LAPORAN KASUS
DOKTER INTERNSHIP
PARAPARESE SPASTIK
Disusun Oleh:
Nama : dr. Erlinda Nerini Madarina Silon
Wahana : RSUD Ungaran
Tanggal :
Dokter Staf Ahli Bagian Syaraf:
dr. Sri Sumarni Sp. S
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNGARAN
KABUPATEN SEMARANG
2015
1
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : dr. Erlinda Nerini Madarina Silon
Judul Portofolio : Paraparese Spastik
Topik : syaraf
Ungaran,
Dokter Pembimbing I Dokter Pembimbing II
dr. Widuri dr. Windi Artanti
Mengetahui,
Dokter Staf Ahli Bagian Syaraf
dr. Sri Sumarni Sp. S
2
BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS
Pada hari Selasa, telah dipresentasikan laporan kasus oleh
Nama peserta : Erlinda Nerini Madarina Silon
Judul Kasus : Paraparese Spastik
Nama Wahana : RSUD UNGARAN
NO NAMA TANDA TANGAN
1 dr. Sri Sumarni Sp. S 1.
2 dr. Widuri 2.
3 dr. Windi Artanti 3.
4 dr. Putih Nurani H 4.
5 dr. Erlinda NMS 5.
6 dr. Saidatunnisa 6.
7 dr. Nita 7.
8 dr. Femmy widya S 8.
9 dr. Ariesta 9.
10 dr. Nimas ASP 10.
11 dr. Okky 11.
12 dr. Medika 12.
13 dr.cholid 13.
14 Dr. Dwi Tiara 14.
15 Dr. Nina 15.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya
Dokter Pembimbing I Dokter Pembimbing II
dr. Widuri dr. Windi ArtantiMengetahui,
Dokter Staf Ahli Bagian Saraf
dr. Sri Sumarni Sp. S
BAB I
3
LAPORAN KASUS PORTOFOLIO
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. N
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Candirejo1/3, Ungaran Timur
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Waktu Masuk : 30 Agustus 2016
No. CM : 467427
B. DATA DASAR
1. Anamnesis
Amannesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 30 januari 2016 di IGD
RSUD Ungaran dan keterangan tambahan dibangsal Bougenvil tgl 31 januari
2016.
Keluhan utama : kedua tungkai tidak bisa digerakkan mendadaak
Keluhan tambahan : nyeri punggung
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar keluarga karena tiba-tiba kedua tungkainya tidak bisa
digerakkan. Hal ini dirasakan sejak tadi pagi pukul 01.00 WIB (8 jam SMRS).
Pasien merasa kedua tungkainya tidak terasa saat disentuh. Keluhan ini baru
dirasakan pertama kali.
Pasien juga mengalami nyeri punggung yang kumat kumatan. Nyeri bersifat
tumpul dan tidak dipengaruhi aktifitas. Beberapa hari sebelumnya pasien
merasakan kadang kesumutan pada kedua tungkai dan lengan namun tidak
dihiraukan pasien. Sebelumya pasien sering mengalami batuk kering. Pasien juga
merasakan ulu hati nyeri tajam perih sejak 1 hari yang lalu. Nyeri tidak menjalar
dan bersifat terus menerus walaupun sudah meminum obat lambung. BAK (N),
BAB normal . Sakit kepala, mual, muntah dan penurunan kesadaran disangkal
oleh pasien.
Pada hari ketiga perawatan dibangsal, pasien merasa nyeri jika disentuh
dikakinya , walaupun kaki kiri sudah bisa digeraakan sedikit, namun terasa sangat
4
kaku dansangat nyeri pada telapak kakinya. Nyeri punggung dan ulu hati masih
dirasakan dan pasien juga mengalami diare cair sedangkan BAK normal.
Trauma sebelumnya disangkal, riw. Radiasi (-), penurunan BB (-) , sesak
nafas (-) , demam (-) Pasien memiliki riwayat limfadenopati TB dan sudah
dioperasi oleh Sp.B 11tahun yang lalu dan dinyatakan sembuh dari TB. Endoskopi
dan pengangkatan massa di usus 10 tahun yang lalu di Malaysia. Pasien juga
mengaku pernah dilakukan aspirasi dari tulang belakangnya karena keluhan nyeri
punggung di RSUD Ungaran 6 tahun yang lalu. 5 tahun yang lalu operasi Caesar
dan histrektomi di RSUD Ungaran.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi :disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung: disangkal
- Riwayat Penyakit Paru : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat Stroke : disangkal
- RiwayatKejang : disangkal
- Riwayatpenyakit maag : didapat (sejak remaja)
- Riwayat alergi obat : disangkal
- Riwayat trauma kepala : disangkal
- Riwayat kecelakaan : disangkal
2. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung: disangkal
- Riwayat Penyakit Paru : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat Stroke : disangkal
- RiwayatKejang : disangkal
3. Riwayat Sosial Ekonomi
Kesan ekonomi : cukup, biaya kesehatan ditanggung BPJS
5
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 30 Januari 2015 di IGD RSUD Ungaran
pukul 9.00 WIB.
a. Status Present
Keadaan Umum : compos mentis
Kesadaran : GCS 3 E4M6V5= 15
Vital Sign :
T : 110/70 mmHg
N : 60 x/menit
RR : 30 x/menit
t : 36,7oC
SaO2 : 99%
TB : ± 155 cm
BB : ± 50 kg
b. Status Internus
Kepala : Mesocephale
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) pupil isokor (2”/2”),
reflek pupil (+/+) baik, leukoma (+/+)
Hidung : Sekret -/-
Mulut : dalam batas normal
Leher :Kaku kuduk (-), pergerakan bebas
Dada :Hemithorax dextra dan sinistra simetris
Paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :Bunyi jantung ½ reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :Tampak datar, supel, bising usus (+) normal, timpani, nyeri
tekan(+) ulu hati
Extremitas :
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
c. Status Neurologikus
1. N.I ( OLFAKTORIUS) : dalam batas normal
2. N II ( OPTIKUS)
6
tajampenglihatan : dalam batas normal
lapangpenglihatan : dalam batas normal
melihatwarna : dalam batas normal
funduskopi : tidak dilakukan
3. N III ( OKULOMOTORIUS ), N IV (TROKLEARIS ), N VI (ABDUCENS )
Dextra Sinistra
Pergerakan bola mata Dalam bats normal Dalam bats normal
Nistagmus - -
Eksoftalmus - -
Pupil bulat,isokor,ø2 mm bulat,isokor,ø2mm
Reflek cahaya + +
Strabismus - -
Melihat kembar - -
4. N V ( TRIGEMINUS )
Sensibilitas taktil dan nyeri muka : Dalam bats normal
Membuka mulut : Dalam bats normal
Meringis : Dalam bats normal
Menggigit : Dalam bats normal
Reflek kornea : (+)
5. N VII (FACIALIS)
Dextra Sinistra
Mengerutkandahi Dalam bats normal Dalam bats normal
Menutupmata Dalam bats normal Dalam bats normal
Lipatannasolabial Dalam bats normal Dalam bats normal
Menggembungkanpipi Dalam bats normal Dalam bats normal
Memperlihatkangigi Dalam bats normal Dalam bats normal
Mencucukanbibir Dalam bats normal Dalam bats normal
Pengecapan 2/3 anterior Dalam bats normal Dalam bats normal
7
lidah
6. N VIII (VESTIBULOCOCHLEARIS)
Dextra Sinistra
JENTIK JARI Dalam bats normal Dalam bats normal
DETIK ARLOJI Dalam bats normal Dalam bats normal
SUARA BERBISIK Dalam bats normal Dalam bats normal
TES WEBER tidak dilakukan tidak dilakukan
TES RINNE tidak dilakukan tidak dilakukan
TES SCHWABACH tidak dilakukan tidak dilakukan
7. N IX (GLOSSOPHARINGEUS)
Pengecapan 1/3 posterior lidah : dalam batas normal
Sensibilitas faring : tidak dilakukan
8. N X ( VAGUS )
Arkus faring : simetris
Berbicara : dalam batas
normal
Menelan : dalam batas
normal
Nadi : reguler, isi dan
tegangan cukup
9. N XI (ACCESORIUS)
Mengangkat bahu : dalam batas normal
Memalingkan kepala : dalam batas normal
10. N XII (HYPLOGOSSUS)
Pergerakan lidah : dala m batas normal
Tremor lidah : -
Artikulasi : dalam batas normal
Lidah : dalam batas normal
d. AnggotaGerak
1. ANGGOTA GERAK ATAS
8
MOTORIK
Motorik Dextra Sinistra
Pergerakan bebas bebas
Kekuatan 5 5
Tonus normal Normal
Klonus - -
Trofi Eutrofi Eutrofi
SENSIBILITAS
Dextra Sinistra
Taktil Dalam batas normal Dalam batas normal
Nyeri Dalam batas normal Dalam batas normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik Dalam batas normal Dalam batas normal
Lokasi Dalam batas normal Dalam batas normal
REFLEK
Dextra Sinistra
Biceps + N + N
Triceps + N + N
Radius + N + N
Ulna + N + N
Hoffman - -
Trommer - -
2. ANGGOTA GERAK BAWAH
MOTORIK
Motorik Dextra Sinistra
9
Pergerakan terbatas terbatas
Kekuatan 1 1
Tonus hipotonia Hipotonia
Klonus - -
Trofi Eutrofi Eutrofi
SENSIBILITAS
Dextra Sinistra
Taktil Hipestesi setinggi umbilicus (T.X)
Aestesi setinggi lutut (genue) s/d ujung kaki
Hipestesi setinggi umbilicus (T.X)
Aestesi setinggi lutut (genue) s/d ujung kaki
Nyeri Hipestesi setinggi umbilicus (T.X)
Aestesi setinggi lutut (genue) s/d ujung kaki
Hipestesi setinggi umbilicus (T.X)
Aestesi setinggi lutut (genue) s/d ujung kaki
Thermi tidak dilakukan tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik Aestesi aestesi
REFLEK
Dextra Sinistra
Patella + menurun + menurun
Achilles + menurun + menurun
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
10
Gordon - -
Schaeffer - -
Gonda - -
Bing - -
Rossolimo - -
Mendel-Bechtrew - -
e. Koordinasi, Gait, danKeseimbangan
Cara berjalan : tidak dapat dinilai
Tes Romberg : tidak dapat dinilai
Disdiadokhokinesis : tidak dapat dinilai
Ataksia : tidak dapat dinilai
Rebound phenomenon : tidak dapat dinilai
Dismetria : tidak dapat dinilai
f. Gerakan Abnormal
11
Tremor : -
g. Atetosis : tidak dapat dinilai
h. Vegetatif
Miksi : + normal
Defekasi : + normal
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG : normal sinus rhytm
b. Laboratorium
Darah rutin 30 januari 2015
GDS = 216 mg/dl
Hb : 9,9 g/dl
Ht : 28,9 %
Leukosit : 4.700 / µl
Eritrosit : 3,7 juta / µl
Trombosit : 230.000/ µl
Hiung jenis
Granulosit : 73,6 %
Limfosit 20,3 %
Monosit : 6,1 %
Index eritrosit
MCV : 78,2 fl
MCH : 26,7 pg
MCHC 34,2 g/dl
MDW : 12,1 %
Kimia darah 31 januari 2015
Gula darah
GD I = 110
GD II = 170
Kimia ginjal
Ureum = 9 mg/dl
Creatinin = 0.71 mg/dl
Profil lipid
Kolesterol total = 172
mg/dl
HDL = 52 mg/dl
LDL = 110 mg/dl
Trigliserid = 43 mg/dl
Elektrolit
Natrium = 141.3
Kalium = 3.31
Chloride = 108,2
c. Rontgen
Tak tampak kompresi pada v. thorakal yang terlihat
13
Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis
E. RESUME
Keluarga pasien mengeluhkan pasien tiba-tiba kedua kaki tidak bisa digerakkan (8
jam SMRS) dan tidak terasa sama sekali, terdapat riwayat sakit punggung,
kesumutan, nyeri ulu hati dan batuk.
Pada hari kedua perawatan pasien mengalami perbaikan pada kaki kirinya namun
terasa kaku dan nyeri tajam ketika disentuh, dan pasien mengalami diare.
Pasien memiliki riwayat limfadenopati TB dan sudah dioperasi oleh Sp.B 11tahun
yang lalu dan dinyatakan sembuh dari TB. Endoskopi dan pengangkatan massa di
usus 10 tahun yang lalu di Malaysia. Pasien juga mengaku pernah dilakukan
aspirasi dari tulang belakangnya karena keluhan nyeri punggung 6 tahun yang lalu.
5 tahun yang lalu operasi Caesar dan histrektomi.
Pada pemeriksan fisik didapatkan GCS 3 E4M6V5= 15, TD= 110/70 N=60x/m RR
= 30x/menit dan t= 36,5 , ditemukan para parese pada ekstremitas inferor dengan
kekuatan 1/1 , hipotonus, klonus (-) , reflek fisiologis menurun dan tidak ada reflek
patologis.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil EKG dalam batas normal,
peningkatan granulosit, hipokalemia ringan (n 3,5-5,3) , foto vertebra thorakal
dalam batas normal.
F. DIAGNOSA
Diagnosis klinik : paraparese inferior tipe UMN
Diagnosis topik : medulla spinalis setinggi thorakal X kebawah
Diagnosis etiologi : mielitis akut
DD Tumor metastase
Poliomyelitis
Multiple sklerosis
Sindrom guillain barre
G. Terapi
1. Infus RL20 tpm
2. Inj. Ranitidine 1 Ampul/ 8 jam
3. Inj. Metil prednisolone 125 mg / 6 jam
14
Konsul dr Sri Sumarni Sp.S :
4. Inj Meticobalamine 1 Ampul /8 jam
5. Pergabalin 1 x 75 mg
Konsul spesialis penyakit dalam untuk hasil GDS dan pemberian Metil
Prednisolone (dr. Prawita, Sp. PD)
Tidak DM GD I = 110mg/dl GD II = 170 mg/dl
Terapi sesuai TS. Sp.S
6. Monitoring : TTV, Neurofisiologi
7. Edukasi :Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit yang
diderita.
H. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP RUANGANSejak 31 Januari 2016
Tanggal Perjalanan Penyakit TerapiPemeriksaan
Penunjang
31/01/2016 S:
Nyeri punggung dan ulu
hati, kaki tidak bisa
digerakkan
O:
E4V5M6
TD = 120/80 mmHg
RR = 16 x/menit
N = 80 x/menit
T = 36 oC
K RF RP
5 5 n n - -
1 1 ↓ ↓ - -
- Infus RL20 tpm
- Inj. Ranitidine 1 Ampul/
8 jam
- Inj. Metil prednisolone
125 mg / 6 jam
- Inj Meticobalamine 1
Ampul /8 jam
- Pergabalin 1 x 75 mg
Pro RO vertebra
thorakal
Hasil DBN
15
Tonus (-)
Klonus (-)
Hipestesi setinggi
umbilikus
A:
Paraparesis inferior
UMN susp myelitis
01/02/2016 S:
Nyeri punggung , diare
cair 4x, kaki kiri sudah
bias digerakkan sedikit,
kaku dan sakit saat
disentuh
O:
E4V5M6
TD = 140/80 mmHg
RR = 16 x/menit
N = 88 x/menit
T = 36 oC
K RF RP
5 5 n n - -
1 3 ↓ n - -
Tonus (-)
Klonus (-)
Hipestesi setinggi
umbilicus
Kesumutan jika dipegang
setinggi umbilikus
A:
Paraparesis spastik
membaik susp myelitis
- Infus RL20 tpm
- Inj. Ranitidine 1 Ampul/
8 jam
- Inj. Metil prednisolone
125 mg / 8jam
- Inj Meticobalamine 1
Ampul /8 jam
- Pergabalin 1 x 75 mg
- N. diatab 2 tab/bab k/p
- Konsul rehabilitasi medic
IR + gentle ROM
exercise
Hasil lab DR
Hipokalemia
ringan
2/02/2016 S:
Nyeri punggung kaki kiri
sudah bias digerakkan
- Infus RL20 tpm
- Inj. Ranitidine 1 Ampul/
8 jam
16
sedikit, kaku dan sakit
saat disentuh
O:
E4V5M6
TD = 120/80 mmHg
RR = 16 x/menit
N = 88 x/menit
T = 36 oC
K RF RP
5 5 n n - -
1 4 ↓ n - -
Tonus (-)
Klonus (-)
Hipestesi setinggi
umbilicus
Kesumutan jika dipegang
setinggi umbilikus
A:
Paraparesis spastik
membaik susp myelitis
dd metastase spinal
- Inj. Metil prednisolone
125 mg / 8jam
- Inj Meticobalamine 1
Ampul /8 jam
- Pergabalin 1 x 75 mg
- N. diatab 2 tab/bab k/p
- IR + gentle ROM
exercise
03/02/2016 S:
Nyeri punggung kaki kiri
sudah bias digerakkan
lebih baik dari kemarin ,
kaku dan sakit saat
disentuh
O:
E4V5M6
TD = 130/80 mmHg
RR = 16 x/menit
N = 88 x/menit
T = 36 oC
- Infus RL20 tpm
- Inj. Ranitidine 1 Ampul/
8 jam
- Inj. Metil prednisolone
125 mg / 12jam
- Inj Meticobalamine 1
Ampul /8 jam
- Pergabalin 1 x 75 mg
- N. diatab 2 tab/bab k/p
- IR + gentle ROM
exercise
17
K RF RP
5 5 n n - -
1 4 ↓ n - -
Tonus (-)
Klonus (-)
Hipestesi setinggi
umbilicus
Kesumutan sakit jika
dipegang setinggi
umbilikus
A:
susp myelitis
04/02/2016 S:
Nyeri punggung kaki kiri
pusing
O:
E4V5M6
TD = 130/80 mmHg
RR = 16 x/menit
N = 88 x/menit
T = 36 oC
K RF RP
5 5 n n - -
1 4 ↓ n - -
Tonus (-)
Klonus (-)
Hipestesi setinggi
umbilicus
Kesumutan jika dipegang
setinggi umbilikus
A:
- Infus RL20 tpm
- Inj. Ranitidine 1 Ampul/
8 jam
- Inj. Metil prednisolone
125 mg / 24 jam
- Inj Meticobalamine 1
Ampul /8 jam
- Pergabalin 1 x 75 mg
- N. diatab 2 tab/bab k/p
- IR + gentle ROM
exercise
18
susp myelitis
05/02/2016 S:
Nyeri punggung
O:
E4V5M6
TD = 120/70 mmHg
RR = 16 x/menit
N = 88 x/menit
T = 36 oC
K RF RP
5 5 n n - -
2 4 ↓ ↓ - -
Tonus (-)
Klonus (-)
Kesumutan jika disentuh
mulai bawah umbulikus
A:
susp myelitis
- Infus RL20 tpm
- Inj. Ranitidine 1 Ampul/
8 jam
- Inj Meticobalamine 1
Ampul /8 jam
- Pergabalin 1 x 75 mg
- metil prednisolone 2x 8
mg
- IR + gentle ROM
exercise
06/02/2016 S:
Nyeri punggung
O:
E4V5M6
TD = 120/80 mmHg
RR = 16 x/menit
N = 80 x/menit
T = 36 oC
K RF RP
5 5 n n - -
3 4 n n - -
Tonus (-)
Klonus (-)
Hipestesi setinggi
umbilicus, nyeri jika
- RL aff
- Metil prednisolone 2x8
mg
- Mecobalamine 2 x 100
mg
- Pergabalin 75 mg 1-0-0
Obat pulang :
- Metil prednisolone 2x8
mg
- Mecobalamine 2 x 100
mg
- Ranitideine 2x150 mg
- Pergabalin 75 mg 1-0-0
Rencana pulang
nanti sore
19
dipegang
A:
susp myelitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. MIELITIS SECARA UMUM
2.1.1.DEFINISI
Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut mielitis. Dalam
Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang mielitis
trumatik, mielitis kompresif dan sebagainya, yaang agak memberikan kejelasan tentang
arti terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya pengetahuan neuropatologi, satu
persatu penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang tergolong benar-benar karena radang
saja yang masih tertinggal.
Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah terminologi
nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis. Tetapi Adams dan Victor
(1985) menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang
menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba.
Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis
dibedakan atas :
1. Akut :
Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa
hari saja.
2. Sub Akut :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.
3. Kronik :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.
20
Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat, distribusi
proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila
mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang
medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa.
Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis
diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang
baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis
(meninges dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut
pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses
epidural atau granuloma.
Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis misalnya
yang disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi
Medulla Spinalis
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu
medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran
kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak,
dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari
medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang
dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan.
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf
servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral
(S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada
medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla
spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang
antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla
spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis
itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi
21
sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar
dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang
memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda
ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya.
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari
medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla
spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh
substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama
terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia.
Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson
dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan
menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal
atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan
dalam mengenai informasi yang disampaikannya.
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan,
dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu
sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian
tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh
cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia
grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu
lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya
neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang
mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot
polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar
spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla
spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan
medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap
tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk
neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui
akar ventral.
22
Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis
yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen
dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis.
Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen,
yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian
saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak
neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama
lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang
berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan
tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama.
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat
perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi
untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran.
Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang
berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif,
yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi
Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan
terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.
2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron
motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan
mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.
3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai respon
terhadap stimulus verbal.
4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada
columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau otot-otot
antigravitasi.
23
5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat
aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan
dengan keseimbangan.
6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.
Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan berperan
dalam diskriminasi lokasi.
2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan.
3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan,
traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan.
5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.
24
Gambar medulla spinalis
25
2.1.3 Klasifikasi
1. Mielitis yang disebabkan oleh virus.
a. Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus
b. Herpes zoster
c. Rabies
d. Virus B
2. Mielitis yang merupakan akibat sekunder akibat sekunder dari penyakit pada
meningens dan medula spinals.
a. Mielitis sifilitika
Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
Meningomielitis kronik
Sifilis meningovaskular
Meningitis gumatosa termasuk pakimeningitis spinal kronik
b. Mielitis piogenik atau supurativa
Meningomielitis subakut
Abses epidural akut dan granuloma
Abses medula spinalis
c. Mielitis tuberkulosa
Penyakit pott dengan kompresi medula spinalis
Meningomielitis tuberkulosa
Tuberkuloma medula spinalis
d. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural,
meningitis lokalisata atau meningomielitis dan abses.
3. Mielitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.
a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi
b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik
c. Degeneratif atau nekrotik.
2.1.4 Patologi
Mielitis biasanya melibatkan medulla spinalis saja, tetapi bisa juga mielitis
merupakan bagian dari inflamasi serebrispinali yang umum misalnya pada
ensefalomielitis. Pada stadium akut medulla spinalis biasanya membengkak dan pada
potongan melintang bisa menunjukan perdarahan. Gambaran patologi yang penting adalah
26
degenerasi medulla spinalis yang sifatnya destruktif mielin dan musnahnya aksis silinder.
Elemen inflamasi misalnya limfosit dan sel plasma, berada di jaringan medulla spinalis
dan di sekeliling pembuluh darah disertai infiltrasi ke meningen. Pada beberapa bentuk
bisa dijumpai nekroisi yang lengkap dari medulla spinalis, dengan respon fagositik yang
ekstensif dan ploriferasi mesodermal. Sel-sel neuron dalam substansia grisea bisa
mengalami degenerasi berat. Reaksi mesodermal biasanya hebat disertai dengan dilatasi,
proliferasi atau infiltrasi pembuluh darah. Pembentukan parut sel-sel glia didapatkan pada
beberapa bentuk. Kelainan patologik ini bisa terjadi disetipa tingkat : sevikal, torakal, atau
lumbal. Tapi paliing sering terletak di regio torakal karena bagian medulla spinalis ini
paling panjang dan pemasokan darahnya paling jelek.
2.1.5 Gambaran Klinis
1. Motorik
Mielitis merupakan gangguan gerak yang berupa kelumpuhan, disamping gangguan
sensorik dan vegetatif. Onset dan perjalanan gambaran klinisnya sampai tingkat tertentu
dipengaruhi oleh karakter proses patologiknya. Namun untuk menentukan
simtomatologinya yang lebih penting adalah topik patologiknya di medulla spinalis atau
tingkat medulla spinalis disamping intensitas dan luasnya proses patologik.
Jika prose topik mielitasi ada di segmen servikal atau medulla spinalis dapat terjadi
tetraparesis atau tetraplegi yang bersifat spastik atau UMN. Kalo topiknya ada di tingkat
servikal bawah dari medulla spinalis akan menimbulkan tetraparesia atau tetraplegi yang
pada anggota atas bersifat flaksid atau LMN dan pada anggota bawah bersifat spastik atau
UMN. Bila topiknya ada di semen lumbal dan sakral medulla spinalis akan berakibat
sebagai paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat flaksid atau LMN. Namun yang
paling sering topiknya terletak pada segmen torakal sehingga akan menimbulkan
paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat spastik atau UMN. Kelumpuhannya juga
dapat mengambil bentuk monoparesis atau monoplegi yang bersifat flaksid atau LMN jika
topiknya ada dibagian ventral subtansia grisea misalnya poliomielitis. Pada mielitis
dissreminata ataupun pada mielitis transversa parsialis kelumpuhan dapat bersifat tidak
simetris.
27
Riwayat adanya infeksi sebelumnya, yang mengesankan suatu infeksi virus atau bakteri
bisa didapatkan sepertiga penderita, yang paling sering adalah infeksi traktus respiratorus
bagian atas atau suatu penyakit flu dan kadang-kadang berupa gangguan gastrointestinal.
Gejala lainnya demam dengan derajat ringan, ruam atau eksantem, nyeri kepala, kaku
kuduk bisa ada atau tidak. Onset atau awitan penyakit ini dapat berlangsung akut sub akut
atau khronis.
Periode syok spinal dapat berlangsung selama tiga sampai empat minggu. Periode ini
terjadi berhubungan dengan awitan mielitis transversa yang mendadak. Dibawah tingkat
lesinya bersifat flaksid, disertai hilangnya semua jenis sensorik, hilangnya fungsi otonom
dan arefleksia. Tetapi jika ditumpangi suatu infeksi saluran kemi yang berat atau ulkus
dekubitus periode syok spinal akan memanjang.
Pada saat yang sama terjadi paresis atau paralisis kandung kemih dan rektum, suatu
periode syok spinal mula-mula akan timbul retensio urine dan alvi. Pada periode ini dapat
terjadi kemudian suatu over-flow incontinesia. Pada mielitis tranversa dengan toppik di
segmen torakal, setelah periode syok spinal lewat akan terjadi kandung kemih otomatik
atau neurogenik. Fekal inkontinensia kurang sering dijumpai.
2. Sensoris
pada awitan penyakit dapat timbul parestesi dan nyeri. Parestesi sering digambarkan
seperti rasa tebal, kesemutan, jimpe biasanya dimulai dari ibu jari atau kaki kemudian naik
ke tungkai, badan dan bahkan mencapau anggota gerak atas. Nyeri dirasakan dipunggung
menjalar kebawah ke tungkai atau ke sekeliling badan, (rasa seperti sabuk).
Ganguan sensoris terpenting adalah defisit semua modalitas sensorik dibawah level
tertentu yang merupakan topik dari proses patologik (mielitisanya) dan berpola inervasi
segmental. Modalitas sensorik yang terkena dapat mencakup rasa raba, rasa nyeri, vibrasi
dan propiosepsi.
Ulkus dekubitus timbul akibat hilangnya sensasi, gangguan trofik dan kurang kebersihan.
Tempat predileksi ulkus dekubitus adalah diatas sakrum, tumit dan trokanter mayor. Gejala
lain : priapisme, ilius paralitikus, atrofi testis, ginekomastia, hipotensu, paralisis diafragma.
28
Pada penyakit yang berlangsung lama terjadi perubahan-perubahan metabolik. Ekskresi
protein meningkat dan protein serum menurun. Kalium darah meningkat tapi natrium dan
klorida menurun serta terjadi hiperkalsiuri dan osteoporosis.
Pemeriksaan Liquor Serebro Spinalis (LSS) menunjukan pleiositosis pada 50% penderita.
Jumlah sel-sel LSS meningkat menjadi 20-300 sel (jarang sampai setinggi 1000 sel) per
mm kubik. Jenis selnya adalah mononuklear, poliomorfonuklear atau campuran namun
terutama adalah limfosit. Kadar protein LSS meningkat pada 40% penderita sedangkan
kadar gulukosanya normal. Tes queckensted biasanya menunjukan tidak adanya obstruksi
pada ruang subarakhnoid, kecuali pada keadaan tertentu seperti edema medulla spinalis
yang berat, arakhnoiditis khornis adhevisa dan abses ekstradural.
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi transversal medulla spinalis (meliputi defisit motorik,
sensorik dan vegetatif) disertai dari gejala umum infeksi (yang mendahului atau menyertai
berupa demam, eksantema, dan lain-lain) ditambah dengan bukti tidak adanya blokade
pada aliran LSS.
Diagnosis Bandingan
1. Sindroma Guillain Barre
2. Oklusi aorta abdominalis
3. Multiple sklerosis
2.2. POLIOMIELITIS
2.2.1 Definisi
Poliomielitis anterior akuta (paralisis infantil, penyakit Heinemedin) adalah suatu
penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan mengakibatkan
kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis, batang otak dan dapat pula
mengenai mesensefalon, sereblum, ganglia basal dan motorik korteks serebri.
29
Penyakit ini dilaporkan pada tahun 1840 oleh Jacob Heine lalu kemudian Medin
pada tahun 1890 memberikan dasar epidemiologi penyakit ini. Oleh karena itu dulu
penyakit ini dikenal sebagai penyakit Heine-Medin.
2.2.2 Epidemiologi
Goar (1955) dalam uraian tentang polio di negeri yang sedang berkembang dengan
sanitasi berkesimpulan bahwa epidemi ditemukan 90% pada anak di bawah usia 5 tahun
karena itulah dulu disebut paralisis infantil tapi bukan berarti poliomielitis tidak
diketemukan pada orang dewasa. Penyakit polio jarang didapatkan pada usia di bawah
umur 6 bulan, mungkin karana imunitas pasif yang didapat dari ibu.
2.2.3 Etiologi
Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan famili
pikorna virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil, jadi ia termasuk virus
yang filtrabel. Terdapat 3 tipe virus polio yaitu:
1. Tipe 1 yaitu Brunhilde, yang sering menyebakan paralisis.
2. Tipe 2 yaitu Lanshing
3. Tipe 3 yaitu Leon
Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibodi, tetapi tidak terdapat kekebalan
silang. Virus ini hanya dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau pemberian zat
oksidator yang kuat seperti peroksida, atau kalium permanganat.
2.2.4 Patogenesis
Poliomielitis merupakan penyakit yang sangat menular, virus masuk ke dalam
tubuh melalui saluran orofarings setelah ditularakan melalui cara oral-fekal. Masa inkubasi
biasanya antara 4-17 hari, tapi bisa sampai 5 minggu. Bila virus banyak didapat pada suatu
daerah, maka timbulnya penyakit polio dapat dicetuskan dengan adanya tindakan operasi
30
pada daerah tenggorokan dan mulut seperti misalnya tonsilektomi dan ekstraksi gigi atau
tindakan penyuntikan atau vaksinasi DPT, kehamilan, kerja fisik yang berat atau keletihan.
Setelah masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak (multiplikasi) di jaringan
limfoid tonsil atau pada plak peyer di traktus intestinalis kemudian ia akan menembus
dinding usus dan melalui darah akan tersebar ke seluruh tubuh (viremia).
Viremia ini tidak menimbulkan gejala (asimtomatik) atau hanya sakit ringan saja.
Diduga pada kasus-kasus yang menimbulkan paralisis, virus mencapai sistem saraf secara
langsung melalui darah atau secara retrograd melalui saraf tepi atau saraf simpatetik atau
ganglion sensorik pada tempat ia bermultiplikasi yaitu pada traktus gastrointestinalis atau
jaringan ekstraneural yang lain. Menurut Adams dan Victor (1985) dan Gilroy Dan Meyer
(1979), 95-99% pasien yng terinfeksi virus polio mengalami infeksi subkliik
(asimtomatik), 3% mengalami infeksi sistemik, 1% yang mengalami meningitis aseptik
dan hanya 1% yang mengalami poliomielitis paralitik.
2.2.5 Patologi
Pada awalnya, invasi virus menimbulkan reaksi inflamasi dengan kromatolisis
substansia Nissi sel saraf. Perubahan ini diikuti dengan multiplikasi virus dalam SSP lalu
perubahan pada sel saraf ini berkembang dengan cepat diikuti dengan disintegrasi
Nukleus dan kemudian sel neuron mengalami nekrosis atau lisis komplet. Atrofi dan
paralisis akan menetap bila kurang dari 10% neuron pada medula spinalis yang
bersangkutan yang masih baik.
Virus polio mempunyai predileksi pada kornu anterior medula spinalis, batang
otak, serebelum, talamus dan hipotalamus dan area motorik korteks serebri.
2.2.6 Gambaran Klinis
Seperti telah disebutkan di atas sebagian besar (95-99%) kasus poliomielitis
merupakan infeksi subklinis atau asimtomatik, namun infeksi ini telah mampu
menimbulkan kekebalan alami.
31
Kemudian dapat dijumpai pula yang disebut poliomielitis abortif, dalam hal ini
timbul gejala infeksi sistemik ringan karena terjadi viremia. Gejala infeksi sistemik ringan
ini seperti:
Flu ( sakit kepala, demam, malaise, batuk, pilek, mialgia atau faringitis )
Gastroenteritis ( mual, muntah, konstipasi diare, anoreksia )
Semua gejala di atas tidak khas. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila virus
ditemukan pada usapan tenggorokan atau feses.
POLIOMIELITIS PREPARALITIK ATAU NONPARALITIK
Setelah gejala prodormal seperti di atas dialami selama 3-4 hari lalu gejala tadi
akan merada, dan setelah -10 hari penderita merasa lebih enak, timbullah gejala fase
kedua. Bentuk gejala seperti ini disebut difasik. Bentuk ini sering dijumpai pada anak-anak
tapi pada penderita yang berusia lebih dari 15 tahun jarang dijumpai.
Pada fase kedua ini di jumpai gejala seperti fase pertama (prodromal) disertai
dengan gejala neurologik ringan sakit kepala hebat, mialgia bertambah hebat, spasme otot
fleksor paha, nyeri dan kaku pada otot kuduk dan punggung. Pada anak-anak, bila dari
sikap berbaring ia hendak duduk maka kedua lutut akan fleksi sedang kedua lengan dalam
sikap ekstensi pada sendi siku untuk dipakai menunjang kebelakang pada tempat tidur
(tanda tripod). Tanda ini timbul karena adanya spasme pada otot-otot paravertebral, erektor
trunsi sehingga anak tidak dapat melakukan gerak antefleksi kolumna vertebralis waktu
hendak melakukan gerak dari berbaring ke sikap duduk. Disamping itu tanda tripod dapat
pula dijumpai tanda kepala terkulai (Head Drop) yaitu bila penderita yang dalam sikap
berbaring hendak kita tegakkan dengan cara menarik kedua ketiak atau lengan maka
kepala penderita akan terkulai kebelakang (retrofleksi).
POLIOMIELITIS PARALITIK
Secara klasik poliomielitis paralitik dibedahkan atas bentuk spinal, bulbar
(bulbospinal) dan ensefalitik. Paralisis timbul dalam waktu yang sangat cepat (beberapa
jam-48 jam atau lebih lambat (10-12hari). Empat puluh delapan jam setelah suhu kembali
normal, biasanya tidak terdapat lagi progresivitas kelumpuhan. Pola kelumpuhan
32
bervariasi tapi hampir pasti tidak simetris. Ekstremitas inferior lebih sering terkena
poliomielitis menimbulkan lebih berat pada otot-otot proksimal.
Bentuk Bulbar sering menyebabkan kelumpuhan otot pada N.IX dan X sehingga
menimbulkan gangguan menelan dan disfonia. Kelumpuhan otot wajah sering pula
dijumpai, tapi kelumpuhan otot okuler jarang ditemukan. Yang paling berbahaya pada
bentuk bulbar ini adalah pernafasan.
2.2.7 Laboratorium
Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan
tenggorokan, darah, likuor dan fese. Pemeriksaan likuor serebrospinalis menunjukkan
adanya pleositosis, kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit
normal, jumlah sel berkisar antara 10-3000/ mm3 sedangkan tekanan tidak meningkat.
Pada stadium prepalitik atau paralitik dini lebih banyak ditemukan leukosit PMN tapi
setelah 72 jam lebih banyak ditemukan limfosit. Peningkatan jumlah sel mencapai
puncaknya pada minggu pertama kemudian akan kembali normal setelah 2 atau 3 minggu.
Kadar protein berkisar antara 30-120 mg/100 ml pada minggu pertama tapi jarang
melampaui 150 mg/100 ml, kadar protein yang meninggi ini bertahan selama 3-4 minggu.
2.3 MIELITIS TRANSVERSALIS
2.3.1 Definisi
Myelitis Transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh peradangan
di kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen, dari sumsum tulang belakang. Istilah myelitis
mengacu pada radang sumsum tulang belakang; transversal hanya menggambarkan posisi
peradangan, yaitu, di seberang lebar dari sumsum tulang belakang. Serangan peradangan
bisa merusak atau menghancurkan myelin, substansi lemak yang meliputi isolasi sel
serabut saraf. Ini menyebabkan kerusakan sistem saraf yang mengganggu impuls antara
saraf-saraf di sumsum tulang belakang dan seluruh tubuh.
33
Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai
suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik
akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik
dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini
biasanya melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna posterior, dan
funikulus anterior.
Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan
terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi
mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya
band-like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu,
sindrom paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis
transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi
dan potensial menimbulkan kerusakan.
2.3.2 Epidemiologi
Myelitis Transversa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, di kedua jenis
kelamin, dan di semua ras. Faktor predisposisi pada keluarga tidak jelas. Sebuah
puncaknya pada tingkat insiden (jumlah kasus baru per tahun) tampaknya terjadi antara 10
dan 19 tahun dan 30 dan 39 tahun. Meskipun hanya beberapa studi telah meneliti tingkat
insiden, diperkirakan bahwa sekitar 1.400 kasus baru didiagnosis myelitis melintang setiap
tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 33.000 orang Amerika memiliki beberapa jenis
kecacatan akibat gangguan ini. Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya
jika penyebabnya merupakan proses demyelinisasi yang didapat, khususnya sklerosis
multiple. Tidak ada pola yang khusus dari mielitis transversalis berdasarkan seks,
distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam keluarga.
2.3.3 Etiologi
34
Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa myelitis. Peradangan
yang menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat diakibatkan oleh
infeksi virus, reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui
pembuluh darah yang terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat
terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa vaksinasi,
termasuk untuk cacar dan rabies serta idiopatik.
Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen infeksi yang
dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella zoster, herpes simpleks,
sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza, echovirus, human immunodeficiency virus
(HIV), hepatitis A, dan rubella. Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media),
dan Mycoplasma pneumonia.
MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES.
Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan
gejala LES yang aktif5.
2.3.4 Patogenesis
Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif akibat virus atau
bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam menyebabkan kerusakan pada saraf
tulang belakang. Meskipun peneliti belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat
bagaimana terjadinya cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem
kekebalan sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi kekebalan tubuh
mungkin bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh, yang
biasanya melindungi tubuh dari organisme asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri,
menyebabkan inflamasi dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam
sumsum tulang belakang
Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa spinal
(kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit pembuluh darah
seperti aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen
dalam jaringan sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang
belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau faktor-faktor lain
35
yang kurang umum. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan saraf
tulang belakang dan membawa sisa metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit
atau diblokir, mereka tidak dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke
jaringan saraf tulang belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum tulang belakang
menjadi kekurangan oksigen, atau iskemik, sel saraf dan serat mungkin mulai memburuk
relative dengan cepat. Kerusakan ini dapat menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang
menyebabkan myelitis transversal. Kebanyakan orang yang mengembangkan kondisi
sebagai akibat dari penyakit vaskular melewati usia 50, punya penyakit jantung, atau baru
saja menjalani operasi dada atau abdominal.
Mielitis transversalis akut post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat
dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T pada nerve
roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di
perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi
menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi
MT9.
MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya keluhan
respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah
digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan
cedera yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang
dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang
menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis, dan
mungkin menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen
lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla
spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi
yang kaya system imun, menghindari sistem imun yang berada pada organ lainnya.
Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di
medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT9.
Mimikri molekuler
36
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf
sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan
menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia
mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di
dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan
pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibodi yang
bereaksi dengan gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah
dibuktikan berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi
saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan autoantibodi
sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9.
Microbial superantigen-mediated inflammation
Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu
dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen merupakan
peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan
berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah diteliti
yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin
piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik
dibandingkan dengan antigen konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen
konvensional, superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-
stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20%
limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu,
superantigen sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang
menyebabkan terbentuknya “lubang” pada limfosit T selama beberapa saat setelah
aktivasi9.
Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun dengan
mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi golongan
selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan
superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki
jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di
sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis
pada tikus eksperimen. Pada manusia, pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan
myelopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang
menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9.
37
Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral,
dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-sel”. Pembentukan
antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau
menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi
dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis9.
2.3.5 Gambaran klinis
Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai beberapa
hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu). Gejala awal
biasanya mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal
seperti membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan
paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia.
Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan defekasi. Banyak pasien juga melaporkan
mengalami kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan
kehilangan nafsu makan. Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa
pasien mungkin juga akan mengalami masalah pernapasan.
Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang
muncul:
(1) kelemahan kaki dan tangan,
(2) nyeri,
(3) perubahan sensorik, dan
(4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih.
Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di kaki mereka,
beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya, orang-orang dengan myelitis
transversal mungkin menyadari bahwa kaki mereka tampak lebih berat dari biasanya.
Perkembangan penyakit selama beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan
penuh dari kaki, yang mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda.
38
Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai setengah
dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau dapat terdiri dari
tajam, sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.
Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah
seperti mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala
mereka. Sampai 80 persen dari mereka yang myelitis transversa memiliki kepekaan yang
meningkat, sehingga pakaian atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan
rasa tidak nyaman atau sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga
mengalami peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suhu yang ekstrem atau panas atau
dingin.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia
urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang tidak sempurna atau
konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris
dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis
pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun
perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung
dalam 4-21 hari6
Gangguan pada genitourinary dan gastrointestinal mungkin melibatkan
peningkatan frekuensi dorongan untuk buang air kecil atau buang air besar, inkontinensia,
kesulitan buang air kecil, dan sembelit. Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang
dengan myelitis transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.
2.3.6 Perjalanan penyakit
Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba,
diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas.
Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi
kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan
kandung kemih.
Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya
gejala yang timbul.
39
2.3.7 Diagnosa
Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis baik
karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur diskus
intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain
Barre).
Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati
blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama jenis limfosit,
protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan
sindrom Guillain Barre di mana dijumpai peningkatan kadar protein tanpa disertai
pleositosis. Dan pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta
pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai juga terdapat pada
kedua lengan.
Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan
penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya lesi
parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi lumbal dijumpai blokade aliran likuor
dengan kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel.
Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.
Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat pada
tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun
kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain
harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari
penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis
Inclusion criteria
1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the
spinal cord
2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)
3) Clearly-defined sensory level
4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or
myelography; CT of spine not adequate)
40
5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or
elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory
kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2
and 7 days after symptom onset meets kriteria
6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if
patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced
from point of awakening)
Exclusion criteria
1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years
2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the
anterior spinal artery
3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM
4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis,
Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue
disorder, etc.)a
5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma,
other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6,
enteroviruses)a
(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa
(b) History of clinically apparent optic neuritisa
AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous
system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus;
HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia
virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis;
SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse
mielitis.
(Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik
kriteria and nosology of acute transverse mielitis. Neurology 2002; 59: 499-5
Diagnosis Banding
Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis
41
Inflamasi Non-Inflamasi
Kompresi
Osteofit
Diskus
Metastasis
trauma
Penyakit Demyelinisasi
sklerosis multiple
optik neuromielitis
ensefalomielitis diseminata akut
mielitis transversalis akut
idiopatik
Tumor Infeksi
Virus: coxsackie, mumps,
varicella, CMV
Tuberculosis
Mikoplasma
Sindrom Paraneolastik Penyakit inflamasi
Lupus eritematosus sistemik
Neurosarkoidosis
(Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute
Transverse Mielitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 29Oktober 2012])
2.3.8 Pemeriksaan Penunjang
MRI
Evaluasi awal untuk pasien mielopati harus dapat menentukan apakah ada penyebab
struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau spondilolistesis)
atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa
jam setelah presentasi.
42
43
CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan struktural,
CT-myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat
menilai medulla spinalis.
Punksi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan yang
harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun non-inflamasi.
Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus
diperiksa.
Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren
(pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau penggunaan obat-obat
immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan atau
tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi
infeksi dari MTA. Pada kasus seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan
pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan.
Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi
sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau
penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus
dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi
antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan level komplemen.
Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis
Kemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang
Infeksi Serologi darah; kultur, serologi, dan
PCR CSF; Foto Thorax dan
pemeriksaan imaging lainnya dengan
indikasi
Autoimun Sistemik atau Penyakit
Inflamasi
Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan
serologi; Foto Thorax dan Sendi;
pemeriksaan imaging lainnya dengan
44
indikasi
Paraneoplastik Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi
paraneoplastik serum dan CSF
Acquired CNS Demyelinating Disease
(sklerosis multiple, optic neuromielitis)
MRI otak dengan kontras gadolinium;
CSF rutin; pemeriksaan visual evoked
potential; serum NMO-IgG
Post infeksi atau post vaksinasi Anamnesis riwayat infeksi dan
vaksinasi sebelumnya; konfirmasi
serologi adanya infeksi; eksklusi
penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The New
England Journal of Medicine 2010;363:564-72)
2.3.9 Penatalaksanaan
Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat progresivitas dan
menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan
secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien
mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg
metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen
oral dapat digunakan pada kasus pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat
inap. Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang
datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila
terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk
prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara
bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula
diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit.
Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per
hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per
45
hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet
rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu
sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral.
Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal,
insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan
elektrolit8.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan
pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati, trombositopenia,
thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan
komplikasi dari tindakan ini8.
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor
saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor
mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis.
Pada pasien demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan
menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang.
Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125
gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.
Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis
servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular dari
fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea,
penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan
lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi
mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah
atau refleks muntah memerlukan pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah
pemakaian feeding tube diperlukan atau tidak8.
Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk thrombosis
vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi yang sering
ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan
46
memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus
dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai secepatnya.
Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-aminopyridine oral menunjukkan hasil
yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple
sklerosis, mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian,
studi tentang efek agen ini pada pasien mielitis transversalis belum diteliti secara khusus.
Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila terjadi
hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg sebelum tidur.
Abnormalitas Tonus
Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock), tetapi
biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas tonus),
bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon
adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi
atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan
benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan
korda spinalis.
Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering
menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen 15-
80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin
untuk mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.
Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan
mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri neuropatik), factor
ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari
beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-
obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan
norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik8.
Malaise
Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi
terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized
47
controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple
sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti
dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan
refrakter yang terjadi setelah episode mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana
pasien dengan mielitis belum pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8.
Disfungsi Usus dan Genitourinari
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis transversalis pada fase akut
karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-
ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung kemih.
Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik (oxybutinin dan
tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa volume urin yang tersisa setelah
miksi berguna untuk menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin
diperlukan untuk menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik
dapat membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan
hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk
mengosongkan kandung kemih. Untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius
dilakukan irigasi dengan antiseptik dan pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis
(trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam).
Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus dicirikan dengan
konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus
inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi
konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian laksan.
Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis transversalis.
Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan
untuk orgasme, atau anorgasmia.
Konsultasi Psikiater
Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada
pasien mielitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti nyeri dan
gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi tunggal atau
dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog.
48
2.3. 10 Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan
pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama
3–6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih
lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu
terapi6.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Christine Weile. 2009. Acute Poliomyelitis. Available from :
http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm.
2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013.
Available
from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/
transverse_myelitis/about-tm/diagnosis.html
3. Hidayat Achmad. Mielitis. November 23rd 2011. Accessed on: 13 August 2013.
Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-
andrina1.pdf
4. Jani Orthoprost. Mielitis. March 6th 2013. Accessed on: 13 August 2013. Available
from: http://jani-orthoprost.com/mielitis.html
5. Johnson et all. 2001. Transverse Myelitis.Available from :
http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-figures?
secret_password=&autodown=pdf
6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis
Fact Sheet Available from :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis.ht
m
7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare
Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from :
http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html
8. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 .
Jakarta.
9. Victor and Adam. 2000. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th Edition.
McGraw-Hill.
50