BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Umum
Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defenisi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Ditjen Bina Farmasi &
ALKES, 2005).
Diabetes adalah suatu penyakit dimana metabolisme glukosa tidak normal,
suatu resiko komplikasi spesifik perkembangan mikrovaskular dan ditandai
dengan adanya peningkatan komplikasi perkembangan makrovaskuler. Secara
umum, ketiga elemen diatas telah digunakan untuk mencoba menemukan
diagnosis atau penyembuhan diabetes (Mogensen, 2007).
Pada beberapa populasi tetapi bukan semuanya, defenisi diabetes oleh
distribusi glukosa adalah pendistribusian glukosa ke seluruh jaringan dimana
berbeda distribusi glukosa pada setiap individual dengan atau tanpa diabetes.
Selain itu distribusi glukosa juga dapat menjadi parameter untuk penyakit
diabetes atau dengan kata lain, nilai defenisi diagnosis untuk diabetes didasarkan
pada nilai distribusi glukosa pada tingkat populasi bukan sering atau tidaknya
berolahraga. Besarnya komplikasi mikrovaskuler pada retina dan ginjal spesifik
menuju ke diabetes. Selain itu terjadinya komplikasi makrovaskuler dapat
menyebabkan kematian pada penderita diabetes. Hal ini ditunjukkan bahwa nilai
glukosa yang tidak normal seharusnya ditemukan sebagai peningkatan cepat dari
nilai glukosa, yang mana diapresiasikan dengan peningkatan resiko penyakit
CVD (kardiovaskuler) (Mogensen, 2007).
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Gambar Anatomy Pankreas
Sumber : http://www.aboutcancer.com/pancreas1.htm
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah
lambung dalam abdomen. Pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar
dengan panjang dan tebal sekitar 12,5 cm dan tebal + 2,5 cm (pada manusia).
Pankreas terbentang dari atas sampai ke lengkungan besar dari perut dan
biasanya dihubungkan oleh dua saluran ke duodenum (usus 12 jari), terletak
pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum sehingga termasuk
organ retroperitonial kecuali bagian kecil caudanya yang terletak dalam
ligamentum lienorenalis. Strukturnya lunak dan berlobulus (Richard S.Snell,
2000).
1. Bagian Pankreas dapat dibagi ke dalam:
a. Caput Pancreatis
Berbentuk seperti cakram dan terletak di dalam bagian cekung
duodenum. Sebagian caput meluas di kiri di belakang arteri dan vena
mesenterica superior serta dinamakan Processus Uncinatus.
b. Collum Pancreatis
Merupakan bagian pancreas yang mengecil danmenghubungkan caput dan
corpus pancreatis. Collum pancreatis terletak di depan pangkal vena
portae hepatis dan tempat dipercabangkannya arteria mesenterica
superior dari aorta.
c. Corpus Pancreatis
Berjalan ke atas dan kiri, menyilang garis tengah. Pada potongan
melintang sedikit berbentuk segitiga.
d. Cauda Pancreatis
Berjalan ke depan menuju ligamentum lienorenalis dan mengadakan
hubungan dengan hilum lienale (Richard S.Snell, 2000).
2. Hubungan.
a. Ke anterior : Dari kanan ke kiri: colon transversum dan perlekatan
mesocolon transversum, bursa omentalis, dan gaster.
b. Ke posterior : Dari kanan ke kiri: ductus choledochus, vena portae
hepatisdan vena lienalis, vena cava inferior, aorta, pangkal arteria
mesenterica superior, musculus psoas major sinistra, glandula
suprarenalis sinistra, rensinister, dan hilum lienale (Richard S.Snell, 2000).
3. Vaskularisasi
a. Arteriae
A.pancreaticoduodenalis superior (cabang A.gastroduodenalis )
A.pancreaticoduodenalis inferior (cabang A.mesenterica cranialis)
A.pancreatica magna dan A.pancretica caudalis dan inferior
cabangA.lienalis
b. Venae
Venae yang sesuai dengan arteriaenya mengalirkan darah ke sistem
porta (Richard S.Snell, 2000).
4. Aliran Limfatik
Kelenjar limfe terletak di sepanjang arteria yang mendarahi kelenjar.
Pembuluh eferen akhirnya mengalirkan cairan limfe ke nodi limfe coeliaci
danmesenterica superiores (Richard S.Snell, 2000).
5. Inervasi
Berasal dari serabut-serabut saraf simpatis (ganglion seliaca)
dan parasimpatis (vagus) (Richard S.Snell, 2000).
6. Ductus Pancreaticus
a. Ductus Pancreaticus Mayor (Wirsungi)
Mulai dari cauda dan berjalan di sepanjang kelenjar menuju ke
caput,menerima banyak cabang pada perjalanannya. Ductus ini bermuara
ke parsdesendens duodenum di sekitar pertengahannya bergabung
dengan ductus choledochus membentuk papilla duodeni mayor Vateri. Kadang-
kadang muara ductus pancreaticus di duodenum terpisah dari ductus choledochus.
b. Ductus Pancreaticus Minor (Santorini)
Mengalirkan getah pancreas dari bagian atas caput pancreas dan
kemudian bermuara ke duodenum sedikit di atas muara ductus
pancreaticus pada papilla duodeni minor.
c. Ductus Choleochus et Ductus Pancreaticus
Ductus choledochus bersama dengan ductus pancreaticus bermuara
kedalam suatu rongga, yaitu ampulla hepatopancreatica (pada kuda).
Ampullaini terdapat di dalam suatu tonjolan tunica mukosa duodenum,
yaitu papilladuodeni major. Pada ujung papilla itu terdapat muara
ampulla (Richard S.Snell, 2000).
Organ ini memiliki 2 fungsi : fungsi endokrin dan fungsi eksokrin (Sloane,
2003). Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar pankreas,
memproduksi cairan pankreas yang disekresi melalui duktus pankreas ke dalam
usus halus (Sloane, 2003).
Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama, Sloane (2003), yaitu:
a. Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
b. Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi,
menyekresikan insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau-pulau langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas
tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas.
Pulau langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda.
Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50μ, sedangkan yang terbesar 300μ,
terbanyak adalah yang besarnya 100-225μ. Jumlah semua pulau langerhans di
pankreas diperkirakan antara 1-2 juta (Sloane, 2003).
Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu
kumpulan kecil sel yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil
hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut, (Sloane, 2003):
a. Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi
faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like
activity.
b. Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah.
c. Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang hormon pertumbuhan
yang menghambat sekresi glukagon dan insulin.
d. Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk
fungsi yang tidak jelas.
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,
dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam
darah sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah
(Manaf, 2006).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor hormon
insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,
prepoinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang
kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicle) dalam sel
tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi
insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan
secara bersamaan melalui membran sel (Guyton, 2007).
Mekanisme secara fisiologis di atas, diperlukan bagi berlangsungnya proses
metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi insulin dalam proses utilasi
glukosa dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan
komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta memproduksi
insulin, meskipun beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, juga dapat
memiliki efek yang sama. Mekanisme sintesis dan sekresi insulin setelah adanya
rangsangan terhadap sel beta cukup rumit, dan belum sepenuhnya dipahami
secara jelas (Manaf, 2006).
Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa
memberikan rangsangan pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati
membran sel yang membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT)
adalah senyawa asam amino yang terdapat dalam berbagai sel yang berperan
proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai "kenderaan" pengangkut
glukosa masuk dari luar ke dalam jaringan tubuh. Glucose transforter 2 (GLUT
2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya
glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini
merupakan langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel, molekul glukosa
tersebut dapat mengalami proses glikolisis dan fosforilasi yang akan
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan
untuk mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat pada membran
sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan depolarisasi
membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca channel.
Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca²⁺ sehingga meningkatkan
kadar ion Ca²⁺ intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin
melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan
(Manaf, 2006).
2.3 Epidemiologi
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16
juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 ribu
kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan
merupakan penyebab kebutaan pada orang dewasa akibat retino diabetik. Pada usia
yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2 ½ kali lebih sering terkena serangan
jantung dibandingkan mereka yang tidak terkena serangan jantung. Tiga puluh lima
persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan
jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah komplikasi yang paling utama.
Selain kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes melitus tidak
terkontrol juga meningkat (Schteingart, 2005).
Indonesia saat ini menjadi negara peringkat empat dengan jumlah penderita
diabetes mellitus atau kencing manis terbesar di dunia. Para penderita tersebar
mulai dari wilayah perkotaan hingga ke pedesaan. Total penderita diabetes
mellitus di Indonesia berdasar data WHO, saat ini sekitar 8 juta jiwa, dan
diperkirakan jumlahnya melebihi 21 jiwa pada tahun 2025 mendatang. Jumlah
tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat keempat penderita
diabetes terbesar setelah China, India, dan Amerika.
Sementara jumlah penderita diabetes di dunia, mencapai 200 juta jiwa.
Diprediksi angka tersebut terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun
2020. Demikian dituturkan ahli diabetes dari Rumah Sakit Umum Daerah dr
Saiful Anwar (RSSA) Malang, Prof.dr.Djoko Wahono Soeatmadji, SpPD-
KEMD, dalam rangka menyambut Kongres Nasional Persatuan Diabetes
Indonesia VII di Batu, Malang, Jawa Timur.
2.4 Etiologi dan Penggolongan Diabetes
Banyak diketahui bahwa etiologi Diabetes Mellitus adalah kurangnya insulin
dalam tubuh manusia yang mengakibatkan kelebihan kadar glukosa darah. Akan
tetapi, ada beberapa kondisi berbeda yang menyebabkan hal itu terjadi. Menurut
anjuran Konferensi Kerja Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia (PERKENI)
umumnya klasifikasi atau penggolongan diabetes didasarkan pada etiologinya.
Indonesia sendiri menganut klasifikasi berdasar pada ADA (American Diabetes
Association) 2003.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui tiga bentuk Diabetes mellitus
yaitu:
a. Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam
sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau
Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang
dewasa. Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah
raga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1
(Anonima, 2009).
Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat
badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas
maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita
diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal. Penyebab terbanyak dari
kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi
autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas
tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh (Anonima, 2009).
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan
insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah
melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1,
bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin.
Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma
bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada
penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian
injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui
pompa, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam
sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan
pemberian dosis dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta
dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled
powder" (Anonima, 2009).
b. Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (Non-Insulin-Dependent Diabetes mellitus,
NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan
oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan
metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk
yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin,
resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka
terhadap insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik
namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut
sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat
yang ditemukan pada manusia (Anonima, 2009).
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya
sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar
insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti
diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit,
sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang
dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan
mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui
sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin. Obesitas
ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis
dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi sejarah keluarga,
walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk
mempengaruhi anak remaja dan anak-anak (Anonima, 2009).
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan
aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan
karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Langkah yang
berikutnya, jika perlu, perawatan dengan lisan antidiabetic drugs
(Anonima, 2009).
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM tipe 2 dapat
dibagi menjadi 4 kelompok:
Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga
Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar
glukosa plasma puasa < 140mg/dl)
Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar
glukosa plasma puasa > 140mg/dl) (Ditjen Bina Farmasi dal ALKES,
2005).
c. Diabetes mellitus Gestasional
Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama
sekali didapat selama kehamilan (Michael F. Greenean dan Caren G.
Solomon, 2005).
Diabetes Mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya
bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk Diabetes Mellitus
tipe 2. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan
umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua (Ditjen Bina
Farmasi dan ALKES, 2005).
2.5 Patogenesis
2.5.1 Diabetes Melitus tipe 1
Pada diabetes tipe 1 timbul karena adanya reaksi atoimin yang
disebabkan adanya peradangan pada sel-β insulinitis. Ini menyebabkan
timbulnya anti bodi terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell
Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) yang
ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel-β. Insulinitis bisa
disebabkan macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie,
rubella, CMV, herpes dan lain-lain. Yang diserang pada insulinitis itu
hanya sel-β, biasanya sel-α dan delta tetap utuh. (Soegondo, 2005):
Gambar : Skema proses perjalanan DM tipe 1.
Sumber : (Soegondo, 2005)
2.5.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada
permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan
sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi
jumlah lubang kuncinya yang kurang, sehingga meskipun anak kuncinya
(insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka
glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan
glukosa dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan
demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Peebedaannya
adalah DM tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga
tinggi atau normal keadaan ini disebut resistensi insulin (Soegondo,
2005).
Gambar : Mekanisme skeresi insulin pada sel-β pankreas.
Sumber : (Fauci, 2008)
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah sel-β berkurang sampai 50-
60% dari normal. Jumlah sel-α meningkat. Yang menyolok adalah
adanya peningkatan jumlah jaringan amiloid pada sel-β yang disebut
amilin.
Gambar : Mekanisme signal transduksi insulin normal, berbeda padaorang penderita DM jumlah reseptor insulin menurun sehungga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga glukosa darah meningkat.Sumber : (Kumar, 2005)
2.5.3 Diabetes Gestational
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan
dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya
GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan
riwayat diabetes gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan
sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap
toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik.
Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik
mungkin akan memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis
diabetes pada kehamilan (Price, 2005).
Gambar : Skema mekanisme pada diabetes gestasional. Sumber : (Gibbs, 2008)
2.6 Faktor Resiko Diabetes Melitus
Sudah lama diketahui bahwa diabetes merupakan penyakit keturunan. Artinya
bila orang tuanya menderita diabetes, anak-anaknya akan menderita diabetes
juga. Hal itu memang benar. Tetapi faktor keturunan saja tidak cukup.
Diperlukan faktor lain yang disebut faktor resiko atau faktor pencetus misalnya
(Soegondo, 2005):
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah,
pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari
dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang
yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >
4000 gram.
7. Pola makan yang salah
8. Adanya infeksi virus (pada DM tipe 1)
9. Stress
10. Proses penuaan
2.7 Gejala Diabetes mellitus
Menurut Newsroom (2009) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes
Melitus apabila menderita dua dari tiga gejala yaitu:
a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.
b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl.
c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl.
Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah: Poliuria,
Polidipsia, Polifagia, Berat Badan menurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus
menurun, Bisul/luka, gairah seks menurun, dan luka sukar sembuh, Keputihan
(Waspadji, dkk, 2002).
Kadang-kadang ada pasien yang sama sekali tidak merasakan adanya
keluhan hingga ada yang bertanya mengapa jadi ribut dengan diabetes? Mereka
mengetahui adanya diabetes hanya karena pada saat check-up ditemukan kadar
glukosa darahnya tinggi. Oleh karena itu dalam rangka penyuluhan kepada
pasien seperti ini, kita sering mendapat hambatan karena sulit memotivasi.
Memang saat ini tidak ada keluhan tetapi mereka harus menyadari bahwa kadar
glukosa darah yang selalu tinggi dalam jangka panjang akan menimbulkan apa
yang disebut komplikasi jangka panjang akibat keracunan glukosa. Pasien dapat
terkena komplikasi pada mata hingga buta atau komplikasi lain seperti kaki
busuk (gangren), komplikasi pada ginjal, jantung, dll (Waspadji, dkk, 2002).
Beberapa faktor yang dapat menunjang timbulnya Diabetes mellitus yaitu
obesitas dan keturunan, sedangkan gejala yang dapat diamati adalah polidipsia,
poliuria, dan polipfagia. Gejala-gejala ini perlu mendapat tanggapan di dalam
penyusunan diet penderita Diabetes mellitus (Tjokroprawiro, dkk, 1986).
2.8 Diagnosis Diabetes Melitus
2.8.1 Anamnesis
Diabetes melitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik, koma
hiperglikemia, disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia (poliuria,
polidipsi, nokturia), efek samping diabetes pada organ akhir (IHD,
retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati perifer), atau komplikasi
akibat meningkatnya keretanan terhadap infeksi (misalnya ISK, ruam
kandiada). Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja saat
melakukan pemeriksaan darah atau urin (Gleadle, 2007). Maka hal di atas
harus ditanyakan secara lengkap!
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien diketahui mengidap diabetes? Jika ya,
bagaimana manifestasinya dan apa obat yang didapat? Bagaimana
pemantauan untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan pemeriksaan urin,
tes darah, HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia?
Tanyakan mengenai komplikasi sebelumnya (Gleadle, 2007).
a. Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hipergikemia.
b. Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit
vaskular perifer (klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus,
perawatan kaki, impotensi), neuropati perifer, neuropati otonom
(gejala gastroparesis – muntah, kembung, diare).
c. Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser.
d. Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida.
e. Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria).
f. Hipertensi.
g. Diet/berat badan/olahraga.
Riwayat Pengobatan (Gleadle, 2007).
a. Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-
obatan hipoglikemia oral, atau insulin?
b. Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya
kortikosteroid, siklosporin)?
c. Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol?
d. Apakah pasien memiliki alergi?
Riwayat Keluarga dan Sosial (Gleadle, 2007).
a. Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga?
b. Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan?
c. Siapa yang memberikan suntikan insulin/tes gula darah, dan
sebagainya (pasangan/pasien/perawat)?
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki efek kepada
seluruh tubuh. Maka dalam pemeriksaan fisik harus dialkukan
pemeriksaan secara lengkap. Dan biasanya ditemukan beberapa kelainan
sebagai berikut (Boon, 2006) :
Gambar : Keadaan-keadaan yang mungkinditemukan dalam pemeriksaan fisik.Sumber : (Boon, 2006)
2.8.3 Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah
satu resiko DM sebagai berikut: (Morgensen, 2007).
1. Usia > 45 tahun
2. Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2.
3. Hipertensi (> 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam keluarga
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >
4000 gram
6. Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau TG ≥ 250 mg/dl
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM
(Diabetes Mellitus), TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) dan (Glukosa
Darah Puasa Terganggu) GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang
tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahap
sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT
akan berkembang menjadi DM. 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainya kembali
normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. pada
kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi
dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit
kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola
kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini
mungkin dan penegahan primer dan skunder dapat segera diterapkan
(Soegondo, 2005).
Pemeriksaan penyaring dapat dialakukan melalui pemeriksaan
kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian
dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar
(Soegondo, 2005).
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa
darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM (Morgensen, 2007).
Kriteria diagnostik DM menurut PERKENI, 2002 atau yang dianjurkan
ADA (American Diabetes Association) yaitu bila terdapat salah satu atau
lebih hasil pemeriksaan gula darah dibawah ini:
1. Kadar gula darah sewaktu (plasma vena) lebih atau sama dengan 200
mg/dl
2. Kadar gula darah puasa (plasma vena) lebih atau sama dengan 126 mg/dl
3. 3. Kadar glukosa plasma lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral.
2.8.4 Langkah-langkah Untuk Menegakkan Diagnosis DM dan Gangguan
Toleransi Glukosa
Diangnosi klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan
DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika
keluahan khas pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa ≥126 mg/dl juga digunakan untuk patokan
diagnosis DM (Soegondo, 2005).
Untuk keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl,
kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari
hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah
pasca pembebanan ≥200 mg/dl (Soegondo, 2005).
Keterangan:GDP: Glukosa Darah PuasaGDS: Glukosa Darah SewaktuGDPT: Glukosa Darah Puasa TergangguTGT: Toleransi Glukosa TergangguTTGO: Tes Toleransi Glukosa Oral
Gambar : Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa. Sumber : (Sudoyo, 2006)
2.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
2.9.1 Non-farmakologi
Dalam mengelola DM untuk jangka pendek tujuannya adalah
menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman
dan sehat. Untuk jangka panjangnya lebih jauh lagi, yaitu mencegah
penyulit, baik makroangipati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan
tujuan akhir menurunkan morbidilitas dan mortalitas DM (Soegondo,
2005).
Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe 2 adalah terdapatnya
faktor gentik, resistensi insulin dan insufisiensi sel-β pankreans, maka
cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar tersebut harus tercermin
pada langkah pengelolaan. Dalam mengelola DM langkah pertama yang
harus di lakukan adalah pengelolaan non-farmakologis, berupa
perencanaan makan dan kegiatan jasmani (Soegondo, 2005).
Lima pilar utama pengelolaan DM (Soegondo, 2005).
1. Perencanaan makanan
2. Latihan jasmani
3. Obat berkhasiat hipoglikemik
4. Penyuluhan (edukasi)
5. Pemeriksaan glukosa mandiri
a. Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut: (Soegondo, 2005).
Karbohidrat : 60-70%
Protein : 10-13%
Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,
umur, stress akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan idaman (Soegondo, 2005).
Untuk penentuan status gizi, dipakai body mass index (BMI) =
indeks massa tubuh (IMT).
Klasifikasi IMT:
Berat badan kurang : < 18,5
Berat badan normal : 18,5-22,9
Berat badan lebih : ≥ 23,0
Dengan resiko : 23,0-24,9
Obes I : 25,0-29,9
Obes II : ≥ 30,0
BMI = IMT = BB (kg)
TB (m)2
Penentuan kebutuhan kalori (Sudoyo, 2006)
Kalori basal
Laki—laki : BB idaman x 30 kalori /kg = ........kalori
Wanita : BB idaman x 25 kalori/kg = .........kalori
Koreksi / Penyesuaian
Umur > 40 tahun : -5 % x kalori basal = - ..........kalori
Aktivitas ringan : +10% x kalori basal = + ..........kalori
sedang : + 20% x kalori basal
berat : +30% x kalori basal
BB gemuk : -20% x kalori basal = - /+..........kalori
lebih : -10% x kalori basal
kurang : + 20% x kalori basal
Stres metabolik : + (10-30%) x kalori basal = + ............kalori
Hamil trimester I & II = + 300 kalori
Hamil trimester III/ laktasi = + 500 kalori
Total kebutuhan = ..............kalori
Note: RUMUS BROCA
BB idaman = (TB-100)-10%
BB kurang = < 90% BB idaman
BB normal = 90-110% BB idaman
BB lebih = 110-120% BB idaman
Gemuk = >120 % BB idaman
b. Latihan Jasmani
Manfaat :
menurunkan kadar glukosa darah (mengurangi resistensi
insulin ,meningkatkan sensitivitas insulin)
menurunkan berat badan
mencegah kegemukan
mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi aterogenik ,
gangguan lipid darah , peningkatan tekanan darah,hiperkoagulasi
darah.
Prinsip : Continuous , Rhytmic , Interval , Progressive , Endurance
(CRIPE) (Soegondo, 2005).
Continuous adalah latihan harus berkesinambungan dan
dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh : bila dipilih jogging 30
menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa
istirahat.
Rhytmic adalah latihan olah raga harus dipilih yang
berirama,yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara
teratur.Contoh: jalan kaki, jogging, berlari, berenang, bersepeda,
mendayung.
Interval adalah latihan dilakukan selang seling antara gerak
cepat dan lambat.Contoh: jalan cepat diselingi jalan lambat, jogging
diselingi jalan, dan lain-lain.
Progressive adalah latihan dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kemampuan dari intensitas ringan sampai sedang hingga
mencapai 30-60 menit
Endurance adalah latihan daya tahan untuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai
umur ), jogging, berenang, dan bersepeda.
Dalam latihan jasmani ada hal-hal yang perlu dihindari
sebagai berikut:
Hindari berlatih pada suhu terlalu panas/dingin
Bila kadar glukosa darah > 250 mg/dl . Jangan melakukan
latihan jasmani berat ( misalnya bulu tangkis , sepak bola , dan
olah raga permainan lain )
Jangan teruskan bila ada gejala hipoglikemia
2.9.2 Farmakologi
a. Sulfonil urea
Obat golongan ini sudah dipakai pada pengelolaan diabetes sejak
1957. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat
farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme
kerjanya. Beberapa informasi baru mengenai obat golongan ini ada,
terutama mengenai efek farmakologis pada pemakaian jangka lama dan
pemakaiannya secara kombinasi dengan insulin. (Soegondo, 2005).
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel-β pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya
dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan
untuk mensekresikan insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada
DM tipe 1. Efek ekstra prankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin
ada, tetapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada
pasien yang insulinopenik (Soegondo, 2005).
Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea:
1. Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan (stored insulin)
2. Menurunkan ambang sekresi insulin
3. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
Obat golongan ini semuanya mempunyai cara kerja yang serupa,
berbeda dalam hal masa kerja, degradasi dan aktivitas metabolitnya.
Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemia yang mungkin dapat fatal.
Untuk mengurangi kemungkinan hipoglikemia, apalagi pada orang tua
dipilih obat yang masa kerjanya paling pendek. Obat sulfonilurea
dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia
lanjut(Soegondo, 2005).
Kombinasi Sulfonilurea dengan Insulin
Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata kadar
glukosa darah sepanjangn hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa
darah puasnya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan
kurang lebih sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah puasanya.
Dengan memberikan dosis insulin kerja sedang malam hari, produksi
glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah
puasa dapat menjadi lebih rendah. Selanjutnya kadar glukosa darah
siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonilurea seperti biasanya
(Soegondo, 2005). Kombinasi sulfonilurea dan insulin ini ternyata lebih
baik daripada insulin saja dan dosis insulin yang diperlukan pun ternyata
lebih rendah. Selain itu pasien lebih bisa menerima cara pengelolaan
kombinasi daripada pengelolaan dengan suntikan yang lebih sering
(Soegondo, 2005).
b. Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjnya sama dengan
sulfonilurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati (Soegondo, 2005).
c. Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga
pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan
glukosa darah dan juga disangka menghambat absorbsi glukosa dari
usus pada keadaan sesudah makan (Soegondo, 2005). Metformin
menurunkan kadar glukosa darah tetapi tidak menyebabkan penurunan
sampai di bawah normal. Karena itu tidak disebut sebagai obat
hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Pada pemakaian kombinasi
dengan sulfonilurea, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh
sulfonilureanya. Pada pemakaian tunggal, metformin dapat menurunkan
kadar glukosa darah sampai 20%. Kadar insulin plasma basal juga turun.
Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada
pemakaian sulfonilurea.1
d. Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat baru yang mempunyai efek
farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin. dapat diberikan secara
oral. Golongan obat ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel
dan mengurangi produksi glukosa di hati (Soegondo, 2005).
Golongan obat baru ini diharapkan dapat lebih tepat kerjanya pada
sasaran kelainan yaitu resistensi insulin dan dapat pula dipakai untuk
mengatasi berbagai manifestasi resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel-β pankreas
(Soegondo, 2005).
e. Penghambat Glukosidase Alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif megnhambat kerja enzim
kosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial
(Soegondo, 2005). obat ini bekerja di dalam lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar
insulin. Efek samping akibat maldigestif karbohidrat berupa gejala
gastrointestinal seperti meteorismus, flatus dan diare (Soegondo, 2005).
f. Insulin
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian
akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa
darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar
glukosa darahnya dengan kombinasi sulfonilurea dan metformin,
langkah berikut yang mungkindiberikan adalah insulin.Disamping
pemberian insulin secara konvensional 3 kali sehari dengan memakai
insulin kerja cepat, insulin dapat pula diberikan dengan dosis terbagi
insulin kerja menengah dua kali sehari dan kemudian diberikan
campuran insulin kerja cepat dimana perlu sesuai dengan respons kadar
glukosa darahnya. Umumnya dapat juga pasien langsung diberikan
insulin campuran kerja cepat dan menengah dua kali sehari (Soegondo,
2005).
Kombinasi insulin kerja sedang yang diberikan malam hari sebelum
tidur dengan sulfonilurea tampaknya memberikan hasil yang lebih baik
daripada dengan insulin saja, baik satu kali ataupun dengan insulin
campuran. Keuntungannya pasien tidak harus dirawat dan kepatuhan
pasien tentu lebih besar (Soegondo, 2005).
2.10Komplikasi
2.10.1 Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang
relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang
paling serius pada diabetes tipe 1 adalah:
a. Ketoasidosis Diabetik (DKA).
Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe
1. Hal ini bisa juga terjadi pada DM tipe 2. Hal ini terjadi karena kadar
insulin sangat menurun, dan pasien akan mengalami hal berikut: (Boon,
2006)
Hiperglikemia
Hiperketonemia
Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis,
peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai
pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).
Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan
produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik.
Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis
osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien
dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok (Boon, 2006).
Akhimya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien
akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA
saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah
menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat
dilakukan sedini mungkin (Price, 2005)
Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis Diabetik (Boon, 2006)
1. Dehidrasi 8. Poliuria
2. Hipotensi (postural atau supine) 9. Bingung
3. Ekstremitas Dingin/sianosis perifer 10. Kelelahan
4. Takikardi 11. Mual-muntah
5. Kusmaul breathing 12. Kaki kram
6. Nafas bau aseton 13. Pandangan kabur
7. Hipotermia 14. Koma (10%)
b. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi
pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi
insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis.
Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut: (Price, 2005)
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
Dehidrasi berat
Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini
tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%.
Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak
terdapat ketosis (Price, 2005).
c. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang
disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa
gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Penyebab tersering
hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-
1991 yang dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan
episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita
lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM.
meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan
insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena
pasien tidak memperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh
beberapa perubahan pada tubuhnya.(Soegondo, 2005).
Penyebab Hipoglikemia
1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
2. Berat badan turun
3. Sesudah olah raga
4. Sesudah melahirkan
5. Sembuh dari sakit
6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl,
meskipun reaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa
darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari hipoglikemia sangat
bervariasi dan berbeda pada setiap orang (Soegondo, 2005).
2.10.1 Komplikasi Kronik Jangka Panjang (Boon, 2006)
A. Mikrovaskular / Neuropati
- Retinopati, catarak penurunan penglihatan
- Nefropati gagal ginjal
- Neuropati perifer hilang rasa, malas bergerak
- Neuropati autonomik hipertensi, gastroparesis
- Kelainan pada kaki ulserasi, atropati
B. Makrovaskular
- Sirkulasi koroner iskemi miokardial/infark miokard
- Sirkulasi serebral transient ischaemic attack, strok
- Sirkulasi claudication, iskemik
2.11Pencegahan
a. Usaha Pencegahan Primer
Pencegahan primer berarti mencegah terjadinya diabetes melitus.
Untuk dapat menghayati dan melaksanakan benar usah pencegahan primer
harus dikanali dahulu faktor yang berpengaruh terjadinya penyakit diabetes
melitus. Faktor yang berpengaruh pada terjadinya diabetes melitus adalah:
(Soegondo, 2005)
Faktor keturunan
Faktor kegiatan jamnasi yang kurang
Faktor kehemukan/distribusi lemak
Faktor nutrisi berlebihan
Faktor lain, obat-obatan, hormon
Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya DM. keturunan
oang yang mengidap DM (apalagi kalau kedua orang tuanya mengidap DM
jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap DM daripada orang
normal). Demikian pula saudara kembar identik pengidap DM, hampir
100% dapat dipastikan akan juga mengidap DM nantinya (Soegondo,
2005).
Faktro keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah tetapi
faktor lingkuangan (kegemukan, kegiatan jasmani, nutrisi berlebih)
merupakan faktor yang dapat diubah dan diperbaiki (Soegondo, 2005).
Usaha pencegahan primer ini dilakukan secara menyeluruh pada
masyarakat tetapi diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan
baik pada mereka yang beresiko tinggi untuk kemudian mengidap DM
(Soegondo, 2005).
Tindakan yang di lakukan untuk usaha pencegahan primer meliputi:
penyuluhan mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini
mungkin dengan memberikan pedoman sebagai berikut: (Soegondo, 2005)
Mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang
yaitu:
- Meningkatkan konsumsi sayur dan buah
- Membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana
- Mempertahankan berat badan normal/idaman sesuai dengan umur
dan tinggi badan
Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan
kemampuan
Menghindari obat yang bersifat diabetogenik
b. Usaha Pencegahan Sekunder
Usaha pencegahan sekunder dimulai dengan usaha mendeteksi diri
penderita DM. karena itu dianjurkan untuk setiap kesemapatan terutama
untuk meraka yang mempunyai resiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan
penyaring glukosa darah. Dengan demikian mereka yang mempunyai resiko
tinggi DM dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai DM
akan dapat ditindak lanjuti, sampai diyakini benar mereka mengidap DM.
Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini DM kemudian dapat dikelola
dengan baik guna mencegah penyulit lebih lanjut. Pengelolaan untuk
mencegah terjadinya penyulit dikerjakan bersama bersama oleh dokter dan
para petugas kesehatan. Peran dokter dalam mendapatkan hasil pengendalian
glukosa darah yang baik sangat menonjol. Walapun demikian, hasil
pengelolaan yang baik tidak akan dapat dicapai tanpa keikutsetaan aktif para
penderita DM (Soegondo, 2005).
Tujuan pengelolaan DM
Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan gejala DM.
Jangka panjang : mencegah penyulit DM baik mikroangiopati,
makroangiopati maupun retinopati.
Saran untuk mencapai sasaran kadar glukosa darah yang terkendali
baik telah berulangkali dikemukakan dan telah berulang kali pula
dibicarakan dan ditekankan kembali oleh para pengelola kesehatan pada
setiap kesempatan pertemuan dengan penderita DM (Soegondo, 2005).
c. Usaha Pencegahan Tersier
Usaha pencegahan tersier dilalakukan untuk mencegah lebih lanjut
terjadinya kecacatan kalau penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin
timbul akibat penyulit DM adalah: (Soegondo, 2005)
Pembuluh darah otak : stroke dan segala gejala sisanya
Pembuluh darah mata : kebutaan
Pembuluh darah ginjal : gagal ginjal kronik
Pembuluh darah tungkai bawah : amputasi tungkai bawah
Untuk mencegah terjadinya kecacatan tentu saja harus dimulai
dengan deteksi dini penyulit DM agar kemudian penyulit dapat dikelola
dengan baik di samping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan kadar
glukosa darah. (Soegondo, 2005)
Pemeriksaan pemantauan yang diperlukan untuk penyulit ini adalah:
Mata - pemeriksaan mata/fundus secara berkala setiap 6-12 bulan.
Paru - pemeriksaan berkala foto dada setiap 1-2 tahun atau kalau
keluhan batuk kronik.
Jantung - pemeriksaan berkala EKG/uji latihan jantung secara berkala
setiap tahun atau kalau ada keluhan nyeri dada.
Ginjal - pemeriksaan berkala urin untuk mendeteksi adanya protein
dalam urin.
Kaki - pemeriksaan kaki secara berkala dan penyuluhan mengenai cara
perawatan kaki yang sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan
timbulnya kaki diabetik dan kecacatan yang mungkin kemudian
ditimbulkan.
Dengan berbagai usaha pencegahan tersebut para penderita DM
diharapkan dapat hidup sehat bersama DM seperti orang sehat atau
normal, terutama dalam kaitannya dengan penyulit manahun DM
(Soegondo, 2005).