1
KASUS 4
MURUNG
Seorang perempuan berusia 65 tahun dibawa keluarganya untuk konsultasi
ke psikiater karena sering terlihat murung dan tidak bersemangat sejak suaminya
meninggal sekitar 6 bulan yang lalu,pasien merasa mudah lelah,nafsu makan
menurun dan sulit tidur nyenyak di malam hari. Berat badan pasien dirasa
semakin menurun ditandai dengan pakaian pasien jadi longgar,pasien juga tidak
pernah lagi ikut kegiatan social seperti arisan,pengajian,dan lebih senang
mengurung diri dikamar.Hobi bercocok tanampun sudah tidak pernah dilakukan
lagi,menurut pasien kegiatan tersebut sudah tidak menarik minatnyta
lagi.Keluarga khawatir karena pasien sering bilang ingin menyusul suaminya ke
surga.Setelah dilakukan pemeriksaan status mental terhadap pasien,dokter
memberikan antidepresan kepada pasien dan merencanakan terapi keluarga.
STEP 1
_
STEP 2
1. Perubahan mental secara fisiologis pada lansia ?
2. Faktor resiko dan etiologi gangguan mental pada lansia ?
3. Bagaimana mekanisme gejala pada kasus ?
4. Bagaimana pengaruh perubahan fisik lansia dengan perubahan mental ?
5. Mengapa pasien merasa murung ?
6. Bagaimana pemeriksaan status mental terhadap lansia ?
7. Penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus ?
2
STEP 3
1. – Faktor biologis atau fisik
-Faktor psikologi
-faktor lingkungan
-Gaya hidup
2. A. Etiologi = -Genetik
-Hormon
-Lingkungan
-Obat-obatan
-Sosial
-Psikologi
B. Factor resiko :
a). jenis kelamin
b). status perkawinan
c). kepribadian
d). eksternal/ internal
3. biologis, psikologis, psikosofial
4. ↓ fungsi fisiologi otak, ↓ hormone, perubahan neurotransmitter, perubahan
ekstremitas & social
5. A. Faktor psikologi :
a). gangguan emosional
b). adaptasi terhadap kehilangan
B. Faktor social
6. bisa disamakan dengan pemeriksaan status mental pada dewasa & MMSE
7. A. anamnesis
B. pemeriksaan fisik
3
C. pemeriksaan status mental
D. diagnosis
E. penatalaksanaan :
a). farmakologi
b). non-farmakologi
DD:
A. Depresi
B. Skizonfrenia
C. Kecemasan
D. Bipolar 1
E. Gangguan tidur
STEP 4
1. A. genetic : serebrovaskular → gangguan mental
B. umur : neurotransmitter tdk sumbang, perubahan struktur otak &
penyakit yang menyertai.
C. psikologi :
a). mandiri → kehilangan → gangguan mental
b). bergantung → kurang perhatian
neurotransmitter yang berpengaruh pada lansia :
a. ↓ dopamine
b. ↓ asetilkolin
c. ↓ katekolamin
D. lingkungan :
a. keluarga → kesepian
b. perubahan status social
4
c. ↓ fungsi organ
d. gaya hidup → kurang asupan → kurangnya gizi yang
mengandung serotonin
E. kepribadian : introvert
F. obat-obatan :
a. anti depresi
b. NSAID
c. analgetik
3. stressor → penekanan → ↓ gaba → memicu reaksi kaskade di VTA →
pelepasan serotonin dari VTA→ memicu ↑ dopamine → mencegah ↓ aksis
HPA & kadar noradrenalin ↑ → strees
4. A. perubahan ekstremitas → stroke pada lansia → gangguan pada ekstremitas
→ berhubungan dengan penatalaksanaan , kurangnya dukungan keluarga →
gangguan mental
B. ↓ Ekstrogen pada wanita → pengaruh sendi
Etiologi
Pengaruh perubahan fisik yang mempengaruhi gangguan mental
Faktor resiko
Perubahan mental secara fisiologis pada lansia
Patofisiologi
Gangguan Mental Lansia
Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
5
STEP 5
1. Pemeriksaan psikiatri pada lansia
2. Gangguan mental pada usia tua :
A. Gangguan bipolar
B. Delusional
C. Depresi
D. Kecemasan
E. Skizonfrenia
3. mekanisme patofisiologi gangguan mental pada usia tua ( aspek
monokuler)
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
STEP 7
1. Pemeriksaan psikiatri pada lansia
a. Pemeriksaan status mental pada lansia
Pada pasien lanjut usia, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan status
mental berulang-ulang karena adanya perubahan yang berfluktuasi dalam
status mental pasien. Riwayat longitudinal dari pasien atau keluarga penting
nilainya.
PENJELASAN UMUM
Termasuk di dalam bagian ini adalah penampilan pasien, aktivitas
psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktivitas bicara. Gangguan
motorik seperti gaya berjalan yang menyeret, postur bungkuk, gerakan jari
memilin pil, tremor harus dicatat. Gerakan involunter pada mulut atau lidah
mungkin merupakan efek samping fenotiazine. Wajah seperti topeng pada
6
penyakit Parkinson. Air mata atau menangis dapat ditemukan pada
gangguan depresif dan gangguan kognitif, terutama jika pasien merasa frustasi
tidak bisa menjawab pertanyaan pemeriksa. Penampilan umum dapat
memberikan gambaran mengenai fungsi psikologik. Penampilan umum
meliputi : Penampilan fisik, koordinasi gerakan, ekspresi muka dan postur
tubuh. Penampilan fisik meliputi : cara berpakaian, cara berdandan, perawatan
dan kebersihan diri.
Observasi yang dapat dilakukan untuk mengkaji penampilan umum :
1. Apakah penampilan fisik klien menandakan adanya gangguan
fungsi psikologik ?
2. Apakah gaya berjalan, postur tubuh dan ekspresi muka
menandakan adanya gangguan psikologik ?
3. Apakah ada tanda – tanda tardive dyskineksia atau efek yang
kurang baik akibat medikasi ?
Tabel 1 Penampilan umum berhubungan dengan fungsi psikologik
TANDA KETERANGAN
Penampilan fisik Penampilan fisik : pakaian compang –
camping, tidak rapi, bau badan tidak sedap
dapat dihubungkan dengan adanya depresi,
tetapi perlu dikaji faktor lain seperti :
adanya inkontinensia, kemampuan kognitif,
kondisi keuangan, gangguan pengelihatan/
penciuman, dan kemampuan melakukan
perawatan diri.
Postur tubuh Postur tubuh yang bukuk dapat menandakan
adanya depresi
Koordinasi gerak : gaya
berjalan
Gaya berjalan yang tidak terkoordinasi atau
tardive dyskineksia dapat diakibatkan oleh
efek pengobatan psikotropika
Gaya berjalan dengan lambaian tangan
seolah – olah tubuh lemah dengan kepala
7
ditekuk dapat menandakan adanya depresi
dan menarik diri.
Ekspresi muka Ekspresi muka dengan kontak mata ynag
kurang dapat menandakan adanya depresi.
PENILAIAN FUNGSI
Tanyakan mengenai kemampuan mereka mempertahankan kemandirian
dan melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yaitu toilet,
menyiapkan makanan, berpakaian, berdandan.
MOOD, PERASAAN dan AFEK
Gangguan pada keadaan mood, terutama adalah depresi dan
kecemasan dapat mengganggu fungsi daya ingat. Tanyakan mengenai
pikiran bunuh diri, apakah pasien merasa tidak lagi berharga, merasa lebih
baik mati dan jika mati, tidak membebani orang lain lagi. Suatu mood yang
meluas atau euforik mungkin menyatakan suatu episode manik atau
mungkin merupakan bagian dari gangguan demensia. Afek yang datar,
tumpul, depresif, skizofrenia atau disfungsi otak.
GANGGUAN PERSEPSI
Persepsi adalah daya mengenal benda, kualitas, hubungan dan
perbedaan melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan setelah
panca indranya mendapatkan rangsang.
Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia mungkin merupakan fenomena
transien yang disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa
harus mencatat dengan teliti kelainan yang terjadi, apakah berhubungan
dengan suatu kondisi organik. Halusinasi dapat disebabkan oleh tumor
otak dan patologi lokal.
Tabel 2. Temuan – temuan pada Gangguan persepsi.
8
Persepsi Keterangan
Halusinasi Persepsi panca indra tanpa objek/rangsang
sensorik. Jenis : Visual, Akustik, olfaktorik,
gustatorik, dan taktil
Ilusi Persepsi / interpretasi yang salah terhadap suatu
rangsang sensorik.
Pada lansia gangguan persepsi biasanya berhubungan dengan demensia,
depresi dan delirium. Beberapa alasan pengkajian gangguan persepsi pada
lansia sulit dilakukan adalah :
1). Pasien berusaha mennyembunyikan adanya gangguan persepsi ?
2). Jika gangguan persepsi muncul akibat isolasi sosial, pengkajian
sulit dilakukan
3). Diperlukan pengamatan yang jeli
4). Pengaruh latar belakang budaya
KEMAMPUAN BERBAHASA
Mencakup afasia, yang merupakan gangguan pengeluaran bahasa yang
berhubungan dengan lesi organik otak. Pada afasia Broca, pengertian pasien
tetap utuh tetapi kemampuan untuk berbicara terganggu, salah diucapkan.
Pada afasia Wernicke, pasien diminta menunjukkan beberapa benda
sederhana yang umum (kunci, pensil, tombol lampu). Pasien mungkin tidak
dapat menunjukkan kegunaan benda sederhana tersebut.
FUNGSI VISUOSPASIAL
Suatu penurunan kapasitas fungsi visuospasial adalah normal dengan
bertambahnya usia. Pemeriksaan neuropsikologi harus dilakukan jika fungsi
visuospasial sangat terganggu.
9
PIKIRAN
Hilangnya kemampuan untuk berpikir abstrak merupakan tanda awal dari
demensia. Isi pikiran harus diperiksa mengenai fobia, obsesi, preokupasi
somatik dan kompulsi. Gagasan bunuh diri pun harus diperiksa dengan
teliti.
SENSORIUM DAN KOGNISI
Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indera tertentu dan kognisi
mempermasalahkan proses informasi dan intelektual. Survey kedua bidang
tersebut dikenal sebagai pemeriksaan neuropsikiatrik dan terdiri dari
pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter dan tes psikologis berurutan yang
lengkap.
1. KESADARAN
Tabel 3 Beberapa tingkatan penurunan kesadaran.
TINGKAT
KESADARAN
KETERANGAN
Apati Keadaan mengantuk dan acuh tak acuh
terhadap rangsang yang masuk, diperlukan
rangsang yang lebih keras dari biasanya untuk
menarik perhatiannya.
Somnolen Keadaan sangat mengantuk, diperlukan
rangsang yang lebih keras dari biasanya untuk
menarik perhatiannya.
Sopor Hanya bereaksi dengan rangsang yang keras ,
ingatan , orientasi dan pertimbangan sudah
hilang
Koma Tidak ada lagi respon terhadap rangsang yang
keras sekalipun.
10
Observasi yang dapat dilakukan untuk mengkaji tingkat kesadaran:
- Apakah tingkat kesadaran pasien saat ini ?
- Apakah ada fluktuasi pada tingkat kesadaran pasien. Jika ada
apakah ada pola tertentu ?
- Apakah ada faktor fisik yang mempengaruhi tingkat
kesadaran, misal : pengaruh medikasi, kondisi patologik, dan
gangguan afektif ?
- Apakah ada faktor psikososial yang mempengaruhi tingkat
kesadaran misal : cemas, depresi, atau gangguan tidur ?
2. ORIENTASI
Orientasi meliputi orientasi terhadap tempat, orang dan waktu. Wawancara
untuk mengkaji orientasi klien :
1). Orang : Siapakah nama anda, Siapakah nama anak anda ?
Siapakah nama istri/ suami anda ?, dan lain-lain.
2). Waktu : Jam berapa sekarang ? , Kapan waktu anda makan pagi
? Hari apa sekarang ? , Bualan apa sekarang ? , dan lain-lain.
3). Tempat : Dimanakan saudara saat ini ? , Dimanakah alamat
saudara ? Apa nama kota ini ? , Apakah nama tempat ini ? dan
lain-lain.
3. DAYA INGAT
Memori meliputi memori baru, memori jangka pendek dan memori
jangka panjang. Gangguan memori dapat mengidentifikasikan adanya
gangguan intelektual/ kognitif. The Short Portable Mental Status
Quesionnaire (SPMQ) digunakan untuk mendeteksi tingkat gangguan
intelektual.
11
Tabel 4. The Short Portable Mental Status Quesionnaire ( SPMQ )
K
Kete
KeKeteKeterangan :
Jumlah kesalahan :
0 – 2 kesalahan : Baik
2 – 4 kesalahan : Gangguan ringan
5 – 7 kesalahan : Gangguan sedang
7– 10 kesalahan : Gangguan berat
b. Mini Mental State
Mini Mental State Examination (MMSE) adalah metode pemeriksaan
untuk menilai fungsi kognitif yang telah digunakan secara luas oleh para
klinisi untuk praktek klinik maupun penelitian.
MMSE diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975 dan telah banyak
dipakai di dunia dan di Indonesia juga telah direkomendasikan oleh
No PERTANYAAN JAWABAN
BETUL SALAH
1 Tanggal berapa hari ini ?
2 Hari apakah hari ini ?
3 Apakah nama tempat ini ?
4 Berapa no. telepon rumah anda ?
5 Berapa usia anda ?
6 Kapan anda lahir ( Tgl/Bln/ Thn ) ?
7 Siapakah nama presiden sekarang ?
8 Siapakah nama presiden sebelumnya ?
9 Siapakah nama ibu anda ?
10 5 + 6 adalah ?
12
kelompok studi fungsi luhur PERDOSSI. Gangguan kognitif dapat diperiksa
secara bedside dengan menggunakan MMSE. Tes ini mudah dikerjakan dan
hanya memerlukan waktu yang singkat. Pemeriksaan MMSE meliputi
penilaian orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali
serta bahasa. Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsi-fungsi tersebut
dan nilai sempurna adalah 30.
Tes-tes pada MMSE antara lain tes orientasi ini untuk menilai
kesadaran juga daya ingat. Tes registrasi untuk menilai memori kerja. Tes
recall untuk menilai memori mengenal kembali. Informasi tidak disimpan
bila memori kerja negatif. Disfungsi proses pencarian/ pemanggilan kembali
terjadi bila memori kerja negatif sedang memori mengenal kembali positif.
Penurunan konsentrasi dapat terjadi apabila ada gangguan pada tes atensi
dan kalkulasi. Keadaan ini terdapat pada degenerasi difus atau gangguan
metabolik, sedangkan pada tes bahasa pasien diminta untuk menyebut nama
(naming), bila ada gangguan penamaan berarti ada lesi fokal di otak atau
disfungsi difus hemisfer. Pasien diminta untuk mengulang kalimat (repetisi)
pada tes pengulangan kalimat, bila ada gangguan repetisi berarti ada
gangguan pada perisylvian hemisfer kiri. Tes lainnya adalah dengan
menyuruh pasien untuk melakukan tiga perintah bertahap (bahasa
komprehensif), bila ada gangguan pada tes ini berarti ada disfungsi lobus
temporal posterior kiri atau korteks parietotemporal. Pasien juga disuruh
untuk menulis kalimat perintah dan melakukan perintah tersebut, pasien
disuruh menulis kalimat spontan dan menyalin gambar pentagon,
kesemuanya ini untuk menilai fungsi eksekutif.
Beberapa penulis melaporkan bahwa nilai MMSE dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti faktor sosiodemografik, termasuk di dalamnya
adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status
perkawinan yang kedua adalah faktor lingkungan dan faktor behavior yang
termasuk pada faktor ini adalah beban kehidupan secara umum, stress fisik,
kontak social, aktifitas fisik, merokok dan minum alkohol. Penelitian ini
melaporkan bahwa umur dan pendidikan akan mempengaruhi nilai MMSE.
13
Sedangkan peneliti lain melaporkan bahwa yang mempengaruhi nilai
MMSE hanya tingkat pendidikan saja.
Pemeriksaan MMSE mudah dilakukan yaitu dengan member nilai
untuk beberapa fungsi kognitif. Tes ini menilai orientasi waktu, tempat,
ingatan hal segera, memori jangka pendek dan kemampuan pengurangan
serial atau membaca terbalik, selain itu juga mengukur kemampuan
konstruksional dan pemakaian bahasa. Tes ini dapat dilakukan oleh dokter,
perawat atau orang awam dengan sedikit pelatihan dan hanya membutuhkan
waktu sekitar 10 menit.
Beberapa modifikasi dari MMSE telah dilakukan supaya dapat
digunakan pada negara tertentu. Poungvarrin melakukan modifikasi MMSE
sesuai dengan pendidikan dan sosial tradisi masyarakat Thailand menjadi
Thai Mental State Examination (TSME) dan jumlah nilai TSME sama
dengan MMSE.
Beberapa perbedaan terjadi di antara para ahli dalam menentukan
klasifikasi penilaian MMSE. Grut et al dan Folstein et al mendapatkan nilai
normal MMSE adalah lebih besar atau sama dengan 27, sedangkan Wind
mendapatkan nilai MMSE normal (27-30) curiga gangguan fungsi kognitif
(22-26), pasti gangguan fungsi kognitif (<21). Kukull et al menyatakan
bahwa nilai MMSE normal adalah lebih besar atau sama dengan 27.
c. Clock drawing test
CDT (Clock Drawing Test) telah diusulkan sebagai tes skrining cepat
untuk disfungsi kognitif sekunder untuk demensia, delirium atau kisaran
penyakit neurologis dan psikiatris.
Skrining cepat untuk fungsi kognitif dapat berkonstribusi penyelidikkan
penilaian secara keseluruhan yang dibutuhkan untuk pasien. Menurut
Sulaiman, CDT melengkapi tes skrining cepat termasuk MMSE dan
merupakan komponen 7 menit neurokognitif pemutaran baterai.
Kekuatan dan kelemahan dari tes menggambar jam terletak pada jumlah
kognitif, motor dan fungsi persepsi yang diperlukan untuk keberhasilan
penyelesaian secara bersamaan orientasi, konseptualisasi waktu, organisasi
spasial visual, memori dan fungsi eksekutif, pemahaman pendengaran,
14
memori visual, pemprograman motorik, pengetahuan numeric, instruksi
semantic, penghambatan stimulus mengganggu, konsentrasi dan frustrasi
toleransi. Fungsi eksekutif yang diperlukan untuk CDT melibatkan fungsi
control yang kompleks panduan perilaku terarah tujuan dan tidak relevan
atau ambigu isyarat lingkungan, dan bahwa tuntutan serupa juga dimiliki
oleh keterampilan hidup mandiri.
2. Gangguan mental pada usia tua
A. Gangguan Bipolar 1
Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa bersifat episodik dan ditandai
oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi dan campuran, biasanya rekuren
serta dapat berlangsung seumur hidup. Kelainan fundamental pada kelompok
gangguan ini adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya ke
arah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau ke arah elasi
(suasana perasaan yang meningkat). Perubahan suasana perasaan ini biasanya
disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas, dan
kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah
dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut.
Ada empat jenis GB tertera di dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV-Text Revision (DSM-IV TR) yaitu GB I, GB II. gangguan
siklotimia, dan GB yang tak dapat dispesifikasikan.
Gangguan Bipolar I adalah suatu perjalanan klinis yang dikarakteristikkan
oleh terdapatnya satu atau lebih episode manik atau campuran, dimana individu
tersebut juga mempunyai satu atau lebih episode depresi mayor. Kekambuhan
ditunjukkan oleh perpindahan polaritas dari episode atau terdapatnya interval
diantara episode-episode paling sedikit 2 bulan tanpa adanya gejala-gejala
mania.
1. Etiologi
Faktor biologi
Hingga saat ini neurotransmitter monoamine seperti norepinefrin,
dopamine, serotonin, dan histamine menjadi focus teori dan masih diteliti
hingga saat ini. Sebagai biogenik amin norepinefrin dan serotonin adalah
15
neurotransmitter yang paling berpengaruh dalam patofisiologi gangguan mood
ini.
Norepinefrin. Teori ini merujuk pada penurunan regulasi dan penurunan
sensitivitas dari reseptor β adrenergik dan dalam klinik hal ini dibuktikan oleh
respon pada penggunaan anti depresan yang cukup baik sehingga mendukung
adanya peran langsung dari system noradrenergik pada depresi. Bukti lainnya
melibatkan reseptor β2 presinaps pada depresi karena aktivasi pada reseptor ini
menghasilkan penurunan dari pelepasan norepinefrin. Reseptor β2 juga terletak
pada neuron serotoninergic dan berperan dalam regulasi pelepasan serotonin.
Serotonin. Teori ini didukung oleh respon pengobatan SSRI (selective
serotonin reuptake inhibitor) dalam mengatasi depress. Rendahnya kadar
serotonin dapat menjadi factor resipitat depresi, beberapa pasien dengan
dorongan bunuh diri memiliki konsentrasi serotonin yang rendah dalam cairan
cerebropinalnya dan memiliki kadar konsentrasi rendah uptake serotonin pada
platelet.
Dopamine. Selain dari norepinefrin dan serotonin, dopamine juga diduga
memiliki peran. Data memperkirakan bahwa aktivitas dopamine dapat
mengurangi depresi dan meningkat pada mania. Dua teori mengenai dopamine
dan depresi adalah bahwa jalur mesolimbic dopamine tidak berfungsi terjadi
pada depresi dan dopamine reseptor D1 hipoaktif pada keadaan depresi.
Kelainan di otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini.
Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita
bipolar. Melalui pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-
emission tomography (PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran
darah yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu,
Blumberg dkk dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang
kecil pada amygdale dan hippocampus. Korteks prefrontal, amygdale, dan
hippocampus merupakan bagian dari otak yang terlibat dalam respon emosi
(mood dan afek).
Penelitian lain menunjukkan ekspresi oligodendrosit-myelin berkurang
pada otak penderita bipolar. Seperti diketahui, oligodendrosit menghasilkan
membran myelin yang membungkus akson sehingga mampu mempercepat
16
hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang, maka
dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar.
Faktor genetik
Studi pada keluarga. Data dari studi ini mengatakan 1 orang tua dengan
gangguan mood, anaknya akan memiliki risiko antara 10-25% untuk menderita
gangguan mood. Jika kedua orang tuanya menderita gangguan mood, maka
kemungkinannya menjadi 2 kali lipat. Risiko ini meningkat jika ada anggota
keluarga dari 1 generasi sebelumnya daripada kerabat jauh. Satu riwayat
keluarga gangguan bipolar dapat meningkatkan risiko untuk gangguan mood
secara umum, dan lebih spesifik pada kemungkianan munculnya bipolar.
Studi pada anak kembar. Studi ini menunjukan bahwa gen hanya
menjelaskan 50-70% etiologi dari gangguan mood. Studi ini menunjukan
rentang gangguan mood pada monozigot sekitar 70-90% dibandingkan dengan
kembar dizigot sekitar 16-35%.
Faktor psikososial
Stress dari lingkungan dan peristiwa dalam hidup seseorang. Penelitian
telah membuktikan faktor lingkungan memegang peranan penting dalam
Gangguan perkembangan bipolar. Faktor lingkungan yang sangat berperan
pada kehidupan psikososial dari pasien dapat menyebabkan stress yang dipicu
oleh faktor lingkungan. Stress yang menyertai episode pertama dari Gangguan
bipolar dapat menyebabkan perubahan biologik otak yang bertahan lama.
Perubahan bertahan lama tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan
fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberian signal
intraneuronal. Perubahan mungkin termasuk hilangnya neuron dan penurunan
besar dalam kontak sinaptik. Hasil akhir perubahan tersebut adalah
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita
Gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stressor eksternal.
Faktor kepribadian. Tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa gangguan
kepribadian tertentu berhubungan dengan berkembangnya gangguan bipolar I,
17
walaupun pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik berisiko untuk
dapat berkembang menjadi depresi mayor atau gangguan bipolar I. Kejadian
tiba-tiba yang memicu stress yang kuat adalah prediktor dari onset episode
depresi.
2. Patofisiologi
Siklus tipikal bipolar
Dalam sebagian besar kasus bipolar, fase depresi jauh melebihi fase
manik, dan siklus mania dan depresi tidak menentu dan tidak dapat diprediksi.
Banyak pasien mengalami episode campuran, yang merupakan episode manik
dan depresi muncul bersamaan selama 7 hari.
Rapid Cycling
Pasien dengan gangguan bipolar 1, perputran cepat kemungkinan adalah
wanita dan pernah mengalami episode depresif dan hipomanik, cenderung pada
gangguan pada faktor ekternal bukan dari genetik. Pada fase ini episode manik
dan depresi timbul bergantian sedikitnya 4 kali setahun dan pada kasus yang
parah, bisa mencapai sejumlah siklus sehari.rapid cycling cenderung untuk
timbul lebih sering pada wanita dan pada pasien bipolar II. Umumnya, rapid
cycling bermula pada fase depresi, dan episode depresi yang sering dan parah
bisa menjadi ciri khas dari kejadian ini. Fase ini sulit untuk ditangani,
khususnya karena antidepresan bisa mencetuskan perubahan ke mania dan
memunculkan pola melingkar.
Dengan Pola Musiman
Pasien dengan gangguan pola musiman dalam gangguan moodnya
cenderung mengalami episode depresi selama waktu tertentu dalam satu tahun,
biasanya pada musim dingin dan hanya terjadi satu kali dalam satu tahun. Bisa
juga terjadi remisi penuh dimana adanya perubahan dari depresi menjadi mania
atau hipomania.
3. Gambaran klinik atau manifestasi klinik
18
Terdapat dua pola gejala dasar pada Gangguan bipolar yaitu, episode
depresi dan episode mania.
Episode manic:
Paling sedikit satu minggu (bisa kurang, bila dirawat) pasien mengalami
mood yang elasi, ekspansif, atau iritabel. Pasien memiliki, secara menetap, tiga
atau lebih gejala berikut (empat atau lebih bila hanya mood iritabel) yaitu:
a. Grandiositas atau percaya diri berlebihan
b. Berkurangnya kebutuhan tidur
c. Cepat dan banyaknya pembicaraan
d. Lompatan gagasan atau pikiran berlomba
e. Perhatian mudah teralih
f. Peningkatan energy dan hiperaktivitas psikomotor
g. Meningkatnya aktivitas bertujuan (social, seksual, pekerjaan dan
sekolah)
h. Tindakan-tindakan sembrono (ngebut, boros, investasi tanpa
perhitungan yang matang).
Gejala yang derajatnya berat dikaitkan dengam penderitaan, gambaran
psikotik, hospitalisasi untuk melindungi pasien dan orang lain, serta adanya
Gangguan fungsi sosial dan pekerjaan. Pasien hipomania kadang sulit
didiagnosa sebab beberapa pasien hipomania justru memiliki tingkat kreativitas
dan produktivitas yang tinggi. Pasien hipomania tidak memiliki gambaran
psikotik (halusinasi, waham atau perilaku atau pembicaraan aneh) dan tidak
memerlukan hospitalisasi.
Episode Depresi Mayor
Paling sedikit dua minggu pasien mengalami lebih dari empat symptom atau
tanda yaitu :
a. Mood depresif atau hilangnya minat atau rasa senang
b. Menurun atau meningkatnya berat badan atau nafsu makan
c. Sulit atau banyak tidur
d. Agitasi atau retardasi psikomotor
e. Kelelahan atau berkurangnya tenaga
19
f. Menurunnya harga diri
g. Ide-ide tentang rasa bersalah, ragu-ragu dan menurunnya
konsentrasi
h. Pesimis
i. Pikiran berulang tentang kematian, bunuh diri (dengan atau tanpa
rencana) atau tindakan bunuh diri.
Gejala-gejala diatas menyebabkan penderitaan atau mengganggunya fungsi
personal, sosial, pekerjaan.
Episode Campuran
Paling sedikit satu minggu pasien mengalami episode mania dan depresi
yang terjadi secara bersamaan. Misalnya, mood tereksitasi (lebih sering mood
disforik), iritabel, marah, serangan panic, pembicaraan cepat, agitasi,
menangis, ide bunuh diri, insomnia derajat berat, grandiositas, hiperseksualitas,
waham kejar dan kadang-kadang bingung. Kadang-kadang gejala cukup berat
sehingga memerlukan perawatan untuk melindungi pasien atau orang lain,
dapat disertai gambaran psikotik, dan mengganggu fungsi personal, sosial dan
pekerjaan.
Episode Hipomanik
Paling sedikit empat hari, secara menetap, pasien mengalami peningkatan
mood, ekspansif atau irritable yang ringan, paling sedikit terjadi gejala (empat
gejala bila mood irritable) yaitu:
a. Grandiositas atau meningkatnya kepercayaan diri
b. Berkurangnya kebutuhan tidur
c. Meningkatnya pembicaraan
d. Lompat gagasan atau pemikiran berlomba
e. Perhatian mudah teralih
f. Meningkatnya aktifitas atau agitasi psikomotor
g. Pikiran menjadi lebih tajam
h. Daya nilai berkurang
20
Tidak ada gambaran psikotik (halusinasi, waham, atau prilaku atau
pembicaraan aneh) tidak membutuhkan hospitalisasi dan tidak mengganggu
fungsi personal, sosial, dan pekerjaan. Sering kali dilupakan oleh pasien tetapi
dapat dikenali oleh keluarga.
4. Kriteria diagnosis
Keterampilan wawancara dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
Informasi dari keluarga sangat diperlukan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
criteria yang terdapat dalam DSM-IV atau ICD-10. Salah satu instrumen yang
dapat digunakan untuk mengidentifikasi symptom Gangguan bipolar adalah
The Structured clinical Interview for DSM-IV (SCID). The Present State
Examination (PSE) dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi symptom
sesuai dengan ICD-10.
Pembagian menurut DSM-IV:
Gangguan mood bipolar I
Gangguan mood bipolar I, episode manic tunggal
A. Hanya mengalami satu kali episode manic dan tidak ada rwayat
depresi mayor sebelumnya.
B. Tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform,
skizoafektif, Gangguan waham, atau dengan Gangguan psikotik
yang tidak dapat diklasifikasikan.
C. Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau
kondisi medic umum
D. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan
aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan mood bipolar I, episode manic sekarang ini
A. Saat ini dalam episode manic
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu kali episode
manik, depresi, atau campuran.
C. Episode mood pada kriteria A dan B bukan skizoafektif dan tidak
bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, Gangguan
21
waham, atau dengan Gangguan psikotik yang tidak dapat
diklasifikasikan.
D. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat
atau kondisi medik umum.
E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan
aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan mood bipolar I, episode campuran saat ini
A. Saat ini dalam episode campuran
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik,
depresi atau campuran
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia,
skizifreniform, Gangguan waham, atau Gangguan psikotik yang
tidak diklasifikasikan
D. Gejala-gejala tidak disebabkan efek oleh fisiologik langsung zat
atau kondisi medik umum
E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau
aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan mood bipolar I, episode hipomanik saat ini
A. Saat ini dalam episode hipomanik
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manic
atau campuran
C. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup
bermakna atau hendaya social, pekerjaan atau aspek fungsi penting
lainnya
D. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, dan dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
Gangguan mood bipolar I, episode depresi saat ini
22
A. Saat ini dalam episode depresi mayor
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami episode manik dan
campuran
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, dan dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
D. Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau
kondisi medik umum
E. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau
aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan mood bipolar I, Episode Yang tidak dapat diklasifikasikan saat
ini
A. Kriteria, kecuali durasi, saat ini, memenuhi kriteria untuk manik,
hipomanik, campuran atau episode depresi.
B. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode manik
atau campuran.
C. Episode mood pada kriteria A dan B tidak dapat dikategorikan
sebagai skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan
skizofrenia, skizofreniform, Gangguan waham, atau dengan
Gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain.
D. Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup
bermakna atau menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan, atau
aspek fungsi penting lainnya.
5. Penatalaksanaan
Terapi psikososial
o Terapi kognitif (Aaron Beck)
Tujuannya :
23
a. Menghilangkan episode depresi dan mencegah rekurennya
dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif
negatif.
b. Mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel dan positif,
serta melatih kembali respon kognitif dan perilaku yang baru.
o Terapi interpersonal (Gerrad Kleman)
Memusatkan pada masalah interpersonal yang sekarang dialami oleh
pasien dengan anggapan bahwa masalah interpersonal sekarang
mungkin terlibat dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresi
sekarang. Terapi ini difokuskan pada problem interpersonal yang ada.
Diasumsikan bahwa, pertama, problem interpersonal yang ada saat ini
merupakan akar terjadinya disfungsi hubungan interpersonal. Problem
interpersonal saat ini berperan dalam terjadinya gejala depresi.
Biasanya sesi berlangsung antara 12 sampai 16 minggu dan ditandai
dengan pendekatan terapeutik yang aktif. Tidak ditujukan pada
fenomena intrapsikik seperti mekanisme defensi dan konflik internal.
Keterbatasan asertif, gangguan kemampuan sosial, serta penyimpangan
pola berpikir hanya ditujukan bila memang mempunyai efek pada
hubungan interpersonal tersebut.
o Terapi perilaku
Terapi didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptif
menyebabkan seseorang mendapatkan sedikit umpan balik positif dari
masyarakat dan kemungkinan penolakan yang palsu. Dengan demikian
pasien belajar untuk berfungsi di dunia dengan cara tertentu dimana
mereka mendapatkan dorongan positif.
o Terapi berorientasi-psikoanalitik
Mencapai kepercayaan dalam hubungan interpersonal, keintiman,
mekanisme penyesuaian, kapasitas dalam merasakan kesedihan serta
kemampuan dalam merasakan perubahan emosional secara luas.
o Terapi keluarga
Diindikasikan untuk gangguan yang membahayakan perkawinan
pasien atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood dapat ditangani
24
oleh situasi keluarga. Terapi keluarga meneliti peran suasana hati
teratur dalam keseluruhan kesejahteraan psikologis dari seluruh
keluarga, tetapi juga mengkaji peran seluruh keluarga dalam
pemeliharaan gejala pasien. Pasien dengan gangguan mood memiliki
tingkat tinggi perceraian, dan sekitar 50 persen dari semua pasangan
melaporkan bahwa mereka tidak akan menikah atau memiliki anak jika
mereka tahu bahwa pasien akan mengembangkan gangguan mood.
o Rawat Inap
Yang pertama dan paling penting keputusan dokter harus dibuat
adalah apakah untuk memutuskan pasien rawat inap atau pasien rawat
jalan. Jelas indikasi untuk rawat inap adalah risiko bunuh diri atau
pembunuhan, pasien yang sangat berkurang kemampuannya untuk
makan dan kebutuhan untuk prosedur diagnostik. Suatu onset yang
berkembang cepat gejala juga dapat menjadi indikasi untuk rawat
inap. Seorang dokter dapat dengan aman mengobati depresi ringan
atau hypomania dengan rawat jalan jika evaluasi pasien terus rutin
dilakukan. Tanda-tanda klinis dari gangguan penilaian, penurunan
berat badan, atau insomnia harus minimal. Sistem pendukung pasien
harus kuat, tidak ada menarik diri dari pasien. Setiap perubahan
negatif dalam gejala-gejala pasien atau perilaku mungkin cukup untuk
menjadi indikasi rawat inap rawat inap. Pasien dengan gangguan mood
sering tidak mau masuk rumah sakit secara sukarela, dan mungkin
harus sengaja dimasukan. Pasien-pasien ini sering tidak dapat
membuat keputusan karena pemikiran mereka melambat,
Weltanschauung negatif (pandangan dunia), dan keputusasaan. Pasien
yang manik sering memiliki seperti kurangnya wawasan gangguan
mereka yang rawat inap tampaknya benar-benar tidak masuk akal bagi
mereka.
o Terapi Fisik : Electro Convulsive Therapy (ECT)
Terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak melalui 2 elektrode
yang ditempatkan pada bagian temporal kepala.
25
Sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko
bunuh diri yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan
kurang baik (dengan dosis yang sudah adekuat).
o Farmakoterapi
Pendekatan farmakoterapeutik terhadap gangguan bipolar telah
menimbulkan perubahan besar dalam pengobatannya dan secara
dramatis telah mempengaruhi perjalanan gangguan bipolar dan
menurunkan biaya bagi penderita.
Episode mania atau hipomania
1. Mood Stabilizer
2. Antipsikotik atipikal
3. Mood stabilizer + antipsikotik atipikal.
Episode depresi
1. Antidepresan
2. Mood stabilizer
3. Antipsikotik atipikal
4. Mood stabilizer + antidepresan
5. Antipsikotik atipikal + antidepresan
Tabel 5 Penatalaksanaan kedaruratan agitasi akut.
Lini I • Injeksi IM Aripiprazol efektif untuk pengobatan agitasi pada pasien dengan episode
mania atau campuran akut. Dosis adalah 9,75mg/injeksi. Dosis maksimum adalah
29,25mg/hari (tiga kali injeksi per hari dengan interval dua jam). Berespons dalam
45-60 menit.
• Injeksi IM Olanzapin efektif untuk agitasi pada pasien dengan episode mania atau
campuran akut. Dosis 10mg/ injeksi. Dosis maksimum adalah 30mg/hari. Berespons
dalam 15-30 menit. Interval pengulangan injeksi adalah dua jam. Sebanyak 90%
pasien menerima hanya satu kali injeksi dalam 24 jam pertama. Injeksi lorazepam 2
mg/injeksi. Dosis maksimum Lorazepam 4 mg/hari. Dapat diberikan bersamaan
dengan injeksi IM Aripiprazol atau Olanzapin. Jangan dicampur dalam satu jarum
suntik karena mengganggu stabilitas antipsikotika
Lini II • Injeksi IM Haloperidol yaitu 5 mg/kali injeksi. Dapat diulang setelah 30 menit.
26
Dosis maksimum adalah 15 mg/hari.
• Injeksi IM Diazepam yaitu 10 mg/kali injeksi. Dapat diberikan bersamaan dengan
injeksi haloperidol IM. Jangan dicampur dalam satu jarum suntik.
Rekomendasi terapi pada mania akutTabel 6 Terapi mania
Lini I Litium, divalproat, olanzapin, risperidon, quetiapin, quetiapin XR,
aripiprazol, litium atau divalproat + risperidon, litium atau
divalproat + quetiapin, litium atau divalproat + olanzapin, litium
atau divalproat + aripiprazol
Lini II Karbamazepin, ECT, litium + divalproat, paliperidon
Lini III Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat haloperidol, litium
+ karbamazepin, klozapin
Tidak direkomendasikan Gabapentin, topiramat, lamotrigin, risperidon
+ karbamazepin, olanzapin + karbamazepin
27
Gambar 1. Algoritma terapi mania akut.
Penatalaksanaan pada Episode Depresi Akut, GB ITabel 7 Penatalaksanaan episode depresi akut.
Lini I Litium, lamotrigin, quetiapin, quetiapin XR, litium atau divalproat +
SSRI, olanzapin + SSRI, litium + divalproat
Lini II Quetiapin + SSRI, divalproat, litium atau divalproat + lamotrigin
28
Lini III Karbamazepin, olanzapin, litium + karbamazepin, litium atau
divalproat + venlafaksin, litium + MAOI, ECT, litium atau
divalproat atau AA + TCA, litium atau divalproat atau
karbamazepin + SSRI + lamotrigin, penambahan topiramat
Tidak direkomendasikan Gabapentin monoterapi, aripiprazol monoterapi
Gambar 2 Alogaritma terapi GB I, episode depresi.
29
Rekomendasi terapi rumatan pada GB ITabel 8 Terapi rumatan GB I.
Lini I Litium, lamotrigin monoterapi, divalproat, olanzapin, quetiapin,
litium atau divalproat + quetiapin, risperidon injeksi jangka panjang
(RIJP), penambahan RIJP, aripirazol
Lini II Karbamazepin, litium + divalproat, litium + karbamazepin, litium
atau divalproat + olanzapin, litium + risperidon, litium + lamotrigin,
olanzapin + fluoksetin
Lini III Penambahan fenitoin, penambahan olanzapin,
penambahan ECT, penambahan topiramat,
penambahan asam lemak omega-3, penambahan okskarbazepin
Tidak direkomendasikan Gabapentin, topiramat atau antidepresan monoterapi
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan pada gangguan bipolar:
Mood stabilizer
Litium
Litium sudah digunakan sebagai terapi mania akut sejak 50 tahun yang
lalu. Memiliki efek akut dan kronis dalam pelepasan serotonin dan
norepineprin di neuron terminal sistem saraf pusat.
Farmakologi
Sejumlah kecil litium terikat dengan protein. Litium diekskresikan dalam
bentuk utuh hanya melalui ginjal.
Indikasi
Episode mania akut, depresi, mencegah bunuh diri, dan bermanfaat
sebagai terapi rumatan GB.
Dosis
Respons litium terhadap mania akut dapat dimaksimalkan dengan
menitrasi dosis hingga mencapai dosis terapeutik yang berkisar antara 1,0-1,4
30
mEq/L. Perbaikan terjadi dalam 7-14 hari. Dosis awal yaitu 20 mg/kg/hari.
Dosis untuk mengatasi keadaan akut lebih tinggi bila dibandingkan dengan
terapi rumatan. Untuk terapi rumatan, dosis berkisar antara 0,4-0,8 mEq/L.
Dosis kecil dari 0,4 mEq/L, tidak efektif sebagai terapi rumatan. Sebaliknya,
gejala toksisitas litium dapat terjadi bila dosis 1,5 mEq/L.
Efek samping
Efek samping yang dilaporkan adalah mual, muntah, tremor, somnolen,
penambahan berat badan, dan penumpulan kognitif. Neurotoksisitas, delirium,
dan ensefalopati dapat pula terjadi akibat litium. Neurotoksisitas bersifat
irreversible. Akibat intoksikasi litium, deficit neurologi permanen dapat terjadi
misalnya, ataksia, deficit memori, dan gangguan pergerakan. Untuk mengatasi
intoksikasi litium, hemodialisis harus segera dilakukan. Litium dapat merusak
tubulus ginjal. Factor resiko kerusakan ginjal adalah intoksikasi litium,
polifarmasi dan adanya penyakit fisik yang lainnya. Pasien yang
mengkonsumsi litium dapat mengalami poliuri. Oleh karena itu, pasien
dianjurkan untuk banyak meminum air.
Pemeriksaan laboratorium
Sebelum memberikan litium, fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) dan
fungsi tiroid, harus diperiksa terlebih dahulu. Untuk pasien yang berumur di
atas 40 tahun, pemeriksaan EKG harus dilakukan. Fungsi ginjal harus
diperiksa Setiap Setiap 2-3 bulan dan fungsi tiroid dalam enam bulan pertama.
Setelah enam bulan, fungsi ginjal dan tiroid diperiksa sekali dalam 6-12 bulan
atau bila ada indikasi.
Valproat
Valproat merupakan obat antiepilepsi yang disetujui oleh FDA sebagai
antimania. Valproat tersedia dalam bentuk:
1. Preparat oral;
a. Sodium divalproat, tablet salut, proporsi antara asam valproat dan
sodium valproat adalah sama (1:1)
b. Asam valproat
31
c. Sodium valproat
d. Sodium divalproat, kapsul yang mengandung partikel-partikel salut
yang dapat dimakan secara utuh atau dibuka dan ditaburkan ke
dalam makanan.
e. Divalproat dalam bentuk lepas lambat, dosis sekali sehari.
2. Preparat intravena
3. Preparat supositoria
Farmakologi
Terikat dengan protein. Diserap dengan cepat setelah pemberian oral.
Konsentrasi puncak plasma valproat sodium dan asam valproat dicapai dalam
dua jam sedangkan sodium divalproat dalam 3-8 jam. Awitan absorbsi
divalproat lepas lambat lebih cepat bila dibandingkan dengan tablet biasa.
Absorbsi menjadi lambat bila obat diminum bersamaan dengan makanan.
Ikatan valproat dengan protein meningkat bila diet mengandung rendah lemak
dan menurun bila diet mengandung tinggi lemak.
Dosis
Dosis terapeutik untuk mania dicapai bila konsentrasi valproat dalam
serum berkisar antara 45 -125 mg/mL. Untuk GB II dan siklotimia diperlukan
divalproat dengan konsentrasi plasma < 50 mg/mL. Dosis awal untuk mania
dimulai dengan 15-20 mg/kg/hari atau 250 – 500 mg/hari dan dinaikkan setiap
3 hari hingga mencapai konsentrasi serum 45- 125 mg/mL. Efek samping,
misalnya sedasi, peningkatan nafsu makan, dan penurunan leukosit serta
trombosit dapat terjadi bila konsentrasi serum > 100 mg/mL. Untuk terapi
rumatan, konsentrasi valproat dalam plasma yang dianjurkan adalah antara 75-
100 mg/mL.
Indikasi
Valproat efektif untuk mania akut, campuran akut, depresi mayor akut,
terapi rumatan GB, mania sekunder, GB yang tidak berespons dengan litium,
siklus cepat, GB pada anak dan remaja, serta GB pada lanjut usia.
Efek Samping
Valproat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat terjadi,
misalnya anoreksia, mual, muntah, diare, dispepsia, peningkatan (derajat
32
ringan) enzim transaminase, sedasi, dan tremor. Efek samping ini sering
terjadi pada awal pengobatan dan bekurang dengan penurunan dosis atau
dengan berjalannya waktu. Efek samping gastrointestinal lebih sering terjadi
pada penggunaan asam valproat dan valproat sodium bila dibandingkan
dengan tablet salut sodium divalproat.
Lamotrigin
Lamotrigin efektif untuk mengatasi episode bipolar depresi. Ia
menghambat kanal Na+. Selain itu, ia juga menghambat pelepasan glutamat.
Farmakokinetik
Lamotrigin oral diabsorbsi dengan cepat. Ia dengan cepat melewati
sawar otak dan mencapai konsentrasi puncak dalam 2-3 jam. Sebanyak 10%
lamotrigin dieksresikan dalam bentuk utuh.
Indikasi
Efektif untuk mengobati episode depresi, GB I dan GB II, baik akut
maupun rumatan. Lamotrigin juga efektif untuk GB, siklus cepat.
Dosis
Berkisar antara 50-200 mg/hari.
Efek Samping
Sakit kepala, mual, muntah, pusing, mengantuk, tremor, dan berbagai bentuk
kemerahan di kulit.
Antipsikotika Atipik
Antipsikotika atipik, baik monoterapi maupun kombinasi terapi, efektif
sebagai terapi lini pertama untuk GB. Beberapa antipsikotika atipik tersebut
adalah olanzapin, risperidon, quetiapin, dan aripiprazol.
Risperidon
Risperidon adalah derivat benzisoksazol. Ia merupakan antipsikotika
atipik pertama yang mendapat persetujuan FDA setelah klozapin.
Absorbsi
Risperidon diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral. Ia
dimetabolisme oleh enzim hepar yaitu CYP 2D6.
33
Dosis
Untuk preparat oral, risperidon tersedia dalam dua bentuk sediaan
yaitu tablet dan cairan. Dosis awal yang dianjurkan adalah 2 mg/hari dan
besoknya dapat dinaikkan hingga mencapai dosis 4 mg/hari. Sebagian besar
pasien membutuhkan 4-6 mg/hari. Risperidon injeksi jangka panjang (RIJP)
dapat pula digunakan untuk terapi rumatan GB. Dosis yang dianjurkan untuk
orang dewasa atau orang tua adalah 25 mg setiap dua minggu. Bila tidak
berespons dengan 25 mg, dosis dapat dinaikkan menjadi 37,5 mg - 50 mg per
dua minggu.
Indikasi
Risperidon bermanfaat pada mania akut dan efektif pula untuk terapi rumatan.
Efek Samping
Sedasi, fatig, pusing ortostatik, palpitasi, peningkatan berat badan,
berkurangnya gairah seksual, disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada
risperidon bila dibandingkan dengan pada plasebo. Meskipun risperidon tidak
terikat secara bermakna dengan reseptor kolinergik muskarinik, mulut kering,
mata kabur, dan retensi urin, dapat terlihat pada beberapa pasien dan sifatnya
hanya sementara. Peningkatan berat badan dan prolaktin dapat pula terjadi
pada pemberian risperidon.
Olanzapin
Olanzapin merupakan derivat tienobenzodiazepin yang memiliki
afinitas terhadap dopamin (DA), D2, D3, D4, dan D5, serotonin 2 (5-HT2);
muskarinik, histamin 1(H1), dan a1- adrenergik.
Indikasi
Olanzapin mendapat persetujuan dari FDA untuk bipolar episode akut
mania dan campuran. Selain itu, olanzapin juga efektif untuk terapi rumatan
GB.
Dosis
Kisaran dosis olanzapin adalah antara 5-30 mg/hari.
Efek Samping
34
Sedasi dapat terjadi pada awal pengobatan tetapi berkurang setelah
beberapa lama. Efek antikolinergik dapat pula terjadi tetapi kejadiannya
sangat rendah dan tidak menyebabkan penghentian pengobatan. Risiko
terjadinya diabetes tipe-2 relatif tinggi bila dibandingkan dengan antipsikotika
atipik lainnya. Keadaan ini dapat diatasi dengan melakukan psikoedukasi,
misalnya merubah gaya hidup, diet dan latihan fisik.
Quetiapin
Quetiapin merupakan suatu derivat dibenzotiazepin yang bekerja
sebagai antagonis 5-HT1A dan 5 -HT2A, dopamin D1, D2, histamin H1 serta
reseptor adrenergik a1 dan a2. Afinitasnya rendah terhadap reseptor D2 dan
relatif lebih tinggi terhadap serotonin 5-HT2A.
Dosis
Kisaran dosis pada gangguan bipolar dewasa yaitu 200-800 mg/hari.
Tersedia dalam bentuk tablet IR (immediate release) dengan dosis 25 mg, 100
mg, 200 mg, dan 300 mg, dengan pemberian dua kali per hari. Selain itu, juga
tersedia quetiapin-XR dengan dosis 300 mg, satu kali per hari.
Indikasi
Quetiapin efektif untuk GB I dan II, episdoe manik, depresi, campuran,
siklus cepat, baik dalam keadaan akut maupun rumatan.
Efek Samping
Quetiapin secara umum ditoleransi dengan baik. Sedasi merupakan
efek samping yan sering dilaporkan. Efek samping ini berkurang dengan
berjalannya waktu. Perubahan dalam berat badan dengan quetiapin adalah
sedang dan tidak menyebabkan penghentian pengobatan. Peningkatan berat
badan lebih kecil bila dibandingkan dengan antipsikotika tipikal.
Aripiprazol
Aripiprazol adalah stabilisator sistem dopamin-serotonin.
Farmakologi
Aripiprazol merupakan agonis parsial kuat pada D2, D3, dan 5-HT1A
serta antagonis 5- HT2A. Ia juga mempunyai afinitas yang tinggi pada
35
reseptor D3, afinitas sedang pada D4, 5-HT2c, 5-HT7, a1-adrenergik,
histaminergik (H1), dan serotonin reuptake site (SERT), dan tidak terikat
dengan reseptor muskarinik kolinergik.
Dosis
Aripiprazol tersedia dalam bentuk tablet 5,10,15,20, dan 30 mg.
Kisaran dosis efektifnya per hari yaitu antara 10-30 mg. Dosis awal yang
direkomendasikan yaitu antara 10 - 15 mg dan diberikan sekali sehari. Apabila
ada rasa mual, insomnia, dan akatisia, dianjurkan untuk menurunkan dosis.
Beberapa klinikus mengatakan bahwa dosis awal 5 mg dapat meningkatkan
tolerabilitas.
Indikasi
Aripiprazol efektif pada GB, episode mania dan episode campuran
akut. Ia juga efektif untuk terapi rumatan GB. Aripiprazol juga efektif sebagai
terapi tambahan pada GB I, episode depresi.
Efek Samping
Sakit kepala, mengantuk, agitasi, dispepsia, anksietas, dan mual
merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang dilaporkan secara spontan
oleh kelompok yang mendapat aripiprazol. Efek samping ekstrapiramidalnya
tidak berbeda secara bermakna dengan plasebo. Akatisia dapat terjadi dan
kadang-kadang dapat sangat mengganggu pasien sehingga sering
mengakibatkan penghentian pengobatan. Insomnia dapat pula ditemui. Tidak
ada peningkatan berat badan dan diabetes melitus pada penggunaan
aripiprazol. Selain itu, peningkatan kadar prolaktin juga tidak dijumpai.
B. Delusional
Gangguan delusional definisikan sebagai sesuatu gangguan psikiatri yang
mana gejala utamanya adalaha waham. Gangguan delisional sebelumnya disebut
“paranoia” atau gangguan paranoid.tetapi istilah tersebut secara tidak tepat
menytakan bahwa waham selalu bersifat persekutorik. Waham pada gangguan
delusional juga bersifat kebesaran, erotic, cemburu,somatic dan campuran.
36
Gangguan delusional harus dibedaka dengan gangguan mood dan skizofrenia.
Walaupun pasien dengan gangguan delusional mungkin memiliki suatu mood
yang konsisten dengan isi wahamnya.
1. Etiologi
Faktor biologis
Berbagai kondisi medis non psikiatrik dan zat dapat menyebabkan waham,
jadi menyatakan bahwa faktor biologis yang jelass dapat menyebabkan waham.
Keadaan neorologis yang paling sering berhubungan dengan waham adalah
waham keadaan yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis. Pasien
yang memiliki waham yang disebabkan oleh kondidi neurologis tanpa adanya
gangguan kecerdaan cenderung memiliki waham yang kompleks yang mirip
dengan pasien yang memiliki gangguan delusional. Sebaliknya, pasien yang
menderita gangguan neurologis dengan gangguan kecerdasan sering kali memiliki
waham yang sederhana yang tidak sama dengan yang ditemukan pada pasien
dengan gangguan delusional.
Faktor psikodinamik
Observasi klinis menyatakan bahwa pasien paranoid mengalami tidak
adanya kepercayaan di dalam hubungan mereka. Kepercayaan tersebut telah
dihipotesiskan berhubungan dengan lingkungan keluarga yang terus menerus
bermusuhan, sering kali dengan ibu yang terlalu mengendalikan dan ayah yang
jauh atau sadistic. Pasien dengan gangguan delusional terutama menggunakan
mekanisme pertahanan formasi reaksi, penyangkalan, dan proyeksi. Formasi
reaksi sering diguakan sebagai perahanan melawan agresi, kebutuhan
ketergantungan dan perasaan cinta. Kebutuhan akan kerergantungan
ditransformasikan menjadi kemandirian yang kukuh. Penyangkalan digunakan
untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang menyakitkan. Dibebani
dengan kemarahan dan permusuhan dan tidak mampu menghadapi tanggung
jawab atas kemarahan.
2. Tanda dan gejala
Kriteria diagnosis untuk gangguan delusional
37
a. waham yang tidak aneh (yaitu, melibatkan situasi yng terjadi dalam
kehidupan nyata, seperti sedang diikuti,diracuni,ditulari infeksi,
dicintai dari jarak jauh,atau dihianati oleh pasangan atau kekasih, atau
menderita suatau penyakit ) selama sekurangnya 1 bulan.
b. Kriteria A untuk kizofren tidak pernah terpenuhi
c. Terlepas dari pengaruh waham atau percabangannya. Fungsi adalah
tidak terganggu dengan jelas dan prilaku tidak jelas aneh atau kacau.
d. Jika episode mood telah terjadi secara bersamaan dengan waham, lama
totalnya adalah relative singkat dibandingkan lama periode waham.
e. Gangguan adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya,obat yang disalah gunakan, suatu medikasi ) atau suatu
kondisi medis umum.
3. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Pada keadaan darurat, seorang yang teragitasi parah harus diberikan suatu
obat ntipsikotik secara intramuscular. Walau percobaan klinik yang
dilakukansecara adekuat dengan sejumlah pasien belum ada sebagian besar klinisi
berpendapat bahwa obat anti psikotik adalah obat yang terpilih untuk gangguan
delusional. Pasien gangguan delusional mungkin menolak medikasi karena
mereka dapat secara mudah menyatukan pemberian obat kedalam sistem
wahamnya. Dokter harus mulai dengan dosis rendah sebaai contoh haloperidol 2
mg dan meningkatkan dosis secara perlahan. Jika pasien gagal berespons dengan
obat pada dosis yang cukup dalam percobaan selama 6 minggu, anti psikotik dari
kelas lain harus dicoba. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa pimozide
mungkin efektif dalam gangguan delusional, hususnya pasien yang waham
somatic. Penyebab kegagalan obat yan tersering adalah ketidakpatuhan pasien,
dan kemungkinan tersebut harus diperhitungkan.
b. Psikoterapi
Elemen yang paling penting dalam psikoterapi yang efektif adalah
penegakkan suatu hubungan dimana pasien mulai mempercayai ahli terapi. Terapi
38
individual tampaiknya lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapi kelompok
berorientasi tillikan, kognitif, dan prilaku sering kali efektif. Pada awalnya ahli
terapi harus menanyakan tentang waham untuk menegaskan luasnya, pertanyaan
terus menerus tentang waham kemugkinan harus dihindari. Dokter dapat
menstimulasi motivasi untuk mendapatkan bantuan dengan menekankan kemauan
untuk membantu pasien mengatasi kecemasan atau iritabilitasnya. Tanpa
menyatakan waham yang akan di obati. Tetapi, ahli terapi tidak boleh secara aktif
mendukung gagasan bahwa waham merupakan kenyataan. Ahli terapi tidak boleh
membuat tanda-tanda yang meremehkan tentang waham atau gagasan pasien
tetapi secara simpatik menyatakan pada pasien bahwa keasikan mereka dengan
wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan
yang konstruktif. Jika pasien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, ahli terapi dapat
meninggikan tes realitas dengan meminta pasien memperjelas permasalahan
mereka.
A. Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.
Depresi merupakan salah satu dari gangguan mood.Gangguan mood adalah
keadaan emosi yang menetap selama lebih dari seminggu, yang menunjukkan
penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang. Kunci dari gejala depresi adalah
mood yang depresif serta hilangnya minat atau kesenangan.
Berdasarkan onsetnya depresi pada lansia dibagi menjadi dua yaitu early
onset depression dan late onset depression.Early onset depressionadalah depresi
yang onset pertamanya terjadi sebelum memasuki usia lanjut sedangkan late onset
depression adalah depresi yang terjadi onset pertamanya setelah memasuki usia
lanjut pada pasien geriatri yang berkembang dengan peningkatan usia.
1. Etiologi
39
Depresi secara umum dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, untuk
depresi pada geriatri beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya
kasus ini adalah :
Faktor biologis
stresor psikososial
Faktor genetik
2. Tanda dan gejala
Pada penegakan diagnosis depresi dapat digunakan kriteria menurut
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III atau
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV.
Kriteria episode depresi menurut PPDGJ III yang merujuk kepada
International Classification Diagnostic (ICD), yaitu:
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, berat):
1. Afek depresif
2. Kehilangan minat dan kegembiraan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.
Gejala lainnya:
a) Konsentrasi dan perhatian kurang
b) Harga diri dan kepercayaan berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang
Penggolongan depresi berdasarkan perhitungan jumlah gejala diatas:
Tabel Penggolongan depresiberdasarkan PPDGJ III3
Tingkat depresi
Gejala utama
Gejala lain Fungsi Keterangan
Ringan 2 2 Baik
Sedang 2 3-4 Terganggu Nampak distress
40
Berat 3 4/lebih Sangat terganggu Sangat distress
Kriteriaepisode depresif berat menurut DSM IV, yaitu:
A. Lima (atau lebih) gejala berikut telah ditemukan selama periode dua minggu
yang sama dan mewakili perubahan fungsi sebelumnya; sekurangnya satu
gejala dari gejala adalah salah satu dari mood terdepresi atau hilangnya minat
atau kesenangan.
Dilarang memasukkan gejala yang jelas karena suatu kondisi medis umum,
atau waham atau halusinasi yang tidak sesuai dengan mood.
1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang
ditunjukkan dalam laporan subjektif (misalnya, merasa sedih atau kosong)
atau pengamatan yang dilakukan orang lain (misalnya, tampak sedih).
2. Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua, hampir
semua, aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti ditunjukkan
oleh keterangan subjektif atau pengamatan yang dilakukan orang lain).
3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau
penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5%
dalam satu bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir
setiap hari.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat dilihat oleh
orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif adanya kegelisahan atau
menjadi lamban).
6. Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat
(mungkin bersifat waham) hampir setiap hari (tidak semata-mata mencela
diri-sendiri atau menyalahkan karena sakit).
8. Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian, atau
tidak dapat mengambil keputusan, hampir setiap hari (baik oleh
keterangan subjektif atau seperti yang dilihat orang lain)
41
9. Pikiran akan kematian yang rekuren (bukan hanya takut mati), ide bunuh
diri yang rekuren tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh diri atau
rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.
B. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran
C. Gejala menyebabkan penderitaan bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum
(misalnya, hipotiroidisme).
E. Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh dukacita, yaitu, setelah kehilangan
orang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai gangguan
fungsional yang jelas, preokupasi morbid dengan rasa tidak berharga, ide
bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.
Gejala depresi pada lansia sering kurang atau tidak terdiagnosis di Unit
Pelayanan Kesehatan Primer disebabkan oleh hal berikut:
1. Penyakit fisik yang menyertai mengacaukan gambaran depresi, seperti
menjadi lebih cepat lelah dan menurunnya berat badan.
2. Golongan lanjut usia seringkali menutupi kesedihannya dengan menunjukkan
dia lebih aktif.
3. Kecemasan, obsesionalitas, histeria dan hipokondria yang sering merupakan
gejala depresi justru sering menutupi depresi.
4. Masalah sosial pada lansia membuat gambaran depresi lebih rumit.
Untuk mempermudah penegakan diagnosis depresi pada lansia dalam
praktik sehari-hari menggunakan pengukuran berdasarkanGeriatric Depression
Scale (GDS).
3. Patofisiologi
Faktor penyebab dapat lebih mudah dikenali dengan pembagian secara
buatan menjadi faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Dalam hal
ini pembagian faktor penyebab disebut buatan karena setiap faktor tidak bisa
berdiri sendiri tetapi dengan adanya salah satu faktor yang terjadi menyebabkan
terpengaruhnya faktor lain.
42
1. Faktor biologis
a. Hipotesis defisiensi amin biogenik
Amin biogenik antara lain terdiri dari norepinefrin dan serotonin yang
merupakan dua neurotransmitter berada dalam otak dan selalu dikeluarkan ke
bagian otak lain untuk memodulasi area perasaan, pikiran dan perilaku. Oleh
karena itu, keduanya memegang peranan penting dalam patofisiologi gangguan
mood.
Pada penelitian dengan menggunakan positron-emission tomographic
tampak peningkatan dari enzim monoamine oksidase di ligand otak pada pasien
yang depresi sebanyak 30%.19 Hal tersebut menandakan peningkatan katabolisme
dari amin biogenik di otak. Pada penelitian lain ditemukan enzim triptofan
hidroksilase yang spesifik untuk otak yaitu HPH-2, hal ini dapat menjelaskan
penyebab penelitian sebelumnya yang menunjukan kadar triptofan hidroksilase
pada pasien depresi dan kontrol tidak ditemukan perbedaan.
Mekanisme ini belum dapat dijelaskan sepenuhnya tetapi dapat dibuktikan
dengan keefektifan dalam pengobatan menggunakan antidepresan yang bekerja
menghalangi reuptake dari serotonin dan norepinefrin sehingga meningkatkan
kadar serotonin dan norepinefrin di sinaps. Peningkatan ini menstimulasi neuron
postsinaps yang pada akhirnya memodulasi area perasaan, pikiran dan perilaku.
43
Gambar 1.Jalur neurotransmitter amin biogenic
b. Stress dan hipotalamus-pituitari-adrenal axis
Respon terhadap stress yang diterima,korteks cerebri akan mentransmisi ke
hipotalamus.Hipotalamus adalah pusat regulasi sumbu neurohormonal yang
banyak menerima masukan melalui neurotransmitter amin biogenik.Transmisi ini
memicu pengeluaran Corticotropin Releasing Hormone (CRH) ke reseptor
pituitari. Pituitari mensekresi kortikotropin masukke dalam plasma menstimulasi
reseptor kortikotropin di korteks adrenal, maka terjadi pengeluaran kortisol ke
dalam darah. Sebagai respon hemeostasis terdapat reseptor kortisol di hipotalamus
merespon penurunan produksi CRH apabila kadar kortisol berlebihan yang
merupakan umpan balik cepat.Terdapat juga umpan balik lambat, yang sensitif
terhadap konsentrasi kortisol mantap, yang bekerja pada reseptor hipofisis dan
adrenal.
44
Gambar 2. Jalur neurohormonal
Terdapat juga beberapa temuan yangmendukung hipotesis hipotalamus-
hipofisis-kortisol bahwa pada pasien yang depresi terjadi disregulasi
neuroendokrin. Hal tersebut ditandai dengan temuan kadar kortisol meningkat di
plasma pada depresi berat, ukuran hipofisis anterior dan korteks adrenal
meningkat, dan tingkat CRH dalam cairan serebrospinal dan ekspresi CRH di
daerah otak limbik juga meningkat. Ukuran hippocampus dan jumlah neuron dan
glia mengalami penurunan, mungkin mencerminkan pengurangan neurogenesis
karena tingkat kortisol tinggi atau karena berkurangnya faktor neurotropik yang
diturunkan dari otak.
c. Inflamasi
Pada proses inflamasi terjadi pengeluaran dari sitokin ke perifer. Oleh
karena jumlah yang sangat besar dari sitokin maka terjadi kesulitan dalam
melewati blood brain barrier (BBB).Sitokin memasuki otak melalui tiga cara
yaitu masuk melalui celah di BBB seperti organ sirkumventricular, mengikat pada
45
molekul transport spesifik sitokin di epitelium otak, dan aktivasi jalur afferendari
vagal dimana terjadi transmisi signal sitokin ke bagian spesifik nukleus otak,
seperti inti dari traktus soliter, dimana berfungsi sebagai relay stationke bagian
nucleus otak lain, seperti nucleus paraventrikular di hipotalamus.
Gambar 3.Interaksi antara depresi, imun dan stres
Di dalam otak terdapat Central Nerve System (CNS) cytokine networkyang
tedapat pada sel, tidak hanya untuk memproduksi sitokin tetapi juga
mengespresikan reseptor sitokin dan juga memperkuat sinyal sitokin, dimana
dapat berefek kepada neurotransmitter dan fungsi CRH. Dengan ini dalam proses
depresi, sitokin mempengaruhi perilaku melalui perubahan pada metabolisme
serotonin, norepinefrin dan dopamine di bagian otak yang meregulasi emosi,
termasuk sistem limbik (amygdala, hippocampus dan nucleus accubens) yang
meregulasi fungsi psikomotor dan tindakan balasan, dan juga ganglia basal.
Berdasarkan keseluruhan patofisiologi di atas dapat ditarik kesimpulan dari
keefektifan dalam pemberian farmakologi berupa antidepresan sepertiSelective
46
Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), antidepresan trisiklik dan monoamin
oksidase inhibitor.
2. Faktor genetika
Pada depresi yang early onset, berat dan rekuren diduga lebih disebabkan
oleh genetik daripada bentuk depresi yang lain.18Penelitian yang dilakukan
terhadap anak kembar yang memiliki gangguan bipolar I menunjukan faktor
genetika monozigotikdapat mempengaruhi sebesar 33 sampai 90 persen, untuk
gangguan depresif berat angka kesesuaiannya pada monozigotik sebesar 50
persen. Sebaliknya pada kembar dizigotik adalah kira-kira 5 sampai 25 persen
untuk gangguan bipolar I dan 10 sampai 25 persen untuk gangguan depresif berat.
3. Faktor psikososial
a. Stress kehidupan
Stress kehidupan pada usia lanjut misalnya kesulitan finansial, kehilangan
pasangan hidup, penyakit baru, disabilitas diri atau anggota keluarga yang lain,
perubahan situasi kehidupan dan konflik interpersonal. Pensiun tidak selalu
bersamaan dengan depresi pada kebanyakan lansia, tetapi hal tersebut
meningkatkan resiko pada pria yang pensiun lebih cepat, untuk alasan yang tidak
dieksplorasi.
Disabilitas dapat dinilai menggunakan penilaian Activity of Daily
Living(ADL) menggunakan indeks Barthel.Pada penelitian yang dilakukan
sebelumnya penilaian ADL dilakukan menggunakan Tokyo Metropolitan Institute
of Gerontology index of competence (TMIG-IC). Kekurangan yang terjadi adanya
pertanyaan mengenai pengurusan keuangan di bank, dimana letak pada penelitian
itu di daerah pedesaan di mana kebanyakan lansia tidak menggunakan fasilitas
tersebut.
b. Masalah dukungan sosial
Hubungan sosial yang buruk dapat menyebabkan terjadinya depresi seperti
konflik dalam rumah tangga, adanya kritik dalam keluarga dan depresi pada
pasangan.Peningkatan gejala depresi berhubungan dengan dukungan sosial yang
buruk disertai dengan keterbatasan kemampuan fisikpada lansia yang
menginginkan kemandirian dalam melakukan aktivitas.
47
c. Faktor kepribadian
Setiap orang mempunyai pola kepribadian tertentu dapat mengalami depresi
sesuai dengan situasinya. Orang yang beresiko tinggi terjadinya depresi adalah
orang yang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi, histrionik dan
ambang.
4. Penatalaksanaan
Prinsip utama tata laksana pada pasien gerriatri adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien tersebut dan sebisa mungkin mencegah penempatan mereka
di rumah perawatan. Terdapat dua modalitas utama
Farmakologi
Pada orang tua biasakan memulai dengan dosis rendah yang dapat menimbulkan
efek terapi. Waspadai adanya penyakit-penyakit yang dapat yang perlu
penyesuaian dosis, seperti : gangguan ginjal yang menyebabkan ekskresi obat
terganggu, gangguan pada hati yang menyebabkan metabolisme obat terganggu.
Beberapa jenis obat yang dapat digunakan:
- Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI)
SSRI bekerja dengan cara menghambatan bersifat selektif terhadap
neurotransmitter serotonin (5HT2). Dibanding TCA, SSRI memiliki efek
antikolinergik dan kardiotoksik lebih rendah.
Contoh golongan obat ini adalah:
Sertraline HCl. Dosis : 50 – 100 mg/hari.
Paroxetine HCl. Dosis : 20 – 40 mg/hari.
Fluoxetine. Dosis : 20 – 40 mg/hari.
Duloxetine. Dosis : 30 – 60 mg/hari.
Efek sampingnya lebih sedikit dan biasanya lebih aman digunakan pada penderita
depresi yang disertai kelainan jiwa. Efek samping yang terjadi berupa mual, diare
dan sakit kepala ringan dan akan segera menghilang jika pemakaian obat
dilanjutkan. SSRIs efektif digunakan pada depresi yang disertai oleh kelainan jiwa
seperti penyakit obsesif-kompulsif, penyakit panik, fobia sosial, bulimia.
48
Efek samping utama dari SSRIs adalah sering menyebabkan penurunan gairah
seks / libido.
- SNRI
Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors salah satu antidepressan yang
populer digunakan. Bekerja dengan memblok reuptake baik dari serotonin
maupun norepinefrin dari sinaps. Sehingga meningkatkan jumlah kedua
neurotransmitter ini di otak. Contoh obatnya: venlafaxine dan duloxetine
- Terasiklik
Efek samping otonomik dan kardiologi kecil sehingga golongan obat ini dapat
diperuntukkan untuk pasien usia tua. Contoh obat ini : maprotiline, mianserin
Ada 5 proses dalam pengaturan dosis antidepresan :
1) Initiating dosage
Untuk mencapai dosis anjuran selama Minggu I.
Misalnya amitriptiline25 mg/h = hari 1 dan 2
50 mg/h = hari 3 dan 4
100mg/h = hari 5 dan 6
2) Titrating dosage (optimal dose)
Mulai dosis anjuran sampai mencapai dosis efektif → dosis optimal
Misalnya, amitriptyline 150 mg/h = hari 7 s/d 14 (minggu II)
Minggu III : 200 mg/h →minggu IV : 300 mg/h
3) Stabilizing dosage
Dosis optimal yang dipertahankan selama 2-3 bulan
Misalnya, amitrptyline 300mg/h → dosis optimal selama 2-3 bulan.
→ diturunkan hingga dosis pemeliharaan
4) Maintaining dosage
Selama 3-6 bulan. Biasanua dosis pemeliharaan ½ dari dosis optimal
Misalnya amitripyline 150 mg/h → selama 3-6 bulan
5) Tapering dosage
49
Selama 1 bulan. Kebalikan dari proses “initiating dosage”.
Misalnya, amitriptyline 150 mg/h → 100 mg/h (1 minggu), 100 mg/h → 75 mg/h
( 1 minggu) , 75 mg/h → 50 mg/h ( 1minggu), 50 mg/h → 25 mg/h ( 1 minggu ) .
Dngan demikian pemberian obat antidepresi dapat dihentikan total. Kalau
kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan
seterusnya.
Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pad amalam hari untuk
golongan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI diberikan dosis tunggal apda pagi hari
setelah sarapan pagi.
Non-farmakologi ( psikoterapi )
Standard psikoterapi yang dapat diberikan dapat dipakai pada pasien geriatri,
seperti supportif psikoterapi, terapi kognitif, terapi grup dan terapi keluarga.
Psikoterapi menolong pasien geriatri untuk menghadapi berbagai masalah seperti
kehilangan orang yang dicintai, perceraian, pensiun dari pekerjaan dan
memperbaiki hubungan interpersonal,selain itu juga meningkatkan rasa percaya
diri, mengurangi rasa tidak berguna sehingga secara otomatis dapat meningkatkan
kualitas hidup.
- Terapi kognitif
Berlangsung 12-16 sesi dan terbagi dalam 3 fase:
Fase awal (sesi 1-4)
Membentuk hubungan terapeutik dengan pasien. Mengajarkan pasien tengang
bentuk kognitif yang salah dan pengaruhnya terhadap emosi dan fisik.
Menentukan tujuan terapi.
Fase pertengahan ( sesi 5-12)
Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah. Membantu pasien
mengenal akar kepercayaan diri. Pasien diminta mempraktikkan ketrampilan
bersespons terhadap hal-hal yang depresogenik dan memodifikasinya
Fase akhir (sesi 13-16)
Menyiapkan pasien untuk terminasi dan memprediksi situasi berisiko tinggi yang
relevan untuk terjadinya kekambuhan dan mengkonsolidasi pembelajaran melali
tugas-tugasnya sendiri
- Psikoterapi suportif
50
Hampir selalu diindikasikan. Memberikan kehangatan, emapti, pengertian dan
optimistik. Bantu pasien mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya dan
bantuk untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan membantu
mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal. Latih pasien untk mengenal
tanda-tanda dekompensasi yang akan datang. Temui pasien sesering mungkin
(mula-mula 1-3 kali perminggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak
berakhir atau selamanya.
- Terapi grup (terapi kelompok)
Tidak ada bentuk terapi kelompok yang spesfik. Ada beberapa keuntungan terapi
kelompok:
Biaya lebih murah
Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktikan ketrampilan
perilaku interpersonal yang baru
Membantupasien dalam mengaplikasikan ketrampilan baru
Terapi kelompok ini sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan.
Ia juga efektif untuk depresi ringan.
B. Ansietas
Gangguan ansietas merupakan keadaan psikiatri dimana adanya peningkatan
morbiditas, penggunaan pelayanan kesehatan, dan hendaya fungsional.
Pemahaman neuroanatomi dan biologi molekuler ansietas menjanjikan pengertian
baru mengenai etiologi dan terapi yang lebih spesifik di masa datang.
1. Gejala ansietas
Pengalaman ansietas memiliki dua komponen kesadaran akan secara fisiologis
(seperti palpitasi dan berkeringat) serta kesadaran bahwa ia gugup atau ketakutan.
Selain pengaruh visceral dan motorik, ansietas mempengaruhi pikiran, persepsi,
dan pembelajaran. Ansietas cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi
persepsi, tidak hanya persepsi waktu dan ruang tetapi juga orang dan arti
peristiwa. Distorsi ini dapat mengganggu proses pembelajaran dengan
menurunkan konsntrasi, mengurangi daya ingat, dan mengganggu kemampuan
menghubungkan satu hal dengan lain yaitu membuat asosiasi.
51
Aspek penting emosi adalah efeknya pada selektivitas perhatian. Orang yang
mengalami ansietas cenderung memperhatikan hal tertentu di dalam
lingkungannya dan mengakibatkan hal lain dalam upaya untuk membuktikan
bahwa mereka dibenarkan untuk menganggap situasi tersebut menakutkan. Jika
keliru dalam membenarkan rasa takutnya, mereka akan meningkatkan ansietas
dengan respon yang selektif dan membentuk lingkaran setan ansietas, persepsi
yang mengalami distorsi, dan ansietas yang meningkat. Jika sebaliknya, mereka
dengan keliru menentramkan diri mereka dengan pikiran selektif, ansietas yang
tepat dapat berkurang, dan mereka dapat gagal mengambil tindakan pertahanan
yang perlu.
Tabel manifestasi klinis pada ansietas
Manifestasi perifer anssietas
Diare
Pusing, kepala teras ringan
Hiperhidrosis
Hiperrefleksia
Hipertensi
Palpitasi
Midrasis pupil
Gelisah (berjalan mondar-mandir)
Sinkop
Takikardi
Kesemutan di ekstremitas
Tremor
Gangguan perut
52
Frekuensi, hesitensi dan urgensi uri.
2. Patofisiologi
a. Sistem saraf otonom
Stimulusi sistem saraf otonom menimbulkan gejala tertentu kardiovaskuler
(takikardi), muskular (sakit kepala), gastrointeestinal (diare), dan pernapasan
(takipneu). Manifestasi perifer ansietas ini tidak khas pada gangguan ansietas dan
tidak selalu berhubungan dengan pengalaman subjektif ansietas. Ansietas
subjektif merupakan respons terhadap fenomena perifer. Setelah ini telah menjadi
pemikiran umum bahwa ansietas sistem saraf pusat mendahului manifestasi
perifer ansietas, kecuali jika seorang pasien memiliki penyebab perufer spesifik,
misalnya bila terdapat feokromositoma. Sistem saraf otonom pada sejumlah
pasien dengan gangguan ansietas, terutama mereka dengan gangguan panik,
menunjukan peningkatan tobus simpatik, beradaptasi lambat terhadap stimulasi
berulang, dan berespons berlebihan terhadap stimulus sedang.
b. Neurotrasmitter
tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan ansietas terkait dengan terapi obat
adalah norepinefrin, serotonin, dan asam gama-aminobutirat(GABA). Banyak
informasi ilmu saraf dasar mengenai ansietas, menyatakan bahwa obat
benzodiazepin cenderung memudahkan adaptasi, sedangkan obat lain amfetamin
merusak jauh respons perilaku.
c. Norepinefrin
teori umum mengenai peran norepinefrin dalam gangguan ansietas dapat memiliki
sistem adrenergik yang diatur dengan buruk dengan ledakan aktivitas yang
kadang-kadang terjad. Badan sel sistem noradrenergik terutama terletak pada
locus cereleus di pons rostralis dan badan sel ini menjulurkan aksonnya ke korteks
serebri, sistem limbik, batang otak, serta medula spinalis. Eksperimen
53
menunjukan bahwa stimulus locus cereleus menghasilkan respons rasa takut dan
ablasi pada area yang sama menghambat atau benar benar menghalangi
membentuk respons rasa takut.
d. Serotonin
Identifikasi banyak jenis reseptor serotonin memicu pencarian peran serotonin
dalam pathogenesis ansietas. Minta mengenai hubungan ini awalnya didorong
oleh pengamatan bahwa antidepresan serotonergik memiliki efek terapeutik pada
sejumlah gangguan ansietas contohnya cloropramine pada gangguan obsesif
kompulsif. Efektivitas buspiron, agonis reseptor serotonin 5-HT1a, dalam terapi
gangguan ansietas juga mengesankan kemungkinan hubungan antara serotonin
dan ansietas. Badan sel sel sebagian neuron serotonergik terletak di raphe nucleiu
di batang otak pars rostalis dan menyalurkan impuls ke korteks serebri, sistem
limbic (khusunya amigdala dan hipokampus), serta hipotalamus.
e. GABA
Peran gaba dalam gangguan ansietas paling kuat didukung oleh ektifitas
benzodiazapin yang tidak meragukan, yang meningkatkan aktivitas gaba di
reseptor GABA A, didalam terapi jenis gangguan ansietas. Antagonis
benzodiazapin, flumezenil, menyebabkan serangan panic berat yang sering pada
pasien dengan gangguan panic. Data ini mengarahkan peniliti berhipotesis bahwa
sejumlah pasien gangguan ansitas memiliki fungsi abnormal reseptor GABAA,
walapun hubungannya belum terlihat langsung.
3. Penatalaksanaan
Respon yang lebih baik terhadap pengobatan akan terjadi jika penderita
melibatkan proses biologis dan psikis. Obat-obatan dan terapi perilaku biasanya
bisa mengendalikan gejala-gejalanya. Selain itu, psikoterapi bisa membantu
menyelesaikan berbagai pertentangan psikis yang mungkin melatar belakangi
perasaan dan perilaku cemas
a. Farmakoterapi
54
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan panik adalah obat
anti depresi dan obat anti cemas:
1. SSRI ( Serotonin Selective Reuptake Inhibitors), terdiri atas beberapa
macam dapat dipilih salah satu dari sertralin, fluoksetin, fluvoksamin,
escitalopram, dll. Obat diberikan dalam 3-6 bulan atau lebih, tergantung
kondisi individu, agar kadarnya stabil dalam darah sehingga dapat
mencegah kekambuhan
2. Alprazolam; awitan kerjanya cepat, dikonsumsi biasanya antara 4-6
minggu, setelah itu secara perlahan-lahan diturunkan dosisnya sampai
akhirnya dihentikan. Jadi setelah itu dan seterusnya, individu hanya
minum golongan SSRI
b. Psikoterapi
Terapi Relaksasi
Terapi ini bermanfaat meredakan secara relatif cepat serangan panik dan
menenangkan individu, namun itu dapat dicapai bagi yang telah berlatih setiap
hari. Prinsipnya adalah melatih pernafasan (menarik nafas dalam dan lambat, lalu
mengeluarkannya dengan lambat pula), mengendurkan seluruh otot tubuh dan
mensugesti pikiran ke arah konstruktif atau yang diinginkan akan dicapai. Dalam
proses terapi, dokter akan mebimbing secara perlahan-lahan, selama 20-30 menit.
Setelah itu, individu diminta untuk melakukannya sendiri di rumah setiap hari.
Terapi Kognitif Perilaku
Pasien diajak bersama-sama melakukan restrukturisasi kognitif, yaitu
membentuk kembali pola perilaku dan pikiran yang irasional dan menggantinya
dengan yang lebih rasional. Terapi berlangsung 30-45 menit.
Psikoterapi Dinamik
Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan
sekedar menghilangkan gejalanya semata. Pada psikoterapi ini, biasanya pasien
lebih banyak berbicara, sedangkan dokter lebih banyak mendengar. Terapi ini
memerlukan waktu panjang, dapat berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hal ini
55
tentu memerlukan kerjasama yang baik antara individu dengan dokternya, serta
kesabaran kedua belah pihak.
E. Skizofrenia
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetic, fisik, dan social budaya. (Kaplan,2010)
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. (Kaplan,2010)
1. Etiologi
a. Pengaruh Genetik
Kemungkinan bahwa skizofrenia merupakan kondisi kompleks warisan,
dengan beberapa gen mungkin berinteraksi untuk menghasilkan resiko skizofrenia
terpisah atau komponen yang dapat terjadi mengarah diagnosa. Gen ini akan
muncul untuk nonspesifik dimana mereka dapat menimbulkan resiko gila lainnya.
Seperti kekacauan gangguan bipolar. Duplikasi dari urutan DNA dalam gen
(dikenal sebagai menyalin nomor varian) memungkinkan terjadi peningkatan
resiko skizofrenia. (Kaplan,2010)
Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik dari
DNA yang diperkirakan meningkatkan penyakit skizofrenia, serta beberapa gen
lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David St. Clair seorang
psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia mengatakan, penemuan ini
seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti memahami mekanisme kerja dari
proses mutasi, maka obat dan pendekatan baru dapat dikembangkan.
Dalam penelitian,peneliti menganalisa gen dari 6.000-10.000 orang dari
seluruh dunia yang separuhnya menderita skizofrenia. Mereka menemukan 1
mutasi pada kromosom 1,dua pada kromosom 15 dan menetapkan suatu jenis gen
yang terkait dengan kondisi skizofrenia pada kromosom 22. Perubahan ini dapat
56
meningkatkan resiko berkembangnya skizofrenia hingga 15 kali lipat.
(Kaplan,2010)
b. Faktor Biologis
1. Hipotesis Dopamin
Gejala skizofrenia merupakan hasil dari peningkatan aktifitas dopamine pada
system limbic (gejala positif) dan penurunan aktifitas dopamine (gejala
negatif).Patologi dopamine ini bisa karena abnormalitas jumlah reseptor atau
sensitifitasnya, atau abnormalitas pelepasan dopamine (terlalu banyak atau terlalu
sedikit).
2. Hipotesis Norepinefrin
Peningkatan level norepinefrin pada skizofrenia menyebabkan peningkatan
sensitisasi masukan sensorik.
3. Hipotesis GABA
Penurunan aktifitas GABA menyebabkan peningkatan aktifitas dopamine.
4. Hipotesis Serotonin
Metabolisme serotonin tampaknya tidak normal pada beberapa pasien skizofrenia,
dengan dilaporkannya hiperserotoninemia ataupun hiposerotoninemia.Secara
spesifik, antagonis dari reseptor serotonin 5-HT2 ditegaskan memiliki peran
penting dalam mengurangi gejala psikotik dan dalam melawan perkembangan dari
gangguan gerak yang berhubungan dengan antagonis D2.
5. Halusinogen
Diperkirakan beberapa endogenous amines bertindak bertindak sebagai substrat
untuk abnormalitas methylation, yang dihasilkan dalam endogenous
hallucinogens.Hipotesis ini tidak didukung oleh data yang akurat.
6. Hipotesis Glutamat
Penurunan fungsi dari glutamat reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA)
diteorikan dalam menyebabkan gejala positif ataupun negatif dari skizofrenia.
7. Teori Neurodevelopmental dan Neurodegeneratif
Angka kejadian untuk abnormalitas migrasi neuronal terjadi selama trimester ke
dua dari perkembangan janin.Teori dari abnormalitas fungsi neuron pada orang
dewasa merujuk kepada gejala-gejala emergency.Reseptor glutamat yang
memediasi kematian sel mungkin terjadi.Semua ini dapat menjelaskan kematian
57
sel tanpa gliosis yang terlihat pada skizofrenia, dan perjalanan progresif penyakit
ini pada beberapa pasien. (Kaplan,2010)
c. Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari factor psikososial sangat dipengaruhi oleh faktor
keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya memiliki emosi
ekspresi yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi daripada pasien yang
berasal dari keluarga berkspresi yang rendah. EE didefinisikan sebagai perilaku
yang intrusive, terlihat berlebihan, kejam dan kritis.Disamping itu, stress
psikologik dan lingkungan paling mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik
yang lebih terkontrol.Di Negara industri sejumlah pasien skizofrenia berada
dalam kelompok sosio ekonomi rendah.Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh
hipotesis pergeseran ke bawah (Downward drift hypothesis), yang menyatakan
bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok sosioekonomi rendah karena
penyakitnya. Suatu penjelasan alternative adalah hipotesis akibat sosial,yang
menyatakan stress yang dialami oleh anggota kelompok sosioekonomi rendah
berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari skizofenia di
setiap kultur berbeda tergantung dari bagaim ana penyakit mental diterima di
dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya sistem pendukung sosial dan
keluarga, dan kompleksitas komunikasi sosial. (Kaplan,2010)
d. Teori Infeksi
Angka kejadian dari penyebab virus meliputi perubahan neuropatologi
karena infeksi: gliosis, glial scaring, dan antivirus antibody dalam CSF serum
pada beberapa pasien skizofrenia.
2. Gejala
Seperti halnya berbagai macam penyakit, skizofrenia pun memiliki gejala-
gejala awal. Berikut ini adalah beberapa indikator premorbid (pra-sakit) pre-
skizofrenia:
- Ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh.
- Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang
58
menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).
- Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau
memindahkan atensi.
- Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak
bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak
disiplin.
Pada umumnya gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok
berikut:
1. Gejala-gejala Positif
Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang
dapat diamati oleh orang lain. Yang termasuk dalam gejala ini antara lain adalah
halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). (Kaplan,2010)
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala ini disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri
khas atau fungsi normal seseorang.Yang termasuk dalam gejala-gejala ini antara
lain adalah kurang atau tidak mampu menampakkan/ mengekspresikan emosi
pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat
menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara
(alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita Skizofrenia atau penyakit
psikotik yang lainnya, keberadaan Skizofrenia pada kelompok ini sangat sulit
dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau
ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan Post Traumatic Stress Dissorder.
Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau Skizofrenia pada anak-anak kecil
harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang
bersangkutan. (Kaplan,2010)
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor
predisposisi skizofrenia, yaitu:
- Gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua
orang sebagai musuh.
- Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat
dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri.
59
- Gangguan skizotipal yaitu perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit,
percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi
pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-
samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi
dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
- Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi
skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala
skizofrenia, misalnya tekanan (stresor) lingkungan dan faktor genetik ataupun
penggunaan yang salah pada beberapa jenis obat-obatan terlarang.
Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut ini:
1. Fase Prodromal
Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa
minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas.
Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi
penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini
akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan
mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal
semakin buruk prognosisnya. (Kaplan,2010)
2. Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku
katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek.Hampir semua
individu datang berobat pada fase ini.Bila tidak mendapat pengobatan, gejala-
gejala tersebut dapat hilang secara spontan tetapi suatu saat mengalami
eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat disembuhkan). Fase aktif akan diikuti
oleh fase residual.(Kaplan,2010)
1. Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal tetapi
gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi
pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif
berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan
60
eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).(Kaplan,2010)
Diagnosis Skizofrenia
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kulitasnya berbeda; atau
- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus);
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa
61
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan,
atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja
social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri
secara sosial. (Kaplan,2010)
3. Penatalaksanaan
a.. Terapi biologis
1.Penggunaan Obat Antipsikosis
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia
adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua
62
obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan
haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat
menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang
lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan
mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus.
luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang tampaknya tidak
dapat menyaring stimulus yang tidak relevan).
Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian
batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita
dari alat indera pada cortex cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi
masukan sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak mencapai cortex
cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala
skizophrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah
kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan
menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan perbaikan dosis
pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah sakit.
Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik tersebut
memiliki dampak sampingan yang kurang menyenangkan, yaitu mulut kering,
pandangan mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan
pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan yang lebih serius
dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah rendah dan gangguan otot yang
menyebabkan gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja. Selain itu, dalam 2-3
tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti schizophrenic bermunculan dan
mulai digunakan di Indonesia. Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone,
olanzepine, iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang
lebih baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-obat lama. Obat-obat
generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut schizophrenia seperti
tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi,
maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik (pikiran
penuh fantasi dan tak terarah), perasaan tumpul, dan gangguan dorongan
kehendak. Namun, obat-obat anti schizophrenia ini memiliki harga yang cukup
63
mahal. Sementara, penderita schizophrenia di Indonesia kebanyakan berasal dari
golongan sosial ekonomi rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik
(generik).
2 Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock.
ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena
beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa
pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak
membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih
manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke
tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali
menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya,
intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai
cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat bius
ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat
lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung
belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang
bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya
kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan
tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan
hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada
belahan otak yang tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam
kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia,
namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et
al.,1991).
3 Pembedahan bagian otak
64
Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal
lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia.
Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi,
pada tahun 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita
kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan
meninggal.
b. Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton
dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk
menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT).
Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah
dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap
muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan (Wicaksana, 2000).
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara
psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku
tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.
1 Terapi Psikoanalisa.
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan
psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya
dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan
kecemasannya . Hal yang paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi
hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada saat
penderita schizophrenia sedang tidak "kambuh". Macam terapi psikoanalisa yang
dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong
untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada
dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran (Akinson, 1991).
65
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik
fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah
berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang
dipikirkan pada saat itu secara verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan
disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya
dan penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari
keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti
sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur otorotas
yang selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger dan hostile
merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada
individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi tidak
baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka
penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan
insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking bertujuan agar
penderita mampu menempatkan konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita
mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran
terhadap konflik yang dialaminya. Seperti yang telah diungkapkan terdahulu
bahwa penderita diberi kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic
events dan keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan
moment chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk mengeluarkan uneg-
uneg yang ia rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan emosi dalam
menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga
terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan
therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya menimbulkan
masalah bagi penderita.
Terdapat 2 macam transference, yaitu:
(1) transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur yang disukai
oleh penderita,
66
(2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur yang dibenci oleh
penderita
2 Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik
dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist
mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan kondisi
lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan perilaku itu .
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel
kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang situasi menimbulkan
kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah mencakupkan upaya
untuk mengubah variabel semacam itu dengan prosedur yang khusus ditujukan
pada perilaku tersebut. Pada kongres psikiatri di Malaysia pada tahun 2000,
cognitif - behavior therapy untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri
dari Amerika maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup
baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif - behavior
therapy tersebut. Rupanya ada gelombang besar optimisme akan kesembuhan
schizophrenia di dunia dengan terapi yang lebih komprehensif ini. Selain itu,
secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung membentuk dan
mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang lebih sesuai, sebagai
persiapan penderita untuk kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz
menggunakan dua bentuk program psikososial untuk meningkatkan fungsi
kemandirian.
a. Social Learning Program.
Social learning program menolong penderita schizophrenia untuk mempelajari
perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni
suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token)
bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat
ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan atau hak-hak tertentu. Program
lainnya adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam program ini,
penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung
67
jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk
bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta
membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini
berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam proses perkembangan untuk
mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan
melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam penelitian, social
learning program mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
perawatan dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan yang muncul
dalam terapi ini adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif. Tidak
jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain yang
menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan dengan tanda
tersebut membantu perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya
dalam lingkungan perawatan.
b. Social Skills Training.
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian sosial, seperti
kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan
masyarakat. Social Skills Training menggunakan latihan bermain sandiwara. Para
penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar
mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi
seperti ini sering digunakan dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk
membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka
dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak,
berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya. Meskipun
terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan
perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi
yang tidak diajarkan secara langsung.
3 Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari
68
relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola
penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan
dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat
bermanfaat bagi proses penyembuhan klien, khususnya klien skizophrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,
beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai
fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut
saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh
mereka. Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk
berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam
kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan.
Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit akan
tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai
pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu
dengan satu atau dua terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah
keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-
ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita
kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara
untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif
secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara
bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-
cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk
mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh penghargaan.
Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan
disusun sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian, seperti yang
dilakukan oleh Fallon campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi
69
3. Mekanisme patofisiologi gangguan mental pada usia tua ( aspek monokuler)
a) Latar Belakang
Mekanisme stress adalah salah satu fungsi vital perilaku biologis yang
tercangkup dalam aspek mental homeostasis. Dalam hal ini, yang disebut
stress adalah segala sesuatu yang menggangu homeostasis baik berupa stress
fisik dengan berbagai agen fisik maupuan stress mental.
Namun, stress juga merupakan kebutuhan vital untuk proses kehidupan itu
sendiri karena stress merupakan faktor pemicu reaksi biologis sampai tingkat
biomolekular. Contohnya stress ancaman yang memicu reaksi flight or fight.
Reaksi ini mengaktifkan jaras noradrenalin untuk memobilisasi semua system
pertahanan tubuh. Tingkat oksidasi bertambah yang selanjutnya meningkatkan
penggunaan glukosa sebagai sumber energi. Artinya, apapun pilihan
psikologis dalam bentuk mekanisme mental yang dipilih korteks prefrontalis
dalam menghadapi ancaman, kebutuhan energi baik untuk pilihan ‘flight’
maupun ‘fight’ telah dipersiapkan.
Namun di sisi lain, kegagalan mekanisme penanganan stress juga menjadi
penyebab kerusakan biologis yang dapat menyebabkan kematian. Contoh
klasik adalah stress kronik. Meskipun mekanisme mental telah mengatasi
faktor stress tersebut, respon simpatis berlangsung secara berkelanjutan.
Seseorang terus menerus berada dalam kondisi fight or flight, dan jaras
noradrenalin terus menerus aktif mempengaruhi aksis hipotalamus hipofisis
dan adrenal (HPA aksis). Akibatnya, timbul gangguan homeostasis yang
sering bermanifestasi sebagai hipertensi dan gangguan kardiovaskular yang
dapat membawa kematian.
Karena semua itu, semua faktor lingkungan yang menurut penalaran
fungsi luhur berperan sebagai ancaman atau stress, selalu membangkitkan
respons psikologis, fisiologis, dan biologis sampai ke tingkat biomolekular.
b) Respon Fight or Flight
Walter cannon pada tahun 1915 mengemukakan respon fight or flight,
yang merupakan akronim dari hiperarousal atau respons stress akut. Konsep
70
ini mengemukakan bahwa hewan bereaksi terhadap ancaman dengan
hiperaktivitas menyeluruh susunan saraf simpatis. Akibatnya, hewan
dipersiapkan untuk Fight or Flight. Respon inilah yang menurut Hans Selye
merupakan tahap pertama sindrom adaptasi umum (SAU), yaitu tahap
peringatan yang meregulasi respons stress pada hewan bertulang belakang.
c) Locus Cereleus sebagai substrat biologis respons stress
Bila seseorang normal berada dalam kondisi tenang, letupan impuls
neuron-neuron di locus cereleus berada dalam tingkat minimal. Suatu stimulus
baru yang dipresepsikan sebagai stress seperti kemacetan lalu lintas, keributan,
berperan mencetuskan sinyal stressor di locus cereleus. Sinyal tersebut segera
setelah dipresepsikan sebagai stressor, diteruskan dari korteks sensorik otak
(korteks prefrontalis) melalui thalamus ke batang otak yang berpusat di locus
cereleus. Perjalanan sinyal ini menaikan tingkat aktivitas noradrenergic di
locus cereleus. Tingkat kewaspadaan terhadap lingkungan eksternal
meningkat. Melalui mekanisme yang sama, jumlah katekolamin yang
berlebihan di neuroreseptor akan memfasilitasi kecenderungan untuk
berperilaku intuisi atau spontan yang berkaitan dengan “lari” atau
“bertempur”. Jadi, locus cereleus selalu aktif baik dalam keadaan normal
maupun dalam kondisi stress dan hanya tingkat aktivitasnya yang berbeda.
d) Gambaran aktivitas Locus Cereleus pada kehidupan normal
Locus Cereleus pada kehidupan normal berfungsi untuk mempertahankan
keadaan homeostasis fungsi vital. Dengan fungsi ini, proses dasar kehidupan
berlangsung secara berlanjut dan berimbang dalam homeostasis. Locus
cereleus dalam upaya mempertahankan homeostasis berperan penting pada
respon “flight or fight” terhadap stress.
Neuron locus cereleus menghasilkan noradrenalin yang bersifat sebagai
stimulant dan mendistribusikannya ke bagian lain otak untuk mempertahankan
fungsi vital (kesadaran, kewaspadaan, pernafasan, fungsi kardiovaskular dan
tonus otot) sebagai ‘piranti’ fight or flight dalam bertahan hidup.
71
e) Locus Cereleus dan Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal pada respons
stress akut.
bila suatu stimulus di presepsi sebagai ancaman dan tidak dapat diatasi
melalui mekanisme penyelesaian masalah, stressor tersebut menjadi bersifat
aversif (menyakitkan). Tingkat emosi disforik memburuk menjadi aversif.
Kondisi ini disebut stress akut dan reponsnya adalah respons stress akut.
Pada respons stress akut, intensitas dan durasi cetusan aktivitas locus
cereleus yang meningkat tajam akan meningkatkan aktivasi jaras simpatis
pada system saraf otonom. Aktivasi ini akan mencetuskan aktivitas spesifik
fisiologis yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan :
1) Pelepasan adrenalin dan noradrenalin dari medulla kelenjar
adrenal yang dicetuskan oleh asteilkolin (Ach) yang dilepaskan
dari preganglion saraf simpatis.
2) Pelepasan kortisol dari aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.
f) Fisiologi respons stress
Hormone-hormon katekolamin seperti adrenalin, noradrenalin, dan
dopamine. Memfasilitasi reaksi fisis langsung untuk mempersiapkan kerja otot
yang kuat (memukul, menerjang atau lari). Persiapan ini terdiri atas reaksi
fisiologis berikut.
Akselerasi kontraksi kronotropik dan inotropik jantung dan paru-paru
Inhibisi kontraksi usus
Kontriksi pembuluh darah kulit
Mobilisasi nutrisi untuk kontraksi otot
Dilatasi pembuluh darah otot dan otak
Inhibisi kelenjar lakrimal dan parotis
Dilatasi pupil mata
Relaksasi kandung kemih
Inhibisi ereksi
g) Siklus hormone-stress melalui aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
72
Tubuh bereaksi terhadap stress melalui siklus hormone stress dengan 2
agen kimiawi, yaitu hormone di darah dan neurotransmitter di otak. Beberapa
neurotransmitter memiliki struktur kimiawi yang sama dengan hormone, tetapi
berperan dalam kapasitas berbeda. Karena siklus ini melibatkan tiga organ
utama, yaitu hipotalamus, hipofisis dan adrenal, siklus hormone-stress
dianggap sebagai aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.
Hormone beredar di seluruh tubuh, mengubah metabolisme nutrisi
sehingga otak dan otot memiliki cadangan energi yang cukup untuk Fight or
Flight dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Upaya tersebut sekaligus
berperan dalam sebagai mekanisme penanganan sumber stress. Untuk
mendorong aktivitas tersebut, neurotransmitter di otak mencetuskan emosi
seperti agresivitas atau ansietas.
CRF dan ACTH merupakan agen kimiawi yang berfungsi ganda sebagai
hormone dan neurotransmitter. Bila hormone ini juga berfungsi sebagai
neurotransmitter, zat tersebut berperan dalam pencetusan respons emosional
terhadap stress.
Siklus hormone stress dikendalikan oleh beberapa stimulant kimiawi
selain CRF dan ACTH dan juga oleh beberapa inhibitor kimiawi selain
kortisol baik di otak maupun dalam darah. Salah satu opioid, dengan struktur
kimawi yang menyerupai opioid. Penelitian oleh Kreek pada tahun 1998 juga
menemukan bahwa peptide opioid menghambat pelepasan CRF dan
neurotransmitter lain yang berkaitan dengan stress di otak sehingga inhibisi
emosional terjadi pada keadaan stress.
Dikutip dari NDA Research Findings, volume 14, number 1 (1999).
Dalam keadaan normal, hormone stress dilepaskan dalam jumlah
kecil sepanjang hari. Namun, ketika menghadapi stress, kadar hormone ini
meningkat secara dramatis. Awal pelepasan hormone stress di mulai di
otak. Pertama-tama, corticotrophin-releasing factor (CRF) dilepaskan dari
otak ke aliran darah sehingga mencapai kelenjar hipofisis yang berlokasi
tepat di bawah otak. Di lokasi ini CRF merangsang pelepasan hormone
adrenokortikotropin (ACTH), yang selanjutnya melepaskan berbagai
hormone glukokortikoid. Hormone glukokortikoid yang paling utama
73
dalam siklus hormone stress adalah kortisol dari kelenjar adrenal.kortisol
beredar di seluruh tubuh untuk membantu mekanisme stress. Bila
stressornya kecil, setibanya di otak dan kelenjar hipofisis, kortisol tersebut
akan menghambat pelepasan lebih banyak CRF lebih kuat dari sinyal
penghambat kortisol, dan siklus hormone stress akan terulang kembali.
h) Interaksi Neurobiologis pada mekanisme penanganan stress akut
Hampir seua perilaku manusia bertitik tolak dari motivasi penanganan
keadaan disforik. Substrat biologis motivasi adalah system reward
mesolimbik yang terdiri atas area tegmental ventral (AVT), nucleus
accumbens (NAc), pada pengendalian korteks prefrontalis. Prasyarat utama
untuk formulasi motivasi ditentukan oleh keadaan awas/ waspada dengan
substrat biologis di locus cereleus dengan aktivitas pada tingkat basal.
Dikutip dari Konsten and Gorge. The Neurobiology of opioid
dependence. NIDA science perspectives, 2002.
Dalam keadaan awas, sesuatu terjadi seperti kemacetan. Di dalam
diri, korteks prefrontalis menganggap harus tepat waktu karena tuntutan
pekerjaan. Kemacetan berperan sebagai stress ancaman. Terjadi penekanan
terhadap aktivitas GABA sebagai neurotransmitter penghambat. Korteks
prefrontalis memutuskan memacu mobil dengan motivasi “tidak
terlambat” sebagai mekanisme penanganan stress. Nucleus amygdale
mencetuskan kondisi “flight or fight”. Aktivitas siklus hormone-stress
pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal meningkat sehingga kadar
noradrenalin meningkat. Kadar hormone glukokortikoid terutama kortisol
meningkat tajam. Aktivitas locus cereleus meningkat dan noradrenalin
terdistribusi ke seluruh organ yang berperan pada siklus hormone-stress.
Akibatnya, respons simpatis meningkat dan timbul keadaan emosional
disforik. Kita menjadi sensitive dan mudah marah. Hambatan GABA
memicu reaksi kaskade yang memicu pelepasan serotonin (5-HT) dari
AVT. Pelepasan serotonin memicu pelepasan dopamine ke NAc sebagai
dopamine bebas. Dopamine bebas akan mencegah penurunan aktivitas
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Kadar noradrenalin tetap tinggi di atas
74
basal. Keadaan ini disebut stress akut. Kita berada pada tahap peringatan
sindorm adaptasi umum. Bila kita sampai di tempat kerja, motivasi kita
berarti terpenuhi, dopamine terikat pada reseptor DRD2 di NAc,
penurunan ke tingkat basal terjadi pada aktivitas locus cereleus, kadar
noradrenalin dan aktivitas aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Respons
simpatis berakhir, kadar kortisol menjadi turun dan timbul perasaan
nyaman.
Recommended