daya

tahan tubuhnya (Gitawati, 2014).

Lebih dari 83% penderita flu atau salesma seringkali disertai den-

gan batuk akut. Gejala batuk inilah yang paling sering dikeluhkan oleh

pasien rawat jalan saat berobat ke dokter atau puskesmas untuk gejala flu,

kemungkinan karena gejala batuk adalah yang paling dirasakan sangat

mengganggu kualitas hidup keseharian penderita flu (Gitawati, 2014)

Batuk merupakan refleks fisiologis baik waktu sehat maupun sakit

yang bermanfaat untuk mengeluarkan dan membersihkan saluran perna-

pasan dari dahak, zat-zat asing, dan unsur infeksi. Batuk disebabkan oleh

iritasi mekanik dari respon sensorik di larings, di dinding posterior trachea

dan di cabang atas bronkhus. Batuk juga terjadi bila ada iritasi kimia pada

2

reseptor sensorik di saluran terhalus pada saluran udara (Alam et al.,

2012). Klasifikasi batuk bermacam-macam tetapi umumnya dibagi dalam

kelompok besar yaitu batuk akut dan batuk kronik. Klasifikasi batuk kro-

nik bervariasi, ada yang menyatakan batuk kronik adalah batuk yang

berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu, ada yang mengambil

batasan 3 minggu, bahkan 4 minggu. Unit Kerja Koordinasi Respirologi

Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) membuat batasan

batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2

minggu sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang dari

2 minggu. Selain batuk kronik dikenal istilah batuk kronik berulang (BKB)

yaitu batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu dan/

atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut (Supriyatno,

2010).

Untuk mengatasi batuk dapat dilakukan dengan berbagai cara, an-

tara lain dengan tanpa pemberian obat bagi penderita-penderita dengan

batuk tanpa gangguan yang disebabkan oleh penyakit akut, batuk yang di-

alami akan sembuh sendiri, dan biasanya tidak perlu pengobatan. Yang ke-

dua adalah dengan pengobatan yang secara spesifik ditujukan terhadap

penyebab timbulnya batuk, dan yang ketiga adalah dengan pengobatan

simptomatik, yang diberikan kepada penderita yang tidak ditentukan

penyebab batuknya atau kepada penderita yang batuknya dapat menim-

bulkan komplikasi. Obat yang biasa digunakan untuk pengobatan simp-

tomatik biasanya adalah jenis obat yang menurut kategori far-

3

makologiknya seperti antitusif, ekspektoran, dan mukolitik (Alam et al.,

2012)

Diketahui bahwa obat batuk tidak bisa disamaratakan untuk semua

jenis batuk yang diderita. Ekspektoran untuk merangsang dahak dikelu-

arkan dari saluran pernafasan, mukolitik untuk mengencerkan dahak, dan

antitusif untuk obat menekan refleks batuk. Ekspektoran dan mukolitik

diberikan kepada penderita batuk yang berdahak, sedangkan antitusif akan

diberikan kepada penderita batuk yang tidak berdahak (Meriati, Goenawi,

dan Wiyono, 2013)

Dekstrometorfan merupakan salah satu obat batuk supressan (anti-

tusif) yang telah banyak digunakan di dunia sejak tahun 1958 untuk

menggantikan penggunaan kodein fosfat karena struktur dextrometorfan

ada kesamaan dengan morfin dan kodein tetapi dextrometorfan tidak

memiliki efek analgesik dan efek sedatifnya ringan. Dextrometorfan

banyak dijumpai pada sediaan obat batuk dan flu dengan mekanisme

menekan batuk melalui peningkatan ambang batuk secara sentral di

medulla. Dosis rentang yang aman lebih tinggi dari dosis kodein (Bonauli

dan Bhima, 2010; Pujiarto, 2014).

Zat aktif ini selain banyak digunakan pada obat batuk tunggal juga

digunakan pada obat flu kombinasi dengan zat aktif lain seperti fenilefrin,

paracetamol, dan klorfeniramin maleat. Obat yang mengandung dek-

strometorfan tersedia di pasar dalam berbagai bentuk sediaan seperti sirup,

tablet, spray, dan lozenges (Badan POM RI, 2012).

4

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Mengetahui secara umum obat Dekstrometorfan

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui sifat fisiko kimia dan rumus kimia obat Dekstrometor-

fan.

b. Mengetahui farmakologi umum obat Dekstrometorfan.

c. Mengetahui Farmakodinamik Dekstrometorfan.

d. Mengetahui Farmakokinetik Dekstrometorfan.

e. Mengetahui Toksisitas Dekstrometorfan.

C. Manfaat

1. Manfaat akademik

Untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang farmasi, serta menge-

tahui sediaan, mekanisme kerja, farmakodinamik dan farmakokinetik

serta efek samping dan toksisitas Dekstrometorfan.

2. Manfaat bagi masyarakat

Memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai

pentingnya edukasi dan informasi golongan Antitusif khususnya Dek-

strometorfan.

5

3. Manfaat bagi penulis lanjutan

Sebagai sumber referensi untuk pembahasan terkait.

6

BAB II

FARMASI - FARMAKOLOGI

A. Sifat Fisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat

Dekstrometorfan yang memiliki nama kimia (+)-3-methoxy-17-

methyl-(9α,13α,14α)-morphinan

menurut aturan International Union

of Pure and Applied Chemistry (IU-

PAC) dan struktur kimia C18H25NO

ini tersedia dalam beberapa bentuk

sediaan, antara lain tablet, kapsul,

sirup, dan suspense dalam bentuk

dekstrometorfan hidrobomida. Sifat fisikokimia dekstrometorfan adalah

serbuk berbentuk kristal berwarna putih sampai sedikit kekuningan, tidak

berbau, larut dalam air maupun etanol, dan tidak larut dalam eter (Bonauli,

Bhima, 2010).

7

B. Farmakologi Umum

Dekstrometorfan, salah satu antitusif tersering sebagai komponen

obat flu yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Dekstrometorfan adalah D-

isomer dari kodein dan mekanisme farmakologik sebagai antitusif serupa

kodein, yakni bekerja menekan pusat batuk di medulla otak. Pada dosis

tinggi dapat bersifat adiktif seperti halnya narkotika, akan tetapi dek-

strometorfan tidak memiliki efek analgesik dan relatif aman jika digu-

nakan pada dosis terapi yang direkomendasikan. Meskipun demikian, hasil

meta-analisis menunjukkan sebagai antitusif dekstrometorfan secara klinis

manfaatnya kurang. Antitusif tidak boleh diberikan pada batuk yang pro-

duktif (berdahak) karena supresi batuk akan menghambat pengeluaran da-

hak. Dosis dekstrometorfan pada orang dewasa yang dianjurkan adalah

maksimal <120 mg/hari, dan dalam preparat obat flu kombinasi umumnya

berkisar antara 2,5–15 mg per dosis, 4–6 jam per hari. (Gitawati, 2014).

Dekstrometorfan memiliki efek halusinogen. Zat yang memiliki

peran dalam mengakibatkan efek halusinogen ini adalah metabolit aktif

dari dekstrometorfan yaitu dekstrorfan (3-hydroxy-17-methylmorphinan).

Dekstrorfan dapat terikat dengan afinitas lemah dengan reseptor opioid

tipe sigma dan terikat dengan afinitas kuat dengan reseptor NMDA (N-

methyl-D-aspartate). (Klein et al., 1989; Murray et al., 1984); (Franklin et

al., 1992).

8

C. Farmakodinamika

1. Khasiat

Derivat-fenantren ini berkhasiat menekan batuk, yang sama kuat-

nya dengan kodein, tetapi bertahan lebih lama dan tidak bersifat anal-

getis, sedative, sembelit, atau adiktif. Dekstrometorfan adalah zat aktif

dalam bentuk serbuk berwarna putih, yang memiliki khasiat sebagai

antitusif atau penekan batuk (Badan POM RI, 2012)

2. Kegunaan terapi

Penekan batuk cukup kuat kecuali untuk batuk akut yang berat

3. Kontra indikasi

a. Hipersensitif terhadap dekstromethrofan

b. Diberikan bersama dengan monoamine oxidase inhibitors.

D. Farmakokinetik

Dekstrometorfan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral

dengan kadar serum maksimal dicapai dalam 2,5 jam. Onset efeknya

cepat, seringkali 15-30 menit setelah pemberian oral. Belum ada penelitian

tentang distribusi volume dekstrometorfan pada manusia, akan tetapi

penelitian oleh Silvasti et al. (1989) yang dilakukan pada anjing, distribusi

volume dekstrometorfan berkisar antara 5,0-6,4 L/kg. Waktu paruh obat

ini bervariasi secara individual, dari 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 3-6

jam dengan bioavailabilitas 11%. Metabolisme dan ekskresinya sama den-

gan kodein, yaitu dimetabolisme di hati lalu diekskresi melalui urin dalam

bentuk tak aktif. Metabolisme dekstrometorfan telah diketahui dengan

9

baik dan telah diterima secara luas bahwa aktivitas terapeutik dekstrome-

torfan ditentukan oleh metabolit aktifnya yaitu dextrorphan. Dekstrometor-

fan mengalami metabolisme di hepar oleh enzim sitokrom P-450 dan di-

ubah menjadi dextrorphan yang mempunyai derivat lebih aktif dan poten

sebagai antagonis NMDA. de (Schadel et al., 1995; Pujiarto, 2014)

Dekstrometorfan tidak bekerja pada reseptor opioid tipe mu dan

delta seperti jenis levoisomer, tetapi bekerja pada reseptor tipe sigma

(Badan POM RI, 2012).

E. Toksisitas

1. Efek samping, toksisitas dan gejala toksisitas

Pada penggunaan dengan dosis lazim efek samping yang pernah

muncul seperti mengantuk, pusing, nausea, gangguan pencernaan, ke-

sulitan dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan teng-

gorok. Sebagaimana halnya dengan kodein, dekstrometorfan bisa

menyebabkan pelepasan histamin pada orang yang sensitif. Pada dosis

tinggi, bisa menyebabkan depresi SSP. Dua penelitian mengemukakan

intoksikasi dekstrometorfan yaitu ataksia, nistagmus dan gangguan ke-

sadaran (Badan POM RI, 2012; Pujiarto, 2014).

Pada dosis 5-10 kali lebih besar dari dosis yang lazim, efek samp-

ing yang timbul menyerupai efek samping yang diamati pada penggu-

naan ketamin atau PCP, dan efek ini meliputi: kebingungan, keadaan

seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan

pergerakan, disorientasi, keadaan pingsan, mengantuk (Schwartz,

2005; Siu et al., 2007).

10

2. Penanggulangannya

Tidak ada antidot khusus untuk intoksikasi dekstrometorfan.

Arang diketahui dapat menyerap opiat dan diharapkan dapat mengikat

dekstrometorfan. Prosedur standar lainnya yang juga diharapkan mem-

berikan hasil efektif untuk mengurangi penyerapan dekstrometorfan

dari saluran pencernaan jika dilakukan tepat waktu adalah dengan

melakukan emesis atau bilas lambung (Badan POM RI, 2012).

Penggunaan nalokson untuk menangani keracunan dekstrometor-

fan masih diperdebatkan karena bertentangan dengan laporan tentang

keefektivitasannya. Walaupun tidak ada kontradiksi dalam penggunaan

nalokson, kemampuannya untuk menangani gejala dari keracunan dek-

strometorfan masih dipertanyakan. Ketika digunakan, nalokson se-

baiknya diberikan pada dosis standard yang direkomendasikan untuk

penanganan asupan opioid. (0.4–2 mg I.V. diulangi tiap 2–3 menit

hingga respon dicapai pada dosis maksimum 10 mg). Proses detoksi-

fikasi tetap perlu dilakukan pada pasien dengan riwayat penyalahgu-

naan dekstrometorfan kronis (Badan POM RI, 2012).

Toksisitas bromida akut dapat terjadi pada kasus penyalahgunaan

dekstrometorfan HBr meskipun sangat jarang dan sedikit disebutkan

dalam literatur. Biasanya toksisitas bromida terjadi ketika kadar bro-

mida pada serum lebih besar daripada 50-100 mg/dl. Toksisitas akut

dapat dihubungkan dengan adanya depresi sistem saraf pusat,

hipotensi, dan takikardia. Konsumsi kronis dapat mengakibatkan sin-

drom “bromism”, yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku, ir-

11

itabilitas, dan letargi. Tidak ada antidot khusus untuk menangani tok-

sisitas bromida. Untuk menangani kasus keracunan bromida biasanya

digunakan metode hidrasi dengan menggunakan larutan saline untuk

mendorong ekskresi melalui urin, dan pada kasus yang parah digu-

nakan metode hemodialisis (Badan POM RI, 2012).

12

BAB III

PEMBAHASAN ATAU DISKUSI

A. Penggunaan Dekstrometorfan sebagai Obat Batuk Pilek pada Anak

Batuk pilek merupakan penyakit yang menyerang baik anak

maupun dewasa. Pada anak, batuk pilek banyak terjadi pada usia di bawah

6 tahun. Rata-rata setiap anak mengalami 6 hingga 8 kali keluhan setiap

tahunnya. Gejala terbanyak dialami anak yang diberi obat batuk pilek

adalah batuk berdahak (47,2%), hidung berair/tersumbat (47,2%), demam

(34,9%), batuk kering (30,2%) (Soedibyo, Yulianto dan Wardhana, 2013).

Obat over the counter (OTC), atau obat yang dijual bebas untuk

keluhan batuk pilek, banyak digunakan oleh orang tua untuk mengatasi

keluhan batuk pilek, banyak tersedia untuk anak dengan berbagai macam

kombinasi. Salah satu kandungannya yaitu adalah dekstometorfan. Mary

dkk pada studi postmortem bayi usia 17 hari hingga 10 bulan di Arizona,

didapatkan sepuluh kematian bayi diidentifikasi berkaitan dengan penggu-

naan obat batuk pilek yang mengandung pseudoefedrin, antihistamin, dan

dekstrometorfan (Soedibyo, Yulianto dan Wardhana, 2013).

Beberapa tahun terakhir ini, penggunaan obat batuk pilek untuk

bayi dan anak mendapat pengawasan yang ketat. Selama 20 tahun terakhir,

123 kematian terjadi pada anak yang berusia di bawah 6 tahun diakibatkan

oleh penggunaan obat batuk pilek OTC. Risiko kecelakaan akibat overdo-

sis/kelebihan dosis dan efek merugikan disebabkan oleh banyak faktor. Pe-

doman dosis obat batuk pilek anak sampai saat ini belum terstandarisasi.

13

Dosis anak yang ada saat ini diperoleh dari ekstrapolasi dosis dewasa se-

hingga adanya produk OTC dengan berbagai komposisi kombinasi mem-

permudah timbulnya overdosis/kelebihan dosis. Hal tersebut juga diaki-

batkan karena kurangnya pemahaman/ketidaktahuan orang tua terhadap

obat yang diberikan pada anaknya (Soedibyo, Yulianto dan Wardhana,

2013).

Hasil penelitian mengenai profil penggunaan obat batuk pilek be-

bas pada pasien anak umur dibawah 6 tahun, Soedibyo, Yulianto dan

Wardhana (2013) menunjukkan bahwa “obat batuk pilek terbanyak digu-

nakan adalah obat batuk pilek kombinasi dengan komposisi utama

meliputi klorfeniramin maleat (58,8%), parasetamol (56,5%), gliceryl

guaicolate (50,6%), pseudoefedrin (28,2%), dextromethorphan (22,4%)

dan bromhexine (9,4%).” Batuk sebagai refleks fisiologis anak merupakan

salah satu mekanisme tubuh untuk membersihkan saluran napas dan paru-

paru. Penekanan reflex batuk mungkin dapat memiliki efek yang berba-

haya. Dextromethorphan merupakan antitusif yang bekerja secara sentral,

menekan pusat batuk di susunan saraf pusat. Antitusif merupakan obat su-

portif lain yang diberikan pada batuk kronik tetapi penggunaan antitusif

terutama bagi anak-anak harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pembe-

rian antitusif justru akan membuat sputum tidak dapat keluar karena

menekan refleks batuk yang dibutuhkan untuk mengeluarkan sputum se-

lain antitusif pun dapat menurunkan kerja silia. Antitusif perlu dipertim-

bangkan pada kasus pertusis yang dapat terjadi apnea akibat batuk yang

berat sehingga tidak dapat inspirasi karena batuknya. Pada keadaan terse-

14

but antitusif dapat diberikan tetapi secara umum pemberian antitusif seda-

pat mungkin dihindarkan. Hasil dari dua studi menunjukkan tidak ada per-

baikan gejala batuk pada penggunaan dextromethorphan dibandingkan

dengan placebo (Supriyatno, 2010; Soedibyo, Yulianto dan Wardhana,

2013).

Dalam MIMS edisi ke-118 tahun 2011, terdapat 132 merek obat

batuk pilek yang dijual bebas (kode B dan W) di Indonesia, dengan kombi-

nasi terbanyak ditemukan adalah enam komposisi. Komposisi utama terse-

but adalah klorfeniramin maleat 45%, dextromethorphan 39%, paraseta-

mol 37%, gliceryl guaicolate 31%, phenylpropanolamine 31%, diphenhy-

dramine 23%. Dari 132 merek terdapat 16 merek obat yang masih men-

cantumkan indikasi penggunaaan untuk anak di bawah 2 tahun, dengan

komposisi 31,3% obat mengandung dextromethorphan dan 25% bromhex-

ine. Dibandingkan dengan dosis dalam textbook Nelson of Pediatric edisi

18, beberapa dosis obat seperti parasetamol berada pada rentang dosis

standar. Dosis klorfeniramin maleat, gliceryl guaicolate dan pseudoefedrin

cenderung berada lebih rendah dari dosis minimal. Sedangkan untuk dosis

dextromethorphan berada pada dosis normal sampai melebihi dosis maksi-

mal (Soedibyo, Yulianto dan Wardhana, 2013).

Pemberian obat OTC yang mengandung antitusif, antihistamin,

dekongestan, dan ekspektoran belum terbukti efektivitasnya pada anak,

dan efek samping mengantuk yang terbanyak dirasakan (Soedibyo, Yu-

lianto dan Wardhana, 2013).

15

B. Dekstrometorfan sebagai Obat Flu Kombinasi

Bahan aktif dalam obat flu sebagian besar adalah kombinasi anti-

histamin dengan dekongestan. Variasi bahan aktif lainnya yang ada dalam

kombinasi-tetap (fixed-dose combination) obat flu adalah analgesik, anti-

tusif, ekspektoran dan stimulant. Dekstrometorfan selain banyak digu-

nakan pada obat batuk tunggal juga digunakan pada obat flu kombinasi

dengan zat aktif lain seperti fenilefrin, paracetamol, dan klorfeniramin

maleat. Obat yang mengandung dekstrometorfan tersedia di pasar dalam

berbagai bentuk sediaan seperti sirup, tablet, spray, dan lozenges (Badan

POM RI, 2012). (Gitawati, 2014).

Banyak sekali preparat obat flu dan batuk pilek kombinasi-tetap

(fixed-dose combination) yang ada di pasaran dengan komposisi yang

bervariasi. Sebelum mengonsumsi obat-obat flu sebaiknya diketahui

dahulu bagaimana kondisi gejala penderita, misalnya pada seorang pen-

derita mungkin mengalami hidung tersumbat dan sakit kepala tanpa diser-

tai batuk, sementara penderita lain mengalami pilek (rhinorrhoea), batuk

dan sakit tenggorokan. Jenis kombinasi obat flu yang dipilih untuk gejala

yang berbeda secara rasional seharusnya berbeda pula. Oleh karena tidak

ada preparat tunggal yang mampu mengatasi semua gejala flu sekaligus,

maka preparat flu kombinasi menjadi pilihan utama. Namun, tidak semua

zat aktif yang ada dalam komposisi produk obat flu diperlukan bagi pen-

derita. Dengan demikian pemilihan produk obat flu kombinasi yang ra-

sional seyogyanya disesuaikan dengan gejala yang dialami penderita flu.

Contoh: untuk gejala hidung berair/pilek (rhinorrhoea) dan hidung ter-

16

sumbat, pilihan adalah kombinasi antihistamin dan dekongestan; flu yang

disertai gejala pilek, hidung tersumbat disertai nyeri dan sakit kepala maka

pilihan adalah kombinasi antihistamin, dekongestan dan analgesik; flu

dengan gejala pilek, batuk, hidung tersumbat disertai nyeri dan sakit

kepala, maka pilihan adalah kombinasi antihistamin, dekongestan, analge-

sik dan antitusif; flu yang disertai gejala pilek, hidung tersumbat dan batuk

produktif/berdahak maka pilihan obatnya adalah kombinasi antihistamin,

dekongestan dan ekspektoran (Gitawati, 2014)

Pada umumnya masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang

cara memilih dan menggunakan obat batuk swamedikasi memiliki penye-

bab yang sama, menurut Supardi dan Notosiswoyo (2005) pengetahuan

pengobatan sendiri umumnya masih rendah dan kesadaran masyarakat un-

tuk membaca label pada kemasan obat juga masih kecil. Sumber informasi

utama untuk melakukan pengobatan sendiri umumnya berasal dari media

massa. Secara umum, promosi obat yang ditampilkan di media saat ini su-

dah sangat berlebihan dan tidak objektif lagi. Jika hal ini tidak diimbangi

dengan informasi obat yang benar, maka akan menjerumuskan masyarakat

ke arah penggunaan obat yang tidak rasional (Meriati, Goenawi dan Wiy-

ono, 2013)

Jika obat batuk dan obat flu yang mengandung dekstrometorfan

dikonsumsi dengan jumlah 5- 10 kali dosis lazimnya maka dapat terjadi

peningkatan toksisitas bahan tambahan dan atau bahan aktif kombinasi

lainnya. Kombinasi dekstrometorfan dengan guaifenesin dosis tinggi dapat

menyebabkan mual yang hebat dan muntah. Sedangkan kombinasi dengan

17

klorfeniramin dapat menyebabkan rasa terbakar pada kulit, midriasis,

takikardia, delirium, gangguan pernafasan, syncope dan kejang (Badan

POM RI, 2012)

C. Penyalahgunaan Dekstrometorfan

Antitusif opioid ini dapat diperoleh dan digunakan secara bebas

bahkan tanpa perlu menggunakan resep dokter seperti yang saat ini terjadi

pada beberapa Negara berkembang termasuk Indonesia. Peredaran dek-

strometorfan yang terlalu bebas ini meningkatkan resiko terjadinya

penyalahgunaan dan keracunan dekstrometorfan di dunia. Hal ini sesuai

dengan laporan American Association of Poison Control Centers

(AAPCC) yang menyatakan bahwa sejak tahun 2000 terjadi peningkatan

kasus penyalahgunaan dekstrometorfan, yaitu kasus pada remaja

meningkat kurang lebih 100% dari tahun 2000 (1.623 kasus) sampai tahun

2003 (3.271 kasus) dan pada kelompok usia lain meningkat kurang lebih

21% dari tahun 2000 (900 kasus) sampai tahun 2002 (1.139 kasus)

(Bonauli, Bhima, 2010).

Pada dosis tinggi dekstrometorfan dapat bersifat adiktif seperti hal-

nya narkotika (Gitawati, 2014) yang menimbulkan efek psikotropik. Dekstror-

fan adalah zat yang memiliki peran dalam mengakibatkan efek halusinogen

yang merupakan metabolit aktif dari dekstrometorfan. Dekstrorfan bekerja

sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang akan

memproduksi efek yang sama dengan efek dari ketamin maupun fenisik-

lidin (PCP). Hal inilah yang menyebabkan orang menggunakan dek-

strometorfan untuk mendapatkan efek yang mirip dengan penggunaan ke-

18

tamin. Ketamin sendiri adalah obat yang digunakan sebagai anestetik

umum.

Akumulasi dekstrorfan dapat mengakibatkan efek psikotropik. Efek

yang muncul dibagi dalam 4 tingkatan (Badan POM RI,2012):

1. Dosis 100 – 200mg, timbul efek stimulasi ringan

2. Dosis 200 – 400mg, timbul efek euforia dan halusinasi

3. Dosis 300 – 600mg, timbul efek perubahan pada penglihatan dan kehi-

langan koordinasi motorik

4. Dosis 500 – 1500mg, timbul efek sedasi disosiatif

Menurut Badan POM RI (2012) ada beberapa alasan mengapa dek-

strometorfan banyak disalahgunakan, diantaranya adalah :

Desktrometorfan mudah didapat. Dekstrometorfan merupakan yang

dapat diperoleh secara bebas baik di apotek maupun di warung-

warung. Dekstrometorfan yang disalahgunakan umumnya dalam ben-

tuk sediaan tablet, karena dalam bentuk tablet dapat diperoleh dosis

yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk sediaan lain seperti

sirup.

Harga dekstrometorfan relatif murah. Menurut Keputusan Menteri Ke-

sehatan Republik Indonesia No. 092/Menkes/ SK/II/2012 tentang

Harga Eceran Tertinggi Obat Generik Tahun 2012, harga eceran tert-

inggi Desktrometorfan HBr tablet 15 mg dengan kemasan kotak isi 10

x 10 tablet adalah Rp. 14.850,- . Dekstrometorfan HBr tablet 15 mg

dengan kemasan botol isi 1000 tablet, harga eceran tertingginya adalah

19

Rp. 53.406,-. Jadi rata rata harga eceran tertinggi untuk 1 tablet Dek-

strometorfan HBr adalah Rp. 50,- hingga Rp. 150,-.

Persepsi masyarakat bahwa obat bebas itu aman, karena dekstrometor-

fan dapat dibeli secara bebas sebagai obat batuk, sehingga banyak

orang beranggapan bahwa penyalahgunaan dekstrometorfan relatif

lebih aman dibandingkan dengan obat golongan narkotika atau

psikotropika yang regulasinya lebih ketat.

Badan POM pada bulan Juni 2013 telah mengeluarkan Surat Edaran

Penarikan sediaan tunggal Dextrometorphan disebabkan karena adanya ke-

mungkinan disalahgunakan untuk mendapatkan efek euphoria layaknya

obat narkotika (Gitawati, 2014).

20

BAB IV

KESIMPULAN

Dekstrometorfan merupakan obat golongan antitusif (obat batuk su-

pressan) dengan kerja menekan pusat batuk di medulla otak. Obat ini tidak

boleh diberikan pada batuk yang produktif (berdahak) karena supresi batuk

akan menghambat pengeluaran dahak. Obat yang memiliki nama kimia

(+)-3-methoxy-17-methyl-(9α,13α,14α)-morphinan ini, diabsorpsi dengan

baik setelah pemberian oral dengan kadar serum maksimal dicapai dalam

waktu 2,5 jam. Onset efeknya 15-30 menit setelah pemberian oral. Dan

dimetabolisme di hati lalu diekskresi melalui urin dalam bentuk tak aktif.

Dekstrometorfan selain banyak digunakan pada obat batuk tunggal juga

sering dijumpai sebagai bahan aktif dalam kombinasi-tetap (fixed-dose

combination) obat flu, karena tidak ada preparat tunggal yang mampu

mengatasi semua gejala flu sekaligus. Penggunaan dekstrometorfan pada

orang dewasa dianjurkan dengan dosis maksimal <120 mg/hari, dan dalam

preparat obat flu kombinasi umumnya berkisar antara 2,5–15 mg per dosis,

4–6 jam per hari. Pada penggunaan dengan dosis lazim memiliki efek

samping mengantuk, pusing, nausea, gangguan pencernaan, kesulitan

dalam berkonsentrasi dan rasa kering pada mulut dan tenggorok.

Dekstrometorfan merupakan D-isomer dari kodein tetapi tidak memi-

liki efek analgesik dan efek sedatifnya ringan, akan tetapi apabila dikon-

sumsi dengan dosis tinggi dapat bersifat adiktif seperti halnya narkotika.

Dekstrorfan yang merupakan metabolit aktif dari dekstrometorfan adalah zat

21

yang mengakibatkan efek halusinogen apabila mengkonsumsi dekstrome-

torfan dengan dosis tinggi. Hal inilah yang menyebabakan dektrometorfan

banyak disalahgunakan, selain itu juga karena dekstrometorfan merupakan

obat yang mudah diperoleh dan digunakan secara bebas bahkan tanpa

perlu menggunakan resep dokter.

22

DAFTAR PUSTAKA

Badan POM RI (2012) Mengenal Penyalahgunaan Dekstrometorfan, Vol. 13, No. 6 Jakarta. Penerbit Badan POM RI, hal 4-6.

Bonauli, N., (2010) Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bert-ingkat Per Oral terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wis-tar, Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro, Semarang; Artikel Karya Tulis Ilmiah.

Gitawati, R., (2014) Bahan Aktif dalam Kombinasi Obat Flu dan Batuk-Pilek, dan Pemilihan Obat Flu yang Rasional, Media Litbangkes, Vol. 24 No. 1, hal 11, 13-16.

Meriati, N. W. E., Goenawi, L. R., Wiyono, W., (2013) Dampak Penyu-luhan pada Pengetahuan Masyarakat terhadap Pemilihan dan Peng-gunaan Obat Batuk Swamedikasi di Kecamatan Malalayang, PHAR-MACON Jurnal Ilmiah Farmasi Unsrat, Vol. 2 No. 03, hal 101, 102.

Muchid, A., Umar, F., Chusun., Supardi, S., Sinaga, E., Azis, S., dkk (2006) Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, Di-rektorat Bina Farmasi Komunitas dna Klinik Ditjen Bina Kefar-masian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan, Jakarta; hal 18

Pujiarto, P., S., (2014) Batuk Pilek (Common Cold) pada Anak, InHealth Gazette, Ed. Agust-Nov, hal 5.

Soedibyo, S., Yulianto, A., Wardhana., (2013) Profil Penggunaan Obat Batuk Pilek bebas pada Pasien Anak di bawah umur 6 Tahun, Sari Pediatri, Vol. 14, No. 6, hal 398, 399, 401-403.

Supriyatno, B. (2010) Batuk Kronik pada Anak, Majalah Kedokteran In-donesia, Vol. 60 No. 6, hal 286, 287.

Tjay . T. H, Rahardja . K, (2002) ,Obat –obat penting khasiat, penggunaan , dan efek-efek sampingnya, Edisi 7, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 666, 669.