MAKALAH KELOMPOK SKENARIO1
“Bayiku gemuk… kenapa disebut Bengkak”
Tutor:
dr. Fathia Annis Pramesti
Tim Penyusun :
Ivan Choirul Wiza (2081210030)
Tara Poppy Leksana Putri P. (2091210046)
Nining Octavia Sari ( 2101210001)
Fandaruzzahra Putri P (2101210002)
Eka Saptaria Nusanti (2101210005)
Syukron Amrullah (2101210006)
Tara Dhiya’ul Haq Al-Ulya (2101210007)
Venny Serlindah Ayu Primadani (2101210008)
Ika Wahyu Adita Rini (2101210009)
Elsa Setya Novalina R (2101210010)
Akhmad Ferro Avisena (2101210011)
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2011
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa terpanjat kepada junjungan
Nabi besar, sang revolusioner Islam Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari
kegelapan menuju jalan yang terang dengan adanya Islam, Iman dan Ihsan.
Makalah ini dibuat sebagai bagian dari proses integral pelaksanaan Kurikulum Berbasis
Kompentensi(KBK) di PPD UNISMA dalam sistem pembelajaran berbasis masalah atau based
learning (PBL) yang telah dilaksanakan di Program Pendidikan Dokter Universitas Islam Malang
sejak tahun 2007-2008. Makalah ini merupakan tugas kelompok pada diskusi tutorial pertama
pada blok keseimbangan cairan elektorit asam basa (KCEAB).
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
dr. Fathia Annis Pramesti yang telah memberikan pembinaan serta bimbingan dalam
penyusunan makalah ini.
Seluruh pihak yang membantu dan mendukung dalam menyelesaikan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula makalah ini yang masih jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu, kritik dan saran dibutuhkan sebagai koreksi dan introspeksi diri yang nantinya
dapat meningkatkan fungsinya sebagai bacaan dan tugas mahasiswa peserta PBL PPD UNISMA.
Semoga mengkorelasikan antara kebenaran pribadi dan kebenaran umum yang nantinya menjadi
bahan pertimbangan yang dapat membangun kepribadian penulis.
Malang, 27 Maret 2011
Tim penyusun
ii
DAFTAR ISI
1. Judul………………………………………………………………………..............i
2. Kata Pengantar……………………………………………………………………..ii
3. Daftar Isi………………………………………………………………………..….iii
4. Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang……………………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….2
1.3 Tujuan……………………………………………………………...2
1.4 Manfaat…………………………………………………………….5
5. Bab II Tinjauan Pustaka………………………………………………………….6
6. Bab III Pembahasan………………………………………………………………17
7. Bab IV Penutup…………………………………………………………………..25
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………25
4.2 Saran…………………………………………………………………..25
8. Bab V : Daftar Pustaka……………………………………………………………26
BAB I
iii
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbaikan keadaan gizi penting untuk meningkatkan kemampuan tumbuh kembang fisik,
mental dan social anak serta untuk meningkatkan produktifitas kerja dan prestasi akademik.
Oleh karena itulah, keadaan gizi merupakan salah satu ukuran penting kualitas sumber daya
manusia. Upaya perbaikan gizi telah lama dilakukan oleh pemerintah Indonesia, melalui
Departemen Kesehatan, sejak Pelita I samapi dengan Pelita VI. Upaya ini terutama diarahkan
untuk menanggulangi 4 masalah gizi utama di Indonesia, yaitu Kurang Energi Protein(KEP),
Kurang Vitamin A(KVA), Anemia dan Gangguan akibat Kurang Iodium(GAKI). Khusus
mengenai KEP, pada Repelita VI pemerintah bersama masyarakat berupaya menurunkan
prevalensi KEP dari 40% menjadi 30%.
KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur
5 tahun dan kebanyakan di Negara-negara berkembang. Bentuk KEP berat memberi
gambaran klinis yang khas. Berdasarkan hasil penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia,
Tarwotjo, dkk (1978), memperkirakan bahwa 30% atau 9 juta diantara anak-anak menderita
gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta anak menderita gizi buruk.
Berbagai upaya perbaikan gizi yang selama ini dilakukan telah mampu menurunkan
prevalensi KEP. Data sunsenas tahun 1989,1992, 1995, dan 1998 menunjukkan penurunan
prevalensi KEP total dari 47,8% pada tahun 1989 menjadi 41,7%(1992), 35% (1995) dan
33,4% pada tahun 1998. Distribusi frekuensi KEP menurut wilayah sangat bervariasi.
Beberapa propinsi mempunyai angka KEP relative rendah yaitu dibawah 30%, sementara di
beberapa propinsi lain masih tinggi.
Namun krisis ekonomi berkepanjangan yang dimulai sejak pertengahan tahun1997
menimbulkan berbagai dampak, termasuk terhadap derajat kesehatan dan keadaan gizi
masyarakat berupa peningkatan jumlah penderita KEP yang ditandai dengan ditemukannya
penderita gizi buruk yang selama 10 tahun terakhir sudah jarang ditemui.
Di Sumatera Utama sendiri angka prevalensi KEP nyata (gizi kurang dan buruk)nya masih
diatas prevalensi nasional. Berdasarkan data susenas 1998, prevalensi untuk sumatera Utara
sebesar 40,4% sedangkan angka nasional adalah 30,4%. Khusus untuk kota Medan, pada
iv
safari Busung Lapar yang diadakan bulan Juli 2000, ditemukan sebanyak 761 penderita gizi
buruk dan 17.435 penderita gizi kurang dari 74.858 anak yang didata. Penderita ditemukan
menyebar di hampir semua kecamatan yang ada di kotamadya Medan. Sedangkan dari
laporan bagian SMF Penyakit Anak RSU Dr.Pirngadi Medan tahun 1999 dan 2000, tercatat
sebanyak 98 balita penderita KEP dirawat dirumah sakit tersebut.
Terjadinya KEP dipengaruhi banyak faktor. Yaitu ketidaktahuan tentang nutrisi, Sulit
makan, Susunan makanan yang salah dan penyediaan makanan yang kurang baik. Akan
tetapi, pada kenyataannya pengetahuan masyarakat masih cukup minim mengenai hal ini.
Oleh sebab itu, penulis menyusun makalah yang berjudul”Kekurangan Energi Protein
(KEP)” untuk menyajikan kepada masyarakat sedikit pengetahuan mengenai Patofisiologi
KEP yang berkaitan pula dengan mekanisme timbulnya salah satu gejala pada KEP yaitu
patomekanisme edema dan alur diagnose edema serta fisiologi cairan tubuh
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa penyebab odem anasarka ?
2. Patofisiologi pada kasus tersebut ?
3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pada kasus ?
4. Bagaimana interpretasi hasil Lab. pada kasus ?
5. Bagaimana hubungan ASI 3 bulan dengan odem ?
6. Bagaimana alur penegakan diagnose riwayat imunisasi ?
7. Apa gejala penyerta dari odem anasarka ?
1.3 Tujuan
1. Tekanan hidrostatik : menyebabkan cairan keluar ke pembuluh darahTekanan osmotik : mempertahankan cairan tetap di pembuluh darah
Retensi natrium Curah jantung berkurang kompensasi
Tekanan hidrostatik meningkat mengaktivasi RAAS
v
Pergerakan cairan dari Pengontrolan di ginjalIntravaskuler ke interstitialMeningkat volume darah meningkat
Cairan intravaskuler
Penimbunan cairan di interstitial
Odem anasarka
2. Patofisiologi pada kasus
Dalam tubuh manusia terdapat dua kompartemen protein dalam tubuh, yaitu
kompartemen protein somatik (diwakili oleh otot rangka) dan kompartemen protein
viseral (diwakili oleh simppanan protein pada organ dalam, terutama hati). Dalam kasus
kwarsiorkor, kompartemen protein somatik mengalami katabolisme melalui proses
glukoneogenisis guna memenuhi defisiensi protein sehingga terjadi penurunan massa otot
yang tercermin dengan melemahnya otot dan atropi. Akan tetapi hal tersebut tersebut
tersamarkan oleh peningkatan retensi cairan (edema). Sedangkan pada kompartemen
visera (hati) terjadi penurunan sintesa protein sehingga untuk menghasilkan asam amino
sehingga kadar albumin dalam darah menurun dan mengakibatkan terjadinya penurunan
tekanan osmotik. Dan selain itu juga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik yang
mengakibatkan terjadinya pengeluaran cairan dan intravaskuler sehingga meningkatkan
cairan interstisial dan menurunkan volume darah. Akibat dari penurunan volume darah
tersebut terjadi penurunan curah jantung, yang merupakan bentuk kompensasi tubuh
jangka pendek. Selanjutnya terjadi peningkatan renin-angiontensi-aldosteron sistem
untuk mengontrol tingkat reabsorpsi Na+ di tubulus disnatalis dan saluran pengumpul
sehingga terjadi peningkatan absorpsi Na+ dan H2O di ginjal sehingga pada akhirnya
volume plasma meningkat akan tetapi hal tersebut menyebabkan terjadinya pengeluaran
cairan dail intravaskuler sehingga meningkatkan cairan interstisial dan timbullah edema.
Disamping itu, penurunan sintesis protein juga dapat menyebabkan penurunan produksi
transferin yang fungsi dalam pembawa ferro yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya
vi
anemia mikrositer. Dampak lainnya berupa penurunan produksi pigmen melanin yang
dapat menyebabkan timbulnya rambut jagung. Sedangkan desquamasi dan
hiperpigmentasi timbul karena dipicu oleh penurunan pengendalian dalam kehilangan
cairan tubuh ( stratum korneum). Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan kandungan
protein yang terus menerus sementara asupan protein kurang, maka komponen protein
visera (hati) bekerja keras sehingga timbullah hepatomegali.
3. Interpretasi pemeriksaan fisik pada kasus
- BB : 8 KG NORMAL : 11 KG
Rumus 2n+8 : 2 (1,5) + 8 :11
Gemuknya disebabkan karena edema
- Pernapasan /RR :26 KALI/MENIT NORMAL
- Panjang Badan : 78 cm NORMAL
- Lingkar Kepala : 45 cm NORMAL
- Temperature 37 Derajat Celcius NORMAL
4. Interpretasi hasil laboratorium
- Leukosit : 7600/mL3 NORMAL : 5000-9000/ mL3
- Glukosa : 60 mg/dL NORMAL : 50-100 mg/dL
- Potassium : 3 mEq/dL NORMAL : 3,5-5,0 mEq/dL
- Albumin : 600 U/L HIPOALBUMIN
- SGOT/SGPT : 150 /70 U/L MENINGKAT
5. Terdapat hubungan antara edema dan pemberian asupan ASI, sebab selain colustrum
terdapat kandungan protein, yang dapat memberikan konstribusi besar dalam
perkembangan dan pertumbuhan khususnya dalam proses pembentukan protein.
6. Tidak ada hubungannya , sebab imunisasi telah terpenuhi secara lengkap , sehingga dapat
disimpulkan bahwa penyebab dari edema adalah defisiensi protein/albumin.
7. Gejala penyerta edema :
- Edema menyeluruh
- Takikardia
- Peningkatan tekanan darah, tekanan nadi, dan tekanan vena sentral
- Peningkatan berat badan
- Nafas pendek dan Mengi
vii
- Retensi Cairan
8. Penanganan :
- Tes hematokrit
- Tes BUN
- Tes Rontgen dada
- Tes Creatinin
- Tes Urinalisa
Penatalaksanaan :
Tujuan pengobatan pada anasarka adalah untuk mempertahankan atau
mengembalikan volume cairan intravaskuler yang bersirkulasi.Selain mengobati
penyebab, pilihan pengobatan lain mungkin termasuk terapi diuretic, pembatasan
cairan dan natrium, peningkatan ekstermitas, pemakaian stocking suportif,
parasintesis, dialysis, atau hemofiltrasi arterial vena kontinu (CAVH)
1.4 Manfaat
1. Mengetahui dan memahami fisiologi cairan tubuh
2. Mengetahui dan memahami homeostasis cairan tubuh dan elektrolit
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi defisiensi protein
4. Mengetahui dan memahami Patofisiologi edema
5. Mengetahui dan memahami alur diagnose edema
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
viii
1.1 Konsep Caian TubuhAir merupakan bagian terbesar dalam tubuh manusia. Persentasenya dapat berubah
bergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang. Untuk cairan tubuh laki-laki dewasa sebesar 60% /KgBB, sedangkan wanita dewasa 50-55% /KgBB.
Tabel perubahan cairan total sesuai usia.
No Usia KgBB (%)1 Bayi prematur 802 3 bulan 703 6 bulan 604 1-2 tahun 595 11-16 tahun 586 Dewasa 58-607 Dewasa obese 40-508 Dewasa kurus 70-75
Bagan Kompartmen Cairan Tubuh
ix
CAIRAN TUBUH
Cairan EkstraselulerCairan Intraseluler
Cairan Interstitiel Cairan TranselulerCairan Intravaskuler
Solutan Air
Elektrolit Non elektrolit
Bagan Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Bagan Perubahan Cairan Tubuh
Keterangan:
x
Anion:
Cl-, HCO3-, PO4
3-
Glukosa UreaKation:
Na+, K+, Ca2+, Mg2+
Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Bergeraknya molekul dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi melalui membran semipermeabel
Proses transport yang memompa ion Natrium keluar melalui membran sel dan saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam
Bergeraknya molekul yang bergantung pada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik melewati pori-pori
OSMOSIS POMPA NA & KDIFUSI
Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Perubahan KonsentrasiPerubahan Volume
Kelebihan VolumeDefisit Volume
Hiponatremi Hiperkalemi Hipokalemi Hipernatremi
Hiponatremi disebabkan oleh euvolemia, hipovolemia, dan hipervolemia
Hipernatremia disebabkan oleh kehilangan cairan, asupan air kurang, dan asupan natrium berlebih
Hipokalemi disebabkan oleh redistribusi akut kalium dari cairan ekstraseluler ke intraseluler atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh
Hiperkalemi disebabkan karena insutisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE Inhibitor, Siklosporin, dan Diuretik)
2.2. Fisiologi homeostasis cairan tubuh dan elektolit
a. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit
Mempertahankan volume cairan tubuh agar relative konstan dan komposisinya tetap
stabil, penting untuk homeostasis. Kestabilan cairan tubuh terjadi karena adanya
pertukaran cairan dan zat yang terlarut yang terus menerus dengan lingkungan eksternal
dan dalam berbagai kompartemen tubuh lainnya. Intinya, jumlah asupan cairan harus
diimbangi dengan jumlah pengeluaran tubuh harian (intake = exhaust).
Asupan cairan harian ke dalam tubuh dari dua sumber utama :
xi
1. Berasal dari larutan atau cairan dalam makanan, yang normalnya menambah cairan tubuh
sekitar 2100 ml/hari
2. Berasal dari sintesis dalam tubuh sebagai hasil oksidasi karbohidrat, yang menambah
sekitar 200 ml/hari
Kehilangan cairan tubuh dapat melalui berbagai cara:
1. Insisible Water Loss. Adanya kehilangan cairan secara terus menerus melalui evaporasi
dari traktus respiratorius dan difusi melalui kulit, yang keduanya mengeluarkan air sekitar
700 ml/ hari. Difusi melalui kulit tidak bergantung melalui keringat, jumlah rata-rata
pengeluarannya 300-400 ml/hari. Kehilangan ini diminimalkan oleh lapisan korneum di
kulit yang mengandung kolesterol, menghindari difusi berlebihan.
2. Kehilangan air melalui keringat. Jumlah air yang keluar bervariasi sesuai dengan aktivitas
fisik dan suhu lingkungan. Volume keringat normal 100 ml/hari, tapi pada cuaca yang
sangat panas atau aktivitas berat, kehilangan cairan dapat meningkat 1-2 liter/jam.
3. Kehilangan air melalui feses. Secara normal hanya sejumlah kecil cairan yang
dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari).
4. Kehilangan air melalui ginjal. Ginjal bertugas untuk menyesuaikan kecepatan ekskresi
air dan elektrolit dengan asupan zat-zat tersebut, dan mengkompensasi kehilangan air dan
elektrolit berlebihan pada kelainan-kelainan tertentu.
a. Pengaturan volume dan osmolalitas cairan ekstrasel dan intrasel
Jumlah relatif cairan ekstrasel yang didistribusikan antara plasma dan ruang interstisial
ditentukan oleh keseimbangan daya hidrostatik dan osmotik koloid di sepanjang membran
kapiler. Sebaliknya, distribusi cairan antara kompartemen ekstrasel dan intrasel ditentukan
oleh efek osmotik dari cairan terlarut yang lebih sedikit, khususnya Na+, Cl-, dan elektrolit
lain yang bekerja di sepanjang membrane.
Alasan untuk hal ini ialah bahwa membran sel sangat permeable terhadap cairan tetapi
relatif impermeabel terhadap ion yang kecil seperti Na+dan Cl-. Oleh karena itu, cairan
dengan cepat bergerak melintasi membran sel, sehingga cairan intrasel tetap isotonic
terhadap cairan ekstrasel.
xii
b. Kontrol keseimbangan cairan dan elektrolit secara hormonal
Kontrol keseimbangan cairan dapat dilakukan melalui secara hormonal, ada beberapa
hormone yang diproduksi sebagai kompensasi guna menjaga keseimbangan cairan.
a. ADH (Antidiuretic hormone), diproduksi di kelenjar pituitary posterior dan
keluar sebagai respon terhadap serum osmolaritas. Kenaikan jumlah ADH
akan menurunkan jumlah konsentrasi urin sehingga tubuh dapat menyimpan
air. ADH juga menyebabkan tubulus ginjal menjadi lebih permeable terhadap
air.
b. Mekanisme renin- angiostensin- aldosteron, rennin merespon menurunnya
perfusi ginjal untuk mengurangi volume ekstraselluler. Renin akan
memproduksi angiostensin I kemudian diubah menjadi angiostensin II yang
xiii
menyebabkan vasokonstriksi, sehingga perfusi ginjal akan kembali
meningkat. Angiostensin II menstimulasi keluarnya aldosteron saat kadar
sodium rendah.
xiv
c. Aldosterone, rilis sebagai respon terhadap tingginya kadar potassium atau sebagai bagian dari renin-angiostensin-aldosteron mekanisme untuk menetralkan hipovolemia. Bekerja di tubulus distal untuk meningkatkan reabsorpsi sodium dan sekresi dan ekskresi potassium dan hydrogen.
xv
d. Atrial Natriuretic Peptide (ANP), merupakan hormone yang disekresikan sel atrial dari jantung sebagai respon dari peregangan atrial dan peningkatan volume darah. ANP bekerja seperti diuretic yang menyebabkan hilangnya sodium dan merangsang haus.
xvi
xvii
c. Peran organ internal pada kadar cairan dan elektrolit
1. Paru-paru, mengeluarkan 500 ml air setiap hari, jumlah air yang hilang merespon
perubahan respiratory rate dan dalam serta jumlah oksigen.
2. GI tract, 3-6 liter isotonic berpindah ke gastro intestinal kemudian kembali ke ECF,
200 ml cairan hilang melalui feses setiap hari. Diare dapat meningkatkan jumlah
kehilangan cairan secara signifikan.
3. Ginjal, Ginjal bertugas untuk menyesuaikan kecepatan ekskresi air dan elektrolit
dengan asupan zat-zat tersebut, dan mengkompensasi kehilangan air dan elektrolit
berlebihan pada kelainan-kelainan tertentu. 1200-1500 ml urin diproduksi setiap hari.
4. Kulit, 500-600 ml air hilang baik secara insensible maupun sensible.
2.3 Patofisiologi Malnutrisi
Malnutrisi terjadi akibat kekurangan konsumsi nutrisi, gangguan absorbsi atau kehilangan
energi yang besar. MEP memberikan efek banyak pada sistem organ, yang dapat
menyebabkan turunnya BB serta hilangnya cadangan lemak dan otot. Turunnya BB 5-
10%, biasanya dapat ditoleransi tanpa adanya kehilangan fungsi fisiologi organ, namun
penurunan sampai 30-40% biasanya akan memberikan hasil dengan prognosis yang
buruk. Terjadi penurunan dan sintesa protein yang terjadi di hati yang membuat
berkurangnya protein yang ada di sistem sirkulasi, sehingga memudahkan terjadinya
edema. Gangguan pada fungsi dari sel T akan terganggu, sedangkan sel B variatif.
Bagan Patofisiologi Malnutrisi
xviii
Faktor kesehatanFaktor Non Kesehatan
Kelainan Hepar Infeksi Kelainan Ginjal
Gangguan gizi, kurangnya informasi gizi, dan tingkat pendidikan rendah
2.4 Patofisiologi Edema
.
xix
Pembentukan Gizi yang kurang
Pengeluaran Berlebih Malabsorbsi Kesalahan Pola Makan
MALNUTRISI
xx
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Mapping Kasus
xxi
Pembahasan mapping kasus :
KEP( Kekurangan Energi Protein) dapat dipicu oleh beberapa faktor. Beberapa
diantaranya yaitu kekurangan intake protein dan malabsorbsi. Disamping itu, faktor
ekonomi (rendahnya pendapatan) dan kurangnya pengetahuan akan kebutuhan nutrisi
dapat secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi anak dengan pada akhirnya
dapat menimbulkan kurangnya asupan nutrisi dan dapat mencetuskan terjadinya KEP.
Dalam tubuh manusia terdapat dua kompartemen protein dalam tubuh, yaitu
kompartemen protein somatik (diwakili oleh otot rangka) dan kompartemen protein
viseral (diwakili oleh simppanan protein pada organ dalam, terutama hati). Dalam kasus
kwarsiorkor, kompartemen protein somatik mengalami katabolisme melalui proses
glukoneogenisis guna memenuhi defisiensi protein sehingga terjadi penurunan massa otot
yang tercermin dengan melemahnya otot dan atropi. Akan tetapi hal tersebut tersebut
tersamarkan oleh peningkatan retensi cairan (edema). Sedangkan pada kompartemen
visera (hati) terjadi penurunan sintesa protein sehingga dalam menghasilkan asam amino
sehingga kadar albumin dalam darah menurun dan mengakibatkan terjadinya penurunan
tekanan osmotik. Selain itu, juga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik yang
mengakibatkan terjadinya pengeluaran cairan dan intravaskuler sehingga meningkatkan
cairan interstisial dan menurunkan volume darah. Akibat dari penurunan volume darah
tersebut terjadi penurunan curah jantung, yang merupakan bentuk kompensasi tubuh
jangka pendek. Selanjutnya terjadi peningkatan renin-angiontensi-aldosteron sistem
untuk mengontrol tingkat reabsorpsi Na+ di tubulus disnatalis dan saluran pengumpul
xxii
sehingga terjadi peningkatan absorpsi Na+ dan H2O di ginjal shingga pada akhirnya
volume plasma meningkat akan tetapi hal tersebut menyebabkan terjadinya pengeluaran
cairan dari intravaskuler sehingga meningkatkan cairan interstisial dan timbullah edema.
Disamping itu, penurunan sintesis protein juga dapat menyebabkan penurunan
produksi transferin yang fungsi dalam pembawa Fe2+ yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya anemia mikrositer. Dampak lainnya berupa penurunan produksi pigmen
melanin yang dapat menyebabkan timbulnya rambut jagung. Sedangkan desquamasi dan
hiperpigmentasi timbul karena dipicu oleh penurunan pengendalian dalam kehilangan
cairan tubuh ( stratum korneum). Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan kandungan
protein yang terus menerus sementara asupan protein kurang, maka komponen protein
visera (hati) bekerja keras sehingga timbullah hepatomegali.
xxiii
3.2 Mapping Konsep
xxiv
Pembahasan Mapping Konsep:
Rangkaian Kejadian yang Menyebabkan Pembentukan dan Retensi Garam Serta Cairan
dan Terjadinya Edema
Faktor gagal jantung (curah jantung yang berkurang)
Penurunan curah jantung yang dipengaruhi oleh berbagai sebab, dapat berpengaruh
terhadap penurunan volume darah arteri serta aliran darah ginjal, dengan terjadinya
konstriksi arteriol ginjal eferen dan peningkatan filtrasi fraksi.
Pada gagal jantung yang berat, terdapat penurunan kecepatan filtrasi glomerulus. Diawali
dengan aktivasi saraf simpatik dan sistem renin angiotensin untuk terjadinya
vasokonstriksi ginjal.
Adanya agen penghambat alfa-adrenergik dan/atau inhibitor enzim pengkonversi
angiotensin (ACE inhibitor), meningkatkan aliran darah ginjal yang menginduksi diuresis
mendukung peran kedua sistem ini dalam meningkatkan resistensi vaskuler ginjal dan
retensi air serta garam.
Faktor ginjal
xxv
Penurunan curah jantung yang mengurangi volume darah arteri, dapat meningkatkan
reabsorbsi filtrat tubulus glomerulus yang memainkan peran utama dalam retensi air dan
garam pada gagal jantung.
Gagal jantung yang meningkatkan konstriksi arteriol ginjal, dapat menurunkan tekanan
hidrostatik dan menaikkan tekanan osmotik koloid dalam kapiler peritubulus, sehingga
meningkatkan reabsorbsi garam dan air di tubulus proksimal. Penurunan tekanan perfusi
ginjal, dapat meningkatkan reabsorbsi natrium di pas asendens ansa Henle.
Selain itu, berkurangnya aliran darah ginjal yang merupakan dampak dari pengurangan
darah arteri, ditanggapi oleh sel jukstaglomerulus ginjal untuk peningkatan pelepasan
renin dengan respons dari baroreseptor.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)
Renin merupakan suatu enzim dengan berat molekul sekitar 40000 dan bekerja pada
substratnya, sedangkan angiotensin merupakan suatu alfa2 globulin yang disintesis oleh
hati untuk melepaskan angiotensin I (suatu dekapeptida) yang dipecah menjadi
angiotensin II (suatu oktapeptida). Senyawa ini, mempunyai sifat vasokonstriktor,
terutama pada arteriol eferen, dan secara mandiri meningkatkan reabsorbsi Na di tubulus
proksimalis. Produksi angiotensin II intrarenal juga berperan menyebabkan
vasokonstriksi ginjal serta retensi air dan garam pada gagal jantung. Angiotensin II juga
masuk ke dalam sirkulasi dan merangsang produksi aldosteron.
Peptida Natriuretik Atrial (ANP)
Distensi atrial dan/atau muatan natrium meyebabkan pelepasan peptida natriuretik atrial
(ANP) ke dalm sirkulasi. Prekursor ANP dengan berat molekul tinggi disimpan dalam
granula sekretoris dalam miosit atrial. Pelepasan ANP menyebabkan :
xxvi
1. Eksresi natrium dan air dengan memperbesar laju filtrasi glomerulus, yang
menghambat reabsorbsi natrium dalam tubulus proksimal, serta menghambat pelepasan
renin dan aldosteron;
2. Dilatasi arteriol dan vena (sehingga, ANP mempunyai kapasitas untuk menghambat
retensi natrium dan peningkatan tekanan arteri pada keadaan hipervolemik).
=> Obstruksi drainase vena dan Limfatik
Pada keadaan ini tekanan hidrostatik dalam capillary bed upstream pada tempat
obstruksi meningkat, sehingga lebih banyak cairan yang beralih dari ruang vaskuler ke
dalam ruang intersisial. Apabila saluran limfe tersumbat, maka volume intersisial dalam
ekstremitas akan lebih meningkat, hal dikarenakan terperangkapnya cairan di dalam
ekstremitas.Karena cairan dalam intersisium ansa menumpuk dimana drainase limfatik
dan vena terobstruksi, maka tegangan jaringan akan meningkat sampai mengimbangi
perubahan primer pada tekanan Starling.
Gagal jantung kongestif
Pada kelainan ini, pengosongan rongga jantung yang terganggu saat sistolik dan/atau
gangguan pada relaksasi ventrikel meningkatkan penumpukan darah dalam jantung yang,
meningkatkan curah jantung. Jika gangguan jantung lebih parah, retensi cairan tidak
dapat memperbaiki defisit volume arteri. Penambahan ini, menumpuk dalam sirkulasi
vena, dan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik limfatik dan kapiler menyebabkan
pembentukan edema.
Pengosongan ventrikel yang tidak lengkap (gagal jantung sistolik), dan/atau relaksasi
ventrikel tidak adekuat (gagal jantung diastolik), menyebabkan tekanan diastolik
ventrikel. Jika gangguan fungsi jantung mengenai ventrikel kanan, maka tekanan dalam
vena dan kapiler meningkat, sehingga transudasi cairan ke dalam ruang intersisial akan
meningkat pula, yang kemudian dapat menjadi edema perifer.
xxvii
Peningkatan tekanan vena sistemik yang ditransmisikan ke duktus torasikus dengan
penurunan drainase limfa, dapat meningkatkan akumulasi edema.
Sindroma nefrotik dan keadaan hipoalbuminemia
Perubahan primer pada kelainan ini adalah berkurangnya tekanan onkotik koloid yang
disebabkan oleh kehilangan masif protein ke dalam urin. Keadaan seperti ini dapat
meningkatkan pergerakan cairan ke dalam intersisium, dan menyebabkan hipovolemia,
yang kemudian memulai rangkaian kejadian dengan mengaktivasi sistem RAA.
Ganguan Hepar
Hipertensi intrahepatik tampaknya juga menjadi penyebab timbulnya retensi natrium
dalam ginjal. Keadaan ini sering terkomplikasi dengan penurunan albumin serum
sekunder terhadap sintesis hepatik yang menurun, yang mengurangi volume darah arteri,
bahkan selanjutnya menyebabkan aktivasi sistem RAA serta mekanisme menahan air dan
garam lain. Konsentrasi aldosteron yang ada di dalam sirkulasi meningkat karena
kegagalan hati untuk memetabolisme hormon ini.
Pada awalnya, kelebihan cairan terlokalisasi terutama di belakang sistem vena portal
yang terkongesti dan limfatik hepatik yang terobstruksi. Namun, pada stadium
selanjutnya, terutama bila terdapat hipoalbuminemia berat, dapat berkembang menjadi
edema perifer.
xxviii
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsumsi protein yang tidak cukup dapat menyebabkan gangguan nutrisi yang
kemudian mengakibatkan gizi kurang (defisiensi protein).
Defisiensi protein tersebut dapat menyebabkan :
a. Penurunan massa otot yang kemudian terjadi pelemahan otot dan atropi otot
b. Penurunan sintesa protein yang kemudian akan menyebabkan hiperpigmentasi,
desquamasi, anemia, rambut jagung, hepatomegali dan edema.
Edema merupakan manifestasi umum kelebihan volume cairan yang membutuhkan
perhatian khusus.Pembentukan edema, sebagai akibat dari perluasan cairan dalam
kompartemen cairan intertisial, dapat terlokalisir, contohnya pada pergelangan kaki;dapat
berhubungan dengan rematoid arthritis; atau dapat menyeluruh, seperti pada gagal jantung
atau ginjal, edema menyeluruh yang berat disebut anasarka(Brunner and Sudarth, 2001).
4.2 Saran
Defisiensi protein dapat dicegah dengan perbaikan asupan makanan lengkap, yaitu
karbohidrat, protein dan lemak yang seimbang. Serta penambahan suplemen vitamin
A, B kompleks, C dan D dan juga pemenuhan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh
xxix
tubuh. Selain itu tingkat pengetahuan ibu tentang gizi juga berperan penting pada
kesehatan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1 edisi 7. Jakarta : EGC.
Silbernagl. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Wilson,dkk. 1999. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 1 Edisi 13.
Jakarta: EGC.
xxx
Recommended