KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN SATU HARGA BBM PT. PERTAMINA
(PERSERO) DITINJAU UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003
TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MOSLEM BRILLIANT ATH THORIQ
NIM : 11150480000169
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
iv
ABSTRAK
MOSLEM BRILLIANT ATH THORIQ, NIM 11150480000169, “KEBIJAKAN
PEMBERLAKUAN SATU HARGA BBM PT. PERTAMINA (PERSERO) DITINJAU
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK
NEGARA”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440H/2019M, viii + 79 halaman + 4 halaman daftar
pustaka + 6 halaman lampiran.
Permasalahan pada skripsi ini adalah PT. Pertamina (Persero) berada pada 2 aturan
Perundang-undangan yang memiliki legalitas hukum yang kuat. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mencari
referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui literatur seperti buku, bahan ajar
perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, undang-undang, dan hasil dokumen serta wawancara dari
pihak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah Implikasi kebijakan
pemberlakuan satu harga BBM terhadap PT. Pertamina (Persero) yang tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan pendirian Persero pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
Badan Usaha Milik Negara, dalam praktiknya bahwa PT. Pertamina (Persero) telah
melanggar Pasal 12 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara yaitu mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan akan tetapi PT.
Pertamina (Persero) mengalami kerugian dalam menjalankan Kebijakan Pemberlakuan Satu
Harga BBM..
Kata Kunci : BUMN, Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM, PT. Pertamina (Persero)
Pembimbing : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1968 - 2014
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat,
hidayat, dan juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG
BADAN USAHA MILIK NEGARA TERHADAP KEBIJAKAN
PEMBERLAKUAN SATU HARGA BBM OLEH PT. PERTAMINA
(PERERO)”. Sholawat serta salam tidak lupa tercurah oleh peneliti kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari
zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada saat ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh
peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan
skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para pihak
yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, saya ucapkan banyak terimakasih atas
kesempatan waktu, arahan, dan kritik, serta saran yang diberikan demi
penelitian yang saya lakukan.
4. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Pembimbing Skripsi peneliti, saya ucapkan
banyak terimakasih atas kesempatan waktu, arahan, dan kritik, serta saran
yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
5. Ria Safitri S.H., M.Hum, dosen Hukum Perbankan dan Hukum Jaminan yang
selalu membantu mahasiswa semester sebelum akhir untuk konsultasi terkait
judul proposal skripsi
6. M. Fansrullah Asa, selaku Kepala BPH Migas RI yang sudah
memperbolehkan saya meminta data terkait Kebijakan Satu Harga BBM dan
juga rekan-rekan BPH Migas Ayu, Agustinus Yanuar, Ade Irwan S.H., M.H.,
Andi Purdyanto terima kasih bapak/ibu yang sudah meluangkan waktunya
untuk membantu saya meminta data dalam hal wawancara
7. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
8. Orang tua dan adik peneliti Anton Kusrinanto Ath Thoriq, Imas Masitoh,
Moslem Philosophy Ath Thoriq, Islamic Paradigma Ath Thoriq, Moslem
Steady Qur’anic Ath Thoriq yang selama ini telah memberikan semangat,
vi
motivasi dan paling terbesar yaitu selalu memberikan doa kepada peneliti
dalam setiap perjalanan untuk pembuatan skripsi ini.
9. Nila Nurlaelasari, S.T. yang dari awal telah menemani mendukung,
memberikan motivasi dan saran kepada peneliti. Terimakasih banyak telah
bersama peneliti dari awal perkuliahan sampai saat ini.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat
kekurangan dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan
untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian
dan Terima kasih.
Jakarta, 18 Juni 2019
Moslem Brilliant Ath Thoriq
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEEMBIMBING ......................................
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................
LEMBAR PENYATAAN ............................................................................
ABSTRAK ....................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN ...........................................................................
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ...............
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................
D. Metode Penelitian ..................................................................
BAB II: TINJAUAN UMUM BADAN USAHA MILIK NEGARA ........
A. Badan Usaha Milik Negara ....................................................
B. Jenis-Jenis Badan Usaha Milik Negara ..................................
C. Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State) ..........................
D. Teori Politik Hukum ..............................................................
E. Teori Utilities .........................................................................
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .....................................
BAB III: KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN SATU HARGA BBM ......
A. PT. Pertamina Sebagai Badan Usaha Milik Negara ...............
B. Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM ...........................
1. Faktor-Faktor Latar Belakang Kebijakan Pemberlakuan
Satu Harga Terhadap PT. Pertamina (Persero) ..................
a) Faktor Politik.................................................................
b) Faktor Ekonomi ............................................................
c) Faktor Geografi 3T .......................................................
d) Faktor Social Responsibility .........................................
BAB IV: IMPLIKASI HUKUM KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN
SATU HARGA BBM TERHADAP PT. PERTAMINA
(PERSERO) ...............................................................................
A. Legalitas PT. Pertamina (Persero) dalam Mengambil
Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM ...........................
1. Analisis Bedasarkan Teori Politik Hukum ........................
2. Analisis Bedasarkan Teori Utilities ...................................
B. Analisis Implikasi Hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu
Harga BBM Oleh Perusahaan Perseroan (PT. Pertamina) Di
Banding Perusahaan Umum ...................................................
1. Analisis Filosofis ...............................................................
2. Analisis Yuridis .................................................................
3. Analisis Sosiologis ............................................................
BAB V: PENUTUP ......................................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................
B. Rekomendasi ..........................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
viii
1
1
8
9
10
12
12
14
17
19
24
25
30
30
34
40
40
41
44
46
47
47
47
50
52
52
64
74
78
78
79
viii
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
LAMPIRAN ..................................................................................................
80
85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah lima belas tahun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara diundangkan. Namun selama itu pula
Undang-Undang ini masih menuai kontroversi terkait dengan pemerintah yang
merupakan sektor penting bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak di
Indonesia. Badan usaha milik negara (BUMN) dahulu dikenal
sebagai perusahaan negara (PN) yaitu perusahaan yang dimiliki baik
sepenuhnya, sebagian besar, maupun sebagian kecil oleh pemerintah dan
pemerintah memberi kontrol terhadapnya. Yang membedakan BUMN dengan
badan lain milik pemerintah adalah status badan hukum dan sifat
operasionalnya (seperti aktivitas dan tujuan komersialnya). Meski BUMN
berperan dalam melaksanakan kebijakan publik (misalnya perusahaan
perkeretaapian milik negara bertujuan untuk mempermudah akses dan
mobilitas masyarakat), BUMN harus dibedakan dari kementerian, lembaga
pemerintah nonkementerian, nonstruktural, dan badan layanan umum.
Memasuki tahun 1990-an1 mulai terasa BUMN yang begitu banyak dan
begitu kaya ternyata tidak mampu memberika kontribusi yang memadai bagi
negara. Pada tahun 1990/1991 kontribusi BUMN dari dividen terhadap total
penerimaan bukan pajak adalah Rp. 1,096 triliun terhadap Rp. 2,383 triliun
atau sekitar 46%. Pada tahun 1995/1996 kontribusi BUMN dari dividen
terhadap total penerimaan bukan pajak bukan pajak adalah Rp. 1,477 triliun
terhadap Rp. 7,801 triliun atau sekitar 14% saja. Jadi kontribusi BUMN dari
dividen terhadap pendapatan bukan pajak antara tahun 1990/1991 – 1995/1996
merosot 32% atau mengalami kemerosotan rata-rata 6,4% per tahun.
1Riant Nugroho D & Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN, (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2008), h. Xvii
2
Perolehan negara dari pendapatan pajak penghasilan (Pph) BUMN
terhadap total penerimaan pajak pada tahun 1990/1991 adalah Rp. 1,438 triliun
terhadap Rp. 3,489 triliun. Atau memberikan kontribusi 41,2% terhadap total
penerimaan pajak. Perolehan negara dari pendapatan pajak penghasilan (Pph)
BUMN terhadap total penerimaan pajak pada tahun 1995/1996 adalah senilai
Rp. 2,020 triliun terhadap Rp. 20,52 triliun atau hanya 9,8%. Jadi
kontribusinya merosot menjadi 9,8% . akibatnya, antara tahun 1990/1991 –
1995/1996 terjadi kemerosotan relatif kontribusi kontribusi BUMN dari PPh ke
total penerimaan pajak sebesar 31,4%.
Banyak BUMN berbentuk Persero kemudian menjadi Persero Terbuka,
misalnya PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT. Kimia Farma (Persero) Tbk,
PT. Waskita Karya (Persero) Tbk, dan lain-lainnya yang menunjukkan sebagai
perusahaan-perusahaan BUMN yang telah menjual saham-sahamnya kepada
publik. Padahal, sebagai milik negara, perusahaanperusahaan tersebut modal
dan pendiriannya dilakukan oleh negara melalui penyertaan secara langsung
dari kekayaan negara yang dipisahkan.2
Munir Fuady menjelaskan, akuisisi perusahaan merupakan tindakan
untuk mengambilalih suatu perusahaan oleh perusahaan lain yang biasanya,
tetapi tidak selamanya, dicapai dengan membeli saham biasa dari perusahaan
lain.7 Pengambilalihan atau akuisisi oleh perusahaan-perusahaan BUMN
tersebut menyebabkan terdapat sejumlah besar maupun kecil kepemilikan atas
saham-sahamnya yang dapat berupa seluruh saham-saham perusahaan
merupakan milik perusahaan yang didirikan oleh suatu perusahaan yang
bergabung dalam BUMN, maupun kepemilikan kecil atau yang tidak bersifat
mayoritas atas saham-saham suatu perusahaan.3 Perusahaan-perusahaan yang
bernaung dalam suatu induk perusahaan atau suatu group ini, dijelaskan oleh
Rudhi Prasetya, sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan holding adalah suatu
2Januwianti Atikah, “KAJIAN HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN MODAL TERHADAP
BADAN USAHA MILIK NEGARA MENJADI BADAN USAHA MILIK SWASTA”, Lex Crimen,
Vol V No. 3, 2016, h. 2 3Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 2-3
3
tatanan di antara sejumlah perseroanperseroan yang secara yuridis
masingmasing merupakan subjek hukum yang mandiri satu terhadap yang lain
(separate legal entity), tetapi sebenarnya kesemuanya merupakan satu kesatuan
ekonomis. Secara ekonomis kepemilikannya mayoritas berada di satu tangan.”4
Perseroan Terbatas. merupakan perusahaan yang oleh Undang-Undang
dinyatakan sebagai perusahaan yang berbadan hukum. Dengan status yang
demikian itu, Perseroan Terbatas menjadi subjek hukum yang menjadi
pendukung hak dan kewajiban, sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas
memiliki kedudukan mandiri (persona stand injudicio) yang tidak tergantung
kepada pemegang sahamnya. Perseroan Terbatas juga harus organ yang dapat
mewakili Perseroan Terbatas atau perseroan yang menjalankan perusahaan.
Hal ini berarti Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan-perbuatan
hukum seperti seorang manusia dan dapat pila mempunyai kekayaan atau utang
(ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya).5 Walaupun suatu badan hukum
itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran/kehendak, akan tetapi
menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori yang
lazim dianut, kehendak dari persero pengurus dianggap sebagai kehendak
Perseroan Terbatas. Perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas nama
Perseroan Terbatas, pertanggung jawabannya terletak pada Perseroan Terbatas
dengan semua harta bendanya.6
Beberapa pertimbangan mengapa.dipilih bentuk Perseroan Terbatas (PT)
sebagai bentuk badan hukumusaha dalam melakukan kegiatan bisnis. Menurut
Normin S Pakpahan faktor-faktor tersebut antara lain:7
4 Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas. Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 144
5 Ery Arifudin," Tanggung Jawab Direksi dalam Pembellan Kembali Saham oleh Perseroan
Terbatas." Jurnal Hukum dan Keadilan Vol. 2 No.1 Oktober1999. h. 24 6 C.S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi). (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 1995). h. 23 7 Normin S. Pakpahan. "Perseroan Terbatas Sebagai Instumen Kegiatan Ekonomi." Jurnal
Hukum Bisnis Vol. 2/1997. h. 75
4
1. Kedudukan yang mandiri dari perseroan terbatas. Perseroan Terbatas oleh
hukum dipandang berdlri sendiri otonom terlepas dari orang perorangan
yang berada dalam PT tersebut. di satu pihak PT merupakan wadah
himpunan orang-orang yang, mengadakan kerjasama dalam PT, di lain
pihak segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerjasama dalam PT
tersebut, oleh hukum dipandang sematamata sebagai perbuatan badan itu
sendiri.
2. Pertanggung jawaban yang terbatas, pertanggung jawaban dibebankan
kepada harta. kekayaan yang terhimpun dalam asosiasi. In! berarti beban
resiko (equity) sebagai suatu kegiatan ekonomi terbatas pada kekayan
perseroan.
3. Adanya mobiiitas atas hak penyertaan, dampak positif dari konstruksi ini
adalah terjaganya keutuhan modal yang telah terkumpul, tanpa adanya
kemungkinan dimlntanya kembali bagiannya yang telah . disetor ke
perseroan, kecuali bila sekalian pemegang saham setuju membubarkan
perseroan.
4. Prinsip pengurus oleh suatu organ sebagai suatu modal, perseroan terbatas
terdiri dari banyak-pemegang saham. Jumiah yang amat banyak dari
pemegang saham tersebut tidak mungkin semuanya menjadi pengurus.
5. Persyaratan hukum banyak dari hukum positif Indonesia mesyaratkan
bahwa kegiatan usaha atau bisnis tertentu harus dilakukan oleh badan
hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas.
6. Melalui Persroan Terbatas Terbuka.
a. Dimungkinkan pengerahan dana masyarakat untuk memperoleh dana
bagi kepentingan perkembangan sahaam.
b. Masyarakat memperoleh kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan
ekonomi yang dapat memberikan keuntungan.
c. Dapat terjadi pemerataan kesejahteraan kepada masyarakat luas melalui
kepemilikan dan jual beli saham.
d. Akan meningkatkan tanggung jawab sosial suatu Perseroan Terbatas dan
sekaligus menunjukan Perseroan Terbatas berada dalam pengamatan dan
5
kontrol masyarakat, baik melalui pemegang saham, ataupun, melalui
pasar modal.
Menurut Sri Rejeki Hartono sendiri PT menjadi suatu badan hukum
usaha banyak dipiilh oleh masyarakat oieh. karena PT. mempunyai nilai-nilai
leblh baik ditinjau dari aspek ekonomi sendiri maupun dan aspek yundisnya.
Kedua aspek tersebutadalahsaling menglsl satu terhadap yang lain. Sedangkan
aspek hukumnya memberikan rambu-rambu pengamahserta mengaturagar
keseimbangan kepentlngan semua plhak dapat diterapkan dengan sebaik-
baiknya dalam rangka menjalankan-kegiatan ekonomi.8
Dalam rangka mewujudkan energi berkeadilan, Presiden Jokowi telah
mencanangkan Program BBM Satu Harga di seluruh wilayah. Program BBM
Satu Harga bertujuan agar harga BBM yang sama dapat dinikmati oleh rakyat
di seluruh Indonesia, khususnya di kawasan timur dan daerah 3T (tertinggal,
terdepan, dan terluar).
Menindaklanjuti arahan tersebut, Kementerian ESDM telah menetapkan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pemberlakuan Satu Harga Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus
Penugasan Secara nasional.
Peraturan Mentri ini mengamanatkan agar badan usaha yang
menyalurkan BBM bersubsidi segera mendirikan penyalur di lokasi-lokasi
yang belum terdapat penyalur jenis BBM Tertentu dan jenis BBM Khusus
Penugasan. Kementerian ESDM menargetkan mampu menjangkau 154 lokasi
penyalur BBM Satu Harga hingga tahun 2019. Tahun 2017 ini, pemerintah
menargetkan mampu membangun 50 lokasi penyalur. Hingga 8 Desember
2017.
Pertamina telah mencatatkan pembangunan 37 titik lokasi penyalur.
Pertamina sebagai lokomotif perekonomian bangsa Pertamina merupakan
8 Johari Santoso, “Perseroan Terbatas Sebagai Institusi Kegiatan Ekonomi Yang Demokratis”,
Jurnal Hukum, Vol. 7 No. 15, 2007. h. 197
6
perusahaan milik negara yang bergerak di bidang energi meliputi minyak, gas
serta energi baru dan terbarukan. Ke depan, Pertamina masih memiliki tugas
untuk menyelesaikan pembangunan 117 lokasi penyalur hingga tahun 2019.
Dibutuhkan sinergi yang kuat antara Kementerian ESDM, Pertamina, dan stake
holder tarkait untuk menyelesaikan target yang sudah diberikan oleh Presiden
Jokowi tersebut.
Menurut Kurtubi pakar migas Indonesia menjelaskan bahwa “Indonesia
memiliki cadangan migas yang besar, diperkirakan mencapai 50 milyar barrel,
dengan tingkat konsumsi saat ini masih cukup untuk 100 tahun ke depan.9
Besarnya cadangan energi migas dan keuntungan yang didapat dari sektor ini
membuat negara semestinya mampu mengelolanya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Pasca reformasi, diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan GasBumi oleh Presiden Megawati. Pandangan
pemerintah sebagaimana tercermin dalam penjelasan umum pemerintah
mengenai Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi meyakini bahwa
dalam menata industri Migas kedepan, salah satu hal yang harus dilakukan
adalah memisahkan secara lebih tegas fungsi pembinaan dan pengawasan
sebagai regulator dan fungsi pelaksana atau bisnis.10
Presiden Joko Widodo menyadari konsekuensi dari keputusannya
menetapkan harga bahan bakar minyak di Papua sama dengan daerah lain akan
merugikan PT Pertamina. Sebab, dibutuhkan biaya logistik yang cukup besar
untuk menyalurkan BBM tersebut ke wilayah Papua yang masih sulit
dijangkau oleh layanan transportasi umum. Deputi Bidang Statistik Distribusi
dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo menyebut,
kebijakan BBM satu harga yang dikeluarkan Presiden RI Joko Widodo akan
9 Salamudin Daeng, “Kenaikan Harga BBM adalah kebijakan Pro-Nekolim dan Anti Rakyat”,
Free Trade Watch, Edisi I Maret 2012, Anomali Kebijakan Minyak Nasional, Indonesia Global
Justice,Jakarta:2012, h.85 10
Syaiful Bakhri, Hukum Migas Telaah Penggunaan Hukum Pidana Dalam Perundang-
Undangan, (Yogyakarta: Total Media, 2012), h. 84
7
berpengaruh terhadap harga bahan pokok. Seperti harga pangan yang menurun,
karena harga bensin yang digunakan angkutan dalam distribusi pangan
menurun. Terlebih lagi, harga kebutuhan pokok akan meningkat akibat cuaca
ekstrem. Sehingga, dengan kebijakan tersebut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan,
mengatakan meski Pertamina mengalami kerugian, namun hal tersebut dinilai
masih sangat kecil dibanding pendapatan perseroan, tidak masalah (biaya
logistik) mahal, lagipula secara keseluruhan bisnis Pertamina tidak rugi. Akan
tetapi mencapai keuntungan Rp 40 triliun, kerugiannya cuman Rp 800 miliar
atau 2 persen.
Dibalik penentuan harga BBM yang lebih lanjut mempertanyakan peran
dan posisi negara yang berpijak pada sudut pandang yang berbeda mengenai
paham negara kesejahteraan. Konsep negara kesejahteraan erat berhubungan
dengan tindakan negara dalam konsep penguasaan, pengelolaan dan
pengusahaan dan penentuan harga migas.
PT Pertamina dengan status (Persero) sebagai BUMN dalam
menjalankan Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga yang bertentangan dengan
maksud dan tujuan BUMN untuk mengejar keuntungan. Kebijakan ini akan
lebih efektif apabila di berlakukan terhadap BUMN berstatus PERUM agar PT.
Pertamina (Persero) dapat sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian
PERSERO yaitu menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
berdaya saing kuat, dan mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai
perusahaan. Dengan melihat latar belakang tersebut, peneliti sangat tertarik
untuk membahas masalah ini dengan mengambil judul : “Kebijakan
Pemberlakuan Satu Harga BBM PT. Pertamina (Persero) Ditinjau Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
8
Bedasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan didalam latar
belakang maka identifikasi masalah meliputi :
a. Mekanisme dan Konsep Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM
Secara Nasional
b. Eksistensi PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara
c. Aspek Hukum dari Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM Secara
Nasional
d. Maksud dan Tujuan Perseroan dalam kegiatan usaha
e. Maksud dan Tujuan BUMN sebagai perintis kegiatan usaha
2. Pembatasan Masalah
Bedasarkan Untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan
meluasnya penelitian ini, maka peneliti membatasi pada uraian latar
belakang permasalahan yang sudah diungkapkan, maka pembahasan ini
berfokus pada satu titik permasalahan, peneliti ingin mengananlisis masalah
secara keilmuan mengenai implikasi hukum kebijakan pemberlakuan satu
harga terhadap PT. PERTAMINA (Persero) sebagai BUMN.
3. Perumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka peneliti
rumuskan masalah berikut : Eksistensi PT. Pertamina (Persero) sebagai
Badan Usaha Milik Negara dalam menjalankan Kebijakan Pemberlakuan
Satu Harga Secara Nasional. Untuk mempertegas arah dari masalah utama
yang telah diuraikan di atas maka peneliti menjabarkan penulisan ini
melalui rincian perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan :
a. Apa dasar legalitas PT. Pertamina (Persero) dalam Mengambil Kebijakan
Pemberlakuan Satu Harga BBM ?
b. Bagaimana implikasi hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM
Terhadap PT. Pertamina (Persero) dan Masyarakat ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
9
1. Tujuan Penelitian
Bedasarkan latar belakang dalam penelitian ini peneliti mencoba
menggambarkan tujuan untuk:
a. Untuk mengetahui hukum yang mengatur Kebijakan Pemberlakuan Satu
Harga Secara Nasional oleh PT. PERTAMINA sebagai Badan Usaha
Milik Negara berstatus Perusahaan Perseroan.
b. Untuk memberikan pemahaman terkait implikasi hukum Kebijakan
Pemberlakuan Satu Harga terhadap PT. Pertamina (Persero)
c. Untuk memberikan pemahaman terkait faktor-faktor yang mendorong
Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan hukum di Indonesia terutama mengenai paham negara
kesejahteraan dan memenuhi konsep energi berkeadilan.
b. Kegunaan Praktis
Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan bagi peneliti
khususnya mengenai aspek hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga
yang sudah berlaku selama dua tahun di Indonesia.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yang termasuk
penelitian hukum normatif, yaitu penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya, yang
dibangun berdasarkan objek hukum itu sendiri. 11
Penelitian hukum
normatif merupakan objek kajian yang meliputi keputusan pengadilan, serta
literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok bahasan. Tipe penelitian
11
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , (Surabaya:
Bayumedia Publishing, 2005), h. 57
10
hukumnya adalah analisis yuridis dari norma-norma hukum yang berkaitan
dengan pokok bahasan terutama dalam proses penyelesaian perkara perdata.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach), dimana penelitian ini dilakukan dengan menelaah Undang-
undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum
3. Sumber Data Sekunder
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka.12
Sumber
data dalam penelitian ini adalah:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum (perundang-undangan) Peraturan perundang-
undangan yangberkaitan dengan masalah yang dikaji, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara
3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
4) Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan,
Pendistribusian, Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
5) Peraturan Mentri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Dan
Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadapbahan hukum primer, seperti makalah: buku, hasil lokakarya,
seminar,simposium, diskusi, dan hasil-hasil penelitian, tesis dan disertasi,
12
Soerjono Soekanto dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011, cet.XIII, edisi I,), h. 12
11
serta tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan obyek
penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang diperoleh baik dari bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, kamus bahasa Indonesia,
ensiklopedia, artikel-artikel pada majalah/Koran/internet dan sebagainya.
4. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan
upaya untuk mencari dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, artikel dan jurnal hukum yang relevan dengan
penelitian agar dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk
memecah suatu masalah.13
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan yang sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017
13
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera,
2009), h. 56
12
BAB II
TINJAUAN UMUM BADAN USAHA MILIK NEGARA
A. Badan Usaha Milik Negara
Perusahaan atau badan usaha dapat dibedakan menjadi beberapa kategori,
yaitu:1
1. Dilihat dari asal modalnya.
a. Dalam negeri (PMDN).
1). BUMN
2). Swasta nasional.
b. Asing (PMA) dan asing (campuran)
2. Dilihat dari ada tidaknya badan hukum.
a. Perusahaan berbadan hukum.
1) Badan Usaha Milik Daerah.
2) Badan Usaha Milik Swasta.
a) Perseroan Terbatas (PT), bedasarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007.
b) Koperasi, bedasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992.
c) Yayasan, bedasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
3) Badan Usaha Milik Negara, bedasarkan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003,
a) Perusahaan Perseroan.
b) Perusahaan Umum (Perum).
c) Perusahaan Jawatan (Perjan), bedasarkan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 sudah tidak eksis lagi
Berdasarkan kriteria jumlah pemilik perusahaan diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan. Perusahaan
perseorangan didirikan dan dimiliki oleh satu orang pengusaha, sedangkan
1 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Penerbit Pustaka Yustitia, 2009), h. 4
13
perusahaan persekutuan didirikan oleh beberapa orang pengusaha yang bekerja
sama dalam satu persekutuan. Apabila klasifikasi berdasarkan kepemilikannya,
perusahaan dibagi menjadi perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh
pihak swasta, sedangkan perusahaan negara didirikan dan dimiliki oleh negara
biasa disebut dengan BUMN. Berdasarkan klasifikasi bentuk hukum,
perusahaan dibagi atas perusahaan badan hukum dan perusahaan bukan badan
hukum. Perusahaan badan hukum adalah kepemilikan swasta, yaitu Perseroan
Terbatas (PT) dan Koperasi, adapula yang dimilki oleh negara, yaitu
Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Perseroan (PERSERO).2
Definisi BUMN menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan. BUMN dibentuk sebagai perwujudan upaya pencapaian tujuan
pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.3
Badan usaha merupakan tiang-tiang perekonomian yang terdapat dalam
sebuah negara, pada umumnya badan usaha terbagi menjadi dua yaitu badan
usaha tidak berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum. Di
Indonesia pada umumnya badan usaha yang paling berpengaruh terhadap
perekonomian terbagi menjadi dua yaitu Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)
dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMS merupakan jenis-jenis usaha
yang keseluruhan permodalannya dimiliki swasta sedangkan menurut
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK 00/1989 yang dimaksud
dengan BUMN adalah Badan Usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara,
atau badan usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara tetapi statusnya
disamakan dengan BUMN yaitu :4
2 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2010), h. 8 3 Gunarto Suhardi, Revitalisasi BUMN, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2007), h. 1 4 Pandji Anoraga, BUMN, Swasta dan Koperasi Tiga Pelaku Ekonomi, (Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya, 1995), h. 1
14
1. BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan pemerintah
daerah
2. BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN
lainnya.
3. BUMN yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta
nasional/asing dimana negara dimiliki saham mayortas minimal 51%
BUMN dapat juga bisa berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk
menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat. Sejak tahun 2001 seluruh
BUMN dikoordinasikan pengelolaannya oleh Kementerian BUMN, yang
dipimpin oleh seorang Menteri BUMN. Perlu diketahui bahwa BUMN menjadi
aset penting bagi negara Indonesia, karena penghasilan dari bisnis ini akan
masuk ke dalam kas negara dan digunakan untuk membayar utang negara,
membayar administrasi, dan kelengkapan ketika melakukan ekspor dan impor
atau kerja sama Internasional dengan negara lain. Dapat dibayangkan ketika
negara tidak memiliki BUMN, maka negara akan mengalami kerugian yang
sangat besar dan utang semakin menumpuk serta efek paling besar adalah
perekonomian negara tidak akan berkembang.
B. Jenis-Jenis Badan Usaha Milik Negara
Istilah Badan Usaha Milik Negara mulai muncul ke permukaan sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 Tentang Bentuk-
bentuk usaha negara menjadi undang-undang. Dalam Pasal 1 disebutkan
kecuali dengan atau bedasarkan bedasarkan undang-undang, ditetapkan lain,
usaha-usaha Negara berbentuk Perusahaan dibedakan dalam:5
1. Perusahaan Jawatan disingkat Perjan;
2. Perusahaan Umum disingkat Perum;
3. Perusahaan Perseroan disingkat Persero;
5 Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Dalam Peraturan Perundang-undangan, (Bandung:
Penerbit Nuansa Aulia, 2006), h. 14
15
Hal ini berarti di luar ketiga bentuk ini dimungkinkan didirikan BUMN
asal didirikan dengan Undang-Undang. Sebagai contoh adalah pendirian
Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) didirikan
bedasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Dalam perkembangannya
BUMN mengalami perubahan-perubahan antara lain adalah adanya BUMN
yang berbentuk Perusahaan Perseroan, Perusahaan Perseroan Terbuka, maupun
Perusahaan Umum. Bentuk-bentuk badan usaha dalam BUMN ini tunduk pada
aturan masing-masing yang bersifat lex spesialis, contohnya seperti BUMN
yang berbentuk perseroan akan tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan begitupula dengan bentuk-
bentk lainnya. BUMN merupakan badan hukum yang berbentuk perusahaan
negara, dimana kata perusahaan dalam bahasa Indonesia memiliki dua
pengertian, yaitu :6
1. Onderneming, yang berarti suatu bentuk hukum (rechsform) dari suatu
perusahaan misalnya PT (NV), Firma, Persekutuan Komanditer (CV). Jadi
jika dikatakan onderneming, maka yang dimaksudkan adalah menunjuk
pada bentuk hukumnya dan ini dapat berbentuk dua macam yaitu Badan
Hukum atau Bukan Badan Hukum.
2. Bedriff, yang berarti kesatuan teknik untuk produksi seperti misalnya
Huisvlijt (home industri/industri rumah tangga atau perumahan), Nijverheid
(Kerajinan atau suatu keterampilan khusus), Fabriek (Pabrik).
Sesuai dengan pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 menyatakan
bahwa Badan Usaha Milik Negara terdiri dari Persero dan Peum
1. Perusahaan Perseroan
Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah Badan Usaha
Milik Negara yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi
dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuannya adalah
6 R.T. Sutantya R. Hadikusuma, S.H. dan Dr. Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum
Perusahaan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 3
16
menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing
kuat dan juga mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai
dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis
dan Menteri Keuangan. Pelaksanaan pendirian Persero dilakukan oleh
Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangan-
undangan. Maka organ Persero adalah RUPS, Direksi, dan Komisaris.
Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero
dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero
dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh
negara dan Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada
perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS.
Pihak yang menerima kuasa wajib terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai:
a. perubahan jumlah modal;
b. perubahan anggaran dasar;
c. rencana penggunaan laba;
d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta
pembubaran Persero;
e. investasi dan pembiayaan jangka panjang;
f. kerja sama Persero;
g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;
h. pengalihan aktiva.
2. Perusahaan Umum
Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum adalah Badan
Usaha Milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak
terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
17
keuntungan bedasarkan prinsip pengolahan perusahaan yang sehat dan
Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan
dengan persetujuan Menteri, maka Perum dapat melakukan penyertaan
modal dalam badan usaha lain.
Pendirian Perum diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai
dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis
dan Menteri Keuangan. Perum yang didirikan memperoleh status badan
hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian, pembinaan,
pengurusan, dan pengawasan Perum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Maka organ Perum adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas.
Menteri memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha
Perum yang diusulkan oleh Direksi. Kebijakan pengembangan usaha
diusulkan oleh Direksi kepada Menteri setelah mendapat persetujuan dari
Dewan Pengawas. Kebijakan ditetapkan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perum yang bersangkutan.
C. Teori Negara Kesejahteraan (welfare state)
Karena Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok ata
beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup
di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.7 Dan
kesejahteraan meripakan kesejahteraan masyarakat dan perorangan.
Kesejahteraan masyarakat adalah kesejahteraan semua perorangan secara
keseluruhan anggota masyarakat. Dalam hal ini kesejahteraan yang
dimaksudkan adalah kesejahteraan masyarakat. Dan kesejahteraan perorangan
adalah kesejahteraan yang menyangkut kejiwaan (state of mind). Perorangan
yang diakibatkan oleh pendapatan kemakmuran dan factor-factor ekonomi
lainnya.
7 Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Renaka Cipta,
2001), h. 64
18
Dari Negara bagian barat seperti di Negara Inggris, konsep Welfare state
dipahami sebagai alternative terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan
stigma, karena hanya ditujukan untuk member bantuan bagi orang-orang
miskin. Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, Negara kesejahteraan
difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga
bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of
citizenship), di satu pihak, dan kewajiban Negara (state obligation), di pihak
lain. Negara kesejahteraan ditujukan orang tua dan anak-anak, pria dan wanita,
kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk
mengintegrasikan system sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan
yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga
Negara secara adil dan berkelanjutan
Dari pandangan Esping Anderson (1990), bahwa Negara kesejahteraan
bukanlah satu konsep dengan pendekatan baku. Negara kesejahteraan lebih
sering ditengarai dari atribut-atribut kebijakan pelayanan dan transfer sosial
yang disediakan oleh Negara (pemerintah) kepada warganya, sepertin
pelayanan pendidikan, transfer pendapatan, pengurangan kemiskinan, sehingga
keduanya (Negara kesejahteraan dan kebijakan sosial) sering diidentikan.8
Negara kesejahteraan, pada dasarnya, mengacu pada peran Negara yang
aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamanya
mencakup tanggung jawab Negara untuk menjamin ketersediaan pelayan
kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya.
Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan
pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi)
dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh melalui
perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh Negara.
Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan
untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan
8 Siswo Yudo Husodo, Mimpi Negara Kesejahteraan, (Jakarta: Penerbit Pengantar, 2006), h. 8
19
menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam
suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonis dan penuh pertentangan.
Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan
yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara
menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat
digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau
asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat
mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya
ke arah tujuan bersama.
Ide dasar konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara untuk
mengelola semua sumber daya yang ada demi mencapai salah satu tujuan
negara yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Cita-cita ideal ini
kemudian diterjemahkan dalam sebuah kebijakan yang telah dikonsultasikan
kepada publik sebelumnya dan kemudian dapat dilihat apakah sebuah negara
betul-betul mewujudkan kesejahteraan warga negaranya atau tidak. Masalah
kemiskinan dan kesehatan masyarakat merupakan sebagian dari banyak
masalah yang harus segera direspons oleh pemerintah dalam penyusunan
kebijakan kesejahteraan
Terdapat beberapa ciri dan model dari negara kesejahteraan. Menurut
Goodin9 negara kesejahteraan (welfare state) bukan hanya satu bentuk saja,
tetapi memiliki banyak ragam program dan kebijakan (programmes and
policies) dan kombinasi yang berbeda. Secara detail, ada beragam model
negara kesejahteraan yang sudah berkembang, khususnya di negara-negara
maju di Eropa dan Amerika. Perbedaan model negara kesejahteraan biasanya
dikarenakan perbedaan penekanan tujuan dalam kebijakan setiap negara, yang
disesuaikan dengan kondisi, situasi, dan realitas yang mereka hadapi.
D. Teori Politik Hukum
9 Oman Sukmana, “Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan”, Jurnal Sospol, Vol 2 No.1,
2016, h. 110
20
Politik hukum disebut dalam istilah yang berbeda-beda. Di Belanda
dikenal dengan istilah rechtspolitiek, di Inggris ada beberapa istilah, politics of
law (politik hukum), legal policy (kebijakan hukum), politic of legislation
(politik perundang-undangan), politics of legal product (politik yang tercermin
pada produk-produk hukum) dan politic and law development (politik
pembangunan hukum).10
Objek studi politik hukum adalah hukum bukan
politik, khususnya hukum positif, baik dalam bentuk hukum dasar (konstitusi)
maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Secara ilmiah politik hukum
berada dalam struktur ilmiah ilmu hukum.
Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto berpendapat politik hukum
merupakan bagian dari studi hukum. Argumentasi yang dibangun sebagai dasar
pendapat tersebut dimulai dari pembagian disiplin hukum menjadi dua, yaitu
segi umum dan segi khusus. Segi umum disiplin hukum terdiri dari filsafat
hukum dan ilmu hukum, selanjutnya hasil pemanfaatan filsafat hukum dan
ilmu hukum melahirkan politik hukum. Segi khusus disiplin hukum terdiri dari
sejarah tata hukum, sistem hukum (hukum negara, hukum pribadi, hukum harta
kekayaan, hukum keluarga, hukum waris, hukum pidana) dan teknologi
hukum.11
Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dan filsafat hukum adalah
politik hukum. Politik hukum bersifat praktis fungsional dengan cara
penguraian teleologiskonstruktif. Cara penguraian demikian dilakukan dalam
hubungannya dengan pembentukan hukum dan penemuan hukum.
Pembentukan hukum (rechtsvorming) merupakan penentuan kaidah abstrak
yang berlaku umum, sedangkan penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan
penentuan kaidah konkret yang berlaku khusus. Moh. Mahfud MD juga
berpandangan bahwa politik hukum merupakan bagian kajian ilmu hukum.12
Beberapa ahli mencoba memberikan pengertian politik hukum
berdasarkan perspektif masing-masing. Berangkat dari perspektif positivisme
10
H.M. Wahyudin Husein dan H. Hufron, Hukum, Politik dan Kepentingan, (Yogyakarta:
Laksbang Presseindo, 2008), h. 11 11
. Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto, Pendidikan Hukum dan Bahasa Hukum,
Dimuat Dalam Majalah Hukum dan Pembangunan UI, Mei 1983, h. 234 12
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998),
h. 7-8
21
hukum, L.J. Van Appeldoorn menyebut politik hukum dengan istilah politik
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan
bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Berbagai
tujuan dan alasan yang melatarbelakangi dibuat dan diberlakukannya suatu
undang-undang disebut dengan politik hukum.
Satjipto Rahardjo dari perspektif sosiologi hukum mengatakan, bahwa
hukum sebagai fenomena sosial bukanlah lembaga yang sama sekali otonom,
melainkan berada pada kedudukan yang berkaitan dengan sektor-sektor
kehidupan lain seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karenanya
hukum harus melakukan penyesuaian terhadap tujuan yang hendak dicapai dan
menetapkan cara-cara yang hendak digunakan dalam rangka mencapai tujuan
tersebut. Hal ini merupakan bidang kajian dari politik hukum. Bagian yang
paling substansial dari politik hukum adalah mengenai teknik pembuatan
perundang-undangan yang membutuhkan studi interdisipliner dan penguasaan
bidang-bidang dalam sistem hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana,
hukum tata negara terutama tentang asas-asas hukumnya. Pertanyaan-
pertanyaan yang sering diajukan dalam studi politik hukum, adalah: pertama,
apakah tujuan yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang sudah ada?,
kedua, apakah cara yang paling baik untuk digunakan dalam mencapai tujuan?,
ketiga, kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara
bagaimana perubahan tersebut sebaiknya dilakukan? dan keempat, apakah
dapat dirumuskan suatu pola yang mapan untuk digunakan dalam proses
pemilihan tujuan serta cara-cara mencapai tujuan tersebut?, termasuk
didalamnya proses memperbarui hukum secara total atau dengan perubahan
bagian per bagian.13
Politik hukum pada konteks ini diarahkan untuk
mengkritisi hukum positif yang berlaku dan melakukan amandemen atau
perubahan secara total jika ditemukan fakta bahwa hukum tersebut sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya Undang-Undang Hak Cipta
peninggalan kolonial Belanda dirombak dan digantikan dengan peraturan
13
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan IV, 1996), h. 352-
353
22
perundang-undangan baru (Auterswet 1912 dicabut dan digantikan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, kemudian diamandemen
oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, diamandemen lagi oleh Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1997 dan terakhir diamandemen melalui Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002).
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, secara harfiah politik hukum
diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan
secara nasional oleh pemerintah, yang meliputi penerapan hukum positif secara
konsisten, pembangunan hukum dan pembaruan hukum positif yang dianggap
telah ketinggalan zaman atau menciptakan hukum baru sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, penegasan fungsi dan
kewenangan lembaga penegak hukum dan peningkatan kesadaran hukum
masyarakat.14
Selanjutnya berdasarkan hubungan antara politik dan hukum dalam
kehidupan bernegara, Moh. Mahfud M.D berpandangan bahwa politik hukum
adalah sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, termasuk bagaimana politik
mempengaruhi hukum berkaitan dengan konfigurasi kekuatan yang ada di
belakang pembuatan dan penegakan hukum tersebut. Hukum tidak hanya
dimaknai sebagai Pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan
yang bersifat das sollen, melainkan harus dimaknai sebagai sub sistem dalam
kenyataannya (das sein), dan bukan tidak mungkin hukum sangat ditentukan
oleh politik, baik dalam perumusan materi dan Pasal-pasalnya maupun dalam
implementasinya. Politik kerapkali melakukan intervensi terhadap pembuatan
dan pelaksanaan hukum, sehingga hukum dalam kenyataannya tidak selalu
mampu menjamin kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan berkeadilan,
bahkan tidak jarang menjauh dari tujuan yang dikehendaki oleh hukum.15
Berkaitan dengan definisi ini M. Solly Lubis memberikan pengertian politik
14
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan LBHI, 1988).
h. 15 15
M. Solly Lubis, Serba Serbi Politik Hukum, (Jakarta: CV Mandar Maju, 1989), h. 100
23
hukum adalah kebijakan politik yang menentukan hukum apa yang seharusnya
berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh
karena merupakan suatu kebijakan, maka politik hukum nasional menjadi sub
sistem dari sistem politik nasional. Hal ini terjadi pada masa Orde Baru, terlihat
dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pada awalnya
memasukkan hukum sebagai sub bidang pembangunan politik, padahal
seharusnya hukum menjadi bidang tersendiri. Setelah GBHN tahun 1999,
hukum menjadi bidang tersendiri dan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) tahun 2004 – 2009 pembangunan hukum tertuang dalam
Bab 9 dengan judul Pembenahan Sistem dan Politik Hukum.
Setelah mempelajari pendapat-pendapat para ahli di atas, politik hukum
dapat dirumuskan sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mewujudkan tujuan negara yang dicita-citakan dan tertuang dalam suatu
kebijakan hukum (legal policy). Selanjutnya berdasarkan pengertian tersebut
dapat dirumuskan ruang lingkup kajian politik hukum, yang meliputi: (a) Dasar
berlakunya hukum positif (aspek filosofis, yuridis dan sosiologis), (b)
Kebijakan hukum pemerintah (legal policy) untuk mewujudkan tujuan hukum
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (c) Studi terhadap hukum positif
yang sudah ada untuk kemudian melakukan amandemen atau perubahan jika
ditemukan ketidaksesuaian dengan perkembangan masyarakat, (d)
Menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat serta pergaulan internasional dan (e) Penegasan mengenai
kewenangan lembaga-lembaga negara yang merumuskan tujuan hukum
nasional, pembuatan hukum dan pelaksanaan hukum secara nyata.
Teori politik hukum dari Satjipto Rahardjo dipandang paling tepat untuk
digunakan, karena cukup sistematis dalam memberikan kerangka analisis
politik hukum HKI, dimulai dari tujuan yang hendak dicapai, cara mencapai
tujuan, waktu yang tepat melakukan perubahan dan perumusan suatu pola yang
digunakan untuk mencapai tujuan hukum. Maka, yang dimaksud politik hukum
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah kebijakan hukum yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mewujudkan tujuan peraturan perundang-undangan HKI,
24
kajian mengenai kesesuaiannya dengan kebutuhan masyarakat Indonesia
(kepentingan nasional) serta kesesuaiannya dengan Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945, dan melakukan amandemen atau menciptakan peraturan
perundang-undangan baru yang lebih sesuai dengan kepentingan nasional serta
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
E. Teori Utilities
Teori Utilitis memandang bahwa hukum harus bermanfaat pada
perwujudannya, Jeremy bentham berpendapat bahwa “hukum harus di ciptakan
untuk kebahagiaan masyarakat” keadilan tidak mungkin akan tercapai jika
kemanfaatan dari hukum itu tidak terlihat maka kemanfaatan terlebih dahulu
yang seharusnya diperhatikan kemudian dengan otomatis keadilan dari hukum
tersebut akan timbul.16
Pakar penganut aliran utilistis ini adalah Jeremy
Bentham, yang dikenal sebagai the father of legal utilitarianism.17
Selain
Bentham, masih dikenal James Mill dan Jhon Stuart Mill.Menurut Bentham,
hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang bermanfaat atau yang sesuai
dengan kepentingan orang banyak, pernyataannya yang terkenal adalah the
Greatest Happiness for the Greatest Number, artinya kebahagiaan yang terbesar
untuk jumlah yang terbanyak. Bentham dalam Nurhadi menaruh perhatian
besar terhadap penerapan asas manfaat dalam peraturan perundang-undangan
sehingga banyak berkarya tentang pokok ini, di antaranya The Theory of
Legislation.
Pemikiran Bentham ini kemudian dikembangkan oleh Jhon Stuart
Milldengan beberapa modifikasi. K. Bertens mencatat 2 (dua) pendapat penting
dari Mill dalam dalam upaya perumusan ulang terhadap utilitarianisme.
Pertama, ia mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan
kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa
kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih
16
Soedjono Dirdjosisworo Penghantar Ilmu Hukum, (Jakarta: grafindo persada, 1994), h. 17 17
Ahmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk lnterpretasi Undang- Undang (Legal Prudence). Jakarta: Penerbit kencana Jakarta. Vol. 1, 2009, h. 272
25
tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kedua, kebahagiaan yang menjadi
norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian,
bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku
utama. Raja dan bawahan dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan
satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan
orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri : “Everybody to count for one,
nobody to count for more than one”. Terkait demikian, suatu perbuatan dinilai
baik manakala kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan
semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.18
Terkait pendapat
Mill ini, suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak boleh
mementingkan atau menguntungkan salah satu pihak saja. Prinsip teori utilitis
bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa untuk
memperoleh kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-
rendahnya penderitaan.19
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM oleh PT. Pertamina (Persero)
merupakan judul yang sangat aktual terhadap isu-isu dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Peneliti menemukan sedikit sekali
judul-judul penelitian mirip dengan judul yang diangkat oleh peneliti dalam
skripsi ini. Namun terdapat beberapa dimensi keilmuan yang dapat
dikorelasikan untuk sarana mereview studi terdahulu, dimensi-dimensi tersebut
seperti halnya terkait dengan privatisasi BUMN melalui mekanisme Initial
Public Offering (IPO), Kebijakan Pengalihan Subsidi dan Penentuan Harga
BBM, Apek Holding Company dalam Perusahaan, Kepemilikan Modal
18
Richard Schoch.. The Secret Of Happiness. (Jakarta: Hikmah. 2009), h. 249 19
Edwin M. Schur, 1968. Law and Society, A Sociological View. (New York, Random House,
1968), h. 33
26
BUMN, serta Perseroan Terbatas sebagai Institusi Kegiatan Ekonomi yang
Demokratis. Adapun penelitian tersebut seperti :
1. SKRIPSI
a. “ANALISIS HUKUM TERHADAP PRIVATISASI BUMN MELALUI
MEKANISME INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO)”
Oleh ELFRIDA DWI ROSA SITINDAON, Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara pada Tahun 2009. Dalam deskripsi
tersebut membahas tentang proses privatisasi BUMN juga proses
privatisasi melalui mekanisme initial public offering (ipo) juga
transparansi dalam privatisasi BUMN yakni melihat dari analisis hukum
terhadap privatisasi BUMN. Jelas berbeda dengan yang peneliti buat
untuk penelitian, peneliti meneliti dari sudut status PT. Pertamina
(Persero) sebagai BUMN dalam menjalankan Kebijakan Pemberlakuan
Satu Harga yang bertentangan dengan maksud dan tujuan BUMN untuk
mengejar keuntungan.
b. “KEBIJAKAN PEMERINTAH PRESIDEN JOKO WIDODO DALAM
PENGALIHAN SUBSIDI DAN PENENTUAN HARGA BBM YANG
MENGACU PADA MEKANISME PASAR (PERSPEKTIF
SIYASAH)”
Oleh Fissilmi Kaffah Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Tahun 2015.
Dalam deskripsi tersebut membahas tentang pandangan siyasah
terhadap kebijakan pemerintah terhadap pengalihan subsidi BBM untuk
menjelaskan kebijakan pemerintah mengalihkan subsidi BBM dalam
kaitannya dengan politik pemerintahan. Jelas berbeda dengan yang
peneliti buat untuk penelitian, peneliti meneliti dari sudut hukum bisnis
tanpa adanya pembahasan politik pemerintahan tentang dampak
kerugian dari Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga terhadap PT.
Pertamina (Persero)
27
c. ASPEK HUKUM HOLDING COMPANY DALAM PERUSAHAAN
DENGAN STATUS BADAN USAHA MILIK NEGARA
Oleh Dea Claudia Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Indonesia pada Tahun 2012. Dalam deskripsi tersebut membahas
tentang pembentukan perusahaan dengan status BUMN dengan
pengaturan mengenai Holding Company dalam aturan hukum yang
berlaku di Indonesia yang mayoritas kepemilikannya adalah dimiliki
oleh negara. Jelas berbeda dengan yang peneliti buat untuk penelitian,
peneliti meneliti dari sudut PT. Pertamina Sebagai BUMN Persero yang
kepemilikannya paling sedikit 51% milik negara dan 49% milik swasta
dalam menjalankan Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga
2. BUKU
a. “HUKUM PERSEROAN TERBATAS”
Oleh Binoto Nadapdap, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum
Universitas Kristen Indonesia Jakarta pada Tahun 1995 sampai dengan
sekarang. Dalam Buku tersebut membahas tentang Alasan Memilih
Perseroan Terbatas Sebagai Badan Usaha dan Tata Cara Pendirian
Anggaran Dasar, Pendaftara Perseroan, dan Komisaris serta Perubahan
Anggaran Dasar Perseroan Terbatas. Jelas berbeda dengan yang peneliti
buat untuk penelitian, peneliti meneliti dari sudut PT. Pertamina yang
tidak menjalankan Anggaran Dasar nya sebagai Perusahaan Perseroan
dengan maksud dan tujuan untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya, akan tetapi menjalankan Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga
secara nasional dengan merugikan Perusahaan Perseroan.
3. JURNAL
28
1. “KAJIAN HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN MODAL
TERHADAP BADAN USAHA MILIK NEGARA MENJADI BADAN
USAHA MILIK SWASTA”
Oleh Januwati Atikah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Sam Ratuwalungi Manado pada Tahun 2016. Dalam Jurnal tersebut
membahas tentang kepemilikan modal Negara pada BUMN sebagaimana
diatur oleh Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) serta status hukum perusahaan swasta yang
modalnya dimiliki oleh perusahaan BUMN. Jelas berbeda dengan yang
peneliti buat untuk penelitian, peneliti meneliti dari sudut PT. Pertamina
(Persero) yang melanggar statusnya sebagai BUMN dengan menjalankan
Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga sesuai dengan ketentuan Maksud
dan Tujuan Pendirian BUMN pada Pasal 2 UU No 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
2. “PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI INSTITUSI KEGIATAN
EKONOMI YANG DEMOKRATIS”
Oleh Johari Santoso Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia pada Tahun 2000. Dalam Jurnal tersebut membahas tentang
Faktor Pemilihan Perseroan Terbatas (PT) sebagai Bentuk Badan Hukum
Usaha juga Beberapa Pembaharuan di dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas (UUPT) serta kelebihan Undang-Undnag Perseroan Terbatas
(UUPT) dibanding dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) sebagai Institusi Kegiatan Ekonomi yang Demokratis. Jelas
berbeda dengan yang peneliti buat untuk penelitian, peneliti meneliti dari
sudut PT. Pertamina (Persero) yang melanggar statusnya sebagai
Perseroan Terbatas dengan menjalankan Kebijakan Pemberlakuan Satu
Harga sesuai dengan ketentuan Maksud dan Tujuan Perseroan pada Pasal
2 UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (PT).
28
BAB III
KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN SATU HARGA BBM
A. PT. Pertamina Sebagai Badan Usaha Milik Negara
PT. Pertamina (Persero) adalah perusahaan milik negara atau BUMN yang
berstatus hukum Perseroan Terbatas (PT), dan berdiri sejak tahun 1957. Dalam
melakukan pengelolaan perusahaan, Pertamina memiliki pedoman pengelolaan
perusahaan sebagai acuan dalam menjalankan setiap aktivitas bisnis
berdasarkan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Pedoman tersebut
mengatur sturktur badan tata kelola perusahaan seperti Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris, proses tata kelola perusahaan,
organ pendukung, badan tata kelola perusahaan serta proses tata kelola
perusahaan.
Saat ini Indonesia hanya memiliki satu perusahaan pengelola minyak dan
gas berlabel milik negara yaitu Pertamina. Sebagai perusahaan plat merah,
Pertamina didirikan atas peraturan perundang-undangan khusus yaitu melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Tambang dan
Minyak Negara. Hadirnya Undang-Undang tentang Perusahaan Tambang dan
Minyak Negara tersebut, memberikan pengaturan khusus pada Pertamina
sebagai BUMN untuk mengolah dan menghasilkan minyak dan gas dari
ladang-ladang minyak Indonesia, serta menyediakan kebutuhan bahan bakar
gas di Indonesia.
BUMN merupakan salah satu pelaku bisnis menonjol di Indonesia yang
status kepemilikannya sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh
negara. Menurut Munir Fuady, BUMN merupakan bentuk usaha di bidang-
bidang tertentu yang umumnya menyangkut kepentingan umum, di mana peran
pemerintah di dalamnya relatif besar.1 Beberapa permasalahan terkait dengan
Undang-undang No 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) di Indonesia antara lainnya kecenderungan mengubah bentuk
hukumnya sebagaimana tampak pada perubahan dari bentuk hukum
1 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis. Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005), h. 45
29
Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Terbatas (PT) dalam
bentuk Perusahaan Perseroan (Persero). Ciri khas menonjol dari Perum ialah
keseluruhan modalnya dimiliki oleh negara, sedangkan pada BUMN berbentuk
Persero sudah ada kepemilikan saham-saham oleh pihak lain yang merupakan
pihak-pihak swasta.2
PT Pertamina (Persero) telah menempuh enam dekade dalam industri
energi. Komitmen ini dibuktikan dengan penyediaan produk yang lebih
berkualitas guna memenuhi kebutuhan konsumen akan produk yang unggul.
Kini saatnya, Pertamina memantapkan langkah, menyongsong tantangan yang
membentang dengan penuh optimisme guna menciptakan pertumbuhan bisnis
Perusahaan yang berkelanjutan melalui investasi dan optimalisasi bisnis agar
terus tumbuh sesuai dengan harapan seluruh pemangku kepentingan.
Tonggak sejarah Pertamina diawali sekitar tahun 1950-an, Pemerintah
Republik Indonesia menunjuk Angkatan Darat yang kemudian mendirikan PT
Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara untuk mengelola lading minyak
di wilayah Sumatera. Pada 10 Desember 1957, perusahaan tersebut berubah
nama menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional, disingkat PERMINA. Tanggal
ini diperingati sebagai lahirnya Pertamina hingga saat ini. Pada 1960, PT
Permina berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN) Permina. Kemudian,
PN Permina bergabung dengan PN Pertamin menjadi PN Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) pada 20 Agustus 1968. Selanjutnya,
pemerintah mengatur peran Pertamina untuk menghasilkan dan mengolah
migas dari ladangladang minyak serta menyediakan kebutuhan bahan bakar
dan gas di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971. Kemudian
melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001, pemerintah mengubah
kedudukan Pertamina sehingga penyelenggaraan Public Service
Obligation (PSO) dilakukan melalui kegiatan usaha.
2 Januwianti Atikah, “Kajian Hukm Tentang Kepemilikan Modal BUMN Menjadi BUMS”.
Jurnal Lex Crimen, Vol 5, No 3, 2016, h. 57
30
Berdasarkan PP No.31 Tahun 2003 tanggal 18 Juni 2003, Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara berubah nama menjadi PT
Pertamina (Persero) yang melakukan kegiatan usaha migas pada Sektor Hulu
hingga Sektor Hilir. PT Pertamina (Persero) didirikan pada tanggal 17
September 2003 berdasarkan Akta Notaris No.20 Tahun 2003. Pada 10
Desember 2005, Pertamina mengubah lambang kuda laut menjadi anak panah
dengan warna dasar hijau, biru, dan merah yang merefleksikan unsur dinamis
dan kepedulian lingkungan.
Berdasarkan landasan hukum PP 31 Tahun 2003 Tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara
(PERTAMINA) Menjadi Perusahaan Perseroan terkait pengelolaan dan
pengoperasian bahan bakar minyak yang pada hakikatnya menjadi tanggung
jawab dari Pemerintah dalam hal ini direpresentasikan oleh BUMN dan BUMD
berubah menjadi keikutsertaan pihak swasta dalam menjamin ketersediaan
BBM. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan macam-macam sistem
pengoperasiannya menjadi beberapa bagian, di antaranya:
1. SPBU COCO (Company Owned Company Operate)
SPBU COCO merupakan bentuk pengoperasian terhadap bahan bakar
minyak dimana perusahaan Pertamina menjadi pemegang saham dan
dimiliki oleh pemerintah segala asetnya serta memegang penuh dalam
pengoperasiannya untuk terjaminnya bahan bakar minyak ke seluruh
wilayah Indonesia secara merata dan berkualitas.
2. SPBU CODO (Company Owned Dealer Operate)
SPBU CODO merupakan bentuk pengoperasian terhadap bahan bakar
minyak dimana perusahaan Pertamina menjadi pemegang saham dan pihak
swasta memegang penuh dalam pengoperasiannya untuk terjaminnya
bahan bakar minyak ke seluruh wilayah Indonesia secara merata dan
berkualitas.
3. SPBU DODO (Dealer Owned Dealer Operate)
SPBU DODO merupakan bentuk pengoperasian terhadap bahan bakar
minyak dimana Pihak Swasta sebagai investor dan pihak swasta memegang
31
penuh dalam pengoperasiannya akan tetapi tetap dalam pengawasan PT
Pertamina (Persero) untuk terjaminnya bahan bakar minyak ke seluruh
wilayah Indonesia secara merata dan berkualitas.
PT. Pertamina sebagai perusahaan lokomotif perekonomian bangsa yang
juga merupakan perusahaan milik Negara. PT Pertamina bergerak di bidang
energi meliputi minyak, gas serta energi baru dan terbarukan. Pengalaman
selama kurang lebig 55 tahun dalam bidangnya membuat Pertamina mampu
menjalankan bisnisnya secara profesional dan meguasai teknis mulai dari hilir
sampai hulu. Dengan memanfaatkan sumber daya alam, Pertamina
menyediakan sumber energi baru dan terbarukan. Sebagai perusahaan
perseroan dengan skala besar, Pertamina memiliki visi dan misi dalam
menjalankan aktivitasnya. Visi perusahaan adalah menjadi perusahaan energi
nasional kelas dunia. Sedangkan untuk misi perusahaan adalah menjalankan
usaha, minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan secara terintegritasi,
bedasarkan prinsip-prinsip komersial yang kuat.3
Hadirnya Pertamina melalui undang-undang khusus, menjadikan
Pertamina sebagai BUMN yang memiliki kekuasaan penuh atas sumber
minyak dan gas bumi yang dimiliki Indonesia, untuk bisa mengeksplorasi dan
hasilnya dapat bermanfaat bagi kepentingan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Selain memberi kekuasaan penuh, lahirnya Pertamina melalui
undang-undang khusus juga memberikan indikasi bahwa pemerintah telah
memberikan hak monopoli usaha minyak dan gas kepada Pertamina. Ditambah
lagi dengan penguasaan penuh pemerintah atas Pertamina melalui kepemilikan
saham sebesar 100% yang dimiliki oleh negara.
Berdiri atas undang-undang khusus, dipercayakan pemerintah untuk
bertanggung jawab atas minyak dan gas, serta kepemilikan penuh saham
3 Maria Sylvia, “CSR PT Pertamina (Persero) MOR V Surabaya”. Jurnal UNS, Vol 1, 2016, h.
4
32
pemerintah terhadap Pertamina, menjadikan adanya hubungan khusus yang
sangat erat antara Pertamina dengan pemerintah. Hal tersebut ditandai dengan
tujuan usaha Pertamina sebagai arah dan pedoman kerja perusahaan. Tujuan
tersebut adalah,
1. Melaksanakan dan menunjang kebijakan dan program pemerintah di bidang
ekonomi pada umumnya, terutama di bidang penyelenggaraan usaha minyak
dan gas bumi baik di dalam maupun luar negari serta kegiatan lain yang
terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi
tersebut.
2 Pengembangan optimalisasi sumber daya yang dimiliki perseroan untuk
menghasilkan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing
kuat serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan
dengan menerapkan prinsip-prinsip perseroan terbatas.
Tujuan usaha Pertamina diatas secara jelas menerangkan bahwa, hadirnya
Pertamina sebagai badan usaha yang dibentuk oleh pemerintah, untuk
mendukung segala kebutuhan pemerintah akan kepentingan rakyat. Dengan
demikian segala orientasi dan pelaksanaan usaha Pertamina tidak akan lepas
dari campur tangan pemerintah. Selain itu hadirnya Pertamina sebagai BUMN
di masyarakat juga harus mencerminkan hadirnya pemerintah disetiap
kebutuhan dan kehidupan rakyat.
B. Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM
Kebijakan merupakan suatu kumpulan putusan yang diambil oleh seorang
pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk
mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan itu
mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Sedangkan kebijakan publik
merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-
masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan
sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan
33
perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang
mengikat dan memaksa.4
Menurut James Anderson kebijakan merupakan arah tindakan mempunyai
maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam
mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Sedangan Willian N. Dunn
berpendapat kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang kompleks dari
pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan
untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah.
James Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud
kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-
pejabat pemerintah. Pengertian ini menurutnya, berimplikasi5:
1. Bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan
tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejaba-pejabat pemerintah
3. Bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah
4. Bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk
tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif
dalam arti merupakan merupakan keputusan pejabat pemerintah untu tidak
melakukan sesuatu.
5. Bahwa kebijakan dalam arti postif didasarkan pada peraturan-peraturan
perundang-undangan dan bersifat memaksa (authorative)
Sementara William N. Dunn lebih membahas kepada analisis kebijakan
merupakan serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses
kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut
dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai
4 Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012),
h. 20 5 James Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984), h. 5
34
serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut ukuran waktu :
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan penilaian kebijakan6.
Kebijakan penentuan harga energi di Indonesia tidak dilakukan melalui
mekanisme pasar melainkan ditetapkan secara administrasi oleh pemerintah.
Dalam penentuan harga energi ada empat hal yang harus dipertimbangkan
yaitu7 :
1. Tujuan efisiensi ekonomi : untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri
dengan harga serendah-rendahnya dan memelihara cadangan minyak untuk
keperluan ekspor, khususnya dengan mendorong pasar domestik untuk
mensubstitusikan konsumsinya dengan alternatif bahan bakar lain yang
persediaannya lebih melimpah (gas dan batubara) atau sumber energi yang
nontradable seperti tenaga air (hydropower) dan panas bumi (geothermal)
2. Tujuan mobilisasi dana : dengan memaksimumkan pendapatan ekspor dan
pendapatan anggaran pemerintah dari ekspor sumber energi yang tradable
seperti migas, dan batubara dan memungkinkan produsen dari sumber-
sumber energi untuk menutupi biaya-biaya ekonominya dan memperoleh
sumber-sumber dana untuk membiayai pertumbuhan dan pembangunan
3. Tujuan sosial (pemerataan) : mendorong pemerataan melalui perluasan
akses bagi kebutuhan pokok yang bergantung pada energi seperti
penerangan, memasak dan transportasi umum, dan
4. Tujuan kelestarian lingkungan: mendorong agar pencemaran lingkungan
seminum mungkin sebagai dampak pembakaran sumber-sumber energi.
Lahirnya kebijakan BBM satu harga merupakan kebijakan yang murni
inisiatif Presiden Joko Widodo saat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten
Wamena, Provinsi Papua. Melalui kebijakan ini instruksi presiden sangat jelas,
6 William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2003), h.20-21 7 Teguh Dartanto, “BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di IndonesiaI”, Majalah
Inovasi, Vol. 5, No. 18, 2005, h. 5
35
bahwa harga BBM di Papua harus sama dengan Pulau Jawa. Selain itu
kebijakan ini juga sebagai bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
tanpa terkecuali. Dalam rangka mendukung kebijakan ini maka pemerintah
menunjuk PT. Pertamina (Persero) melalui Peraturan Presiden Nomor 191
Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran
Bahan Bakar Minyak Pasal 19 Ayat (1), untuk mendukung sekaligus
merealisasikan kebijakan ini. Segala hal yang terkait kebutuhan pendukung
seperti mekanisme pembiayaan pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada
manajemen Pertamina.8
Tanggal 10 November 2016 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Ignasius Jonan telah menetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 36
Tahun 2016 Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu harga Jenis Bahan Bakar
Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional.
Sesuai dengan ketentuan pasal 21 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 191
Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran
Bahan Bakar Minyak serta untuk menjamin ketersediaan, kelancaran
pendistribusian dan harga jual eceran jenis BBM tertentu dan jenis BBM
khusus penugasan yang sama untuk seluruh wilayah NKRI, perlu menetapkan
Peraturan Menteri ESDM Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu harga Jenis
Bahan Bakar Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan
Secara Nasional. Pasal 2 aturan ini menyatakan, jenis BBM yang diatur dalam
Permen ini terdiri atas: pertama, jenis BBM tertentu yang meliputi Minyak
Solar 48 (Gas Oil) dan Minyak tanah (Kerosene). Kedua, jenis BBM khusus
penugasan yang meliputi Bensin (Gasoline) minimum RON 88. Permen ini
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2017.
Bahan bakar minyak penugasan adalah salah satu jenis bahan bakar
minyak yang diatur sebagai bahan bakar minyak yang didistribusikan sebagai
BBM satu harga. Hal ini diperkuat dengan kehadiran Peraturan Menteri Energi
Sumber Daya Mineral Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Percepatan
8 Biro Pers dan Media Seketariat Presiden Republik Indonesia, BBM 1 Harga Untuk Keadilan
Sosial, Majalah Kerja, 2017, h. 8
36
Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan
Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional. Perpres tersebut mengatur
bahwa untuk jenis bahan bakar minyak khusus penugasan saat proses realisasi
dan pendistribusiannya tidak diberikan subsidi. Kemudian pada Pasal 3 Ayat
(3) dinyatakan bahwa untuk bahan bakar minyak khusus penugasan
didistribusikan ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
kecuali Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi
Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Bali.
Ketentuan dalam Perpres tersebut yang mengatur bahwa jenis bahan bakar
minyak khusus penugasan, tidak disubsidi dan didistribusikan ke wilayah
penugasan selain wilayah yang disebutkan dalam Perpres diatas, menandakan
sebagai bentuk upaya pemerintah untuk dapat menghadirkan BBM dengan
harga yang terjangkau. Adanya ketentuan yang menyatakan bahwa dalam
proses realisasi dan distribusi pemerintah tidak diberikan subsidi, dapat
memunculkan suatu permasalahan baru yaitu terhadap operasional dan
keuangan perseroan penugasan yaitu PT. Pertamina (Persero). Sebagai satu-
satunya BUMN yang bertanggung jawab atas pengelolaan minyak dan gas
bumi negara, Pertamina dipercaya untuk menyelesaikan tugas pemerintah ini.
kemudian Dengan kebijakan ini, maka BBM satu harga di provinsi Papua
dan Papua Barat akan siap diwujudkan dengan harga jual premium 6.450
rupiah per liter dan solar 5.150 rupiah per liter. Harga tersebut tidak hanya di
SPBU, tapi juga di titik serah terima yang lebih rendah seperti di tingkat
penyalur atau Agen Premium & Minyak Solar (APMS).
Untuk mendorong implementasinya, Kementerian ESDM juga
menerbitkan regulasi turunan yaitu Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal
Migas terkait lokasi untuk pendistribusian jenis BBM tertentu dan BBM
khusus penugasan secara bertahap dari tahun 2017 hingga 2019. SK Dirjen
Migas dengan Nomor 09.K/10/DJM.O/2017 tersebut mengatur 148 lokasi yang
penugasannya diberikan kepada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR
Corporindo, Tbk.
37
Direktur Jenderal Minyak Dan Gas Bumi, menyampaikan bahwa
penerapan secara bertahap program BBM Satu Harga ini terkait adanya
tantangan dalam pendistribusian, wilayah yang jauh dan konsumsi yang
sedikit. Pulau yang kecil-kecil dan sangat jauh dari jangkauan adalah kendala
yang cukup rumit sehingga membutuhkan waktu untuk membangun. Seperti di
daerah Papua, Kalimantan Utara, Aceh, NTT, Maluku serta Kepualau Riau,
misalnya di Anambas. Tapi tetap berkomitmen merencanakan untuk dibangun
lembaga penyalur di Jemaja/ Pulau Letung, Kecamatan Jemaja, Kabupaten
Anambas, Propinsi Kepulauan Riau. Progresnya saat ini sedang dilakukan
survei moda angkutan dan telah ada calon investornya.
Dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk menyukseskan
program BBM Satu Harga. Sesuai arahan Presiden, Kebijakan BBM satu harga
bisa membantu menumbuhkan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan.
Karena jelas biaya transportasi akan lebih murah, biaya logistik akan lebih
murah, sehingga harga juga akan bisa diturunkan. Dengan demikian,
diperlukan kerja sama yang solid dari seluruh pihak yang terlibat.
Selain dampak positif yang di dapat adapun dampak negatifnya yakni satu.
Kerugian Pertamina, menurut Direktur Utama Pertamina, mengaku kebijakan
satu harga BBM akan menyebabkan Pertamina merugi Rp800 miliar. Kerugian
itu akan bisa tertutup melalui subsidi pemerintah. Namun mewanti-wanti
apabila kebijakan itu dipertahankan dalam jangka panjang. Perlu diingat bahwa
begitu harga BBM dibuat rendah, diperkirakan konsumsi BBM akan cukup
melonjak. Sehingga dikhawatirkan akan membuat beban subsidi yang perlu
dialokasikan pemerintah akan melonjak juga.
Diperkirakan beban subsidi kepada Pertamina yang harus ditanggung
pemerintah tidak akan mencapai puluhan triliun rupiah. Beban ini akan
bertambah mengingat ada wilayah selain Papua yang juga mengalami kesulitan
BBM karena masalah logistik dan distribusi. Wilayah-wilayah itu pun mesti
mendapat perhatian.
Ketika presiden mengatakan harga BBM di Papua harus sama dengan di
Jawa, konsekuensinya adalah ada ekspektasi bagi daerah lain yang selama ini
38
membeli BBM dengan harga yang lebih mahal. Di daerah Kalimantan Utara,
Kalimantan Tengah, daerah-daerah di sana juga masih kesulitan mendapatkan
BBM. Ketimbang memberi subsidi BBM ke wilayah terpencil dalam jumlah
besar, disarankan pemerintah Indonesia mulai mengembangkan energi
terbarukan untuk jangka panjang.
Faktor-Faktor Latar Belakang Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga
Terhadap PT. Petamina (Persero) :
1. Faktor Politik
Sebagian besar pemahaman dan pengertian tentang negara berasal dari
kajian dua disiplin ilmu, yakni ilmu politik dan ilmu hukum, sehingga tidak
heran bilamana kedua disiplin ilmu ini banyak mendominasi pemikiran dan
pemahaman serta pengertian tentang negara. Dari disiplin ilmu politik
negara dipikirkan dan dipahami sebagai sistem dominasi yang banyak hal
menggunakan menggunakan unsur kekerasan atau paksaan. Selain itu,
negara juga dilihat dalam atau hubungannya dengan masyarakat. Adapun
disiplin ilmu hukum negara negara lebih banyak dipikirkan dan dipahami
sebagai suatu organisasi atau lembaga pembuat keputusan atau pengaturan
yang terkait erat dengan segi kedaulatannya sebagai negara.
Bedasarkan pandangan dari Hans Kohn (1967), negara bangsa dipahami
sebagai bentuk formal organisasi politik, budaya, dan ekonomi yang telah
dikenal sejak tahun 1815.9 Menurut Plato, negara itu timbul atau ada karena
adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang beraneka macam, yang
menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Lebih tegas lagi dikemukakan oleh Aristoteles bahwa keberadaan
negara itu merupakan suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu.
Bahkan Epicurus mengemukakan bahwa negara merupakan hasil dari
perbuatan manusia, yang diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingan
para anggota-anggotanya.10
9 M. Rusli Karim, Negara: Suatu Analisis Mengenai Pengertian Asal Usul dan Fungsi,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h.1 10
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1996), h. 17
39
Ketersediaan BBM merupakan Persyaratan pertumbuhan ekonomi.
Selama kita merdeka distribusi BBM cukup lancar. Tetapi ada ketidakadilan
yang terjadi, masyarakat di daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar)
membeli BBM dengan harga yang lebih tinggi. Harga yang harus dibayar
oleh saudara-saudara kita dapat mencapai 10 kali atau lebih dari harga BBM
yang dibayar masayarakat di Pulau Jawa. Secara politis lahirnya kebijakan
satu harga BBM dikarenakan wilayah yang terjadi kesenjangan harga,
paling banyak adalah wilayah bagian Timur Indonesia. Melihat kepada
indikasi hasil suara pemilihan Presiden tahun 2014 bagian Timur seperti
Papua, dari 29 kabupaten dan kota, suara terhadap Joko Widodo unggul
sebanyak 27 kabupaten, menang telak atas Prabowo Subianto. Dengan
demikian dikhawatirkan jika kebijakan ini lahir bukan karena kebutuhan,
melainkan balas jasa atau hadiah terhadap masyarakat pemilih Joko Widodo
pada pemilihan Presiden tahun 2014.
Kebijakan BBM satu harga adalah kebijakan yang diinisiasi langsung
oleh Presiden Joko Widodo. Sebagai instruksi langsung presiden, setidaknya
perlu adanya sarana atau instrumen yang dapat memberikan kekuatan
hukum tetap. Instrumen tersebut dituangkan melalui peraturan perundang-
undangan yaitu Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 Tentang
Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Perpres tersebut setidaknya mengatur tiga jenis baha bakar yaitu bahan
bakar minyak tertentu, bahan bakar minyak penugasan, dan bahan bakar
minyak umum.
2. Faktor Ekonomi
Bedasar kajian yang dilakukan oleh para pakar ekonomi, khususnya
ekonomi politik, menunjukan bahwa usaha negara merupakan suatu usaha
negara merupakan suatu fenomena yang universal sifatnya dan dianut oleh
hampir semua negara di belahan bumi ini. Bahkan beberapa pakar ekonomi
lebih tegas mengemukakan bahwa usaha negara yang diwujudkan melalui
pembentukan perusahaan negara yang sekarang dikenal dengan istilah
40
Badan Usaha Milik Negara itu merupakan suatu fenomena ekonomi pada
abad kedua puluh sesudah berlangsungnya Perang Dunia II.
Kemunculan usaha negara tersebut dalam bentuk perusahaan negara
(state enterpise) dikarenakan adanya suatu anggapan yang sama, bahwa
selalu ada sektor atau bidang yang dianggap penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak serta dinilai vital atau strategis,
sehingga hal tersebut tidak begitu saja dapat diserahkan pengelolahannya
atau penyelenggaraanya kepada usaha swasta.11
Hal tersebut semakin
diperjelas dengan gagalnya dengan penerapan sistem ekonomi pasar melalui
mekanisme pasar pasar bebas yang gagal (market failure) untuk
mengendalikan perekonomian masyarakat, sehingga memerlukan
keikutsertaan negara untuk mengatasinya.
Dari berbagai analisis yang telah dilakukan oleh para pakar,
khususnya di bidang ekonomi, umumnya beranggapan bahwa keterlibatan
atau keikutsertaan negara dalam bidang perekonomian disebabkan
kegagalan mekanisme pasar dalam mengatasi beberapa masalah ekonomi,
khususnya yang berkaitan dengan masalah makro ekonomi.12
Kegagalan
mekanisme pasar itu mencapai hasil maksimum saat depresi melanda dunia
pada 1939 yang diperkuat dengan adanya berbagai bukti empiris.
Ketidakberhasilan sistem ekonomi liberalis/kapitalis menjadi suatu
landansan bagi mekanisme pasar untuk mengatur perekonomian negara
menimbulkan berbagai kritikan dan kecaman yang pedas serta gugatan
untuk memperbaiki sistem ekonomi tersebut. Bahkan, secara ekstrem
melahirkan suatu sistem ekonomi sosialis yang memusatkan pengendalian
berpusat di tangan negara dan dikenal dengan sistem ekonomi erencana atau
centrally planed economy. Namun demikian, sistem ekonomi sosialis ini
juga tidak bertahan lama disebabkan ketidakmampuan sistem itu untuk
mengatasi berbagai masalah yang timbul, dan bahkan lebih parah lagi
dibandingkan dengan sistem ekonomi kapitalis itu sendiri.
11
Sjahrir dan Mohammad Ikhsan, “Mendifinisikan Kembali Peranan Pemerintah dalam
Pembangunan Ekonomi”, Majalah Manajemen dan Usahawan Indonesia, Nomor 4, 1994, h. 9 12
T. Mulya Lubis, Hukum dan Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1987), h. 59
41
Ketidakmampuan kedua sistem ekonomi tersebut dalam melakukan
perbaikan ekonomi masyarakat telah melahirkan suatu sistem ekonomi yang
merupakan perpaduan dari kedua sistem ekonomi campuran atau mixed
economy system.13
Kenyataannya sistem ekonomi campuran ini hampir
sama dengan sistem ekonomi yang dianut di Indonesia. Perbedannya hanya
terletak pada pembagian pelaku ekonomi. Dalam sistem ekonomi campuran
hanya terdapat dua pelaku ekonomi, yakni negara dan pihak swasta. Adapun
dalam sistem ekonomi Pancasila berdasar GBHN 1998 terdiri atas tiga
pelaku ekonomi, yakni koperasi, usaha negara, dan usaha swasta. Ketiga
pelaku ekonomi ini diharapkan untuk saling bekerja sama dengan penerapan
prinsip kemitraan usaha dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi
dengan memperkukuh usaha nasional menjadi kekutana ekonomi nasional
yang sehat, mandiri dan tangguh guna menjadi penggerak ekonomi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, keterkaitan antara tujuan
negara dan fungsi negara dengan konsep negara kesejahteraan yang
berlandas pada sistem ekonomi Pancasila melalui mekanisme pasar tekelola,
maka penguasaan negara yang diwujudkan melalui pendirian usaha negara
(BUMN) dalam bidang ekonomi akan sangat jelas terlihat. Demikian pula
penguasaan sebagian masyarakat koperasi maupun melalui usaha swasta di
Indonesia diakui pula dalam sistem ekonomi Pancasila.
Bahan Bakar Minyak lebih dikenal dengan sebutan BBM. Penentuan
harga BBM di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah dalam penjualannya.
Namun, sebelum ditetapkan harga oleh pemerintah, harga standar dari
minyak mentah mengikuti standar harga Singapura. Mengapa demikian,
karena Singapura merupakn acuan dari wilayah Asia Tenggara. Selain itu
juga Indonesia tidak mengikuti harga yang di tetapkan oleh Singapura
secara keseluruhan namun ditambah unutk memperoleh keuntungan.
Indonesia sebagi salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia, tidak
selalu dapat menikmati sumber daya alam itu secara keseluruhan. Di
13
A. Ramlan Zainudin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.5
42
Indonesia sendiri dalam mengelola minyak mentah memburtuhka biaya dan
usaha lebih karena alat untuk menegelola minyak mentah di Indonesia tidak
semua bisa di kelola hanya beberapa bahan saja yang bisa di kelola.
Permasalahan tersebut timbul di karenakan alta yang digunakan untuk
mengelola minyak mentah (Kilang) sudah tua. Alat tersebtu beroprasi ketika
jaman penjajahan Belanda dan masih digunakan oleh Indonesia untuk
mengelola minyak mentah. Alat tersebut dinamakan kilang. kilang adalah
isntalasi industri tempat minyak bumi dimurnikan menjadi produk yang
berguna dan dapat diperdagangkan.
Selama ini harga BBM di Indonesia tidak merata, di pulau Jawa harga
BBM hanya Rp. 7.000 sementara diluar pulau Jawa seperti Papua harga
BBM sebesar Rp. 70.000 bahkan sampai Rp. 100.000 per liter. Banyak
faktor yang membuat terjadinya kesenjangan harga BBM di Indonesia.
Perbedaan harga BBM menurut Vice Presiden Corporate Communication
PT Pertamina Wianda Pusponegoro karena BBM yang dijual di luar garis
distribusi PT Pertamina alias itu produk yang dijual pedagang eceran. Selain
itu juga dikarenakan biaya distribusi angkut BBM sangat tinggi.
3. Faktor Geografi 3T
Faktor –faktor yang mendorong kebijakan pemberlakukan Satu Harga
BBM :
a. Kesulitan masyarakat 3 T dalam mendapatkan BBM
b. Keinginan Pemerintah untuk memberikan pelayanan yang adil bagi
masyarakat
c. Keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah 3T.14
Menilai bahwa tidak meratanya harga BBM ini memunculkan
ketidakadilan. Pemerintah menyiapkan program untuk mengakhiri
ketidakadilan dalam akses terhadap BBM. Pemerintah bertekad agar
14
Agustinus Yanuar, TU Pimpinan BPH Migas RI, Interview Pribadi, Jakarta, 9 April 2019
43
masyarakat di seluruh NKRI dapat menikmati harga BBM yang sama.
Untuk itu perlu disiapkan infrastruktur untuk memperbaiki jalur distribusi
BBM. Pertamina sebagai BUMN dan AKR sebagai pemegang ijin niaga
BBM diminta untuk membangun penyalur atau SPBU di daerah daerah 3T.
Dengan terbangunnya SPBU atau penyalur 1 harga maka masyarakat di
daerah 3 T dapat menikmati harga BBM yang sama dengan di tempat lain.
Penurunan harga dan kemudahan akses masyarakat terhadap BBM kita
harapkan mampu meningkatkan memacu kegiatan ekonomi dan
kesejahteraaan masyarakat.
Mekanisme dan Konsep Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM
untuk menetapkan kebijakan BBM 1 harga, Pemerintah memulai dengan
melihat daerah daerah dimana terjadi perbedaan tinggi dengan harga di
daerah lain dan infrastruktur yang masih belum memadai. Dari identfikasi
tersebut Pemerintah menugaskan Pertamina untuk menyiapkan infrastruktur
dan memasok BBM yang dapat dilakukan dengan bermitra dengan pihak
swasta. Pemerintah mengawasi dan memfasilitasi agar pembangunan
fasilitas dan pasokan serta distriusi berjalan sesuai yang diharapkan.
Kondisi ini menciptakan ketergantungan BUMN kepada pemerintah,
sehingga sebagian besar justru menjadi beban bagi pemerintah.
Ketergantungan BUMN terhadap pemerintah tidak menciptakan struktur
kemandirian BUMN untuk berkompetisi dengan perusahaan swasta, dan
seringkali BUMN memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang relatif
tinggi. Kinerja, kualitas, dan produktivitas karyawan BUMN relatif rendah,
jika dibandingkan dengan karyawan perusahaan swasta. Tingginya biaya
produksi mempengaruhi mempengaruhi tingkat harga produk yang
ditawarkan kepada konsumen. Dalam kasus tertentu pemerintah
memeberikan subsidi yang terlalu besar bagi BUMN, sehingga secara
internal upaya untuk menciptakan efesiensi dalam tubuh BUMN menjadi
makin sulit. Ketidakjelasan peran yang diambil oleh pemerintah dalam
pengelolaan BUMN yang bersangkutan. High Cost Economy dalam BUMN
44
yang di antaranya ditunjukan oleh tingginya biaya tenaga kerja, merupakan
salah satu gambaran betapa BUMN belum dapat beroperasi secara efisien.15
4. Faktor Social Responsibility
Perlu Adanya Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM untuk
keadilan masyarakat. Sesuai dengan cita cita Pemerintah yaitu
mengembangkan energy yang berkeadilan. Dengan pemberlakukan 1 harga
Pemerintah ingin menunjukkan bahwa Pemerintah melayani kebutuhan
dasar masyarakat secara adil, dimanapun mereka berada.
Dengan BBM 1 harga Pemerintah menjalankan fungsinya untuk
menyediakan kebutuhan masyarakat yang vital dengan prinsip memberikan
perlindungan dan keberpihakan kepada masyarakat yang kurang beruntung.
Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM Telah Sesuai dengan Konsep
Negara Kesejahteraan. Pertamina tetap menjadi andalan dalam mengelola
migas nasional dan menjaga ketahanan energy nasional. Masuknya mitra
mitra lain dimasudkan sebagai komplementari dan untuk meningkatkan
daya saing Pertamina.
Dengan demikian pemerintah membuat kebijakan melalui Menteri ESDM
dengan menerbitkan Permen ESDM Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pemberlakuan Satu Harga BBM yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia dimulai
pada tanggal 1 Januari 2017.16
Kebijakan ini dibentuk atas dasar karena selama ini
ada jurang harga yang jauh antara harga jual di pulau Jawa dan daerah luar Jawa
terutama wilayah bagian Timur. Secara prinsip dasar pemerintah ingin
mewujudkan bahwa Indonesia sebagai negara kesatuan dengan tidak membeda-
bedakan harga BBM di Indonesia. Kebijakan ini untuk mengangkat keadilan dan
pemerataan di Indonesia sesuai dengan sila ke 5 “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia" sehingga tidak ada lagi kesenjangan antar daerah, namun
kalaupun ada disparitas harga tidak terlalu jauh.
15
Satra Widjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, (Bandung : Penerbit Alumni, 2005), h.
203 16
Sandy Mulia Ardhan , “Kebijakan Pemerintah Presiden Joko Widodo Tentang
Pemberlakuan Satu Harga BBM Di Indonesia”, (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018), h. 2
45
BAB IV
IMPLKASI HUKUM KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN SATU HARGA
BBM TERHADAP PT. PERTAMINA (PERSERO)
A. Legalitas PT. Pertamina (Persero) dalam Mengambil Kebijakan
Pemberlakuan Satu Harga BBM
PT. Pertamina (Persero) berada pada dua peraturan perundang-undangan
yang memiliki legalitas hukum kuat yaitu Peraturan Menteri Energi Sumber
Daya Mineral Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu
Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak
Khusus Secara Nasional dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
Badan Usaha Milik Negara. Dalam hal ini peneliti ingin membandingkan
kelebihan dan kekurangan setiap peraturan perundang-undangan bedasarkan
Teori Politik Hukum dan Teori Utilities.
1. Analisis Bedasarkan Teori Politik Hukum
Sejumlah ahli pernah mengemukakan definisi tentang politik hukum.
Mantan Kepala BPHN, T.M. Radhie, mendifinisikan politik hukum sebagai
suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku
di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.1
Definisi ini mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah
negara pada saat ini dan ius constituendum atau hukum yang akan atau
seharusnya diberlakukan di masa mendatang.
Politik Hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan
diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya
dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam
arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan
sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan dalam konteks
Indonesia tujuan dan sistem ini terkandung di dalam Pembukaan Undang
Undang Dasar 1945, khususnya Pancasila, yang melahirkan kaidah-kaidah
penuntun hukum.
1 Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional, Majalah Prsima, No. 6, 1973, h. 3
46
Sementara itu, ilmu atau studi politik hukum bukan hanya
menyangkut policy atau arah resmi tentang hukum yang akan diberlakukan
melainkan menyangkut juga berbagai hal yang terkait dengan arah resmi itu,
misalnya politik apa yang melatarbelakangi, budaya hukum apa yang
melingkupi, dan problema penegakan macam apa yang dihadapi. Berbeda
dari politik hukum, ilmu Politik hukum itu membedah semua unsur, dalam
sistem hukum yang unsur-unsur utamanya oleh Friedman dikelompokan
menjadi tiga unsur besar, yaitu materi hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum. Dalam hal ini, ilmu politik hukum bukan hanya mencakup politik
hukum dalam arti sebagai arah resmi negara untuk memberlakukan atau
tidak memberlakukan hukum guna mencapai tujuan negara, melainkan ia
juga mencakup latar belakang dan lingkungan yang mempengaruhi serta
sebagai persoalan yang dihadapi dalam upaya menegakannya.
Agak berbeda dengan Radhie, Padmo Wahjono mengatakan bahwa
politik hukum adalah kebijakan yang menentukan arah, bentuk, maupun isi
dari hukum yang akan dibentuk.2 Definisi ini kemudian diperjelas oleh
Padmo Wahjono bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara
negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu
yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan
hukum. Meski perbedaan definisi mereka tidak terlalu tajam, dapat
dikesankan bahwa Padmo Wahjono melihat politik hukum dengan lebih
condong pada ius constituendum, sedangkan Radhie mendefinisikan politik
hukum sebagai rajutan (saling keterkaitan) antara ius constituendum dan ius
constitutum. Dari definisi yang dikemukakan oleh Padmo Wahjono, telaah
tentang pergulatan politik di balik lahirnya hukum mendapat tempat di
dalam studi tentang politik hukum sebab hukum itu adalah produk politik.
Oleh sebab itu, Mahfud MD membagi studi politik hukum ke dalam
tiga kelompok.3 Pertama, arah resmi tentang hukum yang akan
2 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Bedasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1986), h.
160 3 Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, (PT. Raja
Grafindo, Jakarta: 2012), h. 6
47
diberlakukan atau tidak akan diberlakukan (legal policy) guna mencapai
tujuan negara yang mencakup penggantian hukum lama dan pembentukan
hukum-hukum yang baru sama sekali. Kedua, latar belakang politik dan
subsistem kemasyarakatan lainnya di balik lahirnya hukum, termasuk arah
resmi tentang hukum yang akan atau tidak akan diberlakukan. Ketiga,
persoalan-persoalan di sekitar penegakan hukum, terutama implementasi
atas politik hukum yang telah digariskan.
Dari berbagai definisi tersebut dapatlah dapatlah dibuat rumusan
sederhana bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang
dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum
dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan
bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses
pencapaian tujuan negara. Selain itu, politik hukum juga merupakan
jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif
formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara. Di dalam pengertian ini,
pijakan utama politik hukum nasional adalah tujuan negara yang kemudian
melahirkan sistem hukum nasional yang harus dibangun dengan pilihan isi
dan cara-cara tertentu. Dengan demikian, politik hukum mengandung dua
sisi yang tak terpisahkan, yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal
policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan sekaligus
sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang
dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut
untuk mencapai tujuan negara.
Dengan pengertian-pengertian tersebut, maka pembahasan politik
hukum untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum nasional
mencakup sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut.
a) Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan sebagai
orientasi politik hukum, termasuk penggalian nilai-nilai dasar tujuan
negara sebagai pemandu politik hukum.
b) Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya
48
c) Perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum
d) Isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
e) Pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative
review, dan sebagainya.
Dalam menentukan arah maupun tujuan dari pembentukan suatu aturan
pasti tidak lepas dari kegiatan politik hukum. Politik hukum tidak hanya
diartikan sebagai cara dari pembentukan peraturan secara sepihak dan
menguntungkan pihak atau golongan tertentu tetapi juga mengedepankan
asas dan prinsip hukum yang berlaku di Negara tersebut.
Dalam unsur-unsur politik hukum menerapkan asas demokratis,
karena pemerintah yang demokratis akan menciptakan hukum yang
progresif, sedangkan pemerintahan yang otoriter akan menimbulkan
hukum yang saklek. Ini artinya pada negara demokratis seperti Indonesia,
politik hukum yang dimaksud memberikan peluang kepada rakyat untuk
berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan kehendak yang nantinya
akan direpresentasikan kepada lembaga yang berwenang untuk
menentukan arah kebijakan.
2. Analisis Bedasarkan Teori Utilities
Bentham menerapkan prinsip-prinsip umum dari pendekatan
utilitarian ke dalam kawasan hukum. Namun demikian, sumbangannya yang
paling banyak terletak di bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah
bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia
mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-
rendahnya penderitaan.4 Standar penilaian etis yang di pakai disini adalah
apakah suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan. Pemidanaan, menurut
Bentham harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan dan seberapa jeranya
pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah
4 Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN: 2009), h. 118
49
dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa
diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang
lebih besar.
Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani
kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah rakyat. Prinsip kebahagiaan
yang terbesar ini berakar sangat kuat pada keyakinan Bentham dan dengan
demikian sangat menentang setiap teori yang mengajarkan tentang hak-hak
asasi yang tidak dapat diganggu gugat. Pasal 1 Konvensi tahun 1793ntelah
mengalihkan tekanannya; “tujuan masyarakat adalah kebahagiaan bersama,
pemerintah didirikan untuk menjamin manusia menikmati hak-haknya yang
dialami dan tidak dapat dialihkan.” Peralihan dari naskah semula yang
menekankan pada hak-hak alami kepada keagungan kebahagiaan sosial
untuk bagian terbesar berasal dari pengaruh Bentham.5
Apabila Bentham lebih menekankan kepada utilitarisme individual,
maka paham Rudolf Van Jhering sering disebut sebagai “social
utilitarianem”. Sistem Jhering mengembangkan segi-segi dari positivsm
Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilarisme dari
Bentham dan Mill. Jhering mengembangkan filsafat hukumnya sesudah
melakukan studi yang insentif terhadap hukum romawi.
John Stuart Mill setuju dengan Bentham, bahwa suatu tindakan itu
hendaklah ditujukan kepada pencapaian kebahagiaan. Ia menyetujui, bahwa
standar keadilan hendaklah didasarkan pada kegunaannya. Akan tetapi ia
berpendapat, bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan
pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk
mempertahankan diri dan perasaan simpati.
Menurut Mill keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak
dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh
siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan
memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar
5 Lawrence Friedman, The Legal System, A Social Science Perspektive, (New York, Russel
Sage Foundation, 1975), h. 213
50
kepentingan-kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai
kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat
keadilan dengan demikian mencakup semua persyaratan moral yang sangat
hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.
Pertamina menjadikan sebagai badan usaha dalam bentuk Persero,
maka sebenarnya tidak begitu tepat karena peruntukan dari Persero adalah
untuk mencari keuntungan atau profit oriented walaupun dalam beberapa
pasal dalam Undang-Undang BUMN juga mengamini jika tujuan
didirikannya Persero adalah untuk menggerakan roda perekonomian bangsa
secara menyeluruh dan berkeadilan. Sedangkan jika dikaitkan dengan
prinsip utility (kemanfaatan) pembentukan badan usaha dalam bentuk
Perum justru lebih tepat dikarenakan memang orientasi atau tujuan
pembentukannya adalah untuk kemanfaatan umum dengan memberikan
barang/jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau.
Prinsip utility dan politik hukum hakikatnya memang tidak dapat
dipisahkan, karena memang prinsip kemanfaatan merupakan kepentingan
fundamental yang masuk dalam pertimbangan aktivitas politik hukum yang
berlandaskan pada Pancasila. Hal ini sejalan dengan konfigurasi politik
secara demokratis yang membuka peluang partisipasi rakyat dalam
menentukan arah kebijakan dengan pemerintah sebagai lembaga perwakilan
untuk menciptakan kebijakan yang proporsional.
B. Analisis Implikasi Hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM
Terhadap PT. Pertamina (Persero) dan Masyarakat
Kebijakan pemberlakuan satu harga BBM oleh Perusahaan Perseroan (PT.
Pertamina) menjadi bahan diskursus publik dimana banyak yang harus digali
dan diteliti lebih dalam mengapa persero yang berorientasi pada tujuan mencari
keuntungan semata justru menjalankan kebijakan yang memiliki aksentuasi
kemamkmuran dan keadilan bagi rakyat luas yang seharusnnya menjadi tujuan
dari perusahaan umum. Berikut peneliti akan menjabarkan dan
memaparkannya dalam bentuk analisis yang dibagai menjadi tiga bagian:
51
1. Analisis Filosofis
Ketika manusia sepakat atas eksistensi keadilan maka mau tidak mau
keadilan harus mewarnai perilaku dan kehidupan manusia dalam hubungan
dengan tuhannya, dengan sesama individu, dengan masyarakat, dengan
pemerintah, dengan alam, dan dengan mahluk ciptaan tuhan lainnya.
Walaupun keadilan merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia
namun kadangkala keadilan hanya menjadi bahan perdebatan tiada akhir;
apa itu keadilan, bagaimana wujud keadilan, dimana itu keadilan dan kapan
seseorang memperoleh keadilan, dan masih banak lagi pertanaa-pertanaan
yang rumit mengenai keadilan.
Hukum dan keadilan sebenarnya dua elemen yang saling bertaut yang
merupakan “conditio sine qua non” bagi yang lainnya. Supremasi hukum
yang selama ini diidentikan dengan kepastian hukum sehingga
mengkultuskan undang-undang, menjadi titik awal timbulnya masalah
penegakan hukum. Keadilan pada bangsa ini telah menjadi sesuatu yang
langka, negara belum mampu meberi jaminan lahirnya peraturan perundang-
undangan yang memiliki roh keadilan, serta tegaknya hukum yang
bersandar pada keadilan. Makna keadilan seolah-olah tereliminasi oleh
penegakan hukum, karena konsep hukum yang adil demokratis belum
menjadi sebuah realita yang dapat memberikan suatu jaminan bahwa hukum
mampu meberi solusi yang adil bagi masyarakat.
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan
berevolusi mengikuti mengikuti ritme zaman dan ruang, lanjut sampai
manusia tidak beraktivitas lagi. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan
yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-
duanya merupakan daya rohani, dimana rasa dapat berfungsi untuk
mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai
moral seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan baik
dan buruk adalah rasa.6
6 M. Rasjidi dan H. Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1998), h. 17
52
Manusia dalam semua perbuatannya akan selalu mengejar sesuatu
yang baik, sesuatu yang dikejar atau dituju oleh kehidupan manusia.
Perbuatan manusia merupakan ekspresi dari bisikan-bisikan kalbu. Seluruh
sifat yang muncul dari hati akan terekspresikan anggota tubuh, sehingga hati
adalah pemegang kedali dan anggota tubuh tunduk kepadanya, sehingga
tidak ada perbuatan yang dilakukan anggota tubuh kecuali atas tanda-tanda
dari hati. Jika hati suci, maka perbuatan akan baik.7 Perbuatan manusia akan
bernilai jika perbuatan tersebut baik dan bermanfaat yang lahir dari bisikan
hati yang suci, sehingga dengan demikian nilai (value) merupakan suatu
prinsip etik yang bermutu tinggi dengan pedoman bahwa keberadaan
manusia itu harus memperhatikan kewajibannya untuk bertanggung jawab
terhadap sesamanya.v4 v
Program BBM satu harga ini memiliki tujuan utama yakni untuk
memberikan keadilan nasional. Sesuai dengan amanat pada Pancasila sila
Ke-5 yakni “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jadi dasar
dalam pemberlakuan BBM satu harga ini adanya kesamarataan terhadap
harga BBM dari seluruh wilayah di Indonesia. Agar wilayah dengan kondisi
3T dapat merasakan harga yang sama dengan daerah lainnya. Karena
kebanyakan wilayah 3T ini harga BBM terbilang sangat mahal ketimbang
dengan harga BBM di wilayah non 3T.
Hadirnya kebijakan BBM satu harga merupakan bentuk respon
pemerintah terhadap kondisi ketimpangan ataupun ketidakadilan pada sektor
energi di Indonesia. Hal ini jika ditangani secara lambat akan berpengaruh
pada disintegrasi kebutuhan masyarakat, yang berujung pada rendahnya
tingkat kesejahteraan rakyat, karena BBM sebagai salah satu pendukung
kebutuhan masyarakat. Seusai dengan teori Welfare State bahwa dalam
memenuhi kesejahteraan rakyat yakni dengan terpenuhinya kebutuhan
masyarakat melalu pengintegrasian sumber alam yang sudah di kelola oelh
pemerintah dalm hal ini adalah BBM dengan penyelenggaraanya
7 Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 262
53
makasudnya adalah pendistribusian nya yakni melalui BUMN ini. Sehingga
pemenuhan kebutuhan rakyat untuk menopang kesejahteraan rakyat dapat
terjadi kontinuitas atau berkelanjutan. Respon cepat pemerintah dirasa tidak
sepenuhnya memberikan dampak baik bagi setiap pihak. Pertamina tetap
menjadi andalan dalam mengelola migas nasional dan menjaga ketahanan
energy nasional. Masuknya mitra mitra lain dimasudkan sebagai
komplementari dan untuk meningkatkan daya saing Pertamina.
Konsep ini erat kaitannya dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi
masyarakat yang mengalami masa suram akibat gagalnya sistem politik dan
ekonomi kapitalis yang bebas dengan bertumpu pada konsep negara hukum
liberal. Dengan jelas Utrecht (1960) mengemukakan bahwa suatu negara
semacam itu, yang umum dikenal sebagai tipe negara liberal, dimana negara
berperan dan bertindak sebagai “negara penjaga malam”
(nacthwakerstaat).8
Dengan dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi masayarakat
yang semakin memprihatinkan, khususnya kegagalan sistem ekonomi
kapitalis yang mengandalkan pada berlakunya sistem ekonomi pasar yang
bebas tanpa campur tangan negara, telah mengakibatkan krisis ekonomi
pada masyarakat. Kebebasan dan persamaan (“vrijheid en gelijkheid”) yang
melandasi perhubungan masyarakat dengan negara dirasakan sudah tidak
memadai lagi. Peranan negara yang dahulunya dirasakan terbatas pada pada
penjagaan ketertiban semata, diupayakan untuk diperluas dengan memberi
kewenangan yang lebih besar pada negara untuk mengatur perekonomian
masyarakat.
Kepentingan umum sebagai asas hukum publik tidak lagi di artikan
sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga ketertiban atau
kepentingan kaum borjuis sebagai basis masyarakat dari hukum negara
liberal, tetapi kepentingan umum adalah kepentingan “gedemocratiseerde
8 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakya di Indonesia, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1987), h. 78
54
natonale staat, waarvan het hele volk in al zijn geledingen deel uitmaakt.”
Berubahnya pandangan tentang konsep negara liberal tersebut, melahirkan
suatu konsep baru tentang tipe negara kesejahteraan yang lebih dikenal
dengan konsep welfare state (welvaarstaat), yang pada akhir abad ke-19 dan
memasuki paruh awal abad ke-20 berkembang pesat di Eropa Barat.
Konsep negara kesejahteraan tersebut terus mengalami perkembangan
dengan melalui banyak varian. Menurut Utrecth (1960), lapangan pekerjaan
dalam konsep negara kesejahteraan mengutamakan kepentingan seluruh
rakyat dengan tugas dan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum,
seperti kesehatan masyarakat, pengajaran, perumahan, pembagian tanah,
dan sebagainya. Banyaknya kegiatan atau kepentingan yang dahulu
diusahakan oleh swasta, sekarang telah diambil alih dan diselengggarakan
oleh negara. Bahkan konsep tersebut telah pula memperluas bidang tugas
atau lapangan pekerjaan negara atau pemerintah khususnya dalam
administrasi negara. Oleh Lemaire tugas tersebut dinamakan bestuurzorg.
Di belanda pada masa pemerintahan kabinet Loebers konsep welvaarstaat
(verzorgingstaat) diarasakan terlalu mahal terlalu mahal untuk
dilaksanakan, sehingga pemerintah kerajaan Belanda menerapkan suatu
konsep baru yaitu pada dasarnya hampir sama dengan konsep welfare state
yakni yang disebut dengan konsep warborgstaat.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka menarik untuk
mengetengahkan pandangan dari Philipus M Hadjon (1985) dalam
disertasinya, yang mengasakan bahwa meskipun terdapat dalam rumusan
pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tujuan negara adalah untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, akan tetapi
tujuan tersebut janganlah ditafsirkan bahwa negara hukum pancasila
merupakan negara kesejahteraan dalam pengertian welvaarstaat.
Phillipus M. Hadjon (1985) dengan tegas mengemukakan, bahwa
menafsirkan tujuan negara tersebut untuk dijadikan sebagai patokan dalam
menetapkan bahwa negara Republik Indonesia adalah sebuah negara
kesejahteraan dalam pengertian welvartstaat, akan menimbulkan
55
pemahaman yang keliru terhadap penerapan konsep tersebut. Pada satu segi
menggaduhkan tujuan mewujudkan kesejateraan dengan konsep
welvaartstaati dan pada sisi lain tidak sesuai dengan latar belakang
perumusan tujuan negara Republik Indonesia dalam pembukaan Undang
Undang Dasar 1945.9
Peneliti sependapat dengan Philipus M. Hadjon dengan alasan, bahwa
penuangan konsep negara kesejahteraan dalam perumusan tujuan negara
Republik Indonesia jelas berbeda arti dan maknanya dengan perumusan
konsep negara kesejahteraan dalam artian welvaartstaat. Hal itu didasarkan
pada rumusan cita negara (staatsidea) bangsa Indonesia yang berbeda
dengan rumusan cita negara pada waktu konsep negara kesejahteraan
tersebut dimunculkan. Perumusan cita negara bangsa Indonesia
sebagaimana oleh A. Hamid S. Attamini (1990) berasal dari cita masyarakat
bangsa Indonesia. Rumusan cita negara tersebut boleh dikatakan bersumber
pada kehendak dan pemikiran yang telah ada lebih dahulu sebelum dibentuk
negara Republik Indonesia.10
Hal ini sejalan dengan pandangan dengan
pandangan dari Bierens de Haan yang mengemukakan, bahwa negara adalah
suatu peningkatan lebih tinggi dari ide yang berkembang dalam kesatuan-
kesatuan masyarakat yang telah ada lebih dahulu sebelum mereka
membentuk negara.
Selanjutnya, peneliti dapat mengemukakan bahwa meskipun konsep
negara kesejahteraan dalam arti welvaartstaat berbeda arti dan maknanya
dengan konsep negara kesejahteraan Pancasila, akan tetapi kedua konsep
tersebut sama-sama memberikan perhatiannya kepada kesejahteraan
masyarakat meskipun dengan cara dan pelaksanaannya yang berbeda,
sehingga esensi yang terkandung dalam kedua konsep tersebut dapat
dijadikan landasan teoretis bago keikiutsertaan negara dalam kehdupan
9 A. Hamid S. Attamini, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi, Pascasarjana Universitas
Indonesia, 1990, h. 55 10
Yusril Ihza Mahendra, “Dinamika Tata Negara Indonesia: Komplikasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 4
56
masyarakat.11
Bahkan dalam konsep negara kesejahteraan Pancasila itu,
kehadiran negara atau pemerintah dianggap sebagai suatu kewajiban untuk
mengatur dan mengarahkan masyarakat sebagai satu kesatuab dan keluarga.
Bahwa Pancasila menjadi pedoman bagi kehidupan kenegaraan dan
hukum Republik Indonesia dalam konkretnya dan tidak sekedar cita-cita
dalam abstraknya saja. Lebih lanjut Notonegoro, memberikan penegasan
bahwa Pancasila tidak tinggal cita-cita dalam angan-angan, akan tetapi telah
mempunyai bentuk dan isi yang formal dan material untuk menjadi
pedoman bagi hidup kenegaraan dan hukum Indonesia dalam konkretnya.
Menurut pendapat Notonegoro, Undang-Undang Dasar 1945 dengan
pembukaan merupakan kesatuan, yang berarti bahwa tafsir Undang-Undang
Dasar harus dilihat dari sudut pembukaan dan pelaksanaan Undang-Undang
Dasar 1945 itu, jadi yang terkandung di dalam Pancasila. Dalam pada itu
Notonegoro mengungkapkan kembali apa yang menjadi pesan para
founding fathers negara ini, ialah semangat para penyelenggara negara,
semangat para pemimpin pemerintahan, dan semangat para pemimpin
rakyat. Bahwa semangat itu hidup dan bersifat dinamis yang senantiasa
mewujudkan nilai-nilai pancasila di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara.12
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antara konsep
negara negara kesejahteraan dalam arti negara hukum Pancasila dengan
tujuan negara yang ingin dicapai melalui fungsi negara yang menjadi dasar
keikutsertaan negara dalam pergaulan hidup masyarakat khususnya dalam
bidang ekonomi menjadi jelas. Perwujudan tujuan negara sesuai dengan
konsep negara kesejahteraan yang berlandaskan Pancasila hanya bisa
tercapai kalau didukung dengan unsur kekuasaan negara di dalamnya.
11
Sri Maemunah Suharto, Pengelompokan BUMN dalam Rangka Penyusunan Tolak Ukur
pada Evaluasi Kinerja di Indonesia”, Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Airlangga,
1996, h. 28 12
Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta: CV Pantjuran Tujuh, 1980), h.
174
57
Tujuan negara yang terungkap demikian dalam pembukaan Undang Undang
Dasar 1945 itu tentunya memerlukan suatu fungsi negara yang bukan hanya
berfungsi sebagai pengatur atau pengendali semata, akan tetapi dibutuhkan
pula fungsi negara sebagai penyedia kesejahteraan umum, pengusaha dan
sebagai wasit yang adil dan fair dalam kegiatan perekonomian negara.
Sejak Indoenesia merdeka, fungsi dan peranan perusahaan negara
sudah menjadi perdebatan dikalangan founding fathers, terutama pada kata
dikuasai oleh negara. Bung Karno menafsirkan bahwa, karena kondisi
perekonomian masih lemah pasca kemerdekaan, maka negara harus
menguasai sebagian besar bidang usaha yang dapat menstimulasi kegiatan
ekonomi. Sedangkan Bung Hatta menentang pendapat ini dan memandang
bahwa negara hanya cukup menguasai perusahaan yang benar-benar
menguasai kebutuhan pokok masyarakat seperti listrik dan transportasi.
Pandangan Hatta ini kemudian kemudian lebih sesuai dengan paham
ekonomi modern, dimana posisi negara hanya cukup menyediakan
infrastruktur yang mendukung proses pembangunan.13
Dalam perkembangan selanjutnya, BUMN di Indonesia mengalami
beberapa perubahan, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan
kebijakan pemerintah. BUMN sebagai salah satu tulang punggung
perekonomian (aset produktif yang dimiliki oleh pemerintah) diharapkan
mampu memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dalam bentuk
dividen dan pajak. Pemerintah sangat berkepentingan atas kesehatan
BUMN, akan tetapi pada kenyataannya bayak BUMN yang mengalami
kerugian karena pengelolaan yang tidak profesional dan tidak transparan.
Dalam perjalannya, BUMN di Indonesia (pada masa Orde Baru) mengalami
tumbuh kembang dengan melalkukan beberapa perubahan dan penambahan
serta pengelompokan bedasarkan kelompok Industri. Perubahan bentuk
perusahaan menjadi perusahaan persero mengalami peningkatan yang pesat,
dimana pada masa Kabinet Ampera pemerintah hanya memiliki 1
13
Roziq M. Kaelani, Landasan Hukum dan Sejarah BUMN di Indonesia, Buletin KAHMI
FE Universitas Brawijaya, Edisi 1, 2007, h. 4
58
perusahaan persero. Pada masa Orde Baru berkembang menjadi sekitar 71
perusahaan persero. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
melakukan stabilitas harga dan laju inflasi pemerintah memberikan proteksi
dan hak monopoli kepada BUMN serta memberikan subsidi yang cukup
besar bagi BUMN yang merugi.
Secara umum BBM 1 harga meningkatkan peran Pertamina dalam
melakukan misinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam
jangka pendek memang Pertamina mengeluarkan investasi untuk BBM 1
harga tetapi investasi yang dikelurakan akan kembali dengan tambahan citra
Pertamina yang semakin baik dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Secara yuridis persero yang harus berorientasi pada keuntungan dan juga
dituntut untuk menuruti keinginan pemerintah ternyata memunculkan
kontradiksi terhadap orientasi persero.14
Adanya kontradiksi pada orientasi
persero nyatanya harus dihadapi oleh persero itu sendiri.
Pendapat Prof Nindyo Pramono terhadap persero Indonesia
mengatakan bahwa persero dalam perjalanannya akan selalu menghadapi
dua masalah, yaitu secara internal persero disibukkan dengan urusan
profersional perusahaan, dari segi eksternal persero harus mengikuti arahan
dan kemauan politik pemerintah. Atas pandangan tersebut, Prof Nindyo
Pramono memberikan solusi berupa penekanan terhadap organ perseroan
yaitu direksi. Sebagai organ utama dalam pengurusan persero, tidak semua
elit persero dapat menduduki posisi direksi. Posisi tersebut harus diisi oleh
direksi yang memiliki dua kualifikasi khusus yaitu memiliki jiwa dagang
dan kesadaran ataupun pengetahuan politik15
Dengan diterapkannya kebijakan pemberlakuan satu harga terhadap
BBM merupakan salah satu bentuk prinsip dan komitmen negara dalam
14
Rahayu Hartini, BUMN Persero Konsep Keuangan Negara dan Hukum Kepailitan di
Indonesia, (Malang : Setara Press, 2017), h. 3 15
Nindyo Pramono, Hukum Perseroan, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Unoversitas
Gadjah Mada, 1995), h. 62
59
mengakomodir kebutuhan rakyatnya terhadap BBM dan merupakan
implementasi terhadap nilai-nilai dalam dasar negara yang dimana
mewajibkan negara berlaku adil kepada seluruh rakyatnya. Kebijakan
pemberlakuan satu harga menjadi langkah yang baik karena demi
pemerataan dan kestabilan ekonomi yang menyeluruh, negara satu demi
satu telah menunaikan kewajibannya dalam menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak seluruh rakyatnya.
Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau
menegakan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan
(Qs. An-Nisaa (4): 58):
م ت م ك ا ح ذ إ ا و له لى أه اوات إ م وا ال د ؤ ن ت م أ ك ر أم ي إن الل
م به ظك ا يع م وع ل إن الل د ع ال ىا ب م ك ن تح ه الىاس أ ي ب
ا ا بصير يع ان س م ك إن الل
”sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberikan pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar dan Maha Melihat”
Murtadha Muthahhari16
mengemukakan bahwa konsep adil dikenal
dalam empat hal: pertama adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu
masyarakat yang ingin tetap bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut
harus berada dalam keadaan seimbang, dimana segala sesuatu yang ada
didalamnya harus eksis dengan kadar semestinya dan bukan dengan kadar
yang sam.keseimbangan sosial mengharuskan kita melihat neraca kebutuhan
dengan pandangan yang relatif melalui penentuan keseimbangan yang
relevan dengan menerapkan potensi yang semestinya terhadap
keseimbangan tersebut. Al-Qur’an Surat Ar-Rahman 55:7
ان ف ع ه ا و و ض ع ال م يز س م اء ر ال و
16
Murtadha Muthahari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam , (Bandung : Mizan,
1995), h. 53-58
60
diterjemahkan bahwa: ”Allah meninggikan langit dan dia meletakkan
neraca (Keadilan)”
Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri17
mempunyai arti yang lebih
dalam dari pada apa yang disebut dengan keadilan distributif dan finalnya
Aristoteles; keadilan formal hukum Romawi atau konsepsi hukum yang
dibuat manusia lainnya. Ia merasuk ke sanubari yang paling dalam dari
manusia, karena setiap orang harus berbuat atas nama Tuhan sebagai tempat
bermuaranya segala hal termasuk motivasi dan tindakan. Penyelenggaraan
keadilan dalam Islam bersumber pada Al-Qur’an serta kedaulatan rakyat
atau komunitas Muslim yakni umat.
Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah
menempatkan sesuatu pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya
pikul seseorang, memberikan sesuatu yang memang menjadi dengan kadar
yang seimbang. Prinsip pokok keadilan digambarkan oleh Madjid
Khadduri18
dengan mengelompokan ke dalam dua kategori, yaitu aspek
substantif dan prosedural yang amsing-masing meliputi satu aspek dari
keadilan yang berbeda. Asoek substantif berupa elemen-elemen keadilan
dalam substansi syariat (keadilan substantif), sedangkan aspek prosedural
berupa elemen-elemen keadilan dalam hukum prosedural yang dilaksanakan
(keadilan prosedural).
Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau diaplikasikan
secara tidak tepat, maka ketidakadilan prosedural muncul. Adapun keadilan
substantif merupakan aspek internal dari suatu hukum dimana semua
perbuatan yang wajib pasti adil (karena firman Tuhan) dan yang haram pasti
tidak adil (karena wahyu tidak mungkin membebani orang-orang yang
beriman suatu kezaliman). Aplikasi keadilan prosedural dalam Islam
17
A. A. Qadri, Sebuah potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah Pemerintahan
Muslim, (Yogakarta: PLP2M, 1987), h.1 18
Madjid Khadduri, Teologi Keadilan (Perspektif Islam), (Surabaya: Risalah Gusti, 1999),
h. 119-201
61
dikemukakan oleh Ali Ibnu Abi Thalib19
pada saat perkara di hadapan
hakim syuriah dengan menegur hakim tersebut sebagai berikut:
a. Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke dalam majelis, jangan
ada yang didahulukan.
b. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim.
c. Hendaklah hakim menghadapi mereka dengan sikap yang sama.
d. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan
diperhatikan.
e. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.
Sebagai penutup uraian tentang keadilan dari perspektif Islam, Imam
Ali20
sekaligus sebagai “Pemimpin Islam tertinggi pada zamannya” beliau
mengatakan bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip yang signifikan
dalam memelihara keseimbangan masyarakat dan mendapat perhatian
publik. Penerapannya dapat menjamin kesehatan masyarakat dan membawa
kedamaian kepada jiwa mereka. Sebaliknya penindasan, kezaliman, dan
diskriminasi, tidak akan dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan.
Jika pemikir-pemikir terdahulu tentang keadilan selalu mencari
legitimasi keadilan yang sumbernya bersifat transendental (budi Tuhan) atau
pada budi manusia, maka pemikir-pemikir kemudian mencoba mencari
legitimasi keadilan pada produk masyarakat, sebagaimana dikembangkan
oleh ajaran hukum murni oleh Hans Kellsen21
yang mengeaskan konsep
keadilan secara jernih yang bebas nilai. Hans Kellsen mengambil jarak dari
penafsiran keadilan yang menggunakan aneka macam legitimasi, baik
politik maupun etika, yang tidak dapat melepaskan diri muatan teologis.
Menurutnya, idealisme dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan
dualisme dalam norma keadilan, dimana yang satu adalah norma yang
sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah norma keadilan
19
Hamka, Tafsir Al-ashar Jus V, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983) h. 125 20
Sukarno Aburaera, dkk, Filsafat Hukum (Teori dan Praktik), (Jakarta: Kharisma Putra
Utama, 2013), h. 194 21
B. Kusumohamidjojo, Ketertiban yang adil: Problematika Filsafat Hukum, (Jakarta:
Grasindo, 1999), h. 129-131
62
yang bersumber pada akal budi manusia. Hans Kellsen hanya mengakui satu
macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum positif yang
ditetapkan oleh manusia bedasarkan norma dasar berlakunya hukum positif.
2. Analisis Yuridis
Melalui Pasal 19 Ayat (1) Perpres Nomor 191 Tahun 2014
menyatakan bahwa, “Untuk pertama kali, penugasan penyediaan dan
pendistribusian jenis BBM khusus penugasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, untuk tahun 2015 diberikan kepada PT. Pertamina (Persero)”.
Secara ekonomis PT Pertamina selaku BUMN pengelola BBM menyadari
bahwasanya kebijakan satu harga BBM maka akan terjadi kerugian sebesar
Rp. 800 miliar pertahun.
Baru-baru ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
menyebutkan bahwa PT Pertamina telah menanggung kerugian dari
penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM), hingga 30 Juni 2017 kerugian
ditaksir mencapai US$ 957 juta atau sekitar Rp 12 triliun. Kerugian
penjualan premium maupun solar itu termasuk juga dari program BBM satu
harga. Hal ini diungkapkan kementerian BUMN dalam rapat dengan Komisi
VI DPR RI pada 30 agustus 2017. Sementara jika dilihat keuntungan laba
bersih dari PT Pertamina sepanjang 2016 sebesar US$ 3,15 miliar atau
sekitar Rp 42 triliun. Oleh sebab itu maka akan mengurangi pendapatan
negara dari BBM, bahkan dampak jangka panjang jika tidak diatasi dapat
mengakibatkan penurunan laba bahkan bisa menyebabkan kerugian.
Meskipun pemerintah menyadari untuk mewujudkan kebijakan ini
membutuhkan biaya logistik yang cukup besar namun tetap diterapkan
untuk mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.
Pertamina sebagai perseroan penugasan, adalah salah satu pihak yang
tidak mendapatkan dampak baik atas kebijakan BBM satu harga ini.
Semenjak kebijakan ini mulai diberlakukan, Biaya Rp. 800 Miliar adalah
biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh Pertamina, untuk mendukung
proses realisasi dan distribusi BBM ke Papua. Beban biaya tersebut adalah
63
murni berasal dan dikelola oleh Pertamina, mengingat dalam kebijakan ini
pemerintah tidak memberikan subsidi, seperti yang dinyatakan dalam Pasal
1 Ayat 2 Perpres Nomor 191 Tahun 2014, “Jenis Bahan Bakar Minyak
Khusus Penugasan yang selanjutnya disebut Jenis BBM Khusus Penugasan
adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi dan/atau
bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi yang telah
dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar
Lain dengan jenis, standart dan mutu (spesifikasi) tertentu, yang
didistribusikan di wilayah penugasan, dan tidak diberikan subsidi”. Biaya
Rp. 800 Miliar menurut Direktur Utama Pertamina Dwi Sujtipto selain
menjadi beban keuangan, juga dapat menimbulkan potensi kerugian bagi
perusahaan.
Ketentuan dalam Perpres tersebut yang mengatur bahwa jenis bahan
bakar minyak khusus penugasan, tidak disubsidi dan didistribusikan ke
wilayah penugasan selain wilayah yang disebutkan dalam Perpres diatas,
menandakan sebagai bentuk upaya pemerintah untuk dapat menghadirkan
BBM dengan harga yang terjangkau. Adanya ketentuan yang menyatakan
bahwa dalam proses realisasi dan distribusi pemerintah tidak diberikan
subsidi, dapat memunculkan suatu permasalahan baru yaitu terhadap
operasional dan keuangan perseroan penugasan yaitu PT. Pertamina
(Persero). Sebagai satu-satunya BUMN yang bertanggung jawab atas
pengelolaan minyak dan gas bumi negara, Pertamina dipercaya untuk
menyelesaikan tugas pemerintah ini.
Uraian dari maksud dan tujuan pendirian BUMN yang memposisikan
BUMN sebagai alat pembangun perekonomian negara serta sumber
pendapatan negara pada posisi prioritas, kemudian mengejar keuntungan,
perlu dilihat kembali sejarah pendirian BUMN itu sendiri. BUMN di
Indonesia lahir atas peninggalan beberapa perusahaan zaman Hindia
Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Indonesia pasca kemerdekaan
dengan dasar dan tujuan yang disesuaikan yaitu melalui Pasal 33 Ayat (2)
Undang Undang Dasar 1945 yaitu:
64
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal ini yang menjadi konsekuensi logis daripada keberadaan Pasal 33
Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 bahwa bumi dan air serta kekayaan
yang ada di Indonesia harus dikuasai oleh negara melalui adanya BUMN itu
sendiri, oleh karenanya PT. Pertamina selaku BUMN yang keuangannya
juga berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) juga harus
tunduk kepada aturan negara sebagai bentuk nyata kekayaan negara
Indonesia tersebut diperuntukkan untuk hajat hidup orang banyak sesuai
dengan makna Pasal 33 Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.
Selain meneruskan peninggalan dari zaman Hindia Belanda, BUMN
oleh Pemerintah Indonesia dinilai akan memiliki peranan penting dalam
pembangunan ekonomi negara.22
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2003 kehadiran Pertamina sudah sejalan dengan prinsip BUMN, dan
adanya Pertamina selain untuk mencari keuntungan juga harus sebagai
kontributor akan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tersebut dapat dicermati sebagai
percampuran prinsip korporasi dengan kesejahteraan rakyat. Jika secara
yuridis keberadaan korporasi adalah untuk mencari untung.23
Hal ini tertera
pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 Tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi
Negara (PERTAMINA) Menjadi Perusahaan Perseroan :
22
Amirudin Ilmar, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2012), h. 72 23
Stefanus Mahendra Soni Indriyo, Revitalisasi Institusi Direksi Perseroan Terbatas,
(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2012), h. 37
65
a. Maksud Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 adalah untuk menyelenggarakan usaha di bidang minyak
dan gas bumi baik di dalam maupun di luar negeri serta kegiatan usaha
lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang minyak dan
gas bumi tersebut.
b. Tujuan Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah untuk :
1) mengusahakan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan secara efektif dan efisien;
2) memberikan kontribusi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Konsep Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 secara expressis
verbis telah menyatakan bahwa konsep daripada Persero ialah memberikan
kemakmuran terhadap rakyat yang hal tersebut telah sejalan dengan
konstitusi yakni Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Namun, hal tersebut
berbeda dengan keberadaan Persero itu sendiri dalam Undang Undang
BUMN yang tidak mengharuskan adanya sebuah kontribusi terhadap rakyat,
hal ini yang menjadi suatu ambiguitas dalam pelaksanaan kebijakan dalam
PT. Pertamina itu sendiri.
Setiap perusahaan milik negara di Indonesia harus berpegang teguh
pada ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Indonesia saat ini memiliki dua jenis BUMN yang diakui oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yakni Perusahaan Umum (Perum) dan
Perusahaan Perseroan (Persero). Kedua jenis BUMN tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda. Perum didirikan dengan konsep usaha melayani
kepentingan umum atau sifat pendiriannya adalah public utility. Persero
didirikan dengan konsep usaha yaitu mengejar keuntungan.
Maksud dan tujuan pendirian BUMN menurut ketentuan Pasal 2 Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2003 adalah sebagai berikut.24
24
Zaeni Asyhadie, dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan & Kepailitan, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2012), h. 159
66
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional
pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.
Dengan tujuan ini BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu
pelayanan pada masyarakat pada masyarakat sekaligus memberikan
kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan
membantu penerimaan keuangan negara.
b. Mengejar Keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan persero adalah
mengejar keuntungan, dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan
umum, persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian,
penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya
(kompensasi) bedasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan
untuk perum yang tujuannya menyediaakan barang dan atau jasa untuk
kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus meperhatikan prinsip-
prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak.
Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN,
baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan
merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediaakan barang dan/atau
jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun kegiatan tersebut belum
dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena karena secara komersial
tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dapat
dilakukan melalui penugasan kepada BUMN.
67
Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak,
pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi
pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan
dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Dasar hukum utama dari BUMN adalah Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 Tentang BUMN dan peraturan lain yang terkait dengan
perseroan terbatas. Bedasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 1998 dinyatakan bahwa terhadap Persero berlaku prinsip-prinsip
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Oleh
karenanya Persero memiliki status badan hukum. Dapat dilihat pula pada
Pasal 11 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003.25
Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Sesuai dengan Maksud
dan Tujuan Pendirian Persero pada Pasal 12 Undang-undang Nomor 19
Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara :
Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah :
a. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya
saing kuat;
b. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
Persero sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional dituntut dapat
memenuhi permintaan pasar melalui penyediaan baran dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan berdaya saing kuat di pasar dalam negeri maupun
internasional. Dengan demikian, keuntungan dan nilai persero yang
25
Zainal Asikin, dan L. Wira Pria Suhartana, Pengantar Hukum Perusahaan, (Jakarta:
Prana Media Group, 2016), h. 162.
68
bersangkutan dapt meningkat sehingga akan memberikan manfaat yang
optimal bagi pihak-pihak yang terkait. Berbeda dengan Maksud dan Tujuan
Perusahaan Umum pada Pasal 36 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003
yaitu :
a. Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang
bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat
berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
b. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dengan persetujuan Menteri,
Perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.
Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari persero yang harusnya tunduk
pada ketentuan undang-undang perseroan terbatas bukan kepada undang-
undang BUMN dikarenakan Perseoran Terbatas merupakan aturan khusus
yang mengatur lebih rinci terkait dengan PT sedangkan undang-undang
BUMN merupakan aturan umum yang mengatur hal yang lebih umum atau
lebih besar, seperti halnya yang kita ketahui dalam pasal 12 undang-undang
persero BAB terkait maksud dan tujuan dari persero tidak ada frasa atau
pasal yang tertulis untuk mensejahterakan rakyat namun pertamina dalam
penjalanannya justru lebih tunduk dengan ketentuan BUMN dibandingkan
dengan ketentuan undang-undang Perseoran Terbatas.
Berikut perbandingan Perusahaan Persero (Persero) dan Perusahaan
Umum (Perum).26
Tabel 4.1: Perbandingan Persero dan Perum
Perusahaan Perseroan (Persero) Perusahaan Umum (Perum)
Makna Usahanya adalah untuk
menumpuk keuntungan (keuntungan
Makna Usahanya adalah melayani
kepentingan umum (kepentingan
26
Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk Bentuk Badan Usaha Di Indonesia, (Bogor: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2010), h. 160
69
dalam arti, karena baiknya
pelayanan dan pembinaan organisasi
yang baik, efektif, efisien dan
ekonomis secara business-zakelijk,
cost accounting principle,
management effectiveness dan
pelayanan umum yang baik dan
memuaskan memperoleh surplus
atau laba).
Status hukumnya sebagai badan
hukum perdata, yang berbentuk
perseroan tebatas
Hubungan-hubungan usahanya
diatur menurut hukum perdata.
Modal seluruhnya atau sebagian
merupakan milik Negara dan
kekayaan negara yang dipisahkan,
dengan demikian dimungkinkan
adanya joint atau mixed enterpise
dengan swasta (nasional dan asing)
dan adanya penjualan saham-saham
perusahaan milik negara.
Tidak memiliki fasilitas-fasilitas
negara.
Dipimpin oleh suatu direksi.
Pegawainya berstatus sebagai
perusahaan swasta biasa.
Peranan pemerintah adalah sebagai
pemegang saham dalam perusahaan.
Intensitas “medezeggenschap”
terhadap perusahaan tergantung dari
produksi, distribusi dan konsumsi,
secara keseluruhan) dan sekaligus
untuk menumpuk keuntungan.
Usaha dijalankan dengan memegang
teguh syarat-syarat efisiensi,
efektifitas, dan economic cost
accounting principle dan
management effectivitesness secara
bentuk pelayanan (iservice) yang
baik terhadap masyarakat atau
nasabahnya.
Berstatus badan hukum, diatur
bedasarkan undang-undang (dengan
wetsduiding).
Pada umumnya bergerak di bidang
jasa-jasa vital (public utilities).
Pemerintah boleh menetapkan
bahwa beberapa usaha yang bersifat
public utility tidak perlu diatur,
disusun atau diadakan sebagai suatu
perusahaan negara (misalnya
perusahaan listrik untuk kota kecil
yang modalnya dibangun dengan
modal swasta).
Mempunyai nama dan kekayaan
sendiri serta kebebasan bergerak
seperti perusahaan swasta untuk
mengadakan atau masuk ke dalam
suatu perjanjian, kontrak-kontrak
dan hubungan-hubungan perusahaan
lainnya.
70
besarnya jumlah saham (modal)
yang dimiliki atau bedasarkan
perjanjian tersendiri antara pihak
Pemerintah dan pihak pemilik (atau
pendiri) lainnya.
Dapat dituntut dan menuntut, dan
hubungan hukumnya diatur secara
hubungan hukum perdata (privat
recthelijk).
Modal seluruhnya dimiliki oleh
negara dari kekayaan negara yang
dipisahkan, serta dapat mempunyai
dan memperoleh dana dari kredit-
kredit dalam dan luar negeri atau
dari obligasi (dari masyarakat).
Pada prinsipnya secara finasial
harus dapat berdiri sendiri, kecuali
apabila karena politik Pemerintah
mengenai tarif dan harga tidak
mengizinkan tercapainya tujuan ini.
Dipimpin Direksi,
Pegawainya adalah pegawai
Perusahaan Negara yang diatur
tersendiri di luar ketentuan-
ketentuan yang berlaku bagi
Pegawai Negeri atau Perusahaan
Swasta/serta Usahanya (Negara)
Perseroan.
Organisasi, tugas, wewenang
tanggung jawab,
pertanggungjawaban dan cara
mempertanggungjawabkannya, serta
pengawasan dan lain sebagainya,
diatur secara khusus yang pokoknya
akan tercermin dala Undang-
Undang yang membentuk
71
perusahaan negara itu.
Apabila di antaranya ada yang
berupa public utilit, maka bila
dipandang perlu untuk kepentingan
umum, politik tarif dapat ditentukan
oleh Pemerintah.
Laporan tahunan perusahaan yang
neraca untung rugi dan neraca
kekayaan disampaikan kepada
Pemerintah.
Selain itu terhadap adanya kekhawatiran akan ruginya perseroan,
akibat menjalankan dua konsep yaitu konsep persero untuk mengejar
keuntungan dengan konsep politik pemerintah sekaligus, dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, telah
memberikan konsep ataupun mekanisme penanggulangan kerugian jika
sewaktu-waktu persero mengalami kerugian. Pasal 70 Ayat (3) Undang-
Undang Perseroan Terbatas memberikan pengaturan bahwa setiap perseroan
wajib menyisihkan 20% dari keuntungan yang diperoleh, dan dipergunakan
sebagai dana cadangan yang dapat sewaktu-waktu digunakan jika perseroan
mengalami kerugian.27
a. Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap
tahun buku untuk cadangan.
b. Kewajiban penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.
c. Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sampai cadangan mencapai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah modal yang ditempatkan dan disetor.
27
Nehemia Billy Erlando, “Tinajaun Yuridis Tentang Pemberlakuan Bahan Bakar Minyak
Satu Harga Di Kabupaten Puncak Provinsi Papua Dalam Kaitannya Dengan Pencapaian Tujuan
PT. Pertamina (Persero)” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2018),
h. 40
72
d. Cadangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang belum mencapai
jumlah sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) hanya boleh dipergunakan
untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.
Dalam konsep penggunaan laba, perseroan wajib menyisihkan jumlah
tertentu dari laba bersih setiap tahun untuk buku cadangan, yang
mengharuskan buku cadangan tersebut dibuat bila saldo dari perseroan
tersebut positif. Hal ini pun terlihat dari laba positif yang ada pada PT.
Pertamina. Bagaimana mekanisme hukum apabila pertamina terus-menerus
merasakan keruguian dikarenakan politik hukum pemerintah yang
mengintervensi PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang dimaksud
pada pasal 70 Ayat (4).
3. Analisis Sosiologis
Dengan semakin banyaknya keinginan dan kebutuhan rakyat akan
bahan bakar minyak sebagai penunjang aktivitas sehari-hari, maka tidak
heran jika banyak masyarakat terpencil menjerit dengan harga BBM yang
tidak masuk akal dan cenderung membuat penderitaan rakyat semakin
nyata. Apalagi dengan melihat kenyataan bahwa penghasilan masyarakat
terpencil tidak sebanding dengan kebutuhan pokok yang harganya melonjak
ditambah harga minyak di kota-kota besar yang relatif terjangkau, dari hal-
hal tersebut lah memberikan stimulus terhadap rakyat kecil karena adanya
ketimpangan. Karena alasan tersebut, Pemerintah sebagai wakil rakyat
bertindak untuk memberikan jalan keluar dengan mengeluarkan produk
hukum guna menyiasati menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana berdasarkan dasar bernegara yakni Pancasila.
Dalam sosiologi hukum, hukum merupakan suatu disiplin teoritis dan
umum dan umum yang mempelajari keteraturan dari berfungsinya hukum
untuk mendapatkan mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban
yang disadari secara nasional dan didasarkan pada diagnosis yang
mempunyai dasar yang mantap untuk menyajikan sebanyak mungkin
kondisi-kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efesien.
73
Secara studi instrumental bahwa hukum merupakan suatu sarana bagi
pembuat keputusan, terutama dalam masyarakat sosialis di mana perubahan-
perubahan di atur melalui undang-undang.28
Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sebagaimana pernah diberlakukan dalam tatanan pemerintah Orde Baru
sebagai Arah kebijakan Pembangunan Nasional di Indonesia dengan jelas
dikemukakan, bahwa Badan Usaha Milik Negara bersama-sama dengan
usaha swasta termasuk pula koperasi diarahkan untuk tumbuh menjadi suatu
kegiatan usaha yang dapat menjadi penggerak utama pengembangan dan
peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, melalui pemerataan kegiatan
pembangunan dan hasil-hasilnya, serta diharapkan pula memperluas
kesempatan usaha dan lapangan kerja menuju terwujudnya suatu
perekonomian nasional yang sehat, tangguh, dan mandiri.
Keiinginan untuk menjadikan BUMN sebagai salah satu penggerak
utama pertumbuhan ekonomi nasional, tentu tidak saja akan mendorong
pengembangan BUMN itu sendiri, tetapi juga menjadikan BUMN sebagai
salah satu pilar penting dalam pembangunan nasional. Peran penting BUMN
bukan hanya diharapkan sebagai pengemban kepentingan dan pelayanan
serta pemenuhan kebutuhan rakyat banyak, akan tetapi juga sebagai
penyumbang terbesar dalam perekonomian nasional. Hal itu dapat dilihat
secara nyata melalui perannya selaku perintis kegiatan usaha-usaha
(pioneer)29
dalam perekonomian nasional. Bahkan, BUMN dapat pula
menjadi juru selamat untuk keluar dari krisis ekonomi nasional, sekaligus
menjadi motor penggerak roda perekonomian nasional ketika usaha swasta
tidak lagi dominan dan babak belur akibat krisis tersebut.
Sebagai BUMN Pertamina adalah instrument Pemerintah untuk
melaksanakan kebijakan yang dibuat dalam pembangunan nasional
termasuk dalam mendistribusikan BBM subsidi dan BBM 1 harga.
28
Lili Rasjidi Filsafat Hukum: Apakah Filsafat Hukum itu?, (Bandung: Remaja Karya,
2004), h. 355 29
Rudhi Prasetya dan Neil Hamilton, “The Regulation of Indonesia State Enterpise”,
Malaya Law Review, Volume 16, Nomor 2, 1974, h.2
74
Perusahan umum lainnya dapat berpartisiapsi dalam program Pemerintah.
Tentu saja Perusahaan umum mempunyai pertimbangan berbeda dalam
melakkan investasi. Namun terbukti bahwa perusahaan umumpun bisa
berpartisipasi dalam BBM 1 harga. Prinsipnya, Pemerintah membuka
kesempatan partsipasi seluruh pemangku kepentingan dalam kebijakan
BBM 1 harga.
Terhadap penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
ditarik benang merahnya terkait hubungan BUMN baik itu persero dengan
konteks kesejahteraan rakyat sebagai bentuk kehadiran pemerintah di
masyarakat. Hubungan tersebut adalah, dengan konsep BUMN melalui
Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, maka apapun dan dimanapun BUMN
itu berada tidak akan lepas dari konteks kesejahteraan rakyat. Hal tersebut
dapat terjadi karena BUMN merupakan manfestasi riil keberadaan negara.
Melalui BUMN diharapkan peran negara untuk mensejahterakan
masyarakat dapat tercapai hingga dirasakan betul oleh rakyat.30
Dalam pandangan peneliti sudah tidak terdapat pilihan lain selain
mengandalkan peran penting BUMN sebagai salah satu aset negara yang
masih produktif untuk dapat menyelamatkan perekonomian nasional. Aset
yang dikelola dan dimiliki oleh BUMN sampai pada akhir tahun 1997
jumlahnya diperkirakan telah mencapai tidak kurang dari 460 triliun.31
Di
samping itu BUMN juga berperan penting dalam penyelenggaraan sektor-
sektor ekonomi yang memerlukan modal tinggi, bahkan boleh dikatakan
BUMN beroperasi hampir diseluruh sektor perekonomian negara dan
beberapa di antaranya termasuk dalam kategori penyelenggara ekonomi
secara monopolistik bagi cabang-cabang produksi yang di anggap penting
bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Bicara mengenai BUMN, BUMN terbagi menjadi dua suku kata yaitu
BU dan MN. Apabalia bicara mengenai Badan Usaha (BU) menurut
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang BUMN perihal, maksud
30
Andi Purdyanto, Bagian Hukum BPH Migas RI, Interview Pribadi, Jakarta, 20 Mei 2019 31
Sofyan A. Djalil, BUMN: Lokomotif Ekonomi di Masa Krisis, Majalah Manajemen
Usahawan Indonesia, No. 6, 1999, h.51
75
dan tujuan dari BUMN Persero untuk mengejar keuntungan guna
meningkatkan nilai perusahaan. Disisi lain MN bertujuan untuk social
responsibity yang diman untuk mensejahterkan rakyat.32
Permasalahannya, pihak PT. Pertamina sebagai perintis, memang
sangat dirugikan dengan kebijakan baru yang dibuat sejak kepemerintahan
Jokowi, melalui Permen ESDM Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pemberlakuan Satu Harga BBM dipaparkan pada menimbang bahwa sesuai
dengan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014
Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga dual Eceran Bahan Bakar
Minyak serta untuk menjamin ketersediaan, kelancaran pendistribusian dan
harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan
yang sama untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia jika
harga BBM disamarakatan oleh pemerintah akan berdampak pada kerugian
PT. Pertamina (Persero), dimana memang melihat jarak tempuh pengiriman
yang jauh, memerlukan anggaran yang lebih besar. Apabila kedepannya
kondisi ekonomi Papua lebih membaik, dirasa masuk akal untuk
menyamaratakan harga BUMN dengan pulau jawa.33
32
Fahri Hamzah, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta : Yayasan Faham Indonesia,
2004), h. 175 33
Ade Irwan, Kepala Bagian Hukum BPH Migas RI, Interview Pribadi, Jakarta, 20 Mei
2019
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus pemberlakuan BBM satu harga ini, merupakan suatu kebijakan
yang tercipta untuk memberikan keadilan pada masyarakat di Indonesia.
pemberlakuan ini di dasarkan kepada perbedaan harga BBM yang tebilang
cukup signifikan dengan daerah lain. Yakni pada daerah 3T (Tedepan
Tertinggal Terbelakang) dengan daerah non 3T. Pemeberlakuan kebijakan
BBM satu harga ini berdasarkan mandate yang di berikan oleh pemerintah
kepada salah satu BUMN di Indonesia yakni PT. Pertamina. PT. Pertamina
dengan mandate Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan
Gas mengelola sumber minyak murni untuk di kelola dan di distribusikan
kepada seluruh masyarakat di Indonesia.
Namun kenyataanya PT Pertamina berada pada posisi dua aturan
perundang-undangan yang memiliki legalitas hukum yang kuat yaitu maksud
dan tujuan dari pendirian Persero pada Pasal 12 Undang-undang nomor 19
Tahun 2003 dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Penugasan
Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga dalam Peraturan Menteri ESDM No. 36
Tahun 2016 tidak berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya tertera. Maka
dari itu dirasa perlu bagi pemerintah memfokuskan tujuan dari pembentukan
hukum sesuai dengan teori Utilitis agar menciptakan sinkronisasi dan
harmonisasi atas ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Jika perlu
memang harus diterapkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 agar nilai kemanfaatan menjadi tujuan utama dengan tidak
mengesampingkan keuntungan pada badan usaha yang menjalankan untuk
menjalankan roda perekonomian yang menyeluruh dan berimbang. Dengan di
berlakukannya kebijakan BBM satu harga ini, PT. Pertamina (Persero)
mengalami kerugian yang sebesar 800M. Kerugian ini akibat dari kebijakan
pemberlakuan satu harga BBM dalam hal pendistribusian yang tidak disubsidi
oleh Pemerintah sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 191
Tahun 2014. Indikasi dari kerugian ini berdasarkan penelitian yang telah
77
dilakukan oleh peneliti adalah bahwa dalam penugasan ini, pemerintah
terkesan kurang memperhatikan bentuk dari sebuah perusahaan yang
dimandatkan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Analisis Filosofis
Program BBM satu harga ini memiliki tujuan utama yakni untuk
memberikan keadilan nasional. Sesuai dengan amanat pada Pancasila sila
Ke-5 yakni “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jadi dasar
dalam pemberlakuan BBM satu harga ini adanya kesamarataan terhadap
harga BBM dari seluruh wilayah di Indonesia. Agar wilayah dengan kondisi
3T dapat merasakan harga yang sama dengan daerah lainnya. Karena
kebanyakan wilayah 3T ini harga BBM terbilang sangat mahal ketimbang
dengan harga BBM di wilayah non 3T. Hadirnya kebijakan BBM satu harga
merupakan bentuk respon pemerintah terhadap kondisi ketimpangan
ataupun ketidakadilan pada sektor energi di Indonesia. Hal ini jika ditangani
secara lambat akan berpengaruh pada disintegrasi kebutuhan masyarakat,
yang berujung pada rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, karena BBM
sebagai salah satu pendukung kebutuhan masyarakat. Seusai dengan teori
Welfare State bahwa dalam memenuhi kesejahteraan rakyat yakni dengan
terpenuhinya kebutuhan masyarakat melalu pengintegrasian sumber alam
yang sudah di kelola oelh pemerintah dalm hal ini adalah BBM dengan
penyelenggaraanya makasudnya adalah pendistribusian nya yakni melalui
BUMN ini. Sehingga pemenuhan kebutuhan rakyat untuk menopang
kesejahteraan rakyat dapat terjadi kontinuitas atau berkelanjutan. Respon
cepat pemerintah dirasa tidak sepenuhnya memberikan dampak baik bagi
setiap pihak.
2. Analisis Yuridis
Persero sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional dituntut dapat
memenuhi permintaan pasar melalui penyediaan baran dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan berdaya saing kuat di pasar dalam negeri maupun
78
internasional. Dengan demikian, keuntungan dan nilai persero yang
bersangkutan dapt meningkat sehingga akan memberikan manfaat yang
optimal bagi pihak-pihak yang terkait. Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga
tidak sesuai dengan tujuan dari PT. Pertamina sebagai BUMN persero yang
harusnya tunduk pada ketentuan undang-undang perseroan terbatas bukan
kepada undang-undang BUMN dikarenakan Perseoran Terbatas merupakan
aturan khusus yang mengatur lebih rinci terkait dengan PT sedangkan
undang-undang BUMN merupakan aturan umum yang mengatur hal yang
lebih umum atau lebih besar, seperti halnya yang kita ketahui dalam pasal
12 undang-undang persero BAB terkait maksud dan tujuan dari persero
tidak ada frasa atau pasal yang tertulis untuk mensejahterakan rakyat namun
pertamina dalam penjalanannya justru lebih tunduk dengan ketentuan
BUMN dibandingkan dengan ketentuan undang-undang Perseoran Terbatas.
3. Analisis Sosiologis
Bicara mengenai BUMN, BUMN terbagi menjadi dua suku kata yaitu BU
dan MN. Apabalia bicara mengenai Badan Usaha (BU) menurut Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang BUMN perihal, maksud dan tujuan
dari BUMN Persero untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai
perusahaan. Disisi lain MN bertujuan untuk social responsibity yang diman
untuk mensejahterkan rakyat. Permasalahannya, pihak PT. Pertamina
sebagai perintis, memang sangat dirugikan dengan kebijakan baru yang
dibuat sejak kepemerintahan Jokowi, melalui Permen ESDM Nomor 36
Tahun 2016 Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga BBM
dipaparkan pada menimbang bahwa sesuai dengan Pasal 21 ayat (1)
Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan,
Pendistribusian dan Harga dual Eceran Bahan Bakar Minyak serta untuk
menjamin ketersediaan, kelancaran pendistribusian dan harga jual eceran
Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan yang sama untuk
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia jika harga BBM
disamarakatan oleh pemerintah akan berdampak pada kerugian PT.
Pertamina (Persero), dimana memang melihat jarak tempuh pengiriman
79
yang jauh, memerlukan anggaran yang lebih besar. Akan tetapi jika
kedepannya kondisi ekonomi Papua lebih membaik, dirasa masuk akal
untuk menyamaratakan harga BUMN dengan pulau jawa.
B. Rekomendasi
Ada baiknya dari pemerintah dapat mengsinkrokan Peraturan Menteri
Energi Sumber Daya Mineral Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan
Bakar Minyak Khusus dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
Badan Usaha Milik Negara dengan melakukan Judicial Review tehadap salah
satu peraturan perundang-undangan tersebut. Pemerintah juga harus melihat
bentuk dari badan hukum itu sendiri yang di mandatkan dalam melaksanakan
kebijakan BBM satu harga ini. Mengapa demikian karena PT. Pertamina
adalah berbentuk Persero sehingga kebijakan ini tidak cocok untuk di jalankan
oleh PT. Pertamina ini. Karena dalam bentuk persero ini tujuan utamanya
adalah untuk menyediakan barang bermutu tinggi dan mengejar keuntungan.
Dilihat dari hal tersebut saja sudah melenceng dari tujuan utama dari kebijakan
tersebut yang fungsinya lebih mengarah kepada sosial atau kesejahteraan
rakyat. Oleh karena itu menurut peneliti, sebelum ditugaskan kebijakan
tersebut pemerintah ada baiknya untuk menugaskan ke bentuk badan hukum
perum sehingga pemerintah tidak dapat sewenang-wenang dalam memberikan
penugasan khususnya dalam mensejahterakan rakyat.
80
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Aburaera, Sukarno dkk, Filsafat Hukum (Teori dan Praktik), Jakarta: Kharisma Putra Utama,
2013
Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2014
Anderson, James, Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984
Asikin, Zainal dan Pria Suhartana, L. Wira, Pengantar Hukum Perusahaan, Jakarta : Prana
Media Group, 2016
Asyhadie, H. Zaeni dan Sutrisno, Budi, Hukum Perusahaan & Kepailitan, Jakarta : Penerbit
Erlangga, 2012
Bakhri, Syaiful, Hukum Migas Telaah Penggunaan Hukum Pidana Dalam Perundang-
Undangan, Yogjakarta, Total Media, 2012
Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012
Fuady, Munir, Hukum Tentang Merger, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
H. Cawidu dan M. Rasjidi, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1998
Hamka, Tafsir Al-ashar Jus V, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983
Hamzah, Fahri, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat, Jakarta : Yayasan Faham Indonesia, 2004
Hartini, Rahayu, BUMN Persero Konsep Keuangan Negara dan Hukum Kepailitan di
Indonesia, Malang : Setara Press, 2017
Ihza Mahendra, Yusril, “Dinamika Tata Negara Indonesia: Komplikasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Ilmar, Amirudin, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Jakarta : Kencana
Prenada Media Grup, 2012
Kansil, C.S.T, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi), Jakarta, PT
Pradnya Paramita, 1995
Karim, Rusli, Negara: Suatu Analisis Mengenai Pengertian Asal Usul dan Fungsi,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997
Khadduri, Madjid, Teologi Keadilan (Perspektif Islam), Surabaya: Risalah Gusti, 1999
Kusumohamidjojo, Ketertiban yang adil: Problematika Filsafat Hukum, Jakarta: Grasindo,
1999
Lubis, T. Mulya, Hukum dan Ekonomi, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1987
81
M. Hadjon, Philipus, Perlindungan Hukum bagi Rakya di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,
1987
Mahendra Soni Indriyo, Stefanus, Revitalisasi Institusi Direksi Perseroan Terbatas,
Yogyakarta, : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2012
Mahfud MD, Moh, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, Renaka Cipta
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Surabaya
Bayumedia Publishing, 2005
Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk Bentuk Badan Usaha Di Indonesia, Bogor : Penerbit
Ghalia Indonesia, 2010
Muthahari, Murtadha, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam , Bandung : Mizan, 1995
N. Dunn, William, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2003
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta: CV Pantjuran Tujuh, 1980
Pramono, Nindyo, Hukum Perseroan, Yogyakarta : Program Pasca Sarjana Unoversitas
Gadjah Mada, 1995
Prasetya, Rudhi, Perseroan Terbatas. Teori dan Praktik, Jakarta, Sinar Grafika, 2014
Qadri, Sebuah potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim,
Yogakarta: PLP2M, 1987
Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum: Apakah Filsafat Hukum itu?, Bandung: Remaja Karya, 2004
Sinamo, Nomensen, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Bumi Intitama
Sejahtera,2009Yudo Husodo, Siswo, Mimpi Negara Kesejahteraan, Jakarta, pengantar,
2006
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1996
Soekanto, Soerjono & Sri, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada,
2011
Subhi, Ahmad Mahmud, Filsafat Etika, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001
Widjaja, Satra, Bunga Rampai Hukum Dagang, Bandung : Penerbit Alumni, 2005
Wrihatnolo, Randy. R & Nugroho D, Riant, Manajemen Privatisasi BUMN, Jakarta Elex,
Media Komputindo, 2008
Zainudin, A. Ramlan, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992
Jurnal
82
A. Hamid S. Attamini, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi, Pascasarjana Universitas
Indonesia, 1990
Arifudin, Ery, " Tanggung Jawab Direksi dalam Pembellan Kembali Saham oleh Perseroan
Terbatas." Jurnal Hukum dan Keadilan Vol. 2 No.1 Oktober 1999
Atikah, Januwianti, “KAJIAN HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN MODAL TERHADAP
BADAN USAHA MILIK NEGARA MENJADI BADAN USAHA MILIK SWASTA”, Lex
Crimen, Vol V No. 3, 2016
Biro Pers dan Media Seketariat Presiden Republik Indonesia, BBM 1 Harga Untuk Keadilan Sosial,
Majalah Kerja, 2017
Daeng, Salamudin, “Kenaikan Harga BBM adalah kebijakan Pro-Nekolim dan Anti Rakyat”,
Free Trade Watch, Edisi I Maret 2012, Anomali Kebijakan Minyak Nasional, Indonesia
Global Justice,Jakarta:2012,
Maria Sylvia, “CSR PT Pertamina (Persero) MOR V Surabaya”. Jurnal UNS, Vol 1, 2016
Nehemia Billy Erlando, “Tinajaun Yuridis Tentang Pemberlakuan Bahan Bakar Minyak Satu Harga
Di Kabupaten Puncak Provinsi Papua Dalam Kaitannya Dengan Pencapaian Tujuan PT.
Pertamina (Persero)” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2018)
Roziq M. Kaelani, Landasan Hukum dan Sejarah BUMN di Indonesia, Buletin KAHMI FE
Universitas Brawijaya, Edisi 1, 2007
Rudhi, Prasetya dan Neil, Hamilton, “The Regulation of Indonesia State Enterpise”, Malaya Law
Review, Volume 16, Nomor 2
S. Pakpahan, Normin, "Perseroan Terbatas Sebagai Instumen Kegiatan Ekonomi." Jurnal
Hukum Bisnis Vol. 2/1997
Sandy Mulia, Ardhan , “Kebijakan Pemerintah Presiden Joko Widodo Tentang Pemberlakuan Satu
Harga BBM Di Indonesia”, Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018
Santoso, Johari, “Perseroan Terbatas Sebagai Institusi Kegiatan Ekonomi Yang
Demokratis”, Jurnal Hukum, Vol. 7 No. 15, 2007
Sjahrir dan ikhsan, Mohammad , “Mendifinisikan Kembali Peranan Pemerintah dalam Pembangunan
Ekonomi”, Majalah Manajemen dan Usahawan Indonesia, Nomor 4, 1994
Sofyan A. Djalil, BUMN: Lokomotif Ekonomi di Masa Krisis, Majalah Manajemen Usahawan
Indonesia, No. 6, 1999
Sri Maemunah, Suharto, Pengelompokan BUMN dalam Rangka Penyusunan Tolak Ukur pada
Evaluasi Kinerja di Indonesia”, Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, 1996
Sukmana, Oman, “Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan”, Jurnal Sospol, Vol 2 No.1,
2016, hlm 110
83
Teguh, Dartanto, “BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di IndonesiaI”, Majalah Inovasi,
Vol. 5, No. 18, 2005
Peraturan Perundang-undangan :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
4. Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, Dan
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
5. Peraturan Mentri ESDM No. 36 tahun 2016 Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu
Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus
Penugasan Secara Nasional
INTERVIEW
Interview Pribadi dengan Ade Irwan, S.H., M.H., Kepala Bagian Hukum BPH Migas RI, Jakarta, 9
April 2019
Interview Pribadi dengan Agustinus Yanuar, TU Pimpinan BPH Migas RI, Jakarta, 9 April 2019
Interview Pribadi dengan Andi Purdyanto, Bagian Hukum BPH Migas RI, Jakarta, 20 Mei 2019
Mei 2019
Internet
“komitmen wujudkan energi berkeadilan”, Artikel diakses pada tanggal 27 Desember 2017
pukul 10.47 dari https://jamaninfo.com/refleksi-tahun-2017-komitmen-wujudkan-energi-berkeadilan
84
Lampiran
85
86
87
88
Pertanyaan Wawancara :
1. Bagaimana Latar Belakang Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM?
2. Mengapa Perlu Adanya Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM?
3. Apakah faktor-faktor yang mendorong Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM?
4. Apakah Hukum yang mengatur Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga Secara Nasional
oleh PT. PERTAMINA sebagai Badan Usaha Milik Negara berstatus Perusahaan
Perseroan?
5. Bagaimana Mekanisme dan Konsep Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM?
6. Apakah Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM Telah Sesuai dengan Konsep
Negara Kesejahteraan?
7. Bagaimana Latar Belakang Privatisasi PT. Pertamina (Persero)?
8. Bagaimana Eksistensi PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara?
9. Bagaimana Implikasi Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM terhadap PT.
Pertamina (Persero)?
10. Bagaimana Implikasi Hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM oleh
Perusahaan Perseroan (PT. Pertamina) di banding Perusahaan Umum ?
89
Pertanyaan Wawancara :
1. Apakah faktor-faktor yang mendorong Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM?
2. Apakah faktor politik yang mendorong Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM?
3. Apakah faktor ekonomi yang mendorong Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM?
4. Apakah faktor Geografi 3T yang mendorong Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga
BBM?
5. Apakah faktor Social Responsibility yang mendorong Kebijakan Pemberlakuan Satu
Harga BBM?
6. Bagaimana Latar Belakang Privatisasi PT. Pertamina (Persero)?
7. Bagaimana Implikasi Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM terhadap PT.
Pertamina (Persero)?
8. Bagaimana Implikasi Hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM oleh
Perusahaan Perseroan (PT. Pertamina) di banding Perusahaan Umum ?
9. Bagaimana Implikasi Hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM oleh
Perusahaan Perseroan (PT. Pertamina) di banding Perusahaan Umum Secara
Sosiologis?
10. Bagaimana Implikasi Hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM oleh
Perusahaan Perseroan (PT. Pertamina) di banding Perusahaan Umum Secara Yuridis?
11. Bagaimana Implikasi Hukum Kebijakan Pemberlakuan Satu Harga BBM oleh
Perusahaan Perseroan (PT. Pertamina) di banding Perusahaan Umum Secara
Filosofis?