8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
1/232
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
2/232
i
Jelajah Nusantara 3Catatan Perjalanan Enam Belas Orang Peneliti Kesehatan
Penulis
Agung Dwi Laksono
Nor Efendi
Marselinus Laga Nur
Aprizal Satria Hanafi Lafi Munira
Samuel Josafat Olam
Deni Frayoga
Titan Amaliani
Lailatul Maghfiroh
Khoirul Faizin
Roland Alberto Nggeolima
Sutamin Hamzah
Hendra Dhermawan Sitanggang
Ade Aryanti Fahriani
Putra Apriadi Siregar
Siti Rahmawati
Editor
Agung Dwi Laksono
Health Advocacy
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
3/232
ii
Jelajah Nusantara 3. Catatan Perjalanan Enam Belas Orang Peneliti Kesehatan
©2016. Health Advocacy
Penulis:Agung Dwi Laksono, Nor Efendi, Marselinus Laga Nur, Aprizal Satria Hanafi,
Lafi Munira, Samuel Josafat Olam, Deni Frayoga, Titan Amaliani,
Lailatul Maghfiroh, Khoirul Faizin, Roland Alberto Nggeolima,
Sutamin Hamzah, Hendra Dhermawan Sitanggang, Ade Aryanti Fahriani
Putra Apriadi Siregar, Siti Rahmawati
Editor:
Agung Dwi Laksono
Penata Letak – ADdesign
Desain Sampul – ADdesign
Cetakan Pertama – Juni 2016
Buku ini diterbitkan atas kerjasama:
HEALTH ADVOCACY
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232
Email: [email protected]
dengan
PUSAT HUMANIORA DAN MANAJEMEN KESEHATAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI.
Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat
ISBN 978 602 6958 04 4
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
4/232
iii
Pengantar
Buku “Jelajah Nusantara 3, Catatan Enam Belas
Orang Peneliti Kesehatan” ini merupakan edisi ke-tiga
sebagai kelanjutan buku dengan tema catatan perjalanan
yang sama pada edisi pertama dan kedua. Pada edisi ke-tiga
kali ini enam belas peneliti kesehatan berkolaborasi penuh
menyajikan catatan perjalanan di 18 wilayah yang berbeda.
Catatan perjalanan dalam buku ini disajikan secara
urut dari Timur ke Barat. Mulai dari Provinsi Papua sampai
dengan Provinsi Aceh. Mulai dari kegagalan menembus
Kabupaten Tolikara sampai perjalanan ke Kabupaten Aceh
Barat Daya.
Buku ini lebih merupakan catatan yang dirasakan
penulis dalam setiap perjalanan dalam menjalani tugas
sebagai seorang peneliti. Rasa keprihatinan, trenyuh,empati... semuanya bercampur baur dalam buku ini, seiring
realitas masih lebarnya rentang variabilitas ketersediaan
pelayanan kesehatan di setiap penjuru negeri. Meski juga
kebanggaan membersit kuat saat kearifan lokal begitu
kental mewarnai langkah dalam menyikapi setiap
permasalahan yang ada. Cerita tentang setiap sudut negeri
di wilayah-wilayah terpencil, pulau-pulau terluar, ataupunwilayah yang jauh lebih dekat ke Negara tetangga daripada
ke wilayah lain di Republik ini. Sungguh para penulis
menikmati setiap proses lahirnya buku ini, seperti
pengakuan salah satu penulis buku ini;
“Saya akan meresapi setiap momen hidup saya di
sini untuk memahami betapa peliknya membenahi
masalah kesehatan di sudut-sudut republik ini. Dan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
5/232
iv
dari sinilah saya akan belajar mengenal bangsa saya
sendiri, mencari makna, dan juga terus bertanya
dalam proses menjadi Indonesia yang sebenarnya.”
(Samuel Josafat Olam)
Kami berharap banyak, bahwa tulisan dalam buku ini
mampu membawa setiap pembaca ikut merasakan
perjalanan dan realitas kondisi wajah negeri ini. Tidak hanya
nama-nama kota yang sudah biasa terdengar di telinga kita,
tetapi juga pegunungan, pulau-pulau terluar, dan sampai
wilayah-wilayah perbatasan negeri.
Pada akhirnya buku ini menyisakan harapan untuk
bisa memberi kesadaran dan kecintaan pada Republik ini.
Sungguh kami berharap banyak untuk itu!
Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.
Salam!
Jakarta, Juni 2016
Editor
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
6/232
v
Daftar Isi
Pengantar iii
Daftar Isi v
1. Kami Tidak akan Menyerah Tolikara! 1
Agung Dwi Laksono
2. Rekam Kematian dari Pulau Seram; 13
Catatan Perjalanan ke Maluku Tengah
Nor Efendi
3. Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta 29
Nor Efendi
4. Ironi di Tengah Kekayaan Potensi Wisata; 49
Catatan Perjalanan ke Sumba Barat Daya
Marselinus Laga Nur
5. Coto yang Menggoyang Lidah; 67
Catatan Perjalanan ke Kota Makassar
Aprizal Satria Hanafi
6. Surga Kecil Tojo Una-Una dan Ironi 77
Kondisi Kesehatan Masyarakat
Lafi Munira
7. Baram Tewang Rangkang; 85
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Katingan
Samuel Josafat Olam
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
7/232
vi
8. Menemukan Misteri di Bumi Khatulistiwa; 103
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Melawi
Deni Frayoga
9. Menyapa ‘Macan Dahan’ Borneo 113
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Kutai Barat
Titan Amaliani
10. Selayang Pandang Pulau Garam; 121
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Pamekasan
Lailatul Maghfiroh
11. Wedang Uwuh; Diantara Persimpangan 129
Tradisi dan Modernisasi
Khoirul Faizin
12. Selamat Datang di Negeri Junjung Besaoh ; 131
Catatan Perjalanan ke Bangka Selatan
Agung Dwi Laksono
13. Paket ‘Wisata Laka Lantas’ di Toboali 151
Roland Alberto Nggeolima
14. Pandangan Pertama di Bumi Raflessia 161
Catatan Perjalanan ke Bengkulu Selatan
Sutamin Hamzah
15. Cerita dari Negeri Kepulauan Anambas 177
Hendra Dhermawan Sitanggang
16. Nias Ku Sayang, Nias Barat Ku... Malang? 189
Catatan Perjalanan ke Kabupaten Nias Barat
Ade Aryanti Fahriani
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
8/232
vii
17. Menilik Surga di Pulau Simeulue, 201
Kabupaten Terluar Provinsi Aceh
Putra Apriadi Siregar
18. Menembus Batas Tirai Hitam 215
Catatan Perjalanan ke Aceh Barat Daya
Siti Rahmawati
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
9/232
viii
“Ini tugas berat, tentu saja!
karena itulah kita ada…”
-ADL-
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
10/232
1
Kami Tidak Akan Menyerah Tolikara!
Agung Dwi Laksono
Wamena, 03 Mei 2016
Perjalanan yang akan saya tempuh kali ini adalah kali
ke-dua saya melangkahkan kaki ke Kabupaten Tolikara, dan
kali ke-sekian di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Bila pada
perjalanan sebelumnya saya menuju dan tinggal di Distrik
Bokondini, maka kali ini saya menuju ke pusat pemerintahan
Kabupaten Tolikara di Distrik Karubaga. Sebuah kota kecilyang tak lebih ramai dibanding salah satu kota kecamatan di
Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup mudah… sangat mudah!
Tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus
ditempuh untuk mencapai wilayah Pegunungan Tengah
Papua lainnya.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
11/232
Kami Tidak Akan M enyerah To likara!
2
Menempuh perjalanan di wilayah ini hanya bisa dilalui
dengan mobil bergardan ganda dari Wamena, ibukota
Kabupaten Jayawijaya, karena medan jalan darat yang harusditempuh memang cukup berat, semacam jalur off-road yang
cukup menantang. Selain itu sebenarnya jalur ini bisa
ditempuh melalui udara, tapi sayangnya tidak memungkinkan
untuk kantong kami, karena hanya bisa dengan sistem carter.
Tidak ada penerbangan regular di wilayah ini.
Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Tolikara
Sumber: antaranews
Tolikara dalam beberapa waktu terakhir masuk dalam
pemberitaan nasional dengan berita yang kurang
mengenakkan, kerusuhan terbakarnya Masjid Baitul Muttaqin
dan beberapa kios pada 17 Juli 2015 lalu. Sebuah kejadian
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
12/232
Jelajah Nusantara #3
3
dengan potensi SARA yang sangat besar. Semacam bom
waktu bila tidak diantisipasi dengan baik.
Pembangunan Kesehatan di Tolikara
Memandang Kabupaten Tolikara, untuk kali ke-sekian
saya harus menurunkan standar harapan setiap kali saya
menginjakkan kaki di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Ketimpangan masih saja terlihat sangat besar bila kita
membandingkan dengan pembangunan di wilayah lainrepublik ini, termasuk pembangunan di bidang kesehatan.
Meski pemerintahan saat ini berkomitmen untuk melakukan
akselerasi pembangunan di wilayah ini.
Gambar 2. Indeks Kelompok Indikator IPKM di Kabupaten Tolikara,
Provinsi Papua dan Nasional
Sumber: Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI., 2013
0,00
0,10
0,20
0,30
0,400,50
0,60
0,700,80
0,25
0,140,06
0,27
0,65
0,120,03
0,57
0,320,28
0,34
0,710,66
0,25
0,61
0,48
0,38 0,37
0,63
0,75
0,54
KAB. TOLIKARA PAPUA INDONESIA
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
13/232
Kami Tidak Akan M enyerah To likara!
4
Di Bidang Kesehatan, Kabupaten Tolikara adalah
penghuni peringkat paling dasar dari Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat (IPKM), menempati ranking 497 dari497 kota/kabupaten di Indonesia. IPKM adalah sebuah indeks
pemeringkatan tentang pembangunan kesehatan yang
melingkupi seluruh kabupaten/kota di Indonesia. IPKM
disusun berdasarkan data Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh
Badan Litbang Kesehatan, survey Potensi Desa (Podes) dan
Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) yang dilaksanakan oleh
Badan Pusat Statistik.
Palang Duka
Jam 08.00 WIT kami sudah bersiap di atas Mitsubishi
Strada yang akan membawa kami menempuh perjalanan
menuju Puncak Mega di Karubaga. Kami berangkat ber-enam,
anggota tim peneliti empat orang, plus sopir dan seorangasisten. Koper dan barang lainnya sudah tersusun rapi di bak
belakang bersama asisten sopir yang setia menunggui.
Sementara kami duduk berjajar rapi di dalam kabin. Mari
berangkat!
Sampai setengah jam perjalanan meninggalkan Kota
Wamena semuanya aman-aman saja, sampai saat mobil kami
mendekati Distrik Kurulu. Terlihat ada mobil tentara dan
polisi, serta beberapa mobil double gardan seperti yang kami
tumpangi terparkir berjajar di pinggir jalan. Ada apa
gerangan?
Nampak jauh di depan… batang pohon utuh bersama
dahan, ranting dan daunnya melintang di tengah jalan.
Sementara beberapa orang lokal berkulit legam tampak
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
14/232
Jelajah Nusantara #3
5
duduk serampangan di depan pohon yang melintang
tersebut. Palang!
Lamat kami mendengar suara tangis yang melolong.Semakin kami mendekat, semakin suara tangis itu bertambah
keras. Suara kaum perempuan yang berkerumun dengan
tangis dengan nada yang cukup menyayat hati.
Kami dihentikan oleh personel tentara dari Koramil
Kurulu. Personel tentara berseragam doreng itu menjelaskan
bahwa sedang ada anak kepala Suku Mabel yang meninggal
dunia. Warga lokal sedang berduka. Tidak seorang pundiijinkan untuk melintas di wilayah ini. Belasan personel
tentara dan polisi pun tidak bisa membujuk mereka untuk
membuka palang. “Mereka ngotot tidak mau kasih jalan pak,
kami tidak bisa memaksa… daripada jatuh korban yang tidak
perlu to,” jelas Letnan Dua Amos Osso, tentara asli Wamena
dari Suku Osso yang menjabat Komandan Rayon Militer
(Danramil) di Kurulu.
Saya berinisiatif meminta ijin pada personel tentara
yang berjaga untuk mengambil photo sebagai dokumen
perjalanan kami. “Jangan pak! Mereka bisa marah… kami saja
tidak dikasih ijin untuk kelengkapan dokumen laporan ke
atasan.” Larang seorang anggota dengan tegas. Meski
akhirnya saya bisa mendapatkan transferan photo viaBluetooth dari para tentara itu yang mengambilnya dengan
mencuri-curi dari jarak yang cukup jauh, sehingga gambarnya
kurang begitu tajam.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
15/232
Kami Tidak Akan M enyerah To likara!
6
Gambar 3. Palang Duka di Distrik Kurulu
Sumber: Personel Koramil Kurulu
Seorang personel tentara lain asli Medan,
Simanjuntak, yang sudah kehilangan logat bataknya,
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
16/232
Jelajah Nusantara #3
7
menjelaskan bahwa bukan hanya mereka yang gagal
membujuk warga agar membuka palang. “Baru saja itu Bupati
datang ke sini mau kasih bantuan supaya itu palang dibuka,tapi ditolak! Mereka hanya mau dibujuk bila menteri yang
datang ke sini…”. Dan ternyata bukan hanya sembarang
menteri yang diminta, tetapi khusus hanya Menko
Polhutkam.
Rupa-rupanya yang meninggal adalah orang penting
yang sangat dihormati oleh warga setempat. Selain sebagai
putra dari kepala Suku Mabel yang mendiami wilayah DistrikKurulu, menurut Danramil Amos Osso, almarhum pernah
menjabat sebagai Kabag Keuangan di Kantor Kabupaten
Jayawijaya, sebelum akhirnya menjabat sebagai Kepala Dinas
Sosial di kantor Kabupaten yang sama.
Selain itu, cerita lain kami dapatkan bahwa yang
membuat masyarakat lokal sangat mencintai putra kepala
suku ini adalah karena almarhum adalah inisiator pemekaran
Distrik Kurulu menjadi sebuah calon kabupaten baru,
memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. “Itu almarhum
sedang mengurus pemekaran to. Itu Kabupaten Okika… masih
berproses di Jakarta…,” jelas Letnan Dua Amos Osso.
Belum puas kami berbincang dengan para tentara
yang berjaga sekitar seratus meter dari palang pohontersebut, ketika datang seorang warga lokal dengan penutup
kepala sewarna rambut yang khas Wamena berbicara dengan
nada keras, ”Itu mobil kasih minggir… pergi dari sini kalo tidak
mau rusak. Ini sebentar rombongan almarhum datang… mana
Kapolsek? Kasih pergi ini mobil-mobil…!”. Tidak tersedia
pilihan bagi kami selain untuk bersegera menyingkir
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
17/232
Kami Tidak Akan M enyerah To likara!
8
meninggalkan lokasi, kembali ke Wamena. Karena belum
tersedia akses jalur darat lain ke Tolikara, selain jalur yang
dipalang tersebut.Sebelum pergi kami menyempatkan diri untuk
berpose sebentar dengan Danramil dan personel tentara
lainnya sebelum meninggalkan lokasi. Sekedar sebagai
kenangan dan bukti bagi atasan yang menugaskan kami
kesini, bahwa kami telah sampai dan menginjakkan kaki di
wilayah ini.
Gambar 4. Berpose Bersama Komandan Rayon Militer Kurulu dan Anggota
sebelum Bertolak Kembali ke Wamena
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tak seberapa lama kami meninggalkan lokasi, terlihat
puluhan motor dan tiga puluhan mobil yang menyertai mobil
jenazah di bagian belakang rombongan yang membawa
almarhum. Terlihat iring-iringan motor memenuhi badan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
18/232
Jelajah Nusantara #3
9
jalan, dengan para pengendara yang berboncengan sambil
menenteng busur beserta anak panah.
Kami lebih memilih untuk meminggirkan kendaraansejauh mungkin. Kami tidak ingin memancing masalah. Sedikit
saja pemicu yang sepele muncul, bisa memancing keributan
dengan warga lokal yang sedang sensitif.
Gambar 5. Iring-iringan Lebih dari 30 Mobil Mengantar Jenazah Kembali
ke Rumah Duka
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebenarnya ini adalah pengalaman ke-dua bagi saya
menemui palang seperti ini. Pengalaman pertama juga saya
dapatkan ketika menempuh perjalanan ke KabupatenTolikara, hanya saja menuju distrik yang berbeda, Distrik
Bokondini. Pengalaman pada bulan Mei tahun 2015 tersebut
terjadi menjelang masuk ke Distrik Bokondini. Ada beberapa
warga lokal yang meletakkan pohon di tengah jalan, dengan
meminta ‘upah’ kepada setiap yang melewati jalan tersebut.
“Itu mereka meminta ‘pajak’, setelah mereka bersih-bersih
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
19/232
Kami Tidak Akan M enyerah To likara!
10
jalan atau timbun jalan yang lobang pak…” jelas Mas Kadir,
sopir Strada yang mengantar kami.
Kembali ke Wamena
Kami menyempatkan diri untuk singgah ke Dinas
Kesehatan Kabupaten Jayawijaya yang sudah berpindah
gedung dari Wamena ke Muai. Mau tidak mau kami harus
meminta stempel di instansi yang bertanggung jawab
terhadap kesehatan di wilayah Jayawijaya ini, karena untukmendapatkan stempel dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Tolikara sudah tidak memungkinkan dengan alokasi waktu
yang kami miliki. Meski kami masih berniat menunggu satu-
dua hari lagi dengan melihat kemungkinan palang dibuka.
Gambar 6. Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya di Muai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dengan sedikit penjelasan tanpa argumentasi panjang
lebar, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya mau
membubuhkan tanda tangan dan stempel di dokumen kami.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
20/232
Jelajah Nusantara #3
11
Rupanya mereka sudah mahfum dengan fenomena palang
seperti yang kami alami.
Tentang Penduduk Lokal
Gagal mencapai Karubaga bukanlah akhir dari cerita
perjalanan ini. Apapun itu kami tetap bersyukur, banyak
pengalaman bisa diambil, banyak pelajaran bisa dipetik.
Sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai
dengan kembali ke Wamena kami dapat menyaksikanhamparan tanah subur yang tidak terkelola dengan baik.
Warga lokal kebanyakan berprofesi sebagai pekebun. Hanya
saja mereka melakukannya kurang begitu rapi, kalau tidak
boleh saya sebut serampangan. Jagung misalnya, ditanam
dengan seperti melemparkan bibit biji jagung secara acak
saja, tanpa memikirkan jarak antar pohon untuk
mengefektifkan pertumbuhan dan hasil yang didapat.
Gambar 7. Kebun Jagung yang Tampak Tidak Teratur di Wamena
Sumber: Dokumentasi Peneliti
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
21/232
Kami Tidak Akan M enyerah To likara!
12
Kebanyakan tanaman yang diupayakan adalah bahan
pangan pokok kebutuhan sehari-hari. Tanaman semacam
hipere (ketela rambat, dalam beberapa kesempatan telingasaya menangkap seperti ipere), petatas (Ipomoea Batatas L.,
sejenis ubi jalar), keladi, dan jagung, terlihat mendominasi
hasil bumi mereka. Selain juga tanaman sayur semacam
kacang panjang dan tomat.
Hari telah malam, jam menunjuk angka 20.15 WIT saat
siaran di radio lokal mengabarkan bahwa warga lokal di
Kurulu masih teguh, palang masih saja bertengger di tengah jalan.
Pada akhirnya inilah yang kami dapat. Sekilas catatan
perjalanan ini yang dapat kami sajikan. Pengalaman ini tak
akan menyurutkan langkah kami untuk mencoba kembali
menyusuri jalan yang sama untuk mengapai Puncak Mega di
Karubaga. Suatu saat. @dl.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
22/232
13
Rekam Kematian dari Pulau Seram
Catatan Perjalanan ke Maluku Tengah
Nor Efendi
Perjalanan dan penugasan ke wilayah Timur Indonesia,
impian yang sejak lama saya harapkan menjadi kenyataan.
Saking berharapnya, tak jarang keinginan tersebut saya
sisipkan dalam rangkaian do’a setelah sholat. Dan Allah SWT
membuktikan bahwa janjinya dalam Qur’an Surat Al-Mukmin
ayat 60, yang berbunyi, “Berdoalah (mintalah) kepadaKu,
niscaya Aku kabulkan untukmu”, benar adanya. Melalui
kegiatan Kajian Sistem Rujukan Maternal Neonatal saya
berkesempatan menjejakkan langkah untuk pertama kalinya
di belahan Timur Indonesia, tepatnya di Kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
23/232
Rekam Kem atian d ari Pulau Seram
14
Gambar 1. Peta Lokasi Kabupaten Maluku Tengah di Indonesia
Sumber: Google Map
Kajian yang merupakan hajat United Nations
Children’s Fund (UNICEF) bekerjasama dengan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
(Badan Litbang Kemenkes) dilakukan di 4 Provinsi terpilih.
Keempat provinsi tersebut adalah Kalimantan Tengah, NusaTenggara Barat, Papua dan Maluku. Masing-masing Provinsi di
wakili oleh 2 kabupaten yang ‘sulit dijangkau’ dan 1
kabupaten yang ‘mudah dijangkau’, berdasarkan jarak
terhadap rumah sakit (RS) provinsi. Kami diamanahkan untuk
mengumpulkan data dari bidan desa, Puskesmas dengan
Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar (PONED) maupun
non PONED, Dinas Kesehatan, RS, lintas sektor, tokoh
masyarakat, pasien serta masyarakat yang salah satu anggota
keluarganya pernah mengalami kematian maternal atau
neonatal.
Perjalanan dari Jakarta dimulai saat maskapai plat
merah menerbangkan kami berempat, tim enumerator yang
berpersonelkan dokter, perawat, bidan dan sarjana kesehatan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
24/232
Jelajah N usantara # 3
15
masyarakat pada tanggal 9 Agustus 2015 mulai pukul 23.45
WIB hingga mendarat di Bandara Patimura-Ambon pada
pukul 06.50 WIT keesokan harinya. Penerbangan melintasbatas waktu ini memberikan kesempatan istimewa lainnya
kepada saya untuk mencicipi sepertiga malam, ibadah subuh
dan indahnya fajar Timur di udara. Subhanallah…!
Setibanya di Ambon kami langsung menumpang taksi
travel (mobil Avanza plat hitam) menuju Pelabuhan Tulehu
dengan waktu tempuh kurang lebih 45 menit, untuk mencari
kapal cepat yang bisa membawa kami ke Masohi, ibukota
Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di pulau Seram.
Sekitar pukul 09.00 WIT kapal mulai bergerak menuju
Pelabuhan Amahai, gerbang Kota Masohi lewat jalur laut.
Kelas ekonomi dengan tarif Rp. 125.000,- per orang kami pilih
sesuai ketentuan yang dipersyaratkan penyandang dana.
Perjalanan melintas laut selama 2 jam di warnai denganperjuangan melawan tegang di-60 menitnya. Bagaimana
tidak, kami bersama penumpang lain berjibaku di dalam kapal
yang terombang ambing membelah terjangan gelombang laut
Banda yang saat itu lumayan besar.
Kabupaten Maluku Tengah adalah satu dari 11
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Maluku, mewakili
daerah yang ‘mudah dijangkau’ dalam kajian ini. Berdasarkan
catatan Dinas Kesehatan, Angka Kematian Bayi (AKB) di
Maluku Tengah tergolong rendah di bawah target minimal
yang disasar Millenium Development Goal’s (MDG’s) pada
2015, sedangkan Angka Kematian Ibu Maternal (AKI) masih di
atas target MDG’s.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
25/232
Rekam Kem atian d ari Pulau Seram
16
Gambar 2. Angka Kematian Ibu dan Bayi Kabupaten Maluku TengahTahun 2010-2013
Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013
Kabupaten yang memiliki luas wilayah 275.907 km2
dan 95,8%-nya merupakan wilayah lautan, terbagi ke dalam
18 kecamatan dan 178 desa. Wilayahnya mencakup 49 pulau,
yaitu Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua-Nusalaut,
Kepulauan Banda, Pulau Seram dan pulau-pulau kecil lainnya.
Hanya 14 pulau yang sudah dihuni, sedangkan sisanya 35
buah merupakan pulau tak berpenghuni beserta 2 dataran, 3
gunung, 2 danau dan 144 sungai yang ikut melengkapi lukisan
geografis. Fasilitas kesehatan utama di Maluku Tengah di
topang oleh 4 RSUD yang tersebar di Tulehu, Saparua, Banda
dan Masohi serta 31 Puskesmas yang melayani sekitar375.393 jiwa penduduk.
Tiga hari pertama, saya bersama tim menyelesaikan
pengumpulan data di Dinas Kesehatan dan RSUD Masohi,
sebelum akhirnya melanjutkan ke 2 Puskesmas PONED
terpilih beserta 2 Puskesmas non PONED yang menjadi satelit.
Hasil kajian ini selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
26/232
Jelajah N usantara # 3
17
policy brief terkait sistem rujukan maternal neonatal yang
dapat dimanfaatkan dalam perbaikan berbagai program
kesehatan sebagai upaya menurunkan angka kematian ibudan bayi di Indonesia.
Amahai, 13 Agustus 2015
Amahai adalah Puskesmas PONED pertama yang kami
sambangi. Puskesmas ini hanya berjarak 7 km dari Masohi
dan dapat ditempuh menggunakan alat transportasi darat,baik roda 2 maupun roda 4. Seperti telah saya sebutkan
sebelumnya, Amahai juga merupakan pintu masuk Maluku
Tengah melalui jalur laut seiring didirikannya dermaga kapal
cepat yang berlokasi di sini.
Di Amahai saya kebagian mewawancarai salah seorang
bidan desa, IL (36 tahun). IL jarang mendapat kesempatan
diikutkan pelatihan terkait peningkatan kapasitas dan
keterampilan sebagai bidan, meski telah menekuni profesinya
±10 tahun. Desa tempat bidan berdarah Manado ini bertugas
berada di atas bukit, terletak agak jauh sekitar 8 km dari
Puskesmas Amahai. Menurutnya, masyarakat desa tempatnya
bertugas sebagian besar berprofesi sebagai petani penggarap
lahan yang tidak terlalu subur, sehingga tergolongberekonomi rendah. Seringkali jasa pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh bidan IL hanya dibayar dengan ucapan
terimakasih atau imbalan hasil-hasil bumi seperti pisang, ubi
atau sayur-sayuran.
Masih di wilayah kerja Puskesmas Amahai, sebuah
desa yang letaknya lebih ke pesisir ternyata menyimpan kisah
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
27/232
Rekam Kem atian d ari Pulau Seram
18
kematian ibu bersalin yang dramatis. Bagaimana tidak, desa
yang sejatinya telah memiliki Puskesmas Pembantu (Pustu)
beserta penempatan 2 petugas kesehatan yaitu seorangperawat perempuan dan seorang bidan tersebut, harus
kehilangan salah seorang warganya akibat kasus ‘ketuban
pecah dini (KPD)’.
Ny. N (26 tahun) yang sedang mengandung anak
pertamanya di usia kehamilan sekitar 8,5 bulan, pada suatu
malam secara tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang
merembes dari jalan lahirnya. Semula ia mengira itu hanya air
kencing biasa yang keluar sendiri tanpa bisa dikendalikan.
Namun sampai bangun di pagi keesokan harinya, keluarnya
air yang terasa merembes itu masih terus berlangsung
dengan aroma yang berbeda dari air kencing biasa. Ny. N
menceritakan hal tersebut ke suaminya yang kemudian
memutuskan untuk memanggil bidan L (36 tahun) untukmemeriksa kondisi isterinya.
Bidan L menyimpulkan bahwa air yang keluar dari
tubuh Ny. N adalah air ketuban, dan kondisi ini harus segera
mendapat pertolongan di rumah sakit. Keluarga Ny. N
kemudian meminta waktu untuk rembukan keluarga.
Sepertinya terjadi diskusi yang sangat panjang di keluarga Ny.
N untuk sebuah keputusan membawanya ke RS. Hingga
sampai malam hari akhirnya baru di bawa menuju kota
Masohi, namun bukan ke RS, melainkan ke praktik dokter
umum. Menurut keterangan bapak W (47 tahun), keputusan
seperti itu diambil karena pihak keluarga berusaha
semaksimal mungkin agar Ny. N tidak sampai dirawat di RS.
Selain karena keinginan yang kuat untuk bisa melahirkan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
28/232
Jelajah N usantara # 3
19
secara normal di rumah, juga karena alasan biaya dan
terbatasnya anggota keluarga yang bisa menunggu di RS.
Dokter umum yang didatangi Ny. N dan keluarga jugamemberikan saran yang sama, Ny. N harus masuk RS. Namun
sekali lagi sangat disayangkan, Ny. N atas keinginannya sendiri
yang di-amin-kan keluarga justru dibawa pulang ke rumah.
Sampai di rumah, pihak keluarga kembali memanggil bidan L
dan perawat I (30 tahun) serta meminta mereka agar
mengupayakan bisa membantu perawatan Ny. N yang
dilakukan di rumah saja. Tentu saja bidan L dan perawat I
menolak melakukan itu. Mereka kembali memberikan
pengertian dan pemahaman kepada Ny. N dan keluarga agar
bersedia dirujuk ke RS.
Setelah susah payah dibujuk, Ny. N benar-benar
dibawa ke RSUD Masohi pada keesokan harinya. Dua hari
dirawat di RS, Ny. N kembali pulang paksa ‘atas permintaansendiri (APS)’ dengan alasan tidak bersedia untuk dilakukan
tindakan operasi. Menurut Bapak W, mereka saat itu
diwajibkan menandatangani berbagai surat pernyataan
bahwa menolak segala bentuk tindakan medis atas keinginan
sendiri dan siap dengan segala risikonya, meskipun telah
mendapat penjelasan bahwa tindakan yang akan dilakukan
pihak RS semata-mata untuk menyelamatkan dirinya dan bayi
yang di kandungnya.
Dua hari di rumah, kondisi Ny. N semakin lemah.
Melihat hal itu, suami dan keluarga Ny. N berinisiatif kembali
memanggil petugas kesehatan yang bertugas di desa itu, dan
tentu saja kembali diharuskan untuk dirujuk. Kali ini keluarga
Ny. N menurut. Namun masalah kemudian muncul ketika di
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
29/232
Rekam Kem atian d ari Pulau Seram
20
RS Ny. N dan keluarga masih saja menolak untuk dilakukan
tindakan pertolongan seperti prosedur periksa dalam dan
operasi. Hal ini membuat petugas RS menjadi jengkel, dansempat memanggil bantuan polisi untuk mengatasi hal
tersebut. Ny. N dan keluarga pun kemudian sedikit melunak
dan mau untuk dilakukan periksa dalam dan tindakan medis
lainnya. Dari situ kemudian diketahui bahwa bayi dalam
kandungan Ny. N sudah tidak bernyawa lagi. Kondisi ini
semakin menegaskan bahwa tindakan operasi sectio caesaria
satu-satunya cara yang harus dilakukan. Keluarga kembali
meminta waktu untuk berdiskusi dan berpikir ulang dalam
menyetujui tindakan operasi yang diindikasikan. Namun
malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, Ny. N
akhirnya juga menghembuskan napas terakhir sebelum
sempat dilakukan tindakan operasi tersebut.
Beberapa saat setelah meninggalnya Ny. N, dimasyarakat beredar isu yang konon disebar oleh suaminya
bahwa meninggalnya Ny. N akibat tindakan periksa dalam
atau yang dalam bahasa mereka disebut dengan ‘…kasih
masuk tangan…’ yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
Masalah lainnya juga muncul ketika pihak keluarga, terutama
kakak kandungnya, menyalahkan suami Ny. N yang mereka
nilai lamban mengambil keputusan dan persetujuan tindakan
medis untuk menyelamatkan Ny. N.
Kisah kematian maternal yang dramatis, yang untuk
mendapatkan datanya harus saya lakukan dengan susah
payah, dan ‘berdarah-darah’ karena informan utama (Bapak
W), kakak kandung Ny. N, sempat menolak diwawancara
siapapun, terutama petugas kesehatan yang ingin mengorek
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
30/232
Jelajah N usantara # 3
21
keterangan terkait hal itu. Mungkin beliau berpikir bahwa
kasus kematian Ny. N memang harus ditutupi sebagai sebuah
kenangan buruk keluarga. Segala upaya dengan mengerahkanberbagai teknik dan keterampilan komunikasi yang pernah
saya dapatkan di berbagai pelatihan, serta tak lupa
memanjatkan doa memohon kemudahan dari Allah SWT,
akhirnya Bapak W mau berbagi cerita. Ada kepuasan
tersendiri bagi saya pribadi bisa menaklukkan kekerasan hati
Bapak W yang merupakan saksi hidup kematian maternal
yang dialami Ny. N, dimana selama ini sangat tertutup dan
sulit dimintai keterangan oleh petugas kesehatan setempat.
Semoga dapat menjadi pembelajaran buat keluarga-keluarga
lain dan untuk perbaikan program kesehatan ibu dan anak di
negeri ini.
Tamilouw, 14 Agustus 2015
Puskesmas Tamilouw kami datangi keesokan harinya,
tepatnya tanggal 14 Agustus 2015. Untuk menuju Puskesmas
yang berjarak ±45 km dari Masohi ini, kami menggunakan
mobil angkot carteran. Perjalanan menuju Puskesmas ini
menyajikan pemandangan pesisir pantai pulau seram dengan
deburan ombak yang sangat cantik dan berada persis di tepi jalan yang kami lalui.
Di Puskesmas Tamilouw saya bertemu bidan desa
bermarga Latuconsina, sama dengan artis muda peranakan
Maluku yang juga lagi populer di ibukota. Bidan NI (27 tahun),
menurut saya tergolong bidan wonder woman di tengah
keterbatasan tenaga bidan yang hanya 3 orang, sudah
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
31/232
Rekam Kem atian d ari Pulau Seram
22
termasuk bidan koordinator di Puskesmas. Dari 7 desa yang
ada wilayah kerja Puskesmas Tamilouw, 3 diantaranya
menjadi tanggung jawab dan binaannya dalam memberikanpelayanan kesehatan.
Gambar 3. Pemandangan Pantai Pesisir Pulau Seram
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bidan NI harus membagi diri dalam 6 bahkan 7 hari
seminggu untuk berkeliling ke desa-desa yang jarak masing-
masingnya tidak bisa dibilang mudah. Dan lagi-lagi, semua
pelayanan yang diberikan, meskipun itu di luar jam kerjanormal sebagai pegawai negeri sipil (PNS), tetap saja gratis.
Menurut NI, hal ini karena telah menjadi kebiasaan dan pola
pikir yang melekat pada masyarakat setempat bahwa segala
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
yang ditunjuk oleh pemerintah seyogyanya adalah gratis.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
32/232
Jelajah N usantara # 3
23
Di wilayah kerja Puskesmas Tamilouw kami juga
berkesempatan dibawa ke sebuah dusun yang masih
mempertahankan adat dan tradisi yang sangat kental. SukuNaulu namanya, etnis yang mendiami Dusun Sepa ini
mempunyai ciri khas dimana para pria dewasanya selalu
mengenakan ikat kepala merah, hingga sebutan lain yang
melekat pada mereka adalah ‘Suku Kepala Merah’.
Ada satu tradisi yang diyakini Suku Naulu dan sangat
terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Mereka mempercayai
bahwa wanita dalam kondisi haid atau melahirkan (bersalin)
dinilai memiliki sesuatu yang ‘kotor’. Oleh karena itu, wanita
seperti ini harus di asingkan ke sebuah gubuk kecil beratap
dan berdinding daun sagu yang dibuat dalam jarak agak jauh
dari rumah, bahkan ada yang di hutan. Wanita bersalin akan
mulai diasingkan kurang lebih seminggu menjelang perkiraan
hari persalinan, selanjutnya melahirkan di situ, hinggakemudian darah nifasnya bersih.
Selama masa pengasingan, sang wanita hanya
mengenakan sehelai kain sarung yang melilit tubuh sebatas
dada dan tidak diperbolehkan mandi. Mandi diperbolehkan
bila darah haid atau nifasnya telah benar-benar bersih. Hal ini
juga sebagai penanda mereka akan diizinkan kembali dibawa
ke rumah dengan rangkaian ritual-ritual adat tertentu. Tradisi
ini mirip dengan yang dilakukan suku Muyu di Mindiptana-
Papua, seperti pernah di eksplore melalui Riset Etnografi
Kesehatan tahun 2014 oleh senior Mas Agung Dwi Laksono,
dan kawan-kawan.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
33/232
Rekam Kem atian d ari Pulau Seram
24
Gambar 4. Rumah Pengasingan Wanita Bersalin Suku Naulu dan Pria
Kepala Merah
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Teluti, 15 Agustus 2015Hari berikutnya di tanggal 15 Agustus 2016 perjalanan
kami lanjutkan ke Puskesmas Teluti. Puskesmas ini adalah
Puskesmas terjauh dari keempat lokasi kajian kami. Berjarak
sekitar 87 Km dari Kota Masohi, kami tempuh selama ±3,5
jam perjalanan menggunakan mobil Innova carteran seharga
1,5 juta.Pemandangan pesisir pantai Pulau Seram yang
menyajikan bentangan keindahan debur ombak berpadu
dengan horizon biru putih langit kembali tersaji mengiringi
perjalanan kami. Namun sayangnya hal itu tidak berlangsung
sampai ke ujung tempat tujuan. Dalam 10 km terakhir
sebelum sampai Teluti, kami melewati cerukan lembah yang
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
34/232
Jelajah N usantara # 3
25
menurut Bu Hapsa Salampessy , Kepala Seksi KIA Dinas
Kesehatan Maluku Tengah yang mendampingi kami,
sebenarnya merupakan kali (sungai dangkal) terlebar diIndonesia. Uniknya, kali dengan lebar 3,5-4 km ini, bisa tiba-
tiba menjadi dalam dan penuh air bah yang sangat deras. Hal
ini seringkali terjadi jika wilayah pegunungan di hulunya
mendapat siraman hujan yang mulai lebat.
Jembatan penghubung berbahan beton dan baja
sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah di atas kali raksasa
ini. Namun tak berselang lama, beberapa bagiannya runtuh
dan hanyut akibat tak mampu menahan derasnya terjangan
arus ketika musim hujan dan banjir bah datang. Beruntung
siang itu kami melewatinya saat sedang panas terik, hingga
volume air tidak terlalu tinggi dan mobil tumpangan kamipun
bisa mencari celah-celah daratan mirip pulau di tengah sungai
yang bisa dijadikan lintasan jalan. Meskipun di beberapabagian, menceburkan mobil ke air untuk menyeberang
derasnya arus kali tak dapat dihindari. Hal ini sempat
membuat kami cemas dan panik karena merupakan
pengalaman pertama berada dan menjadi penumpang mobil
yang seolah-olah seperti diterjang gelombang tsunami. Untuk
mengabadikan momen menyeberang kali super lebar ini, saya
pun hanya berani menjepretkan kamera semampunya lewat
jendela mobil tempat saya duduk.
Sesampainya di Teluti, saya ditugaskan mendatangi
rumah keluarga Ny. AY (21 tahun). Keluarga ini berdasarkan
informasi dari pihak Puskesmas diketahui memiliki riwayat
kematian neonatal. Bayi Ny. AY meninggal saat usianya ± 2
jam setelah dilahirkan. Dari hasil wawancara saya peroleh
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
35/232
Rekam Kem atian d ari Pulau Seram
26
keterangan bahwa bayi yang di kandung Ny. AY adalah anak
pertama hasil hubungan di luar nikah bersama pacar sejak
SMA yang sekarang menjadi suaminya.
Gambar 5. Perjalanan Menyeberang Kali Terlebar se-Indonesia
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Saat hamil, Ny. AY hanya sesekali memeriksakan
kehamilannya ke Posyandu. Saat proses bersalin tiba, Ny. AY
juga lebih mempercayai dukun kampung yang dipanggil
pertama kali untuk membantunya. Bidan desa yang tinggal
tidak terlalu jauh dari rumah, dipanggil setelah persalinannya
mengalami kemacetan >48 jam. Walaupun kemudian
kelahiran bayinya secara spontan telah ditolong oleh bidan
desa, namun nyawa bayi tersebut tidak terselamatkan danmeninggal karena asfiksia yang sering terjadi pada kasus
partus (persalinan) lama.
Tehoru, 16 Agustus 2016
Dari Teluti kami bergerak ke Puskesmas Tehoru yang
berjarak ±50 km. Kami kembali melewati kali lebar dalam
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
36/232
Jelajah N usantara # 3
27
suasana sudah gelap malam dan gerimis. Kondisi demikian
membuat kami was-was akan cerita bahwa kali tersebut bisa
kedatangan banjir bandang tiba-tiba jika terjadi hujan lebat.Bersyukur kami bisa melewatinya meskipun driver harus
bersusah payah dan penuh perhitungan memilih jalan di
tengah deras arus kali yang sekiranya aman untuk
menceburkan ban mobil. Kami sampai di Puskesmas Tehoru
sekitar jam 8 malam, dan telah disambut dengan rumah dinas
dokter yang kosong dan cukup nyaman untuk tempat kami
bermalam.
Makan malam dengan menu ikan laut kuah kuning,
kuliner favorit saya selama di Maluku Tengah selain ikan asar
(ikan asap) yang di cocol ke sambal colo-colo, menjadi
santapan yang pas pengusir lelah. Tak cukup sampai disitu,
seorang staf Puskesmas Tehoru yang berlatar pendidikan
vokasi di bidang fisioterapi pun menawarkan kami pijatrelaksasi yang sangat sulit untuk saya lewatkan.
Keesokan harinya kami melakukan pengumpulan data
yang sama seperti di Puskesmas lainnya. Puskesmas Tehoru
adalah salah satu Puskesmas rujukan gugus pulau yang
membawahi beberapa Puskesmas satelit di sekitarnya.
Keberadaan Puskesmas Tehoru sebagai Puskesmas PONED
sangat membantu menjembantani penatalaksanaan kasus-
kasus komplikasi maternal neonatal rujukan dari Puskesmas-
Puskesmas satelitnya. Puskesmas-Puskesmas satelit Gugus
Pulau Tehoru hampir semua berstatus sangat terpencil yang
hanya bisa ditempuh melalui jalur laut atau jalur darat
dengan medan yang sangat ekstrim. Salah satu cerita kasus
kematian maternal yang terjadi di wilayah Tehoru disebabkan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
37/232
Rekam Kem atian d ari Pulau Seram
28
karena sulitnya akses transportasi. Konon itu terjadi saat
musim hujan dimana gelombang sedang tinggi sehingga akses
jalur laut menggunakan perahu tidak memungkinkan samasekali. Akses darat pun terputus akibat kali raksasa tidak bisa
dilewati karena belum ada jembatan penghubung pada saat
itu.
Ora; Maldives and Halong Bay of Indonesia
Masa penugasan selama 16 hari di bulan Agustustahun 2015 di Kabupaten Maluku Tengah, tak terasa berlalu.
Terlalu banyak pembelajaran tentang bagaimana perjuangan
pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak di salah satu
belahan Timur Indonesia ini. 16 hari pun terasa sangat
pendek untuk bisa menikmati setiap jengkal keindahan dan
kekayaan alamnya.
Satu yang pasti, perjalanan ini juga meninggalkan satu
kenangan terindah dimana saya bisa merayakan dan
mengibarkan bendera merah putih lambang kemerdekaan
Negara Indonesia di Pantai Ora. Pantai Ora yang saya yakin
kedepannya akan menjadi salah satu primadona pariwisata
Indonesia Timur. Semoga tak berlebihan jika saya yang begitu
takjub melihat objek wisata di desa Sawai bagian utara PulauSeram ini sebagai perpaduan Maldives dan Halong Bay yang
dimiliki Indonesia.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
38/232
29
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh CintaCatatan Perjalanan Peneliti di Kep. Sula, Maluku Utara
Nor Efendi
Sanan, 19 Mei 2016
Alhamdulillah, tahun ini saya kembali dipercaya Badan
Penelitan dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI terlibat dalam Riset Etnografi Kesehatan (REK)
tahun 2016. Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku
Utara, yang beberapa tahun lalu sempat saya dengar
namanya dalam sebuah pelatihan tingkat nasional karena ada
seorang teman peserta berasal dari sana, menjadi lokasi yang
diamanahkan ke kami. Saya ditugaskan menjadi koordinator
tim yang beranggotakan 2 rekan peneliti lainnya. Satu peneliti
berlatar magister promosi kesehatan asal Medan dan 1
peneliti lainnya dengan keahlian bidang antropologi sosial
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
39/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
30
asal Lombok. Kedua personel tim saya berjenis kelamin laki-
laki. Bukan tanpa alasan, mungkin tantangan perjalanan yang
bukan hanya berdurasi lama namun juga ekstrim dengangelombang lautnya dianggap “layak” untuk kami.
Gambar 1. Peta Lokasi Provinsi Maluku Utara di Indonesia
Sumber: Google Map
Sampai sebelum masa pengumpulan data, salah satu
kabupaten sangat terpencil di Indonesia ini masih terasa asing
bagi kami. Bagaimana tidak, niat sampai disana saat masa
persiapan lapangan di minggu kedua April 2016, harus
terhenti di “Negeri para Sultan”, Ternate dan Tidore. Jatah
hanya 1 minggu dan kerusakan mesin kapal satu-satunya yang
gagal berlayar sesuai jadwal masa tugas perjalanan menuju
Kepulauan Sula, menjadi penyebabnya. Beruntung kemudian
ada salah seorang staf Dinas Kesehatan (Dinkes) Kepulauan
Sula yang berkegiatan kedinasan di Ternate dan dapat kami
jadikan “jendela pertama” untuk mengintip permasalahan
kesehatan di sana.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
40/232
Jelajah N usantara # 3
31
Sebulan kemudian di hari ke-10 bulan Mei tahun 2016,
masa pengumpulan data REK 2016 pun tiba. Dari Banjarmasin
saya bergerak menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta-Jakarta, yang kami sepakati sebagai meeting point untuk
kemudian bersama-sama terbang menuju Ternate. Seperti
sebelumnya, penerbangan dini hari akan melewati suguhan
sunrise dari balik jendela pesawat. Beberapa saat sebelum
mendarat, ketika pesawat berputar seolah menari di atas
Kepulauan Maluku Utara yang sedang pamer pesona
kecantikannya di pagi hari, salah satu momen favorit saya.
Gambar 2. Ternate di Pagi Hari dengan Latar Gunung Gamalama Dilihat
dari Udara
Sumber: Dokumentasi peneliti
Dari Ternate kami menumpang Kapal Motor (KM) Agil
Pratama yang bertingkat 3 dengan bagian lambungnya khusus
diisi barang. Kelas ekonomi bertarif Rp. 300.000,- per orang
ada di lantai 2, berisi jejeran tempat tidur yang juga
bertingkat 2 seukuran cukup badan orang dewasa,
menyerupai barak tentara. Masing-masing penumpang
mendapat jatah 1 area tempat tidur beserta barang
bawaannya sesuai nomor tiket. Kelas VIP dan eksekutif yang
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
41/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
32
disebut “kamar” terletak di lantai paling atas. Ukurannya
sekitar 2 x 2,5 meter berfasilitias 2 tempat tidur bertingkat
yang sedikit lebih besar dari kelas ekonomi, serta dilengkapidengan AC atau kipas angin. Harga per kamar dipatok Rp.
600.000,- dan sepertinya sangat laris di-booking sekitar 1-2
minggu sebelum keberangkatan. Bagian buritan lantai atas
juga terdapat kantin yang menyediakan minuman kopi dan
the, serta cemilan ringan. Saya sempat mencicipi segelas teh
hangatnya dengan membayar Rp. 5.000,-. Bagi yang hobi
bernyanyi atau sekedar membunuh bosan menjalani
perjalanan laut selama 16-17 jam, kantin kapal juga
menyediakan perangkat TV karaoke yang harus dibayar
penumpang sebesar Rp. 10.000,- untuk setiap 3 lagu yang
dinyanyikan.
Gambar 3. Alat Transportasi untuk Mencapai Kabupaten Kepulauan Sula
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Alternatif transportasi lain ke Sanana menggunakan
pesawat Twin Otter milik maskapai Dimonim Air yang terbang
setiap Rabu (pulang-pergi) dengan tarif Rp. 334.000,- per
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
42/232
Jelajah N usantara # 3
33
seat . Berangkat dari Ternate pukul 07.10 dan akan tiba di
Bandara Emalamo-Sanana sekitar pukul 08.45. Penerbangan
ini hanya tersedia 12 seat per kali terbang dan tiketnya punhanya bisa dibeli di kantor perwakilan maskapai bandara
keberangkatan. Bagi calon penumpang dadakan, jangan
berharap akan mendapat tempat untuk mencicipi terbang
bersama pesawat perintis ini. Menurut informasi seorang
kenalan di Dinas Perhubungan setempat, booking-an seat
biasanya sudah penuh 3-4 minggu sebelum tanggal
keberangkatan. Sebelumnya saya telah coba menelusur
website maskapai ini untuk kemungkinan penjualan tiket
online, namun hasilnya nihil.
Kabupaten Kepulauan Sula membawahi 12 kecamatan
dan 78 desa definitif yang tersebar di 2 pulau besarnya,
Sulabesi dan Mangoli. Ibukotanya di Sanana, sebuah kota
kecil nan manis sebelah Timur Pulau Sulabesi.Skor Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) Tahun 2013 menempatkan Kepulauan Sula di ranking
476 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia. Ranking tersebut
merupakan peringkat terendah dari 9 kabupaten/kota yang
ada di Provonsi Maluku Utara.
Daerah endemis Malaria, itu yang terbayang di benak
ketika mendapat penugasan ke daerah pengasil kopra,
cengkeh, pala dan rempah lain ini. Data tahun 2014 daerah ini
menunjukkan Annual Malaria Incidence (AMI) mencapai
24/1.000 penduduk dengan Annual Positive Insidence (API)
4/1.000 penduduk. Data dari laporan tahunan Dinkes
Kabupaten Kepulauan Sula ini sempat membuat kami
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
43/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
34
berancang-ancang menjadikan malaria sebagai topik tematik
riset etnografi kesehatan yang akan kami lakukan.
Namun diskusi dan telaah laporan sesampainya kamidi kantor Dinkes Kabupaten Kepulauan Sula menyimpulkan
hal yang berbeda. Pengelola Program Filariasis dan Kepala
Seksi Pemberantasan Penyakit (P2) yang kemudian diamini
oleh Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (P2PL) sepakat menempatkan kami ke wilayah
kerja Puskesmas Kabau. Puskesmas yang terletak di
Kecamatan Sulabesi Barat ini merupakan penyumbang kasus
Filariasis terbanyak, yaitu 4 dari 7 kasus tercatat di Kepulauan
Sula. Alasan utama lainnya tentu saja karena budaya dan
tradisi yang masih sangat kuat melekat di masyarakat Kabau.
Saya bersama tim pun merasa sudah mengumpulkan
justifikasi yang cukup kuat untuk menyetujui pilihan ini.
Setelah menginap 1 malam di Sanana, keesokan harinya kamimemantapkan diri untuk segera menuju Kabau.
Dari kota Sanana yang berada di tepian Timur, kami
harus menempuh kembali perjalanan laut sekitar 2,5 jam
menyisir pulau Sulabesi ke arah Barat. Satu-satunya angkutan
umum yang tersedia adalah perahu motor dari kayu yang
disebut bodi oleh orang Sula. Tarif yang dipatok menurut saya
cukup murah untuk duduk manis menikmati keindahan bibir
Pantai Sulabesi di sepanjang perjalanan, hanya Rp. 20.000,-
per orang. Hamparan laut dengan gradasi warna biru hijau
berpadu cantik dengan cerahnya langit. Kebun-kebun kelapa
berlatar hutan perawan yang diselingi beberapa
perkampungan kecil berada di tepian pantainya. Sapaan ikan-
ikan besar yang sesekali melompat ke atas permukaan air laut
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
44/232
Jelajah N usantara # 3
35
dan penyu-penyu besar yang mengambang tiba-tiba,
melengkapi kesempurnaan lukisan alam yang tercipta. Bagi
penulis pemula seperti saya, sungguh sulit mengungkapkankeindahannya dengan kata-kata. Jaket hodie dan kacamata
hitam nyaman digunakan untuk sedikit berlindung dari
matahari Sula yang siang itu terasa menyengat di sepanjang
perjalanan. Buaian gelombang kecil berirama dengan decak
kagum tak henti saya kumandangkan. Subhanallah... Sula
memang teramat cantik dan saya seakan jatuh cinta!
Gambar4. Perjalanan Laut menuju Kabau Menggunakan Bodi
Sumber : Dokumentasi peneliti
Kabau terletak di muara sebuah teluk yang
belakangan saya ketahui bahwa penduduk setempat
menyebutnya sebagai telaga. Menurut legenda yang
diceritakan turun temurun di masyarakat Kabau, telaga
tersebut terbentuk akibat semacam kutukan. Pada suatu
masa di zaman dahulu kala, penduduk setempat mengangkat
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
45/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
36
imam (pemimpin) seorang perempuan. Hal ini tidak direstui
dan diperkenankan oleh penjaga alam. Hingga beberapa saat
kemudian, seekor biya (kerang) raksasa tiba-tiba naik dari lautdan menyapu keseluruhan kampung hingga berubah menjadi
sebuah telaga besar. Hampir seluruh isi kampung dan
penduduk ikut tenggelam berubah wujud menjadi buaya-
buaya di dalam telaga. Sebagian kecil penduduk ada yang
selamat dan menjadi 4 marga pertama penghuni Kabau yang
sekarang, yaitu Lidamona, Kedafota, Sanela dan Papalia.
Penduduk yang menjelma menjadi buaya diyakini terus hidup
sampai sekarang dan menjadi penghuni telaga hingga
jumlahnya pun puluhan.
Buaya-buaya penghuni telaga masih sangat sering
menampakkan diri dalam berbagai ukuran, mulai dari yang
kecil hingga ada yang sebesar perahu. Menurut warga
setempat, ada 2 jenis buaya yang hidup di telaga berair asintersebut. Yang pertama adalah buaya jelmaan penduduk desa
yang ditenggelamkan di dalam telaga. Buaya jenis ini dapat
muncul dan hilang tiba-tiba secara gaib. Asal tidak diganggu
mereka juga tidak akan membahayakan dan dapat hidup
berdampingan dengan manusia. Buaya jenis ke-2 adalah
buaya muara yang sebenarnya. Meskipun jarang, jenis buaya
ini pernah beberapa kali memakan korban manusia, ayam,
kambing, bahkan sapi yang banyak dipelihara masyarakat
Kabau. Buaya jelmaan konon dapat dibedakan berdasarkan
jumlah jari di ke-4 kakinya yang sama-sama 5 seperti jari kaki
dan tangan manusia. Sedangkan buaya muara yang
sesungguhnya, jari kakinya hanya berjumlah 4.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
46/232
Jelajah N usantara # 3
37
Gambar 5. Desa Kabau Laut yang Terletak di Muara Telaga
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Minggu pertama masa pengumpulan data, kamitelah 2 kali berkesempatan bertemu langsung dengan buaya.
Kali pertama pada suatu malam ketika pulang dari
memancing ikan di laut bersama bapak kepala Puskesmas.
Tiba-tiba beliau memerintahkan saya untuk mengarahkan
cahaya senter ke gundukan pasir yang terbentuk di tengah-
tengah pantai muara telaga. Saya pun menurut, hingga
tampaklah sebentuk kepala buaya dengan moncongnya yang
memanjang dan sepasang mata yang bersinar tersorot
cahaya. Jarak perahu kami hanya beberapa meter dari tempat
buaya menampakkan diri. Kami pun takjub, ternyata cerita
masyarakat tentang banyaknya buaya di telaga desa , bukan
isapan jempol belaka. Selang 1 malam kemudian kami
dihebohkan lagi oleh kabar penjaga rumah mesin (genset
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
47/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
38
listrik desa) yang melaporkan di belakang rumahnya terlihat
seekor buaya. Dan benar saja, ketika didatangi tempat yang
tidak jauh dari rumah mama piara (ibu kos) kami tersebut,tampak seekor buaya sedang mencoba mengintai mangsa.
Buaya itu pun kemudian ramai-ramai diusir dan dilempari
warga hingga kembali ke dalam gelapnya rawa yang masih
terhubung dengan telaga.
Gambar 6. Telaga Air Asin yang Menjadi Legenda Asal Usul Kampung
Kabau Laut
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain hanya diterangi listrik desa yang menyala
menjelang waktu Maghrib hingga sekitar pukul 11 malam,Kabau juga memiliki sejarah pernah porak poranda diterjang
tsunami kecil tahun 1965 sebagai dampak gempa di daerah
Kepulauan Buru. Peristiwa ini membuat kampung Kabau yang
sekarang masih fakir signal seluler ini terbagi menjadi dua.
Kabau Laut yang dihuni oleh orang-orang yang masih
bertahan untuk tetap berumah di tepi pantai, dan Kabau
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
48/232
Jelajah N usantara # 3
39
Darat yang semula merupakan kampung pengungsian orang-
orang Kabau Laut saat kejadian bencana alam tersebut. Selain
2 desa ini, wilayah kerja Puskesmas Kabau juga mencakup 4desa pesisir lainnya yaitu Paratina, Nahi, Ona dan Wai’ina.
Dengan nebeng kegiatan Posyandu kami ikut menyambangi
desa-desa tersebut menggunakan perahu motor dinas untuk
Puskesmas perairan milik Puskesmas Kabau yang terbuat dari
bahan fiber glass yang mereka sebut Fiber . Bentuknya tidak
jauh berbeda dengan bodi yang berbahan papan kayu.
Gambar 7. Perahu Motor Dinas Puskesmas Kabau yang Biasa Disebut Fiber Sumber: Dokumentasi Peneliti
Fiber ini lah yang selalu menghantarkan para petugas
Puskesmas Kabau mendekatkan pelayanan kesehatan ke
desa-desa pesisir terpencil di wilayah kerjanya. Meskipun tak
jarang, dalam pengabdiannya mereka harus mempertaruhkan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
49/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
40
nyawa ketika musim gelombang angin Timur datang
menerjang.
Selain memiliki pantai-pantai dangkal eksotis yangmembuat penikmat snorkelling seperti saya tak pernah jemu
menjelajahinya, Kabau juga menyimpan segudang
permasalahan kesehatan masyarakat. Sengatan matahari
yang membakar Kabau cenderung membuat kita selalu
bermandi keringat. Ini mengingatkan saya akan seloroh
seorang teman dari Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan RI
saat tugas dinas ke Maluku Utara sempat berujar, “...disini
matahari berasa 2 biji...”.
Gambar 8. Penderita Penyakit Kulit yang Banyak Ditemukan di Kabau
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Personal hygiene masyarakat yang umumnya sangat
kurang berdampak terhadap banyaknya penderita penyakit
kulit disini. Hampir setiap penduduk, baik anak-anak, remaja
hingga orang tua, kulitnya berhiaskan gatal-gatal hingga panu
di sana-sini. Mandi keringat dan jarang mandi serta kebiasaan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
50/232
Jelajah N usantara # 3
41
membawa masuk alas kaki dari luar yang bekas tanah dan
debu ke dalam rumah, mungkin sebagai penyebab kondisi ini.
Padahal aliran air bersih dari pancuran di atas bukit keperkampungan, sudah cukup tersedia disini.
Gambar 9. Anak-Anak yang Buang Air Besar di Pantai pada Pagi Hari
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Suatu pagi saya pergi ke belakang rumah mama piara
yang langsung berada di bibir pantai, berniat menikmati
keindahan laut saat sengatan mentari pagi masih bersahabat
dengan kulit. Hal mengejutkan kembali saya dapati. Beberapa
anak usia sekitar 7-12 tahun tampak nongkrok di beberapa
tempat. Posisi mereka menghadap ke arah laut dengan
bagian pantat terbuka tanpa busana. Tidak salah lagi, instingsaya mengatakan mereka sedang buang hajat di atas pasir
pantai. Dan kotoran yang dibuang sembarangan tersebut
kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa perlakuan yang
sifatnya untuk “pengamanan”. Sepertinya mereka
menyerahkan tugas itu kepada air pasang dan sapuan ombak
yang nanti akan membawanya hilang tak berbekas entah
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
51/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
42
kemana. Padahal yang saya tahu, hampir semua penduduk di
Kabau telah melengkapi rumahnya dengan jamban/wc,
termasuk rumah anak-anak yang pagi itu merusak selera sayauntuk melanjutkan jalan-jalan di bibir pantai. Mungkin alasan
kepraktisan agar setelah selesai bisa langsung cuci bokong ke
laut atau kurangnya penyuluhan akan pentingnya membuang
air besar di jamban, hingga mereka berperilaku demikian.
Entahlah, nanti jawabannya akan saya cari tahu lagi melalui
wawancara mendalam.
Masalah kesehatan masyarakat lainnya yang saya
temukan adalah kebiasaan merokok yang dilakukan oleh
hampir sebagian besar laki-laki Kabau. Mulai dari remaja
hingga yang telah lanjut usia, para lelaki Kabau seakan
menjadikan rokok sebagai teman pergi kemana saja dan
dalam aktivitas apapun. Dalam beberapa kesempatan saya
berinteraksi dengan informan-informan penelitian, mau tidakmau, suka tidak suka, tawaran merokok dan paparan asap
rokok terpaksa saya rasakan. Demikian pula halnya dalam
beberapa jamuan seperti acara peringatan hari kematian dan
pesta perkawinan, suguhan rokok harus disediakan bersama
sajian lainnya yang kedudukannya setara dengan nasi dan
lauk pauk yang wajib ada. Kondisi ini menjadi bukti nyata hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang
menempatkan Maluku Utara sebagai provinsi dengan
proporsi penduduk usia ≥ 15 tahun yang mengkonsumsi
tembakau hisap dan kunyah terbanyak ke-dua di Indonesia.
Poligami, pernikahan di bawah umur dan pergaulan
bebas juga menjadi fenomena sosial tersendiri di Kabau. Di
beberapa kesempatan melakukan wawancara mendalam
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
52/232
Jelajah N usantara # 3
43
dengan ibu hamil, ibu bersalin dan nifas serta remaja terkait
kesehatan reproduksi, fakta mengejutkan terkuak. Usia
perkawinan mereka rata-rata di bawah 17 tahun dan banyakdi antaranya terjadi karena kehamilan di luar nikah.
Bertebaran lah ibu-ibu muda usia 20 tahun ke bawah yang
telah memiliki anak 1 orang, dan bahkan lebih. Kondisi ini
diperkuat lagi dengan pengakuan informan dari kalangan
remaja putra dan para pemuda yang dengan bangga
menceritakan pengalaman-pengalaman seks di luar nikah
mereka. Yang tak kalah membuat tercengang ketika
mayoritas para lelaki dewasa Kabau yang menjadi informan
riset kami, rata-rata ternyata telah menikah lebih dari 1 kali.
Sebagian karena dengan sengaja berpoligami, dan sebagian
lainnya akibat cerai atau ditinggal mati isteri.
Filariasis (penyakit kaki gajah) yang menjadi alasan
utama kami memilih Kabau sebagai lokasi melakukan REK punpelan-pelan menemukan jawabannya. Enam desa di wilayah
kerja Puskesmas Kabau tuntas kami kunjungi di minggu
pertama masa pengumpulan data. Selain mengunjungi kasus
Filariasis positif yang telah kami kantongi datanya, kasus-
kasus suspek (tersangka) yang memiliki gejala klinis pun
berhasil kami temukan. Hasil rekapitulasi data sementara
kami menyimpulkan bahwa tidak ada satupun desa di wilayah
kerja Puskesmas Kabau yang bebas dari kasus positif maupun
kasus tersangka klinis Filariasis. Gejala klinis yang tampak
berupa pembesaran kaki atau kaki gajah yang disebut
penduduk setempat Yai Aya dan pembesaran skrotum (buah
zakar) pada pria yang dalam bahasa daerah mereka sebut
sebagai Fattel Aya. Kasus-kasus suspek ini masih tersebar di
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
53/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
44
beberapa desa dan sepertinya belum tersentuh pemeriksaan
lebih lanjut oleh petugas kesehatan. Terbukti penuturan
Pengelola Program Filariasis Dinkes Kabupaten yangmenceritakan bahwa ada salah seorang penderita Filariasis di
wilayah Puskesmas lain menolak pengobatan. Semata-mata
karena keyakinan bahwa penyakitnya akibat pengaruh mistis
telaga saat dia pernah tinggal di Desa Kabau laut.
Persepsi bahwa filariasis disebabkan terkena tulah
penuntutan akibat sewaktu hamil orang tua berburu binatang
dengan cara menjeratnya di kaki, juga diyakini sebagian
keluarga penderita. Ramuan tradisional dari akar, batang atau
daun yang kemudian ditambah dengan bacaan doa yang
mereka sebut tiup-tiup, menjadi pilihan pengobatan penyakit
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk ini. Program
pengobatan massal Filariasis telah digagas Dinkes Kabupaten
Kepulauan Sula sebagai daerah dengan mikrofilaria rate ≥ 1%sejak tahun 2015 (tahun pertama) hingga 4 tahun ke depan.
Pengobatan bertujuan memutus mata rantai penularan demi
terwujudnya eliminasi Filariasis tahun 2020. Namun evaluasi
sederhana yang sempat kami lakukan melalui beberapa
informan, menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan.
Banyak informan tidak mengetahui pernah ada pengobatan
massal atau pembagian obat untuk Filariasis. Sebagian besar
yang mendapat pembagian obat massal, tidak mendapat
penjelasan dan pemahaman atau sosialisasi yang cukup
tentang Filariasis. Hingga kemudian beberapa informan
mengaku tidak perlu meminum paket obat tersebut karena
merasa tidak memiliki keluhan atau gejala yang mengarah
pada penyakit Filariasis. Mendapati hal ini, saya sempatkan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
54/232
Jelajah N usantara # 3
45
berbagi informasi akan pentingnya pengobatan massal
Filariasis bagi daerah endemis seperti wilayah mereka. Selain
agar kegiatan tersebut dapat efektif memberantas Filariasis, juga supaya biaya sangat mahal yang dikeluarkan pemerintah
untuk mendanainya tidak berakhir sia-sia hanya karena
kurangnya kepatuhan dengan angka keberhasilan pengobatan
yang rendah.
Gambar 10. Penderita dan suspek Filariasis yang tersebar di semua desa
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Permasalahan kesehatan klasik lainnya seperti
banyak terjadi di pelosok sangat terpencil negeri ini, adalah
keterbatasan sarana dan tenaga di fasilitas pelayanan
kesehatan. Puskesmas Kabau menjadi perpanjangan tangan
dan ujung tombak pemerataan pelayanan kesehatan ke 6
desa sangat terpencil di luas wilayah 246 km
2
yang sebagian
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
55/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
46
besar hanya bisa ditempuh melalui jalur laut. Puskesmas yang
melayani 4.821 penduduk ini, hanya di motori oleh 4 orang
petugas kesehatan PNS (termasuk kepala Puskesmas yangberpendidikan perawat), bidan desa pegawai tidak tetap (PTT)
yang tersebar di 6 desa serta 3 orang honorer sukarela.
Bagaimana bicara soal kualitas pelayanan yang diberikan, jika
secara kuantitas saja kondisi fasilitas dan sarana kesehatan di
belahan negeri berpantai indah ini, ibarat pepatah “ jauh
panggang dari api”.
Gambar 11. Pelayanan Imunisasi BCG dan Bayi-Bayi Posyandu di Kabau
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebagai contoh kecil, saya yang diminta membantu
pemberian imunisasi di Posyandu “terpaksa” melewatkan
tindakan pembersihan area penyuntikan, karena ketiadaan
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
56/232
Jelajah N usantara # 3
47
alkohol swab atau yang minimal sekalipun, kapas air hangat.
Injeksi vaksinasi BCG pun “terpaksa” menggunakan jarum dan
spuit ukuran yang lebih besar dari seharusnya, juga karenaketiadaan spuit Auto Destructible Syringe (ADS) 1 cc atau 0,05
cc. Semua terjadi atas alasan “keterbatasan”. Hati saya miris
dan merasa ikut bersalah hanya mampu memberikan yang
demikian ke bayi-bayi negeri Timur yang lucu. Binar cahaya
mata-mata mereka seolah berkata, “...berikan kami cinta
kasih dan hak sehat yang sama, seperti teman-teman di kota
sana...,” membuat saya harus berbesar hati. Jikapun
pemberian imunisasi dengan beberapa protap yang
terabaikan itu belum mampu menjadi efektif untuk
melindungi mereka dari peyakit, semoga doa dan ingin saya
sesudahnya diijabah oleh Penguasa Semesta. Saya berharap
mereka terus tumbuh berkembang menjadi sehat, menggapai
cita-cita yang akan ada diantaranya menjadi pejuangkesehatan selanjutnya. Pejuang kesehatan yang akan terus
memberikan dharma bakti terbaiknya untuk wilayah Timur
Indonesia, untuk Maluku Utara dan untuk Kepulauan Sula.
Hingga jika umur panjang dan takdir rejeki untuk datang lagi
ke Sula masih ada, saya masih bisa jatuh cinta tanpa perlu
menitikkan air mata...!
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
57/232
Antara Buaya, Yai Aya dan Jatuh Cinta
48
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
58/232
49
Ironi di Tengah Kekayaan Potensi Wisata
Catatan Perjalanan ke Sumba Barat Daya
Marselinus Laga Nur
Kodi, April 2016
“Tidak usah ke sana pak, daerahnya rawan.”
Sebenarnya saya tidak terlalu terkejut mendengar pernyataan
tersebut. Daerah Kodi di Kabupaten Sumba Barat Daya dari
dahulu memang telah terkenal sebagai daerah yang rawan
konflik. Pencurian (terutama hewan ternak) sampai dengan
masalah yang sepele dapat berujung pada konflik berdarah.
Yang membuat saya terkejut dan bercampur agak marah
karena pernyataan tersebut diucapkan salah seorang
mahasiswa. Ya. Saat itu kami sedang mendiskusikan tentang
rencana praktek ‘Survei Konsumsi Makanan dan Kesehatan’
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
59/232
Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata
50
yang menjadi bagian dari mata kuliah Dasar Ilmu Gizi dan
Kesehatan Masyarakat. Untungnya sebagian besar mahasiswa
yang lainnya sepakat dan menyanggupi, maka kami punmenetapkan untuk pergi ke Kampung Adat Ratenggalo.
Sejak masih kecil dan mulai belajar membaca, kira-kira
tahun 1988, saya sering membaca Surat Kabar Mingguan
DIAN, sebuah surat kabar lokal Nusa Tenggara Timur. Dari
surat kabar tersebut beberapa kali saya membaca tentang
pencurian dengan kekerasan yang terjadi di Kodi. Bahkan
seringkali terjadi pembunuhan menyertainya. Gambaran
tentang daerah ini mulai menyeramkan.
Selanjutnya saya semakin terpapar informasi serupa.
Di tahun 1998 TVRI memberitakan tentang pembunuhan dan
pembakaran kampung karena dugaan kecurangan tes CPNS.
Dan setelah itu informasi lisan saat membicarakan tentang
Pulau Sumba selalu dipenuhi cerita tentang pencurian danaksi kekerasan. Konflik pasca pilkada terakhir tahun 2013 di
Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) juga berlangsung
berkepanjangan dengan memakan korban jiwa dan rumah
terbakar yang tak terhitung.
Namun semua hal tersebut malah membuat saya
merasa tertantang untuk dapat mengetahui gambaran Kodi
secara langsung. Dugaan saya adalah, jika semua informasi
tersebut benar, tidak mungkin masih ada masyarakat yang
mau tinggal di sana. Malah setelah Kabupaten SBD mekar dari
Kabupaten Sumba Barat, Kecamatan Kodi pun bisa
dimekarkan menjadi tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Kodi
sendiri, Kodi Bangedo dan Kodi Utara. Pertanyaan lain yang
muncul dalam benak saya adalah gambaran pariwisata yang
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
60/232
Jelajah N usantara # 3
51
semakin maju serta beberapa destinasi wisata yang semakin
terkenal ke dalam dan luar negeri.
Lama saya menatap peta wisata di dinding lobi HotelSumba Sejahtera yang saya tinggali sebanyak empat kali
selama mengajar di Kampus Universitas Nusa Cendana III. Dan
memang butuh waktu yang lama untuk membaca satu
persatu destinasi wisata di Kabupaten SBD yang sangat
banyak dan sebagian besar berada di wilayah Kodi. Jenis
destinasi wisata yang ada di daerah Kodi berupa pantai,
danau dan kampung adat yang memiliki keunikan berupa atap
menjulang beserta pekuburan megalitiknya.
Kabupaten SBD awalnya terkenal saat pesawat Adam
Air mendarat secara darurat di Bandara Tambolaka (saat itu
masih tergabung dengan Kabupaten Sumba Barat).
Selanjutnya Kabupaten SBD lebih dikenal lagi dengan
sengketa Pilkada yang memakan banyak korban jiwa danharta benda.
Dalam beberapa kali kesempatan dari atas pesawat
yang saya tumpangi untuk pergi ke Kabupaten Sumba Barat
dapat saya saksikan lahan hijau yang terhampar luas. Agak
sedikit berbeda dengan Sumba Timur dan Sumba Tengah.
Topografi yang datar tanpa bukit-bukit terjal tentunya
merupakan lahan yang ideal untuk pemukiman, pertanian dan
peternakan. Namun kebanyakan masih berupa lahan kosong
yang belum dihuni dan dikelola. Potensi lahan, selain
pariwisata, seharusnya dapat memberikan kemakmuran bagi
masyarakat Kodi dan Kabupaten SBD pada umumnya. Namun
hal itu tidak sesuai kenyataan. Masih banyak masyarakat
Kabupaten SBD termasuk Kodi yang berkategori miskin.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
61/232
Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata
52
Kemiskinan di Kabupaten SBD turut berpengaruh pada
gambaran kesehatan secara kuantitatif. Skor Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013,Kabupaten SBD berada pada urutan 488 dari 497
kabupaten/kota, dan berada pada urutan kedua dari bawah di
Propinsi NTT, di atas Kabupaten Manggarai Timur. Skor ini
lebih menonjol pada indikator-indikator yang berkaitan
dengan kesehatan lingkungan yaitu 0,0691 berada pada
urutan empat dari bawah di atas Kabupaten Sumba Tengah,
Sumba Barat dan Sabu Raijua.
Cakupan akses ke air bersih SBD 31,01 terendah
nomor dua di atas Kabupaten Sumba tengah. Prevalensi diare
18,28 tertinggi kedua di bawah Kabupaten Manggarai Timur,
proporsi mencuci tangan dengan benar 19,34, terendah
nomor dua di atas Kabupaten Alor, cakupan akses sanitasi
hanya 1,45 terendah kedua di atas Sabu raijua.Transportasi ke Kabupaten SBD dan ke wilayah Kodi
sebenarnya tidak begitu sulit. Wilayah Kabupaten SBD dapat
dijangkau dari darat laut dan udara. Melalui darat dapat
ditempuh dari Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat.
Transportasi melalui laut tersedia melalui Pelabuhan Waikelo
dimana kapal barang banyak berlabuh, serta pelabuhan feri
yang secara regular melayari rute Waikelo-Bima di Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Melalui udara, ada bandara Tambolaka
yang didarati maskapai Garuda, Wings air dan Transnusa
setiap hari.
Selanjutnya perjalanan ke Kodi tidak terlalu sukar.
Prasarana jalan tersedia cukup memadai dan dapat ditempuh
dari tiga jalur yaitu dari Weetebula (ibukota kabupaten SBD),
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
62/232
Jelajah N usantara # 3
53
dan dua jalur dari Waimangura. Topografi yang relatif datar
juga membuat perjalanan terasa lebih nyaman.
Untuk sarana transportasi regular, tersedia bis dariWeetebula dan dari Waikabubak (ibukota Kabupaten Sumba
Barat) dengan tarif 45 ribu. Selanjutnya untuk sampai ke
sejumlah tempat wisata, contohnya kampung adat dan pantai
ratenggaro yang kami datangi dapat dilanjutkan dengan ojek
sepeda motor seharga sepuluh ribu rupiah (dapat berubah
bila tukang ojek melihat penumpangnya adalah wisatawan
yang belum terlalu paham wilayah).
Gambar 1. Bis rute Weetebula-Kodi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada kesempatan kali ini saya mengunjungi Kodi
bersama para mahasiswa Prodi S1 Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Perjalanan kami tempuh bersama dengan
sepeda motor. Sepanjang perjalanan banyak terhampar padi
ladang, jagung dan jambu mete. Sebelum sampai ke
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
63/232
Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata
54
ratenggaro kami banyak melihat kampung-kampung adat
lainnya dengan atap rumah berupa menara yang menjulang.
Sesekali kami melihat di pinggir jalan warga yang membawakerbau untk mencari makan. Kami singgah ke Puskesmas
untuk menjemput Bidan Imelda yang pernah cukup lama
mengabdi di Desa Waiha di mana Kampung Adat Ratenggaro
berlokasi.
Gambar 2. Hamparan jagung sepanjang perjalanan masuk menuju
Kampung Adat Ratenggaro
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sesampainya di Kampung Adat Ratenggaro kami
langsung berhadapan dengan rumah dan kuburan yang unik.
Rumah beratap alang-alang dengan atap berbentuk menara
tinggi menjulang. Tiang dibuat dari kayu kadimbul yang
merupakan tanaman endemik di Kodi dan Wewewa,
sementara lantai dan dinding dibuat dari bambu yang dibelah.
Batang kelapa digunakan untuk gelagar tempat alang-alang
diikat. Tiang kayu terdiri dari tiga jenis. Paling tengah terdiri
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
64/232
Jelajah N usantara # 3
55
dari empat buah dan berukuran sangat besar. Tiang tengah ini
menyangga bagian tengah atap yang berbentuk menara.
Selanjutnya terdapat dua belas tiang berukuran lebih kecilyang menyangga ujung atap terletak sejajar dan membentuk
dinding rumah. Kemudian empat belas tiang lagi yang lebih
kecil yang menyangga terusan atap yang membentuk
serambi.
Pada seluruh tiang terdapat bermacam-macam ukiran.
Saya masuk ke salah satu rumah yaitu rumah bapak RK. Dia
menceritakan bahwa perkampungan adat ini pernah terbakar
pada tahun 1964 namun segera dibangun lagi.
Di setiap generasi harus ada yang tinggal menjaga
rumah adat. Karena rumah adat yang tidak ditinggali akan
mudah rusak dimakan rayap. Bapak RK menunjukkan salah
satu tiang utama di mana terukir nama silsilah dari generasi
ke generasi. Anggota keluarga yang tidak tinggal di kampungadat kini tingal di sekitarnya, di Weetebula ataupun kota-kota
lainnya tergantung pekerjaannya, namun dalam setiap acara
adat baik perkawinan maupun kematian akan kembali untuk
melaksanakan ritual adat di kampung asalnya sebelum
melanjutkan di lembaga gereja dan negara.
Sehari-hari warga kampung bekerja sebagai petani
sekaligus peternak. Pertanian diperlukan untuk memberikan
suplai makanan. Sedangkan peternakan untuk menghasilkan
hewan yang diperlukan untuk urusan adat. “Hampir setiap
tahun kami membutuhkan hewan untuk urusan adat. Setiap
ada keluarga yang meninggal kami harus membawa hewan,
apalagi kalau dulu dia membawa hewan untuk kami.”
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
65/232
Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata
56
Pertanian warga kampung Retenggaro kebanyakan
berupa padi ladang, jagung, umbi-umbian dan sayur mayur.
Sebagian besar hasil pertanian digunakan untuk konsumsikeluarga dan pakan ternak. Pakan ternak orang Sumba boleh
dibilang cukup mewah. Selain makanan yang umumnya sama
dengan daerah lain, kerbau dan babi juga diberi makan sayur
yang direbus beserta batang dan daun talas. Hal ini karena
hewan memiliki nilai adat dan nilai sosial yang tinggi saat
dihadirkan ke acara adat. Kerbau dinilai dari ukuran
tanduknya, sedangkan babi dinilai dari tinggi badan, panjang
taring, dan tidak bercacat.
Gambar 3. Batang Talas yang Akan Direbus untuk Pakan Kerbau dan Babi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Saya sempat masuk ke salah satu rumah adat dan
melihat ukiran-ukiran beserta keadaan rumah. Kamar anak
laki-laki berada di sebelah kanan sedangkan perempuan di
sebelah kiri. Saya tertarik melihat tungku di tengah-tengah
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
66/232
Jelajah N usantara # 3
57
rumah beserta daging iris yang diletakkan di atasnya. Rupanya
bagian tengah rumah yang berada tepat di bawah atap
menara digunakan sebagai dapur. Api ataupun bara dibiarkantetap meyala sehingga asap tetap keluar. Rupanya selain
daging, ada juga jagung yang diletakkan sebagai persediaan.
“Daging itu kami dapatkan dari saudara kami yang
barusan ini melakasanakan ritual adatnya. Anggota
keluarganya baru saja meninggal dan kami melayat
bawa hewan. Kalau pulang pasti bawa daging. Tidak
habis dimakan sehari. Kalau ditaruh di situ bisa
berbulan-bulan tidak rusak”. (Istri pak RK)
Demikian istri bapak RK bercerita tentang dapur dan
daging di tengah rumah mereka. Melihat itu saya sempat
terpikirkan manfaat kesehatan dari atap yang tinggi
menjulang. Tekanan udara di bagian tengah rumah akan lebih
rendah karena ruang yang lebih tinggi, dengan demikian asapakan mudah naik ke atas dan diteruskan ke seluruh bagian
atap yang terbuat dari alang-alang. Atap terhindar dari
kerusakan namun sekaligus menjaga sirkulasi udara sehingga
penghuni rumah tidak terganggu oleh asap dari dapur.
Cadangan makanan pun akan tetap terjaga karena
profesi mereka sebagai petani ditambah keterbatasan
ekonomi tidak memungkinkan untuk membeli makanan yang
banyak tetapi lebih besar menggantungkan ketahanan
pangannya dari lahan pertanian mereka. Sirkulasi udara yang
terjaga serta tungku yang tetap menyala mengurangi
kemungkinan hidupnya vektor dan mikroba penyebab
penyakit seperti bakteri MTB dan nyamuk yang menyebarkan
malaria dan demam berdarah.
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
67/232
Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata
58
Namun demikian tidak seluruh kondisi kampung
berpengaruh baik pada kesehatan. Data IPKM tentang
indikator-indikator kesehatan lingkungan yang rendahtercermin juga pada keadaan di Kampung adat ini. Desain
rumah adat tidak disertai dengan Kamar mandi dan toilet.
Bapak RK menunjukkan sebuah bangunan di sudut kampung.
Gambar 4. Irisan Daging di
Atas Tungku
Sumber: Dokumentasi
Peneliti
“Pemerintah pariwisata bangun itu wc dan kamar
mandi dan buat sumur di luar kampung. Sumur
untuk tiga kampung adat ini tapi wc itu untuk
seluruh warga kampung adat ini pakai.” (pak RK)
Selanjutnya nona M anak bapak RK menceritakan
bahwa banyak orang mandi dan mencuci di sumur saja. Air
dibawa ke rumah untuk masak dan minum walaupun rasanya
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
68/232
Jelajah N usantara # 3
59
agak payau. Jumlah air cukup untuk di pakai tiga kampung
adat di sekitar sumur tersebut.
Gambaran tentang orang Kodi yang dekil telah sayadapatkan dari televisi dan cerita orang-orang yang pernah ke
Kodi. Bahkan sebelum kami ke sini ketua kelas telah
menjelaskan ke seluruh mahasiswa untuk jangan
menunjukkan sikap jijik pada anak-anak yang kotor. Di pantai
saya bertemu dengan empat orang anak yang sesuai dengan
gambaran tadi. Dengan baju yang kotor mereka tetap
kelihatan ceria berlarian dari satu kubur batu ke kubur batu
yang lain. Walaupun mereka datang saat saya panggil namun
saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka karena
ternyata mereka tidak bisa berbahasa Indonesia.
Rupanya masalah di Kodi bukan hanya ekonomi,
kemiskinan dan kesehatan. Ternyata pendidikan juga masih
menjadi masalah. Bidan Imelda bercerita bahwa sebagianbesar warga terlebih anak-anak tidak bisa berbahasa
Indonesia. Guru-guru terpaksa mengajar dengan Bahasa Kodi.
Jika dipaksa menggunakan Bahasa Indonesia maka mereka
tidak bisa paham.
Sebenarnya Pulau Sumba memiliki banyak orang
cerdas. Profesor Frans Umbu Datta pernah menjadi Rektor
saya di Universitas Nusa cendana, sedang Profesor Kebamoto
adalah professor matematika yang terkenal di Amerika, yang
berasal dari pulau ini. Di luar nama-nama terkenal itu banyak
teman-teman kerja saya dengan kecerdasan luar biasa.
Namun itu semua seolah hanya menjadi puncak gunung es di
mana mereka muncul di permukaan sedangkan yang lainnya
tenggelam di bawah air. Bahasa menjadi salah satu kendala
8/16/2019 Jelajah Nusantara 3; Catatan Perjalanan 16 Orang Peneliti Kesehatan
69/232
Iron i di Tengah Kekayaan Pote nsi W isata
60
untuk bisa menangkap perkembangan ilmu pengetahuan di
Kodi.
Cerita dari Kodi lainnya yang juga saya rasakan dalamkunjungan kali ini adalah tentang kekerasan yang telah
melegenda. Saat masuk ke kampung adat dan baru saja
duduk di dalam salah satu rumah, ternyata kami disusul oleh
seorang pemuda dengan sepeda motornya. Tubuh pemuda
tersebut tidak terlalu besar dibanding keberaniannya. Namun
dia langsung berbicara dengan cukup kasar pada sejumlah
mahasiswa dengan bahasa Kodi. Karena tidak semua
mahasiswa bisa berbahasa Kodi, Bidan Imelda bersama tuan
rumah langsung ke luar untuk melerai dan akhirnya