DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………….. 2Daftar Isi ……………………………………………………………….... 3
BAB I Pendahuluan Latar belakang ……………………………………………………. …… 4
BAB II Laporan Kasus2.1 Identitas Pasien…………………………………………………… 52.2 Anamnesis……..........…………………………………………….. 52.3 Pemeriksaan Fisik ……..........……………………………………… 62.4 Pemeriksaan Penunjang…….……..........………………………….. 72.5 Diagnosis…….……..........………………………………………… 8
BAB III Tinjauan Pustaka3.1 Anatomi Medulla Spinalis……..........…………………………….. 93.2 Pengertian Cedera Medulla Spinalis……………………………… 133.3 Epidemiologi……………………………………………………… 173.4 Klasifikasi Cedera Medula Spinalis……………………………….. 183.5 Faktor Resiko………………………………………………………. 183.6 Gejala Klinik………………………………………………………. 193.7 Patofisiologi……………………………………………………….. 223.8 Medika Mentosa…………………………………………………… 263.9 Non MedikaMentosa……………………………………………… 283.10 Anestesi Umum…………………………………………………… 293.11 Definsi……...................................................................................... 293.12 Cara Anestesi……………………………………………………… 293.13 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum……………….. 303.14 Tahapan tindakan anestesi umum………………………………… 323.15 Stadium anestesi………………………………………………….. 383.16 Teknik anestesi umum……………………………………………. 393.17 Rumatan anestesi…………………………………………………. 453.18 Tatalaksana jalan nafas…………………………………………… 46
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung
ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk
oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan
sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti
pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara
ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini
disebut sebagai cedera medula spinalis. Trauma medula spinalis adalah cedera
pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan
lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat
menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.1
Data dari bagian rekam medik Rumah sakit umum pusat Fatmawati
didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003, angka
kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di
dalamnya termasuk angka kejadian untuk cedera medulla spinalis yang berjumlah
20 orang (12,5%). Pada usia 45 tahun fraktur terjadi pada pria dibandingkan pada
wanita karena olahraga, pekerjaan dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan
ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang
diasosiasikan dengan perubahan hormonal (menopose). Vertebra yang paling
sering mengalami cedera adalah medulla spinalis pada daera servikal (leher) ke
5,6 dan 7, Torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini paling rentang karena
ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral dalam area ini.
Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%) dan cedera
yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya akibat kekerasan dan
kecelakaan kerja. Hampir 40%-50% trauma medulla spinalis mengakibatkan
defisit neurologis, sering menimbulkan gejala yang berat, dan terkadang
menimbulkan kematian.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 20 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Blondo 1 mungkat, Magelang
Agama : Islam
Pekerjaan : TNI
Tanggal Masuk : 18 April 2016
2.2 ANAMNESIS
Diperoleh dengan cara autoanamnesis dan alloanamnesis pada hari senin tanggal 18
April 2016 pukul 16.00 WIB.
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang sejak 1 hari
SMRS
Keluhan Tambahan :Pasien terasa baal didaerah pinggang sampai bawah
dan sulit untuk digerakkan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD hari Senin, 18 April 2016 dengan keluhan nyeri pinggang
sejak 1 hari SMRS setelah kejadian kecelakaan lalu lintas, disertai dengan rasa baal
didaerah pinggang sampai bawah dan sulit untuk digerakan, BAB susah , BAK
susah , muntah -. Mual -
4
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat hipertensi (+), DM (-), alergi (-), penyakit paru-paru (-),
penyakit jantung (-), Penyakit kuning (-), Asma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku Ht (-), DM (-) penyakit paru-paru (-), penyakit jantung (-), Asma
(-), penyakit hati (-)
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah berobat sebelumnya.
2.3. PEMERIKSAAN FISIK
Hasil pemeriksaan fisik di UGD pada tanggal 18 April 2016 pada jam 16.00 WIB.
I. Keadaan Umum
a. Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. GCS : E4 V5 M3-4
d. Sikap pasien : Kooperatif
II. Tanda Vital dan Antropometri
PEMERIKSAAN NILAI
NORMAL
HASIL PASIEN
Suhu 36,50 – 37,20 C 36,10 C
Nadi 60-100 x/mnt 84 x/mnt, reguler, isi cukup,
equivalen
Tekanan darah 120/80 mmHg 131/56 mmHg
Nafas 14-18x/menit 18 x/menit
Tabel 1. Tanda vital dan antropometri di UGD
Berat badan : 62 kg
Tinggi badan : 170 cm
5
III. Status Generalis
Kepala : Normal
Mata : Normal
Telinga : Normal
Hidung : Normal
Mulut : Normal
Leher : Ukuran panjang 8-10 cm
Thorax
Paru : Normal
Jantung : Normal
Abdomen : Normal
Ekstremitas : Terasa baal dari daerah pinggang ke bawah
Status Neurologi : Nyeri di daerah pinggang
Muskuloskeletal : Normal
2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium di UGD tanggal 18 April 2016.
DARAH RUTIN
Hemoglobin : 15.3 gr/dL
Hematocrit : 46 %
Leukosit : 15.000 ul
Trombosit : 295.000 ul
Massa pembekuan / CT : 3’ 00’’
Massa perdarahan / BT : 12’ 30’’
6
Foto MRI
Deskripsi : Tampak fraktur kompresi pada lumbal 1 berbentuk wedges.
2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis : fraktur kompresi lumbal 1
7
2.6 TATALAKSANA ANESTESI DI RUANG OPERASI
Persiapan pra anestesi
Pasang alat EKG, saturasi O2, infusan RL 20 tpm, dan alat tensimeter .
Persiapan alat-alat intubasi inhalasi endotrakeal tube.
Anestesi endotrakeal tube dimulai
Posisi pasien supine, diberi oksigen selama 5 menit
Diberikan obat premedikasi midazolam dormicum 2,5 mg.
Diberikan obat pre entive analgesic berupa fentanyl 75 mg.
Dilakukan indukasi dengan propofol 100 mg sampai denga reflek bulu mata –
Diberikan assist ventilasi dengan sungkup.
Diberikan obat pelumpuh otot noveron 30 mg
Dilakukan ventilasi sampai dengan kondisi otot-otot rileks.
Dilakukan intubasi dengan ETT no 7,5
Cek suara nafas kanan dan kiri.
Fixasi
Maintenance anestesi dengan O2 – N2O = 2:2 dan isoflurane = 1%.
Nafas kendali dengan mesin
Pasien dipindahkan dengan posisi pronasi.
Cek alat intubasi.
Diberikan obat tambahan selama operasi seperti ondansetron 4 mg, ranitidine
50 mg, dexamethasone 5 mg, asam tranexamat 500 mg.
Operasi selesai, beri oksigen selama 5 menit, inhalasi stop.
Nafas adekuat spontan, extubasi, oksigenasi.
Selesai.
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Medula Spinalis dan Dermatom
Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.
Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak di
canalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid
dan piamater. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen
spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla
spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior dimulai dari bagian
foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla
oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Dibawah
medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang
merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan
melekat dibagian belakang os coccygea. Akar syaraf lumbal dan sakral
terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar
melalui foramen intervertebral. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra
dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan LCS (liquor cerebrospinal).3-6
Gambar 1. Anatomi Medula spinalis4
9
Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui
radix anterior atau radix motorik dan radix posterior atau radix sensorik. Masing-
masing radix melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang
membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai. Masing-
masing radix saraf memiliki sebuah ganglion radix posterior, yaitu sel-sel yang
membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu
: 3-6
a. 8 pasang saraf servikal,
b. 12 pasang saraf torakal,
c. 5 pasang saraf lumbal,
d. 5 pasang saraf sacral dan
e. 1 pasang saraf coxigeal.
Gambar 1. 31 pasang saraf spinal.4
Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea)
yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang,
substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu anterior atau
posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis.
Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis
merupakan akar ventral dan dorsal dari syaraf spinal. Substansi grisea mengandung
10
badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, syaraf sensoris dan
motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian Posterior sebagai input atau afferent,
anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang dan
substansi alba merupakan kumpulan serat syaraf bermyelin. Fungsi medula spinalis :3-
6
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis.
b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan respon
bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun eksternal untuk
mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks yang melibatkan otot
rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks yang melibatkan otot polos, otot
jantung atau kelenjar disebut refleks otonom atau visceral.
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
11
Fungsi lengkung refleks : 3-6
a. Reseptor: penerima rangsang.
b. Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat (ke
pusat refleks).
c. Pusat refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis: substansia grisea),
tempat terjadinya sinap (hubungan antara neuron dengan neuron dimana terjadi
pemindahan atau penerusan impuls).
d. Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila sel
efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga neuron motorik (sel saraf atau
penggerak).
e. Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban refleks.
Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka), sel kelenjar.
DERMATOM
Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang
dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal juga
membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ dalam, dan
12
kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut dialihkan ke
dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.7
Gambar 3. Standard Neurological Clasification of Spinal Cord Injury7
. 3.2 Cairan Serebrospinal
Pembentukan, Sirkulasi dan Absorpsi Cairan Serebrospinal (CSS)Cairan serebrospinal
(CSS) dibentuk terutama oleh pleksus khoroideus, dimana sejumlah pembuluh
darah kapiler dikelilingi oleh epitel kuboid/kolumner yang menutupi stroma di
bagian tengah dan merupakan modifikasi dari sel ependim, yang menonjol ke
ventrikel. Pleksus khoroideus membentuk lobul-lobul dan membentuk seperti daun
pakis yang ditutupi oleh mikrovili dan silia. Tapi sel epitel kuboid berhubungan satu
sama lain dengan tigth junction pada sisi aspeks, dasar sel epitel kuboid terdapat
membran basalis dengan ruang stroma diantaranya. Ditengah villus terdapat endotel
yang menjorok ke dalam (kapiler fenestrata). Inilah yang disebut sawar darah LCS.
. Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya ultrafiltrat plasma di
luar kapiler oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian ultrafiltrasi diubah
13
menjadi sekresi pada epitel khoroid melalui proses metabolik aktif. Mekanisme
sekresi CSS oleh pleksus khoroideus adalah sebagai berikut: Natrium
dipompa/disekresikan secara aktif oleh epitel kuboid pleksus khoroideus sehingga
menimbulkan muatan positif di dalam CSS. Hal ini akan menarik ion-ion bermuatan
negatif, terutama clorida ke dalam CSS. Akibatnya terjadi kelebihan ion di dalam
cairan neuron sehingga meningkatkan tekanan somotik cairan ventrikel sekitar 160
mmHg lebih tinggi dari pada dalam plasma. Kekuatan osmotik ini menyebabkan
sejumlah air dan zat terlarut lain bergerak melalui membran khoroideus ke dalam
CSS. Bikarbonat terbentuk oleh karbonik abhidrase dan ion hidrogen yang
dihasilkan akan mengembalikan pompa Na dengan ion penggantinya yaitu Kalium.
Proses ini disebut Na-K Pump yang terjadi dgnbantuan Na-K-ATP ase, yang
berlangsung dalam keseimbangan. Obat yang menghambat proses ini dapat
menghambat produksi CSS. Penetrasi obat-obat dan metabolit lain tergantung
kelarutannya dalam lemak. Ion campuran seperti glukosa, asam amino, amin
danhormon tyroid relatif tidak larut dalam lemak, memasuki CSS secara lambat
dengan bantuan sistim transport membran. Juga insulin dan transferin memerlukan
reseptor transport media. Fasilitas ini (carrier) bersifat stereospesifik, hanya
membawa larutan yang mempunyai susunan spesifik untuk melewati membran
kemudian melepaskannya di CSS.
. Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif. Kalium
disekresi ke CSS dgnmekanisme transport aktif, demikian juga keluarnya dari CSS
ke jaringan otak. Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor ke CSS dan jaringan otak
juga terjadi terutama dengan mekanisme transport aktif, dan konsentrasinya dalam
CSS tidak tergantung pada konsentrasinya dalam serum. Perbedaan difusi
menentukan masuknya protein serum ke dalam CSS dan juga pengeluaran CO2. Air
dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan juga pengeluaran CO2. Air
dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan ruang interseluler, demikian
juga sebaliknya. Hal ini dapat menjelaskan efek cepat penyuntikan intervena cairan
14
hipotonik dan hipertonik.
. Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan terbanyak
terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit) terdapat di atap
ventrikel III dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh ventrikel lateral sekitar
95%. Rata-rata pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS bukan hanya ultrafiltrat dari
serum saja tapi pembentukannya dikontrol oleh proses enzimatik.
. CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke dalam
ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam ventrikel IV.
Tiga buah lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel lateral
(foramen luschka) yang berlokasi pada atap resesus lateral ventrikel IV dan foramen
ventrikuler medial (foramen magendi) yang berada di bagian tengah atap ventrikel
III memungkinkan CSS keluar dari sistem ventrikel masuk ke dalam rongga
subarakhnoid. CSS mengisi rongga subarakhnoid sekeliling medula spinalis sampai
batas sekitar S2, juga mengisi keliling jaringan otak. Dari daerah medula spinalis
dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju sisterna basalis, sisterna ambiens,
melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas dan samping serebri
dimana sebagian besar CSS akan diabsorpsi melalui villi arakhnoid (granula
Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior. Yang mempengaruhi alirannya
adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik aliran darah dan perubahan dalam
tekanan osmotik darah.
CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran adrah vena dalam sinus. Villi
arakhnoid berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS dari satu arah, dimana
semua unsur pokok dari cairan CSS akan tetap berada di dalam CSS, suatu proses
yang dikenal sebagai bulk flow. CSS juga diserap di rongga subrakhnoid yang
mengelilingi batang otak dan medula spinalis oleh pembuluh darah yang terdapat
pada sarung/selaput saraf kranial dan spinal. Vena-vena dan kapiler pada piameter
mampu memindahkan CSS dengan cara difusi melalui dindingnya. Perluasan rongga
15
subarakhnoid ke dalam jaringan sistem saraf melalui perluasaan sekeliling pembuluh
darah membawa juga selaput piametr disamping selaput arakhnoid. Sejumlah kecil
cairan berdifusi secara bebas antara cairan ekstraselluler dan css dalam rongga
perivaskuler dan juga sepanjang permukaan ependim dari ventrikel sehingga
metabolit dapat berpindah dari jaringan otak ke dalam rongga subrakhnoid. Pada
kedalaman sistem saraf pusat, lapisan pia dan arakhnoid bergabung sehingga rongga
perivaskuler tidak melanjutkan diri pada tingkatan kapiler.
3.2 Pengertian Cedera Medula Spinalis
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis
akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem
motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa
kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa
hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh
level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan
pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi sexual.3,7,10
Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:7
Grade A Hilangnya seluruh fungsi morotik
dan sensorik dibawah tingkat lesi
Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik
dan sebagian fungsi sensorik di
bawah tingkat lesi.
Grade C Fungsi motorik intak tetapi dengan
kekuatan di bawah 3.
Grade D Fungsi motorik intak dengan
kekuatan motorik di atas atau sama
dengan 3.
Grade E Fungsi motorik dan sensorik
16
normal.
Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel
Score.3,10
Frankel Score A kehilangan fingsi motorik dan sensorik
lengkap
(complete loss).
Frankel Score B Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik
utuh.
Frankel Score C Fungsi motorik ada tetapi secara praktis
tidak berguna (dapat menggerakkan
tungkai tetapi
tidak dapat berjalan).
Frankel Score D Fungsi motorik terganggu (dapat
berjalan tetapi tidak dengan normal
”gait”).
Frankel Score E Tidak terdapat gangguan neurologik.
Skala kerusakan berdasarkan American Spinal Injury
Association/International Medical society of Paraplegia (IMSOP)
Grade Tipe Gangguan spinalis
ASA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi sensorik
dan motorik sampai S4-5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih
baik tapi fungsi motorik
terganggu sampai segmen
17
sacral S4-5
C Inkomplit Fungsi motoik terganggu
dibawah level, tapi otot-
otot motorik utama masih
punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu
dibawah level, otot-otot
motorik utamanya punya
kekuatan > 3
E Normal Fungsi sensorik dan
motorik normal
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :7
a. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena
kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
b. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik
karena kerusakan pada segment cervikal.
Spesifik Level7
1. C1 – C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).
2. C3 – C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas hilang.
3. C5 – C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.
4. C6 – C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).
18
5. C7 – C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-).
6. Th1 – L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi
tungkai (-), fungsi seksual (-).
7. Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi
seksual tergantung radiks yang rusak.
Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu :3,7,9,10
Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan
Central cord syndrome Cedera pada posisi
sentral dan sebagian
pada daerah lateral.
Dapat sering terjadi
pada daerah servikal
Menyebar ke daerah sacral.
Kelemahan otot ekstremitas atas
dan ekstremitas bawah jarang
terjadi pada ekstremitas bawah
Brown- Sequard Syndrome Anterior dan posterior
hemisection dari
medulla spinalis atau
cedera akan
menghasilkan medulla
spinalis unilateral
Kehilangan ipsilateral
proprioseptiv dan kehilangan
fungsi motorik.
Anterior cord syndrome Kerusakan pada
anterior dari daerah
putih dan abu- abu
medulla spinalis
Kehilangan funsgsi motorik dan
sensorik secara komplit.
19
Posterior cord syndrome Kerusakan pada
anterior dari daerah
putih dan abu- abu
medulla spinalis
Kerusakan proprioseptiv
diskriminasi dan getaran. Funsgis
motor juga terganggu
Cauda equine syndrome Kerusakan pada saraf
lumbal atau sacral
samapi ujung medulla
spinalis
Kerusakan sensori dan lumpuh
flaccid pada ekstremitas bawah
dan kontrol berkemih dan
defekasi.
3.3 Epidemiologi
Cedera medulla spinal adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 prang di Amerika serikat, dengan perkiraan 10.000
cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia
muda sekitar lebih 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian rekam medic
Rumah sakit umum pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung
dari Januari sampai Juni 2003, angka kejadian angka kejadian untuk fraktur
adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk
cedera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).2
3.4 Klasifikasi Cedera medula spinalis
Klasifikasi Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
A. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan,
merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan
beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American
Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal
Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur,
dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra. 3,7,9,10
20
B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,
atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh
gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan. 3,7,9,10
3.5 Faktor Resiko
A. Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan : Cedera tulang tulang belakang
mempengaruhi jumlah yang tidak proporsional pria. Bahkan, perempuan
account hanya sekitar 20 persen dari trauma cedera tulang belakang di
Amerika Serikat. 3,7,9,10
B. Menjadi antara usia 16 dan 30 : Banyak terjadi cedera tulang belakang
traumatis jika berusia antara 16 dan 30. Kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab utama cedera tulang belakang untuk orang di bawah 65,
sementara jatuh penyebab paling cedera pada orang dewasa yang lebih tua. 3,7,9,10
C. Terlibat dalam perilaku berisiko : Menyelam ke dalam air terlalu dangkal atau
bermain olahraga tanpa mengenakan peralatan keselamatan yang tepat atau
mengambil tindakan pencegahan yang tepat dapat menyebabkan cedera tulang
belakang. 3,7,9,10
D. Memiliki tulang atau kelainan sendi : Sebuah cedera yang relatif kecil dapat
menyebabkan cedera tulang belakang jika Anda memiliki gangguan lain yang
mempengaruhi tulang atau sendi, seperti arthritis atau osteoporosis. 3,7,9,10
3.6 Gejala Klinik
Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada
daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami gangguan
fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya
21
sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau
menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang terjadi.
Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau merusak jalur jalannya
saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi
trauma tumpul yang mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya
fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau
beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian menyebabkan timbulnya
kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya
menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot
tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid).
Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot
yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). 3,7,9,10
Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa
menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi
secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan
tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan
meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada
tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena
menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang
spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. 3,7,9,10
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian syaraf oleh
fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf
pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur
axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam
beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga
perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. 3,7,9,10
22
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan
hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor,
keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta
ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika
urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi
dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi.3,7,9,10
Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka
tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh
refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik
refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini
terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal
shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak
terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit,
spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak
melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula
spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul
gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi
ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul
gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi
ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai cauda equina, di samping itu juga
masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi
seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 3,7,9,10
Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu : 3,7,9,10
1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia.
23
2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan
reflek tendon myotome.
3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan sapstic
blader dan bowel.
4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.
5. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke duduk,
Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
6. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan
hipotensi.
7. Skin problem menyangkut adanya decubitus.
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu
diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada
C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8
akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal,
otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan
sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot
intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu efektivitas kinerja otot
pernafasan menurun. 3,7,9,10
Selain itu mengganggu fungsi sistem kardiovaskular dimana terjadi karena
gangguan jalur otonom, terjadi pada lesi setinggi cervical dan thoracal. Akibat
disfungsi simpatis yang mempengaruhi fungsi jantung dan dinding vascular,
hilangnya control simpatis supraspinal mengakibatkan aktivitas simpatis
menurun. Lesi setinggi cervical dan thoracal mengakibatkan tonus vasomotor
menurun sehingga mengakibatkan hipotensi. 3,7,9,10
24
Fungsi sistem urinaria terganggu dimana bila terjadi lesi setinggi S2 dan
S4. Dimana bila terjadi lesi setinggi S2 akan mengakibatkan otot detrusor vesika
urinaria mengalami kelemahan tipe LMN sehingga otot detrusor melemah
sedangkan S4 mengatur spinkter urinaria eksterna berkontraksi karena bersifat
spastic, akan mengakibatkan retensi urin. Sedangkan bila lesi setinggi S4 akan
mengakibatkan SUE melemah (membuka) sedangkan fungsi dari otot VU normal
maka akan mengakibatkan inkontinensia urin. 3,7,9,10
Lesi pada badan sel parasimpatis di conus medularis, axon parasimpatis
di cauda equine dan axon somatic pudendus setinggi T10, fungsi pembentukan
fese terganggu, karena mempengaruhi dinding usus, pada lesi tersebut diatas akan
mengakibatkan tipe LMN, dimana feces lebih kering dan bundar, resiko tinggi
inkontinensia akibat rendahnya tonus spinkter ani. Lesi setinggi diatas conus
medularis akan mengakibatkan lesi tipe UMN, dimana terjadi overaktivitas
peristaltic usus, retensi fecal akibat spastic spinkter ani. 3,7,9,10
3.7. Patofisiologi
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi
akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera
berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu,
intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window
period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam
setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer
energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma
yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit
setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan
perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan
kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat
25
traktus. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid
endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi
inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera
medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik. 3,7,9,10
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari
cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan
kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan
sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam
nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan
rusaknya membran sel. Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera
sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf.
Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari
enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan
kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid
endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan
bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki
penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-
zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor,
serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan
merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder. Bila bagian cervical 1-4
yang terkena mengakibatkan pola nafas menjadi efektif dan kelumpuhan total dan
kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil. 3,7,9,10
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio,
Spina Bifida, Friedreich dari ataxia) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena
fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash atau trauma indirek.
26
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang
belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang
belakang bagian cervikalis bawah maupun thorakalis bawah misalnya pada waktu
duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara
mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat
mengakibatkanparaplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri
vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis
yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusion, laseratio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan atau
mengeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla
spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari
jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau
fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla
spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.3,7,9,10
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis
vertebralis.
27
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat
mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan
yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia
radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang
belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler
dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan
menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.3,7,9,10
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut : 3,7,9,10
1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi
oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma
hiperekstensi.
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada
jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis
terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan
gangguan aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior
dan posterior.
3.8 Medika Mentosa
1. Methylprednisolone merupakan pilihan pengobatan untuk cedera tulang
belakang akut. Jika metilprednisolon diberikan dalam waktu delapan jam
dari cedera, beberapa orang mengalami perbaikan ringan. Tampaknya
untuk bekerja dengan mengurangi kerusakan pada sel-sel saraf dan
mengurangi peradangan di dekat lokasi cedera. Namun, itu bukan obat
28
untuk cedera tulang belakang. Berikan metil prednisolon : dosis 30 Mg/
Kgbb, IV perlahan-lahan selama 15 menit. Metil prednisolon mengurangi
kerusakan membran sel yang berkontribusi pada kematian neuron,
mengurangi infalamasi dan menekan aktifitas sel-sel imun yang
mempunyai kontribusi serupa pada kerusakan neuron dan peningkatan
sekunder asam arakidonat mencegah peroksidasi lemak pada membran
sel. Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan
untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan
oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian
penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika
masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. 8,9,10
2. Bila terjadi spastisitas otot, berikan : Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen
3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara
tradisional digunakan untuk mengobati gangguan musculoskeletal yang
menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.8,9,10
3. Bila ada rasa nyeri bisa diberikan : Analgetika golongan NSAIDs (anti
inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan
untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena
sering terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan
gastrointestinal. Opioid analgetik umumnya aman bila digunakan dengan
tepat, dan efek samping yang serius yang relative jarang terjadi.
4. Antidepresan trisiklik : digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk
mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala. Seperti
amitriptilin.
B. Non Medika Mentosa
1. Fisioterapi :
29
Fisioterapi dapat berperan sejak fase awal terjadinya trauma sampai
pada tahap rehabilitasi. Pada penderita SCI kerusakan yang terjadi pada
medulla spinalis bersifat permanen, karena seperti yang kita ketahui bahwa
setiap kerusakan pada sistem saraf maka tidak akan terjadi regenerasi dari
sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem tersebut akan tetap rusak
walaupun ada regenerasi akan kecil sekali peluangnya. Berdasarkan hal
tersebut maka intervensi yang diberikan oleh fisioterapi pun bertujuan untuk
meningkatkan kemandirian pasien dengan kemampuan yang dimilikinya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Peran fisioterapis menurut
KepMenKes 1363 Pasal 1 ayat 2 adalah bentuk pelayanan kesehatan yang
ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan,
memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur
kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan
gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi,
komunikasi . Selama tahap awal rehabilitasi, terapis biasanya menekankan
pemeliharaan dan penguatan fungsi otot yang ada, pembangunan kembali
keterampilan motorik halus dan belajar teknik adaptif untuk menyelesaikan
tugas-tugas sehari-hari. 8,9,10
2. Operasi :
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada
kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi : 8,9,10
a. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
b. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen
tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah
dilakukan traksi yang adekuat. 8,9,10
c. Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh
30
herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan
mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya. 8,9,10
d. Fragmen yang menekan lengkung saraf.
e. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
f. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada
mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan,
harus dicurigai hematoma. 8,9,10
3.10. Anestesi Umum Yang Digunakan Pada Cedera Medulla Spinalis
3.11. Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Srpada tahun 1846.
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan,mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang
ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
3.12 Cara anestesi
Umur
o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
31
o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan
dilakukan dengan anestesi local atau umum
Status fisik
o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah
pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah
ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.
o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum
endotrakeal.
Posisi pembedahan
o Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
o Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif
untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi,
pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
Keinginan pasien
Bahaya kebakaran dan ledakan
o Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif
adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.
32
1.14 TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM
a. Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
b. Penilaian pra bedah
A. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan
digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu
tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.
33
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
system organ tubuh pasien.
C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)
dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG
dan foto thoraks.
D. Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang
tidak perlu harus dihindari.
E. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping
anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
yang akan dilakukan operasi. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan
lekositosis dan febris.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang sampai berat
yang menganggu aktivitas. Contohnya: pasien appendisitis
perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan
iskemia miokardium.
34
Kelas IV : Pasien yang akan dilakukan operasi / anestesi dengan
kelainan fisik / sistemik sedang sampai berat yang mengancam
kehidupan. Contohnya: Pasien dengan syok atau dekompensasi
kordis.
Kelas V : Pasien yang dioperasi atau tidak dalam 12 jam
kemungkinan meninggal
Kelas VI : pasien yang mati batang otak dan akan diambil
organnya untuk transplantasi.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE
atau IIE
F. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)
selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.
c. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
35
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
6. Mengurangi rasa sakit
d. Waktu dan cara pemberian premedikasi:
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat
dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum
induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua
obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan
sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi
dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
36
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
1. Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,
fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan
lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil
dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik
lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal
yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor
opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk
menimbulkan neureptanalgesia.
2. Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali
melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan,
sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.
3. Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg BB
analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk
anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB
digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi
bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang
tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.
4. Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat
dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol
Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
37
e. Induksi Anastesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau
rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S :Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T :Tube Pipa trakea. pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A :Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I :Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C :Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S :Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
3.16. TEKNIK ANESTESI UMUM
38
a. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal
tube) kedalam trakea via oral atau nasal.
Indikasi; operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian
leher dan kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Teknik Intubasi :
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi
sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau
angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dari luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. fixasi alat dengan plester.
11. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas( alat
resusitasi )
39
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :
Obat-obat induksi intravena:
a. Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5%
( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien
berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
b. Propofol (diprivan, recofol)
FARMAKOKINETIK
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome
P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga
ekstrahepatik. Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan
40
inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan
melalui ginjal. Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol
yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4
hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat
diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang
lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8
jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh
minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus
dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi.
Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak
setelah pemberian melalui intravena.
FARMAKODINAMIK
Efek propofol terhadap tubuh bergantung pada konsentrasi propofol dalam
darah. Konsentrasi propofol ini biasanya merupakan proporsi dari rata-rata infus,
khususnya dalam pasien secara individu. Efek Hemodynamic selama induksi dari
anestesi beragam. Jika terjadi ventilasi spontan, efek kerdiologiknya adalah hypotensi
( turun 30%) dengan sedikit atau tidak adanya perubahan denyut jantung. Jika
ventilasi terkontrol, besarnya kejadian dari penurunan cardiac output meningkat. Oleh
karena itu diberikan premedikasi potent opioid ( fentanyl).
- Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi
(2mg /kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat.
- Pada sistem kardiovaskular
Dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat
turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi, pengaruh terhadap frekuensi
jantung juga sangat minim.
- Pada Sistem pernafasan
41
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan
INDIKASI
1. Induksi dan maintenance dari anestesi orang dewasa
2. Induksi anestesi anak-anak > 3 tahun
3. Maintenance anestesi pasien pediatri minimal 2 bulan
4. Inisiasi dan maintenance dari anestesi monitor dengan sedasi pada orang
dewasa, sedasi pada intubasi atau pasien ICU dengan ventilator terkontrol
KONTRAINDIKASI
Propofol kontraindikasi terhadap pasien yang diketahui hipersensitif terhadap
propofol dan komponennya. Karena propofol adalah sebuah emulsi lemak, sebaiknya
digunakan pada kondisi dimana metabolisme lemak tidak terganggu, contohnya
seperti hiperlipidemia patologis ataupun alergi terhadap telur dan minyak kedelai.
Peningkatan tekanan intrakranial juga merupakan kontraindikasi terhadap
penggunaan propofol.
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic
dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3
tahun dan pada wanita hamil.
c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi
42
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml =
100 mg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid
digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi inhalasi
A. N2O
(gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk
gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat
udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah,
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi
dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.
B. Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup
dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10%
sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
43
inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan
menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
C. Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi
lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
disbanding halotan.
D. Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah
otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,
sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner.
E. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti
isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
F. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi disamping halotan.
a. Intubasi trakea
44
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea
antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret
jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
b. Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
c. Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
45
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
f. Ekstubasi
Ekstubasi ada 2 macam :
1. Ekstubasi sadar jika
- pasien sadar penuh
- respon terhadap rangsangan ada
- reflex reflex ada
2. Ekstubasi dalam
- keadaan pasien teranastesi dalam
- respoin terhadap rangsangan tidak ada
- reflex-refleks belum ada
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta: Perdosi ; 2006.h.19-22.
2. Cedera medulla Spinalis. Diunduh dari :
http://www.artikelkedokteran.net/2011/01/cedera-medula-spinalis.html. 2013.
3. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat; 2003.h. 35-36.
4. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer
Assiciates; 2002.h.23-36, 277-283.
5. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-
42.
46
6. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi
ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.
7. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari :
http://sci.rutgers.edu. 2008.
8. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian
Rakyat; 2005.h.115-116.
9. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.
Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical
Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord
Medicine. Vol. 31. 2006.
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis
dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.
11. Zuhardi, T.B, Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin
Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 3-5.
12. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan
darurat dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 6-9.
13. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI 2009. Anastetik Umum,
dalam Farmakologi dan Terapi. Balai penerbit FKUI , Jakarta. Hal 122-138.
14. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta.
15. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Anestesiologi,
1989, Jakarta.
16. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2009.
47
Recommended