GAMBARAN SEL DARAH PUTIH AYAM PETELUR YANG
DIIMUNISASI ENZIM LIPASE DAN ADJUVAN JENIS
ALUMINIUM HIDROKSIDA SERTA QUIL A
RINDY FAZNI NENGSIH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Gambaran Sel Darah
Putih Ayam Petelur yang Diimunisasi Enzim Lipase dan Adjuvan Jenis
Aluminium Hidroksida serta Quil A” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Rindy Fazni Nengsih
NIM B04120190
ABSTRAK
RINDY FAZNI NENGSIH. Gambaran Sel Darah Putih Ayam Petelur yang
Diimunisasi Enzim Lipase dan Adjuvan Jenis Aluminium Hidroksida serta Quil
A. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI
ACHMADI.
Peran sel darah putih (BDP) berkaitan dengan kekebalan. Gambaran sel
darah putih dipengaruhi oleh pemberian imunisasi yang bertujuan untuk
meningkatkan antibodi. Aluminium hidroksida dan Quil A merupakan jenis
adjuvan yang digunakan dalam penelitian untuk melihat perubahan gambaran
BDP ayam petelur yang diimunisasi dengan enzim lipase dan ditambahkan
adjuvan tersebut. Empat puluh dua ekor ayam petelur dibagi menjadi tujuh
kelompok berdasarkan jenis adjuvan dan dosis imunisasi, yaitu kelompok A (0.25
mg lipase + Al(OH)3), B (0.5 mg lipase + Al(OH)3), C (1 mg lipase + Al(OH)3),
D (0.25 mg lipase + Quil A), E (0.5 mg lipase + Quil A), F (1 mg lipase + Quil
A), dan G sebagai kontrol negatif (tanpa imunisasi). Imunisasi dilakukan secara
berulang sebanyak tiga kali dengan selang waktu empat minggu dan pengambilan
sampel darah dilakukan dua minggu sebelum dan setelah imunisasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa total BDP dan limfosit mengalami penurunan
yang nyata akibat imunisasi berulang (P<0.05). Peningkatan total BDP tertinggi
terlihat pada imunisasi pertama dengan dosis imunisasi tertinggi yang
ditambahkan Al(OH)3 (P<0.05) dan menurun pada imunisasi kedua dan ketiga.
Dosis imunisasi dapat meningkatkan rasio heterofil terhadap limfosit yang dapat
dijadikan sebagai indikator stres.
Kata kunci: Al(OH)3, imunisasi berulang, lipase, Quil A, sel darah putih
ABSTRACT
RINDY FAZNI NENGSIH. White Blood Cells Profile in Laying Hens
Immunized Lipase Enzyme with Aluminium Hydroxide and Quil A Adjuvants.
Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.
The role of white blood cell (WBC) is associated with immunity. White
blood cell profile is influenced by immunization which purposed to increase
antibody. Aluminium hydroxide and Quil A are kind of adjuvants that were used
in this study to observe WBC profile of immunized laying hens with lipase
enzyme and both adjuvants. Forty two laying hens were divided into seven groups
based on different adjuvants and level of doses: group A (0.25 mg lipase +
Al(OH)3), B (0.5 mg lipase + Al(OH)3), C (1 mg lipase + Al(OH)3), D (0.25 mg
lipase + Quil A), E (0.5 mg lipase + Quil A), F (1 mg lipase + Quil A), and G as
negative control (without immunization). The immunizations were repeated three
times every four weeks and the blood sample were taken two weeks before and
after immunization. The result showed that WBC profile and lymphocyte
decreased significantly caused by repeated immunizations (P<0.05). There was
increased of WBC profile on first immunization with largest level at largest dose
in Al(OH)3 (P<0.05) and WBC profile decreased on second and third
immunizations. Immunization doses could increase heterophil/lymphocyte ratio as
indicator of stress.
Keywords: Al(OH)3, lipase, Quil A, repeated immunization, white blood cell
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
GAMBARAN SEL DARAH PUTIH AYAM PETELUR YANG
DIIMUNISASI ENZIM LIPASE DAN ADJUVAN JENIS
ALUMINIUM HIDROKSIDA SERTA QUIL A
RINDY FAZNI NENGSIH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi : Gambaran Sel Darah Putih Ayam Petelur yang Diimunisasi Enzim
Lipase dan Adjuvan Jenis Aluminium Hidroksida serta Quil A
Nama : Rindy Fazni Nengsih
NIM : B04120190
Disetujui oleh
Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc Drs Pudji Achmadi, MSi
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Gambaran Sel Darah Putih
Ayam Petelur yang Diimunisasi Enzim Lipase dan Adjuvan Jenis Aluminium
Hidroksida serta Quil A” ini dapat diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr drh Aryani Sismin
Satyaningtijas, MSc dan Bapak Drs Pudji Achmadi, MSi selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan berupa masukan dan
saran dalam menyusun skripsi hingga akhir penulisan. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Dr drh Okti Nadia Poetri, MSi dan Ibu Dr drh Hj
Gunanti, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran
dalam perbaikan skripsi menjadi lebih baik. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dr drh Chusnul Choliq, MS, MM selaku dosen pembimbing
akademik yang selalu memberikan arahan dalam menjalani perkuliahan. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada tim penelitian yang diketuai oleh drh Ronald
Tarigan, MSi dan seluruh staf laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan
dan staf Fakultas Peternakan yang membantu dalam penelitian ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, adek (Dila dan Kiki), beserta
seluruh keluarga besar atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Mutia, Dewi, Aat, Desi, Tri, Bambang
selaku anggota tim penelitian, Nurmayanti, Nadia, Anggia, Nevvi, Anna, Vivi,
kelas Bb dan teman-teman angkatan Astrocyte 49 yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang memberikan semangat hingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
Rindy Fazni Nengsih
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Adjuvan 2
Diferensiasi Leukosit 3
Indeks Stres 5
METODE 5
Tempat dan Waktu Penelitian 5
Alat dan Bahan 5
Preparasi Sediaan Imunisasi 5
Persiapan Hewan Coba 6
Rancangan Penelitian 6
Prosedur Penelitian 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Leukosit 8
Kekebalan Non Spesifik 9
Kekebalan Spesifik 11
Pengukuran Indeks Stres 13
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 18
DAFTAR TABEL
1 Rataan jumlah leukosit ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase
dosis bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A 8 2 Rataan jumlah heterofil ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase
dosis bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A 10 3 Rataan jumlah monosit ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase
dosis bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A 11 4 Rataan jumlah limfosit ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase
dosis bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A 12
5 Rataan indeks stres ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase dosis
bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A 13
DAFTAR GAMBAR
1 Heterofil unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa 3
2 Eosinofil unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa 3
3 Basofil unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa 4
4 Limfosit unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa 4
5 Monosit unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa 4
6 Diagram alir penelitian 7
DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai normal total leukosit dan diferensiasi leukosit pada unggas 17
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam berpotensi sebagai pabrik biologis karena memiliki kandungan
antibodi berupa imunoglobulin dalam jumlah tinggi. Imunoglobulin tertinggi
terdapat pada kuning telur ayam yaitu Imunoglobulin Y (Wibawan dan
Soejoedono 2013). Imunoglobulin Y (IgY) pada ayam tahan terhadap pemanasan
65 °C selama 30 menit, tetapi tidak tahan terhadap pemanasan 75 °C selama 30
menit. IgY juga mampu bertahan pada pH 4 (Wibawan et al. 2009). Produksi IgY
menggunakan ayam banyak dikembangkan karena relatif murah dan mudah dalam
mengoleksi dibandingkan dengan produksi antibodi yang berasal dari mamalia.
Imunisasi ayam menggunakan antigen berupa bahan biologis dapat
menghasilkan IgY spesifik pada serum dan ditransfer ke kuning telur. Antigen
yang digunakan dalam penelitian adalah enzim lipase pankreas babi yang
memiliki berat molekul 38 kDa (Shen et al. 2013). Enzim lipase telah memenuhi
syarat sebagai senyawa yang bersifat antigenik yaitu memiliki ukuran molekul
lebih dari 10 kDa, kelarutan, kompleksitas susunan kimiawi dan derajat keasingan
yang tinggi, dan dapat didegradasi oleh makrofag (Wibawan dan Soejoedono
2013).
Titer antibodi yang tinggi pada ayam diperoleh dari keberhasilan imunisasi
yang dilakukan. Keberhasilan imunisasi dipengaruhi oleh rute imunisasi, dosis
imunisasi, jenis adjuvan yang ditambahkan, pemeliharaan yang baik, tidak ada
imunosupresi, dan tidak ada cekaman. Adjuvan merupakan senyawa yang
dimasukkan ke dalam vaksin untuk meningkatkan imunogenisitas (Pellegrino et al.
2015). Penambahan adjuvan ke dalam vaksin memberikan induksi yang lebih
cepat, luas, dan kuat dalam meningkatkan respon imun. Jenis-jenis adjuvan
berdasarkan bahan penyusunnya terdiri dari aluminium compounds (Al(OH)3),
saponin (Quil A), dan sebagainya.
Adjuvan yang sering digunakan adalah aluminium hidroksida (Al(OH)3) dan
Quil A. Adjuvan Al(OH)3 sering dipakai untuk vaksin manusia dan hewan karena
memiliki keamanan yang baik, biaya rendah, serta adjuvanticity dengan berbagai
antigen (De Gregorio et al. 2008). Adjuvan aluminium juga memiliki keterbatasan,
seperti ketidakmampuan untuk meningkatkan respon imun diperantarai sel,
terutama respon tanggap sel T-sitotoksik (Gupta 1998). Adjuvan Quil A berbahan
dasar saponin merupakan derivat fraksi dari ekstrak kulit kayu Quillaja saponaria
sebagai alternatif alum. Quil A telah berhasil digunakan untuk aplikasi di bidang
veteriner, tetapi cukup berbahaya untuk digunakan di manusia. Saponin dapat
memberikan reaksi lokal yang parah yang menyebabkan granuloma dan hemolisis
(Kensil et al. 1991).
Suprapto (2008) menyatakan bahwa peningkatan imunitas disebabkan oleh
adanya imunisasi yang berulang dan memiliki efek samping berupa peningkatan
tingkat stres. Kondisi stres dapat meningkatkan hormon glukokortikoid yang akan
meningkatkan nilai heterofil dan menurunkan nilai limfosit dalam darah (Gross
1989). Penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui jenis adjuvan dan dosis
imunisasi paling baik dalam meminimalisir stres dengan melihat gambaran sel
2
darah putih ayam petelur yang diberikan adjuvan jenis aluminium hidroksida
(Al(OH)3) dan Quil A.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan gambaran sel darah putih
ayam petelur meliputi jumlah sel dan jenis-jenis sel darah putih terhadap
pemberian imunisasi berulang dengan lipase dosis bertingkat yang ditambahkan
adjuvan jenis Al(OH)3 dan Quil A.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis
adjuvan dan dosis imunisasi yang baik dalam menurunkan rasio heterofil terhadap
limfosit sebagai indikator stres pada ayam petelur.
TINJAUAN PUSTAKA
Adjuvan
Adjuvan berasal dari bahasa latin “adjuvare”, yaitu membantu atau
meningkatkan yang digambarkan oleh Ramon pada tahun 1924 sebagai "bahan
yang digunakan dalam kombinasi dengan antigen spesifik yang menghasilkan
respon imun yang lebih kuat daripada antigen sendiri (Edelman 2000). Adjuvan
merupakan senyawa yang dimasukkan ke dalam vaksin untuk meningkatkan
imunogenisitas. Penambahan adjuvan ke dalam vaksin memberikan induksi yang
lebih cepat, luas, dan kuat dalam meningkatkan respon imun (Pellegrino et al.
2015). Karakteristik adjuvan yang ideal adalah aman digunakan dan tidak
menimbulkan efek samping yang berkepanjangan, dapat diserap tubuh,
menimbulkan respon imun terapeutik yang dikombinasikan dengan antigen, serta
dengan dosis sedikit telah menimbulkan respon imun tubuh (Edelman 2000).
Adjuvan aluminium hidroksida (Al(OH)3), biasa disebut “alum” merupakan
adjuvan yang sering dipakai untuk vaksin manusia dan hewan karena memiliki
keamanan yang baik, biaya rendah, serta adjuvanticity dengan berbagai antigen
(De Gregorio et al. 2008). Alum memunculkan respon imun humoral yang kuat
yang diperantarai oleh sekresi antigen-antibodi spesifik sehingga efektif melawan
penyakit seperti difteri, tetanus, dan hepatitis B (Clements dan Griffiths 2002).
Adjuvan Al(OH)3 bersama antigen dapat menginduksi respon antibodi dengan
kapasitas penyerapan yang tinggi terhadap antigen pada pH netral. Adjuvan
aluminium juga memiliki keterbatasan, seperti induksi sesekali terhadap reaksi
lokal di tempat suntikan, dan ketidakmampuan untuk meningkatkan respon imun
diperantarai sel, terutama respon tanggap sel T-sitotoksik (Gupta 1998).
Adjuvan Quil A merupakan derivat fraksi dari ekstrak kulit kayu Quillaja
saponaria. Fraksi ini dimurnikan melalui reverse phase chromatography,
terutama QS-21 (saponin-like adjuvant) yang merupakan alternatif alum (Kensil et
3
al. 1991). Lovgren dan Morein (1988) menjelaskan bahwa saponin akan
menginduksi respon adjuvan yang kuat untuk antigen T-dependent, antigen T-
independent, respon limfosit dan CD8+, serta memberikan respon pada mukosa
antigen. Quil A telah berhasil digunakan untuk aplikasi di bidang veteriner, tetapi
cukup berbahaya untuk digunakan pada manusia. Saponin dapat memberikan
reaksi lokal yang parah dan terjadi granuloma, serta hemolisis yang
mencerminkan afinitas saponin pada membran eritrosit (Kensil et al. 1991).
Diferensiasi Leukosit
Sel darah putih atau leukosit merupakan sel pertahanan tubuh yang beredar
di dalam aliran darah dengan berbagai tipe. Jumlah leukosit normal yang beredar
di sirkulasi darah unggas berkisar antara 1.9-9.5 x 103 butir/mm
3 (Gulland dan
Hawkey 1990). Leukosit umumnya dikelompokkan berdasarkan keberadaan
granul, yaitu granulosit dan agranulosit. Leukosit granulosit ditandai dengan
adanya granula khas di dalam sitoplasma sel yang terdiri dari heterofil, eosinofil,
dan basofil. Leukosit agranulosit tidak memiliki granula di sitoplasma sel yang
terdiri dari monosit dan limfosit (Campbell dan Ellis 2007).
Heterofil
Heterofil merupakan jenis leukosit granulosit yang sering ditemui di
pembuluh darah perifer unggas. Heterofil berbentuk oval atau gelondong dan
berisi granul-granul eosinofilik yang cenderung menutupi sebagian dari inti
heterofil. Inti sel mengandung kelompok kromatin kasar dan biasanya memiliki 2-
3 lobus (Campbell 1994).
Gambar 1 Heterofil unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa (Jones 2015)
Eosinofil
Eosinofil adalah jenis leukosit granulosit yang memiliki granul eosinofilik
dan inti berlobus dua. Butiran eosinofil pada umumnya berbentuk bulat, meskipun
ukuran, bentuk, dan warna dapat bervariasi di antara spesies (Jones 2015). Jumlah
eosinofil akan meningkat apabila terjadi infeksi parasit, seperti kecacingan
(Wibawan dan Soejoedono 2013).
Gambar 2 Eosinofil unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa (Jones 2015)
10.0 µm
4
Basofil
Basofil merupakan leukosit granulosit yang jarang ditemukan di darah
perifer unggas. Basofil unggas berukuran sedikit lebih kecil dari heterofil dengan
sitoplasma bergranul basofilik sehingga menutupi inti sel yang tidak berlobus
(Mitchell dan Johns 2008). Jumlah basofil akan mengalami peningkatan jika
terjadi reaksi hipersensitivitas.
Gambar 3 Basofil unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa (Jones 2015)
Limfosit
Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang berbentuk bulat dengan inti
berwarna ungu tua tidak berlobus, sitoplasma berwarna biru kepucatan dan
homogen dilihat dengan pewarnaan Wright-Giemsa (Jones 2015). Limfosit dibagi
menjadi limfosit besar dan limfosit kecil berdasarkan rasio antara inti dan
sitoplasma. Inti dari limfosit sedikit eksentrik dengan kromatin inti padat
mengelompok (Campbell dan Ellis 2007).
Gambar 4 Limfosit unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa (Jones 2015)
Monosit
Monosit merupakan leukosit agranulosit yang berukuran sangat besar
dibandingkan dengan jenis leukosit lainnya. Monosit berbentuk bulat atau
amorphous dengan inti eksentrik yang bulat dan memanjang mirip seperti tapal
kuda. Sitoplasma dari monosit biasanya berwarna biru keabuan (Mitchell dan
Johns 2008). Monosit adalah prekursor sel myelosit yang bersifat fagosit dan akan
berubah menjadi makrofag jika masuk ke dalam jaringan (Wibawan dan
Soejoedono 2013).
Gambar 5 Monosit unggas dengan pewarnaan Wright-Giemsa (Jones 2015)
10.0 µm
10.0 µm
5
Indeks Stres
Stres pada hewan merupakan respon adaptif terhadap ancaman sebagai
bentuk homeostasis (Dohms dan Metz 1991). Stres dapat dipicu dari faktor
internal maupun eksternal, tingkat keparahan, dan durasi. Potensi stres yang
disebabkan oleh suhu, lingkungan, kualitas udara, sanitasi seperti kontaminan dari
lingkungan akan memengaruhi respon imun di dalam tubuh hewan, terutama
unggas. Stres dapat memicu peningkatan rasio antara heterofil dan limfosit yaitu
heterofil berada dalam frekuensi lebih tinggi daripada limfosit sehingga dapat
mengurangi titer antibodi (Shini et al. 2009).
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran
Hewan dan kandang C Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
berlangsung sejak bulan Mei sampai Agustus 2015.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan adjuvan adalah tabung
eppendorff, pipet tetes, Phosphate Buffered Saline (PBS), alumunium foil, filter
0.22 µm, ultrasonifikaser, dan refrigerator. Peralatan yang digunakan saat
penyuntikan adalah cooling box, spoit 1 ml, kapas, sarung tangan, dan masker.
Peralatan yang digunakan saat pengambilan darah yaitu spoit 3 ml, kaca preparat,
sarung tangan, masker, dan Ethylene Diamine Tetraacetate Acid (EDTA) vaccum
tube. Peralatan yang digunakan saat analisis sampel darah adalah mikropipet,
kamar hitung Neubauer, kaca preparat, counter, dan mikroskop.
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam petelur
strain ISA Brown berumur 16 minggu sebanyak 42 ekor. Bahan yang digunakan
saat imunisasi adalah Porcine Pancreatic Lipase (Applichem #A4090), adjuvan
Al(OH)3 (Sigma #A239186), adjuvan Quil A (Sigma #AS4521), dan alkohol 70%.
Bahan yang digunakan untuk analisis sampel darah adalah larutan pengencer
darah ayam yaitu larutan Rees dan Ecker (sodium sitrat 3.8 g, formalin 0.2 ml,
Brilliant Cresyl Blue 0.03 g, dan aquades sampai 100 ml), methanol 75%, larutan
Giemsa 10%, minyak emersi, larutan pembersih mikroskop, dan tisu.
Preparasi Sediaan Imunisasi
Lipase tersedia dalam bentuk serbuk yang sudah dikemas dalam botol
dengan nama Porcine Pancreatic Lipase (Applichem #A4090). Sediaan imunisasi
lipase dengan adjuvan Al(OH)3 dibuat dengan cara melarutkan lipase 2 mg dalam
1 ml PBS dan 2 mg adjuvan Al(OH)3 dalam 1 ml PBS. Pencampuran enzim lipase
dan adjuvan Al(OH)3 dilakukan dengan perbandingan 1:1 sehingga diperoleh
6
konsentrasi lipase sebesar 1 mg/ml larutan. Dosis imunisasi diberikan secara
bertingkat yaitu dosis A menggunakan 0.25 mg lipase + Al(OH)3, dosis B
menggunakan 0.5 mg lipase + Al(OH)3, dan dosis C menggunakan 1 mg lipase +
Al(OH)3.
Sediaan imunisasi lipase dengan adjuvan Quil A dibuat dengan cara
melarutkan lipase 2 mg dalam 1 ml PBS dan 2 mg adjuvan Quil A dalam 1 ml
PBS. Pencampuran enzim lipase dan adjuvan Quil A dilakukan dengan
perbandingan 1:1 sehingga diperoleh konsentrasi lipase sebesar 1 mg/ml larutan.
Dosis imunisasi diberikan secara bertingkat yaitu dosis D menggunakan 0.25 mg
lipase + Quil A, dosis E menggunakan 0.5 mg lipase + Quil A, dan dosis F
menggunakan 1 mg lipase + Quil A.
Persiapan Hewan Coba
Besar sampel hewan coba yang digunakan dapat diketahui dengan rumus
Federer (1963) yaitu: (t - 1)(n - 1) ≥ 15, dimana t merupakan jumlah perlakuan dan
n merupakan jumlah sampel minimal. Penelitian ini memiliki tujuh kelompok
perlakuan berdasarkan jenis adjuvan dan dosis imunisasi, yaitu A, B, C, D, E, F,
dan G sehingga jumlah sampel minimal yang digunakan dalam penelitian adalah
empat ekor ayam per kelompok perlakuan.
Jumlah sampel penelitian berdasarkan hasil perhitungan dari rumus Federer
(1963) diambil sebanyak enam ekor ayam per perlakuan sehingga jumlah sampel
yang dibutuhkan sebanyak 42 ekor ayam. Adjuvan Al(OH)3 diberikan pada
kelompok A, B, dan C dengan dosis imunisasi bertingkat. Adjuvan Quil A
diberikan pada kelompok D, E, dan F dengan dosis bertingkat. Ayam dibagi
menjadi kelompok A, B, C sebanyak 18 ekor dengan pemberian adjuvan Al(OH)3,
kelompok D, E, F sebanyak 18 ekor dengan pemberian adjuvan Quil A, dan
kelompok G sebanyak enam ekor sebagai kontrol negatif atau tanpa imunisasi.
Aklimatisasi ayam berlangsung selama dua minggu.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan pola faktorial,
yakni faktor pertama adalah dosis imunisasi lipase pada adjuvan (Al(OH)3) dan
Quil A (0 mg, 0.25 mg, 0.5 mg, 1 mg) dan faktor kedua adalah perlakuan
imunisasi berulang (pre-imunisasi, imunisasi pertama, kedua, dan ketiga).
Prosedur Penelitian
Diagram Alir Penelitian
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan pada diagram alir berikut
ini.
7
Gambar 6 Diagram alir penelitian
Pelaksanaan Imunisasi
Larutan campuran lipase dan adjuvan disuntikan pada otot dada ayam
(musculus pectoralis) secara intramuskular dengan spoit 1 ml. Suntikan dilakukan
pada otot dada kiri dan kanan. Imunisasi dilakukan berulang sebanyak tiga kali
dengan selang waktu empat minggu.
Tahapan Pengambilan Darah
Pengambilan darah dilakukan sebanyak empat kali dengan selang waktu dua
minggu sebelum dan sesudah imunisasi. Darah diambil melalui vena jugularis
dengan menggunakan disposable syringe 3 ml. Darah kemudian dimasukkan ke
dalam tabung EDTA vacuum tube dan dihomogenkan. Preparat ulas dibuat dari
sampel darah ayam tersebut. Darah diteteskan sedikit di ujung kaca preparat. Kaca
preparat lainnya ditempelkan pada kaca preparat yang telah ditetesi darah dengan
membentuk sudut 30° kemudian ditunggu agar darah menyebar ke seluruh sisi
yang menempel pada kaca preparat. Penggoresan darah dilakukan ke sisi ujung
kaca preparat lainnya sehingga terbentuk lapisan darah tipis merata dan dibiarkan
terkena udara agar preparat kering (Tim Pengajar Fisiologi 2014).
Analisis Sampel Darah
Jumlah leukosit dihitung menggunakan hemositometer. Pengenceran
dilakukan dengan mencampurkan 5µl darah dengan larutan Rees dan Ecker
sebanyak 0.5 ml menggunakan mikropipet dan dihomogenkan. Larutan yang telah
homogeny dibuang kira-kira satu tetes dan dimasukkan ke dalam hemositometer
dengan hati-hati dan ditutup dengan kaca penutup. Penghitungan leukosit
dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada perbesaran 400x pada empat
kotak besar kamar hitung ditambah satu kotak besar pada bagian tengah. Jumlah
leukosit tiap milimeter kubik (mm3) adalah jumlah sel terhitung dikalikan dengan
200 (Tim Pengajar Fisiologi 2014).
Preparat ulas difiksasi dengan methanol 75% selama 5 menit kemudian
diangkat dan dikeringkan di udara. Ulasan darah direndam dengan larutan Giemsa
8
10% selama 30 menit, kemudian dicuci dengan menggunakan air kran yang
mengalir untuk menghilangkan zat warna yang berlebihan, dan dikeringkan
dengan tissue. Preparat ulas diletakkan dibawah mikroskop pembesaran 1000 kali
dan ditambahkan minyak emersi kemudian dihitung diferensiasi leukosit meliputi
limfosit, heterofil, monosit, eosinofil, dan basofil secara zigzag dengan
pembesaran 1000 kali sampai jumlah total 100 butir leukosit menggunakan
counter (Tim Pengajar Fisiologi 2014).
Analisis Data
Data dianalisis menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA) two-way
dengan aplikasi SPSS Statistics 22 untuk mengidentifikasi adanya dua faktor yang
mungkin menyebabkan perbedaan dalam variabel terikat dan dilanjutkan dengan
uji Duncan jika hasil yang didapat memperlihatkan adanya pengaruh nyata (α =
0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Leukosit
Leukosit atau sel darah putih merupakan komponen darah yang paling
sedikit di dalam tubuh. Jumlah leukosit dalam sirkulasi darah unggas umumnya
berkisar antara 1.9-9.5 x 103 butir/mm
3 (Gulland dan Hawkey 1990). Leukosit
berperan sebagai baris pertahanan tubuh terhadap infeksi virus, bakteri, parasit,
hingga proliferasi sel tumor. Peningkatan jumlah leukosit dalam sirkulasi darah
merupakan respon dari adanya inflamasi dan kekebalan (Wibawan dan
Soejoedono 2013). Respon tersebut dapat muncul akibat masuknya benda asing ke
dalam tubuh, salah satunya adalah perlakuan imunisasi berulang dengan lipase
yang ditambahkan adjuvan Al(OH)3 dan Quil A. Jumlah leukosit ayam petelur
yang diimunisasi lipase dengan penambahan adjuvan Al(OH)3 dan Quil A
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rataan jumlah leukosit ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase
dosis bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A
Kelompok
Leukosit (x 103 butir/mm
3)
Pre-imunisasi
(minggu ke-4)
Imunisasi 1
(minggu ke-8)
Imunisasi 2
(minggu ke-12)
Imunisasi 3
(minggu ke-16)
A 9.87 ± 1.51a,x
12.33 ± 0.64a,x
13.20 ± 0.92a,y
10.53 ± 3.67a,x
B 9.20 ± 1.51ab,x
12.33 ± 2.21b,x
12.40 ± 2.88b,y
7.73 ± 2.37a,x
C 11.07 ± 1.85a,xy
17.27 ± 1.33b,y
14.87 ± 2.31b,y
9.93 ± 1.68a,x
D 12.80 ± 1.59ab,y
12.93 ± 0.46ab,x
14.27 ± 1.36b,y
10.67 ± 0.90a,x
E 9.87 ± 0.6a,x
11.87 ± 0.23ab,x
13.53 ± 1.63b,y
11.20 ± 1.93ab,x
F 9.20 ± 1.04ab,x
10.80 ± 0.53b,x
8.33 ± 0.81a,x
9.80 ± 1.25ab,x
G 11.00 ± 0.72b,xy
11.93 ± 1.55b,x
12.20 ± 0.20b,y
8.00 ± 0.92a,x
Ket:
A: 0.25 mg lipase + Al(OH)3; B: 0.5 mg lipase + Al(OH)3; C: 1 mg lipase + Al(OH)3
D: 0.25 mg lipase + Quil A; E: 0.5 mg lipase + Quil A; F: 1 mg lipase + Quil A
G: Kontrol negatif (tanpa imunisasi) a,b
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05) x,y
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05)
9
Hasil pengamatan leukosit menunjukkan peningkatan jumlah leukosit
(leukositosis) terjadi di imunisasi pertama pada kelompok A sampai F kecuali
kelompok kontrol yang tidak diimunisasi. Leukositosis diduga terjadi akibat
imunisasi yang dilakukan. Campbell (1994) menyatakan bahwa leukositosis
terjadi disebabkan inflamasi dan infeksi, baik lokal maupun sistemik. Jumlah
leukosit pada imunisasi kedua menunjukkan perubahan jumlah yang tidak
signifikan dengan imunisasi pertama pada kelompok A sampai G (P>0.05),
kecuali kelompok F yang mengalami penurunan signifikan dibandingkan
imunisasi pertama (P<0.05). Jumlah leukosit pada kelompok G (tanpa imunisasi)
cenderung stabil, kecuali pada imunisasi ketiga yang mengalami penurunan.
Penurunan jumlah leukosit juga dialami kelompok perlakuan pada imunisasi
ketiga. Perubahan leukosit pada tubuh ayam belum dapat dipastikan akibat respon
kekebalan yang diperoleh dari imunisasi atau pengaruh lingkungan sehingga perlu
dilakukan pengamatan terhadap komponen leukosit lainnya seperti heterofil,
eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit melalui diferensiasi leukosit sesuai dengan
respon kekebalan yang diberikan.
Kekebalan Non Spesifik
Mekanisme pertahanan tubuh dapat menimbulkan kekebalan bawaan (non
spesifik) yang memberikan respon yang sama pada semua benda asing yang
masuk ke dalam tubuh. Kekebalan non spesifik meliputi peran fisik dan kimiawi,
yaitu kulit dan selaput lendir mukosa sebagai baris pertahanan pertama. Benda
asing yang dapat melewati baris pertahanan pertama akan mendapat respon dari
makrofag di jaringan dan sel Polymorphonuclear (PMN) berupa heterofil,
eosinofil, basofil, dan sel natural killer (NK) sebagai baris pertahanan kedua
(Wibawan dan Soejoedono 2013).
Heterofil
Heterofil merupakan komponen sel darah putih yang hanya dimiliki unggas
dan amfibi serta berperan dalam peradangan pada kondisi akut. Jumlah heterofil
dalam sirkulasi darah unggas umumnya berkisar 0.5-7.6 x 103 butir/mm
3 (Gulland
dan Hawkey 1990). Ayam petelur yang diimunisasi lipase dengan adjuvan
Al(OH)3 pada kelompok A, B, C, dan adjuvan Quil A pada kelompok D, E, F,
serta kelompok G (kontrol negatif) memberikan pengaruh terhadap rataan jumlah
heterofil yang disajikan pada Tabel 2.
Hasil pengamatan heterofil menunjukkan bahwa dosis imunisasi diduga
berpengaruh terhadap peningkatan jumlah heterofil. Kelompok A dan D dengan
dosis imunisasi terendah mengalami peningkatan signifikan pada imunisasi ketiga
dibandingkan perlakuan imunisasi lainnya. Kelompok B dan E dengan dosis
imunisasi menengah serta C dan F dengan dosis tertinggi mengalami peningkatan
signifikan pada imunisasi kedua. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar dosis
imunisasi yang diberikan akan meningkatkan jumlah heterofil semakin cepat
sesuai fungsi heterofil dalam mengatasi peradangan akut dan diduga terjadi stres
pada ayam. Gross (1989) menyatakan bahwa stres dapat menyebabkan
peningkatan hormon glukokortikoid yang akan meningkatkan jumlah heterofil dan
menurunkan limfosit dalam darah.
10
Tabel 2 Rataan jumlah heterofil ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase
dosis bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A
Kelompok
Heterofil (x 103 butir/mm
3)
Pre-imunisasi
(minggu ke-4)
Imunisasi 1
(minggu ke-8)
Imunisasi 2
(minggu ke-12)
Imunisasi 3
(minggu ke-16)
A 2.75 ± 0.42bc,yz
0.90 ± 0.35a,x
1.60 ± 0.48ab,w
4.29 ± 1.58c,xy
B 3.88 ± 1.62ab,z
1.82 ± 0.19a,y
5.79 ± 1.11b,yz
4.05 ± 1.32ab,xy
C 2.19 ± 1.21a,xy
1.35 ± 0.70a,xy
6.37 ± 1.31b,z
5.79 ± 1.95b,y
D 1.36 ± 0.53a,wxy
2.01 ± 0.74ab,y
3.12 ± 0.42b,wx
6.33 ± 0.74c,y
E 1.04 ± 0.34a,wx
0.79 ± 0.43a,x
6.76 ± 0.70b,z
5.93 ± 1.31b,y
F 0.56 ± 0.28a,w
0.79 ± 0.14a,x
1.96 ± 0.04b,w
2.76 ± 0.72c,x
G 0.63 ± 0.24a,wx
0.70 ± 0.35a,x
3.78 ± 0.22c,xy
2.65 ± 0.14b,x
Ket:
A: 0.25 mg lipase + Al(OH)3; B: 0.5 mg lipase + Al(OH)3; C: 1 mg lipase + Al(OH)3
D: 0.25 mg lipase + Quil A; E: 0.5 mg lipase + Quil A; F: 1 mg lipase + Quil A
G: Kontrol negatif (tanpa imunisasi) a,b,c
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05) w,x,y,z
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05)
Eosinofil
Ayam petelur yang diimunisasi lipase dengan adjuvan Al(OH)3 pada
kelompok A, B, C, dan adjuvan Quil A pada kelompok D, E, F, serta kelompok G
sebagai kontrol negatif tanpa imunisasi tidak memberikan pengaruh nyata pada
rataan jumlah heterofil terhadap perlakuan imunisasi berulang maupun jenis
adjuvan dan dosis imunisasi. Eosinofil umumnya berperan jika terjadi infeksi
parasit yang terjadi di dalam tubuh ayam. Jumlah normal eosinofil pada unggas
adalah 0.0-1.8 x 103
butir/mm3 (Gulland dan Hawkey 1990).
Basofil
Hasil pengamatan basofil menunjukkan bahwa tidak ditemukan sel basofil
mulai perlakuan pre-imunisasi hingga imunisasi ketiga. Basofil pada unggas
umumnya jarang ditemukan, yakni 0-3% dari total leukosit sekitar 0.0-1.0 x 103
butir/mm3 (Gulland dan Hawkey 1990). Peningkatan jumlah basofil dalam darah
biasanya akibat dari reaksi hipersentivitas yang terjadi pada tubuh (Wibawan dan
Soejoedono 2013).
Monosit
Monosit merupakan komponen sel darah putih yang akan berdiferensiasi
menjadi sel dendritik dan makrofag di jaringan. Monosit berperan dalam infeksi
yang bersifat kronis (Wibawan dan Soejoedono 2013). Ayam petelur yang
diimunisasi lipase dengan adjuvan Al(OH)3 pada kelompok A, B, C, dan adjuvan
Quil A pada kelompok D, E, F, serta kelompok G (kontrol negatif) memberikan
pengaruh terhadap rataan jumlah monosit yang disajikan pada Tabel 3.
Hasil pengamatan monosit ayam petelur yang diimunisasi lipase dengan
penambahan adjuvan Al(OH)3 dan Quil A menunjukkan bahwa jumlah monosit
pada kelompok A sampai F bersifat fluktuatif dan tidak berpengaruh nyata
terhadap pemberian imunisasi dan dosis imunisasi. Hal ini diduga terjadi karena
Al(OH)3 berinteraksi dalam waktu lama dengan Antigen Presenting Cell (APC)
dan limfosit sehingga Al(OH)3 dominan memengaruhi perubahan jumlah limfosit.
Peningkatan monosit terlihat jelas pada kelompok D di imunisasi pertama yang
11
mengalami peningkatan signifikan dibandingkan pre-imunisasi (P<0.05).
Peningkatan tersebut tidak signifikan pada kelompok E dan F (P>0.05), meskipun
masih di bawah jumlah monosit pada kelompok G. Peningkatan diduga terjadi
akibat adanya efek kemotaktik dari adjuvan Quil A yang mengandung saponin dan
menginduksi hadirnya monosit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ronberrg et al.
(1995) bahwa saponin merupakan glikosida dengan ikatan karbohidrat pada inti
struktur triterpenoid dari saponin. Cox dan Coulter (1997) menyatakan bahwa
adjuvan yang memiliki ikatan gula akan meningkatkan makrofag yang akan
memproduksi sitokin dan menginduksi sel limfosit Tc untuk menghancurkan sel
target. Penurunan jumlah monosit terhadap kedua adjuvan pada imunisasi kedua
dan ketiga tidak berbeda nyata terhadap pre-imunisasi, kecuali kelompok C dan
kontrol negatif yang mengalami peningkatan. Hal ini merupakan kondisi normal
beredarnya monosit dalam darah yang sesuai dengan penelitian Samour (2006)
yaitu monosit memiliki jumlah yang berubah-ubah di saat komponen leukosit
lainnya mendekati normal.
Tabel 3 Rataan jumlah monosit ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase
dosis bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A
Kelompok Monosit (x 10
3 butir/mm
3)
Pre-imunisasi
(minggu ke-4)
Imunisasi 1
(minggu ke-8)
Imunisasi 2
(minggu ke-12)
Imunisasi 3
(minggu ke-16)
A 0.55 ± 0.03ab,x
0.50 ± 0.26ab,x
0.64 ± 0.44b,x
0.04 ± 0.07a,x
B 0.29 ± 0.14a,x
0.37 ± 0.44a,x
0.22 ± 0.38a,x
0.16 ± 0.15a,x
C 1.09 ± 0.10c,y
0.56 ± 0.33b,x
0.11 ± 0.09a,x
0.24 ± 0.14ab,x
D 0.44 ± 0.35a,x
1.21 ± 0.03b,y
0.45 ± 0.41a,x
0.15 ± 0.13a,x
E 0.29 ± 0.24a,x
0.36 ± 0.32a,x
0.19 ± 0.11a,x
0.13 ± 0.14a,x
F 0.36 ± 0.15ab,x
0.76 ± 0.25b,xy
0.56 ± 0.20ab,x
0.14 ± 0.24a,x
G 0.33 ± 0.24c,x
1.36 ± 0.55c,y
0.08 ± 0.14b,x
0.11 ± 0.04a,x
Ket:
A: 0.25 mg lipase + Al(OH)3; B: 0.5 mg lipase + Al(OH)3; C: 1 mg lipase + Al(OH)3
D: 0.25 mg lipase + Quil A; E: 0.5 mg lipase + Quil A; F: 1 mg lipase + Quil A
G: Kontrol negatif (tanpa imunisasi) a,b,c
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05) x,y
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05)
Kekebalan Spesifik
Kekebalan spesifik merupakan kekebalan yang berespon khas hanya untuk
antigen yang spesifik saja. Kekebalan ini berbentuk reaksi antara antibodi dengan
antibodi homolognya (humoral mediated immunity) dan respon imun seluler
(cellular mediated immunity) sehingga membentuk sel limfosit T dan sel B
memori terhadap antigen (Wibawan dan Soejoedono 2013).
Limfosit
Limfosit merupakan komponen sel darah putih agranulosit yang beredar
normal pada sirkulasi darah unggas sebesar 1.2-4.2 x 103
butir/mm3
(Gulland dan
Hawkey 1990). Limfosit berperan dalam merespon inflamasi akibat stimulasi dari
penyakit infeksius (Mitchell dan Johns 2008). Perubahan jumlah limfosit ayam
petelur yang diimunisasi lipase dengan adjuvan Al(OH)3 pada kelompok A, B, C,
12
dan adjuvan Quil A pada kelompok D, E, F, serta kelompok G sebagai kontrol
negatif disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Rataan jumlah limfosit ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase
dosis bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A
Kelompok
Limfosit (x 103 butir/mm
3)
Pre-imunisasi
(minggu ke-4)
Imunisasi 1
(minggu ke-8)
Imunisasi 2
(minggu ke-12)
Imunisasi 3
(minggu ke-16)
A 6.45 ± 1.05a,w
10.73 ± 0.56b,x
10.75 ± 1.98b,z
6.20 ± 2.22a,xy
B 4.95 ± 0.26a,wx
9.77 ± 1.95b,x
6.39 ± 1.81a,wx
3.52 ± 1.70a,x
C 7.79 ± 0.74b,xy
14.71 ± 0.66c,y
7.91 ± 0.64b,wxy
3.78 ± 1.88a,x
D 11.00 ± 1.72b,z
9.46 ± 1.11b,x
10.56 ± 1.33b,yz
4.19 ± 0.64a,xy
E 8.44 ± 1.02b,xy
10.52 ± 0.27c,x
6.55 ± 0.87a,wx
5.09 ± 0.78a,xy
F 8.19 ± 1.40b,xy
8.88 ± 0.18b,x
5.82 ± 0.77a,w
6.82 ± 1.55ab,y
G 9.73 ± 0.50c,yz
9.71 ± 1.10c,x
7.93 ± 0.53b,xyz
5.24 ± 0.79a,xy
Ket:
A: 0.25 mg lipase + Al(OH)3; B: 0.5 mg lipase + Al(OH)3; C: 1 mg lipase + Al(OH)3
D: 0.25 mg lipase + Quil A; E: 0.5 mg lipase + Quil A; F: 1 mg lipase + Quil A
G: Kontrol negatif (tanpa imunisasi) a,b,c
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05) w,x,y,z
superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05)
Hasil pengamatan limfosit menunjukkan bahwa pengaruh imunisasi
berulang diduga berpengaruh nyata terhadap jumlah limfosit darah ayam.
Peningkatan jumlah limfosit pada imunisasi pertama diduga terjadi akibat adanya
respon terhadap antigen sebagai benda asing yang masuk ke dalam tubuh ayam
bersama adjuvan. Adjuvan Al(OH)3 dengan bahan penyusun aluminium akan
memunculkan respon imun humoral yang kuat (Clements dan Griffiths 2002).
Kekebalan humoral menurut Wibawan dan Soejoedono (2013) diawali dengan
antigen difagosit oleh makrofag dan dipresentasikan ke limfosit T helper (sel Th-
2) melalui molekul Major Histocompatibility Complex kelas II (MHC II) di
permukaan makrofag. Sel Th-2 akan berproliferasi dan mengeluarkan sitokin serta
interleukin yang akan menggertak sel limfosit B untuk menghasilkan sel memori
dan antibodi terhadap lipase.
Adjuvan Quil A dengan bahan penyusun saponin lebih menggertak
kekebalan seluler. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lovgren dan Morein (1988)
bahwa saponin akan menginduksi respon adjuvan yang kuat untuk T-dependent
antigen, T-independent antigen, dan CD8+, serta memberikan respon pada
mukosa antigen. Kekebalan seluler biasanya terjadi akibat jumlah antigen yang
tinggi, tetapi antibodi tidak memadai sehingga antigen dapat masuk ke dalam sel
target. Sel limfosit T sitotoksik (sel Tc) diaktifkan dan berinteraksi dengan sel
target melalui CD8+ dan MHC I yang terdapat di permukaan sel target. Sel target
akan dihancurkan oleh sel Tc sehingga antigen dapat dibebaskan dan difagosit
oleh makrofag (Wibawan dan Soejoedono 2013).
Penurunan jumlah limfosit terjadi pada imunisasi kedua dan ketiga.
Penurunan tersebut diduga terjadi karena injeksi yang dilakukan pada imunisasi
berulang dengan dosis imunisasi bertingkat yang menyebabkan inflamasi berulang
dan mengakibatkan stres. Stres dapat merangsang pengeluaran hormon
kortikosteron yang akan menekan aktivitas limfosit sehingga terjadi penurunan
jumlah limfosit dalam darah ayam (Etches et al. 2008).
13
Pengukuran Indeks Stres
Pemberian imunisasi berulang dengan adjuvan yang berbeda memungkinkan
ayam mengalami stres. Pengukuran indeks stres dapat dilakukan dengan melihat
rasio heterofil : limfosit (HLR) pada sel darah putih ayam. Perubahan indeks stres
ayam petelur yang diimunisasi lipase dengan adjuvan Al(OH)3 pada kelompok A,
B, C, dan adjuvan Quil A pada kelompok D, E, F, serta kelompok G sebagai
kontrol negatif tanpa imunisasi disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Rataan indeks stres ayam yang diimunisasi berulang dengan lipase dosis
bertingkat dan ditambahkan adjuvan jenis Al(OH)3 serta Quil A
Kelompok
Indeks stres
Pre-imunisasi
(minggu ke-4)
Imunisasi 1
(minggu ke-8)
Imunisasi 2
(minggu ke-12)
Imunisasi 3
(minggu ke-16)
A 0.28±0.04b,y
0.07±0.03a,x
0.12±0.05a,v
0.41±0.03c,xy
B 0.41±0.11b,z
0.15±0.03a,y
0.47±0.03b,yz
0.53±0.11b,yz
C 0.19±0.07a,xy
0.08±0.04a,x
0.43±0.04b,y
0.58±0.16b,z
D 0.11±0.06a,wx
0.16±0.06ab,y
0.22±0.04b,w
0.59±0.05c,z
E 0.11±0.04a,wx
0.07±0.04a,x
0.50±0.01b,z
0.53±0.01b,yz
F 0.06±0.04a,w
0.07±0.02a,x
0.24±0.03b,w
0.29±0.09b,x
G 0.06±0.02a,w
0.06±0.03a,x
0.31±0.02b,x
0.33±0.02b,x
Ket:
A: 0.25 mg lipase + Al(OH)3; B: 0.5 mg lipase + Al(OH)3; C: 1 mg lipase + Al(OH)3
D: 0.25 mg lipase + Quil A; E: 0.5 mg lipase + Quil A; F: 1 mg lipase + Quil A
G: Kontrol negatif (tanpa imunisasi) a,b,c
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05) v,w,x,y,z
superkrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata (P<0.05)
Hasil pengamatan indeks stres ayam petelur menunjukkan bahwa ayam
mengalami stres minimal hingga sedang. Hasil penelitian Gross dan Siegel (1983)
menunjukkan bahwa stres minimal, sedang, dan maksimal pada ayam adalah 0.2,
0.5, dan 0.8. Dosis imunisasi diduga berpengaruh terhadap indeks stres pada
ayam. Pemberian adjuvan Al(OH)3 pada kelompok A, B, C menunjukkan bahwa
kelompok A dengan dosis imunisasi terendah mengalami peningkatan signifikan
pada imunisasi ketiga dibandingkan perlakuan imunisasi lainnya. Kelompok B
sebagai dosis imunisasi menengah dan C sebagai dosis tertinggi mengalami
peningkatan signifikan pada imunisasi kedua. Peningkatan ini juga berlaku untuk
dosis imunisasi pada pemberian adjuvan Quil A. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar dosis imunisasi yang diberikan akan meningkatkan indeks stres
lebih cepat.
Peningkatan indeks stres terlihat pada imunisasi kedua pada semua
kelompok termasuk kelompok yang tidak diimunisasi. Stres dapat terjadi akibat
akumulasi dari kondisi fisik, mental, dan lingkungan yang tidak sesuai. Restrain
dan injeksi yang dilakukan pada imunisasi berulang merupakan pemicu stres yang
terjadi. Perilaku panting pada ayam juga menandakan adanya usaha untuk
mengeluarkan panas akibat suhu yang tinggi sehingga memungkinkan ayam
menjadi stres. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tamzil (2014), yakni saat suhu
pemeliharaan 23 oC sebanyak 75% panas tubuh dibuang secara konduksi,
konveksi, dan radiasi (sensible heat loss) dan 25% dibuang dengan cara panting
(insensible heat loss), sedangkan jika suhu lingkungan meningkat sampai 35 o
C,
14
75% panas tubuh dibuang dengan cara panting dan 25% dibuang dengan cara
konduksi, konveksi, dan radiasi. Faktor-faktor pemicu tersebut akan menyebabkan
peningkatan hormon kortikosteron yang menjadi pemicu terjadinya stres dan
memengaruhi peredaran leukosit yaitu menurunkan jumlah limfosit dalam darah
(Cheng dan Muir 2004).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Gambaran total leukosit dan limfosit mengalami penurunan yang nyata
akibat imunisasi berulang. Peningkatan total leukosit tertinggi terlihat pada
imunisasi pertama dengan dosis imunisasi tertinggi yang ditambahkan Al(OH)3
dan menurun pada imunisasi kedua dan ketiga. Dosis imunisasi dapat
meningkatkan rasio heterofil terhadap limfosit yang dapat dijadikan sebagai
indikator stres.
Saran
Penelitian lanjutan mengenai hubungan antara jenis adjuvan dan jumlah
antibodi perlu dilakukan untuk mengetahui adjuvan yang paling baik dalam
meningkatkan kekebalan pada ayam petelur. Pemeriksaan glukosa darah dan
hormon kortisol juga dapat dilakukan sebagai indikator stres.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell TW. Hematology. 1994. Di dalam: Ritchie BW, Harrison LR, editor.
Avian Medicine: Principles and Application. Lake Worth (FL): Winger
Publishing. hlm 176-198.
Campbell TW, Ellis CK. 2007. Hematology of birds. Di dalam: Campbell TW,
Ellis CK, editor. Avian and Exotic Animal Hematology and Cytology. 3rd
Edition. Ames (IA): Blackwell Publishing Professional. hlm 3–50.
Cheng HW, Muir WM. 2004. Chronic social stress differentially regulates
neuroendocrine responses in laying hens: II. Genetic basic of adrenal responses
under three different social conditions. Psychoneuroendocrinology. 29(7):961-
971.
Clements CJ, Griffiths E. 2002. The global impact of vaccines containing
aluminium adjuvants. Vaccine. 20(3):524-533.
Cox JC, Coulter AR. 1997. Adjuvants- a classification and review of their modes
of action. Vaccine. 15(3):248-256.
De Gregorio E, Tritto E, Rappouli R. 2008. Alum adjuvanticity: unravelling a
century old mystery. Eur J Immunol. 38:2068-2071.
Dohms JM, Metz A. 1991. Stress-mechanisms of immunosuppression. Vet
Immunol Immunophysiol. 30:89-109.
15
Edelman R. 2000. An overview of adjuvant use. Di dalam: O’Hagan DT, editor.
Vaccine Adjuvants: Preparation Methode and Research Protocols. Totowa
(NJ): Humana Press Inc. hlm 1-27.
Etches RJ, John TM, Verrinder Gibbins AM. 2008. Behavioural, physiological,
neuroendocrine and molecular responses to heat stress. Di dalam: Daghir NJ,
editor. Poult Prod hot Clim. hlm 49-69.
Federer WY. 1963. Experimental Design, Theory, and Aplication. New York
(US): Mac. Millan. hlm 544.
Gross WB. 1989. Factors affecting chicken thrombocyte morphology and the
relationship with heterophil:lymphocyte ratios. Br Poultry Sci. 30:919-925.
Gross WB. Siegel HS. 1983. Evaluation of the heterophil/lymphocyte ratio as a
measure of stress in chickens. Avian Diseases. 27(4):972-979.
Gulland FMD, Hawkey CM. 1990. Avian haematology. Di dalam: Grunsell CSG,
Raw ME, editors. The Veterinary Annual. London (UK): Butterworth. hlm 126-
136.
Gupta RK. 1998. Aluminium compounds as vaccine adjuvants. Adv Drug Delivery
Rev. 32:155-172.
Jones MP. 2015. Avian hematology. Vet Clin North Am Exot Anim Pract. 18(1):
51-61.
Kensil CR, Patel U, Lennick M, Marciani D. 1991. Separation and
characterization of saponins with adjuvant activity from Quillaja saponaria
molina cortex. J Immunol. 146(2):431-437.
Lovgren K, Morein B. 1988. The requirement of lipids for the formation of
immunostimulating complexes (ISCOMS). Biotechnol Appl Biochem. 10:761-
l72.
Mitchell EB, Johns J. 2008. Avian hematology and related disorders. Vet Clin
North Am Exot Anim Pract. 11:501-522.
Pellegrino P, Clementi E, Radice S. 2015. On vaccine’s adjuvants and
autoimmunity: current evidence and future perspectives. Autoimmunity Reviews.
14(2015):880-888.
Ronnberg B, Fekadu M, Morein B. 1995. Adjuvant activity of non-toxic Quillaja
saponaria Molina components for use ISCOM matrix. Vaccine. 13(14):1375-
1382.
Samour J. 2006. Diagnostic value of hematology. Di dalam: Harrison GJ,
Lightfoot TL, editors. Clinical Avian Medicine. London (UK): Spix Publishing.
Shen CR, Liu CL, Lee HP, Chen JK. 2013. The identification and characterization
of chitotriosidase activity in pancreatin from porcine pancrease. Molecules.
18:2978-2987.
Shini S, Huff GR, Shini A, Kaiser P. 2009. Understanding stres-induced
immunosupression: exploration of cytokine and chemokine gene profiles in
chicken peripheral leukocytes. Poultry Sci. 89:841-851.
Suprapto H. 2008. Vaksinasi sebagai Usaha Pencegahan Penyakit pada Ikan.
Orasi Ilmiah Guru Besar Universitas Airlangga. Surabaya (ID): Universitas
Airlangga.
Tamzil MH. 2014. Stres panas pada unggas: metabolisme, akibat, dan upaya
penanggulangannya. Wartazoa. 24(2):57-66.
16
Tim Pengajar Fisiologi. 2014. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner II. Bogor
(ID): Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. hlm 45-49.
Wibawan IWT, Murtini S, Soejoedono RD, Mahardika IGNK. 2009. Produksi Ig
Y antivirus Avian Influenza H5N1 dan prospek pemanfaatannya dalam
pengembangan pasif. J Vet. 10(3):118-124.
Wibawan IWT, Soejoedono RD. 2013. Intisari Imunologi Medis. Bogor (ID):
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. hlm 23-25.
17
LAMPIRAN
Lampiran 1 Nilai normal total leukosit dan diferensiasi leukosit pada unggas
(Gulland dan Hawkey 1990)
Jenis Sel Rentang Normal
(x 103 butir/mm
3)
Leukosit 5.7 (1.9-9.5)
Heterofil 4.0 (0.5-7.6)
Eosinofil 0.9 (0.0-1.8)
Basofil 0.5 (0.0-1.0)
Limfosit 2.7 (1.2-4.2)
Monosit 0.5 (0.0-1.0)
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Riau pada 22 Juli 1994. Penulis merupakan
anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Ady Fazman dan Ibu Zuraini.
Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Tualang dan lulus
pada tahun 2012. Penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan diterima
di program studi strata satu (S1) kedokteran hewan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD)
dari Kabupaten Siak Sri Indrapura pada tahun 2012. Selama menjalani perkuliahan,
penulis aktif dalam kegiatan organisasi Himpunan Profesi Ruminansia divisi
pendidikan tahun kepengurusan 2014/2015 dan bendahara umum I tahun
kepengurusan 2015/2016. Penulis juga pernah aktif dalam Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan (IMAKAHI IPB) sebagai badan pengawas tahun
kepengurusan 2015/2016. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum
Anatomi Veteriner I, dan Anatomi Veteriner II. Penulis pernah mengikuti program
kreativitas mahasiswa (PKM) bidang penelitian sebagai anggota dan didanai oleh
DIKTI pada tahun 2015.