BAB I
PENDAHULUAN
Delirium adalah kondisi yang sering dijumpai di rumah sakit. Sindrom ini sering tidak
terdignosis dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat kurangnya kewaspadaan
keluarga) maupun saat pasien berada di unit gawat darurat atau unit rawat jalan. Gejaladan
tanda yang tidak khas merupakan salah satu penyebabnya. Setidaknya 32 – 67 % dari
sindrom ini tidak dapat terdiagnosis oleh dokter. Padahal kondisi ini dapat dicegah. Literature
lain menyebutkan 70 % dari kasus sindrom delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi oleh
dokter. Sindrom delirium sering muncul dalam keluhan utama atau tidak jarang justru terjadi
pada hari pertama pasien dirawat dan menunjukkan gejala yang berfluktuasi.
Prevalensi sindrom delirium di ruang geriatric RSCM adalah 23 % (tahun 2004)
sedangkan insidennya mencapai 17 % pada pasien yang sedang dirawat inap (tahun 2004).
Sindrom delirium mempunya dampak buruk, tidak saya dapat meningkatkan resiko kematian
sampai 10 kali lipat namun juga karena memperpanjang masa rawat serta meningkatkan
kebutuhan perawatan ( bantuan ADL) dari petugas kesehatan.
Kepentingan untuk mengenali delirium dalah (1) lebutuhan klinis untuk
mengidentifikasi dan menobati penyebab dasar dan (2) kebutuhan untuk mencegah
perkembangan komplikasi yang berhubungan dengan delirium.
1
BAB II
DELIRIUM
I. DEFINISI
Delirium adalah diagnosis klinis gangguan otak difus yang dikarakteristikkan dengan
variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran,
biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan mood,
persepsi dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor, asteriksis, nistagmus,
inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum.
Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak ( beberapa jam atau hari),
perjalanan yang singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab
diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi masing-masing ciri karakteristik tersebut dapat
bervariasi pada pasien individual.delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia namun
tersering pada usia diatas 60 tahun. Mengigau merupakan gejala sementara dan dapat
berfluktuasi intesitasnya, kebanyakan kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau
kurang. Akan tetapi jika delirium dengan fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat
jarang dan dapat menjadi progresif kearah dementia.
II. EPIDEMIOLOGI
Delirium merupakan kelainan yang sering pada :
Sekitar 10 – 15 % adalah pasien bedah, 15 – 25 % pasien perawatan medis di rumah
sakit. Sekitar 30 % dirawat di ICU bedah dan ICU jantung, 40 -50 % pasien yang
dalam masa penyembuhan dari tindakan bedah pelvis memiliki episode delirium.
Yang tertinggi yaitu 90 % ditemukan pada pasien post cardiotomy.
Penyebab dari pasca operasi delirium termasuk dari stress dari pembedahan, sakit
pasca operasi, pengobatan anti nyeri, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, demam
dan kehilangan darah.
Sekitar 20 % pasien dengan luka bakar berat dan 30 – 40 % pasien dengan
imunodefisisensi (AIDS)
Usia lanjut merupakan faktor resiko terjadinya delirium, sekitar 30 – 40 % dari pasien
yang dirawat berusia 65 tahun dan memiliki episode delirium.
III. ETIOLOGI
Penyebab utama delirium :
2
1. Penyakit pada Central Nervus System (CNS) : encephalitis, space occupying lesions,
peningkatan tekanan intrakranial setelah episode epilepsi.
2. Demam : penyakit sistemik
3. Intoksikasi dari obat-obatan atau zat toksik
4. Withdrawal alkohol
5. Kegagalan metabolik : cardio, respiratori, renal, hepatik dan hipoglikemi.
Faktor predisposisi :
1. Dementia
2. Multiple medications
3. Usia lanjut
4. Penyakit neurologis seperti stroke, penyakit parkinson
5. Gangguan penglihatan dan pendengaran
6. Ketidakmampuan fungsional
7. Ketergantungan alkohol
8. Isolasi sosial
9. Kondisi ko-morbid multiple
10. Depresi
11. Riwayat delirium pos-operasi sebelumnya
Faktor pencetus (presipitasi)
Penyakit akut berat :
1. Infeksi : 10 – 35 %
2. Intoksikasi obat atau racun : 22 – 39 %
3. Withdrawal benzodiazepin
4. Withdrawal alkohol + defisiensi thiamin
5. Encephalopati metabolik : 25 %
6. Gangguan elektrolit dan gangguan keseimbangan asam basa
7. Hipoglikemi
8. Hipoksia atau hiperkapnia
9. Gagal ginjal atau hepar
Polifarmasi
Bedah dan anestesi
Nyeri post operasi yang tidak terkontrol dengan baik
Neurologis 8 % ( anoksia,stroke, epilepsi dll)
Perubahan dari lingkungan keluarga
3
Sleep deprivation
Albumin serum rendah
Demam / hipotermia
Hipotensi perioperatif
Pengekangan fisik
Kardiovaskuler
Tidak ditemukan penyebab
Medikasi terkait delirium :
Beberapa jenis obat-obatan baik yang resmi atau terlarang yang dapat menyebabkan delirium
antara lain :
1. Sedatif hipnotik
Benzodiazepin
Kloralhidrat, barbiturat
Anti kolinergik
Benztropin, oksibutirin
2. Antihistamin : difenhidramin
3. Antispasmodik : belladona, propanthelin
4. Fenothiazin : thioridazin
5. Antidepresan
6. Antiparkinson : levodopa, amantadin,pergolid, bromokriptin
7. Analgetik : opiat (khususnya petidin), jarang : NSAID, aspirin
8. Obat anastesi
9. Antipsikotik : khususnya berefek antikolinergik misal klozapin
10. Staroid : tergantung dosis
11. Antagonis histamin-2 : khususnya simetidin, tetapi juga golongan ranitidin
12. Antibiotik : aminoglikosida, penisilin, sefalosporin, sulfonamid, dan beberapa
florokuinolon seperti siprofloksasin
13. Obat kardiovaskuler dan antihipertensi : digoxin,amiodaron, propanolol, metildopa
14. Antikonvulsan : fenitoin, karbamazepin, valproat, pirimidin, klonazzeam, klobazam.
15. Lain-lain : lithium,flunoksilin, metoclopramid, imunosupresan
IV. PATOFISIOLOGI
4
Tanda dan gejala delirum merukana manifestasi dari gangguan neuronal, biasanya
melibatkan area di korteks cerebri dan reticular activating sistem. Dua mekanisme yang
terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan neurotransmitter yang
berlebihan (kolinergik muskarinik dan dopamin) serta jalannya impuls yang abnormal.
Aktivitas yang berlebih dari neuron kolinergik muskarinik pada reticular activating system,
korteks dan hipokampus berperan pada gangguan fungsi kognisis (disorientasi, berpikir
konkrit dan inattention) dalam delirium.
Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali dopamin yang berkurang
misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya peningkatan dopamin yang abnormal
ini dapat bersifat neurotoksik melalui produksi oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu
neurotransmitter eksitasi. Adanya gangguan neurotrasmitter menyebabkan hiperpolarisasi
membran yang akan menyebabkan penyebaran depresi membran.
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga :
1. Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-tiba, intoksikasi
phencyclidine (PCP), amfetamin dan asam lisergic dietilamid (LSD). Pasien bisa
tampakgaduh gelisah, berteriak-teriak, jalan mondar-mandir atau hipotesis mengenai
delirium.
2. Delirium hipoaktif
Ditemukan pada pasien hepatic encephalopathy dan hiperkapnia
3. Delirium campuran
Pada pasien dengan gangguan tidur, pada siang hari mengantuk tetapi pada malam
hari terjadi agitasi dan gangguan sikap.
Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat disebabkan oleh
gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis utama adalah adanya gangguan yang
irreversible terhadap metabolisme oksidatif otak dan adanya kelainan multiple
neurotransmitter.
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute confusional
states (bingung) dan pada pasien dengan gangguan transmisi kolinergik seperti pada
penyakit alzheimer. Pada pasien dengan post operatif delirium, aktivitas serum anti
kolinergik meningkat.
Dopamin
5
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik.
Pada delirium,terjadi peningkatan aktivitas dopaminergik. Gejala simptomatis
membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat
penghambat dopamin.
Neurotransmitter lain
Serotonin : ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic encephalopathy
dan sepsis delirium. Agen serotoninergik seperti LSD dapat pula menyebabkan
delirium. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma aminobutyric acid) pada pasien
dengan hepatic encephalopathy dapat ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi
pada pasien hepatic encephalopathy, yang menyebabkan peningkatan pada asam
amino glutamate dan glutamin (kedua asam amino ini merupakan precursor GABA).
Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang
mengalami gejala putus benzodiazepine dan alkohol.
Cortisol dan beta endorphins : pada delirium yang disebabkan glukokortikoid
eksogen terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin.
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena
keterlibatan sitokin seperti interleukin-1 dan interleukin-6, stress psychososial dan
gangguan tidur berperan dalam onset delirium.
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian
kesadaran dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental
dorsalis yang keluar dari formatio reticularis mesencephalic ke tegmentum dan
thalamus. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan gangguan
struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis tersebut dapat
menyebabkan delirium.
Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan delirium, mekanismenya
karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel peradangan (sitokin) untuk
menembus otak.
V. MANIFESTASI KLINIS
Gangguan kesadaran
Disorientasi
Konsentrasi berkurang
6
Tingkah laku
Hiperaktif
Hipoaktif
Pikiran
Bizarre
Ideas of reference
Waham
Mood
Cemas, irritable
depresi
Persepsi
Ilusi
Halusinasi (visual)
Memori : terganggu
Fluctuating course, worse in the evening
Gambaran kunci dari delirium adalah suatu gangguan kesadarn yang dalam DSM IV
digambarkan sebagai penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan dengan
penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan atau mengalihkan perhatian.
Keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan,
mengantuk, insomnia, halusinasi transient, mimpi menakutkan di malam hari, kegelisahan.
Delirium ditandai dari perubahan mental akut dari pasien, perubahan fluktuatif pada kognitif
termasuk memori, berbahasa dan organisasi.
1. Gangguan atensi
Pasien dengan delirium mengalami kesulitan untuk memperhatikan. Mereka mudah
melupakan instruksi dan mungkin dapat menanyakan instruksi dan pertanyaan untuk
diulang berkali-kali. Metode untuk mengidentifikasi gangguan atensi yaitu dengan
meyuruh pasien menghitung angka terbalik dari 100 dengan kelipatan 7.
2. Gangguan memori dan disorientasi
Defisit memori, hal yang sering jelas terlihat pada pasien delirium. Disorientasi
waktu, tempat dan situasi juga sering didapatkan pada delirium.
3. Agitasi
Pasien dengan delirium dapat menjadi agitasi sebagai akibat dari disorientasi dan
kebingungan yang mereka alami. Sebagai contoh; pasien yang disorientasi
7
menganggap mereka di rumah meskipun ada di rumah sakit sehingga staff rumah
sakit dianggap sebagai orang asing yang menerobos rumahnya.
4. Apatis dan menarik diri terhadap sekitar / withdrawal
Pasien dengan delirium dapat menampilkan apatis dan withdrawal, mereka dapat
terlihat seperti depresi, penurunan nafsu makan, penurunan motivasi dan gangguan
pola tidur.
5. Gangguan tidur
Pada pasien delirium sering tidur pada waktu siang hari tapi bangun pada waktu
malam hari. Pola ini digabungkan dengan disorientasi dan kebingungan yang dapat
menimbulkan situasi berbahaya pada pasien, yaitu resiko jatuh dari tempat tidur,
menarik kateter atau IV dan pipa nasogastric.
6. Emosi yang labil
Delirium dapat menyebabkan emosi pasien yang labil seperti gelisah, sedih, menangis
dan kadang-kadang gembira yang berlebih. Emosi ini dapat muncul bersamaan ketika
seseorang mengalami delirium.
7. Gangguan persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk
membedakan stimulus sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan
pengalaman masa lalu. Sering terjadi halusinasi visual dan auditori. Ilusi visual
danauditoris juga sering pada delirium.
8. Tanda-tanda neurologis
Pada delirium dapat muncul tanda neurologis antara lain : tremor gait, asterixis
mioklonus, paratonia dari otot terutama leher, sulit untuk menulis dan membaca dan
gangguan visual.
VI. DIAGNOSIS
Secara klinis penegakkan diagnosis delirium dapat menggunakan DSM IV-TR. Di bawah ini
adalah kriteria diagnostik delirium berdasatkan DSM IV-TR :
Kriteria diagnostik delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum :
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap lingkungan
dalam bentuk memusatkan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian).
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya ingat segera dan jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi, dan halusinasi terutama
visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham
8
sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit inkoherensi, disorentasi waktu, tempat
dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba ( dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat
danada kecendrungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Bedasarkan bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan penyebab delirium
Kriteria diagnostic Delirium yang disebabkan intoksikasi zat :
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kerjernihan kesadaran terhadap lingkungan
dalam bentuk memusatkan, memperlihatkan dan mengalihkan perhatian).
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya ingat segera dan jangka pendek pendek
namun daya ingat dan jangka ke pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh,
ditorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama visual hendaya daya pikit dan pengertian
abstrak dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yag khar terdapat inkoherensi
sedikit,disorentasi waktu, tempat, dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari,) perjalanan penyakitnya singkat
dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan delirium ini (1) atau (2) :
1) Gejala pada criteria A dan B berkembang selam intoksikasi zat.
2) Penggunaan intoksikasi di sini untuk mengamati yang ada hubungan dengan
gangguannya.
Intoksikasi zat yang menimbulkan delirium adalah alcohol, amfetamin atau yang
miripdengan amfetamin, kanabisin, inhalan, opioid, fensiklin, sedative, hipnotikm ansiolitikm
dan lainsebagainya. Juga zat lain seperti simetidin, digitalis, benzodiazepine.
Kriteria diagnostic Delirium yang disebabkan putus zat :
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap lingkungan
dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian).
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dan jangka pendek
namundaya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasiter-
utamavisual, hendaya daya piker dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham
sementara,tetapi yang khas terhadap inkoherensi sedikit, diorentasi)
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakit singkat dan
ada kecendrungan berfluktuasi sepanjang hari.
9
4. Bedasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan penyakit delirium ini dalam criteria (A) dan (B). keadaan ini
berkembangselama atau dalam waktu singkat sesudah sindroma putus zat.
Kriteria diagnostic Delirium yang berkaitan dengan berbagai penyebab :
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap lingkungan
dalam bentuk memusatkan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian).
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dan jangka pendek
namundaya ingat jangka panjang utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama
visual,hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham
sementara, tetapiyang khas terdapat inkoherensi sedikit, diorientasi waktu, tempat,
orang).
3. Awitan tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakit singkat dan ada
kecendrungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Bedasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan etiologi delirium ini yang disebabkan oleh lebih dari satu penyebab
kondisimedic umum, disertai intoksikasi zat atau efek samping medikasi.
VII. DIAGNOSIS BANDING
Dementia
Gangguan psikotik akut dan sementara
Schizophrenia
Beberapa pasien dengan schizophrenia atau episode manik mungkin pada satu
keadaan menunjukkan perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan dengan
delirium. Secara umum, halusinasi dan waham pada pasien skizofrenia lebih konstan
dan lebih terorganisasi dibandingkan dengan kondisi pasien delirium.
Gangguan mood (afektif)
10
DELIRIUM DEMENTIA
Onset akut
Berfluktuasi
Gangguan kesadaran
Organisasi pikiran terganggu
Sering terjadi gangguan persepsi
Kewaspadaan selalu terganggu
Onset perlahan-lahan
Satbil atau progresif
Kesadaran normal
Organisasi pikiran kurang
Jarang terjadi gangguan persepsi
Kewaspadaan normal
Sindrom delirium dengan gejala yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai pasien
yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif dianggap sebagai depresi. Keduanya
dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan
yang bertahap dalam beberapa hari atau minggu. Sedangkan pada delirium biasanya
gejala berkembang dalam beberapa jam.
VIII. PENATALAKSANAAN
Dalam mengobati delirium, hal yang paling utama adalah mengobati penyebabnya.
Bila penyebabnya akibat toksisitas antikolinergik, maka digunakan pisostigmin salisilat 1-2
mg intravena atau intramuscular dan dapat diulangi 15-30 menit bila diperlukan.
Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik,
dan lingkungan. Bantuan fisik diperlukan pasien delirium agar tidak masuk ke dalam situasi
dimana mereka dapat mencelakakan diri sendiri. Pasien delirium tidak boleh dalam
lingkungan tanpa stimulus sensorik atau dengan stimulus yang berlebihan. Biasanya pasien
delirium di bantu dengan meminta teman keluarga di dalam ruangan.
a) Farmakoterapi
Dua gejala utama delirium yang memerlukan terapi obat yaitu psikosis dan
insomnia. Obat yang dianggap cocok untuk psikosis adalah halolperidol. Pemberian
dosis obat tergantung umur, berat badan, dan kondisi pasien tersebut. Pemberian
halolperidol berkisar antara 2-10 mg intramuscular dan dapat diulang satu jam
kemudian bila pasien masih menunjukkan agitasi. Segera bila pasien sudah tenang
dapat diberikan obat secara peroral yang terbagi atas dua dosis yaitu sepertiganya
diberikan pada pagi hari dan dua pertiganya pada saat tidur. Untuk mencapai dosis
yang sama seperti suntikan. Maka jumlah dosis yang diberikan peroral satu setengah
kali dari dosis suntik. Dosis efektif halolperidol pada kebanyakan penderita delirium
berkisar antara5-50 mg.
Droperidol (inapsine) adalah suatu butyrophenon yang tersedia sebagai suatu
formula intravena alterbative, walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat
penting untuk pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien
delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas anti kolinergik yang
bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan waktu
paruh pendek atau hydroxizine (vistaril) 25 – 100 mg. Golongan benzodiazepine
dengan waktu paruh panjang dan barbiturat harus dihindari pada pasien delirium
11
karena obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk gangguan
dasar ( sebagai contoh : putus alkohol).
Pengobatan termasuk pengobatan pada penyakit yang mendasari dan
identifikasi medikasi yang mempengaruhi derajat kesadaran
Olanzapine (zyprexa) : adalah obat neuroleptic atipikal, dengan efek
ekstrapiramidal yang ringan, efektif untuk pengobatan delirium yang disertai
agitasi. Dosisnya dimulai dengan 2,5 mg dan meningkat sampai 20 mg per oral
jika dibutuhkan. Olanzapine dapat menurunkan ambang kejang, namun
sisanya dapat ditoleransi dengan cukup baik.
Risperidone (risperidal) juga efektif dan dapat ditoleransi dengan baik, dimulai
dengan 0,5 mg 2x sehari atau 1 mg sebelum tidur, meningkat sampai 3 mg 2x
sehari jika dibutuhkan.
Haloperido (haldol) dapat digunakan dengan dosis rendah (0,5 mg – 2 mg 2x
sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek samping ekstrapiramidal dapat
terjadi,dapat ditambahkan dengan sedatif misalnya lorezepam diawali 0,5 mg –
1 mg setiap 3 – 8 jam jika dibutuhkan.
b) Non farmakologis (pencegahan)
Berbagai literatur menyebutkan bahwa p[engobatan sindrom delirium sering
tidak tuntas. 96 % pasien yang dirawat pulang dengan gejala sisa. Hanya 20 % dari
kasus-kasus tersebut yang tuntas dalam 6 bulan setelah pulang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebenarnya prevalensi sindrom delirium dimasyarakat lebih
tinggi dari yang diduga sebelumnya. Pemeriksaan penapisan oleh dokter umum atau
dokter keluarga di masyarakat menjadi penting dalam rangka menemukan kasus dini
dan mencegah penyulit yang fatal.
Rudolph (2003) melaporkan bahwa separuh dari kasus yang diamatinya
mengalami delirium saat dirawat di rumah sakit.berarti ada karakteristik pasien
tertentu dan suasana / situasi rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan
delirium. Beberapa obat juga dapat mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai
efek anti kolinergik dan gangguan faal kognitif. Beberapa obat yang diketahui
meningkatkan resiko delirium antara lain : benzodiazepine, kodein, amitriptilin
(antidepresan) difenhidramid, ranitidin, digoxin, amiodaron, metildopa, procainamid,
levodopa, fenitoin, siproflolsasin, beberapa tindakan sederhana yang dapat dilakukan
di rumah sakit (di ruang rawat akut geriatric) terbukti cukup efektif mampu mencegah
delirium.
12
Pencegahan delirium dan keluarannya :
Panduan intervensi Tindakan Keluaran P
Reorientasi Pasang jam dinding dan
kalender.
Memulihkan orientasi 0,04
Memulihkan siklus
tidur
Padamkan lampu
Minum susu hangat atau the
herbal
Musik yang tenang
Pemijatan (massage) punggung
Tidur tanpa obat 0,001
Mobilisasi Latihan lingkup gerak sendi
Mobilisasi bertahap
Batasi penggunaan restrain
Pulihnya mobilisasi 0,06
Penglihatan Kenakan kacamata
Menyediakan bacaan dengan
huruf berukuran besar
Meningkatkan
kemampuan penglihatan
0,27
Pendengaran Bersihkan serumen prop
Alat bantu dengar
Meningkatkan
kemampuan pendengaran
0,10
Rehidrasi Diagnosis dini rehidrasi
Tingkatan asupan cairan oral
kalau perlu per infuse
BUN/Cr < 18 0,04
IX. PROGNOSIS
Awitan delirium yang akut, gejala prodormalnya seperti gelisah dan perasaan takutmungkin
muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya tidak diketahui dan dapat dihilangkanmaka
gejala-gejalanya akan menghilang dalam waktu 3-7 hari dan akan seluruhnya dalam waktu2
minggu. Jika delirium telah berakhir, biasanya hilang timbul, dan pasien
mungkinmenganggapnya sebagai mimpi buruk atau pengalaman yang mengerikan yang
hanya diingatsecara samar-samar
13
BAB III
KESIMPULAN
Sindroma delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai sebab.
Keterlambatan diagosis memperpanjang masa rawat dan meningkatkan mortalitas. Defisiensi
asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus
merupakan mekanisme dasar yang harus selalu diingat. Pencetus tersering pneumonia dan
ISK.
Gangguan fisik global, perubahan aktivitas psikomotor, perubahan siklus tidur, serta
perubahan kesadaran yang terjadi akut dan berfluktuatif merupakan gejala yang sering
ditemukan. Beberapa peneliti menggolongkan delirium ke dalam beberapa tipe. Kriteria
diagnosis baku menggunakan DSM IV; instrument baku yang digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis.
Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda mirip sehingga diperlukan
kewaspadaan serta pemeikiran kemungkinan diferential diagnositik. Pengelolahan pasien
terutama ditujukan untuk mengidentifikasi serta menatalaksana faktor predisposisi dan
pencetus. Penatalaksanaan non farmakologik dan farmakologik sama pentingnya dan
diperlukan kerjasama dengan psikiater geriatric terutama dalam pengelolahan dalam
pengelolahan pasien yang gelisah.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Harold I. Sinopsis psikiatri; Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis. 2010,
hal 519-528.
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri. 2010 hal 99 – 105
3. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1; 209 hal 907-912
4. Damping, Andri Cahries E.Majalah Kedokteran Indonesia. Peranan psikiatri dan
geriatri dalam penanganan pasien geriatri. 2007
5. http:/emedicine.medscape.com/article/288890-overview . Diakses pada tanggal 5
November 2013.
6. Buchanan R. W, & Carpenter W.T.Jr, Kaplan and Sadock’s Comprehensive
Textbook of Phyciatry 7th edition, Philadelpia, Lippincott Williams & Wilkins. 2000.
7. Direktorat Jendral Pelayanan Medis, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III, Cetakan Pertama, Jakarta : Departemen Kesehatan
RI, 1993.
15