Download pdf - polimer jibay

Transcript
  • 1

    Proposal Praktikum Mata Kuliah Pilihan Polimer

    Sintesa Edible Film berbahan Pektin Daun Cincau Hijau (Premna oblongfolia Merr) Melalui Aquaextraction dengan Variasi Asam Stearat

    Diajukan Untuk: Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pilihan Polimer

    Oleh :

    Arteria Widya Utama 21030111060022 Angkatan 2011 Aji Bayu Kurnikawan 21030111060052 Angkatan 2011 Gilang Perdana Adyaksa 21030111060104 Angkatan 2011

    PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA PROGRAM DIPLOMA FAKULTAS TEKNIK

    UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

    2011

  • 2

    HALAMAN PENGESAHAN

    1. Judul Praktikum : Sintesa Edible Film berbahan Pektin Daun Cincau Hijau (Premna oblongfolia Merr) Melalui Aquaextraction dengan Variasi Asam Stearat

    2. Nama Praktikan : 2.1 Arteria Widya Utama 21030111060022 2.2 Aji Bayu Kurnikawan 21030111060052 2.3 Gilang Perdana Adyaksa 21030111060104

    3. Dosen Pembimbing : Ir. Hj. Wahyuningsih M Si. NIP : 195403181986032001 Jurusan : Program Studi Diploma III Teknik Kimia Fakultas : Teknik

    Universitas : DIPONEGORO

    Semarang, 6 November 2013 Mengetahui

    Dosen Pembimbing

    Ir. Wahyuningsih M Si. NIP. 195403181986032001

    Praktikan I

    Arteria Widya Utama NIM. 21030111060022

    Praktikan II

    Aji Bayu Kurniawan NIM. 21030111060052

    Praktikan III

    Gilang Perdana Adyaksa NIM. 21030111060104 21030111060052

  • 3

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ekstraksi Pektin Daun Cincau Hijau (Premna oblongfolia Merr) dengan Aquasolvent dan Aditif Gliserol sebagai Plastizer menjadi Edible Film. Pada karya tulis ini terdapat penjelasan tentang proses ekstraksi Daun Cincau hijau yang dapat diolah menjadi Edible Film menggunakan ektraksi aquadest dan gliserol sebagai plastizer. Nantinya diharapkan karya tulis ini dapat menjadi sebuah panduan untuk menelaah kembali manfaat dari daun cincau sendiri, khususnya terhadap pembuatan Edible

    Film.

    Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menyadari banyak pihak yang telah memberi bantuan, sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

    1. Ir. Hj. Wahyuningsih, MSi selaku dosen pengampu mata kuliah pilihan polimer yang telah membimbing dan membantu dalam penyelesaian karya tulis ini.

    2. Serta pihak-pihak lain yang turut membantu dalam pembuatan karya tulis ini.

    Penulis menyadari sepenuhnya karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan karya tulis ini sangat penulis harapkan. Akhirnya dengan terselesainya penyusunan karya tulis ini maka

    penulis mengharap semoga dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

    Semarang.2013

    Penulis

  • 4

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL. i KATA PENGANTAR.. ii DAFTAR ISI.. iii ABSTRAK. vi

    BAB I

    Pendahuluan...... 1

    Latar Belakang.... 1

    Tujuan Penulisan..... 2

    BAB II

    Tinjauan Pustaka.. 3

    BAB III

    Metode Penelitian.. 5

  • 5

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Judul Penelitian Sintesa Edible Film berbahan Pektin Daun Cincau Hijau (Premna oblongfolia Merr) Melalui Aquaextraction dengan Variasi Asam Stearat

    1.2. Latar Belakang Sejak 5 tahun yang lalu, tren untuk mengkonsumsi makanan semakin menuju ke arah kebiasaan yang baik. Selain pola untuk mengurangi konsumsi makanan berlemak,

    orang-orang pun mulai mengkonsumsi makanan yang sehat. Menurut penelitian yang

    dilakukan di Amerika, 7 dari 10 orang mengkonsumsi lebih banyak buah-buahan dan sayuran daripada makanan lainnya. Permintaan akan makanan sehat semakin meningkat dan wilayah untuk pemasaran produk baru, seperti pembungkus makanan yang dapat dimakan akan semakin meningkat (MajariMagazine.2011). Pembungkus dari bahan buah-buahan dan sayuran dapat menggantikan beberapa pembungkus asintetik yang biasanya digunakan untuk mengawetkan dan melindungi makanan tersebut. Pembungkus ini juga dapat dipakai sebagai pembungkus makanan sebelum disimpan di kulkas sehingga muncullah istilah

    edible film. Edible film sendiri adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat

    dimakan, dibentuk di atas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak, dan zat terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif yang biasanya dibuat dari senyawaan hidrokoloid (Astawan.1997). Bahan hidrokoloid yang bias digunakan diantaranya adalah pectin yang bias ditemui pada tanaman cincau. Tanaman cincau termasuk tanaman asli Indonesia dan mempunyai nama lain diantaranya Camcao, Juju, Kepleng (jawa), Camcauh, Tahulu (sunda). Tanaman ini tumbuh menyebar di daerah Jawa Barat (sekitar Gunung Salak, Batujajar, Ciampea dn Ciomas), Jawa Tengah (Gunung Ungaran, Gunung Ijen), Sulawesi, Bali, Lombok dan Sumbawa (Astawan 2002). Cincau hijau pohon ( Premna oblongifolia Mier ) merupakan bahan makananan tradisioanal yang telah lama dikenal masyarakat dan digunakan sebagai isi minuman segar.

  • 6

    Cincau tersebut disenangai masyarakat karena berasa khas, segar, dingin serta harganya murah. Data Terakhir menunjukkan total kebun tanaman cincau hijau Indonesia sekitar 2.464 hektare dengan tingkat produksi 15.985 ton per tahun bahkan permintaan cincau cukup besar, bahkan mencapai Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogjakarta (Kompas.7/22/2011).

    Menurut Artha dalam Nurdin dan Suharyono (2007) komponen utama ekstrak cincau hijau yang membentuk gel adalah polisakarida pektin yang bermetoksi rendah. Pektin tersebut merupakan kelompok hidrokoloid pembentuk gel yang

    apabila diserut tipis-tipis mempunyai sifat amat rekat terhadap cetakan dan tembus pandang, sehingga berpotensi dibuat sebagai edible film. Penggunaan pektin dari cincau hijau dapat dikombinasikan dengan tepung tapioca, sehingga menghasilkan film yang bersifat transparan serta kaku karena menurut Krochta dan Mulder-Johnston dalam Murdianto, et.al (2007), edible film dari tapioca memiliki sifat mekanik yang hamper sama dengan plastikdan kenampakannya transparan. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, seperti potensi sumberdaya alam Indonesia yang cukup besar untuk menghasilkan daun cincau hijau serta ubi kayu sebaagai penghasil pektin dan tapioca untuk pembuatan Edible film, serta manfaar yang diperoleh dari penggunaan Edible film, maka penelitian dari Edible film dari pektin cincau hiaju ( Premna oblongifoli Merr.)dan tapioca perlu diupayakan.

    1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Membuat Edible film berbahan pectin cincau hijau dengan variasi konsentrasi pectin

    dan gliseol sebagai plastisizer. 1.2.2 Mengetahui pengaruh pektin cincau hijau terhadap sifat fisik (ketebalan dan kelarutan),

    mekanik (pemanjangan dan kuat regamg putus), serta penghambatan edible film pektin cincau hijau komposit tepung tapioca terhadap laju transmisi uap air (WVTF)

  • 2.1 Cincau Hijau (Premma oblongifolia Merr.) Cincau dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai umum ada 2 jenis cincau yaitu cincau hijau pohon hitam. Keduanya berbeda dalam hal warna, cita rasa, penampakan, bahan baku, dan cara pembuatannya. Secara konvensional cinccau hijau dibuat dari dari daun cincau tanpa proses pemanasan, sedngkan cincau hitam seluruh ba

    digunakan sebagai obat penurun panas, obat radang lambung, menghilangkan rlemah dan penurun darah tinggi.

    dapat menurunkan sel kanker.antioksidan. Beberapa komponen yang berperan aktif dalam cincau karotenoid, flavonoid, dan klorofil (Mardia,et.all.,2007).gizi nya.Berbagai info menunjukkan cincau tidak perlu diragukan perannnya sebagai bahan pangan dan diyakini sebagai tanaman berkhasiat obat.Beberapa kandungan gizi dalam cincau hijau sebagai berikut.

    Tabel 2.1 Kandungan gizi cincau hijau per 100 gram bahan.

    Komponen Zat Gizi

    Kalori (kal) Protein (gram)

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Cincau Hijau (Premma oblongifolia Merr.) Cincau dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai minimum tradisional

    umum ada 2 jenis cincau yaitu cincau hijau pohon maupun cincau hijau rambat dan cincau hitam. Keduanya berbeda dalam hal warna, cita rasa, penampakan, bahan baku, dan cara pembuatannya. Secara konvensional cinccau hijau dibuat dari dari daun cincau tanpa proses pemanasan, sedngkan cincau hitam seluruh bagian tanaman cincau dengan bantuan proses

    pemanansan dan penambahan pati serta abu Qi (Astawan.2004). Pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa cincau hijau pohon (Premna oblongfini disebabkan jenis cincau inilah yang banyak ditemukan dilingkungan sekitar. Cincau hijuan merupakan tanaman obat yang dapat dikomusmsi dalam ventuk pangan fungsional seperti makanan pencuci mulut dan healty snak. Secara tradisional

    digunakan sebagai obat penurun panas, obat radang lambung, menghilangkan rlemah dan penurun darah tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ektrak air cincau dapat menurunkan sel kanker. Bahkan ektrak dari akar cincau memliki aktivitas sebgaai antioksidan. Beberapa komponen yang berperan aktif dalam cincau karotenoid, flavonoid, dan klorofil (Mardia,et.all.,2007). Manfaat suatu bahan pangan dapat dilihat dari kandungan

    nfo menunjukkan cincau tidak perlu diragukan perannnya sebagai bahan pangan dan diyakini sebagai tanaman berkhasiat obat.Beberapa kandungan gizi dalam cincau hijau sebagai berikut.

    Tabel 2.1 Kandungan gizi cincau hijau per 100 gram bahan.

    Jumlah

    122

    6,0

    7

    minimum tradisional.Secara maupun cincau hijau rambat dan cincau

    hitam. Keduanya berbeda dalam hal warna, cita rasa, penampakan, bahan baku, dan cara pembuatannya. Secara konvensional cinccau hijau dibuat dari dari daun cincau tanpa proses

    gian tanaman cincau dengan bantuan proses pemanansan dan penambahan pati serta abu Qi

    Pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa Premna oblongfolia Merr.)Hal

    ini disebabkan jenis cincau inilah yang banyak kan dilingkungan sekitar. Cincau hijuan

    merupakan tanaman obat yang dapat dikomusmsi dalam ventuk pangan fungsional seperti makanan pencuci mulut dan healty snak. Secara tradisional

    digunakan sebagai obat penurun panas, obat radang lambung, menghilangkan rasa mual, bahwa ektrak air cincau

    Bahkan ektrak dari akar cincau memliki aktivitas sebgaai antioksidan. Beberapa komponen yang berperan aktif dalam cincau karotenoid, flavonoid,

    Manfaat suatu bahan pangan dapat dilihat dari kandungan nfo menunjukkan cincau tidak perlu diragukan perannnya sebagai bahan

    pangan dan diyakini sebagai tanaman berkhasiat obat.Beberapa kandungan gizi dalam

  • 8

    Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan Indonesia, dalam Pitojo dan Zumiyati.2005

    2..2 Pektin Hidrokoloid banyak digunkana dalam aneka ragam olahan pangan, sifatnya dikehendaki Karena dapat membentuk gel. Pada umumnya hidrokoloid tanaman terdiri atas senyawa polisakarida, dan memang telah diduga bahwa penyusun senyawa yang menentukan sifat penjedalan cinau adalah senyawa polisakarida (Haryadi.1991)

    Menurut Arta 2007, komponen utama ekstrak cincau hijauyang membnetuk gel adalah polisakarida pectin yang bermetoksi rendah. Karena kandungan utamanya adalah

    pectin maka ekstrak cincau hijau dapat dianggap sebagai sumber serat pangan yang baik. Pektin pada tanaman sebagian besar terdapat pada lamella tengah dinding sel (Wang,et al.2007). Karena itu, untuk memaksimalkan proses ektraksi, pectin harus dilepaskan dari ion kalsium. Cara yang dapat digunakan adalah dengan mengkelat ion kalsium dengan pengkelat logam. Dalah satu pengkelat logam yang dapat digunakan adalah asam sitrat. Pada pectin inilah terkandung 300 sampai 1000 unit monosakarida, dan unit monosakatrida dari pectin adalah asam D glukonat (Anonim.2008).

    2..3 Edible film Menurut Donhowe dan Fennema (1993), komponen utama penyusun edible film ada 3 kelompom yaitu hidrolkolid, lemak, dan komposit. Kelompok hidrokoloid meliputi

    \Lemak (gram) 1,0 Hidrat Arang (gram) 26,0 Kalsium (milligram) 100 Fosfor (milligram) 100 Besi (milligram) 3,3 Vitamin A (SI) 107,5 Vitamin B1 (milligram) 80,00 Vitamin C (gram) 17,00 Air (gram) 66,00 Bahan yang dapat dicerna (%) 40,00

  • 9

    protein, derivate sellulosa, alginate, pectin dan polisakarida lain. Kelompok lemak meliputi wax, asilgliserol, dan asam lemak, sedangkan kelompoj komposit mengandung campuran kelompok hidrokoloid dan lemak. Edible film adalah bahan yang terbuat dari komponen polisakarida, lipid, dan protein. Edible film yang terbuat dari hidrokoloid menjadi barrier yang baik terhadap transfer oksigen, karbohidrat dan lipid. Pada umumnya sifat dari hidrokoloid sangat baikehingga potensial untuk dijadikan pengemas. Sifat film hidrokoloid umumnya mudah larut dalam air sehingga menguntungkan dalam pemakaian. Hidrokoloid yang dapat

    digunakan untuk membuat edible film adalah protein (gel, kasein, protein kedelai, protein jagung, dan gluten gandum) dan karbohidrat (pati, alginate, pectin, dan modifikasi karbohidrat lainnya, sedangkan lipid yang digunakan adalah lilin / wax, gliserol , dan asam lemak. Kelebihan edible film yang terbuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baikuntuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, serta lipid memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan structural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat, yaitu kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH (Syamsir.2008).

    2..3.1 Sifat-sifat edible film. 2..3.1.1 Ketebalan Film (mm)

    Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padata n terlarutdalam larutan film dan ukuran plat pencetak. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas, dan senyawa volatile (Mc.Hough,et al.1993)

    2..3.1.2 Tensile strength (Mpa) dan elongasi (%) Pemanjangan didefinidikan sebagai presentase perubahan panjang film ditarik sampai putus \. Kekuatan regang putus (Krochta dan Mulder Jonston.1997) merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahansebelum film putus / robek. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai

  • 10

    tarikan maksimum pada setiap satuan uas area film untuk merenggang atau memanjang.

    2..3.1.3 Kelarutan film. Proses kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan didalam air selama 24 jam (Gontard,1993).

    2.3.1.4 Laju Transmisi Uap air Adalah jumlah uap air yang hilang persatuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan

    migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin (Gontard,1993).

    2..3.2. Bahan tambahan edible film 2.3.2.1 Gliserol

    Gliserol adalah senyawa golongan alcohol polihidrat dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alcohol trivalent). Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan nama kimia 1,2,3 propanatriol. Berat molekul gliserol adalah 92,1 massa jenis 1,23 g/cm dan titik didihnya 209oC (Winarno, 1992). Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan Aw. Rodrigeus.et.al,.(2006) menambahkan bahwa gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik seperti pati. Ia dapat meningkatkan sorpsi molekul polar seperti air. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film (Bertuzzi et al,2007). Menurut Syarief,et.al,. (1989), untuk memperbaiki sifat plastic maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastic yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan

    lain-lain. Bahan itu dapat berupa senyawa organic maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul rendah.

    2.3.2.2.CaSO4

  • 11

    Menurut hasil penelitian Astuti dalam Koswara, et. Al. (2002), untuk memperbaiki mutu gel cincau dapat ditambahkan bahan pengikat, antara lain pati, agar dan CaSO4. Penggunaan pati dengan konsentrat 0,1% dari air pengekstrak; atau penambahan agar 0,02% dari air pengekstrak; atau penambahan CaSO4 dengan konsentrasi 0,05% dari bubuk daun cincau kering akan menghasilkan gel yang baik baik untuk bubuk daun cincau kering jemur maupun kering oven.

  • 12

    BAB III METODE PENELITIAN

    3.1.Bahan dan Alat 3.1.1 Bahan

    Bahan Utama dalam penelitian ini berupa daun cincau jenis Premna Oblongifolia Merr. ( Varietas cincau pohon). Tahap pengekstrasikan pektin cincau hijau menggunakan bahan berupa ethanol 96% dan aquadest. Bahan yang digunakan unyuk pembuatan edible film antara lain : pektin cincau hijau hasil ekstrasi, asam stearat, tapioca, CaSO4, aquades,dan gliserol. Bahan yang digunakan dalam karakteristik edible film adalah aquades, larutan

    garam 40%,anggur hijau segar, dan silica gel. 3.1.2 Alat

    Blender Oven

    Ayakan 80 mesh

    Beaker glass

    Stirer Termometer

    Pengaduk

    Kain Saring

    Timbangan Analitik Gelas Ukur

    Plat Plastik

    Hot ;Plate

    3.2 Penentuan variabel Percobaaan 3.2.1 Variabel Tetap

    CaSO4 0,05 % (b/b pectin cincau) Gliserol 0,87 % (b/v) 4 gram tapioca.

    Suhu ektraksi pektin 25 C Suhu Pemanasan pada pembuatan buatan edible film 75-85 C

    3.2.2 Variabel Berubah o Konsentrasi Asam Stearat (0%, 5 %, 10%, 15 %, 20% b/b pectin cincau hijau)

    3.3 Metode Penelitian a. Pembuatan Bubuk Cincau Hijau ( Premna Oblingofira Merr., )

  • 13

    Pembuatan bubuk cincau ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh koswara ( 2008 ) , pembuatan bubuk cincau diawali dengan mencuci daun cincau segar dengan air suhu kamar, kemudian dikeringkan dengan oven 500C selama 18 jam atau di jemur dari jam 08.00 sampai 15.00 selama tiga hari ( total 21 jam ). Kemudian daun yang sudah kering tersebut digiling dan diayak dengan ayakan berdiamater 0,5 milimeter.

    b. Ekstraksi Pektin Metode ekstraksi pectin yang dilakukan menggunakan metode dari pembuatan edible film ekstraksi pectin yang dilakukan menggunakan metod dari

    pembuatan edible film ektrak daun janggelan oleh Murdiyanto,et.al (2005) yang telah dimodifikasi yaitu tanpa perlakuan pemanasan, bubuk cincau hijau sebanyak 25 gram ditambah dengan 500 ml aquadest dalam beker glass 1000 ml pada 250C, dan diaduk-aduk sampai rata dengan mengunkana magnetic stirrer untuk membantu proses ektraksi. Kemudian dilakukan proses penyaringan dengan kain saring, sehingga diperoleh filtrate berupa cairan dan ampas. Filtrate selanjutnya ditambah dengan etanol 96 % dengan perbandingan 1:1 Kemudian dilakukan penuangan ke dalam tabung sentrifuse 50 ml dan dilakukan sentrifuse selama 20 menit pada 3800 rpm. Diperoleh 2 fraksi, yaitu endapan yang terdapat di bagian bawah dan supernatant pada bagian atas. Dilakukan penuangan untuk memisahkan dua bagian

    tersebut. Endapan yang diperoleh dicuci dengan etanol 96%, dan disentrifuse lagi selama 10 menit pada 3800 rpm. Diperoleh 2 fraksi, yaitu gel yang diperoleh diantara 2 cairan supernatant. Dilakukan penyaringan untuk memisahkan 2 bagian tersebut, selanjutnya dikeringkan dengan dryer pada suhu 500C selama 5 jam. Diperoleh bentuk lembaran kering ektrak daun cincau hijau (pektin). Kemudian diblender sampai halus dan dilakukan pengayakan dengan ayakan 100 mesh.

    3.2.2 Pembuatan edible film Pektin Cincau Hijau Pektin cincau hijau 1,25% (b/v) dalam aquades dan CaSO4 0,05 % (b/b pectin cincau) dilarutkan dalam 150 ml aquadest. Larutan kedua berisi 4 gram tapioca yang dilarutkan dalam 150 ml aquadesr, dipanaskan dengan hot plate

  • selama 30 detik (sampai warnanya berubah menjadi bening), an dilanjutkan dengan pengadukan larutan taipoka dituang dalam hijau dan CaSOlarutan yang telah mengandung larutan pectintapioca kemudian diaduk dan dipanaskan terus samapai 75Dilakukan pencampuran asam s

    20% (b/b ekstrak 800C-850C (diprtahankan selama 10 menit).Larutan kemudian dicetak dan dikeringkan pada suhu 60

    Analisa Edible film a. Uji Ketebalan Edible Film

    a 30 detik (sampai warnanya berubah menjadi bening), an dilanjutkan dengan pengadukan menggunakan magnetic stitrer selama 30 detik. Kemlarutan taipoka dituang dalam beker glass yang telah berisi larutan pectin cincau hijau dan CaSO4 0,05 %. Selanjutnya gliserol 0,87 % (b/v) ditambahkan pada larutan yang telah mengandung larutan pectin cincau hijau. CaSotapioca kemudian diaduk dan dipanaskan terus samapai 75Dilakukan pencampuran asam stearat dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, dan

    0% (b/b ekstrak pectin ) selanjutnya dipanaskan sambil diaduk hingga suhu C (diprtahankan selama 10 menit).Larutan kemudian dicetak dan

    dikeringkan pada suhu 600C selama 12 jam.

    Uji Ketebalan Edible Film

    & Variasi Asam Stearat

    14

    a 30 detik (sampai warnanya berubah menjadi bening), an dilanjutkan menggunakan magnetic stitrer selama 30 detik. Kemudian

    beker glass yang telah berisi larutan pectin cincau 0,05 %. Selanjutnya gliserol 0,87 % (b/v) ditambahkan pada

    cincau hijau. CaSo4 0,05% dan tapioca kemudian diaduk dan dipanaskan terus samapai 750C selama 5 menit

    tearat dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, dan selanjutnya dipanaskan sambil diaduk hingga suhu

    C (diprtahankan selama 10 menit).Larutan kemudian dicetak dan

  • 15

    Ketebalan diukur dengan dengan Mikrometer digital Mitutoyo dengan cara menempatkan film diantara rahang mikrometer. Ketebalan diukur pada lima tempat yang berbeda kemudian dihitung reratanya.

    b. Uji Pemanjangan Edible Film Pertambahan panjang diukur dengan menggunakan Lloyd Instrument. % perpanjangan dihitung dengan rumus :

    Perpanjangan = x 100 %

    c. Uji Kuat Regang Putus Edible Film Kuat regang putus edible film diukur dengan menggunakan Lloyd instrument. Edible film dipotong dalam bentuk huruf I (sesuai spesifikasi alat) kemudian dipasang pada Lloyd Instrument. Besarnya gaya (Newton) yang diberikan sampai edible film terputus akan terbaca pada alat. Besarnya kekuatan regang putus dihitung dengan membagi gaya maksimum yang diberikan pada film sampai sobek (N) per satuan luas film (M2).

    d. Uji Kelarutan Edible Film Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dan film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam. Persen berat kering dari setiap edible film ditentukan dengan cara memanaskan edible film pada suhu 100C selama 24 jam sebanyak 2 potong edible film (diameter 2 cm) dipotong, ditimbang dan kemudian dicelupkan dalam 50 ml air yang mengandung sodium azida (0,02 %). Edible film yang telah dicelupkan kemudian disimpan pada suhu 10C selama 24 jam. Untuk menentukan edible film dihitung dengan mengurangi berat awal dikurangi berat kering film yang tidak larut dikalikan dengan 100%.

    e. Uji Laju Transmisi Uap Air Film yang diuji diseal pada mangkuk hidrolik berukuran 7,5 cm (diameter dalam) dan 8 cm (diameter luar), dengan kedalaman 2 cm yang didalamnya berisi silika gel, dan ditempatkan pada stoples plastik yang di dalamnya berisi larutan NaCl 10% (RH 75%). Penimbangan dilakukan setiap 1 jam. Dari data yang diperoleh dibuat persamaan regresi linier, sehingga diperoleh slope. Laju transmisi uap air dihitung dengan rumus :

  • 16

    WVTR = (

    )

    ( )

    Rancangan yang dilakukan dalam percobaan ini adalah rancangan percobaan acak lengkap. Data yang diperoleh dianalisis dengan Anava. Jika terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncans Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat signifikansi 5%.

    (Sumber : Surya,et.al.2009.)

  • 17

    BAB IV PEMBAHASAN

    4.1 Variabel Waktu Ekstraksi Pektin Cincau Hijau Tabel 2. Perolehan Pektin Cincau Hijau (gram) dari Variasi Waktu Ekstraksi (menit) No Variable waktu Pektin (gram) 1 30 menit 3.84 2 45 menit 6.41 3 60 menit 8.08 4 75 menit 10.26 5 90 menit 10.20 Praktikum pembuatan edible film berbahan pectin cincau hijau ini dimulai dengan tahap penyortiran bahan yaitu daun cincau yang kami ambil dari daerah Gunungpati, Kabupaten Semarang. Selanjutnya dilakukan pengeringan mengingat kandungan air dalam cincau hijau segar tergolong tinggi yaitu lebih dari 66% (Pitojo dan Zumiyati, 2005) dengan sinar matahari (hari pertama) dan di dalam oven suhu 500C (hari kedua) yang bertujuan menghilangkan kandungan air dalam daun. Oven dipilih dengan alasan cuaca yang mendung dan juga menyiasati kelemahan dari pengeringan matahari dimana intensitas panasnya labil. Berikutnya adalah pemblenderan daun kering agar

    diperoleh serbuk halus yang bertujuan mempermudah ekstraksi.

    Tahap kedua yaitu ekstraksi pektin dengan solvent aquadest, dimana 50 gr daun cincau kering diekstrak dengan 500 ml aquadest dengan bantuan stirrer pada suhu 300C dengan variasi waktu 30 menit, 45 menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit. Kemudian disaring sehingga diperoleh filtrate berupa cairan dan ampas. Filtrate selanjutnya ditambah dengan etanol 96 % dengan perbandingan 1:1 Kemudian dilakukan penuangan ke dalam tabung sentrifuse 50 ml dan dilakukan sentrifuse selama 20 menit pada 3800

  • 18

    rpm. Diperoleh 2 fraksi, yaitu gel yang diperoleh diantara 2 cairan supernatant. Dilakukan penyaringan untuk memisahkan 2 bagian tersebut, selanjutnya dikeringkan dengan dryer pada suhu 500C selama 5 jam hingga didapatlah berat pectin berturut-turut 3,84 gr ; 6,41 gr ; 8,08 gr ; 10,26 gr ; 10,20 gr.

    Hubungan waktu ekstraksi dengan jumlah Pektin yang didapat.

    Grafik 1. Hubungan Waktu Ekstraksi terhadap Pektin yang didapat

    Dari percobaan didapatkan data pada grafik 1 dengan persamaan garis y = 0.110x + 1.13 dan R = 0.930 bahwa seiring dengan lamanya waktu ekstrkasi maka akan semakin meningkat pula perolehan pektin karena kontak antara aquadest selaku solvent pengekstrak akan semakin lama,sehingga difusi pektin juga meningkat, namun terdapat pegecualian dimana dimenit ke-75 dan 90 justru terlihat penurunan (baca grafik 1) Sesuai dengan konsep teori ekstraksi (Herri.2007) dimana peningkatan perolehan senyawa ekstrak bergantung pada jumlahnya didalam bahan, artinya walaupun dilakukan peningkatan waktu maka jumlahnya tetap terbatas karena memang kadarnya dalam bahan adalah sebesar itu sehingga disimpulkan bahwa waktu ekstraksi optimum adalah 75 menit dengan kadar pektin cincau hijau 10,2 gram (yield 20.4%) sedangkan Arinda (2009) dengan perlakuan yang sama menghasilkan yield 15.2 % 60 menit. Hal ini menunjukkan bahwa pectin dari cincau hijau cukup banyak dibandingkan sumber lain yaitu albedo durian (18,91%), kulit buah markisa (14,06%), jambu biji (13,49%), albedo jeruk (7,46%) (Hastuti, 1984; Suhardi, 1990; Tresnawati, 1981; Utami, 1989).

    y = 0,110x + 1,13

    R = 0,930

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    0 20 40 60 80 100

    Pe

    kti

    n y

    an

    g d

    ida

    pa

    t (g

    ram

    )

    Waktu Ekstraksi (menit)

    Hubungan Waktu Ekstraksi terhadap Pektin yang didapat

    Jumlah Pektin

    Linear (Jumlah Pektin)

  • 19

    4.2 Uji Analisa Edible Film Tabel 3. Uji Analisa Edible Film dengan Penambahan Asam Stearat

    No Penambahan Asam Stearat (berat/volume)

    Ketebalan (mm)

    Uji Elongasi (%) Uji Kelarutan (%)

    1 0 0.120 23,3 48.2 2 5 0.126 20 46.7 3 10 0.134 16,7 33.3 4 15 0.138 13,3 29.4 5 20 0.146 10 19.1

    Menurut Kester dan Fennema (1986), film yang sesuai untuk produk pangan adalah film dari polimer pektin karena sifat permeabilitasnya yang selektif dari polimer tersebut. Untuk memperkecil permeabilitasnya, terhadap uap air maka dalam polimer sering ditambahkan asam lemak contohnya asam stearat dimana dibuat sebagai varibel kedua dalam praktikum ini sebesar 0%, 5%, 10%, 15%, 20% maka kita akan dapat mengetahui pengaruhnya terhadap sifat mekanik edible film. Hasil menunjukkan pada variabel I tanpa penambahan asam stearat didapatkan tebal edible 0.120 mm, uji pemanjangan 23.3% dan uji kelarutan 48 %. Pada variabel II dengan penambahan asam stearat 5% b/v pektin didapatkan ketebalan 0.126 mm, uji pemanjangan 20% dan uji kelarutan 46.7 %. Pada variabel III dengan penambahan asam stearat 10% b/v pektin didapatkan ketebalan 0.134 mm, uji pemanjangan 16.7% dan uji kelarutan 33.3 %. Pada variabel IV dengan penambahan asam stearat 15% b/v pectin didapatkan ketebalan 0.038 mm, uji pemanjangan 13.3% dan uji kelarutan 29.4 %. Pada variabel V dengan penambahan asam stearat 20% b/v pektin didapatkan ketebalan 0.046 mm, uji pemanjangan 10% dan uji kelarutan 19.1 %.

  • 20

    1. Hubungan antara Variasi Konsentrasi Asam Stearat terhadap Ketebalan.

    Grafik 2. Hubungan antara variasi asam stearat terhadap ketebalan edible film (mm)

    Pada uji ketebalan edible film ini digunakan alat micrometer skrup dengan tingkat ketelitian 0.01 mm. Grafik 2 dengan persamaan garis y = 0.006x + 0.113 dan R = 0.992 menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan asam stearat juga terjadi peningkatan ketebalan edible film, padahal volume penuangan dan cetakan dibuat sama

    serta komposisi bahan pektin-tapioka-gliserol adalah sama sehingga mengindikasikan bahwa asam stearat mempengaruhi ketebalan. Menurut Hastuti (1984) Asam stearat diketahui merupakan agen penghubung antara matriks polimer pektin dengan bahan pengisi membentuk suatu ikatan sehingga matriks akan kuat dan rapat. Peningkatan asam stearat akan memaksimalkan penggabungan matriks polimer sehingga edible film yang dihasilkan juga makin tebal. Arinda (2009) dengan perlakuan yang sama juga mendapatkan ketebalan edible filmnya pada rentang 0,127-0,145 mm. Semakin tebal edible film maka permeabilitas gas akan semakin kecil dan efek perlindungan terhadap produk makanan yang dikemas akan lebih baik namun demikian ketebalan edible film dalam fungsinya sebagai pembungkus makanan harus disesuaikan dengan produk yang dikemasnya (Kusumasmarawati,2007) sehingga jika dikaitkan dengan ketebalan maka dapat disimpulkan bahwa variabel 5 (asam stearat 20 %) adalah yang optimum karena memiliki ketebalan yang besar sehingga menurunkan permaebilitas dan lebih melindungi.

    y = 0,006x + 0,113

    R = 0,992

    0

    0,05

    0,1

    0,15

    0,2

    0 1 2 3 4 5 6

    Ket

    eba

    lan

    (m

    m)

    Variabel Asam Stearat

    Hubungan antara variasi asam stearat terhadap ketebalan edible film (mm)

    Ketebalan

    Linear (Ketebalan)

  • 21

    2. Hubungan antara Variasi Asam Stearat terhadap Uji Elongasi % Pada dasarnya elongasi merupakan % perpanjangan dimana dilakukan sampai regangan edible film putus / robek.yang dihitung dengan rumus :

    Perpanjangan = x 100 %

    Grafik 3. Hubungan antara variasi asam stearat terhadap elongasi edible film (%)

    Grafik 3 dengan persamaan y = -3.33x + 26.65 dan R=1 menunjukkan data bahwa seiring dengan penambahan asam stearat terjadi penurunan angka elongasi dari edible film dari 23.3 % menjadi 10 % yang berarti penambahan asam stearat akan membuat edible film menurun kelenturannya. Menurut Astuti (2008), jika edible film memiliki nilai pemanjangan yang rendah mengindikasikan bahwa film tersebut kaku dan mudah patah sebaliknya persen pemanjangan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa film lebih fleksibel sehingga dapat dikatakan bahwa film tahan terhadap kerusakan secara mekanik. Peningkatan massa bahan, akan menyebabkan peningkatan pula matrik yang terbentuk, sehingga film akan menjadi kuat namun peningkatannya akhirnya juga menyebabkan penurunan ratio gliserol sebagai plasticizer di dalam bahan, sehingga mengakibatkan penurunan elongasi film apabila terkena gaya, yang kemudian menyebabkan film mudah patah. (Barus, 2002). Sesuai dengan jurnal maka Asam stearat akan membuat struktur matrik polimer dalam bahan meningkat dan rapat sehingga edible film cenderung keras dan kaku sehingga mudah robek jika di regangkan. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Ginting (2012) dimana seiring dengan penambahan asam stearat justru menurunkan sifat

    y = -3,33x + 26,65

    R = 1

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    0 1 2 3 4 5 6

    Elo

    nga

    si (%

    )

    Variabel Asam Stearat

    Hubungan antara variasi asam stearat terhadap elongasi edible film (%)

    Elongasi (%)

    Linear (Elongasi (%))

  • 22

    pemanjangan edible film berbahan selulosa tempurung kelapa. Penelitian yang dilakukan oleh Arinda (2009) dari bahan yang sama menghasilkan % elongasi dengan rentang 13,7% - 19,5% dimana lebih besar nilainya karena tidak dilakukan penambahan asam stearat. Dapat disimpulkan jika dikaitkan dengan elongasi maka variable I (tanpa penambahan asam stearat) adalah yang optimum karena tidak mudah robek.

    3. Hubungan antara Variasi Asam Stearat terhadap Uji Kelarutan %

    Grafik 4. Hubungan antara variasi asam stearat terhadap kelarutan edible film (%)

    Untuk menentukan kelarutan, edible film direndam dalam aquadest 100 ml selama 24 jam dan dihitung dengan mengurangi berat awal dikurangi berat kering film yang tidak larut dibagi berat awal dikalikan dengan 100%. Grafik 4 dengan persamaan garis y = -7.55x + 57.99 dan R = 0.953 menujukkan data bahwa seiring dengan penambahan asam stearat terjadi pula penurunan kelarutan edible film didalam air yaitu dari 48.2 % menjadi 19.1 %. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan asam stearat justru membuat edible film sukar larut. Umumnya film dari hidrokoloid pektin mempunyai struktur mekanis yang cukup bagus, namun kurang bagus terhadap penghambatan uap air karena pada kondisi kandungan uap air yang tinggi, film akan menyerap uap air dari lingkungannya ( Krochta et al, 1994 )..

    Untuk mensiasati kelemahan tersebut maka menurut Murdianto (2005) menyebutkan bahwa sifat-sifat barrier edible film umumnya ditingkatkan dengan

    penambahan senyawa hidrofobik, seperti asam lemak untuk mengurangi hilangnya air yang terkandung dalam produk terkemas dan memiliki kelarutan yang rendah; sedangkan

    y = -7,55x + 57,99

    R = 0,953

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    0 1 2 3 4 5 6

    Kel

    aru

    tan

    (%

    )

    Variabel Asam Stearat

    Hubungan antara variasi asam stearat terhadap kelarutan edible film (%)

    Kelarutan (%)

    Linear (Kelarutan (%))

  • 23

    sebaliknya Siswanti (2008), menyebutkan bahwa peningkatan jumlah komponen yang bersifat hidrofilik diduga menyebabkan peningkatan prosentase kelarutan film. Gliserol dalam penelitian ini dibuat tetap dikarenakan gliserol bersifat hidrofilik sehingga semakin tinggi konsentasi gliserol yang digunakan maka akan meningkatkan permeabilitas uap air (Tamaela dan Lewerissa, 2007). Sedangkan Arinda (2009) dengan bahan yang sama mendapatkan % kelarutan edible film dengan rentang 64,9%-77,4%, nilai lebih tinggi dikarenakan tidak menggunakan asam stearat sehingga mudah larut. Dapat disimpulkan bahwa variabel 3 (asam stearat 10 %) adalah yang paling optimal karena memiliki sifat barier yang baik juga memiliki kelarutan yang sedang sehingga cocok untuk diaplikasikan ke produk pangan.

    4.3 Uji Organoleptik Tabel. 3 Uji Organoleptik Edible Film yang diperoleh

    No Variabel Asam Stearat Warna Aroma Tekstur 1 I Putih keruh Tapioka 1 2 II Putih keruh Tapioka 1 3 III Bening Tapioka 2 4 IV Putih keruh Tapioka 2 5 V Bening Tapioka 3

    Keterangan : 1 = Agak Kasar tipis 2 = Lebih lembut agak tipis 3 = Lembut agak tebal

    Pada uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, dan tekstur dari kelima edible film (dapat dilihat di table 3) diperoleh hasil bahwa edible film pada variabel I berwarna putih keruh, beraroma tapioca, dengan tekstur agak kasar dan tipis,variabel II juga menunjukkan hasil yang sama dengan variabel I, sedangkan variabel III berwarna bening dengan aroma tapioca dengan tekstur lebih lembut dan agak tipis, kemudian variabel IV memiliki warna putih keruh dengan aroma tapioca dan tekstur yang lebih lembut agak tipis, terkahir adalah variabel V yang berwarna bening beraroma tapioca dengan tekstur lembut dan agak tebal.

    Warna menjadi salah satu indikator uji karena akan mempengaruhi penampilan dari edible film meningat pengaplikasiannya pada bahan pangan. Edible film

    yang cerah akan memberikan keuntungan karena dapat menampakkan wujud produk

  • 24

    yang dikemas. Semakin cerah film, semakin mudah untuk memperlihatkan produk yang dikemas (Hastuti.1984). Dalam penelitian ini hanya variabel III dan V saja yang memiliki warna bening, sehingga akan menguntungkan saat diaplikasikan. Adapun perbedaan warna yang didapat dengan bahan yang padahal sama disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya pengotor / terjadinya browning hingga homogenitas campuran yang belum baik sehingga menunjukkan warna yang keruh.

    Aroma menjadi indikator uji kedua karena akan mempengaruhi flavor pada bahan yang akan dikemasnya. Pada penelitian ini, edible film yang dihasilkan dari

    kelima variabel masih berbau tapioka. Edible film yang baik seharusnya tidak beraroma mencolok karena dikhawatirkan akan menjadi aditif flavor sehingga mengubah rasa bahan yang dikemasnya namun tidak jarang yang direkayasa dengan menambahkan flavor tertentu agar memperbaiki rasa bahan pangan yang dikemas (Hastuti.1984). Aroma tapioka disini disebabkan karena memang dari komposisi bahannya pektin dan tapioka banyak jumlahnya sedangkan bahan yang lain hanya sedikit ditambahkan dan tidak berpengaruh pada aroma, sehingga dapat dikatakan bahwa kelima variabel belum layak untuk diaplikasikan ke bahan pangan karena masih beraroma tapioka.

    Uji organoleptik terakhir adalah tektur karena akan mempengaruhi penampilan dan rasa saat ditelan.Pada penelitian ini, edible film dari variable I dan II

    memiliki tekstur yang agak kasar, sedangkan variabel III dan IV memiliki tekstur yang lebih halus dan variabel V memiliki tekstur yang paling halus. Menurut Hastuti (1984), edible film yang baik adalah yang bertekstur halus karena akan baik penampilannya dan meningkatkan sensasi yang nikmat saat ditelan. Perbedaan tekstur yang didapat disebabkan oleh homogenitas campurannya dan plat pencetak, dimana jika terjadi pencampuran yang baik, maka semua komponen akan tercampur rata disamping itu penambahan asam stearat akan meningkatkan penyatuan matriks polimer sehingga tekstur yang dihasilkan akan makin halus, sedangkan plat pencetak yang memiliki permukaan yang kasar juga akan mempengaruhi tekstur edible yang didapat, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel V layak untuk diaplikasikan karena memiliki tekstur

    yang halus.

  • 25

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan Pada praktikum yang kami lakukan kita menggunakan bahan baku cincau hijau yang di ekstrak dengan solvent kemudian di dapat pektin cincau hijau untuk dioalah sebagai edible film. Berat pektin yang didapat secara berturut-turut 3,84 gr ; 6,41 gr ; 8,08 gr ; 10,26 gr ; 10,20 gr. Berdasarkan hasil penelitian yang didapat uji analisa menggunakan asam stearat menggunakan variabel 0%, 5%, 10%, 15%, 20% maka kita akan dapat mengetahui pengaruhnya terhadap sifat mekanik edible film. Hasil menunjukkan pada variabel I tanpa penambahan asam stearat didapatkan tebal edible 0.120 mm, uji pemanjangan 23.3% dan uji kelarutan 48 %. Pada variabel II dengan penambahan asam stearat 5% b/v pektin didapatkan ketebalan 0.126 mm, uji pemanjangan 20% dan uji kelarutan 46.7 %. Pada variabel III dengan penambahan asam stearat 10% b/v pektin didapatkan ketebalan 0.134 mm, uji pemanjangan 16.7% dan uji kelarutan 33.3 %. Pada variabel IV dengan penambahan asam stearat 15% b/v pectin didapatkan ketebalan 0.038 mm, uji pemanjangan 13.3% dan uji kelarutan 29.4 %. Pada variabel V dengan penambahan asam stearat 20% b/v pektin didapatkan ketebalan 0.046 mm, uji pemanjangan 10% dan uji kelarutan 19.1 %. Pada uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, dan tekstur dari kelima edible film (dapat dilihat di table 3) diperoleh hasil bahwa edible film pada variabel I berwarna putih keruh, beraroma tapioca, dengan tekstur agak kasar dan tipis,variabel II juga menunjukkan hasil yang sama dengan variabel I, sedangkan variabel III berwarna bening dengan aroma tapioca dengan tekstur lebih lembut dan agak tipis, kemudian variabel IV memiliki warna putih keruh dengan aroma tapioca dan tekstur yang lebih lembut agak tipis,

    terkahir adalah variabel V yang berwarna bening beraroma tapioca dengan tekstur lembut dan agak tebal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suhu optimal ekstraksi pektin adalah

    750C dengan berat 10.26 gram,, dan edible film yang baik ada pada variabel V dimana memiliki ketebalan yang tinggi, dengan elongasi , kelarutan dan uji organoleptik yang baik.

  • 26

    5.2 Saran Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat divariasikan kembali variabel-variabel lain dari plastisizernya, kompatibilizernya, bahan pengisinya, dan bahan utama yang dapat berasal dari hidrokoloid lain misalnya selulosa, gum, dan lain sebagainya maka akan didapatkan variabel mana yang berpengaruh terhadap sifat mekanik edibel film yang dihasilkan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Firdaus, Feris, Anwar, Chairil. 2004. Pektin Cincau Hijau sebagai Bahan Baku Film Plastik Biodegradable .Jurnal. Yogyakarta: Univesitas Gadjah Mada.

    Gatani, M.P,.Tonoli G.H.D., Freitas, Z.D., Battisti, M., Jr. Savanto H. 2009. Peanut Husks As raw Material For Cementitious Covering Panels. Non-conventional Materials and Technologies. Brazil: Universidade de Sao Paulo,

    Grant, C. A. dan R. J. Burns, 1994, Application of Coating, In: Krochta et al. (eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality, Technomic Publ Co. Int. Lancaster Basel, Pennsyliania, USA.

    Guilbert, S. and Biquet. 1996. Edible Films and Coating Pp. 315-353, ln: Bureav, G., and Multon (eds), J.L. Food Packaging Technology, Vol.1, VHC Publisher, Inc, New York.

    Kriswiyanti, A.E. dan R. D. Endah, 2009, Kinetika Hidrolisa Selulosa Dari Eceng Gondok Dengan Metode Arkenol Untuk Variabel Perbandingan Berat Eceng Gondok Dan Volume Pemasakan .Jurnal.Solo: Universitas Negeri Sebelas Maret.

    Khairunizar,Siti.2009. Peranan Pendispersi Asam Stearat Terhadap Kompabilitas Campuran Plastik Polipropilena Bekas Dengaan Bahan Pengisi Dekstrin .Skripsi.Medan : Universitas Sumatera Utara.

    Layuk, P., 2001, Karakterisasi Edible Film Komposit Daging Buah Pala (Myristica Fragrans Houtt) dengan Pektin Cincau Hijau.Tesis.Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yogyakarta (Tidak dipublikasikan).

    Page, D.S., Soendoro, R., 1995, Prinsip-prinsip Biokimia, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta.