LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN KOMPLIKASI
TOXOPLASMOSIS
Di Ruang 29 RSSA Malang
Untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Ners Departemen Medikal
Oleh :
Rahman
NIM. 135070209111077
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
HIV/AIDS-TOXOPLASMOSIS
A. Definisi
AIDS berasal dari kata acquired yang artinya didapat atau bukan penyakit
keturunan, immune berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency atau kekurangan dan
syndrome yang berarti kumpulan gejala-gejala penyakit. Jadi, dari kata-kata tersebut
dapat diartikan bahwa AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan infeksi parasit Toxoplasma
gondii ( T. gondii ) yaitu suatu mikroorganisme patogen yang termasuk golongan
Protozoa. Parasit ini dapat ditemukan secara kosmopolit tersebar di segala penjuru
dunia baik di negara tropis, subtropis maupun negara beriklim dingin. Prevalensi
toxoplasmosis di beberapa daerah di Indonesia bervariasi antara 2 -51 %.
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang disebabkan
oleh parasit protozoa dengan sifat alami dengan perjalanannya dapat akut atau
menahun, juga dapat menimbulkan gejala simtomatik maupun asimtomatik
(Dharmana, 2007).
Keterlibatan sistim saraf pada infeksi HIVdapat terjadi secara langsung karena
virus tersebut dan tidak langsung akibat infeksi oportunistik immunocompromised.
Studi di negara barat melaporkan komplikasi pada sistim saraf terjadi pada 30-70%
penderita HIV, bahkan terdapat laporan neuropatologik yang mendapat kelainan pada
90 spesimen post mortem dari penderita HIV yang di periksa. Infeksi oportunistik
terhadap sistim saraf pada AIDS bisa oleh patogen viral atau non viral. Infeksi non
virall tersering adalah ensefalitis toksolasmosis (ET) yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii (T.gondii). Secara klinik ET dijumpai pada 30-40 % penderita AIDS,
dimana penyakit ini lebih sering disebabkan reaktivasi dari infeksi laten yang sudah
ada sebelumnya dibanding infeksi yang baru di dapat.
Insiden komplikasi SSP pada penderita AIDS cukup besar. Manifestasi klinis
AIDS pada SSP dapat terjadi karena 2 hal yaitu virus AIDS itu sendiri atau akibat
infeksi oportunistik atau neoplasma.
Ensefalitis toksoplasma merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi
oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien AIDS. Ensefalitis toksoplasma
muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati.
B. Etiologi
Ensefalitis toksoplasma disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang
dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang
tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang.
Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, parasit tersebut menetap di sana,
sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga
tuntas, dan dapat mencegah terjadinya suatu penyakit. Namun, pada orang pasien
HIV/AIDS mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga tidak mampu melawan
parasit tersebut. Sehingga pasien mudah terinfeksi oleh parasit tersebut.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau
domba yang mentah dan mengandung oocyst (bentuk infektif dari Toxoplasma gondii).
Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing.
Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi
organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada
manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten.
Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.
C. Daur Hidup Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk yaitu thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir
dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing
merupakan pejamu definitif dari Toxoplasma gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada
pejamu perantara (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau
oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites
secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoite, organisme ini
menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan
perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi
untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai
67oC, didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-
epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius
setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir
selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan
dan terjadi sporulasi (pembentukan spora). Lamanya proses ini tergantung dari kondisi
lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di
lingkungan selama lebih dari 1 tahun.
Gambar 2.1 Daur hidup Toxoplasma gondii
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba
yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental,transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang
imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang
rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya
infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan
melepaskan invasive tropozoit (tachyzoite). Tachyzoite ini akan menghancurkan sel
dan menyebabkan focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200
sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi
yangmungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis
carinii, CD4 < 100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. Avium
Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis
dan candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
D. Patofisiologi
Patofisiologi HIV/AIDS
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4
adalah sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan
sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus
kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan
meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem
kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat
mengakibatkan kelainan pada saraf.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam
keadaan bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan
terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+)
mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh,
benda asing ini segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper
menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T helper tidak berdaya; bahkan HIV
bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut.
Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu
sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T
helper sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya
sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV
akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV
akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk
membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom dari
HIV dan proviral DNA kemudian dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper
sehingga menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel
T helper. Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus
lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel
lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka
tidak ada mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya.
Kelumpuhan mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) atau sindroma kegagalan kekebalan.
Patofisiologi Toxoplasmosis sebagai komplikasi HIV/AIDS
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Setelah infeksi oral, bentuk tachyzoite atau invasif parasit dari Toxoplasma gonii
menyebar ke seluruh tubuh. Takizoit menginfeksi setiap sel berinti, di mana mereka
berkembang biak dan menyebabkan kerusakan. Permulaan diperantarai sel kekebalan
terhadap T gondii disertai dengan transformasi parasit ke dalam jaringan kista yang
menyebabkan infeksi kronis seumur hidup.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel
dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-
gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap
Toxoplasma gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan
toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus
HIV dengan CD4 T sel <100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang
subakut. Manifestasi klinis yangtimbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%),
nyeri kepala (55%), bingung atau kacau(52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi
didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75%
kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, nyeri kepala pada 50 % kasus,
demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan
gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan,
gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan
menifestasi neuropsikiatri.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi ke mungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4< 200sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
E. Manifestasi Klinis
Manusia dapat terinfeksi Toxoplasma melalui makanan / daging atau sayuran
yang terkontaminasi parasit atau dengan cara transplasental dari ibu hamil kepada
janin dalam kandungan. Walaupun bersifat patogen, T. gondii tidak selalu
menyebabkan keadaan patologik pada hospesnya. Penderita dengan kekebalan tubuh
yang kuat apabila terinfeksi T. gondii pada umumnya tidak mengalami keadaan
patologik yang nyata walaupun pada beberapa kasus dapat juga mengalami
pembesaran kelenjar limfe, rasa lelah yang berlebihan, miokarditis akut, miositis
hingga radang otak Toxoplasmosis akan memberikan kelainan yang nyata pada
penderita yang mengalami penurunan imunitas yang berat seperti halnya penyakit
keganasan, terinfeksi HIV-AIDS atau penderita yang mendapatkan obat
imunosupresan karena T. gondii akan dapat berkembang biak secara cepat tanpa
dapat dikendalikan oleh kekebalan tubuh hospes. Manifestasi toxoplasmosis yang
lebih serius adalah apabila infeksi terjadi pada masa kehamilan dimana parasit dapat
masuk kedalam tubuh janin melalui plasenta Janin yang tentunya belum mempunyai
kekebalan yang cukup akan dengan mudah terinfeksi parasit dengan akibat terjadinya
abortus, lahir mati, lahir hidup dengan hidro atau mikrosefalus, gangguan motorik,
kerusakan retina dan otak serta tanda-tanda kelainan jiwa.
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan
yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan,
muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan
ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat
hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah
berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang
dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
STADIUM PENYAKIT HIV/AIDS MENURUT WHO
Stadium I
Tanpa gejala; Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh yang menetap.
Tingkat aktivitas 1: tanpa gejala, aktivitas normal.
Stadium II
Kehilangan berat badan, kurang dari 10%; Gejala pada mukosa dan kulit yang ringan
(dermatitis seboroik, infeksi jamur pada kuku, perlukaan pada mukosa mulut yang
sering kambuh, radang pada sudut bibir); Herpes zoster terjadi dalam 5 tahun terakhir;
ISPA (infeksi saluran nafas bagian atas) yang berulang, misalnya sinusitis karena
infeksi bakteri. Tingkat aktivitas 2: dengan gejala, aktivitas normal.
Stadium III
Penurunan berat badan lebih dari 10%; Diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya
lebih dari 1 bulan; Demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih
dari 1 bulan; Candidiasis pada mulut; Bercak putih pada mulut berambut; TB paru
dalam 1 tahun terakhir; Infeksi bakteri yang berat, misalnya: pneumonia, bisul pada
otot. Tingkat aktivitas 3: terbaring di tempat tidur, kurang dari 15 hari dalam satu bulan
terakhir.
Stadium IV
· Kehilangan berat badan lebih dari 10% ditambah salah satu dari : diare kronik yang
tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan. Kelemahan kronik dan demam
berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan.
· Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
· Toksoplasmosis pada otak.
· Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan.
· Kriptokokosis di luar paru.
· Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa dan kelenjar getah bening.
· Infeksi virus Herpes simpleks pada kulit atau mukosa lebih dari 1 bulan atau dalam
rongga perut tanpa memperhatikan lamanya.
· PML(progressivemultifocalencephalopathy) atau infeksi virus dalam otak.
· Setiap infeksi jamur yang menyeluruh, misalnya:histoplasmosis,kokidioidomikosis.
· Candidiasis pada kerongkongan, tenggorokan, saluran paru dan paru.
· Mikobakteriosis tidak spesifik yang menyeluruh.
· Septikemia salmonela bukan tifoid.
· TB di luar paru.
· Limfoma.
· Kaposi’s sarkoma.
· Ensefalopati HIV sesuai definisi CDC.
Tingkat aktivitas 4: terbaring di tempat tidur, lebih dari 15 hari dalam 1 bulan terakhir.
MEKANISME INVASI VIRUS HIV KE TUBUH MANUSIA
1. penularan dan masuknya virus
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata, sekresi
vagina atau seviks, urine, ASI dan air liur. Penularan terjadi paling efisien melalui darah
dan semen. HIV bisa masuk ke dalam tubuh manusia akibat perilaku atau tindakan
(pribadi atau tindakan orang lain ), yang memungkinkan darah atau cairan kelamin
atau ASI yang tercemar HIV masuk ke dalam tubuh. misalnya: disuntik dokter dengan
jarum tidak steril.
Sesudah virus HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan
virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel T CD4 dan
makrofag). HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan
antibodi untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang
dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu, masa
ini disebut sebagai masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien
sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan
laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut
pada masa infeksius ini yakni demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat
malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda untuk jangka
waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang tersebut mudah
menularkan infeksinya kepada orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan
laboratorium serum antibodi HIV. Sesudah suatu jangka waktu, yang bervariasi dari
orang ke orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan
limfosit CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya
kekebalan tubuh yang progresif (progressive immunodeficiency syndrome).
Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau
diatas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan darah dan kontak seksual
dan kontak bayi dan ibu yang sda dipaparkan lebih awal di bagian patofisiologi,.
Setelah virus ditularkan akan tejadi serangkaian proses yang kemudian menyrbabkan
infeksi.
2. Perlekatan virus
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monositdan
makrofag. Monosit dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat
berfungsi sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat
politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia. Sepeti sel natural killer, limfosit
B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel microglia dan berbagai
jaringan tubuh.
Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+ maka berlangsung serangkaian
proses kompleks yang apabila berjalan lancar menyebabkan terbentuknya partikel-
partikel virus baru dari sel yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus
atau mungkin mengalami, siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak
virusinfeksi pada limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sipatogenitas melalui beragam
mekanisme, termasuk apoptesis, anergi, atau pembentukan sinstisum (fusi sel).
3. Replikasi virus
Setelah terjadi fusi sel virus, RNA virus masuk kedalam tengah sitoplasma
limfosit CD4+ setelah nuk;leokapsid dilepas, maka akan terjadi transkripsi terbalik dari
satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai ganda virus. Integrase HIV
membantu in sersi cDNA kedalm inti sel pejamu. Apabila sudah terintegrasi kedal;am
kromosom sel pejamu maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus
meghasilkan mRNA yang meninggalkan inti sel dan masuk kedalam sitoplasma.
Protein-protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan yang telah mengalami
splicing (penggabungan), setelah RNA genom dibebaskan kedalam sitoplasma. Tahap
akhir produksi virus membutuhka suatu enzim virus yang disebut HIV protease, yang
memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi
RNA virus, membentuk parikel virus menular yag menonjol dari sel yang terinfeksi.
Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus
oleh sebagian dari membrane sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang
dapat menyerang sel rentan lainnya di seluruh tubuh.
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya
terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah. HIV ditemukan dalam jumlah besar
di dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh sistem limfoid pada tahap semua
infeksi. Partikel-partrikel virys juga telah dihubungkan sel-sel dendritik folikular, yang
mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama imigrasi melaului folikel-folikel limfoid.
Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-
sel monokleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang
sejati. HIV secara terus menerus terakumlasi dan bereplikasi di organ-orgna limfoid.
Sebagian data menunujaka bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dabn
pertukaran sel yang sangat cepat dengan waktu paruh virus didalam plasma sekitar 2
hari. Aktivitas ini menunjukan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus
dajn sistem imun pasien.
4. infeksi HIV
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna
oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang
kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah
virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan
neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut
merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh
lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai
oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+
dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan
sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan
menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit
mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel
dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid,
sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan
viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi
virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4
atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran
infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen
virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang
menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan
limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun
masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi
klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency
period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak
mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid
terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih
dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV
diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh
dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah
beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus
sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan
sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons
imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan
limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T,
seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun
alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu
produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain,
terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana
terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang
dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi
oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati
HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-Toxoplasma gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbentassay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah
terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
c. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain Reaction
(PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan
cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV.
Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena
tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.
d. Pemeriksaan kadar CD4
Meskipun sebenarnya pemeriksaan kadar CD4 sangat diperlukan, dimana biasanya
nilai CD4 dibawah 100 sel/μL untuk ET sebagai diagnosa presumtif.
e. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan biasanya
ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema
vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi
tunggal atau tanpa lesi.
f. Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
g. MRI
MRI lebih sensitif dibanding CT scan, sehingga teknik ini lebih disukai, khususnya pada
pasien-pasien tanpa gangguan neurologik fokal. Pasien dengan hanya satu lesi atau
tidak tampak pada CT scan harus dilakukan MRI untuk menentukan apakah lebih dari
satu lesi muncul.
F. Penatalaksanaan
Pencegahan
Cara-cara pencegahan :
1). Berikan penyuluhan kepada para ibu tentang upaya pencegahan seperti berikut:
a). Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi atau yang
sudah dimasak pada suhu 1500F (660C), daging yang dibekukan mengurangi
infektivitas parasit tetapi tidak membunuh parasit.
b). Ibu hamil yang belum diketahui telah mempunyai antibodi terhadap T. gondii,
dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan tempat sampah.
Pakailah sarung tangan karet pada waktu berkebun dan cucilah tangan selalu setelah
bekerja dan sebelum makan.
2). Kucing diberi makanan kering, makan yang diberikan sebaiknya makanan kaleng
atau makanan yang telah dimasak dengan baik. Kucing jangan dibiarkan memburu
sendiri makanannya (jaga agar kucing tetap didalam rumah sebagai binatang
peliharaan).
3). Buanglah kotoran kucing dan sampah tiap hari (sebelum sporocysts menjadi
infektif). Kotoran kucing dapat dibuang kedalam toilet yang saniter, dibakar atau
ditanam dalam- dalam. Tempat pembuangan sampah di disinfeksi setiap hari dengan
air mendidih. Pakailah sarung tangan atau cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
setelah menangani barang-barang yang terkontaminasi. Sampah kering dibuang
sedemikian rupa tanpa menggoyang goyang agar oocysts tidak tersebar ke udara.
4). Cucilah tangan baik-baik sebelum makan dan sesudah menjamah daging mentah
atau setelah memegang tanah yang terkontaminasi kotoran kucing.
5). Awasi kucing liar, jangan biarkan kucing tersebut membuang kotoran ditempat
bermain anak-anak. Kotak pasir tempat bermain anak ditutup jika tidak dipakai.
6). Penderita AIDS dengan toxoplasmosis simptomatik agar diberikan pengobatan
profilaktik seumur hidup dengan pyremethamine, sulfadiazine dan asam folat.
Penatalaksanaan
Penanganan Penderita, Kontak, Lingkungan Sekitarnya
1). Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: Tidak diperlukan, tetapi di beberapa
negara bagian di Amerika dan di beberapa negara penyakit ini wajib dilaporkan untuk
pemahaman lebih lanjut terhadap epidemiologi dari penyakit ini.
2). Isolasi: Tidak ada
3). Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan
4). Karantina: Tidak dilakukan
5). Imunisasi kontak: Tidak dilakukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pada infeksi kongenital lakukan pemeriksaan
titer antibodi ibu; sedangkan pada infeksi yang didapat, periksalah titer antibodi pada
anggota keluarga dan selidiki kemungkinan terjadinya pemajanan terhadap kotoran
kucing, tanah, daging mentah tau terpajan dengan binatang yang terinfeksi.
7). Pengobatan spesifik: Untuk orang yang sehat dengan status imunitas yang baik,
tidak ada indikasi untuk diberi pengobatan kecuali jika infeksi terjadi pada awal
kehamilan atau adanya Chorioretinitis aktif, myocarditis atau ada organ lain yang
terkena. Obat yang dipakai adalah Pyrimethamine (Daraprim) dikombinasi dengan
Sulfadiazine dan asam folat (untuk mencegah depresi sumsum tulang). Pengobatan
diberikan selama 4 minggu untuk mereka yang menunjukkan gejala klinis berat. Selain
obat diatas, untuk toxoplasmosis pada mata ditambahkan Clindamycin. Pada
toxoplasmosis okuler, terjadi penurunan visus yang irreversible. Jika yang terserang
mata maka yang dapat terkena adalah macula, syaraf mata atau papillomacular
bundle, untuk mencegah hal ini diberikan kortikosteroid sistemik.Pengobatan terhadap
wanita hamil menjadi masalah. Spiramycin sering digunakan untuk mencegah infeksi
plasenta; jika pada pemeriksaan USG ada indikasi telah terjadi infeksi pada bayi maka
berikan pengobatan pyrimethamine dan sulfadiazine.
Pyrimethamine tidak diberikan pada 16 minggu pertama kehamilan karena
dikawatirkan akan terjadi teratogenik; dalam hal ini sulfadiazine dapat diberikan
tersendiri. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita infeksi primer atu dari ibu yang HIV
positif selama kehamilan diberikan pengobatan pyrimethamine-sulfadiazineasam folat
selama tahun pertama sampai terbukti bahwa bayi tersebut tidak menderita
toxoplasmosis kongenital. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya Chorioretinitis
atau gejala sisa. Belum ada pegangan dan petunjuk yang jelas tentang pengobatan
bayi yang lahir dari ibu yang HIV positif disertai toxoplasma seropositif.
a. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
b. Toxoplasma gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Toxoplasma gondii. Sulfadiazin
menghambat penggunaannya.
c. Kombinasi pirimetamin 50-100mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin1-2 g tiap 6 jam.
d. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100
mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
e. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang.
f. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin
1200mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam.
Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
g. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi
HIVdengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit
totalkurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN KOMPLIKASI
TOKSOPLASMOSIS
Pengkajian
Kebiasaan sehari-hari
1. Aktivitas/istirahat
a) Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas, kelelahan.
b) Tanda : kelemahan otot, nyeri otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
terhadap aktifitas.
2. Sirkulasi
a) Gejala : demam, proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan lama
bila cedera
b) Tanda : suhu tubuh meningkat, berkeringat, takikardia, mata cekung, anemis,
perubahan tekanan darah postural, volume nadi perifer menurun, pengisian
kapiler memanjang.
3. Integritas ego
a) Gejala : merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan kontrol
diri, dan depresi.
b) Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis,
kontak mata kurang.
4. Eliminasi
a) Gejala : diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih.
b) Tanda : feces encer disertai mucus atau darah, nyeri tekan abdominal, lesi
pada rectal, ikterus, perubahan dalam jumlah warna urin.
5. Makanan/cairan
a) Gejala : tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan.
b) Tanda : penurunan BB yang cepat, bising usus yang hiperaktif, turgor kulit
jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mukosa mulut
6. Hygiene
a) Tanda : tidak dapat menyelesaikan ADL, mempeliahtkan penampilan yang
tidak rapi.
7. Neurosensorik
a) Gejala : pusing, sakit kepala, photofobia.
b) Tanda : perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi,
kelemahan otot, tremor, penurunan visus, bebal, kesemutan pada ekstrimitas.
8. Nyeri/kenyamanan
a) Gejala : nyeri umum atau lokal, sakit, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit
kepala, nyeri dada pleuritis, nyeri abdomen.
b) Tanda : pembengkakan pada sendi, hepatomegali, nyeri tekan, penurunan
ROM, pincang.
9. Pernapasan
a) Tanda : terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non,
sesak pada dada, takipneu, bunyi napas tambahan, sputum kuning.
10. Keamanan
a) Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses penyembuhan.
b) Tanda : demam berulang
11. Seksualitas
a) Tanda : riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan
kondom yang tdk konsisten, lesi pada genitalia, keputihan.
12. Interaksi social
a) Tanda : isolasi, kesepian, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tidak
terorganisir
Diagnosa Keperawatan
Ada beberapa diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada pasien dengan
HIV/AIDS, antara lain (Nursalam, 2009):
1. Diare berhubungan dengan proses infeksi dan efek samping medikasi
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis (hipermetabolik).
3. Keletihan berhubungan dengan faktor fisiologis (status penyakit dan kondisi fisik
buruk)
4. Isolasi sosial berhubungan dengan gangguan kondisi kesehatan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit kronis dan pertahanan imun
yang tidak adekuat
Pathways
Hubungan seksual, jarum suntik, transfusi darah, ibu terinfeksi↓
Transmisi virus HIV↓
Invasi virus HIV↓
Menyerang sel-sel CD4+(mencakup monosit, makrofag, limfosit T4 helper)
↓HIV terikat dengan membran sel T4 helper
↓Replikasi virus HIV, sel T4 akan dihancurkan
↓Viremia
↓Penurunan jumlah sel T4 secara progresif
↓Respon imun seluler menurun
↓AIDS
↓Imunodefisiensi
↓Cemas terhadap kondisi penyakit Invasi mikroorganisme pathogen hipermetabolik
meningkat ↓↓ ↓ pengeringan mukosa
Menutup diri Invasi mikroorganisme pathogen ↓pada sel-sel intestinum penurunan nafsu makan
↓ ↓ Isolasi sosial Diare Penurunan Intake Nutrisi
↓ Risiko ketidakseimbangan Penurunan produksi
elektrolit energy ↓
Keletihan
Rencana Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 :
Diare berhubungan dengan proses infeksi dan efek samping medikasi
Tujuan :
Setelah diberikan intervensi dalam waktu 3x24 jam, kebiasaan defekasi klien
kembali lazim.
Kriteria hasil :
1. Kebiasaan defekasi kembali normal
2. Klien melaporkan nyeri dan kram abdominal berkurang
3. Klien menunjukkan perilaku yang dapat mengurangi diare
RENCANA INTERVENSI RASIONAL
MONITORING
1. Kaji kebiasaan defekasi normal klien
2. Kaji terhadap diare : frekuensi sering,
feses encer, nyeri/kram abdomen,
volume feses cair, dan faktor pemberat
dan penghilang
MANDIRI
Pertahankan masukan cairan sedikitnya
3 L kecuali dikontraindikasikan
EDUKASI
Lakukan edukasi tindakan untuk
mengurangi pembatasan sesuai
ketentuan dokter :
a. Pertahankan pembatasan makanan dan
cairang sesuai ketentuan dokter
b. Hindari merokok
c. Hindari iritan usus seperti makanan
berlemak atau gorengan, sayuran
mentah, dan kacang-kacangan.
d. Berikan makan sedikit tapi sering
KOLABORASI
1. Dapatkan kultur feses dan berikan
antimikroba sesuai ketentuan
2. Beri obat antispasmodik antikolonergis
atau sesuai ketentuan dokter
Memberikan dasar untuk evaluasi
Mendeteksi perubahan pada status,
kuantitas kehilangan cairan, fdan
memberikan dasar untuk tindakan
perawatan.
Mencegah hipovolemia
Tirah baring dapat menurunkan episode
akut.
a. Menurunkan stimulasi usus
b. Nikotin bertindak sebagai stimulan
usus
c. Mencegah merangsang usus dan
distensi abdomen
d. Meningkatkan nutrisi dan kadar
elektrolit yang adekuat
Mengidentifikasi organisme patogenik
Menurunkan spasme dan motilitas usus
Diagnosa 2 :
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis (hipermetabolik).
Tujuan :
Setelah diberikan intervensi dalam waktu 7x24 jam, BB klien meningkat
Kriteria hasil :
1. Tidak adanya tanda-tanda gangguan pada gastrointestinal, ex : anoreksia, mual,
muntah
2. Nafsu makan klien meningkat
3. BB klien mencapai normal/ideal
RENCANA INTERVENSI RASIONAL
MONITORING dan MANDIRI
1. Kaji status nutrisi pasien
a. Perubahan BB
b. Pengukuran anthropometric
c. Nilai laboratorium (elektrolit
serum, BUN, kreatinin serum,
protein)
2. Catat pemasukan diet
3. Kaji factor yang berperan dalam
merubah asupan nutrisi
a. Anoreksia, mual, muntah
b. Diet yang tidak menyenangkan
bai klien
c. Depresi
d. Kurang memahami tujuan
pembatasan asupan makanan
4. Tawarkan perawatan mulut sering/
cuci dengan larutan asam asetat 25
1. Menyediakan data dasar untuk
memantau perubahan an
mengevaluasi intervensi yang sudah
diberikan
2. Membantu dalam mengidentifikasi
defisiensi dan kebutuhan diet, kondisi
fisik umum, gejala uremik,(mual,
muntah, penurunan cita rasa) dan
pembatasan diet multiple (diet rendah
protein, kalium, natrium) yang bias
mempengaruhi asupan makanan.
3. Menyediakan informasi mengenai
factor lain yang dapat diubah atau
dapat dihilangkan untuk
meningkatkan asupan diet
4. Membrane mukosa mengalami
perubahan karena adanya sindrom
uremia menjadi kering dan pecah.
%. Beri permen karet atau penyegar
mulut diantara makanan
KOLABORASI
5. Awasi pemeriksaan laboratorium
(BUN, serum natrium, albumin
serum, dan kalsium serum)
6. Konsul dengan ahli gizi/tim
pendukung nutrisi klien
7. Berikan kalori tinggi, diet
rendah/sedang protein. Termasuk
komplek karbohidrat dan sumber
lemak untuk memenuhi kebutuhan
kalori (hindari sumber gula pekat)
8. Berikan obat sesuai indikasi
a. Kalsium
b. Antiemetic
Perawatan mulut menyejukkan,
meminyaki, dan membantu
menyegarkan rasa mulut yang sering
tidak nyaman pada uremi dan
membatasi pemasukan oral
5. Indicator kebutuhan nutrisi,
pembatasan dan kebutuhan
efektivitas terapi
6. Menentukan kalori individu dan
kebutuhan nutrisi dalam pembatasan
asupan makanan yang harus
dihindari
7. Protein yang tinggi dapat
meningkatkan kadar asam urat,
uremia, natrium dan kalium.
Karbohidrat memenuhi kebutuhan
energy dan membatasi jaringan
katabolisme, mencegah pembentukan
asam ketondroksidase protein.
Berikan protein yang mengandung
asam amino esensial
a. Memperbaiki kadar normal serum
untuk memperbaiki fungsi jantung dan
neuromuscular, pembekuan darah,
dan metabolism tulang
b. Diberikan untuk menghilangkan
mual/muntah dan dapat
meningkatkan asupan oral
Diagnosa 3 :
Keletihan berhubungan dengan faktor fisiologis (status penyakit dan kondisi fisik
buruk)
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam kelemahan berkurang.
Kriteria hasil :
1. Secara verbal mengungkapkan peningkatan tingkat energi
2. Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang
diinginkan sesuai kemampuan klien
RENCANA INTERVENSI RASIONAL
MONITORING
1. Kaji kondisi fisik dan psikologi pasien
(mis: infeksi)
2. Minta klien untuk mendeskripsikan
tingkat kelemahannya
3. Diskusikan kegiatan rutin bersama klien
4. Kaji TTV sebelum dan sesudah aktivitas
KOLABORASI
5. Berikan diet tinggi karbohidrat
1. Mengetahui informasi penting
mengenai kondisi klien dan
penyakitnya.
2. Membantu mengevaluasi status
klien
3. Meningkatkan partisipasi klien
4. Respon fisik terhadap aktivitas
mungkin disebabkan oleh
perubahan status kardiovaskuler
atau pulmonary
5. Meningkatkan supplai energy
NoDIAGNOSA
KEPERAWATANINTERVENSI RASIONAL
1. Nyeri kronik
berhubungan
dengan adanya
1. Selidiki keluhan nyeri,
perhatikan lokasi, itensitas
1. Untuk menentukan
intervensi yang efektif
2. Intervensi dini pada kontrol
proses infeksi/
inflamasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 2 x 24 jam
nyeri dapat
berkurang, pasien
dapat tenang dan
keadaan umum
cukup baik
Kriteria Hasil:
· Klien
mengungkapakan
nyeri yang
dirasakan hilang
dan terkontrol
· Klien tidak
menyeringai
kesakitan
· TTV dalam
batasan normal
· Intensitas nyeri
berkurang (skala
nyeri berkurang 1-
10)
nyeri, dan skala
2. Anjurkan pasien untuk
melaporkan nyeri segera
saat mulai
3. Pantau tanda-tanda vital
4. Jelaskan sebab dan akibat
nyeri pada klien serta
keluarganya
5. Anjurkan istirahat selama
fase akut
6. Anjurkan teknik distraksi
dan relaksasi
7. Tingkatkan tirah baring,
bantulah kebutuhan
perawatan diri
8. Berikan situasi lingkungan
yang kondusif
9. Berikan latihan rentang
gerak aktif/pasif secara
tepat dan masase otot
daerah leher/bahu
10. Kolaborasi dengan tim
medis dalam pemberian
tindakan
nyeri memudahkan
pemulihan otot dengan
menurunkan tegangan otot
3. Respon autonomik:
perubahan pada TD, nadi,
RR, yang berhubungan
dengan penghilangan nyeri
4. Mendorong klien
berpartisipasi dalam
perawatan untuk
mengurangi nyeri
5. Mengurangi nyeri yang
diperberat oleh gerakan
6. Menurunkan tegangan otot,
meningkatkan relaksasi,
dan meningkatkan rasa
kontrol dan kemampuan
koping
7. Menurunkan gerakan yang
dapat meningkatkan nyeri
8. Memberikan dukungan
(fisik, emosional,
meningkatkan rasa kontrol,
dan kemampuan koping)
9. Dapat membantu
merelaksasikan
ketegangan otot yang
meningkatkan reduksi
nyeri/rasa tidak nyaman
tersebut
10.Menghilangkan atau
mengurangi keluhan nyeri
klien
2. Hipertermi
berhubungan
dengan
peningkatan
metabolisme
Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 1x24 jam
suhu tubuh dapat
dipertahankan
dalam batas
normal.
Kriteria Hasil:
· Suhu antara
36,5o-37,5o c
· RR dan nadi
dalam batas
normal
· Membran mukosa
lembab
· Kulit dingin dan
bebas dari keringat
yang berlebih.
1. Monitor tanda-tanda infeksi.
2. Monitor tanda-tanda vital
tiap 2 jam.
3. Berikan suhu lingkungan
yang nyaman bagi pasien.
Kenakan pakaian tipis pada
pasien.
4. Kompres dingin, hindari
penggunaan alkohol
5. Berikan cairan iv sesuai
order atau anjurkan intake
cairan yang adekuat.
6. Berikan antipiretik, jangan
berikan aspirin.
7. Monitor komplikasi
neurologis akibat demam.
1. Infeksi pada umumnya
menyebabkan peningkatan
suhu tubuh
2. Deteksi resiko peningkatan
suhu tubuh yang ekstrem,
pola yang dihubungkan
dengan patogen tertentu,
menurun dihubungkan
dengan resolusi infeksi.
3. Kehilangan panas tubuh
melalui konveksi dan
evaporasi
4. Dapat membantu
mengurangi demam,
penggunaan alkohol dapat
menyebabkan peningkatan
suhu secara aktual
5. Menggantikan cairan yang
hilang lewat keringat.
6. Aspirin bersiko terjadi
perdarahan GI yang
menetap.
7. Febril dan enselopati bisa
terjadi bila suhu tubuh yang
meningkat.
3. Kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan intake
tidak adekuat
Tujuan:
Setelah dilakukan
1. Kaji tanda-tanda dehidrasi.
2. Pantau Tanda-tanda vital,
status membran mukosa
dan turgor kulit
3. Pantau tekanan darah atau
denyut jantung
1. Intervensi lebih dini
2. Sebagai indikator ke
adekuatan sirkulasi
3. Pengurangan dalam
sirkulasi volume cairan
dapat mengurangi tekanan
darah.
tindakan
keperawatan
selama 1x24 jam,
asupan cairan
adekuat
Kriteria hasil:
· Memiliki
keseimbangan
asupan dan
haluaran yang
seimbang dalam
24 jam.
· TTV dalam batas
normal
· Membran mukosa
lembab
· Nadi perifer
teraba
4. Palpasi denyut perifer
5. Berikan minum per oral
sesuai toleransi.
6. Atur pemberian cairan infus
sesuai order.
7. Ukur semua cairan output
(muntah, urine, diare). Ukur
semua intake cairan.
4. Denyut yang lemah dan
mudah hilang dapat
menyebabkan hipovolemia.
5. Mempertahankan intake
yang adekuat
6. Melakukan rehidrasi
7. Mengatur keseimbangan
antara intake dan output
Daftar Pustaka
Bulechek, Gloria M, et al. 2007. Nursing Intervention Classification. Fifth Edition. Iowa: Mosby Elsevier
Silaban, Dalton dkk. Ensefalitis Toksoplasmosis pada Penderita HIV-AIDS. Majalah
Kedokteran Nusantara Volume 41 No. 2 Juni 2008
Goodman and Gilman. 2008. Dasar-Dasar Farmakologi Terapi. Volume 1. Jakarta:
EGC
Herdman, T.H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions and Classification, 2012-2014. Oxford: Willey-Blackwell
Jackcon, Marilynn & Lee Jackson. 2011. Seri Panduan Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta: Erlangga Medical Services
Dharmana, Edy (2007) Toxoplasma Gondii - Musuh Dalam Selimut. Documentation.
Diponegoro University Press, Semarang.Moorhead, Sue, et al. 2008. Nursing Outcomes Classification. Fourth Edition. Missouri:
Mosby Elsevier
Palgunadi, Bagus Uda. 2009. TOXOPLASMOSIS DAN KEMUNGKINAN PENGARUHNYA TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya