OLAHRAGA INDONESIA; APA YANG SALAH?
Ekonomi olahraga adalah cabang dari ilmu ekonomi yang belum begitu populer di Indonesia. Ilmu
yang mempelajari bagaimana seharusnya pelaku-pelaku olahraga menjadikan olah raga sebagai
komoditas ekonomi dengan efisien dan berdaya guna tinggi untuk kesejahteraan masyarakat, belum
sepenuhnya dipelajari dan diterapkan di Indonesia. Bukti paling konkrit adalah jarangnya keinginan
masyarakat yang ingin menjadikan atlet sebagai cita-cita di masa depan. Berikut ini secuil tulisan
yang berisi gagasan tentang olah raga di Indonesia. Semoga bermanfaat!!
“Tubuh yang kuat dan sehat merupakan penjaga yang baik bagi manusia.”
Socrates
Dalam kurun beberapa tahun beberapa tahun belakangan, dunia olahraga di Indonesia tidak
memberikan prestasi yang cemerlang di pentas Internasional. Timnas sepak bola kalah 0-2 dari
timnas Laos pada SEA Games XXV Laos. Hal ini merupakan hal yang memalukan karena setiap kali
bertemu dengan Laos, Indonesia selalu berpesta gol ke kandang Laos. Sungguh ironis. Contoh
lainnya adalah kegagalan tim Thomas Indonesia meraih piala Piala Thomas meskipun turnamen
tersebut diselenggarakan di Indonesia bulan Mei 2010 dan yang terakhir di kandang sendiri pada
kejuaran Indonesia Open Badminton Championship, Indonesia gagal merebut satu gelarpun dari lima
gelar yang diperebutkan. Ada apa ini? Seperti halnya yang kita tahu, bulu tangkis Indonesia
merupakan salah satu kekuatan bulu tangkis di dunia. Banyak legenda bulu tangkis Indonesia yang
masih tercatat sebagai pemegang rekor dunia yang diantaranya sampai saat ini belum bisa
dipecahkan oleh pebulu tangkis manapun di dunia. Pertanyaan yang mungkin muncul dari benak
masyarakat Indonesia adalah apa yang salah dari olah raga Indonesia ??
Kekurang seriusan pembinaan usia muda adalah faktor utama dan paling mendasar kenapa pretasi
atlet-atlet bangsa ini kurang bersinar di pentas Internasional. Prestasi suatu atlet dapat diukur dari
seberapa sering dia menang dalam suatu kejuaraan atau kompetisi Internasional, contohnya
Olimpiade yang dilaksakan empat tahun sekali. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti
Malaysia, Singapura, atau Thailand, peringkat Indonesia berfluktuatif dengan ketiga negara tersebut
dalam beberapa penyelenggaraan tiga Olimpiade terakhir (Sydney 2000, Athena 2004, Beijing 2008).
Ternyata ketiga negara tersebut telah menyelenggarakan gerakan Olimpiade sejak 10 tahun yang
lalu. Bagaimana Indonesia? Persiapan yang terlalu singkat selalu menjadi kambing hitam apabila
prestasi yang diraih tidak sesuai target yang dicanangkan. Namun, hal ini sepertinya sudah direspons
pemerintah melalui KONI Pusat dengan membentuk Program Indonesia Emas (PRIMA), yaitu
program jangka panjang pemerintah untuk membina atlet, khususnya atlet muda agar memiliki
persiapan yang matang untuk berlaga di kompetisi Internasional. Pembinaan usia muda sebenarnya
suda dilakukan sejak dulu dengan mendirikan sekolah olahraga (setara SMA) untuk menampung
murid-murid yang memiliki bakat olah raga di cabang tertentu. Sekali lagi, inkonsistensi dan
kekurangseriusan pemerintah untuk membina mereka dalam jangka panjang.
Masalah sarana dan infrastruktur yang kurang memadai menjadi faktor lain mengapa olahraga
Indonesia belum mengalami kemajuan yang signifikan. Kurangnya gedung indoor olahraga atau
kualitas rumput lapangan sepak bola yang kurang adalah beberapa contoh permasalahan kurang
memadainya infrastruktur olahraga di Indonesia. Meskipun demikian, faktor sarana dan infrastruktur
ini tidak boleh dijadikan alasan keterpurukan olahraga Indonesia. Mari kita bayangkan negara-
negara di Afrika, misalnya. Atlet sepak bola negara-negara Afrika sudah bisa bersaing di pentas sepak
bola Eropa, padahal dari segi pendapatan negara (PDB) dan tingkat pengangguran, Indonesia masih
lebih baik.
Kementerian Pemuda dan Olahraga menyusun suatu indeks untuk mengukur kemajuan
pembangunan olahraga pemuda di Indonesia. Indeks ini dinamakan Sport Development Index (SDI).
Ada empat dimensi yang diukur yaitu ruang terbuka, sumber daya manusia, partisipasi, dan
kebugaran. Pada laporan Data Informasi yang diterbitkan Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun
2008, angka indeks SDI di Indonesia sebesar 0,280. Angka tersebut termasuk kategori rendah (0-
0,499). Ada tiga cabang olahraga yang menjadi primadona masyarakat Indonesia dilihat dari
banyaknya persentase jumlah lapangan di setiap daerah, yaitu bola voli, sepak bola, dan bulu
tangkis. Jika kita bandingkan ketiga cabang olahraga ini, bulu tangkislah yang masih menjadi
tumpuan bangsa ini untuk mendulang prestasi Internasional walaupun prestasinya masih angin-
anginan. Dari ketiga cabang olahraga primadona tersebut, sepakbolalah yang memiliki prestasi
paling mengecewakan. Kekalahan demi kekalahan terus dialami oleh Timnas Sepakbola kita.
Sebagian orang meng-kambing hitam-kan ketua PSSI saat ini yaitu bapak Nurdin Halid karena tidak
becus dalam mengurus sepakbola Indonesia. Kongres Sepak Bola Indonesia yang beberapa waktu
lalu diselenggarakan di Malang belum menunjukkan kemajuan yang signifikan sampai saat ini.
Padahal, seharusnya Timnas kita tidak sulit untuk mencari sebelas orang yang memiliki bakat
bermain sepakbola yang bagus dari 234,2 juta jiwa penduduk Indonesia. Di sisi lain, tidak adil
rasanya apabila kemerosotan sepak bola negara ini ditimpakan kepada satu orang. Semua elemen
masyarakat, khususnya pecinta bola harus melakukan introspeksi terhadap sepak bola Indonesia.
Tentunya kita tidak ingin melihat fenomena ini terjadi di negara kita tercinta ini. Berbagai macam
solusi mengemuka untuk menyelesaikan permasalahan olahraga di Indonesia. Solusinya antara lain
menanamkan pola pikir cinta akan olahraga. Pola pikir cinta terhadap olahraga harus sedapat
mungkin ditanamkan sejak kecil. Hal ini berlanjut apabila ketika anak-anak mulai menyenangi cabang
olahraga tertentu, pada saat remaja mereka dapat memilih salah satu cabang olahraga yang
dianggap sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Ketika anak-anak memasuki Sekolah Menengah
Pertama dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan, potensi yang ada
di dalam diri masing-masing anak mulai muncul. Berbagai macam perlombaan olahraga yang ada di
tingkat sekolah lanjutan (SMP-SMA/SMK) membuat mereka terpacu untuk tidak hanya menjadikan
olahraga sebagai hobi semata, tetapi dapat menjadi ajang meraih prestasi. Pola pikir dan sistem yang
mengarahkan anak-anak untuk menjadikan olahraga sebagai media untuk mendapatkan prestasi
diluar faktor akademis. Banyak orang tua dan guru di sekolah yang mengkhawatirkan jika seorang
anak cenderung untuk bergelut di olahraga, prestasi akademisnya merosot. Memang kebanyakan
terjadi trade-off antara mengikuti suatu lomba olahraga dengan kegiatan akademis sekolah. Namun,
hal itu tidak menjadi masalah apabila siswa mampu mengatur waktu antara berlatih dan belajar.
Salah satu contoh pengelolaan olahraga terbaik di negeri ini adalah tournament basket DBL
Indonesia. DBL (Development Basketball League) Indonesia adalah salah satu turnament basket
semiprofessional pertama di Indonesia yang mempertandingkan SMA-SMA di Indonesia, mulai Aceh
sampai Papua. Dengan konsep student athlete, turnamen ini mampu menyandingkan antara prestasi
akademis dengan olahraga. Seorang siswa yang pernah tidak naik kelas atau nilai raportnya terdapat
nilai enam satu saja tidak dapat mengikuti turnamen ini. Panitia selalu konsisten dan tegas dari
tahun ke tahun, menjadikan turnamen ini berkembang setiap tahunnya. Konsistensi dan keyakinan
akan perubahan menjadi landasan untuk membuat perubahan di dalam dunia olahraga Indonesia.
Apabila setiap turnamen atau liga olahraga di negeri ini dikelola sebaik DBL mulai dari sekarang,
penulis yakin olahraga Indonesia akan berkembang kurang dari sepuluh tahun! Sistem yang tidak
baik dibenahi dan sumber daya manusia yang ada dalam sistem tersebut harus diperbaiki terlebih
dahulu untuk mewujudkannya.
Recommended