MERAYAKAN 20 TAHUN BERKUASANYA ANAK DEPAN Oleh Jalu Priambodo1 “dapet berapa bocah?” “6 orang kang, haha” “target berapa? Udah naik kan dari 4 orang yang kemarin?” “Tapi yang turun aksi cuma 4 orang..” Percakapan di atas merupakan percakapan yang terjadi baru-‐baru ini saja. Beberapa tahun yang lalu mungkin tidak pernah terbayang di benak kita, maupun para qiyadah di kampus tentang kondisi tersebut. Tepat 15 tahun sebelum percakapan di atas terjadi, seorang Kepala Gamais tanpa diduga berhasil terpilih sebagai Presiden KM ITB melalui proses demokratis. Terpilihnya beliau mengawal sebuah era “anak depan”. Dan “anak depan” ini pula kemudian menggoreskan sejarahnya di pentas mahasiswa nasional selama bertahun-‐tahun ke depan. Beberapa pekan sebelum percakapan di atas terjadi, seorang anak depan baru saja dinyatakan kalah dalam Pemilu KM ITB. Namun, kali ini lawannya bukan “anak belakang” yang ideologis. Tak ada apa-‐apanya dibandingkan dengan legenda Veritas, G10, Tiben maupun PSIK. Pun tak miliki rekam jejak sebagai ketua himpunan yang sangar, juga bukan Mahasiswa Berprestasi. Untuk memahami mengapa anak depan bisa kalah dan percakapan di atas bisa terjadi, ada baiknya kita mengingat kembali rangkaian peristiwa ketika “Anak Depan” menjadi kekuatan yang ditakuti. Seperti halnya siklus dalam kehidupan, semua diawali dari pencarian mata air. Mata Air Para Pelopor Kenapa disebut “Anak Depan”? Soalnya di depan ada Masjid Salman ITB. Pernyataan ini ada benarnya karena memang institusi pertama yang menandai revolusi “Anak Depan” berada di Masjid Salman ITB. Tepatnya adalah dengan berdirinya Majelis Ta’lim Salman ITB pada tahun 1994. Memang, sebelumnya telah ada grup-‐grup halaqah di kampus ITB awal 90-‐an. Akan tetapi, baru setelah Mata’ berdirilah, eksistensi “Anak Depan” melesat cepat dan menjadi kekuatan dominan di kampus ITB selama hampir 20 tahun. Bisa dibilang angkatan 1994 merupakan inisiator pertama berdirinya Majelis Ta’lim Salman ITB. Diantara para inisiator tersebut, yang dipilih sebagai
1 Jalu Pradhono Priambodo, Teknik Industri 2002, pernah menjadi anggota Mata’, Ketua Tim Materi OSKM 2005 dan Ketua Panpel KM ITB 2005. Jabatan terakhir di kampus Sekjes Eksternal KM ITB 2006/2007. Saat ini merupakan Direktur Eksekutif INSTRAT.
Koordinator Umum pertama adalah Brian Yuliarto2. Selain menjadi Korum Mata’ sosok ini kemudian juga mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia komisariat ITB bersama Vijaya Vitrayasa3. Meski memiliki segudang aktivitas, namun Brian lulus tepat waktu dan langsung berangkat ke Jepang untuk meneruskan studi. Pada bulan Desember 1995, setahun setelah Mata’ berdiri, Vijaya Fitrayasa menjadi Korum menggantikan Brian. Meski menjadi Korum Mata’ yang kedua, namun Vijay menjadi yang pertama untuk hal yang lain. Sebab, setelah setahun menjadi Korum Mata hingga Desember 1996, Vijay memulai tradisi baru sebagai anggota Mata’ pertama yang menjadi Kepala Gamais ITB. Bukan hanya itu, Vijay juga nantinya tercatat sebagai Presiden pertama KM ITB yang terpilih melalui pemilihan langsung pasca bergulirnya Reformasi. Korum Mata’ selama tiga periode awal ini terus menerus dipegang oleh angkatan 1994, sebelum digantikan angkatan 95. Korum Mata’ pertama dari angkatan 1995 adalah Sigit Adi Prasetyo4. Semenjak itulah dimulai pakem bahwa Korum Mata’ dijabat oleh mahasiswa tingkat tiga. Sigit juga menjadi penerus tradisi Vijay ketika terpilih menjadi Presiden kedua KM ITB. Apa yang membuat generasi-‐generasi pelopor “Anak Depan” begitu produktif? Jika merujuk pada pengalaman penulis sendiri selama di Mata’ maka jawabannya ada pada semangat membaca yang sangat kuat. Hampir di setiap dauroh Mata’ peserta diminta untuk membaca sebuah buku. Begitu pun dalam aktivitas harian di masing-‐masing divisi, ada target untuk membaca buku tertentu. Saking tingginya semangat baca, anggota Mata’ biasa bertukar gagasan terhadap isi buku. Perbincangan seputar buku favorit juga tak jarang terjadi. Semua bahan bacaan tersebut juga bukan buku sembarang. Bisa dipastikan nuansa fikrah dalam buku tersebut sangat kuat, sebut saja beberapa contohnya : Ma’alim fi Thariq, Majmuatur Rasail, Fiqh Dakwah, Manhaj Haraki. Selain itu, Mata’ juga tak lepas dari kontrol tilawah Al Quran yang sangat ketat. Ada standar 1 juz per hari serta setoran hapalan. Dalam setiap rapat-‐rapat Mata’ pun diawali dengan tausiyah maupun tadabur ayat Quran. Maka tak heran jika para alumni Mata’ memiliki pemahaman haraki yang sangat kuat. Pola pengkaderan Mata’ pun memperoleh tempat yang ideal di Salman. Sebab, jika dirunut lebih jauh, Masjid Salman ITB merupakan kawah candradimuka lahirnya Islam Pergerakan di Indonesia5. Pola kaderisasi aktivis Salman yang bersendikan pada usrah memiliki kemiripan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Selain itu, materi yang dibawakan dalam Latihan Mujahid Dakwah, 2 Brian Yuliarto FT angkatan 1994 saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Kemahasiswaan ITB. 3 Vijaya Fitriyasa, Mesin angkatan 1994, terkenal sebagai satu-‐satunya mahasiswa ITB yang berhasil menjadi Korum Mata’, Kepala Gamais, serta Presiden KM ITB. Saat ini menjadi pengusaha bidang migas. 4 Sigit Adi Prasetyo, Teknik Informatika 1995, merupakan Korum Mata’ keempat dan menjadi Presiden KM ITB yang kedua setelah Vijay. Sebelum menjadi Presiden Sigit sempat menjadi Senator mewakili Informatika ITB. Saat ini berada di Timur Tengah sebagai professional di bidang migas. 5 Lihat buku “Fenomena Partai Keadilan” karya Ali Said Damanik
acara khas kaderisasi Salman memiliki kemiripan dengan Ma’alim Fi Thariq. Iman Hijrah dan Jihad6, tiga materi pokok dalam LMD memiliki kemiripan dengan 4 Bab awal dalam buku karya Sayyid Qutb tersebut. Para aktivis Mata’ generasi awal menyadari betul bahwa kehadiran mereka di Mata’ bukan sekedar untuk melampiaskan syahwat mereka terhadap ilmu Al Quran. Mereka paham betul dengan apa yang diucapkan Sayid Qutb tentang generasi pertama aktivis dakwah, yaitu para sahabat. “Mereka menjadikan Quran sebagai perintah harian”7. Sehingga, melalui pemahaman ini, para aktivis Mata’ menjadi penggerak-‐penggerak dakwah di kampus. Sebuah arus yang tidak mungkin terbendung lagi. Arus Yang Tak Terbendung Betapa kagetnya para aktivis kampus ITB tahun 1998. Organisasi yang mereka bangun dengan susah payah. Selama bermalam-‐malam mereka habiskan untuk rapat. Mereka berharap merekalah yang akan menjadi pemimpin organisasi tersebut. Namun pada akhirnya mereka harus menerima realitas bahwa pemilihan demokratis yang mereka susun bersama harus diberikan kepada orang yang tidak mereka kenal. Para pendiri KM ITB merupakan korban dari arus besar “Anak Depan” dengan terpilihnya Vijaya Fitrayasa sebagai Presiden pertama KM ITB. KM ITB memiliki sejarah teramat panjang dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun 1978 KM ITB menjadi pihak pertama yang menyatakan diri menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia. Penolakan ini diawali dengan keluarnya “Buku Putih” sebuah maha karya hasil kajian mahasiswa ITB ketika itu 8 . Peluncuran buku ini ternyata mengilhami mahasiswa seluruh Indonesia menyerukan hal yang sama. Keputusan keras pun akhirnya diambil dengan membubarkan organisasi kemahasiswaan ITB. Dimulailah era NKK/BKK. Ketika kekuasan Soeharto mulai memperlihatkan tanda-‐tanda memudar, para aktivis kemahasiswaan ITB kembali merapatkan barisan. Mereka terdiri dari para Ketua Himpunan dan Ketua Unit, khususnya unit-‐unit kajian. Gagasan menghidupkan kembali KM ITB dimunculkan lagi. Sebuah konsepsi tentang organisasi ideal pun dibentuk. Rapat-‐rapat panjang yang diadakan di kampus menunjukkan hasil yang terang. Pada tanggal 20 Januari 1996 KM ITB kembali dideklarasikan. Derasnya arus perubahan nasional membuat struktur KM ITB belum juga disempurnakan. Forum BPI yang dipimpin Haru Suandharu9 dan Forum TVST
6 Slogan Iman, Hijrah dan Jihad saat ini tidak digunakan lagi dalam LMD Salman ITB. Pada saat penulis mengikuti LMD tahun 2003 slogan ini masih digunakan. 7 Lihat Buku “Ma’alim Fi Thariq, Sayyid Qutb 8 Buku Putih bahkan didukung oleh para guru besar dan rector ITB sendiri. 9 Haru Suandharu, Biologi 1994 merupakan sedikit diantara “Anak Depan” yang berhasil menjadi Ketua Himpunan. Namun ada juga yang mengatakan ketika terpilih sebagai Kahim Haru belum menjadi “Anak Depan”. Saat ini Haru adalah anggota DPRD Kota Bandung dan sempat menjadi Ketua DPD PKS Kota Bandung.
yang dipimpin Vijay (waktu itu sebagai Kepala Gamais) belum menghasilkan kesepakatan. Alih-‐alih, FKHJ malah membentuk Satgas KM ITB yang dipimpin Khalid Zabidi10 untuk menyikapi bergulirnya gerakan reformasi. Khalid Zabidi pulang dan dielukan sebagai pahlawan reformasi dari kampus ITB. Akan tetapi, bukan Khalid yang akhirnya terpilih sebagai Presiden pertama KM ITB. Tanpa diduga sebelumnya, Vijaya yang terpilih sebagai Presiden melalui pemilihan langsung. Banyak yang kaget dengan terpilihnya Vijay, namun lebih kaget lagi ketika mengetahui bahwa Vijay membawa rombongan Gamais ITB untuk masuk sebagai Menteri di bawah Kabinet Vijay. Era “Anak Depan” telah dimulai. Gagap budaya menjadi masalah serius ketika “Anak Depan” memimpin kemahasiswaan ITB. Tidak ada aktivis kampus yang mengira bahwa dalam sebuah forum, posisi ikhwan dan akhwat harus terpisah. Norma-‐norma baru diperkenalkan oleh “Anak Depan”. Tidak ada jalan lain bagi mereka yang kecewa selain melawan secara kultural. Perlawanan “Anak Belakang” dimulai. Vijay menjadi korban pertama setelah diberhentikan sebagai Presiden KM ITB dan dikeluarkan sebagai anggota KM ITB dengan alasan kegagalan berkomunikasi serta kinerja yang kurang memuaskan. Keteguhan “Anak Depan” tidak hanya ditunjukkan dalam aspek budaya dalam kampus. Mereka juga teguh dalam memperjuangkan perubahan di tataran nasional. Meski telah bebas dari Rezim Soeharto dan menyelenggarakan Pemilu bebas pertama, Indonesia masih meniti jalan perubahan. Presiden pertama era reformasi, Gus Dur, lebih sering menghadirkan kontroversi dibanding perbaikan. Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralism, namun masa pemerintahannya dipenuhi pertumpahan darah di Ambon, Poso, Sampit, Aceh, bahkan di Jawa. Kasus Buloggate dan Bruneigate menjadi pemicu dimulainya gerakan menurunkan Presiden Gus Dur. Akan tetapi, upaya menurunkan Gus Dur harus menghadapi serangan balasan dari barisan pendukungnya. Organisasi underbow NU, pendukung pluralism, aktivis kiri berada di belakang Gus Dur. KM ITB dibawah kepemimpinan Presiden kedua KM ITB, Sigit Adi Prasetyo turut dalam arus penentang. Gesekan fisik antar mahasiswa dan ormas kembali terjadi. Inilah awal kisah legendaris “Pasukan Thifan” dimulai. Pasukan khusus yang dilatih bela diri dan menjadi garis depan aksi mahasiswa. Namun gerakan tak bisa dihentikan dan terus memaksa Gus Dur diturunkan. Perang urat syarat berlangsung cukup panjang hingga akhirnya Gus Dur diturunkan oleh MPR. Di dalam kampus ITB, aksi penurunan Presiden Gus Dur akhirnya memakan korban Presiden Sigit sendiri. Berawal dari gagalnya Pemilu KM ITB tahun 200011, kongres memutuskan perpanjangan masa kabinet Sigit. Sigit pun tercatat sebagai Presiden KM ITB dengan masa jabatan terpanjang. 10 Khalid Zabidi, SR 1993, PSIK ITB, merupakan pemimpin Satgas KM ITB. Saat ini merupakan dosen di SR ITB dan anggota Sabang Merauke Circle yang diketuai Syahganda Nainggolan. 11 Terkenal di kalangan “Anak Depan” sebagai tragedy Malari, singkatan dari Malapetaka Safari. Safari merupakan ketua Panpel Pemilu KM ITB ketiak itu yang gagal melaksanakan tugasnya.
Pada akhirnya FKHJ turun tangan dengan melakukan pendudukan sekre KM diikuti pemecatan Sigit serta perubahan AD/ART KM ITB untuk memberi kekuasaan lebih bagi Himpunan12. Perubahan AD/ART KM ITB tahun 2001 juga menyangkut pelarangan TPB untuk turut memilih Presiden. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk menjegal “Anak Depan” dalam pemilihan Presiden KM ITB. TPB dianggap mudah untuk digerakkan oleh sentiment keagamaan dan pengaruh Gamais. Tak ada yang menduga bahwa ternyata “Anak Depan” kembali yang terpilih sebagai pemenang melalui Akbar Hanif Dawam13. Namun, kejayaan “Anak Depan” tidak berlangsung lama, sebab pada pemira selanjutnya “Anak Depan” dikalahkan oleh Presiden KMSR, Alga Indria14. Kekalahan pada satu periode membuat Presiden “Anak Depan” selanjutnya harus mengejar ketertinggalan dalam hal penyikapan politik nasional. Ahmad Mustofa15 melakukan kritisi keras terhadap pemerintah Megawati. Beberapa kasus seperti penjualan BUMN, penghentian kasus BLBI, DOM Aceh pembelian pesawat Sukhoi, hingga dibebaskannya Akbar Tandjung dalam kasus suap mewarnai kabinet Megawati. Aksi-‐aksi tersebut berlanjut hingga Presiden KM ITB selanjutnya, Anas Hanafiah16. Rangkaian aksi mulai surut ketika Mega tidak terpilih kembali sebagai Presiden Indonesia tahun 2004. Satu hal menarik selama masa kepemimpinan “Anak Depan” hingga tahun 2004 adalah derasnya arus gerakan mahasiswa ketika itu. Energi “Anak Depan” seolah tidak pernah habis. Hanya dalam tempo sepuluh tahun, dari 1994-‐2004 “Anak Depan” telah mentransformasikan dirinya sebagai kekuatan yang ditakuti, tidak hanya di dalam kampus namun juga secara nasional. Kekuatan besar tersebut tidak terlepas dari semangat ukhuwah dan pengorbanan “Anak Depan”. Tak jarang penulis yang ketika itu masih TPB menyaksikan panji-‐panji KM ITB dalam aksi dibawa oleh Korum Mata’ maupun Kepala Gamais ITB. Keteladanan para ketua lembaga dakwah kampus dalam aksi, membawa pengaruh pada besarnya masa yang hadir di aksi tersebut. Padahal para ketua lembaga dakwah ini mungkin bukan yang paling menguasai materi aksi. Namun loyalitas mereka terhadap saudara seperjuangan mereka di Kabinet KM ITB membuat mereka rela untuk turun langsung dalam setiap penyikapan. Pengorbanan mereka tak jarang berakhir dengan luka-‐luka terkena pukulan aparat. Sebuah kekuatan ukhuwah yang ditakuti oleh semua pihak.
12 Sebelumnya KM ITB berbasis massa, setelah 2001 berbasis lembaga 13 Akbar Hanif Dawam, PN 1998, merupakan Kahim KMPN sebelum menjadi Presiden KM ITB. Sekarang berprofesi sebagai peneliti LIPI. 14 Alga Indria, SR 98 merupakan Presiden KMSR sebelum menjadi Presiden KM ITB. Pemilu ketika itu dinilai sebagai Pemilu paling meriah sebab adanya keterlibatan dari mahasiswa SR. Alga juga dikenal sebagai vokalis grup “Panas Dalam”. Saat ini berprofesi sebagai Dosen di STISI. 15 Ahmad Mustofa, Tekim 99, biasa dipanggil Tope, merupakan Senator HIMATEK sebelum menjadi Presiden KM ITB. Tope juga putra dari Ketua Lakpesdam Nahdatul Ulama, Maskur Maskub. Saat ini Tope menjadi pengusaha Petrokimia. 16 Anas Hanafiah, EL 00, merupakan Kahim HME sebelum terpilih sebagai Presiden KM ITB. Anas saat ini berprofesi sebagai professional di Pertamina.
Air Yang Membuahkan Hasil Tidak selamanya aktivisme KM ITB dipenuhi oleh gerakan eksternal secara structural terhadap pemerintahan. Sepanjang rezim “Anak Depan” beberapa inovasi dalam kegiatan mahasiswa dihasilkan. Olimpiade KM ITB17 tercipta pada era Sigit Adi Prasetyo, era Ahmad Mustofa mempelopori ITB Fair18, era Syaiful Anam memulai IEC19. Namun tak ada kegiatan internal kampus ketika itu yang sebesar OSKM. OSKM merupakan sebuah tuntutan mahasiswa ITB semenjak berdirinya kembali KM ITB. Kegiatan tersebut menjadi kegiatan terbesar karena melibatkan seluruh himpunan mahasiswa. Saking besarnya OSKM tak jarang ia menjadi tempat bertarung untuk memperebutkan pengaruh. Himpunan berharap kader mereka terpilih sebagai panitia inti. Terpilih sebagai danlap ketika itu merupakan jaminan dapat terpilih sebagai Ketua Himpunan selanjutnya. Bahkan tak jarang yang terlibat karena niat remeh temeh untuk mendapat pacar. Tentunya “Anak Depan” memiliki agendanya sendiri untuk OSKM. Namun masalahnya adalah kendali OSKM tidak berada pada Presiden KM ITB, namun para ketua HMJ. Pada awalnya, pengaruh “Anak Depan” di himpunan-‐himpunan ITB tidak begitu besar. “Anak Depan” selama ini selalu menggunakan jalur kultural yang kemudian dikapitalisasi dalam Pemira KM ITB. Hanya ada beberapa “Anak Depan” yang sanggup menjadi Ketua Himpunan. Ini tak lepas dari budaya himpunan yang sering dianggap budaya jahiliyah oleh “Anak Depan”. Ketiadaan “Anak Depan” di HMJ membuat pengaruh mereka dalam OSKM juga lemah, meski Presiden KM ITB di tangan mereka. Dengan sedikitnya pengaruh di “OSKM”, anak depan harus berjuang mati-‐matian. OSKM tahun 2001 diwarnai oleh debat materi OSKM antara Hafidz Ary Nurhadi20 dengan Khairul21. Debat ini diawali oleh penolakan “Anak Depan” terhadap materi-‐materi “kiri” dalam OSKM. Pada akhirnya “Anak Depan” melakukan boikot terhadap pelaksanaan OSKM 2001. Kejadian ini diwarnai oleh perang selebaran gelap dan membuat salah satu ketua LDPS diinterogasi dan dipukuli oleh panitia OSKM22. Tahun selanjutnya, daya tawar “Anak Depan” mulai meningkat. OSKM 2002 ditandai dengan koalisi antara “Anak Depan” dengan “Anak Himpunan” dalam
17 Olimpiade KM ITB bertujuan untuk menyatukan elemen-‐elemen kampus di ITB dan masih berlangsung hingga saat ini. 18 ITB Fair bertujuan untuk menunjukkan kontribusi mahasiswa ITB dalam bidang iptek. ITB Fair menjadi pengimbang dari aktivitas demo yang marak ketika itu. 19 Indonesia Entrepreneur Challenge (IEC) merupakan kompetisi kewirausahaan yang diselenggarakan oleh KM ITB. Semenjak pertama kali diadakan IEC berkembang pesat dan sempat didukung oleh US Embassy. 20 Hafidz Ary Nurhadi, EL 98, merupakan Sekretaris Umum Majelis Ta’lim Salman dan sempat menjadi Ketua Muslim Elektro. Saat ini menjadi pengusaha sekaligus menjadi inisitaor gerakan Indonesia Tanpa JIL. 21 Khairul, FI’98, merupakan Ketua HIMAFI dan dikenal sebagai salah satu aktivis PSIK. 22 Kawit, Farmasi angkatan 99, Ketua KAMIFA tertangkap tangan membawa selebaran gelap yang menyerang panitia OSKM 2001.
mengelola OSKM. Beberapa “Anak Depan” berhasil menempati posisi inti seperti Sekjen OSKM oleh Jefri Arifianto23 dan Ketua Tim Materi oleh Otep Kurnia24. Dalam OSKM tahun 2002, “Anak Depan” berhasil memperjuangkan masuknya Mentoring Agama dalam acara OSKM. Bahkan, Hafidz Ary dimasukkan sebagai salah satu pemateri OSKM. Pada tahun inilah penulis merasakan OSKM sebagai peserta. Diawali dari OSKM, angkatan 2002 merasakan pengaruh “Anak Depan” sekaligus dengan “Anak Belakang”. Dua pengaruh ini turut membentuk kematangan angkatan 2002. Meski tak lagi diwarnai adu fisik, tak jarang angkatan 2002 menyaksikan perang wacana antara “Anak Depan” yang ketika itu telah menguasai beberapa HMJ dengan “Anak Belakang” yang berada di unit kajian seperti TiBen, PSIK, dan Majalah Ganesha. Penulis sendiri merasakan adu wacana tersebut ketika mengikuti debat materi OSKM, road show di HMJ, maupun forum-‐forum bersama. Jika sebelumnya “Anak Depan” dianggap hanya menguasai kampus karena aspek loyalitas dan kesolidan barisan, maka belakangan “Anak Depan” mulai banyak terlibat dalam perang wacana. Keberhasilan “Anak Depan” mengubah materi di OSKM 2002 merupakan keberhasilan dalam perang wacana. Tradisi tersebut berlanjut dengan OSKM-‐OSKM selanjutnya. Penulis sendiri pertama kali merasakan adu gagasan dalam tim materi OSKM pada tahun 2004. Ketika itu penulis masuk dalam tim materi yang dipimpin oleh almarhum Sigit Firmansyah (EL’01). 25Penulis merasakan manfaat dari kebiasaan membaca yang dimulai sejak masuk Mata’ mulai membuahkan hasil. Terbiasa dalam adu gagasan tidak hanya berdampak terhadap materi OSKM saja. Pada akhirnya kebiasaan membuat kajian secara mendalam dan rasional mempengaruhi cara KM ITB melakukan penyikapan. Paling tidak itu yang penulis rasakan ketika dipercaya sebagai Wakil Menteri Sospol di era Muhammad Syaiful Anam26 serta menjadi Sekjen Eksternal di era Dwi Arianto Nugroho. 27 KM ITB mulai menjelajahi berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi lingkungan social politik. Tidak semua dilakukan dengan
23 Jefri Arifianto, FT 99, merupakan Ketua Diklat Mahasiswa Muslim (DMM) pertama yang diselenggarakan Gamais. DMM menjadi kegiatan terbesar di ITB menandingi OSKM karena menghadirkan pembicara kelas nasional dan diikuti ratusan mahasiswa ITB yang bahkan tidak terlibat di Gamais. 24 Otep Kurnia, MA 99, merupakan Ketua Himatika, sebelumnya Otep adalah ketua LDPS Matematika dan termasuk yang menyebarkan selebaran gelap pada OSKM 2001 namun tidak pernah tertangkap. 25 Sigit Firmansyah, EL 01, merupakan Danlap OSKM 2003 dan Ketua Tim Materi OSKM 2004. Sigit juga peraih penghargaan menulis ITB 2020. Sigit meninggal dalam usia yang sangat muda karena kecelakan ketika mudik di bulan Ramadhan 2004. 26 Muhammad Syaiful Nama, EL’01, merupakan Kahim HME sebelum terpilih sebagai Presiden KM ITB. Merupakan tempat dekat almarhum Sigit. 27 Dwi Arianto Nugroho, TK’02, merupakan Senator HIMATEK sebelum terpilih sebagai Presiden KM ITB. Dwi juga salah satu dari sedikit anggota KAMMI Komisariat ITB.
melakukan aksi pengerahan massa. Kami waktu itu menyadari bahwa yang utama adalah pesan atau wacana yang hendak disampaikan. Dalam menyikapi tragedi sampah di Kota Bandung28, KM ITB melakukan aksi bersih-‐bersih bersama BEM se-‐Bandung Raya. Tentunya aksi bersih-‐bersih tersebut tidak semata-‐mata memungut sampah, namun kami juga menyelipkan pesan politik terhadap pemerintahan Kota Bandung. Aksi bersih-‐bersih ini pun menarik minat mahasiswa ITB yang biasanya tidak mau diajak dalam aksi unjuk rasa. Sementara mereka bersih-‐bersih, penulis menyiapkan rilis media berisi teguran terhadap Walikota Bandung. Dalam menyikapi korupsi, KM ITB menyelenggarakan sekolah anti korupsi (SEKANTOR) bagi BEM Seluruh Indonesia. Tak hanya mengandung pencerdasan terhadap peserta, SEKANTOR juga mengandung kritik public terkait penanganan kasus korupsi. SEKANTOR melawan mainstream aksi pemberantasan korupsi yang sering dilakukan kampus lain, yang terkadang menyederhanakan tindak pidana korupsi dan jarang melihat secara lebih kritis. Dalam upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah, KM ITB menyadari bahwa tidak hanya dibutuhkan perang opini public melalui aksi namun juga konsolidasi gerakan. Sebagai contoh, ketika menyikapi UU Ketenagalistrikan, KM ITB melakukan kegiatan bersama serikat pekerja dalam bentuk seminar public. Seminar public tersebut dilaksanakan sekaligus untuk melakukan konsolidasi gerakan serta untuk membangun opini public. Penulis menyadari betul bahwa posisi kampus ITB selamanya akan dipandang penting oleh masyarakat. Dengan menyelenggarakan seminar saja sudah bisa diliput wartawan. Peluang ini dimanfaatkan betul oleh KM ITB dengan mengundang tokoh-‐tokoh bangsa untuk hadir di ITB. BJ Habibie, Hidayat Nur Wahid serta Amien Rais menjadi tokoh yang pernah diundang KM ITB di era Dwi Arianto. Mereka hadir tidak hanya untuk memberi inspirasi, namun juga untuk menyatakan sikap dan kritik terhadap pemerintahan SBY. Dan tak jarang pernyataan mereka langsung masuk dalam headline media massa, sebab mereka menyatakan sikap tersebut di ITB. Bagai Buih di Lautan Berkurangnya frekuensi aksi pengerahan massa sejak era 2006 seharusnya tidak dipandang sebagai melemahnya gerakan eksternal KM ITB. Selama aksi pengerahan massa bisa disubstitusi oleh gerakan lain tentu tidak menjadi masalah. Yang salah adalah ketika aksi dianggap tidak penting lagi, namun pada sisi yang lain kegiatan dalam kampus ITB hanya dianggap latihan EO belaka dan tidak dimaknai sebagai kesempatan untuk menyatakan sikap. Dalam perkembangannya tak jarang mahasiswa ITB kehilangan secara bersamaan dua hal yang menjadikannya kuat. Pertama soliditas gerakan dan kedua, pemahaman yang mengakar. Soliditas yang lemah ditandai dengan
keengganan mahasiswa ITB mengorbankan waktu untuk membantu saudara seperjuangannya, ada excuse berupa “kamu anak kemahasiswaan dan saya anak LDK”. Padahal hal ini tidak pernah dicontohkan generasi sebelumnya. Pemahaman yang tak mengakar ditandai oleh adanya kebutuhan akan pemahaman, namun pemahaman itu tak mengarah pada gerakan. Persis seperti sajak “Sebatang Lisong” karya Rendra “Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan” Sebentar lagi “Anak Depan” akan genap berada pada 20 tahun kekuasaannya di tahun 2014. Tentunya menarik untuk dilihat kembali, apakah “Anak Depan” masih perkasa seperti dahulu. Ataukah “Anak Depan” seperti generasi yang diceritakan oleh Rasulullah, “jumlah mereka banyak, namun seperti buih di lautan”. 7 Abad silam, ketika Umat Islam mengalami kemunduran dan tidak bisa merebut kembali Jerusalem, Salahuddin al Ayubi, seorang panglima dari Mesir mengajak mereka melihat kembali perjalanan dakwah ini. Maka ketika itulah, perayaan Maulid Nabi diadakan. Sebuah upaya untuk menggali kembali sejarah perjuangan panjang generasi awalun. Mereka menghidupkan kembali sosok heroism Rasulullah SAW dan para sahabat dalam diri mereka. Saat itulah mereka berhasil menemukan kembali kekuatan untuk mengusir penjajah dari Jerusalem. Dan karena alasan itulah mengapa tulisan ini dibuat. “Jangan Pernah Melupakan Sejarah”