1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Kasmir (2002:23), dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito.
Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi
masyarakat yang membutuhkannya. Di samping itu bank juga dikenal sebagai tempat
untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala macam bentuk
pembayaran dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah dan
pembayaran lainnya.
Menurut Undang-Undang RI nomor 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998
tentang Perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan secara lebih luas lagi bahwa bank
merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas
perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan. Sehingga berbicara mengenai bank
tidak terlepas dari masalah keuangan.
Aktivitas perbankan yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas
yang dikenal dengan istilah di dunia perbankan adalah kegiatan funding pengertian
2
menghimpun dana maksudnya adalah mengumpulkan atau mencari dana dengan cara
membeli dari masyarakat luas
Pembelian dana dari masyarakat ini dilakukan oleh bank dengan cara memasang
berbagai strategi agar masyarakat mau menanamkan dananya dalam bentuk simpanan.
Jenis simpanan yang dapat dipilih oleh masyarakat adalah seperti giro, tabungan,
sertifikat deposito, deposito berjangka.
Untuk melihat kesehatan bank dapat dilihat dari berbagai segi. Penilaian ini
bertujuan untuk menentukkan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, kurang
sehat, dan tidak sehat. Sehingga Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina bank-
bank dapat memberikan arahan atau petunjuk bagaimana bank tersebut harus dijalankan
atau bahkan dihentikan kegiatan operasinya.
Kelangsungan hidup BPR sangat ditentukkan dari hasil kinerja BPR tersebut. Jika
kinerja keuangan di BPR tersebut tidak baik, maka BPR akan sulit untuk berkembang dan
bertahan. Oleh sebab itu Bank Indonesia selalu mengontrol hasil kinerja dari penilaian
kesehatan BPR, karena dari penilaian kesehatan tersebut kinerja BPR dapat diketahui dan
BPR dapat dikategorikan dalam status sehat atau tidak sehat.
Penulis melakukan penelitian ini dengan membedakan BPR milik Swasta dan
BPR milik Pemerintah serta BPR yang terletak di Kota dan BPR yang terletak di
Kabupaten. Masyarakat cenderung mempercayakan dana mereka di BPR di Kota
dibandingkan BPR di Kabupaten, dikarenakan BPR yang terletak di Kota sering
diasosiasikan efisiensi menjadi dasar usaha peningkatan kinerja manajemen dan
3
pencapaian sinergi dan agar pengawasan dari pemilik, Bank Indonesia lebih mudah, dan
tercipta sinergi antar Bank yang merger, sedangkan BPR yang terletak di Kabupaten
tidak mempunyai jaminan yang cukup terhadap para penyimpan tabungan atau deposito,
karena BPR tidak mempunyai modal saham yang dapat digunakan untuk menutup
hutang-hutangnya akan tetapi para penyimpan percaya bahwa pemerintah akan turun
tangan apabila terjadi bencana dan menjamin pembayaran kembali uang tabungan dan
deposito mereka (Pandu, 1988:49). Sedangkan untuk BPR milik Swasta dan BPR milik
Pemerintah, masyarakat cenderung mempercayakan dana mereka di BPR milik
Pemerintah dikarenakan keamanan likuiditasnya terjamin karena langsung diatur oleh
pemerintah dan tidak mengalami kebangkrutan, sedangkan BPR milik Swasta kurang ada
jaminan, sering mengalami kebangkrutan dan jika mengalami kebangkrutan sulit untuk
mengembalikan dana ke masyarakat.
Infobank (2011:23) Biro Riset Infobank melakukan penilaian terhadap BPR di
Jawa Tengah rutin setiap bulannya. Untuk menilai BPR yang baik dari segi pertumbuhan
modal, aktiva produktif, rentabilitas, likuiditas, efisiensi bagi BPR yang berada di Jawa
Tengah.
Salah satu hal yang diperhatikan dalam menempatkan dana masyarakat adalah
kinerja bank. Hal ini penting terutama untuk BPR yang dikategorikan beresiko tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja BPR dengan menggunakan
metodologi yang dikembangkan oleh Biro riset Infobank. Selain itu juga akan dilakukan
analisa perbandingan kinerja antara Bank yang dimiliki swasta dengan yang dimiliki
pemerintah.
4
Penelitian ini dilakukan penulis untuk membedakan kinerja BPR yang berada di
Kota apakah lebih baik dibandingkan kinerja BPR yang berada di Kabupaten dan
membedakan kinerja BPR yang dimiliki Swasta apakah lebih baik dibandingkan BPR
yang dimiliki Pemerintah. Hal ini dilatarbelakangi oleh maksud peneliti yang mana untuk
membandingkan kinerja antar BPR yang ada. Sehingga peneliti mengambil masing-
masing jenis BPR yang dimiliki Swasta dan Pemerintah serta BPR yang terletak di Kota
dan di Kabupaten agar dapat dibandingkan kinerjanya masing-masing.
1.2 Persoalan Penelitian
Persoalan penelitian yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana penilaian kinerja BPR di Jawa Tengah dengan menggunakan metode
rating Bank dari Infobank?
Apakah terjadi perbedaan kinerja BPR yang berada di Kota dan BPR yang berada
di Kabupaten?
Apakah terjadi perbedaan kinerja BPR yang dimiliki Swasta dan BPR yang
dimiliki Pemerintah?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui bagaimana penilaian kinerja BPR di Jawa Tengah dengan
menggunakan metode rating Bank dari Infobank.
5
Untuk mengetahui perbedaan kinerja BPR yang berada di Kota dan BPR yang
berada di Kabupaten.
Untuk mengetahui perbedaan kinerja BPR yang dimiliki Swasta dan BPR yang
dimiliki Pemerintah?
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi Peneliti
Untuk mencari pengalaman serta untuk mengetahui apakah ilmu yang diperoleh
di bangku kuliah dapat diterapkan dalam kehidupan dunia kerja yang
sesungguhnya.
2. Bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Tengah
Untuk memberi masukan kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Tengah
mengenai analisis laporan kinerja keuangan yang selama ini diterapkan.
3. Bagi Bank Indonesia
Dapat meningkatkan pengontrolan terhadap kinerja BPR di Kota dan Di Kabupaten
serta BPR yang dimiliki Swasta maupun Pemerintah.
II. TELAAH TEORITIS
2.1 Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Menurut Kasmir (2002:21) Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvesional atau berdasarkan prinsip syariah yang
6
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (UU No.10
Tahun 1998 tentang perbankan). Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank yang kegiatannya
menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk
lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Larangan bagi BPR adalah menerima
rekening giro serta melaksanakan kliring. Begitu pula dengan jangkauan wilayah
opersinya sangat terbatas di kecamatan-kecamatan dan pedesaan saja. Selanjutnya
pendirian BPR dengan modal awal yang relative lebih kecil jika dibandingkan dengan
modal awal Bank Umum.
Pada awalnya tugas pokok BPR diarahkan untuk menunjang pertumbuhan dan
modernisasi ekonomi pedesaan serta mengurangi praktek-praktek ijin dan para pelepas
uang. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, pada akhirnya tugas BPR
tidak hanya ditunjukan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah di daerah perkotaan.
Sasaran BPR adalah golongan masyarakat yang belum dijangkau oleh Bank Umum
seperti petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan
sehingga keberadaan BPR akan mewujudkan pemerataan layanan perbankan pemerataan
kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan
para Perbankan No. 10 tahun 1998 pasal 13 dan pasal 41 terdapat usaha yang dilakukan
oleh Bank Perkreditan Rakyat.
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
7
2. Memberikan kredit.
3. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito
berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain.
Bank Perkreditan Rakyat dilarang.
a. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaraan.
b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
c. Melakukan penyertaan modal.
d. Melalukan usaha perasuransian.
e. Melalukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas.
2.2 Kinerja Keuangan
Helfert (1995: 82) menjelaskan bahwa kinerja keuangan adalah suatu hasil,
prestasi atau keadaan yang telah dicapai oleh perusahaan selama periode atau kurun
waktu tertentu. Menurut Kasmir (2006: 46), untuk menilai kinerja suatu bank dapat
menggunakan metode CAMEL yaitu Capital, Assets, Manajemen Quality, Earning,
Liquidity. Di mana capital menunjukkan aspek permodalan, assets menunjukkan aspek
kualitas aset, manajemen quality menunjukkan aspek kualitas manajemen, earning
8
menunjukkan aspek rentabilitas atau profitabilitas, dan liquidity menunjukkan aspek
likuiditas.
2.3 Metode Penilaian Kinerja InfoBank
Infobank (2011:22), dalam rating Infobank mencatat sebagian besar bank meraih
pertumbuhan kredit dan pertumbuhan laba. Pada tahun lalu jumlah bank di Indonesia ada
122 bank meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 121 bank. Jumlah bank di Indonesia
dari tahun ke tahun menurun karena likuidasi. Ketika rating versi Infobank pertama kali
diluncurkan pada tahun 1996, jumlah bank masih sebanyak 240 bank. Ke depan jumlah
bank masih akan menyusut akibat penggabungan antar bank, baik karena ketentuan
kepemilikan tunggal maupun untuk memperkuat modal. Tahun ini Infobank masih
menggunakan pendekatan modal sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
untuk pengelompokan bank.
Infobank (2011:23), ada lima langkah besar yang dilakukan Biro Riset Infobank
sehingga mampu menentukkan rating dengan predikat sampai menentukkan peringkat.
Pertama, menentukan formula rating yang didasarkan pada perkembangan
perbankan dan kebijakan Bank Indonesia (BI) serta pencapaian perbankan secara
industri. Seperti biasa, pada tahap ini dilakukan diskusi dengan kalangan perbankan dan
pengamat sehingga mendapatkan formula yang baik. Rating tahun 2010 menggunakan
kriteria rasio keuangan penting dan pertumbuhan selama setahun terakhir.
Kedua, mengumpulkan laporan keuangan bank-bank, antara lain neraca dan laba-
rugi selama dua tahun. Bank yang hanya mempunyai laporan keuangan satu tahun tidak
9
di rating karena tidak ada pertumbuhannya. Laporan keuangan diambil dari media massa,
baik lokal maupun nasional. Jika tidak menemukan di media massa, Biro Riset Infobank
meminta langsung kepada bank bersangkutan. Batas pengumpulan laporan keuangan
ditetapkan sampai dengan pertengahan Mei 2010. Pada tahap pengumpulan data
manakala laporan keuangan neraca dan rugi-laba terkumpul, Biro Riset Infobank tidak
perlu lagi meneliti lebih dalam, misalnya apakah ada rekayasa laporan keuangan atau
tidak. Patokannya, semua neraca itu sudah diaudit akuntan publik. Karena itu, seluruh
laporan keuangan dianggap benar tanpa kecuali. Meskipun begitu tak jarang Biro Riset
Infobank mengecek perbandingan jumlah aktiva dengan pasivanya yang terkadang
memang tidak berimbang.
Ketiga, mengolah angka-angka dengan berbagai rasio dan pertumbuhan yang
sudah ditetapkan. Hasilnya dikaitkan dengan bobot yang telah diberikan sebelumnya.
Pemberian bobot ini dilakukan seragam antara komponen yang satu dan yang lain. Hanya
beberapa rasio yang dinilainya tidak teramat penting mendapat bobot yang lebih ringan.
Pada tahun ini pembobotan masih lebih berat ke rasio keuangan dibandingkan dengan
pertumbuhan.
Keempat, memberi notasi akhir untuk menentukkan predikat. Setelah ini
terkumpul, pemeringkatan pun dilakukan. Ini hanya untuk memudahkan membaca dan
bagi Biro Riset Infobank dari semua rating itu adalah predikat, bukan nomor urut. Namun
kalau pembaca menganggap hal ini penting itu menjadi soal lain.
10
Kelima, memasukkan bank-bank sesuai dengan ukuran permodalan berdasarkan
konsep Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Setelah itu keluar nama predikat dan
peringkat sesuai dengan nilai yang diperoleh.
Rating bank versi Infobank 2011 yang didasarkan atas kinerja bank 2010 ini
menggunakan lima kriteria utama yang terbagi ke dalam tujuh rasio keuangan dan empat
pertumbuhan. Indikator itu antara lain rasio permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan
likuiditas serta efisiensi dan pertumbuhan modal, dana, kredit, dan laba.
Ada sedikit perubahan kriteria tahun 2010 dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Tahun ini Loan to Deposit Ratio (LDR) mengikuti aturan BI dengan batas
ideal 78%-100%, di atas 100% pun masih harus memiliki Capital Adequacy Ratio (CAR)
minimal 14%.
Kriteria penilaian yang digunakan BI. BI menilai kesehatan bank mengacu pada
unsur-unsur capital, assets quality, management,earning and liquidity, sedangkan Biro
Riset Infobank menerapkan kriteria-kriteria yang umum digunakan untuk mengukur
kinerja keuangan sebuah bank minus pelanggaran dan manajemen. Harus diakui ini juga
merupakan kelemahan lain jika ingin melihat seluruh kondisi sebuah bank. Biro Riset
Infobank tidak mencatumkan unsur manajemen karena memang tidak mampu melihatnya
dari luar. Itulah yang terkadang banyak mengundang kritik. Rating ini bukanlah penilaian
kesehatan sebuah bank. Yang ingin dikatakan di sini adalah penerjemahan atas rasio-rasio
keuangan bank sebagaimana tertera di laporan keuangannya. Setelah pemberian score
akhir, tahap selanjutnya ketika sudah diberi predikat adalah melakukan pemeringkatan.
Tentu setelah digolongkan berdasarkan modal sesuai dengan konsep Arsitektur
11
Perbankan Indonesia (API). Hal ini selain untuk memudahkan pembaca, juga ingin
membandingkan posisi antarbank pesaing. Namun sesungguhnya rating bank versi
Infobank ini lebih mementingkan predikat dibandingkan dengan peringkat.
Pemeringkatan bukan tanpa masalah karena banyak bank yang nilainnya sama.
Untuk mengatasi hal itu dilakukan pengukuran kembali dengan melihat posisi
CAR-nya. Jadi jika ada bank yang sama tapi CAR-nya berlainan, bank yang CAR-nya
lebih besar akan menduduki peringkat yang lebih baik. Jika masih sama dengan
menggunakan pendekatan rasio NPL dan jika masih juga sama maka digunakan dengan
pendekatan rasio LDR.
Infobank (2011:71) kriteria rasio yang dipakai oleh Infobank untuk mengukur
kinerja BPR adalah sebagai berikut:
1. Permodalan
Menyangkut rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) dan
pertumbuhan modal. Rasio ini untuk melihat seberapa jauh kekuatan permodalan dan
komitmen BPR dalam peningkatan modal. Rasio terbaik CAR mengacu pada ketentuan
BI. CAR 8% sampai dengan 12% akan diberi nilai 81 poin. CAR di atas 12% sampai
dengan , 20% akan diberi penambahan maksimal 100 poin. Rasio CAR ini di beri bobot
15%. Sisa bobot 5 % dari unsur permodalan menggunakan pendekatan pertumbuhan
modal. Rasio terbaik dari pertumbuhan modal ini menggunakan pendekatan rata-rata
industri BPR yang tergantung pada jumlah asetnya.
12
2. Aktiva Produktif
Penilaian aktiva produktif dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan rasio
jumlah kredit NPL dengan jumlah kredit. Dengan kata lain, posisi NPL. Standar terbaik
untuk NPL ini adalah 5% ke bawah dengan batas toleransi 8%. NPL 8% ke atas nilainya
0. Bobot rasio NPL ini sebesar 15%. Selain NPL yang dinilai, dalam kelompok aktiva
produktif dilihat peningkatan jumlah kredit yang disalurkan dalam kurun waktu satu
tahun. Sama halnya dengan modal untuk pertumbuhan kredit, BPR juga dibagi ke dalam
tiga kategori.
3. Rentabilitas
Meliputi tiga unsur yaitu rasio laba dibandingkan dengan modal ( Modal disetor
dan cadangan umum), rasio laba dibandingkan dengan aset, dan pertumbuhan laba.
Sejauh mana modal dan aset yang dikelola biasa menghasilkan laba dalam kurun waktu
satu periode. Rasio laba dengan aset atau ROA menggunakan standar 1,5% dan 1,5% ke
atas akan mendapat poin tambahan dengan maksimal ROA sebesar 3%. Sedangkan rasio
laba dibandingkan dengan modal atau return on equity (ROE) menggunakan standar
terbaik 7% atau rata-rata suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) satu tahun. ROA
dan ROE bobotnya masing-masing 7,5%.
4. Likuiditas
Rasio Likuiditas menggunakan pendekatan yang sederhana yaitu berpatokan pada
loan to deposit rasio (LDR). Jika suatu bank (BPR) memiliki LDR terlalu tinggi, bank
tersebut dinilai terlalu ekspansif dan perlu sedikit hati-hati. Untuk LDR terbaik
13
menggunakan pendekatan antara 78% dan 100%. Angka itu di ambil dari kebijakan BI.
Bahkan BPR dengan LDR di atas 100% tapi tidak memiliki CAR 14% ke atas dinilai
jelek. Posisi LDR ini diberi bobot 15%.
5. Efisiensi
Kategori ini menggunakan dua rasio yaitu rasio biaya operasional terhadap
pendapatan opersional (BOPO) dan rasio Net Interest Margin (NIM). Rasio ini tidak
dikelompokan berdasarkan aset karena menyangkut rasio yang tidak banyak pengaruhnya
dalam pengelolaan. Bank besar ataupun bank kecil harus efisien dengan standar terbaik
BOPO sebesar 92%. Jika ada bank yang memiliki BOPO di atas 92% , bank tersebut
dianggap tak efisien. Sebaliknya makin kecil rasio BOPO berarti bank tersebut semakin
efisien. Sejurus dengan itu ada NIM sebagai indikator efisiensi. Angka NIM terbaik BPR
saat ini adalah 10%. Makin besar NIM, makin baik. Sebaliknya, makin kecil NIM, makin
buruk. BOPO dan NIM diberi bobot masing-masing 10%. Kedua rasio ini merupakan dua
hal yang sama pentingnya.
Tabel 1.1 Kriteria Penilaian BPR Terbaik Tahun 2011
NO KRITERIA BOBOT
1.
Permodalan
A.Capital Adequacy Ratio (CAR)
B. Pertumbuhan Modal
-BPR beraset RP 100 miliar keatas
-BPR beraset RP 50 Miliar S.D. Di Bawah RP 100 Miliar
- BPR Beraset Rp 25 Miliar S.D. Di bawah RP 50 Miliar
15,00%
5,00%
2.
Aktiva Produktif
A. Non Performing Loans (NPL)
B. Pertumbuhan Kredit
-BPR beraset RP 100 miliar keatas
15,00%
5,00%
14
-BPR beraset RP 50 Miliar S.D. Di Bawah RP 100 Miliar
- BPR beraset Rp 25 Miliar S.D. Di bawah RP 50 Miliar
3.
Rentabilitas
A. Return On Asset ( ROA)
B. Return On Equity (ROE)
C. Pertumbuhan Laba Tahun Berjalan
-BPR beraset RP 100 miliar keatas
-BPR beraset RP 50 Miliar S.D. Di Bawah RP 100 Miliar
- BPR Beraset Rp 25 Miliar S.D. Di bawah RP 50 Miliar
7,50%
7,50%
5,00%
4.
Likuiditas
A. Loan To Deposit Ratio ( LDR)
B. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga
-BPR beraset RP 100 miliar keatas
-BPR beraset RP 50 Miliar S.D. Di Bawah RP 100 Miliar
- BPR Beraset Rp 25 Miliar S.D. Di bawah RP 50 Miliar
15,00%
5,00%
5
Efisiensi
A. Beban Opersional/Pendapatan Opersional (BO/PO)
B. Net Interest Margin (NIM)
10,00%
10,00%
Sumber: Biro Riset Infobank
Rekapitulasi Predikat BPR
Tabel 1.2. Predikat BPR
NILAI ANTARA PREDIKAT
81 S.D. 100 SANGAT BAGUS
66 S.D.<81 BAGUS
51 S.D.<66 CUKUP BAGUS
0 S.D.< 51 TIDAK BAGUS
Sumber : Biro Riset Infobank
15
2.4 Pengaruh Kepemilikan Bank Terhadap Kinerja Bank
Penelitian terkait pengaruh kepemilikan terhadap kinerja bank secara umum
menunjukkan bahwa BPR yang terletak di Kota menujukkan kinerja yang berbeda
dibandingkan BPR yang terletak di Kabupaten. BPR yang terletak di Kota sering
diasosiasikan efisiensi menjadi dasar usaha peningkatan kinerja manajemen dan
pencapaian sinergi (Weston dan Copeland, 1996) dan agar pengawasan dari pemilik Bank
Indonesia lebih mudah, dan tercipta sinergi antar Bank yang merger. Di mana BPR yang
terletak di Kota merupakan pusat bisnis yang uang beredarnya lebih besar dan lebih
cepat, sehingga bank lebih cepat berkembang.
Bank yang terletak di Kabupaten secara relatif memiliki efisiensi yang rendah.
Namun kredit yang diberikan relatif sama, hanya Bank yang terletak di Kota lebih besar
dan lebih likuid dibandingkan Bank yang terletak di Kabupaten. Sebaliknya penelitian
empiris mengenai bank yang terletak di Kabupaten secara umum menemukan rendahnya
tingkat penyaluran efisiensi disebabkan oleh beberapa hal yaitu: penagihan yang tidak
lancar, SDM dan kredit macet, yang semuanya disebabkan oleh faktor eksternal dan
internal seperti kondisi ekonomi, karakter dan analisis kredit yang kurang memadai
(Holloh , 2001). Rendahnya Bank yang terletak di Kabupaten dapat diselesaikan dengan
berbagai faktor diantaranya struktur pendanaan, SDM, dan infrastruktur pendukung
Dari teori dan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja BPR yang
terletak di Kota berbeda dengan BPR yang terletak di Kabupaten. Hal tersebut berlaku
juga untuk BPR yang berada di Jawa Tengah karena kinerja BPR di Kota mempunyai
16
kinerja yang berbeda dengan BPR di Kabupaten. Berdasarkan teori dan hasil penelitian di
atas dapat dirumuskan hipotesa sebagai berikut:
H1: Terdapat perbedaan kinerja antara BPR yang berada di Kota dengan BPR
yang berada di Kabupaten.
Penelitian terkait pengaruh kepemilikan terhadap kinerja BPR secara umum
menunjukkan bahwa BPR Swasta menujukkan kinerja yang berbeda dibandingkan BPR
yang dimiliki Pemerintah. Kepemilikan BPR Swasta sering diasosiasikan dengan efisiesi
yang lebih besar (Claessens, Demirguc-Kunt, dan Huizinga, 2001, Bonin, Hasan, and
Watchel, 2004) dan system banking nasional yang lebih kompetitif (Claessens dan
Laeven, 2004, Martinez Peria dan Mody, 2004). Namun BPR milik Swasta kurang ada
jaminan, sering mengalami kebangkrutan dan jika mengalami kebangkrutan sulit untuk
mengembalikan dana ke masyarakat.
BPR milik Pemerintah, masyarakat cenderung mempercayakan dana mereka di
BPR milik Pemerintah dikarenakan keamanan likuiditasnya terjamin karena langsung
diatur oleh pemerintah dan tidak mengalami kebangkrutan (Barth, Caprio, dan Levine,
2004). Dari teori dan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa BPR milik Swasta
berbeda dengan BPR milik pemerintah. Hal tersebut berlaku juga untuk BPR yang berada
di Jawa Tengah karena BPR milik Swasta mempunyai kinerja yang berbeda
dibandingkan kinerja BPR milik Pemerintah. Berdasarkan teori dan hasil penelitian di
atas dapat dirumuskan hipotesa sebagai berikut:
17
H2: Terdapat perbedaan kinerja antara BPR milik Swasta dengan BPR milik
Pemerintah
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis data dan Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yakni Laporan Keuangan Tahunan
pada tahun 2010, sedangkan sumber datanya berasal dari website Bank Indonesia.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bank Perkreditan Rakyat di
Propinsi Jawa Tengah yang terdaftar di website Bank Indonesia. Penulis akan mengambil
140 sampel laporan keuangan Bank Perkreditan Rakyat yang terdiri dari 86 laporan
keuangan BPR milik Swasta dan 54 laporan keuangan BPR milik Pemerintah, sedangkan
untuk BPR di Kota terdiri dari 29 laporan keuangan dan 111 laporan keuangan BPR di
Kabupaten. Seluruh Bank Perkreditan Rakyat di Jawa Tengah tersebut merupakan objek
yang akan dipilih secara purposive sampling untuk mewakili populasi. Dimana, sampel
yang dipilih harus berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria-kriteria tersebut yang dipenuhi
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bank menerbitkan laporan keuangan pada tahun 2010
Laporan keuangan harus mempunyai tahun buku yang berakhir pada 31
desember dan telah diaudit maka untuk mengetahuinya akan menentukkan
apakah sebuah BPR milik Swasta atau BPR milik Pemerintah dan BPR di Kota
18
atau BPR di Kabupaten maka akan dibedakan Informasi kepemilikan dari
website Bank Indonesia.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari sumber yaitu website Bank Indonesia ( www.BI.go.id) yaitu laporan keuangan BPR
periode 2010. Penulis akan mengambil 140 sampel laporan keuangan BPR yang terdiri
dari 86 laporan keuangan BPR milik Swasta dan 54 laporan keuangan BPR milik
Pemerintah sedangkan untuk BPR di Kota terdiri dari 29 laporan keuangan dan 111
laporan keuangan BPR di Kabupaten yang berada di Propinsi Jawa Tengah. Hal ini
dikarenakan terbatasnya ketersediaan data dalam laporan keuangan tahunan BPR, di
mana hanya rasio keuangan seperti KPMM, NPL, LDR, dan ROA yang tercatum dalam
laporan keuangan tahunan BPR di Jawa Tengah sedangkan ROE, BOPO, NIM penulis
mencari perhitungannya melalui Infobank.
3.4 Teknik dan Langkah Analisis
Teknik analisis dalam penelitian ini adalah analisis statistik kuantitatif. Teknik
analisis data ini dipergunakan untuk mengolah data-data yang berupa angka atau yang
bersifat kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode Infobank.
Langkah analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengambil Laporan Keuangan Tahun 2010 yang terdapat di website BI.
19
2. Mengklasifikasikan kinerja keuangan (Sangat Bagus, Bagus, Cukup Bagus, Tidak
Bagus) setiap BPR, berdasarkan rasio yang terdapat di Majalah Infobank tahun
2011.
3. Membedakan kinerja keuangan yang dimiliki BPR Swasta dan BPR Pemerintah
serta BPR di Kota dan BPR di Kabupaten dengan menggunakan Uji Mann Whitney.
IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Statistik Deskriptif
Tabel 2. Statistik Deskriptif
Variabel
Penelitian N Minimum Maximum Mean
Standar
Deviation
KPMM 140 0,00 1,49 0,25 0,16
NPL 140 0,00 0,93 0,09 0,13
ROA 140 -0,79 2,43 0,06 0,27
ROE 140 -1,00 1,10 0,21 0,23
LDR 140 0,00 3,46 0,80 0,27
BOPO 140 0,08 1,48 0,82 0,13
NIM 140 0,05 0,40 0,18 0,05
SCORE 140 33 98 83 10
Sumber: Olah Data, 2012
Tabel statistik deskriptif di atas menunjukkan bahwa kinerja keuangan BPR
secara keseluruhan mempunyai titik terendah pada kisaran 33, dimiliki oleh BPR milik
swasta yaitu PT BPR Danamitra Sejahtera yang terletak di Kabupaten Kebumen, PT BPR
Kartasura Makmur yang terletak di Kabupaten Sukoharjo, PT BPR Buana Artha Lestari
yang terletak di Kabupaten Karanganyar, dan PD BPR BKK Bendosari yang terletak di
20
Kabupaten Sukoharjo milik Pemerintah. Sedangkan kinerja keuangan BPR secara
keseluruhan mempunyai titik tertinggi pada kisaran 98, dimiliki oleh BPR Swasta dan 83
BPR yang dimiliki oleh BPR Pemerintah.
Kinerja rasio KPMM yang paling buruk dari seluruh BPR yang ada di Jawa
Tengah pada periode 2010 dimiliki oleh PT.BPR Danamitra Sejahtera di Kebumen,
PT.BPR Kartasura Makmur di Sukoharjo, PD.BPR BKK Bendosari di Sukoharjo dengan
nilai terendah 0% hal ini dikarenakan tidak mempunyai kecukupan modal yang ada di
BPR tersebut. Dari hasil statistik deskriptif diatas juga menunjukkan rata-rata rasio
KPMM adalah 25%untuk BPR yang berada di Jawa Tengah, lebih dari 8%, di mana
hampir semua BPR yang ada di Jawa Tengah memiliki kinerja rasio KPMM yang di
kategorikan lebih baik yang mempunyai kecukupan modal yang baik.
Sementara itu kinerja rasio NPL di Jawa Tengah adalah 0%yang lebih baik di
karenakan tidak mempunyai kredit minimum atau kecil yang bermasalah. Sebaliknya
nilai maximum di BPR yang ada di Jawa Tengah pada periode 2010 yaitu 93% dan
dengan rata-rata rasio 9%. Hal ini membuktikan bahwa BPR tersebut mengalami kredit
bermasalah yang tinggi. Untuk nama BPR milik Swasta dengan kinerja rasio NPL yang
lebih baik di Jawa Tengah adalah PT BPR Gunung Kinibalu yang terletak di Kota
Semarang dengan rasio 5.60% dan BPR milik Swasta dengan kinerja rasio NPL yang
paling buruk adalah PT.BPR Artha Mekar Sokaraja yang terletak di Kabupaten
Banyumas dengan rasio 93%. Sedangkan nama BPR milik Pemerintah kinerja rasio NPL
yang lebih baik adalah PD BPR BKK Demak Kota yang terletak di Kota Demak dengan
kinerja rasio NPL 4.58% dan BPR milik Pemerintah dengan kinerja NPL yang paling
21
buruk adalah PD BPR Bank Daerah Pati Kota yang terletak di Kabupaten Pati dengan
kinerja rasio 73%. Dari hasil deskriptif di atas juga menunjukkan bahwa rata- rata rasio
NPL untuk di Propinsi Jawa Tengah, lebih dari 5%, di mana hampir semua BPR tersebut
memiliki kinerja rasio NPL yang dikategorikan tidak baik. Hal ini mengindikasikan
bahwa BPR di Jawa Tengah pada periode 2010 mengalami masalah terhadap kredit
macet.
Kinerja rasio ROA yang paling tidak baik BPR di Jawa Tengah pada periode 2010
dengan rasio ROA adalah -79%. Hal ini mengindikasikan bahwa BPR tersebut mengalami
masalah dalam hal meningkatkan laba atau profitabilitas, maupun dalam hal tingkat
efisiensi usaha yang dicapai oleh bank. Sebaliknya, kinerja rasio ROA yang paling baik
BPR di Jawa Tengah untuk periode 2010 yaitu 2.43% dan rata-rata 6%. Sementara itu
nama BPR dengan kinerja rasio yang lebih baik di Propinsi Jawa Tengah adalah PT BPR
Central Internasional yang terletak di Surakarta/Solo dengan rasio 97% dan BPR milik
Swasta yang paling buruk di Propinsi Jawa Tengah adalah PT BPR Ukabima BMMS
yang terletak di Kabupaten Klaten dengan rasio 1%. Sedangkan nama BPR milik
Pemerintah yang lebih baik di Propinsi Jawa Tengah adalah PD BPR Bank Tegal Gotong
Royong yang terletak di Kabupaten Tegal dengan rasio 243% dan BPR milik Pemerintah
yang memiliki kinerja rasio yang paling buruk adalah PD BPR BKK Bendosari yang
terletak di Kabupaten Sukoharjo dengan rasio 0% di karenakan tidak ada laba yang
diperoleh BPR. Dari hasil deskriptif di atas kemampuan yang baik dari BPR dalam
mengelolah aspek profitabilitas atau rentabilitas, maka rasio ROA pada BPR di Jawa
Tengah lebih dari standar BI, yaitu 1.22% dan dilihat dari Infobank 1.5% yang dinilai
sehat untuk periode 2010.
22
Untuk kinerja rasio ROE yang paling tidak baik di BPR Propinsi Jawa Tengah
pada periode 2010 dengan rasio ROE adalah -1%. Hal ini mengindikasikan bahwa BPR
tersebut mengalami masalah dalam meningkatkan profitabilitas. Sebaliknya, kinerja rasio
ROE yang paling baik BPR di Jawa Tengah untuk periode 2010, yaitu 1.10% dan rata-
rata 21%. Sementara itu nama BPR dengan kinerja rasio ROE yang lebih baik adalah PT
BPR Mandiri Artha Abadi yang terletak di kota Semarang dengan rasio 109.81% dan
BPR milik Swasta dengan kinerja rasio ROE yang paling buruk adalah PT.BPR
Arthaperdana Delta Sentosa yang terletak di Kabupaten Pati dengan rasio 4.40%.
Sedangkan nama BPR milik Pemerintah dengan kinerja rasio ROE yang paling baik
adalah PD BPR BP Kab Rembang yang terletak di Kabupaten Rembang dengan rasio
39.86% dan BPR milik Pemerintah dengan kinerja rasio ROE yang paling buruk adalah
PD BPR BKK Purworejo yang terletak di Kabupaten Purworejo dengan rasio -100.17%
dikarenakan tidak ada laba yang diperoleh BPR. BPR yang baik adalah harus mempunyai
kemampuan yang baik dalam meningkatkan profitabilitas serta meningkatkan efisiensi
usaha di BPR. Rasio ROE dilihat dari Infobank menggunakan standar terbaik 7% yang di
nilai sehat untuk periode 2010.
Sedangkan untuk rata- rata rasio LDR di BPR Propinsi Jawa Tengah adalah 80%.
untuk nama BPR milik Swasta kinerja rasio LDR yang paling baik adalah PT BPR
Binalanggeng Mulia yang terletak di Kota Surakarta/Solo dengan rasio 78.24% dan BPR
milik Swasta dengan kinerja rasio LDR yang paling buruk adalah PT BPR Eleska Artha
yang terletak di Kabupaten Brebes dengan rasio 346.35%. Sedangkan nama BPR milik
Pemerintah dengan kinerja rasio LDR yang paling baik adalah PD BPR BKK Margadana
yang terletak di Kota Tegal dengan rasio 77.40% dan BPR milik Pemerintah dengan
23
kinerja rasio yang paling buruk adalah PD BPR BP Kota Pekalomgan yang terletak di
Kota Pekalongan dengan rasio LDR 101.47%. Standar terbaik rasio LDR menurut
Infobank menggunakan pendekatan antara 78%-100%. Namun jika suatu bank
mempunyai LDR di atas 100%, tetap diberi nilai terbaik asal CAR-nya minimal 14%
artinta ekspansinya masih dibiayai oleh modal pemiliknya. Jika suatu Bank atau BPR
memiliki rasio LDR terlalu tinggi atau tidak sesuai dengan standar yang diberikan, maka
bank atau BPR tersebut dinilai terlalu ekspansif dan perlu sedikit hati-hati. Hal tersebut
mencerminkan bahwa BPR mengalami kelancaran dalam likuiditas, dimana kredit yang
disalurkan kepada masyarakat mengalami kelancaran dalam dana pihak ketiga. Di sisi
lain, hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar kepercayaan masyarakat kepada BPR.
Kinerja rasio BOPO di Propinsi Jawa Tengah dengan rata-rata adalah 82%.
Sementara itu nama BPR dengan kinerja rasio BOPO yang paling baik adalah PT. BPR
Mitra Mertoyudan yang terletak di Kota Magelang dengan rasio 82.82% dan BPR milik
Swasta dengan kinerja rasio BOPO yang paling buruk adalah PT BPR Central Artha yang
terletak di Kota Tegal dengan rasio 148.31%. Sedangkan nama BPR milik Pemerintah
dengan kinerja rasio BOPO yang paling baik adalah PD BPR BP Kab Rembang yang
terletak di Kabupaten Rembang dengan rasio 91.89% dan BPR milik Pemerintah dengan
rasio yang paling buruk adalah PD BPR BKK Purworejo yang terletak di Kabupaten
Purworejo dengan rasio 118.87%. Rasio ini tidak dikelompokkan berdasarkan aset karena
menyangkut rasio yang tidak banyak pengaruhnya dalam pengelolaan. Bank besar
ataupun Bank kecil harus efisien dengan standar terbaik rasio BOPO sebesar 92%. Jika
ada bank yang memiliki rasio BOPO di atas 92% bank tersebut dianggap tidak efisien.
Sebaliknya makin kecil rasio BOPO berarti bank tersebut makin efisien.
24
Kinerja rasio NIM BPR di Propinsi Jawa Tengah dengan nilai maximum adalah
40% dan rata-rata 18%. Sementara itu nama BPR milik Swasta dengan kinerja rasio NIM
yang paling baik adalah PT BPR Weleri Makmur yang terletak di Kota Semarang dengan
rasio 40.40% dan BPR milik Swasta dengan kinerja rasio yang paling buruk adalah
PT BPR Central Artha yang terletak di Kota Tegal dengan kinerja rasio NIM 5.11%.
Sedangkan nama BPR milik Pemerintah dengan kinerja rasio NIM yang paling baik
adalah PD BPR BKK Tasikmadu yang terletak di Kabupaten Karanganyar dengan rasio
22.42% dan BPR milik Pemerintah dengan kinerja rasio NIM yang paling buruk adalah
PD BPR BKK Unggaran yang terletak di Kabupaten Semarang dengan rasio 9.46%. Hal
ini mencerminkan bahwa BPR tersebut memiliki efisiensi yang baik. Sedangkan rata-rata
rasio NIM BPR di Propinsi Jawa Tengah adalah 0.18. NIM sebagai indikator efisiensi
maka rasio NIM terbaik BPR saat ini adalah 10%. Makin besar rasio NIM maka makin
baik. Sebaliknya makin kecil rasio NIM maka makin buruk. Hal tersebut mencerminkan
bahwa BPR memiliki efisiensi yang baik.
4.2 Kinerja BPR menurut Rating Infobank
Berdasarkan data laporan keuangan tahunan publikasi 2010 BPR di Jawa Tengah.
Terlihat bahwa kinerja BPR 2010 menurut rating Infobank memperlihatkan peningkatan
kinerja BPR di Jawa Tengah. Pada penelitian ini BPR dibedakan menjadi 2 yaitu
pertama, kinerja BPR yang terletak di Kota dan BPR yang terletak di Kabupaten. Kedua,
kinerja BPR milik Swasta dan BPR milik Pemerintah. Hasil Rekapitulasi Predikat BPR
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
25
Tabel 3. 1 Kinerja BPR di Kota dan BPR di Kabupaten
PREDIKAT NILAI Jumlah BPR di
Kota %
Jumlah BPR di
KABUPATEN %
Sangat Bagus 81 S.D. 100 24 82.76% 91 81.98%
Bagus 66 S.D. <81 1 3.45% 14 12.61%
Cukup Bagus 51 S.D. <66 4 13.79% 3 2.70%
Tidak Bagus 0 S.D. <51 0 0% 3 2.70%
Total 29 100% 111 100%
Sumber: Olah Data, 2012
Berdasarkan tabel Kinerja di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat 82.76% dari
BPR di Kota memiliki predikat Sangat Bagus dan predikat Tidak Bagus ada 0%.
Sedangkan BPR di Kabupaten yang meraih predikat Sangat Bagus adalah 81.98%. dan
predikat Tidak Bagus adalah 2.70%. Hal ini dihasilkan dari hasil perhitungan posisi rasio
dengan bobot (lihat lampiran 1).
Tabel 3. 2 Kinerja BPR Swasta dan BPR Pemerintah
Sumber: Olah Data, 2012
Berdasarkan tabel Kinerja di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat 80.23% dari
BPR Swasta yang memiliki predikat Sangat Bagus dan predikat Tidak Bagus ada 3.49%.
Sedangkan BPR Pemerintah yang memyandang predikat Sangat Bagus adalah 83.33%.
dan predikat Tidak Bagus adalah 1.85%. Hal ini dihasilkan dari hasil perhitungan posisi
rasio dengan bobot (lihat lampiran 1).
PREDIKAT NILAI
Jumlah
BPR
SWASTA
% Jumlah BPR
PEMERINTAH %
Sangat Bagus 81 S.D. 100 69 80.23% 45 83.33%
Bagus 66 S.D. <81 10 11.63% 5 9.26%
Cukup Bagus 51 S.D. <66 4 4.65% 3 5.56%
Tidak Bagus 0 S.D. <51 3 3.49% 1 1.85%
Total 86 100% 54 100%
26
4.3 Uji Normalitas
Tabel 4. Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
KPMM .131 140 .000 .780 140 .000
NPL .253 140 .000 .537 140 .000
ROA .369 140 .000 .402 140 .000
ROE .175 140 .000 .820 140 .000
LDR .265 140 .000 .465 140 .000
BOPO .123 140 .000 .845 140 .000
NIM .076 140 .045 .970 140 .003
SCORE .156 140 .000 .764 140 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Tabel di atas merupakan tabel hasil uji normalitas terhadap data rasio keuangan
dari Infobank 2011. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua data rasio tersebut tidak
berdistribusi normal, sehingga peneliti menggunakan alat uji Non Parametrik yakni Mann
Whitney Test.
4.4 Uji Mann-Whitney terhadap BPR Di Kota dan BPR Di Kabupaten
Berdasarkan uji perbedaan dengan menggunakan Mann-Whitney Test terhadap
BPR Swasta dan BPR Pemerintah, maka dapat dilihat dari hasil Asymp.Sig (2-tailed),
yakni bahwa jika Asymp.Sig (2-tailed) > 0.05 maka Ho diterima dan jika Asymp.Sig (2-
tailed) < 0.05 maka Ho ditolak. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.1. Uji Mann-Whitney Test BPR di Kota dan BPR di Kabupaten
KPMM NPL ROA ROE LDR BOPO NIM SCORE
Asymp.Sig. (2-tailed)
Mann-Whitney Test 0.738 0.478 0.144 0.238 0.855 0.266 0.004 0.797
Sumber : Olah Data, 2012
27
Berdasarkan hasil pengujian menggunakan Mann-Whitney Test, tampak bahwa
tidak terdapat perbedaan SCORE antara BPR di Kota dan BPR di Kabupaten. Hal ini
dilihat dari Asymp. Sig 0.797 > 0.05, yang berarti Ho diterima, yang berarti bahwa secara
keseluruhan kinerja BPR di Kota dan BPR di Kabupaten tidak berbeda. Namun, jika
dilihat dari masing-masing rasio yang ada, satu-satunya rasio yang menunjukkan
perbedaan kinerja adalah rasio NIM, dengan Asymp. Sig 0.004 < 0.05. Artinya tingkat
efisiensi yang diukur dengan rasio NIM, antara BPR di Kota dan BPR di Kabupaten
adalah berbeda. Dimana NIM di BPR Kabupaten lebih baik dibandingkan BPR di Kota.
Hal ini dapat terjadi karena BPR di Kota lebih cenderung berkompetisi sehingga
menyebabkan NIM-nya rendah. Untuk mengatasi hal ini BPR dapat menaikkan fee based
income. Sedangkan untuk jenis rasio yang tidak berbeda di atas, dapat disebabkan karena
rasio-rasio tersebut telah diatur standarnya oleh Bank Indonesia sehingga Manajemen
dari setiap BPR di Kota dan BPR di Kabupaten berusaha keras untuk mencapai target
Bank Indonesia tersebut.
4.4 Uji Mann-Whitney terhadap BPR Swasta dan BPR Pemerintah
Berdasarkan uji perbedaan dengan menggunakan Mann-Whitney Test terhadap BPR
Swasta dan BPR Pemerintah maka dapat dilihat dari hasil Asymp.Sig (2-tailed), yakni
bahwa jika Asymp.Sig (2-tailed) > 0.05 maka Ho diterima dan jika Asymp.Sig (2-tailed) <
0.05 maka Ho ditolak. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.2. Uji Mann-Whitney Test BPR Swasta dan BPR Pemerintah
KPMM NPL ROA ROE LDR BOPO NIM SCORE
Asymp.Sig. (2-tailed)
Mann-Whitney Test 0.002 0.451 0.294 0.001 0.176 0.555 0.000 0.799
Sumber : Olah Data, 2012
28
Berdasarkan hasil pengujian menggunakan Mann-Whitney Test tampak bahwa
tidak terdapat perbedaan SCORE antara BPR Swasta dengan BPR Pemerintah. Hal ini
berarti bahwa kinerja BPR Swasta dan BPR Pemerintah yang diukur secara keseluruhan
menunjukkan tidak adanya perbedaan. Namun jika dilihat dari masing-masing jenis rasio
yang ada, maka dapat dilihat bahwa terdapat tiga (3) jenis rasio yang menunjukkan
perbedaan kinerja. Rasio tersebut adalah KPMM, ROE dan NIM. Rasio KPMM, berarti
bahwa kekuatan permodalan dan komitmen BPR Swasta dan BPR Pemerintah dalam
peningkatan modal tidak sama. Rasio ROE, berarti bahwa BPR Swasta dan BPR
Pemerintah memiliki kemampuan mengelola modal yang berbeda untuk menghasilkan
laba dalam kurun waktu satu (1) periode. Rasio NIM, berarti bahwa tingkat efisiensi yang
diukur dengan rasio NIM, antara BPR Swasta dan BPR Pemerintah adalah berbeda.
Sedangkan untuk jenis rasio yang tidak berbeda di atas, dapat disebabkan karena rasio-
rasio tersebut telah diatur standarnya oleh Bank Indonesia sehingga Manajemen dari
setiap BPR Swasta dan BPR Pemerintah berusaha keras untuk mencapai target Bank
Indonesia tersebut.
5. SIMPULAN dan IMPLIKASI
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Penilaian kinerja BPR di Jawa Tengah dengan menggunakan metode Rating Bank
dari Infobank menunjukkan bahwa sebagian besar BPR yang dimiliki Swasta maupun
yang dimiliki Pemerintah meraih predikat Sangat Bagus. Demikian juga untuk
29
Kinerja Keuangan BPR di Kota dan di Kabupaten. Sebagian besar BPR tersebut
menduduki predikat Sangat Bagus.
2. Tidak terdapat perbedaan kinerja secara keseluruhan antara BPR yang berada di Kota
dengan BPR di Kabupaten. Namun jika diukur secara parsial, ternyata terdapat satu
(1) jenis rasio yang menunjukkan perbedaan kinerja keuangan yakni adalah rasio Net
Interest Margin. Artinya bahwa tingkat efisiesi antara BPR di Kota dengan BPR di
Kabupaten memiliki perbedaan.
3. Tidak terdapat perbedaan kinerja secara keseluruhan antara BPR yang dimiliki
Swasta dengan BPR yang dimiliki Pemerintah. Namun jika diukur secara parsial,
ternyata terdapat tiga (3) jenis rasio yang memperlihatkan perbedaan kinerja
keuangan yakni rasio KPMM, ROE dan NIM. Rasio tersebut adalah KPMM, ROE dan
NIM. Rasio KPMM, berarti bahwa kekuatan permodalan dan komitmen BPR Swasta
dan BPR Pemerintah dalam peningkatan modal tidak sama. Rasio ROE, berarti bahwa
BPR Swasta dan BPR Pemerintah memiliki kemampuan mengelola modal yang
berbeda untuk menghasilkan laba dalam kurun waktu satu (1) periode. Rasio NIM,
berarti bahwa tingkat efisiensi yang diukur dengan rasio NIM, antara BPR Swasta dan
BPR Pemerintah adalah berbeda.
5.2 Implikasi Terapan
1. Perbedaan kinerja keuangan antara BPR di Kota dan BPR di Kabupaten yang
dihasilkan oleh rasio NIM, menunjukkan bahwa rasio NIM untuk BPR di Kabupaten
lebih besar dibandingkan BPR di Kota, sehingga disarankan agar BPR di Kota
30
dapat meningkatkan rasio NIM dengan cara meningkatkan pendapatan dari bunga
kredit. Dipihak lain untuk meningkatkan keuntungan maka perlu ditingkatkan
pendapatan yang bersumber dari luar aktivitas utama perbankan (fee based income).
Hal ini merupakan alternatif pendapatan yang cukup aman dari resiko. Sedangkan
untuk perbedaan kinerja keuangan antara BPR Swasta dengan BPR Pemerintah,
yang dihasilkan oleh rasio NIM menunjukkan bahwa kemampuan memperoleh
keuntungan dari kredit (bunga) pada BPR Swasta lebih besar dibandingkan BPR
Pemerintah, sehingga disarankan agar BPR Pemerintah dapat meningkatkan NIM
dengan cara meningkatkan pendapatan bunga dan menekan biaya dana Cost Of
Loanable (COLF). Dipihak lain bila BPR Pemerintah ingin meningkatkan
keuntungan maka perlu ditingkatkan pendapatan yang bersumber dari luar aktivitas
utama perbankan (fee based income) untuk melengkapi interest based income.
2. Bagi nasabah, agar mempertimbangkan dana mereka untuk dikelola oleh BPR di
Kota saja namun juga pada BPR di Kabupaten, karena kinerja keuangan kedua BPR
tersebut tidak berbeda. Demikian juga halnya dengan BPR yang dimiliki Swasta
dan BPR yang dimiliki Pemerintah. Bahwa nasabah yang selama ini cenderung
mempercayakan dananya pada BPR yang dimiliki Pemerintah, agar dapat juga
mempercayakan dananya untuk dikelola oleh BPR yang dimiliki Swasta.
5.3 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu hanya menggunakan 1 (satu) tahun
penelitian saja yaitu tahun 2010 yang berarti penelitian ini adalah penelitian jangka
pendek yang tidak dapat merefleksikan kinerja keuangan.
31
5.4 Penelitian Mendatang
Diharapkan pula untuk menambah variabel lain di luar penelitian seperti lebih dari
1 (satu) tahun melakukan penelitian di BPR, umur BPR yang mulai beropersi dan lain-
lain untuk memprediksi seberapa baik kinerja keuangan BPR yang ada. Selain itu
penelitian mendatang diharapkan untuk melakukan penelitian terhadap BPR selain BPR
yang berada di Jawa Tengah sebagai hasil pembanding penelitian dan dapat
mempertimbangkan untuk mengukur kinerja keuangan BPR menurut metode Biro Riset
Infobank.
32
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M.F., 2003. Manajemen Perbankan (Teknik Analisis Kinerja Keuangan
Perbankan). Penerbit Universitas Muhammadiyah, Malang.
Barth, J.R., Caprio, Jr., G., Levine, R., 2004. Bank supervision and regulation: What
works best? Journal of Financial Intermediation 13, 205-48.
Bonin, J.P., Hasan, I., Wachtel, P., 2005. Bank privatization and performance: Evidence
from transition countries. Journal of Banking and Finance 29, 31-53.
Claessens, S., Demirguc-Kunt, A., Huizinga, H., 2001. How does foreign entry affect the
domestic banking market? Journal of Banking and Finance 25, 891-911.
Claessens, S., Laeven, L., 2004. What drives bank competition? Some international
evidence. Journal of Money, Credit, and Banking 36, 563-583.
Harahap, Sofyan Syafri. 1998. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan . Jakarta.
Harahap, Sofyan Syafri. 2001. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan . Jakarta.
Helfert, Eirich. A, 2008, Analisis Laporan Keuangan, Erlangga, Jakarta.
Ihalauw, John J.O.I. 2000. Konstruksi Teori. Salatiga.
Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta.
Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta.
InfoBank, 2011,” Analisis-Statergi Perbankan & Keuangan”, InfoBank, No.387, Juni
2011: Vol XXXIII.
Martinez Peria, M.S., Mody, A., 2004. How foreign participation and market
concentration impact bank spreads: Evidence from Latin America. Journal of
Money, Credit, and Banking 36, 510-537.
Pulungan, Muhammad Sadat Husein. 2009 ” Analisis Tingkat Kesehatan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Kaitannya Terhadap Perolehan Laba”, JMK, Vol. 7,
No.4.
Suharto, Pandu. 1988. Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta.
Weston dan Copelan . 1996. Financial Theoryand Corporate Policy. Wesley : Addison