SINONIMI BAHASA BALI
OLEH :
I NYOMAN DARSANA
PROGRAM STUDI SASTRA BALI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi..................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan.................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum..................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................3
1.4.1 Manfaat teoretis...............................................................................3
1.4.2 Manfaat Praktis................................................................................3
BAB II LANDASAN TEORI, METODE DAN TEKN1K, SUMBER DATA
2.1 Landasan Teori....................................................................................4
2.2 Metode dan Teknik.............................................................................5
2.3 Sumber Data.......................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Sinonimi.............................................................................................7
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.........................................................................................17
4.2. Saran..................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................21
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah objek kajian dalam bidang ilmu linguistik. Dalam
perspektif ini, bahasa didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat
arbitrer yang digunakan suatu masyarakat sosial untuk saling berkomunikasi,
bekerja sama, dan mengidentifikasikan diri.
Dalam setiap bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, seringkali kita temui
adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan
bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi
kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan
makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas). Ketercakupan
makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi),
dan sebagainya. Dalam paper ini secara mendalam akan dibicarakan masalah
sinonimi beserta contoh-contohnya dalam Bahasa Bali.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang Sinonimi Bahasa Bali?
1.3 Tujuan
Setiap penelitian sudah tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai.
Secara garis besar penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus. Kedua tujuan ini memiliki kedudukan yang sama penting, karena
keduanya saling berkaitan. Tujuan umum yang dimaksud adalah tujuan yang
meliputi hal-hal yang bersifat lebih luas/umum, sehingga tujuan tersebut masih
bersifat teoritis. Sedangkan tujuan khusus mengutamakan kepraktisan dan bersifat
lebih mengkhusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkomunikasikan secara
lebih jauh penjelasan serta pemaparan tentang Sinonimi Bahasa Bali.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk memahami dan
mengungkap secara mendalam penjelasan tentang Sinonimi Bahasa Bali. Semoga
dengan pemaparan ini, dapat membantu pembaca memahami dan lebih
mendekatkan tentang materi Sinonimi dengan memberikan contoh kata yang
bersinonim dan berantonim tersebut dalam Bahasa Bali yang dimana mudah
dimengerti di kalangan masyarakat Bali pada khususnya.
3
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk ikut memberikan sumbangan
terhadap perkembangan Bahasa Bali. Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat
memberi sumbangan keilmuan dan praktis. Manfaat pertama adalah manfaat yang
bersifat teoretis dan manfaat kedua bersifat praktis yang dijabarkan sebagai
berikut;
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk
melestarikan dan memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan cabang-
cabang kebahasaan lainnya pada masa mendatang. Sehingga dengan adanya
penelitian ini khasanah sumber bacaan bagi peminat linguistik pada umumnya,
khususnya semantik sub bab Relasi Makna dengan contohnya dalam Bahasa Bali
akan dapat lebih diperkaya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca serta
kawan-kawan mahasiswa agar dapat mengetahui dan memahami penjelasan serta
pemaparan relasi makna Sinonimi dengan contohnya dalam Bahasa Bali. Manfaat
lainnya adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan pembaca dan
kawan-kawan mahasiswa di bidang kebahasaan khususnya dalam Bahasa Bali dan
secara sadar ikut serta melestarikannya.
4
BAB II
LANDASAN TEORI, METODE DAN TEKNIK, SERTA SUBER DATA
2.1 Landasan Teori
Sebagai salah satu komponen bahasa, semantik pernah kurang
diperhatikan orang karena objek studinya, yaitu makna, dianggap sukar ditelusuri
dan dianalisis strukturnya. Makna sangat bersifat arbitrer, berbeda dengan morfem
atau kata, sebagai sasaran dalam studi morfologi, yang strukturnya tampak jelas
dan dapat disegmen-segmenkan. Semantik dapat berarti "teori makna" atau "teori
arti" (Verhaar, 1986 : 124). Semantik juga merupakan kajian lanjutan setelah
melakukan kajian sintaksis. Kajian semantik adalah kajian yang berkaitan dengan
makna. Dalam bidang ini akan dijumpai makna leksikal, gramatikal, asosiatif, dan
sebagainya (Suhardi, 2012 : 28).
Dalam setiap bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, seringkali kita temui
adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan
bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi
kemaknaan ini salah satunya menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi)
(Suhardi, 2012 : 83).
2.2 Metode dan Teknik
Metode berasal dari bahasa latin yaitu kata methodos, sedangkan methodos
itu sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, mengikuti,
5
sesudah. Sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih
luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi-strategi untuk memahami
realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat
berikutnya (Rama, 2009 : 34). Metode adalah cara kerja yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk memudahkan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yaitu
kebenaran hasil penelitian. Sedangkan teknik merupakan usaha pemenuhan dari
metode dalam pelaksanaan penelitian. Dengan kata lain teknik adalah "tangan"
metode (Jendra, 1981 : 19). Metode yang digunakan dalam makalah ini sebagai
berikut :
2.2.1 Metode Penyediaan Data
Metode yang digunakan dalam penyediaan data yakni metode simak.
Metode simak didukung dengan metode studi pustaka. Dalam tahap penyediaan
data ditunjang dengan teknik membaca dan teknik catat
2.2.2 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan yakni metode kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis . metode ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menentukan persepsi, pendapat dan perasaan tentang gagasan atau topik yang
dibahas
2.2.3 Metode Penyajian Data
Metode yang digunakan adalah metode informal. Metode informal adalah
proses penyajian data dengan penyusunan kata-kata biasa menjadi suatu kalimat.
6
Metode ini didukung dengan teknik deduktif - induktif dan induktif - deduktif
secara bergantian.
2.3 Sumber Data
Pada tahap penyediaan data dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data
sekunder. Namun dalam paper ini hanya mempergunakan data sekunder saja. Data
sekunder dalam penelitian ini mencakup literatur-literatur atau buku-buku yang
menunjang kelancaran penelitian yang akan dilakukan, serta mengumpulkan
literatur yang berkaitan dengan Semantik sub bab Relasi Makna, Sinonimi.
7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu
“onomi” yang berarti 'nama', dan 'syn' yang berarti 'derigan'. Maka secara harfiah
kata sinonimi berarti 'nama lain untuk benda atau hal yang sama'. Secara
semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata,
frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan
lain. Dalam bahasa Bali contohnya semisal kata luimg dan becik adalah dua buah
kata yang bersinonim, lalu ada kata cokor, batis, kikil, dan buntut, merupakan
empat buah kata yang bersinonimi. Ada juga seda, newata, lebar, padem, mati,
dan bangke, adalah enam buah kata yang bersinonimi.
Contoh lain kata dalam Bahasa Bali yang bersinonimi antara lain;
Sirah (M), Duur (Asi), Prabu (Asi), tendas (K) = Kepala.
Yeh (K), Toya (Ami), Banyu = Air.
Bibih (K), Lambe (Ami) = Bibir.
Buana, Jagat, Gumi = Bumi.
Bunga, Puspa, Kusuma, Puspita, Sekar (Asi) = Bunga.
Kuping (K), Kama (Asi) = Telinga.
Mata (K), Paningalan (M), Panyingakan, Pangaksian, Panyuryanan (Asi) =
Mata.
8
* NB: Asi = alus singgih, Ami = alus mider, M = mider, K = kasar
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Jadi kalau kata luung bersinonim dengan kata becik, begitu pula kalau kata cokor
bersinonim dengan kata batis. Kalau di bagankan dapat dilihat seperti berikut:
Pada definisi diatas dikatakan bahwa 'maknanya kurang lebih sama'. Ini
berarti, dua buah kata yang bersinonim itu, kesamaannya tidaklah seratus persen,
hanya kurang lebih saja, dan kesamaannya tersebut tidak bersifat mutlak (Zgusta
1971:89, Ullman 1972:141). Seperti yang sudah di muka, ada prinsip umum
semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka maknapun akan berbeda,
walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga kata-kata bersinonim,
karena bentuknya berbeda maka maknanyapun tidak persis sama. Jadi, makna
kata cokor dan batis tidak persis sama; makna kata lebar, mati, dan bangke pun
tidak persis sama. Andaikata kata lebar dan mati itu maknanya persis sama, tentu
kita dapat mengganti kata mati dalam kalimat *kuluke ento mati ulian lilig mohil
menjadi *kuluke ento lebar ulian lilig mobil, atau kalimat *Ratu Peranda lebar
dibi peteng menjadi *Ratu Peranda mati dibi peteng. Tetapi ternyata penggantian
Cokor Batis
9
tidak dapat dilakukan, ini bukti bahwa kata-kata yang bersinonim tersebut tidak
memiliki makna yang sama.
Coba perhatikan masalah berikut, secara semantis kalau kata cerik sama
rnaknanya dengan kata alit (kecil); dan kata cerik juga sama maknanya dengan
kata anteng (selendang); maka berarti kata kecil sama maknanya dengan kata
selendang; ternyata kata kecil sedikitpun tidak memiliki persamaan makna dengan
kata selendang.
Perhatikan pemaparan berikut!
Cerik = alit (kecil)
Cerik = anteng (selendang)
Jadi, *alit = anteng
Tetapi ternyata alit (kecil) tidak sama dengan anteng (selendang). Padahal dalam
matematika:
A = b
A = c
Maka sudah pasti b = c. Ternyata dalam semantik kaidah itu tidak berlaku, karena
kesamaan makna antara cerik dan alit tidak mutlak 100%, begitu pula dengan kata
cerik dan anteng tidak mutlak 100% memiliki kesamaan. Oleh karena itu bisa saja
terjadi pada antara kata alit dan anteng tidak ada kesamaan sedikitpun. Dengan
kata lain, kesamaan makna memang menyentuh cerik dan alit, cerik dan anteng,
tetapi cerik dan alit tidak ada sentuhan sedikitpun.
10
Jadi, jika kalau cerik (A) bersinonim dengan alit (B), memang bisa
diterima karena bagian atau unsur maknanya yang sama yaitu pada bagian (AB);
jika kalau cerik (A) bersinonim dengan anteng (C) juga dapat diterima karena ada
bagian atau unsurnya yang sama yaitu pada bagian (AC). Tetapi cerik (A) jelas
tidak mutlak 100% memiliki kesamaan makna dengan anteng (C), karena antara
keduanya tidak ada bagian atau unsur makna yang sama.
Dapat diperhatikan contoh lain seperti berikut;
Apel dalam Bahasa Bali berarti buah apel, namun Apel dalam Bahasa Bali
juga berarti lambat/larinya lambat.
Atat dalam Bahasa Bali berarti menarik (ngatat), namun Atat juga dapat
berarti Burung Kakak Tua.
Babad dalam Bahasa Bali memiliki arti babad, tambo, atau sejarah. Namun
Babad juga bisa berarti selaput rongga perut hewan (seperti sapi/kambing),
disamping itu Babad pun bisa memiliki arti rabas.
Balu dalam Bahasa Bali dapat berarti janda/duda. Namun bisa juga berarti
istilah dalam tajen (sabung ayam).
Dulu dalam Bahasa Bali memiliki arti hulu, tetapi Dulu juga memiliki arti
lihat.
Kajang dalam Bahasa Bali memiliki arti yang salah satunya adalah namun di
sisi lain Kajang juga berarti kain putih yang berlukiskan wujud manusia
dibuat dari nang kepeng yang dijahit serta berisi tulisan suku kata sakti
(Ongkara), dipergunakan sebagai penutup terluar dari mayat pada waktu
upacara ngaben.
11
Menurut teori Verhaar yang sama tentunya adalah informasinya, informasi
ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat
intralingual. Kembali ke contoh diatas, misalnya kata lebar dan kata mati. Kata
lebar memiliki komponen makna (1) tiada bernyawa, (2) hanya dikenakan pada
manusia (yang sangat disucikan dan dihormati, semisal pendeta/ Ratu Peranda).
Sedangkan mati memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa, (2) dapat
dikenakan terhadap apa saja baik itu tumbuhan, binatang, dan manusia (khusus
manusia, nilai rasanya condong mengarah kepada rasa "kasar"). Maka dengan
demikian kata lebar dan mati hanya bersinonim pada komponen makna (1) tidak
bernyawa. Karena itu jelas bagi kita kalau Peranda, sapi, dan bambu bisa mati;
tetapi yang bisa lebar hanya Peranda, sedangkan sapi dan bambu tidak bisa.
Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang
bersinonim adalah banyak sebabnya. Dalam Bahasa Indonesia antara lain karena;
a) Faktor waktu.
Contohnya dalam Bahasa Bali kata oto bersinonim dengan kata montor.
Namun kedua kata tersebut tidak mudah untuk dipertukarkan, karena kata oto
hanya cocok untuk situasi pada masa awal kedatangan kendaraan bermesin di
Bali. Sedangkan kata montor cocok pada masa sekarang ini.
b) Faktor tempat atau daerah
Contohnya kata nani dan cai adalah dua buah kata yang berarti kamu (Kasar)
yang bersinonim. Tetapi kata nani hanya cocok/sering kita temukan dalam
konteks pemakaian di daerah Buleleng. Sedangkan kata cai, secara umum
12
hampir seluruh daerah di Bali menggunakan kata cai yang artinya kamu
(kasar).
Selain itu ada beberapa contoh lain sebagai berikut;
kata jineng dan glebeg. Di beberapa daerah ada yang dominan mengakatan
lumbung itujineng dan ada juga beberapa daerah yang mengatakannya
dengan glebeg.
Kata penggorengan dan genjeng. Di sebagian besar daerah di Bali
menyebut penggorengan dengan pcmgorengan, namun ada beberapa
daerah yang menyebut penggorengan tersebut dengan kata genjeng seperti
di daerah Karangasem.
Kata sinduk dan cekot. Beberapa daerah di Bali menyebut sendok dengan
sinduk, namun ada beberapa daerah yang menyebut sendok tersebut
dengan kata cekot seperti di daerah Klungkung.
c) Faktor sosial
Contohnya kata titiang dan cang, adalah dua buah kata yang bersinonim yang
sama-sama memiliki arti saya/aku. Kata titiang hanya dapat digunakan untuk
berbicara kepada lawan bicara seorang yang dihormati atau disucikan semisal
bapak bupati atau Ratu Peranda. Sedangkan kata cang hanya dapat digunakan
kepada lawan bicara yang adalah teman sebaya atau teman yang sudah sangat
akrab dengan kita.
Contoh lainnya;
13
Kata ida dan kata cat, adalah dua kata yang bersinonim yang sama-sama
memiliki arti kamu/anda. Kata ida hanya dapat dipergunakan untuk lawan
bicara dimana lawan bicara tersebut adalah orang yang ditinggikan
(kasinggihang) semisal Ratu Peranda. Sedangkan kata cai hanya dapat
dipergunakan kepada lawan bicara yang adalah teman yang itupun sudah
akrab, namun kata cat akan terasa sama di ucapan kita disaat kita sedang
merasa emosi atau marah kepada seseorang.
d) Faktor bidang kegiatan
Semisal kata surya dan kata matanai adalah dua buah kata yang bersinonim
yang sama-sama memiliki arti matahari. Namun kata surya hanya cocok dan
lazim digunakan dalam mantra dan bidang sastra. Sedangkan kata matanai
dapat digunakan secara umum.
e) Faktor nuansa makna
Contoh kata nyingakin, nengneng, sledet, dan nolih adalah empat buah kata
yang bersinonim. Kata nyingakin memang dapat digunakan secara umum
yang artinya melihat; tetapi kata nengneng hanya digunakan untuk melihat
dengan tatapan tajam/melotot; kata sledet hanya digunakan untuk melihat
dengan bagian sudut mata/melirik; dan nolih hanya digunakan untuk melihat
dengan bagian seluruh kepala ikut memutar mengikuti arah tatapan mata/
menengok.
Contoh lain adalah kata merajan dan katapura. Keduanya sama-sama kata
bersinonim yang artinya tempat umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi
14
beserta manifestasinya. Namun kata Pura lebih luas maknanya karena dalam
kata Pura juga termasuk parahyangan, pelinggih, pemerajan, pedarman, dll.
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim
adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas
kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonimpun bukan
hanya kata dengan kata, tetapi juga banya terjadi antara satuan-satuan bahasa
lainnya.
Perhatikan contoh dibawah ini:
a) Sinonim antara morfem (bebas) dengan mortem (terikat), seperti antara ipun
dengan ne dalam kalimat:
Limanne kadung misi endut.
Liman ipun kantun madaging endut.
Pada contoh diatas dalam Bahasa Bali, ada sinonimi antara morfem (bebas)
dengan morfem (terikat) namun dalam Bahasa Bali kembali perlu
diperhatikan tentang unsur lengkara dan rasa basa dalam Bahasa Bali itu
sendiri. Dimana penggunaan ne cenderung pada kalimat/lengkara kasar,
sedangkan ipun dipergunakan pada kalimat/lengkara alus singgih.
b) Sinonim antara kata dengan kata seperti antara kata;
lebar dengan se da
luung dengan becik
cokor dengan batis
kuping dengan karna
15
panyingakan dengan mata
lain-lain.
c) Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara mekeber
dengan ngangkasa, serta kata adi dengan nyama tugelan.
d) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya antara meme bapa dengan
rerama; adi embok dengan nyama tugelan.
e) Sinonimi antara kalimat dengan kalimat. Misalnya Meme ngejuk pitik dengan
Pitike kaejuk olih meme. Kedua kalimat ini pun dianggap bersinonim
walaupun kalimat pertama adalah kalimat aktif dan kalimat kedua adalah
kalimat pasif.
Akhirnya mengenai sinonim ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim, begitu
pula dalam bahasa Bali, misalnya keris, capil, sampi, tedung, dan lain lain tidak
memiliki sinonim. Kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi
tidak pada bentuk jadian, misalnya kata bench pada bentuk dasar bersinonim
dengan kata seken, namun pada bentuk jadian kabenehm(dibenarkan/dibetulkan)
tidak bersinonim dengan kata hasekenin(dipastikan) pada bentuk jadian. Ketiga,
ada kata-kata yang tidak bersinonim pada bentuk dasar tetapi bersinonim pada
bentuk jadian, semisal kata ajah tidak memiliki sinonim pada bentuk dasar,
namun memiliki sinonim pada bentuk jadian ngajahin dengan ngurukang.
Keempat, ada kata-kata pada arti "sebenarnya" tidak memiliki sinonim namun
pada arti "kiasan" memiliki sinonim. Misalnya kata barak pada arti "sebenarnya"
16
tidak memiliki sinonim, namun pada arti "kiasan" ada sinonimnya yaitu biing,
panes, wanen/bani.
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu
'onoma' yang berarti 'namd, dan 'syn' yang berarti 'dengan'. Maka secara harfiah
kata sinonimi berarti 'nama lain untuk benda atau hal yang sama'. Secara
semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata,
frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan
lain. Dalani bahasa Bali contohnya semisal kata luung dan becik adalah dua buah
kata yang bersinonim, lalu ada kata cokor, batis, kikil, dan buntut, merupakan
empat bbuah kata yang bersinonimi. Ada juga seda, newata, lebar,padem, mati,
dan bangke, adalah enam buah kata yang bersinonimi. Hubungan makna antara
dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi kalau kata luung
bersinonim dengan kata becik, begitu pula kalau kata cokor bersinonim dengan
kata batis.
Pada definisi diatas dikatakan bahwa 'maknanya kurang lebih sama'. Ini
berarti, dua buah kata yang bersinonim itu, kesamaannya tidaklah seratus persen,
hanya kurang lebih saja, dan kesamaannya tersebut tidak bersifat mutlak (Zgusta
1971:89, Ullman 1972:141). Seperti yang sudah di muka, ada prinsip umum
semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka maknapun akan berbeda,
walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga kata-kata bersinonim,
18
karena bentuknya berbeda maka maknanyapun tidak persis sama. Jadi, makna
kata cokor dan batis tidak persis sama; makna kata lebar, mati, dan bangke pun
tidak persis sama. Andaikata kata lebar dan mati itu maknanya persis sama, tentu
kita dapat mengganti kata mati dalam kalimat *kuluke ento mati ulian lilig mobil
menjadi *kuluke ento lebar ulian lilig mobil, atau kalimat *Ratu Peranda lebar
dibipeteng menjadi *Ratu Peranda mati dibi peteng. Tetapi ternyata penggantian
tidak dapat dilakukan, ini bukti bahwa kata-kata yang bersinonim tersebut tidak
memiliki makna yang sama.
Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang
bersinonim adalah banyak sebabnya. Dalam Bahasa Indonesia antara lain karena;
Faktor waktu
Faktor tempat atau daerah
Faktor sosial
Faktor bidang kegiatan
Faktor nuansa makna.
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim
adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas
kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonimpun bukan
hanya kata dengan kata, tetapi juga banya terjadi antara satuan-satuan bahasa
lainnya.
Perhatikan contoh dibawah ini:
19
f) Sinonim antara mortem (bebas) dengan mortem (terikat), seperti antara ipun
dengan ne dalam kalimat:
Limanne kadung misi endut.
Liman ipun kantun madaging endut.
Pada contoh diatas dalam Bahasa Bali, ada sinonimi antara morfem (bebas)
dengan morfem (terikat) namun dalam Bahasa Bali kembali perlu
diperhatikan tentang unsur lengkara dan rasa basa dalam Bahasa Bali itu
sendiri. Dimana penggunaan ne cenderung pada kalimat/lengkara kasar,
sedangkan ipun dipergunakan pada kalimat/lengkara alus singgih.
g) Sinonim antara kata dengan kata seperti antara kata;
lebar dengan seda
luung dengan becik
cokor dengan batis
kuping dengan karna
panyingakan dengan mata
lain-lain.
h) Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara mekeber
dengan ngangkasa, serta kata adi dengan nyama tugelan.
i) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya antara meme bapa dengan
reratna; adi embok dengan nyama tugelan.
Sinonimi antara kalimat dengan kalimat. Misalnya Meme ngejuk pitik
dengan Pitike kaejuk olih meme. Kedua kalimat ini pun dianggap bersinonim
20
walaupun kalimat pertama adalah kalimat aktif dan kalimat kedua adalah kalimat
pasif.
4.2 Saran
Semoga dengan pemaparan paper mengenai Sinonimi dengan contoh-
contohnya dalam Bahasa Bali, bisa lebih memberi gambaran kepada rekan-rekan
mahasiswa serta masyarakat tentang materi Sinonimi dalam kajian Semantik.
Semoga dikemudian hari kajian-kajian di bidang Linguistik makin lebih
diminati oleh rekan-rekan mahasiswa untuk mengembangkan bidang kebahasaan
baik secara lokal, nasional, bahkan internasional.
21
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, Ida Pedanda Gede Buruan Munik. 2013. Berbicara Bahasa Bali 1.
Gianyar: Widya Pustaka.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Tim Penyusun Kamus Indonesia - Bali. 1996. Kamus Indonesia - Bali. Denpasar:
Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali
Tim Penyusun Kamus Bali-lndonesia. 2008. Kamus Bali - Indonesia Beraksara
Bali Dan Latin. Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, Dan Sastra
Bali Provinsi Bali.
Suhardi. 2012. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sudaryanto. 1993. Metode Dan Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelilian
Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.