1
SISTEM BAGI HASIL PRODUK SIMPANAN WADIAH DAN PEMBAGIAN
KEUNTUNGAN SERTA KERUGIAN PADA BANK SYARIAH
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Syarat-syarat Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
AZFAN LUTHFI
NIM E0005112
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
SISTEM BAGI HASIL PRODUK SIMPANAN WADIAH DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN SERTA KERUGIAN PADA BANK SYARIAH
Oleh
AZFAN LUTHFI
NIM. E0005112
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Desember 2009
Pembimbing
Mohammad Adnan, S.H., M.Hum.
NIP. 195407121984031002
PENGESAHAN PENGUJI
3
Penulisan Hukum (Skripsi)
SISTEM BAGI HASIL PRODUK SIMPANAN WADIAH DAN PEMBAGIAN
KEUNTUNGAN SERTA KERUGIAN PADA BANK SYARIAH
Disusun Oleh:
AZFAN LUTHFI
NIM E0005112
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada :
Hari : Jumat Tanggal : 15 Januari 2010
DEWAN PENGUJI
Agus Rianto, S.H., M.Hum. (1) :
Ketua (2) Mohammad Adnan, S.H., M.Hum. :
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 196109301986011001
PERNYATAAN
4
Nama : Azfan Luthfi
NIM : E0005112
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul :
Sistem Bagi Hasil Produk Simpanan Wadiah dan Pembagian Keuntungan Serta
Kerugian Pada Bank Syariah adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan
karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi) ini.
Surakarta, Desember 2009
yang membuat pernyataan
Azfan Luthfi
NIM. E0005112
5
ABSTRAK AZFAN LUTHFI, E0005112. 2010. SISTEM BAGI HASIL PRODUK
SIMPANAN WADIAH DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN SERTA KERUGIAN PADA BANK SYARIAH. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem bagi hasil produk simpanan wadiah pada bank syariah, mendeskripsikan pembagian keuntungan dan kerugian dalam produk simpanan wadiah pada bank syariah, dan mendeskripsikan implikasi hukum bagi nasabah dan bank atas keuntungan dan kerugian sesudah diinvestasikan dalam sistem bagi hasil beserta cara penyelesaian terhadap sengketa yang mungkin timbul sehubungan dengan keuntungan dan kerugian tersebut.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan baik berupa buku-buku, dokumen, dan arsip yang tersedia di lokasi penelitian serta pengumpulan data melalui cyber media. Analisis data dilaksanakan dengan interpretasi terhadap ketentuan perundang-undangan yang terkait. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa sistem bagi hasil produk simpanan wadiah di bank syariah menggunakan akad wadi’ah yad adz-dhamanah di mana pihak penerima titipan boleh memanfaatkan obyek titipan namun pihak yang menitipkan sewaktu-waktu dapat mengambil obyek titipan, penerapan akad wadiah ini sendiri biasanya berbentuk giro walaupun tidak tertutup kemungkinan berbentuk tabungan. Pembagian keuntungan dan kerugian produk simpanan wadiah ialah apabila ada keuntungan bank tidak memiliki kewajiban untuk memberikan sebagian hasil keuntungan tersebut namun apabila bank menghendaki maka bank diperbolehkan untuk memberikan sebagian hasil keuntungan dari pemanfaatan harta simpanan wadiah sebagi bentuk bonus, namun apabila ada kerugian maka nasabah tidak ikut menanggung kerugian tersebut sebagai implikasi dari digunakannya akad wadi’ah yad adz-dhamanah. Implikasi hukum dan penyelesaian sengketa terkait keuntungan maupun kerugian terkait produk simpanan wadiah ialah apabila ada keuntungan maka bank tidak memiliki kewajiban untuk memberikan sebagian hasil keuntungan tersebut namun apabila bank menghendaki maka bank diperbolehkan untuk memberikan sebagian hasil keuntungan dari pemanfaatan harta simpanan wadiah sebagai bentuk bonus, namun apabila dana yang dimanfaatkan tersebut mengalami kerugian maka nasabah juga ikut menanggung kerugian tersebut sebagai konsekuensi diterapkannya sistem bagi hasil. Apabila akibat kerugian tersebut terjadi persengketaan antara nasabah dan bank dan berujung kepada persengketaan maka ada beberapa cara yang digunakan yaitu penyelesaian melalui beracara di Pengadilan Agama (Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah), dengan jalan musyawarah, dengan menggunakan mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, melalui jalur Badan Arbitrase Syariah Nasional maupun lembaga arbitrase lain, atau melalui jalan beracara di peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum (Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah). Kata Kunci : Sistem bagi hasil simpanan wadiah, pembagian keuntungan dan kerugian, implikasi hukum dan penyelesaian sengketa.
6
ABSTRACT
AZFAN LUTHFI, E0005112. 2010. PROFIT SHARING SYSTEM OF
WADI’AH SAVING PRODUCT IN SHARI’A BANK AND PROFIT AND FINANCIAL LOSS SHARING IN SHARI’A BANK. Law Faculty Sebelas Maret University of Surakarta.
This research has a purpose to describe the profit sharing system of wadi’ah saving product in shari’a bank, describe the profit and financial loss sharing of wadi’ah saving product in shari’a bank, and describe the law implication to the client and bank to profit and financial loss after investing in profit sharing system and the solution way toward dispute related with those profit and financial loss.
This research is normative law research that is descriptive. The kinds of data are used in this research is secondary data. The source of secondary data used include primer law matter, secondary law matter, and tertiary law matter. The technique of data collection used is literature study neither data form book, document and archives included in research location and the data collection by cyber media. Data analysis is done with the interpretation toward the stipulation of legislation included.
Based on the result of research is acquired the conclusion that profit sharing system of wadiah saving product in shari’a bank uses wadi’ah yad adz-dhamanah agreement where the deposit receiver can use the deposit object but the depositor side can take the deposit object anytime, this application of wadiah agreement usually has the form of clearing although can be savings. The profit and financial loss sharing of wadi’ah saving product is if there are bank profit has not obligation of giving part of those profit outcome but if bank requires, then bank is permitted to give part of those profit from the use of wealth wadi’ah saving as a bonus, but if there are financial loss, then the client does not guarantee that financial loss as the implication of wadi’ah yad adz-dhamanah agreement used. The law implication and dispute solving related with profit and financial lost of wadi’ah saving product is if there is profit, the bank has not obligation to give the part of profit outcome, but if bank requires, then bank is permitted to give part of profit outcome from the use of wealth of wadi’ah savings as bonus, but if there are financial loss, the client is forced to guarantee that financial loss as the implication of profit and loss sharing system. If the financial loss that culminate in conflict, then there are several ways that can be used, namely the settlement of be in litigation in Religion Court (section 55 verse (1) Law Number 21, 2008 about Shari’a Banking), by using deliberation, by using banking mediation is held by Bank of Indonesia, through Badan Arbitrase Syariah Nasional or the other arbitration institution, or through litigation in General Court (Section 55 verse (2) Law Number 21, 2008 about Shari’a Banking).
Keywords: Profit sharing of wadi’ah saving product, profit and financial loss sharing, law implication and dispute solution.
7
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
yang berjudul : “SISTEM BAGI HASIL PRODUK SIMPANAN WADIAH DAN
PEMBAGIAN KEUNTUNGAN SERTA KERUGIAN PADA BANK SYARIAH”
dengan baik dan lancar.
Penulisan hukum ini membahas tentang dasar hukum dalam kegiatan perbankan
syariah utamanya terkait dengan produk simpanan wadiah baik pada segi sistem bagi
hasil yang diterapkan dan tata cara pembagian keuntungan serta kerugian beserta
implikasi hukum beserta cara penyelesaian terhadap sengketa yang mungkin timbul atas
keuntungan maupun kerugian yang diperoleh atas simpanan wadiah tersebut.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Sebelas
Maret Surakarta.
2. Bapak Mohammad Adnan, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus
selaku Pembimbing Skripsi.
3. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membantu penulis dalam menuntut ilmu dan menyelesaikan kuliah serta selalu
memberikan nasehat dan masukan kepada penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada
penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga
dapat penulis terapkan dalam kehidupan masa depan nantinya.
8
5. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus
prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan seminar
proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.
6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
atas bantuannya kepada penulis dalam mencari bahan-bahan referensi untuk
penulisan hukum ini
7. Kedua orang tua tercinta Papa Erlan Hadi dan Mama Sandra Kesuma Dewi
(Almh), yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada
kata yang dapat mewakili rasa terima kasih Ananda. Semoga Ananda dapat
membalas budi jasa kalian dengan memenuhi harapan kalian kepada Ananda.
8. Keluarga penulis tercinta Bang Dian, Kak Lia yang selalu memberikan kasih
sayang, arahan, dukungan baik moriil maupun materiil dan motivasi kepada
penulis, semoga Adik bisa membuat kalian bangga.
9. Teman-Teman kampus Aripin dan Ami, Arief Rachma dan Ajeng, Arief Pambudi,
Anton, Andhyna, Budhiarto, Andi Hakim dan Aida, Edy, Elisa, Fahmy, Andi
Purnomo dan Rury, Kelik, Devis, Rosyid, Aditya W., Aditya B., Yoga, Endrika,
Nana, Tri Wahyudi, Febri, Whisnu, Pak Ustadz Heri Widi, Bachtiyar, Bagus,
Tejo, Aad, Irawan, Bayu Novyandri, M. Silman Wiradi (Alm), Arif Maulana,
Mayang Mayurantika. Teman-teman nonreguler Om Dhimas Wardana, Om Petrus
Damianus Didith Febriyanto, Om Reza, Wibi, Gery, Fuad, Edy Maryanto, Mbak
Inge dan semuanya yang dengan setia memberi bantuan, semangat, petuah serta
dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini, terima kasih untuk semua. Semoga
Persahabatan ini tidak lekang oleh waktu dan jarak.
10. Adik-adik tingkat FH UNS Natalia “Lily” Destri Mariani, Caesia Nares Wari,
Amel, Rahma Veni, Daniek Okvita, Luris, Andriani Kartika “otik” Hapsari,
Pradina Kurnia terima kasih atas dukungan kepada penulis selama ini.
11. Seluruh Guru serta teman-teman SD, SMP, SMA dan bimbingan belajar
Primagama Manahan (Bintang Asmanda Putra, Totok, Indri, Isyunan, Pandhu,
Pandu, Deni, Ira) yang telah mengantarkan penulis menggapai cita.
12. Semua pihak yang telah banyak membantu kelancaran penelitian dan penyusunan
skripsi ini.
9
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Akhir kata penulis mohon
maaf atas semua kesalahan dan semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat.
Surakarta, Desember 2009
Penulis
AZFAN LUTHFI
10
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………….... iii
HALAMAN PERNYATAAN...................................................................................... iv
ABSTRAK…………………………………………………………………………….. v
ABSTRACT…………………………………………………………………………... vi
KATA PENGANTAR………………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….….. x
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….. xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….…….. xiii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….…….. 1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………….…… 1
B. Perumusan Masalah………………………………………………….…. 10
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………... 11
D. Manfaat Penelitian………………………………………………………. 11
E. Metode Penelitian…………………………………………………......... 12
F. Sistematika Penulisan Hukum…………………………………………... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………. 18
A. Kerangka Teori………………………………………………………….. 18
1. Tinjuan Umum tentang Pengertian dan Fungsi Bank…………… 18
a. Pengertian Bank……………………………………………... 18
b. Fungsi Bank…………………………………………………. 18
2. Tinjauan Umum tentang Bank Syariah………………………….. 19
a. Pengertian Bank Syariah………………………………….…. 19
b. Fungsi Bank Syariah………………………………………… 20
c. Ciri-Ciri Bank Syariah………………………………………. 21
d. Jenis Usaha Bank Syariah…………………………………… 22
e. Bentuk Simpanan di Bank Syariah………………………….. 27
f. Implikasi Hukum dan Cara Penyelesaian Sengketa di Bank
Syariah………………………………………………………. 29
11
3. Tinjauan Umum tentang Pengelolaan Dana Pada Bank
Syariah…………………………………………........................ 30
a. Bank sebagai penghimpun dana ……………………………. 30
b. Bank sebagai pengelola dana …………………………..…... 31
c. Bank Sebagai Penyedia Dana................................................ 32
4. Tinjauan Umum tentang Perbedaan Antara Bank
Konvensional Dengan Bank
Syariah..…………………………………...……. 32
a. Perbedaan Prinsip…………………………………………… 32
b. Perbedaan Falsafah…………………………………..…........ 35
c. Pengelolaan Dana Nasabah ………………...………………... 35
d. Kewajiban Mengelola Zakat ……………………………….. 36
e. Struktur Organisasi………………………………………….. 37
f. Akad Pembiayaan Bank Syariah………………………….…. 38
5. Tinjauan Umum tentang Ekonomi Syariah……………………… 39
a. Pengertian Sistem Ekonomi Syariah …………………….…. 39
b. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah ………………………..…. 39
B. Kerangka Pemikiran……………………………………………………....42
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………………..... 44
A. Sistem Bagi Hasil Produk Simpanan Wadiah ………………………… 44
B. Pembagian Keuntungan dan Kerugian Sesudah Diinvestasikan Dalam
Sistem Bagi
Hasil…..………………………………………………..…. 52
C. Implikasi hukum atas keuntungan dan kerugian bagi nasabah dan
bank atas keuntungan dan kerugian sesudah diinvestasikan dalam
sistem bagi hasil beserta cara penyelesaian terhadap sengketa yang
mungkin timbul sehubungan dengan keuntungan dan kerugian
tersebut………... 54
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………………... 71
A. Simpulan ……………………………………………………………....... 71
B. Saran…………………………………………………………................. 73
12
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………. 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………………………. 78
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran………………………………………….................. 42
13
DAFTAR LAMPIRAN
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 01/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Giro …………………………….………………………………………………................... 79 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 02/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Tabungan………………….………………………………………………................... 81
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, maka keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan di Indonesia
sebenarnya telah diakui dan dikenal. Bahkan, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ini merupakan pintu gerbang dimulainya
perbankan syariah di Indonesia. Namun demikian, undang-undang tersebut belum
memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah
karena belum secara tegas mengatur mengenai keberadaan bank berdasarkan prinsip
syariah, melainkan bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Eksistensi perbankan syariah baru memiliki dasar hukum yang jelas setelah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, perbankan syariah yang ada di
Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat terhadap usaha pengembangan bank
14
syariah karena di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang secara tegas mengatur
mengenai bank yang bergerak berdasarkan prinsip syariah.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
syariah menjadi dasar hukum yang cukup kuat bagi eksistensi bank syariah di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan belum secara jelas mengatur ketentuan mengenai kegiatan
perbankan syariah di Indonesia.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan
dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif
yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi
prinsip-prinsip syariah. Perkembangan sistem keuangan syariah sebenarnya telah
dimulai sebelum pemerintah secara formal meletakkan dasar-dasar hukum
operasionalnya. Dengan demikian, legalisasi kegiatan perbankan syariah melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan secara khusus diatur dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan jawaban atas
permintaan yang nyata dari masyarakat.
Sistem ekonomi tidak dapat dipisahkan dari lembaga intermediasi keuangan
(financial intermediary institution) yang memang sangat dibutuhkan masyarakat.
Namun, selama sekian ratus tahun umat Islam terbiasa dengan pelayanan bank
konvensional yang berbasis bunga, sehingga memerlukan kerja keras untuk
mewujudkan alternatifnya yang bebas bunga yaitu dengan mengembangkan
perbankan syariah.
Dengan lahirnya bank syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil
sebagai alternatif pengganti bunga pada bank konvensional, merupakan peluang bagi
15
umat Islam untuk memanfaatkan jasa bank secara optimal. Merupakan peluang,
karena umat Islam akan berhubungan dengan perbankan dengan tenang, tanpa
keraguan dan didasari oleh motivasi keagamaan yang kuat di dalam memobilisasi
dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan ekonomi umat.
Peluang tersebut tidak hanya dirasakan oleh umat Islam saja, tetapi oleh umat
nonmuslim, karena bank syariah dinilai terbukti mampu menjadi sarana penunjang
yang handal dan dapat beroperasional secara sehat, karena di dalam operasionalnya
terkandung misi kebersamaan antara nasabah dengan bank. Selain itu bank syariah
dinilai mampu hidup berdampingan secara serasi dan berkompetisi secara sehat dan
wajar dengan bank-bank konvesional yang telah ada, karena bank syariah tidak
bersifat eksklusif untuk umat Islam saja, tetapi tidak ada larangan bagi umat
nonmuslim untuk melakukan hubungan dengan bank syariah. Bahkan pengelolaannya
pun bisa dilakukan oleh orang-orang nonmuslim, seperti yang terjadi pada bank
syariah di London, Luxemburg, Swiss dan bank-bank asing di Pakistan.
Bank syariah sebagai alternatif dari bank-bank konvensional yang dianggap
kurang berhasil dalam mengemban tugas utamanya, memiliki keistimewaan-
keistimewaan yang juga merupakan perbedaan jika dibandingkan dengan bank
konvensional. Keistimewaan-keistimewaan bank syariah tersebut adalah (Karnaen
Perwaatmadja, 1997: 283):
1. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola
bank dan nasabahnya;
2. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga akan menimbulkan
akibat-akibat yang positif. Akibat-akibat itu adalah:
a. Cost push inflation, yaitu akibat penerapan sistem bunga pada bank
konvensional dapat dihilangkan, sehingga bank syariah diharapkan mampu
menjadi pendukung kebijaksanaan moneter yang handal;
b. Memungkinkan persaingan antar bank syariah secara wajar, karena
keberhasilan bank syariah ditentukan oleh fungsi edukatif bank di dalam
membina nasabah dengan kejujuran, keuletan dan profesionalisme. Akibatnya,
16
bank syariah akan lebih kokoh dari pengaruh gejolak moneter baik dalam
maupun luar negeri.
3. Di dalam bank syariah, tersedia fasilitas kredit kebaikan (al-Qardhul Hasan) yang
diberikan secara cuma-cuma. Nasabah hanya berkewajiban menanggung biaya
materai, biaya notaris dan biaya studi kelayakan;
4. Keistimewaan yang paling menonjol dari bank syariah adalah yang melekat pada
konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan dalam hal:
a. Mendorong kegiatan investasi dan menghambat simpanan yang tidak
produktif melalui sistem profit and loss sharing sebagai pengganti bunga baik
yang diterapkan kepada nasabah mudharabah dan musyarakah maupun yang
diterapkan pada banknya sendiri;
b. Memerangi kemiskinan dengan membina golongan ekonomi lemah dan
tertindas (dhuafa) melalui bantuan hibah yang diarahkan oleh bank secara
produktif;
c. Mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan dan memperluas
kesempatan kerja melalui kredit kepemilikan barang/peralatan modal dengan
pembayaran tangguh (al-murabahah) dan pembayaran cicilan (al-ba’i
bithaman ajil) yang disalurkan kepada pengusaha produsen, pengusaha
pedagang perantara dan konsumen dari barang yang dihasilkan pengusaha
produsen;
d. Meratakan pendapatan melalui sistem bagi hasil keuntungan dan kerugian
(profit and loss sharing) baik yang diberlakukan kepada banknya sendiri
selaku mudharib atau pemegang amanah maupun kepada peminjam dalam
operasi mudharabah dan musyarakah;
e. Keistimewaan lain bank syariah adalah dengan penerapan sistem bagi hasil
berarti bank tidak membebani biaya di luar kemampuan nasabah dan akan
terjamin adanya keterbukaan;
f. Adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan ekonomi masyarakat modern
cenderung menimbulkan pengeksploitasian kelompok kuat (kuat ekonomi dan
politik) terhadap kelompok lemah.
17
Bank berpendapat bahwa riba terjadi hanya dalam kaitannya dengan bunga
bank atau interest, namun pemahaman yang sempit ini tentulah menyesatkan. Riba
pada prinsipnya berarti suatu penambahan pokok dengan beban pada kekayaan pihak
lain, dengan cara-cara yang batil dan dusta. Secara lebih sederhana riba adalah upaya
mendapatkan sesuatu dari ketiadaan.
Hadirnya perbankan syariah menjadi jawaban atas dilema dan polemik
berkepanjangan tentang bunga bank yang dianggap riba dan deraan krisis ekonomi.
Dengan keberadaan perbankan syariah yang dikelola dengan profesional, kini
masyarakat, khususnya kaum muslim telah mendapati pilihan nyata untuk
mengamankan keuangannya maupun investasinya dari momok bunga bank yang
menghantui kegiatan ekonomi mereka.
Kendati respon masyarakat belum sesuai harapan terhadap perbankan syariah,
namun kesadaran masyarakat untuk menyapa dan mendayagunakan perbankan
syariah menunjukkan peningkatan yang berarti dan menggembirakan. Perkembangan
perbankan syariah di tanah air disemangati dengan lahirnya Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan serta yang terakhir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-
jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan perbankan syariah.
Pada saat ini, larangan-larangan terhadap bunga dari kalangan agama sering
kali dilihat tidak lebih dari sekedar embel-embel yang mengganggu dan bersumber
dari keterbelakangan pemahaman yang mungkin dimotivasi oleh ketidaksukaan orang
yang berpikiran sederhana terhadap cara memberi pinjaman uang dizaman dulu.
Seringkali argumen agama tampaknya tidak ilmiah dan lemah ketika berhadapan
dengan ahli ekonomi yang memiliki kemampuan yang baik dalam hal teori keuangan.
Sebaliknya, berbagai argumen pembenaran konsep bunga dikemas dalam
bentuk yang bersifat ilmiah dan dikembangkan dengan baik sebagai upaya
18
pembenaran di dalam praktiknya. Beberapa konsep utama yang dipakai untuk
mendukung konsep bunga adalah konsep berpikiran inflasi, dan konsep antisipasi
terhadap risiko. Konsep-konsep tersebut pada intinya menggambarkan manfaat yang
dapat diperoleh pada saat ini dibandingkan nanti, dan keberadaan bunga adalah
bertujuan untuk memberi kompensasi mereka yang melepaskan uang sekarang untuk
mendapatkan imbalan atas uang yang dikeluarkannya kemudian hari.
Sistem perbankan yang menerapkan bunga sekarang dirasakan kurang berhasil
dalam membantu mengurangi kemiskinan dan meratakan pendapatan baik di tingkat
internasional maupun di tingkat nasional. Dikatakan kurang berhasil dalam
mengentaskan kemiskinan, karena bank dengan perangkat bunganya akan memberi
peluang kepada kelompok masyarakat miskin untuk mengembangkan usahanya lebih
baik di bidang ekonomi. Tetapi sebaliknya orang-orang miskin sebagai nasabah
semakin berjiwa konsumtif dan ketergantungannya semakin tinggi kepada bank. Jika
kreditnya habis untuk kepentingan-kepentingan konsumtif, langsung mengambil
kredit lagi secara terus menerus. Bahkan pengambilan kredit dilakukan di berbagai
bank sehingga pada akhirnya mereka akan terlilit utang bunga yang semakin besar.
Akhirnya, secara realistis, gagasan berdirinya bank Islam tanpa bunga adalah
didasarkan pada konsep hukum syirkah dan mudharabah yang secara bertahap telah
berevolusi selama tiga puluh tahun atau sebelumnya yang menimbulkan modal
perbankan yang cukup lengkap diawali dekade tujuh puluhan (Muhammad Najatullah
Siddiqi, 1983: 28-37).
Di dalam era pembangunan ekonomi setiap negara dewasa ini peranan
lembaga perbankan sangat besar dan menentukan. Dengan beroperasinya bank yang
berdasarkan prinsip syariat Islam, diharapkan mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap terwujudnya suatu sistem ekonomi Islam yang menjadi keinginan bagi setiap
negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sistem
ekonomi Islam yang dimaksud adalah sistem ekonomi yang terjadi setelah prinsip
19
ekonomi yang menjadi pedoman, kerjanya dipengaruhi atau dibatasi oleh ajaran-
ajaran Islam (Syafruddin Prawiranegara, 1988: 80).
Bank syariah selain menjembatani antara pihak yang kelebihan dana dengan
pihak yang membutuhkan dana, juga secara khusus mempunyai fungsi amanah.
Untuk menjaga fungsi amanah tersebut, perlu adanya pengawasan yang melekat pada
setiap orang yang terlibat di dalam aktivitas perbankan berupa motivasi keagamaan
maupun pengawasan melalui kelembagaan.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
menetapkan sistem perbankan di Indonesia sebagai “dual banking system” atau sistem
perbankan ganda yaitu konvensional dan syariah di mana bank-bank konvensional
beroperasi berdampingan dengan bank-bank syariah, maka landasan hukum syariah
telah cukup jelas dan kuat baik dari segi kelembagaannya maupun landasan
operasionalnya. Selanjutnya dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat melaksanakan kebijakan
moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sehingga Bank Indonesia dapat pula
mempengaruhi likuiditas perekonomian melalui bank-bank syariah seperti
menggunakan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) untuk menampung
kelebihan likuiditas bank syariah tanpa bunga.
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia merupakan instrumen kebijakan moneter
yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan kelebihan likuiditas pada bank yang
beroperasi dengan prinsip syariah. Sertifikat wadiah memiliki beberapa karakteristik
sebagai berikut (Wirdyaningsih dkk, 2005: 185):
1. Merupakan tanda bukti penitipan dan berjangka pendek;
2. diterbitkan oleh Bank Indonesia;
3. merupakan instrumen kebijakan moneter dan sarana penitipan dana sementara;
4. ada bonus atas transaksi penitipan dana.
20
Sistem perbankan syariah yang menerapkan pola pembiayaan usaha dengan
prinsip bagi hasil sebagai salah satu prinsip pokok dalam kegiatan perbankan syariah,
akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada masing-masing pihak, baik bank
syariah maupun nasabah. Dengan demikian, dalam menjalankan kegiatannya semua
pihak pada hakekatnya akan memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential
principle), dan akan memperkecil kemungkinan resiko terjadinya kegagalan usaha.
Adapun prinsip-prinsip dasar dalam sistem perbankan syariah ini antara lain:
1. Prinsip titipan atau simpanan wadiah
Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendakinya. Aplikasinya dalam produk perbankan, di
mana bank syariah sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini
yang dalam bank konvensional dikenal dengan produk giro. Sebagai konsekuensi,
semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank
syariah (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat
jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.
Dalam dunia perbankan yang semakin kompetitif, insentif atau bonus
dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini
dilakukan dalam upaya menimbulkan semangat masyarakat dalam menabung dan
sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang
dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan
dalam nominal atau persentase secara detail, tetapi betul-betul merupakan
kebijakan bank.
2. Prinsip bagi hasil (profit-sharing) mudharabah
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua
pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pihak
21
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk
pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah
diterapkan pada produk tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan,
mudharabah, diterapkan untuk produk pembiayaan modal kerja.
Dengan menempatkan dana dalam prinsip mudharabah, pemilik dana
tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah
bagian keuntungan. Dalam praktiknya, nisbah untuk tabungan berkisar 55 –56
persen dari hasil investasi yang dilakukan oleh bank.
Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan
modal untuk berdagang maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan
bagi hasil seperti mudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu
perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut.
Misalkan, dari modal Rp 30 juta diperoleh pendapatan Rp 5 juta/bulan. Dari
pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan
pengembalian modal, sebut saja Rp 2 juta. selebihnya dibagi antara bank dengan
nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40
persen untuk bank.
3. Prinsip musyarakah
Dalam sistem ini terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal.
Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan. Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa disebut di bank
konvensional sebagai sarana pembiayaan. Secara konkret, bila seseorang memiliki
usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal, orang tersebut bisa menggunakan
produk musyarakah ini. Inti dari pola ini adalah, bank syariah dan seseorang
22
secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian digunakan
untuk menjalankan usaha. Porsi bank syariah akan diberlakukan sebagai
penyertaan dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Dalam bank
konvensional, pembiayaan seperti ini mirip dengan kredit modal kerja.
4. Prinsip murabahah
Dalam hal ini, terjadi jual beli suatu barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam
hal ini harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahan. Misal seseorang membutuhkan kredit
untuk pembelian mobil. Pada bank konvensional orang tersebut akan dikenakan
bunga dan diharuskan membayar cicilan bulanan selama waktu tertentu. Di sektor
perbankan konvensional, suku bunga yang berlaku mungkin saja berubah.
Dalam sistem bank syariah, tentu saja produk seperti ini juga tersedia.
Namun bentuknya bukan kredit, melainkan menggunakan prinsip jual-beli, yang
diistilahkan dengan murabahah. Dalam hal ini misalnya, bank syariah akan
membeli mobil yang diinginkan terlebih dahulu, kemudian menjualnya lagi. Tapi,
karena bank syariah membayarnya terlebih dahulu, maka pada saat menjual,
harganya sedikit lebih mahal, sebagai bentuk keuntungan bagi bank syariah.
Karena bentuk keuntungan bank syariah sudah disepakati di depan, maka nilai
cicilan yang harus dibayarkan relatif lebih tetap.
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis berusaha untuk
menyusun penelitian hukum dengan judul “SISTEM BAGI HASIL PRODUK
SIMPANAN WADIAH DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN SERTA
KERUGIAN PADA BANK SYARIAH”.
B. Perumusan Masalah
23
Perumusan masalah perlu diadakan sebelum melangkah ke penelitian lebih
lanjut, sehingga tidak akan menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam serta
bertujuan agar tulisan dan ruang lingkup penelitian uraiannya terbatas pada hal atau
masalah yang akan diteliti.
Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah yang telah dikenakan
diatas sekiranya, maka perlu dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas.
Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem bagi hasil produk simpanan wadiah pada bank syariah?
2. Bagaimanakah pembagian keuntungan dan kerugian sesudah diinvestasikan dalam
sistem bagi hasil?
3. Bagaimanakah implikasi hukum atas keuntungan dan kerugian bagi nasabah dan
bank sesudah diinvestasikan dalam sistem bagi hasil beserta cara penyelesaian
terhadap sengketa yang mungkin timbul sehubungan dengan keuntungan dan
kerugian tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan sudah pasti mempunyai tujuan yang jelas
tentang apa yang hendak dicapai agar penelitian tersebut dapat membawa manfaat
baik bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain. Dalam penelitian kali ini, tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
24
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mendeskripsikan dan mengetahui sistem bagi hasil produk simpanan
wadiah pada bank syariah;
b. Untuk mendeskripsikan dan mengetahui pembagian keuntungan dan kerugian
dalam produk simpanan wadiah pada bank syariah;
c. Untuk mendeskripsikan dan mengetahui implikasi hukum bagi nasabah dan
bank atas keuntungan dan kerugian sesudah diinvestasikan dalam sistem bagi
hasil beserta cara penyelesaian terhadap sengketa yang mungkin timbul
sehubungan dengan keuntungan dan kerugian tersebut.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan penulisan hukum guna memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
b. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis dalam bidang Hukum
dan Masyarakat khususnya Hukum Perbankan Islam;
c. Untuk meningkatkan pemahaman tentang berbagai teori yang diperoleh
penulis selama kuliah.
D. Manfaat Penelitian
Selain memiliki tujuan yang jelas, setiap penelitian juga tidak terlepas dari
manfaat apa yang akan diperoleh dari penelitian kali ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan Ilmu Hukum
pada umumnya, dan Hukum Perbankan Islam pada khususnya;
b. Hasil penelitian ini dapat menambah kelengkapan koleksi pustaka dan
menjadi dasar pertimbangan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang
sejenis.
2. Manfaat Praktis
25
a. Penulis berharap bahwa dari penelitian yang dilakukan akan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan panduan untuk memecahkan masalah yang
terkait dengan perbankan syariah umumnya dan produk simpanan wadiah
pada khususnya;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dapat menambah dan meningkatkan
wawasan serta pengetahuan di bidang produk simpanan wadiah.
E. Metode Penelitian
Mengingat pentingnya metode penelitian dalam menemukan, menentukan dan
menganalisis suatu masalah, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian normatif atau studi kepustakaan
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder atau
bahan-bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk
mendiskripsikan sistem bagi hasil produk simpanan wadiah, pembagian
keuntungan dan kerugian produk simpanan wadiah serta implikasi hukum dan
cara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul akibat keuntungan maupun
kerugian tersebut.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah
bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di
dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori
baru (Soerjono Soekanto, 1986:10).
26
Dalam metode ini penulis berusaha untuk menggambarkan suatu keadaan,
oleh karenanya penulis menggunakan metode ini agar dapat mendiskripsikan
sistem bagi hasil produk simpanan wadiah, pembagian keuntungan dan kerugian
produk simpanan wadiah serta implikasi hukum dan cara penyelesaian sengketa
yang mungkin timbul akibat keuntungan maupun kerugian tersebut.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian pada umumnya dibedakan
antara data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari
masyarakat dan dari studi kepustakaan, sedangkan data yang diperoleh dari bahan
pustaka lainnya disebut dengan data sekunder (Soerjono Soekanto & Sri Mamuji,
2007: 12). Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data
sekunder yaitu data-data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi.
Buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya yang
berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji penulis yakni sistem bagi hasil
produk simpanan wadiah, pembagian keuntungan dan kerugian, dan implikasi
hukum beserta cara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul terkait dengan
pembagian keuntungan maupun kerugian tersebut.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder. Sumber data sekunder bersumber dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar
peraturan perundang-undangan. Antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
27
4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase;
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
7) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2005 tentang Mediasi
Perbankan;
8) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum
Syariah;
9) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tentang Mediasi
Perbankan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku yang terkait dengan
permasalahan yang penulis angkat yaitu mengenai sistem bagi hasil produk
simpanan wadiah, pembagian keuntungan dan kerugian, dan implikasi hukum
beserta cara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul terkait dengan
pembagian keuntungan maupun kerugian tersebut.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni bahan–bahan
dari internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai
sistem bagi hasil produk simpanan wadiah, pembagian keuntungan dan
kerugian, dan implikasi hukum beserta cara penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul terkait dengan pembagian keuntungan maupun kerugian
tersebut.
5. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengelolaan data adalah bagaimana caranya mengolah data yang
berhasil dikumpulkan untuk memungkinkan penelitian bersangkutan melakukan
28
analisa yang sebaik-baiknya. Baik bahan hukum primer maupun sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan
sistem bola salju dan diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya untuk
kemudian dikaji secara komperehensif (Johnny Ibrahim, 2006: 392).
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan cara membaca,
mengkaji dan mempelajari isi dan mencatat data yang sesuai dari bahan pustaka
baik berupa peraturan perundang-undangan, penetapan Pengadilan Agama, buku-
buku maupun dari internet yang mempunyai kaitan dengan sistem bagi hasil
produk simpanan wadiah, pembagian keuntungan dan kerugian, dan implikasi
hukum beserta cara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul terkait dengan
pembagian keuntungan maupun kerugian tersebut.
6. Tehnik Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakekatnya berarti
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis
tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi (Soerjono
Soekanto, 1986: 251).
Penganalisisan data merupakan suatu tahap di dalam penelitian yang
berupa pengolahan data yang telah diperoleh menjadi hasil penelitian yang berupa
pengolahan data yang telah diperoleh menjadi hasil penelitian yang akan
dilaporkan. Analisis data pada penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan
menggunakan metode penafsiran atau interpretasi yaitu salah satu metode
penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks
undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu (Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993:13). Dalam
penelitian hukum ini peneliti menggunakan metode penafsiran:
a. Penafsiran otentik yaitu penafsiran yang dilakukan secara resmi oleh undang-
undang;
29
b. Penafsiran gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan untuk mengetahui
makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa,
susun kata atau bunyinya;
c. Penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara
menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-
undang lain;
d. Penafsiran teologis atau sosiologis yaitu penafsiran yang dilakukan apabila
makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan.
Analisis data dengan menggunakan metode penafsiran bertujuan untuk
memudahkan menganalisis data-data yang relevan dengan penelitian. Upaya
untuk menganalisis data dilakukan melalui proses-proses yang tunduk pada aturan
logika formal yang disebut sebagai silogisme deduksi. Silogisme deduksi
maksudnya mendapatkan kesimpulan dari sesuatu yang bersifat umum
dihubungkan dengan suatu hal yang bersifat khusus (Burhan Ashshofa,1996: 37).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian hukum
ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini memuat hal-hal yang mendasari dan melatar
belakangi penulisan hukum ini. Maka pada bab ini akan dibahas
mengenai tinjauan umum tentang pengertian dan fungsi bank, macam-
macam usaha bank syariah, sistem pengelolaan dana pada bank
30
syariah, perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank
syariah, ekonomi syariah.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang permasalahan pokok
yang dibahas penulis yakni:
1. Sistem bagi hasil produk simpanan wadiah pada bank syariah.
2. Pembagian keuntungan dan kerugian sesudah diinvestasikan dalam
sistem bagi hasil.
3. Implikasi hukum atas keuntungan dan kerugian bagi nasabah dan
bank sesudah diinvestasikan dalam sistem bagi hasil beserta cara
penyelesaian terhadap sengketa yang mungkin timbul sehubungan
dengan keuntungan dan kerugian tersebut.
BAB IV : PENUTUP
Simpulan dari hasil analisis serta memberikan saran sebagai
sumbangan pemikiran penulis dalam memecahkan persoalan mengenai
bentuk penerapan sistem bagi hasil produk simpanan wadiah pada
bank syariah dan pembagian keuntungan maupun kerugian beserta
implikasi hukum yang timbul atas keuntungan maupun kerugian
tersebut beserta cara penyelesaian terhadap sengketa yang mungkin
timbul sehubungan dengan keuntungan dan kerugian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
31
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Pengertian dan Fungsi Bank a. Pengertian Bank
Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pengertian Adapun pengertian bank menurut Dahlan Siamat yaitu:
“Badan usaha yang transaksinya berkaitan dengan uang, menerima simpanan
deposito dari nasabah, menyediakan dana atas setiap penarikan, melakukan
penagihan cek-cek atas perintah nasabah, memberikan kredit dan atau
menanamkan kelebihan tersebut untuk pembayaran kembali” (Dahlan Siamat,
1992: 12).
Sedangkan menurut Kasmir menjelaskan bahwa bank adalah: “Suatu
jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti
memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, bertindak sebagai tempat
penyimpanan benda-benda berharga, membiayai perusahaan-perusahaan dan
lain-lain” (Kasmir, 2000: 8).
32
b. Fungsi Bank
Fungsi bank adalah (Kasmir, 2000: 11):
1) Bank sebagai penghimpun dana
Peran bank dalam pengertian ini adalah sebagai lembaga
kepercayaan khususnya bagi masyarakat yang menyimpan dananya di
bank dalam bentuk simpanan. Sedangkan pengertian simpanan adalah
dana yang dipercayakan masyarakat kepada bank dalam bentuk giro,
tabungan, deposito, atau bentuk lainnya yang dapat dipersamakan.
2) Bank sebagai pemberi kredit
Peran bank dalam pengertian ini adalah menyalurkan dana. Baik
yang dihimpun dari masyarakat (simpanan) maupun bukan (modal sendiri
atau antar bank) untuk kebutuhan masyarakat yang sebagian besar
disalurkan dalam bentuk kredit.
3) Bank sebagai lembaga perantara atau kepercayaan
Peran bank sebagai lembaga perantara adalah dalam hal
mempertemukan pihak yang mempunyai dana dengan pihak yang
membutuhkan dana. Transaksi pertukaran ini mungkin tidak terjadi
dengan lancar apabila tidak melalui perantara bank. Hal ini karena pihak
pemilik dana belum tentu mengetahui karakter dan mempercayai pihak
yang membutuhkan dana. Dalam hal itu bank lebih percaya untuk
menerima dana oleh pihak pemilik dana dibandingkan dengan pihak yang
membutuhkan dana.
2. Tinjauan Umum tentang Bank Syariah
a. Pengertian Bank Syariah
33
Dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan bank syariah adalah Bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.
Menurut Warkum Sumitro, pengertian bank syariah yaitu:“Bank Islam
adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-
jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang mengoperasinya
disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam” (Warkum Sumitro, 2004: 5).
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia pengertian bank syariah yaitu:
“Bank syariah adalah bank yang berasaskan, antara lain pada asas kemitraan,
keadilan, transparansi dan universal serta melakukan kegiatan usaha
perbankan berdasarkan prinsip syariah” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2001: 1).
Bertitik tolak pada beberapa pengertian bank syariah di atas, pada
dasarnya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa bank syariah merupakan bank
yang kegiatan usahanya berdasarkan “Prinsip Syariah”. Dalam Pasal 1 Angka
12 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
dimaksud dengan Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
34
b. Fungsi Bank Syariah
Fungsi bank syariah adalah (Warkum Sumitro, 1997: 65):
1) Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi, perdagangan dan
jasa (mudharib);
2) Sebagai pengelola investasi yang dikehendaki oleh shohibul maal;
3) Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran sebagaimana pada umumnya
dijalankan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4) Sebagai pelaksana kegiatan sosial (zakat, infak dan sedekah/ZIS).
Sedangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa fungsi bank syariah adalah:
1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat;
2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat;
3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif);
4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c. Ciri-ciri Bank Syariah
Bank syariah mempunyai ciri-ciri berbeda dengan konvensional,
adapun ciri-ciri bank syariah adalah (Warkum Sumitro, 1997: 68):
1) Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan
dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas
35
wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai
dengan kesepakatan dalam kontrak;
2) Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan
pembayaran selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisa
utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir;
3) Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak
menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang
ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang
ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata;
4) Penyerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito, tabungan oleh
penyimpan dianggap sebagai titipan (wadiah) sedangkan bagi bank
dianggap titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-
proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah
sehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti;
5) Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi
operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu manajer dan
pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam;
6) Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak
pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai
fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya kewajiban menjaga dan
bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-
waktu apabila dana diambil pemiliknya.
d. Jenis Usaha Bank Syariah
Secara detail, prinsip operasional bank syariah dalam menjalankan
usahanya mencakup lima aspek, yaitu (Achmad Baraba, 2001: 12):
1) Sistem Simpanan
36
Prinsip ini merupakan fasilitas yang diberikan bank Islam untuk
memberikan kesempatan kepada pihak yang mempunyai dana lebih untuk
menyimpan dananya dalam bentuk wadiah. Fasilitas ini diberikan dengan
tujuan untuk keamanan dan kepentingan pemindahbukuan, bukan untuk
tujuan investasi guna memperoleh keuntungan seperti halnya pada
tabungan dan deposito. Dalam perbankan konvensional fasilitas wadiah ini
hampir sama dengan giro.
2) Bagi Hasil
Sebagai pengganti dari mekanisme bunga, sebagian ulama
meyakini bahwa dalam pembiayaan proyek-proyek individual, instrumen
yang paling baik adalah bagi hasil. Sistem ini meliputi tata
cara/mekanisme pembagian hasil usaha antara penyedia dana (shahibul
maal) dengan pengelola dana (mudharib). Pembagian hasil usaha ini dapat
terjadi antara bank dengan penyimpan dana. Bentuk produk yang
berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah. Lebih jauh,
prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar untuk produksi
pendanaan yaitu tabungan dan deposito maupun pembiayaan.
Dalam ekonomi Islami, pembagian hasil usaha harus ditentukan
pada awal terjadinya kontrak kerjasama (akad). Mekanisme perhitungan
bagi hasil ini terdiri dari dua sistem:
a) Profit sharing, adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil
bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut;
b) Revenue sharing, adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada
total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi biaya-biaya
yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Dalam aplikasi perbankan syariah, pada umumnya bank dapat
menggunakan sistem profit sharing maupun revenue sharing tergantung
37
kepada kebijakan masing-masing bank untuk memilih salah satunya.
Bank-bank syariah yang ada di Indonesia saat ini, semua menggunakan
perhitungan bagi hasil atas dasar revenue sharing untuk mendistribusikan
bagi hasil kepada para pemilik dana (deposan).
Apabila suatu bank menggunakan sistem profit sharing, maka
kemungkinan yang akan terjadi adalah bagi hasil yang akan diterima oleh
para pemilik dana akan semakin kecil. Hal ini tentunya akan berdampak
pada menurunnya keinginan masyarakat untuk menginvestasikan dananya
pada bank syariah yang berdampak pula pada menurunnya jumlah dana
pihak ketiga secara keseluruhan.
Akan tetapi bila bank tetap ingin mempertahankan sistem profit
sharing tersebut dalam perhitungan bagi hasil, maka jalan satu-satunya
untuk menghindari risiko-risiko tersebut di atas adalah dengan cara bank
harus mengalokasikan sebagian dana dari porsi bagi hasil yang mereka
terima untuk subsidi terhadap bagi hasil yang akan dibagikan kepada
nasabah pemilik dana. Dengan kata lain, bank akan mengurangi porsi bagi
hasil yang mereka peroleh untuk menutupi kekurangan bagi hasil yang
akan diterima oleh deposan.
Sementara di lain pihak, apabila bank menggunakan sistem
perhitungan bagi hasil berdasarkan revenue sharing, maka kemungkinan
yang akan terjadi adalah tingkat bagi hasil yang diterima oleh pemilik
dana akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga pasar yang
berlaku. Kondisi ini akan mempengaruhi para pemilik dana untuk
mengarahkan investasinya kepada bank syariah yang nyatanya justru
mampu memberikan hasil yang optimal, dan pada akhirnya akan
berdampak kepada peningkatan total dana pihak ketiga (DPK) pada bank
syariah. Pertumbuhan dana pihak ketiga dengan cepat harus mampu
diimbangi dengan penyalurannya dalam berbagai bentuk produk aset yang
38
menarik, layak dan mampu memberikan tingkat keuntungan yang
maksimal bagi pemilik dana.
3) Jual Beli dan Margin Keuntungan
Prinsip ini merupakan penerapan tata cara jual beli. Dalam hal ini,
bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau
mengangkat nasabah sebagai agen bank, sebagai kuasa bank untuk
membeli barang tersebut. Dan nasabah dalam kapasitasnya sebagai agen
atau kuasa melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian
menjual barang tersebut kepadanya dengan sejumlah harga beli ditambah
dengan keuntungan.
Dalam operasional jual beli ini ada beberapa tipe kontrak jual beli
tangguh (deffered contract of exchange) yang meliputi transaksi-transaksi:
a) Murabahah, kontrak jual beli dimana barang yang diperjualbelikan
tersebut diserahkan segera, sedang harga (pokok dan selisih
keuntungan yang disepakati bersama) atas barang tersebut dibayar di
kemudian hari secara sekaligus (lump sum deffered payment);
b) Ba’i bi Tsaman Ajil, kontrak murabahah dimana barang yang
diperjualbelikan tersebut diserahkan dengan segera, sedangkan harga
atas barang yang dibayar di kemudian hari dengan cara angsuran
(installment deffered payment);
c) Ba’i Salam, kontrak jual beli dimana harga atas barang dibayar
dikemudian hari dengan segera (secara sekaligus), sedangkan
penyerahan atas barang di kemudian hari;
d) Ba’i al-Istisna, hampir sama dengan ba’i salam, yaitu kontrak jual beli
dimana harga barang tersebut dibayar lebih dahulu, tetapi dapat
diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati
bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan
kemudian.
39
4) Prinsip Sewa
Prinsip ini secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu ijarah
(sewa murni), seperti penyewaan alat-alat produksi, yang sering disebut
operating lease. Kedua Ba’i at Takjiri (sewa beli), dalam hal ini penyewa
mempunyai hak untuk memiliki barang pada masa akhir sewa atau sering
disebut dengan financial lease.
5) Fee
Prinsip ini meliputi seluruh layanan nonpembiayaan yang
diberikan bank. Bentuknya antara lain bank garansi, kliring, inkaso, jasa
transfer dan sebagainya.
Adapun prinsip operasional bank syariah pada sisi penyaluran dana
kepada masyarakat, prinsip dagang yang berlaku pada pembiayaan
perdagangan, yaitu:
a) harus ada barang yang ditransaksikan; dan
b) menetapkan harga jual secara bersaing agar lebih banyak orang yang
membeli.
Sementara itu dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan Pasal 1 huruf k selain membedakan antara kredit dan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pengertian kredit yang disebut
sebenarnya hampir sama dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan hanya saja diadakan pembatasan dengan
pemberian bunga saja. Secara lengkap berikut pengertian kredit menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992: “Kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan tujuan pinjam
40
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.
Pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah (pasal 1
angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan) adalah
“Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut dalam
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu (Muhammad Syafei Antonio, 2000: 160-168):
1) Pembiayaan Produktif
Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas yaitu untuk peningkatan
usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
Pembiayaan produktif ini menurut keperluannya dibagi menjadi
dua:
a) Pembiayaan modal kerja yaitu pembiayaan yang diberikan guna
memenuhi kebutuhan modal usaha untuk peningkatan produksi secara
kuantitatif dan kualitatif serta untuk keperluan perdagangan atau utility
place dari suatu barang, termasuk dalam jenis ini adalah mudharabah
(kerja sama pemilik modal dan pengusaha) dan musyarakah (bagi hasil
berserikat) yang menggunakan sistem bagi hasil;
b) Pembiayaan investasi yaitu pembiayaan yang diberikan oleh bank
syariah untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam pengadaan
barang-barang modal dan sarana atau prasarana usaha yang erat
kaitannya dengan itu, misal: untuk pengadaan kendaraan, bangunan,
41
kantor, pabrik, mesin dan lain-lain termasuk dalam jenis ini adalah al
musyarakah mutanaqishah, al ijarah al muntahia bit-tamlik.
2) Pembiayaan konsumtif
Pembiayaan konsumtif yaitu pembiayaan yang digunakan untuk
kebutuhan konsumsi yang akan habis untuk memenuhi kebutuhan pribadi,
misal: pembelian rumah, mobil, peralatan elektronik dan lain-lain,
termasuk jenis ini adalah: al-qardhul hasan, bai bithaman ajil, al
musyarakah mutanaqisah dan ar rahn.
e. Bentuk Simpanan di Bank Syariah
Sebelumnya kita sudah sangat mengenal tabungan, giro dan deposito
dari bank konvensional. Pada ketiga produk bank ini maka setiap bulannya
bank berjanji akan membayar sejumlah bunga. Di bank syariah juga
mempunyai produk simpanan berupa tabungan, giro dan deposito hanya
sebagai nasabah kita tidak menerima pembayaran bunga. Di bank syariah ada
2 cara yang bisa dipilih orang untuk menyimpan uangnya, yaitu (Mike Rini,
http://perencanakeuangan.com/files/Simp.BagiHasilSyariah.html):
1) Titipan/wadiah
Menitip adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk
menjaga hartanya/barangnya. Dengan demikian cara titipan melibatkan
adanya orang yang menitipkan (nasabah), pihak yang dititipi (bank
syariah), barang yang dititipkan (dana nasabah). Menitipkan sebenarnya
bukan usaha perniagaan yang lazim, kecuali penerima titipan menetapkan
keharusan membayar biaya penitipan atau administrasi bagi penitip. Maka
Titipan bisa memenuhi syarat perniagaan yang lazim. Artinya bank harus
menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan karena
42
sudah dibayar biaya administrasinya. Rekening giro di bank syariah
dikelola dengan sistem titipan sehingga biasa dikenal dengan Giro
Wadiah, karena pada dasarnya rekening giro adalah dana masyarakat di
bank untuk tujuan pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap
saat. Artinya giro hanyalah merupakan dana titipan nasabah, bukan dana
yang diinvestasikan. Namun dana nasabah pada giro bisa dimanfaatkan
oleh bank selama masih mengendap, tetapi kapanpun nasabah ingin
menariknya bank wajib membayarnya. Sebagai imbalan dari titipan yang
dimanfaatkan oleh bank syariah, nasabah dapat menerima imbal jasa
berupa bonus. Namun bonus ini tidak diperjanjikan di depan melainkan
tergantung dari kebijakan bank yang dikaitkan dengan pendapatan bank.
Rekening tabungan harian yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik
setiap saat juga dikelola dengan cara titipan, karena sifatnya mirip dengan
giro hanya berbeda mekanisme penarikannya.
2) Investasi/mudharabah
Merupakan suatu bentuk perniagaan dimana pemilik modal
(nasabah) menyetorkan modalnya kepada pengelola (bank) untuk
diusahakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan
kesepakatan dari kedua belah pihak. Sedangkan kerugian, jika ada akan
ditanggung oleh si pemilik modal. Dengan demikian cara investasi
melibatkan pemilik modal (nasabah), pengelola modal (bank), modal
(dana) harus jelas berapa jumlahnya, jangka waktu pengelolaan modal,
jenis pekerjaan atau proyek yang dibiayai, porsi bagi hasil keuntungan.
Deposito di bank syariah dikelola dengan cara investasi atau mudharabah,
sehingga biasa dikenal dengan Deposito Mudharabah. Bank Syariah tidak
membayar bunga deposito kepada deposan tetapi membayar bagi hasil
keuntungan yang ditetapkan dengan nisbah. Beberapa jenis tabungan
berjangka juga dikelola dengan cara mudharabah misalnya tabungan
pendidikan dan tabungan hari tua, tabungan haji, tabungan berjangka ini
biasa dikenal istilah Tabungan Pendidikan Mudharabah, Tabungan Haji.
43
Tabungan-tabungan tersebut tidak dapat ditarik oleh pemilik dana sebelum
jatuh tempo sehingga memenuhi syarat untuk diinvestasikan.
f. Implikasi Hukum dan Cara Penyelesaian Sengketa di Bank Syariah
Bank syariah sebagaimana lembaga keuangan lainnya tentu memiliki
produk jasa keuangan yang ditawarkan kepada masyarakat. Setiap produk jasa
keuangan tersebut tentu memiliki implikasi hukum atas kegiatan
penghimpunan maupun penyaluran dana. Terkadang kegiatan penghimpunan
maupun penyaluran dana masyarakat tersebut menimbulkan implikasi hukum
yang menimbulkan masalah dan berujung kepada suatu persengketaan antara
pihak bank dan nasabah.
Dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah menyebutkan bahwa:
1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad;
3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan
“penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya-upaya
sebagai berikut:
1) musyawarah;
2) mediasi perbankan;
3) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau
lembaga arbitrase lain; dan/atau
4) melalui pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.
Dalam hal ini, apabila dalam akad sudah ditentukan cara
penyelesaiannya selain di Pengadilan Agama maka merujuk kepada alternatif
44
penyelesaian sengketa sesuai Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di mana menentukan penyelesaian
sengketa dengan cara:
1) Dengan menggunakan musyawarah atau yang dikenal dengan perdamaian;
2) Dengan menggunakan mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia;
3) Dengan menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional yang yang diresmikan oleh MUI lewat
keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-
09/MUI/XII/2003 didasarkan pada Undang-Undang nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase atau melalui lembaga arbitrase lain;
4) Dengan jalan beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum.
Apabila dalam akad tidak ditentukan maupun sudah ditentukan cara
penyelesaiannya maka merujuk kepada alternatif penyelesaian sengketa sesuai
Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah di mana menentukan penyelesaian sengketa dengan cara beracara di
depan pengadilan dan dalam hal ini pengadilan yang mempunyai kompetensi
adalah Pengadilan Agama di mana dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan juga Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah maka Pengadilan Agama memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan kewenangan memutus perkara ekonomi
syariah.
45
3. Tinjauan Umum tentang Pengelolaan Dana Pada Bank Syariah
a. Bank Sebagai Penghimpun Dana
Sebagai penghimpun dana, bank syariah mengeluarkan produk
simpanan yang bersifat menarik dana masyarakat dan kemudian
menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan seperti yang
dilakukan bank konvensional yang menyalurkan kredit kepada masyarakat,
namun dalam bank syariah tidak mengenal istilah kredit tetapi disebut
pembiayaan, dalam kredit yang diberikan bank konvensional dikenal istilah
bunga sedang dalam bank syariah dikenal dengan prinsip bagi hasil.
b. Bank Sebagai Pengelola Dana
Dana titipan/wadiah pada bank syariah yang dikenal dengan:
1) Wadi’ah Yad Al-Amanah, yaitu bahwa pihak yang menerima titipan tidak
boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan.
Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai
biaya penitipan;
2) Wadi‘ah Yad Adz-Dhamanah, yaitu bahwa pihak yang menerima titipan
boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan.
Tentu pihak bank dalam hal ini dapat memanfaatkan hasil dari
penggunaan dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam
bentuk bonus.
Dasar hukum simpanan wadiah terdapat dalam:
46
1) Q.S. An-Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh Kamu untuk
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (Subdinas
Pembinaan Mental Dinas Perawatan Personil Angkatan Udara, 2002: 162).
2) Q.S. Al-Baqarah ayat 283: “...Akan tetapi jika sebagian Kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya” (Subdinas Pembinaan Mental Dinas Perawatan Personil
Angkatan Udara, 2002: 89).
3) Hadis Nabi: Dari Ibnu Umar berkata, bahwasanya Rasulullah SAW telah
bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi orang yang beramanah, tiada
shalat bagi yang tidak bersuci”.
Maka bank bertindak sebagai pemegang amanah dan sekaligus sebagai
mudharib, artinya bank harus berupaya untuk menjaga amanah sehingga uang
yang dititipkan di bank aman, berupaya untuk mencari usaha-usaha yang
produktif dan menguntungkan agar bank dapat memberikan imbalan dan bagi
hasil yang layak kepada penyedia dana dan berusaha agar usaha-usaha yang
dibiayai dikelola secara hati-hati, aman, efektif dan efisien. Sehubungan
dengan hal ini, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah
penerima dana berdasarkan asas pembiayaan yang sehat.
c. Bank Sebagai Penyedia Dana
Sebagai penyedia dana, bank menyediakan berbagai modal
pembiayaan yang berasal dari dana pihak ketiga.
4. Tinjauan Umum tentang Perbedaan Antara Bank Konvensional Dengan Bank
Syariah
a. Perbedaan Prinsip
47
Perbankan syariah hadir sebagai jawaban atas tuntutan kaum muslim
akan adanya kebutuhan sistem perbankan yang sesuai dengan nilai-nilai
syariah. Kebanyakan Kaum muslim di dunia merasa tidak cocok dengan
sistem perbankan konvensional yang kurang memperhatikan aspek ekonomi
berlandaskan nilai-nilai Islam di dalamnya. Dalam hal ini perbankan syariah
merupakan perwujudan atas sistem ekonomi Islam yang lebih adil.
Perbedaan pokok antara bank syariah dengan perbankan konvensional
adalah larangan riba (bunga) bagi perbankan syariah riba dilarang, sedangkan
jual beli (bai) dihalalkan. Dengan demikian, maka membayar dan menerima
bunga pada uang yang dipinjamkan juga dilarang. Karakteristik lain bank
syariah adalah tidak mengenal teori time value of money dan memandang uang
sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Pada dasarnya aktivitas bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank-
bank konvensional, perbedaannya selain terletak pada orientasi konsep yakni
kebersamaan juga terletak pada konsep dasar operasionalnya yang
berlandaskan pada ketentuan hukum Islam. Oleh karenanya ketentuan-
ketentuan lain yang berkaitan dengan penyaluran dana perbankan
(pembiayaan) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
hukum Islam berdasarkan asas hukum lex specialis derogat lex generalis,
artinya peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum apabila
keduanya memuat ketentuan yang saling bertentangan dan mempunyai
tingkatan yang sama, sedang dalam hal tidak terdapat ketentuan khusus dalam
sistem perbankan syariah maka bank syariah harus tunduk kepada ketentuan
yang berlaku pada bank konvensional (Warkum Sumitro, 1997: 68).
Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah tidak membedakan
secara tegas sektor moneter dan sektor riil, sehingga dalam kegiatan usahanya
dapat melakukan transaksi-transaksi sektor riil (Ikatan Akuntan Indonesia,
48
2001: 6). Meskipun riba merupakan pembeda utama dan terpenting antara
perbankan konvensional dan syariah, masih ada beberapa perbedaan lain yang
secara lebih jelas dapat dilihat dalam tabel berikut (Karnaen Perwaatmadja
dan Muhammad Syafei Antonio, 1992: 53):
Bank Syariah Bank Konvensional Berdasarkan margin keuntungan Memakai perangkat bunga
Profit dan falah oriented Profit oriented
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan kemitraan
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk kreditur –debitur
Users of real funds Creator of money supply
Melakukan investasi-investasi yang
halal saja
Investasi yang halal dan haram
Pengerahan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan pendapat
melalui Dewan Pengawas Syariah
Tidak terdapat dewan sejenis itu
Keberadaan bank syariah memiliki fungsi dan peran diantaranya
tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan AAOIFI
(Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution).
Fungsi dan peran tersebut (Adnan M. Abdeen and Dale N. Shock, 1984: 166-
167):
1) Manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah;
2) Investor, bank syariah dapat mengelola dana yang dimilikinya maupun
dana nasabah yang dipercayakan kepadanya;
3) Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat
melakukan kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya
institusi perbankan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4) Pelaksana kegiatan sosial, sebagai suatu ciri yang lekat pada entitas
keuangan Islam, bank syariah juga memiliki kewajiban untuk
49
mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan,
mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya.
Seperti juga bank konvensional, selain memberikan jasa-jasa
pembiayaan, bank syariah juga memberikan jasa-jasa lain, seperti jasa kiriman
uang, pembukaan letter of credit, jaminan bank, dan jasa-jasa lain yang
biasanya diberikan bank konvensional. Bahkan, jasa-jasa pembiayaan yang
diberikan oleh bank syariah jauh lebih beragam (Sutan Remy Sjahdeni, 1999:
1).
Perbedaan bank konvensional dengan bank syariah secara garis besar
adalah, bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan syariah atau
prinsip agama Islam. Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga
atau riba yang memberatkan. Bank syariah beroperasi berdasarkan asas
kemitraan pada semua aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan dan keadilan.
b. Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah
terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak
melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank
kovensional justru sebaliknya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat
mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah,
dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan
adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil.
Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalui bank
syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba
secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest dalam
semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu
pihak seperti efek bola salju. Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan
50
keuntungan besar di satu pihak namun kerugian besar di pihak lain, atau
malah kedua-duanya.
c. Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan
maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito
pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan
uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka
bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat
likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi
syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena
pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja
tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut
diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung
risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha
yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian,
maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan
maupun risiko.
Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga
keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana
nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian,
dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam transaksi perniagaan yang
diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana
nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan
kepada nasabah. Hasil usaha semakin tinggi maka semakin besar pula
keuntungan yang dibagikan bank kepada para nasabahnya. Namun jika
keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan
bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana
nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu ke dalam kegiatan usaha,
barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah
51
di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut disalurkan ke
dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya.
Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya
keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank
syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula
keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan
banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah
keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase
dari dana yang disimpannya saja.
d. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti
wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan
mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada
bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat, infak, sedekah).
e. Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya
Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dewan Pengawas Syariah bertugas
mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Dewan Pengawas Syariah ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN). Berdasarkan laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada masing-
masing lembaga keuangan syariah, Dewan Syariah Nasional dapat
memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. Dewan
Syariah Nasional juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang
memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk
memberikan sanksi.
52
Dewan Pengawas Syariah perlu diefektifkan, karena selama ini lebih
sekedar simbol. Sebab perbankan syariah selama ini hanya lebih
mengandalkan fatwa-fatwa dari Dewan Syariah Nasional saja. Padahal
penerapan fatwa dari Dewan Syariah Nasional sangat perlu dalam perbankan
syariah. Tidak saja dalam tahap pembuatan perjanjian, tetapi juga perlu
pengawasan secara syariah pada tahap pelaksanaan perjanjian dan penutupan
perjanjian. Kemungkinan terjadi bahwa pada tahap pembuatan perjanjian
dalam akta sesuai dengan syariah, tetapi karena sesuatu hal, dalam perjalanan
bertentangan dengan syariah. Bisa jadi juga dalam tahap pembuatan akta
sesuai dengan syariah, pelaksanaannya sesuai dengan syariah, tetapi pada
akhir penutupan perjanjian bertentangan dengan syariah. Sebab menurut
Abdul Aziz Sachedina, selalu ada tarik-menarik diantara ketentuan-ketentuan
normatif dengan kepentingan-kepentingan kongkrit yang perlu dipilah dalam
hukum Islam (Burhanudin Harahap, 2008: 9-10).
Wewenang Dewan Pengawas Syariah adalah (Warkum Sumitro, 2004:
52):
1) Memberikan pedoman secara garis besar tentang aspek syariah dari
operasional Bank Islam, baik penyerahan dana, penyaluran dana maupun
kegiatan-kegiatan bank lainnya;
2) Mengadakan perbaikan terhadap suatu produk Bank Islam yang telah atau
sedang berjalan. Namun, apabila pelaksanaannya bertentangan dengan
ketentuan syariah.
f. Akad Pembiayaan Bank Syariah
Menurut Q.S. Al-Baqarah: 282: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar”.
53
Bank syariah merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi
syariah Islam yang merupakan bagian dari nilai-nilai dan ajaran Islam yang
mengatur bidang perekonomian umat dan tidak terpisahkan dari aspek-aspek
lain ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti
ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial
kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah
Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang
perbedaan ras, suku, golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai
“rahmatan lil alamin”. Perbankan konvensional yang beroperasi saat ini mempunyai beberapa
kelemahan, salah satu adalah dapat terjadinya negative spread pada siklus
waktu tertentu. Sehingga efektivitas perbankan konvensional yang
berbasiskan bunga dalam pembangunan ekonomi mulai dipertanyakan. Para
ahli ekonomi dunia banyak mengkaji hal tersebut dan mencari alternatif
metode pembiayaan guna memperbaiki sistem ekonomi kapitalis sekuler yang
membuat jurang kesejahteraan ekonomi semakin dalam. Bank syariah sebagai
bagian dari sistem ekonomi syariah, mencoba mereduksi kelemahan tersebut.
Bank syariah dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak
terlepas dari saringan syariah. Oleh karena itu, bank syariah tidak akan
mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang
diharamkan, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas,
berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila, perjudian, peredaran narkoba,
senjata ilegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan syiar Islam.
5. Tinjauan Umum tentang Ekonomi Syariah
a. Pengertian Sistem Ekonomi Syariah
Pengertian ekonomi syariah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, maka ekonomi syariah berarti perbuatan dan/atau kegiatan
54
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi (Zainudin Ali,
2008: 2):
1) bank syariah;
2) lembaga keuanagan mikro syariah;
3) asuransi syariah;
4) reasuransi syariah;
5) reksadana syariah;
6) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
7) sekuritas syariah;
8) pembiayaan syariah;
9) pegadaian syariah;
10) dana pensiun lembaga keuangan syariah;
11) bisnis syariah.
b. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah
Syarat bagi suatu bangunan agar berdiri kokoh adalah tiang yang
kokoh. Jika bangunan yang kokoh tersebut adalah ekonomi syariah, maka
tiang penyangganya adalah sebagai berikut (Zainuddin Ali, 2008: 7-11):
1) Siap Menerima Resiko
Keuntungan dan manfaat yang diperoleh berkaitan dengan pekerjaannya.
Oleh kareana itu, tidak ada keuntungan/manfaat yang diperoleh seseorang
tanpa resiko. Hal ini merupakan jiwa dan prinsip “di mana ada manfaat, di
situ ada resiko“ (Al Kharaj bid Dhaman).
2) Tidak Melakukan Penimbunan
Dalam sistem ekonomi syariah, tidak seorang pun diizinkan untuk
menimbun uang. Tidak boleh menimbun uang tanpa dipergunakan.
Dengan kata lain, Hukum Islam tidak memperbolehkan uang kontan
55
(cash) yang menganggur tanpa dimanfaatkan. Uang yang dimiliki oleh
seseorang seharusnya digunakan untuk kepentingan jual beli (selling and
buying) secara kontinu. Uang harus secara kontinu mangalir dalam
ekonomi bukan berhenti dalam satu simpul. Untuk itu ada beberapa cara
menggunakan uang yang diperbolehkan secara syariah, yaitu a) konsumsi
yang halal, b) kegiatan produktif/investasi, dan c) kesejahteraan sosial.
3) Tidak Monopoli
Dalam sistem ekonomi syariah tidak diperbolehkan seseorang, baik yang
perorangan maupun lembaga bisnis dapat melakukan monopoli. Harus ada
kondisi persaingan, bukan monopoli atau oligopoli. Uang bukan
merupakan alat penyimpan nilai, Uang bukan merupakan komoditi.
Komoditi mempunyai harga, tetapi uang tidak. Islam tidak
memperbolehkan menetapkan harga pada uang.
4) Pelarangan Interes Riba
Ada orang berpendapat bahwa Al-Quran hanya melarang riba dalam
bentuk bunga (compound interest) dan bunga yang dipraktikkan oleh bank
konvensional (simple interest) bukan riba. Namun jumhur ulama
mengatakan bahwa bunga bank adalah riba. Beberapa orang juga
berpendapat bahwa riba hanya terdapat pada kegiatan perdagangan seperti
yang dipraktikkan pada zaman jahiliah, bukan produksi yang dipraktikkan
oleh bank konvensional saat ini. Namun, Zainuddin Ali berpendapat
bahwa seluruh jenis interest adalah riba termasuk bunga bank dan
diharamkan (dilarang) oleh Allah SWT di dalam Al-Quran seperti dalam
surat Al-Baqarah ayat 278 yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman."
56
Selain itu juga di temukan dalil hukum tentang larangan riba yang
bersumber dalam hadis Nabi Muhammad yang artinya:
a) "Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. katanya: Rasullulah telah bersabda: jauhilah tujuh perkara yang bisa membinasakan kamu yaitu menyebabkan kamu masuk neraka atau dilaknati oleh Allah. Para sahabatnya bertanya: wahai Rasulullah! Apakah tujuh perkara itu? Rasulullah barsabda; Mensyirikkan Allah yaitu menyekutukan-Nya, melakukan perbuatan sihir, membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari pertempuran dan memfitnah perempuan-perempuan yang baik yaitu yang boleh dikawini dan menjaga muruah dirinya, juga perempuan yang tidak memikirkan untuk melakukan perbuatan jahat serta perempuan yang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya dengan fitnah melakukan perbuatan zina”.
b) “Diriwayatkan dari Sahl bin Abi Hatsamah ra. Katanya : sesungguhnya Rasulullah saw, telah melarang penjualan kurma dibayar dengan kurma, baginda bersabda: Itu adalah riba, yaitu Musyabanah, jual beli yang tidak jelas. Baginda hanya memberi keringanan dalam penjualan secara Ariyyah yaitu satu atau dua pokok kurma diambil oleh satu keluarga dengan kiraan kurma kering dan mereka makan buah yang separuh masak”.
c) “Diriwayatkan dari Aisyah ra, katanya: Ketika ayat Al-Quran yang terakhir dari Surat Al-Baqarah tentang riba diturunkan, Rasulullah saw keluar ke masjid lalu mengharamkan perdagangan arak”.
d) “Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab ra, katanya: Bahwa Rasulullah saw, telah bersabda: Perak ditukar dengan emas adalah riba kecuali diserahkan dan diterimakan pada waktu yang sama. Gandum ditukar dengan gandum adalah riba kecuali diserahkan dan diterimakan pada waktu tersebut. Kurma ditukar dengan kurma juga adalah riba kecuali diserahkan dan diterima dalam waktu yang sama”.
5) Solidaritas Sosial
Solidaritas sosial seoarang muslim terhadap sesamanya dapat diibaratkan
dalam satu tubuh. Jika satu anggota sakit, maka seluruh tubuh akan
merasakan sakit juga. Jika seorang muslim mengalami problem
kemiskinan, maka tugas kaum muslimin lainnya untuk menolong orang
miskin itu (dengan cara membayar zakat, infak, dan sedekah). Kekayaan
adalah milik Allah. Apapun harta yang telah Allah berikan pada manusia
merupakan amanah dari Allah. Oleh karena itu, manusia harus menjaga
amanah tersebut dengan menggunakannya untuk menolong sesamanya.
57
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 : Kerangka Pikir
Keterangan: Saat ini pengaturan mengenai perbankan syariah di Indonesia secara khusus
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Bank syariah memiliki beberapa produk simpanan yang bertujuan untuk
UU No. 21 Th. 2008
Produk Simpanan Wadiah
Sistem Bagi Hasil Pembagian Keuntungan dan Kerugian Sesudah Diinvestasikan
Bank Syariah
Implikasi Hukum dan cara
penyelesaian sengketa
Ditentukan dalam akad namun selain di Pengadilan Agama (Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Th. 2008)
Tidak ditentukan maupun ditentukan dalam akad (Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Th. 2008)
- Musyawarah - Mediasi Perbankan (Peraturan Bank Indonesia No.
8/5/PBI/2005 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan)
- Arbitrase (UU No. 30 Th. 1999 dan Fatwa MUI ) - Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum
Peradilan Agama ( UU No. 3 Th. 2006 dan UU
No. 21 Th. 2008)
58
mendapatkan dana pihak ketiga yaitu salah satunya simpanan dengan prinsip wadiah.
Simpanan ini memiliki karakteristik tersendiri yaitu didasarkan atas prinsip
wadiah/titipan. Pada setiap simpanan di bank syariah tentu berdasarkan atas prinsip
bagi hasil.
Dana dalam produk simpanan wadiah ini pada selanjutnya akan dimanfaatkan
oleh pihak bank untuk melakukan kegiatan usaha. Kegiatan usaha yang akan
dilakukan oleh pihak bank hasilnya terdapat dua kemungkinan yaitu untung atau rugi.
Keuntungan atau pun kerugian yang timbul akan berakibat pada pembagian
keuntungan dan kerugian terhadap dana yang sudah diinvestasikan.
Pada simpanan wadiah setelah diinvestasikan akan menimbulkan implikasi
hukum terkait keuntungan atau pun kerugian yang dialami sebagai akibat kegiatan
penyaluran dana yang dilakukan pihak bank dan akibatnya mungkin timbul suatu
sengketa. Sengketa tersebut tentu membutuhkan cara penyelesaian yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun alternatif penyelesaian
sengketanya ada dua kemungkinan sesuai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu apabila belum
ditentukan dalam akad maupun sudah ditentukan dalam akad maka penyelesaian
sengketa melalui beracara di Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama, sedangkan
apabila sudah ditentukan dalam akad namun selain di Pengadilan Agama
menggunakan cara musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase, maupun dengan
beracara di Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.
59
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sistem Bagi Hasil Produk Simpanan Wadiah
Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Tujuan
Perbankan Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan
rakyat. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi
dasar hukum bagi operasional dan berkembangnya kegiatan perbankan syariah di
Indonesia. Jenis dan kegiatan usaha dari perbankan syariah ditentukan dalam Pasal
18, 19, dan 20 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
tersebut.
Dalam upaya agar kegiatan usahanya dapat dipertanggung jawabkan secara
hukum maka bank syariah harus memiliki izin usaha dari Bank Indonesia dan
berbentuk badan hukum. Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada Pasal 5 ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha bank syariah atau unit usaha
syariah wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai bank syariah atau unit
usaha syariah dari Bank Indonesia. Persyaratan pendirian bank syariah tersebut diatur
dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang menyatakan bahwa untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus
memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
1. Susunan organisasi dan kepengurusan;
2. permodalan;
3. kepemilikan;
4. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
60
5. kelayakan usaha.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
menyatakan bahwa bentuk badan hukum bank syariah adalah Perseroan Terbatas.
Untuk mendirikan bank syariah, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor Nomor 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa persyaratan untuk
memperoleh izin usaha diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia. Dalam
hal ini Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah ini menyatakan bahwa
pemberian izin pendirian bank syariah dilakukan dalam dua tahap, yaitu :
1. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian bank;
dan
2. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha bank
setelah persetujuan prinsip selesai dilakukan.
Persetujuan prinsip seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah dalam
pengajuannya harus disertai dengan (Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009):
1. Akta pendirian atau rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran
dasar atau rancangan anggaran dasar;
2. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan
saham disertai dengan dokumen yang dipersyaratkan;
3. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota Dewan
Pengawas Syariah disertai dengan dokumen yang dipersyaratkan;
4. rencana susunan dan struktur organisasi serta nama-nama calon pejabat sampai
dengan tingkat Pejabat Eksekutif;
5. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
6. rencana bisnis (business plan);
7. rencana korporasi (corporate plan);
61
8. pedoman manajemen resiko termasuk pedoman risk control system, rencana
sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan,
dan pedoman mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance);
9. sistem dan prosedur kerja;
10. bukti setoran modal dalam bentuk fotokopi bilyet deposito; dan
11. surat pernyataan dari pemegang saham tentang sumber setoran modal.
Sedangkan izin usaha seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah dalam
pengajuannya harus disertai dengan (Lampiran 2 Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009):
1. Akta pendirian badan hukum;
2. daftar pemegang saham disertai dengan dokumen yang dipersyaratkan;
3. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota Dewan
Pengawas Syariah disertai dengan dokumen yang dipersyaratkan;
4. fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap bagi
warga negara asing yang menjadi calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan
Komisaris;
5. fotokopi surat izin bekerja bagi warga negara asing yang menjadi calon anggota
Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris;
6. rencana susunan dan struktur organisasi serta nama-nama calon pejabat;
7. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
8. rencana bisnis (business plan);
9. rencana korporasi (corporate plan);
10. pedoman manajemen resiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem
teknologi informasi yang digunakan, dan pedoman mengenai pelaksanaan tata
kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance);
11. sistem dan prosedur kerja;
12. bukti pelunasan setoran modal dalam bentuk fotokopi bilyet deposito;
62
13. surat pernyataan dari pemegang saham tentang sumber dana untuk pelunasan
setoran modal; dan
14. bukti kesiapan operasional.
Di dalam bank syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas
Syariah memiliki tugas untuk memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta
mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah (Pasal 32 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008). Sedangkan wewenang Dewan Pengawas
Syariah adalah sebagai berikut (Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syafei
Antonio, 1992: 3):
1. Memberikan pedoman/garis-garis besar syariah baik untuk pengerahan maupun
untuk penyaluran dana serta kegiatan bank lainnya;
2. Mengadakan perbaikan seandainya suatu produk yang telah/sedang dijalankan
dinilai bertentangan dengan syariah.
Dewan Pengawas Syariah dibentuk berdasarkan Keputusan Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 03 Tahun 2000. Dewan Pengawas Syariah
adalah badan yang dibentuk untuk melakukan fungsi pengawasan kesyariahan. Oleh
karena itu badan ini bekerja sesuai dengan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan
oleh Majelis Ulama Indonesia, dalam hal ini Dewan Syariah Nasional yang terdiri
dari para ulama di bidang syariah muamalah yang memiliki pengetahuan umum di
bidang “baytul tamwiil” (keuangan bank dan atau koperasi).
Menurut pendapat penulis. sistem bagi hasil merupakan cara untuk
menghindarkan transaksi ekonomi dari riba, sebab riba merupakan hal yang dilarang
oleh agama terutama bila dikaitkan dengan agama Islam yang telah melarang dengan
keras adanya praktik riba dalam segala kegiatan ekonominya. Dengan mendasarkan
prinsip usaha pada sistem syariah dimana dalam sistem tersebut didasarkan pada
syariat Islam maka bank syariah menghindarkan usahanya dari riba dengan
menerapkan sistem bagi hasil. Menurut penulis, sistem bagi hasil merupakan sebuah
sistem yang adil terkait pembagian resiko yang ada di dalam kegiatan usaha.
63
Sumber dana bank syariah dapat diperoleh dari:
1. Modal Bank terdiri dari 2, yaitu:
a. Pendiri;
b. saham.
2. Kegiatan usaha lain yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dan huruf b
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu:
a. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadiah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Jenis produk perbankan yang dapat
diaplikasikan dengan menggunakan akad wadiah adalah giro dan tabungan. Giro dan
tabungan bank pada dasarnya adalah penitipan dana masyarakat di bank untuk tujuan
pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat, hal ini sesuai dengan
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Artinya, giro dan tabungan hanyalah merupakan dana titipan
nasabah. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan
tersebut menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si
penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas
giro dan tabungan yang lain.
Giro dan tabungan pada bank syariah diberlakukan sebagai wadi‘ah yad adz-
dhamanah, yaitu bahwa pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu pihak bank dalam hal ini
dapat memanfaatkan hasil dari penggunaan dana. Bank dapat memberikan insentif
kepada penitip dalam bentuk bonus. Dana titipan ini dapat digunakan bank sebagai
penerima titipan selama dana tersebut mengendap di bank, tetapi bank punya
64
kewajiban untuk membayar setiap saat jika nasabah mengambil titipan tersebut.
Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan oleh bank, maka bank dapat
memberikan imbal jasa dari pemanfaatan dana yang mengendap dalam bentuk bonus.
Namun bonus tersebut tidak boleh diperjanjikan sebelumnya dan merupakan hak
penuh bank untuk memberikan atau tidak. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan
yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian pula
sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap
hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.
Menitip adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga uang
dan/atau barang. Dengan demikian cara titipan melibatkan adanya orang yang
menitipkan (nasabah), pihak yang dititipi (bank), barang yang dititipkan (dana
nasabah). Menitipkan sebenarnya bukan usaha perniagaan yang lazim, kecuali
penerima titipan menetapkan keharusan membayar biaya penitipan atau administrasi
bagi penitip. Maka Titipan bisa memenuhi syarat perniagaan yang lazim. Artinya
bank harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan karena
sudah dibayar biaya administrasinya. Akad wadiah dapat diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Menurut penulis, rekening giro dan juga tabungan di bank syariah harus
dikelola dengan sistem titipan sehingga biasa dikenal dengan giro wadiah maupun
tabungan wadiah, karena pada dasarnya rekening giro dan tabungan adalah dana
masyarakat di bank untuk tujuan pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan
setiap saat. Artinya giro dan tabungan hanyalah merupakan dana titipan nasabah,
bukan dana yang diinvestasikan. Namun dana nasabah pada giro dan tabungan bisa
dimanfaatkan oleh bank selama masih mengendap, tetapi kapan saja nasabah ingin
menariknya maka bank wajib membayarnya. Sebagai imbalan dari titipan yang
dimanfaatkan oleh bank syariah, nasabah dapat menerima imbal jasa berupa bonus.
Namun bonus ini tidak diperjanjikan di depan melainkan tergantung dari kebijakan
bank yang dikaitkan dengan pendapatan bank. Manfaat yang diperoleh nasabah dalam
65
hal ini adalah dengan menitipkan dana pada giro dan tabungan wadiah akan
mempermudah transaksi bisnis dan memberikan rasa aman serta terjaminnya dana
dan adanya kesempatan akan memperoleh bonus sesuai kebijakan bank.
Adapun ciri-ciri giro wadiah adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan buku sebagai bukti rekening giro dan lembaran bilyet giro sebagai
sarana penarikan simpanan;
2. besarnya setoran pertama dan saldo minimum yang harus mengendap tergantung
pada kebijakan masing-masing bank;
3. penarikan tidak dibatasi berapa saja dan kapan saja asal saldo mencukupi;
4. tipe rekening:
a. Rekening perorangan;
b. rekening bersama (dua orang atau lebih);
c. rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum;
d. rekening jaminan (untuk menjamin pembiayaan).
5. pembayaran bonus dilakukan dengan cara mengkredit/menambahkan langsung ke
dalam saldo rekening giro.
Adapun ketentuan umum giro wadiah adalah sebagai berikut (Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000):
1. Bersifat titipan;
2. titipan bisa diambil kapan saja (on call);
3. tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya)
yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Sedangkan ciri-ciri tabungan wadiah tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri giro
wadiah yaitu sebagai berikut:
1. Menggunakan buku sebagai bukti rekening giro dan disediakan kartu Automatic
Teller Machine (ATM) sebagai sarana penarikan simpanan;
2. besarnya setoran pertama dan saldo minimum yang harus mengendap tergantung
pada kebijakan masing-masing bank;
66
3. penarikan tidak dibatasi berapa saja dan kapan saja asal saldo mencukupi;
4. tipe rekening:
a. Rekening perorangan;
b. rekening bersama (dua orang atau lebih);
c. rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum;
d. rekening jaminan (untuk menjamin pembiayaan);
e. rekening perwalian (bagi yang belum cakap hukum, dioperasikan dengan
pengawasan dari orang tua/wali dari pemegang rekening).
5. pembayaran bonus dilakukan dengan cara mengkredit/menambahkan langsung ke
dalam saldo rekening tabungan.
Adapun ketentuan umum tabungan wadiah adalah sebagai berikut (Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 02/DSN-MUI/IV/2000):
1. Bersifat titipan;
2. titipan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan;
3. tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya)
yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Menurut penulis, dalam persaingan usaha perbankan pemberian insentif atau
bonus dapat diberikan sebagai upaya merangsang semangat masyarakat untuk
menyimpan uangnya di bank dan sekaligus sebagai indikator kesehatan bank.
Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan
jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase, tetapi betul-betul
merupakan kebijakan bank.
Menurut pendapat penulis, dengan menempatkan dana dalam simpanan
dengan prinsip wadiah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank
konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan. Sekalipun ada pembagian
keuntungan, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan dari pihak bank, melainkan
hanya berupa bonus yang merupakan kebijakan masing-masing bank.
67
Syarat akad wadiah yang harus dipenuhi yaitu:
1. Pihak yang berakad harus cakap hukum dan sukarela (ridha);
2. pihak yang berakad tidak dalam keadaan dipaksa/ terpaksa atau tidak di bawah
tekanan;
3. obyek yang dititipkan merupakan milik mutlak si penitip (muwaddi);
4. sighot harus jelas apa yang dititipkan; dan
5. tidak mengandung persyaratan-persyaratan lain.
B. Pembagian Keuntungan dan Kerugian Sesudah Diinvestasikan
dalam Sistem Bagi Hasil
Bank syariah dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening
dengan menggunakan prinsip wadiah. Dalam hal ini bank syariah menggunakan
prinsip wadi’ah yad adz-dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai bank kustodian
harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadiah. Dana tersebut dapat
digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang
diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan komersial. Pemilik
simpanan dapat menarik kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau
seluruhnya. Bank tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan
apapun kepada pemegang rekening wadiah, dan sebaliknya pemegang rekening juga
tidak boleh mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan atas rekening
wadiah. Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan dapat dianggap riba. Namun
demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus
(hibah) kepada pemilik dana (pemegang rekening wadiah).
Prinsip wadi’ah yad adz-dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam
mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa
penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank
memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap
di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-
waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran
68
kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah
milik bank, tetapi atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan
keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Sebagai pelayanan kepada
nasabah, bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan
rekening tersebut.
Namun jika dana mengendap yang dipergunakan oleh bank tersebut
mengalami sesuatu yang tidak diinginkan maka di sini nasabah juga ikut menanggung
kerugian tersebut sebagai konsekuensi diterapkannya sistem bagi hasil. Karena
dengan menggunakan prinsip wadi’ah yad adz-dhamanah, maka nasabah dapat
menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan
perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka.
Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi atas
kehendaknya sendiri bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari
sebagian keuntungan bank.
Menurut penulis, penerapan sistem bagi hasil pada akad wadi’ah yad adz-
dhamanah dalam produk giro dan tabungan sudah tepat. Hal ini dikarenakan pada
bank syariah terdapat prinsip syariah yang mengutamakan keadilan. Apabila ada
keuntungan dinikmati bersama, dan apabila ada kerugian maka ditanggung bersama
antara nasabah pemilik dana dan bank syariah.
Dalam praktiknya nisbah antara bank (shohibul maal) dengan deposan
(mudharib) berupa bonus. Bonus untuk giro wadiah biasanya sebesar 30% dan nisbah
40:60 untuk simpanan tabungan. Berikut ini contoh perhitungan giro wadiah dan
tabungan (Kasmir, 2002: 181-182):
1. Contoh perhitungan rekening giro wadiah:
Tuan Seron Sidik memiliki rekening giro wadiah di bank syariah dengan
saldo rata-rata pada bulan September 2009 sebesar Rp 1.000.000,-. Bonus yang
diberikan pihak bank syariah sebesar 30% dengan saldo rata-rata minimal sebesar
Rp 500.000,-. Total dana giro wadiah di bank syariah diasumsikan Rp
69
1.000.000.000,-. Pendapatan bank syariah dari pemanfaatan dana giro wadiah
sebesar Rp. 100.000.000,-.
Maka bonus yang diterima Tuan Seron Sidik pada akhir bulan September
2009 adalah sebesar:
X Rp 100.000.000,- X 30% = Rp 30.000,-*
* Sebelum dipotong pajak
2. Contoh perhitungan simpanan tabungan:
Tuan Armil Arup memiliki simpanan tabungan di bank syariah dengan
saldo rata-rata pada bulan September 2009 sebesar Rp 1.000.000,-. Perbandingan
bagi hasil (nisbah) antara bank syariah dengan nasabah adalah 40:60. Saldo rata-
rata tabungan per bulan di seluruh bank syariah adalah Rp 5.000.000.000,-.
Pendapatan bank syariah yang dibagikan adalah sebesar Rp. 800.000.000,-.
Maka bonus yang diterima Tuan Armil Arup pada akhir bulan September
2009 adalah sebesar:
X Rp 800.000.000,- X 60% = Rp 96.000,- *
* Sebelum dipotong pajak
C. Implikasi Hukum Bagi Nasabah dan Bank Atas Keuntungan dan Kerugian Bagi
Nasabah dan Bank Sesudah Diinvestasikan Dalam Sistem Bagi Hasil Beserta Cara
Penyelesaian Terhadap Sengketa yang Mungkin Timbul Sehubungan dengan
Keuntungan dan Kerugian Tersebut
Kegiatan usaha bank syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat yang
nantinya akan digunakan untuk kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat yang
membutuhkan dana. Dalam hal ini kegiatan tersebut lazim dinamakan dengan
kegiatan pembiayaan. Kegiatan pembiayaan ini sangat beragam jenis akadnya dan
juga sangat beragam resikonya. Karena terdapatnya resiko tersebut sangat mungkin di
kemudian hari terjadi masalah yang dapat berujung kepada persengketaan baik yang
70
menyangkut dengan kegiatan penghimpunan dana dan pengembalian dana maupun
terkait dengan kegiatan pembiayaan yang bermasalah.
Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
(Muhammad Syafei Antonio, 2000: 160-168):
1. Pembiayaan Produktif
Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha
produksi, perdagangan maupun investasi.
Pembiayaan produktif ini menurut keperluannya dibagi menjadi dua:
a. Pembiayaan modal kerja yaitu pembiayaan yang diberikan guna memenuhi
kebutuhan modal usaha untuk peningkatan produksi secara kuantitatif dan
kualitatif serta untuk keperluan perdagangan atau utility place dari suatu
barang, termasuk dalam jenis ini adalah mudharabah (kerja sama pemilik
modal dan pengusaha) dan musyarakah (bagi hasil berserikat) yang
menggunakan sistem bagi hasil;
b. Pembiayaan investasi yaitu pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah
untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam pengadaan barang-barang modal
dan sarana atau prasarana usaha yang erat kaitannya dengan itu, misal: untuk
pengadaan kendaraan, bangunan, kantor, pabrik, mesin dan lain-lain termasuk
dalam jenis ini adalah al musyarakah mutanaqishah, al ijarah al muntahia bit-
tamlik.
2. Pembiayaan konsumtif
Pembiayaan konsumtif yaitu pembiayaan yang digunakan untuk
kebutuhan konsumsi yang akan habis untuk memenuhi kebutuhan pribadi, misal:
pembelian rumah, mobil, peralatan elektronik dan lain-lain, termasuk jenis ini
adalah: al-qardhul hasan, bai bithaman ajil, al musyarakah mutanaqisah dan ar
rahn.
71
Selain itu terdapat beberapa jenis pembiayaan yang lain, yaitu (Karnaen
Perwaatmadja dan Muhammad Syafei Antonio, 1992: 21-33):
1. Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan mudharabah yaitu suatu perjanjian usaha antara pemilik
modal dengan pengusaha, di mana pihak pemilik modal menyediakan seluruh
dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan atas usaha
yang dilakukan. Hasil dari kegiatan usaha ini dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil
yang telah disepakati misalnya 70:30. Apabila terjadi kerugian dan kerugian
tersebut merupakan resiko bisnis (bukan penyelewengan atau keluar dari
kesepakatan) maka pihak penyedia dana akan menanggung kerugian manakala
pengusaha akan menanggung kerugian managerial skill dan waktu serta
kehilangan nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperolehnya.
2. Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan musyarakah yaitu suatu perjanjian usaha antara dua atau
beberapa pemilik modal untuk menyertakan modalnya pada suatu proyek, di mana
masing-masing pihak mempunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan, atau
menggugurkan haknya dalam manajemen proyek. Keuntungan dari hasil usaha
bersama ini dapat dibagikan baik menurut proporsi penyertaan modal masing-
masing maupun sesuai dengan kesepakatan bersama. Jika hasilnya rugi kewajiban
hanya terbatas pada modal yang disetor.
3. Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah yaitu pembiayaan yang diberikan kepada nasabah
dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi. Pembiayaan murabahah mirip
dengan kredit modal kerja yang biasa diberikan bank konvensional, dan oleh
karena itu pembiayaaan murabahah ini berjangka waktu kurang dari satu tahun.
4. Pembiayaan Al-Ba‘i Bitsaman Ajil
Ba‘i Bitsaman Ajil artinya pembelian barang dengan pembayaran cicilan.
Pembiayaan Ba‘i Bitsaman Ajil adalah pembiayaan yang diberikan kepada
72
nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang modal (investasi).
Pembiayaan Ba‘i Bitsaman Ajil mirip dengan kredit investasi yang diberikan oleh
bank konvensional dan oleh karena itu biasanya pembiayaan ini berjangka waktu
lebih dari satu tahun.
5. Pembiayaan Ijarah
Ijarah ialah pemberian kesempatan kepada penyewa untuk mengambil
kemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan
yang besarnya telah disepakati bersama.
Para cendekiawan muslim membagi ijarah menjadi dua jenis, yaitu:
a. Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu;
b. Menyewa untuk suatu proyek atau usaha tertentu.
6. Pembiayaan Ba‘i at Takjiri
Ba’i at takjiri atau sewa beli yaitu suatu kontrak sewa yang diakhiri
dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan
sedemikian rupa sehingga sebagian dari pembayaran tersebut juga termasuk
angsuran guna pembelian barang yang menjadi obyek sewa beli.
7. Pembiayaan Al-Qardhul Hasan
Al-Qardhul Hasan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar
kewajiban sosial semata dimana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan
apapun kecuali modal pinjaman.
Masalah yang sering terjadi dalam kegiatan Perbankan Syariah yang
merupakan lembaga keuangan dimana sistem kerja dan juga produk pelayanannya
didasarkan syariah tidak lepas dari adanya pembiayaan yang bermasalah. Bank
syariah bertugas menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Penghimpunan
dana yang dilakukan bank syariah salah satunya menggunakan produk simpanan
wadiah. Dana yang terkumpul dari masyarakat kemudian digunakan oleh pihak bank
73
syariah untuk kegiatan pembiayaan kepada masyarakat dalam hal ini nasabah
peminjam. Dimana pengertian dari pembiayaan bermasalah adalah
(http://74.125.95.132/search?q=cache:LlJ-
GkRHe5cJ:images.hasbulloh.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SLQVxAo
KCDEAADYybS01/Penanganan%2520Pembiayaan%2520Bermasalah.ppt%3Fnmid
%3D112417041+Pengertian+Pembiayaan+bermasalah&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
):
1. Pembiayaan yang tidak lancar;
2. Pembiayaan di mana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang disyaratkan;
3. Pembiayaan yang tidak menepati jadwal angsuran;
4. Pembiayaan yang memiliki potensi merugikan;
5. Pembiayaan yang memiliki potensi menunggak dalam satu waktu tertentu.
Pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah tidak lepas dari fungsi
Perbankan Syariah itu sendiri yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah pada Pasal 4 , sebagai berikut:
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat;
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat;
(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif);
(4) pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut penulis, ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah tersebut mencerminkan perbankan syariah tidak hanya
beroperasi dengan dasar profit oriented atau orientasi keuntungan semata, namun juga
falah oriented. Perbankan Syariah sebagai lembaga keuangan bank memiliki fungsi
menghimpun dana dan menyalurkan dana. Selain itu perbankan syariah juga
berfungsi sebagai lembaga syiar Islam dengan menjalankan fungsi sosial seperti
menghimpun dan menyalurkan dana sosial dari dana zakat, infak, sedekah.
74
Adapun manfaat dari pembiayaan yaitu:
1. Manfaat bagi nasabah peminjam
a. Sebagai sumber permodalan yang dapat membiayai sebuah usaha;
b. sebagai sarana memperkuat kegiatan usaha yang ada;
c. sebagai sarana memenuhi faktor produksi;
d. sebagai sarana meningkatkan pendapatan sebagai akibat penambahan faktor
produksi.
2. Manfaat bagi bank syariah
a. Merupakan sumber pembentuk kekayaan bagi bank syariah;
b. Memungkinkan bank syariah untuk memiliki unit usaha yang produktif di luar
usaha bank syariah.
Bagi bank syariah dalam menyalurkan dana pembiayaan maka sebelumnya
perlu memperhatikan prinsip-prinsip (prinsip 5C), sebagai berikut (Hadiwidjaja dan
Rivai Wirasasmita, 2000: 34-36):
1. Character (watak/kepribadian) dari calon debitur yang merupakan salah satu
faktor yang harus diperhatikan sebagai hal yang paling penting sebelum
memutuskan/menetapkan akan memberikan kredit padanya, sehingga calon
debitur yang mempunyai reputasi baik sajalah yang dapat diteruskan permohonan
kreditnya.
2. Capacity (Kemampuan) kemampuan seseorang/badan/pengusaha akan
memberikan kejelasan kepada analis, sampai sebatas mana jumlah besar atau
kecilnya pendapatan seseorang/badan/pengusaha dari waktu ke waktu atau dari
musim ke musim.
3. Capital (modal) calon debitur perlu diketahui dan diteliti oleh calon kreditor
selain dari jumlahnya juga strukturnya.
4. Conditional of economy (kondisi ekonomi) tentang kemungkinan tedapat kondisi
atau situasi yang memberikan dampak positif ataupun negatif terhadap usaha
calon debitur.
5. Collateral (jaminan/agunan) adalah jaminan berupa harta benda milik debitur atau
pihak lain yang menjaminnya, diikat sebagai agunan/tanggungan. Andai pada
75
suatu saat, ternyata debitur tidak mampu menyelesaikan kreditnya maka agunan
tersebut diambil alih/dijual/dilelang oleh kreditur setelah pengadilan memberikan
pengesahan.
Pembiayaan yang sudah disetujui terkadang juga memiliki kendala-kendala
yang menyebabkan pembiayaan tersebut menjadi bermasalah sehingga memiliki
konsekuensi hukum terhadap dana nasabah peminjam yang salah satunya berasal dari
produk simpanan wadiah. Pembiayaan tersebut bermasalah terhadap pengembalian
dana pembiayaannya dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Faktor intern bank syariah
a. Analisis terhadap faktor-faktor yang terkait dalam pembiayaan yang
kurang/tidak akurat;
b. Kelemahan pengawasan terhadap kegiatan pembiayaan;
c. Lemahnya mutu sumber daya manusia karyawan bank syariah;
d. Terdapat kekeliruan atau tidak sempurnanya akad dan jaminan pembiayaan;
f. Pembiayaan yang tidak tepat sasaran serta terkonsentrasi hanya pada beberapa
pihak saja.
2. Faktor ekstern bank syariah
a. Nasabah peminjam menyalahgunakan pinjamannya;
b. Nasabah peminjam tidak mampu mengelola dana pinjamannya;
c. Terjadi keadaan dimana kondisi perekonomian tidak kondusif sehingga
mempengaruhi kegiatan usaha nasabah peminjam maupun mempengaruhi
kemampuan nasabah peminjam untuk membayar;
d. Adanya itikad tidak baik dari nasabah peminjam;
f. Adanya wanprestasi dari nasabah peminjam.
3. Terjadi keadaan yang bersifat Force Majeur
Keadaan ini merupakan keadaan yang berada di luar kontrol dan
kemampuan pihak bank syariah maupun pihak nasabah peminjam. Hal ini bisa
disebabkan oleh peristiwa bencana alam, huru-hara, kebakaran, perang, dan lain-
lain.
76
Faktor-faktor tersebut dapat terjadi dalam kegiatan pembiayaan bank syariah.
Apabila faktor-faktor tersebut terjadi, maka akan menimbulkan kerugian baik bagi
bank syariah, nasabah peminjam, maupun nasabah penyimpan dana. Hal ini karena
uang yang berasal dari nasabah penyimpan digunakan untuk kegiatan usaha dalam hal
ini penyaluran dana melalui kegiatan pembiayaan namun ternyata kegiatan
pembiayaan tersebut bermasalah dan pada akhirnya nasabah peminjam tidak dapat
mengembalikan dana pinjamannya kepada bank syariah dan kemudian pihak bank
syariah mengalami kerugian sehingga kesulitan mengembalikan dana nasabah
penyimpan.
Implikasi hukum terkait pembagian keuntungan dan kerugian dalam simpanan
wadiah ialah bahwa apabila dana nasabah yang dimanfaatkan oleh pihak bank
ternyata menghasilkan keuntungan maka bank dengan inisiatifnya sendiri dapat
memberikan sebagian keuntungan tersebut kepada nasabah pemilik dana, namun
apabila dana yang dimanfaatkan tersebut mengalami kerugian maka nasabah juga ikut
menanggung kerugian tersebut sebagai konsekuensi diterapkannya sistem bagi hasil.
Apabila akibat kerugian tersebut terjadi persengketaan antara nasabah dan bank,
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sudah
mengatur perihal tata cara penyelesaiannya yang menyatakan bahwa:
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad;
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan “penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya-upaya sebagai berikut:
77
1. musyawarah;
2. mediasi perbankan;
3. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase
lain; dan/atau
4. melalui pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.
Dalam hal ini, apabila dalam akad sudah ditentukan cara penyelesaiannya
selain di Pengadilan Agama maka merujuk kepada alternatif penyelesaian sengketa
sesuai Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah di mana menentukan penyelesaian sengketa dengan cara:
1. Dengan menggunakan musyawarah atau yang dikenal dengan perdamaian;
2. Dengan menggunakan mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia;
3. Dengan menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional yang yang diresmikan oleh MUI lewat keputusan rapat Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003 didasarkan
pada Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase atau melalui
lembaga arbitrase lain;
4. Dengan jalan beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Apabila dalam akad tidak ditentukan maupun sudah ditentukan cara
penyelesaiannya maka merujuk kepada alternatif penyelesaian sengketa sesuai Pasal
55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di
mana menentukan penyelesaian sengketa dengan cara beracara di depan pengadilan
78
dan dalam hal ini pengadilan yang mempunyai kompetensi adalah Pengadilan Agama
di mana dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
juga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah maka
Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memutus perkara ekonomi syariah.
Dari uraian langkah yang dapat diambil guna menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah di perbankan syariah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
penyelesaian sengketa di perbankan syariah tergantung pada isi akad. Apabila isi akad
menyebutkan maupun tidak menyebutkan cara penyelesaian sengketa, maka
penyelesaian sengketa dilakukan dengan beracara di Pengadilan Agama. Sedangkan
apabila isi akad menyebutkan cara penyelesaian sengketa selain dengan cara beracara
di Pengadilan Agama, maka cara tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah dan tidak boleh bertentangan dengan isi dari Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di mana
menyebutkan bahwa cara penyelesaiannya ialah melalui jalan musyawarah, mediasi
perbankan, badan arbitrase syariah nasional atau lembaga arbitrase lain, dan melalui
beracara di pengadilan dalam lingkup Pengadilan Umum.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di perbankan syariah yang
menyebutkan melalui beracara di Pengadilan Agama maupun tidak disebutkan cara
penyelesaiannya dalam isi akad dilakukan dengan cara sebagai berikut:
79
1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama (Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tantang Perbankan Syariah).
Pengadilan Agama memiliki kewenangan memeriksa dan memutus
sengketa ekonomi syariah sejak dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menyebutkan bahwa:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah.
Dalam Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah (Pasal 49 huruf i
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a. bank syariah;
80
b. lembaga keuangan mikro syariah;
c. asuransi syariah;
d. reasuransi syariah;
e. reksa dana syariah;
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
g. sekuritas syariah;
h. pembiayaan syariah;
i. pegadaian syariah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan
k. bisnis syariah.
Menurut penjelasan tersebut bank syariah termasuk dalam kategori
kegiatan ekonomi syariah sehingga penyelesaian permasalahan pembiayaan yang
terjadi dapat menggunakan cara penyelesaian melalui Peradilan Agama. Namun
cara penyelesaian ini hanya terbatas apabila kegiatan ekonomi syariah yang
bermasalah dan terjadi persengketaan tidak menyebutkan cara penyelesaian
sengketa di dalam akadnya, atau pun juga disebutkan dalam akad.
Menurut penulis, hingga saat ini, sumber daya manusia para hakim
Pengadilan Agama belum cukup siap untuk menangani perkara ekonomi syariah
ini. Diperlukan adanya pelatihan-pelatihan bagi hakim Pengadilan Agama untuk
mengantisipasi apabila ada perkara ekonomi syariah.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain dengan
cara beracara di Pengadilan Agama, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
81
dengan isi akad (Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tantang
Perbankan Syariah).
Selain penyelesaian sengketa ekonomi syariah di perbankan syariah
dengan jalan beracara di Pengadilan Agama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
20008 tentang Perbankan Syariah juga mencantumkan klasula alternatif
penyelesaian sengketa yang lain yaitu dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yaitu:
a. Dengan menggunakan musyawarah atau yang dikenal dengan perdamaian;
Alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di bank syariah
menggunakan cara musyawarah. Cara penyelesaian sengketa ini dengan cara
mengadakan musyawarah antara pihak pemilik simpanan wadiah dengan
pihak bank syariah yang bertujuan untuk mendapatkan solusi penyelesaian
atas masalah yang terjadi. Solusi atas penyelesaian masalah tersebut
diperlukan agar tidak ada pihak yang dirugikan baik dari pihak bank syariah
maupun pihak nasabah pemilik simpanan wadiah. Apabila setelah
diadakannya musyawarah dan dihasilkan suatu keputusan namun ada salah
satu pihak yang tidak menghendaki hasil musyawarah, atau pun musyawarah
tidak menghasilkan keputusan apa pun maka dapat ditempuh upaya hukum
yang lain baik melalui Peradilan Agama, Mediasi Perbankan, Arbitrase,
maupun beracara di Pengadilan Umum. Hal ini dimungkinkan sebab hasil dari
musyawarah tersebut tidak mengikat salah satu pihak maupun keduanya untuk
menjalankan kesepakatan tersebut, melainkan pelaksanaan hasil musyawarah
tersebut didasarkan kepada kesadaran dan hati nurani para pihak.
82
b. Dengan menggunakan mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia;
Alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di bank syariah
menggunakan cara mediasi perbankan yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia. Cara penyelesaian sengketa ini dengan cara mengadakan mediasi
antara pihak pemilik simpanan wadiah dengan pihak bank syariah yang
bertujuan untuk mendapatkan solusi penyelesaian atas masalah yang terjadi.
Mediasi yang dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas mediasi perbankan
yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Mediasi Perbankan ini memiliki
keunggulan yaitu proses penyelesaian sengketanya berbiaya ringan, prosesnya
cepat dan sederhana karena (http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6EEDF369-
83F5-4CA4-8F34-A581CF139CC2/1487/MediasiPerbankan.pdf):
1) Tidak dipungut biaya;
2) Jangka waktu proses mediasi paling lama 60 hari kerja; dan
3) Proses mediasi dilakukan secara informal/fleksibel.
Proses mediasi yang dilakukan melalui Mediasi Perbankan adalah
sebagai berikut (http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6EEDF369-83F5-4CA4-
8F34-A581CF139CC2/1487/MediasiPerbankan.pdf):
1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Mediasi Perbankan hanya
sengketa yang menyangkut aspek transaksi keuangan antara nasabah
83
dengan bank, dengan ketentuan nilai sengketa setinggi-tingginya adalah
Rp. 500 juta;
2) Sebelum melakukan proses mediasi, nasabah dan bank harus
menandatangani perjanjian mediasi yang memuat:
a) Kesepakatan untuk memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian
sengketa; dan
b) Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan mediasi.
3) Bank Indonesia selaku mediator akan memfasilitasi pertemuan antara bank
dengan nasabah guna mencari penyelesaian. Dalam pertemuan tersebut,
mediator akan:
a) Bersikap netral;
b) memotivasi para pihak untuk menyelesaikan sengketa;
c) tidak memberikan rekomendasi atau keputusan. Hasil penyelesaian
terhadap sengketa merupakan kesepakatan antara nasabah dengan
bank.
4) Apabila dicapai kesepakatan, maka nasabah dan bank akan
menandatangani akta kesepakatan;
5) Apabila tidak dicapai kesepakatan, nasabah dapat melakukan upaya
penyelesaian lanjutan melalui arbitrase atau pengadilan.
Adapun definisi mediasi adalah sebagai berikut:
84
“Mediation is a process of dispute resolution in which a neutral third
party, the mediator, helps the disputing parties to settle their conflict.
The mediator does not have either the power or the resources to
impose a settlement on the disputingparties or to make a decision that
the parties are either required to consider or to accept. Rather, the
mediator is limited to facilitating a resolution among the parties
themselves.” (Gerald Turkel, 1996: 211)
Menurut pendapat penulis, proses mediasi perbankan ini terdapat
kelemahan di dalamnya. Kelemahan tersebut yaitu adanya batasan nilai
nominal obyek sengketa yaitu setinggi-tingginya Rp 500 juta. Ketentuan ini
menyebabkan nasabah yang bersengketa dengan obyek nominal sengketa di
atas Rp 500 juta tidak dapat menggunakan alternatif penyelesaian sengketa
melalui jalur mediasi perbankan.
c. Dengan menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional yang yang diresmikan oleh MUI lewat keputusan rapat
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003
maupun lembaga arbitrase lain didasarkan pada Undang-Undang nomor 30
tahun 1999 tentang Arbitrase;
Penyelesaian masalah sengketa ekonomi syariah juga dapat melalui
lembaga Arbitrase. Baik itu lembaga Badan Arbitrase Syariah Nasional yang
diresmikan oleh Dewan Syariah Nasional dengan keputusan rapat Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003 yang
85
memang dianjurkan dalam Fatwa MUI tentang transaksi syariah, maupun
lembaga arbitrase lain. Yang dalam pelaksanaan arbitrase tersebut mengacu
pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
Yang dimaksud dengan arbitrase adalah pemutusan suatu
persengketaan oleh seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh pihak-
pihak yang bersengketa diluar hakim atau pengadilan, dalam praktiknya
disebut pula perwasitan (Subekti dalam Suhrawardi K. Lubis, 1999: 84).
Dasar hukum lembaga arbitrase menurut syariat Islam dapat
didasarkan kepada Al Quran yang antara lain terdapat dalam surat An-Nisa
ayat 35 (ayat-ayat lain yang dapat dijadikan sandaran arbitrase ini seperti
Surat Al-Hujarat ayat 9, an-Nisa’ ayat 114 dan 128) yang artinya:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Subdinas Pembinaan Mental Dinas Perawatan Personil Angkatan Udara, 2002: 155).
Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat ini adalah juru damai
diantara kedua suami istri yang bersengketa tersebut. Namun demikian,
kalaupun yang disebutkan dalam ayat ini juru damai terhadap persengketaan
suami istri, tentunya dapat dikembangkan atau diperluas kedalam
persengketaan bidang-bidang lain (seperti bidang ekonomi). Hal itu dapat
86
dilakukan dengan cara menggunakan penafsiran analogi. Dengan
menggunakan metode penafsiran analogi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa penggunaan lembaga arbitrase dapat dilakukan dalam penyelesaian
persengketaan bidang ekonomi (Suhrawardi K. Lubis, 1999: 186).
Hasil keputusan dari arbitrase tersebut dapat dimintakan eksekusi
melalui ketua pengadilan negeri tempat sengketa itu terjadi. Hal tersebut dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 60 dan Pasal 61 yang diperkuat pada Pasal 64
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, sebagai berikut:
1) Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase:
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak.”
2) Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase:
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan
negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
3) Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase:
“Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah ketua pengadilan negeri,
dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata
yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Menurut penulis, alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase
merupakan alternatif penyelesaian sengketa terbaik. Hal ini dikarenakan
dalam arbitrase selalu diusahakan sebuah keputusan yang saling
menguntungkan antara kedua belah pihak yang bersengketa (win-win
solution). Dengan menggunakan alternatif penyelesaian sengketa melalui jalan
arbitrase, tidak ada pihak yang kalah.
87
d. Dengan jalan beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum.
Alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di bank syariah
menggunakan cara beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum. Cara penyelesaian sengketa ini dengan cara beracara di Pengadilan
Negeri antara pihak pemilik simpanan wadiah dengan pihak bank syariah
yang bertujuan untuk mendapatkan solusi penyelesaian atas masalah yang
terjadi. Solusi atas penyelesaian masalah tersebut diperlukan agar tidak ada
pihak yang dirugikan baik dari pihak bank syariah maupun pihak nasabah
pemilik simpanan wadiah.
Menurut penulis, alternatif penyelesaian sengketa melalui jalan
beracara di depan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum ini
dimungkinkankan sebab nasabah bank syariah tidak hanya diperuntukkan bagi
umat muslim saja. Agama Islam mengajarkan bahwa Islam merupakan
Rahmatan Lil Alaamiin atau rahmat bagi semesta alam. Maka kegiatan
perbankan syariah termasuk produk simpanan wadiah di dalamnya maupun
produk pembiayaan tidak hanya dikhususkan bagi umat muslim saja, namun
uman nonmuslim pun boleh menikmati produk dan jasa perbankan syariah.
Apabila di kemudian hari terjadi persengketaan antara nasabah dan bank,
maka nasabah yang beragama nonmuslim dapat mengajukan alternatif
penyelesaian sengketa yang dialaminya dengan jalan beracara di depan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Lembaga penegak hukum tidak dapat dipisahkan dari keadaan
masyarakat sekitarnya seperti yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev: “Legal
institutions, even more than other kinds of social institutions, cannot be
88
understood independently of their political, social, and economics roots.”
(Daniel S. Lev, 1972: 1). Diberikannya kewenangan penyelesaian sengketa
ekonomi syariah kepada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
merupakan hasil kompromi politik dengan memperhatikan keberagaman latar
belakang masyarakat Indonesia. Beragamnya latar belakang masyarakat
Indonesia menyebabkan adanya kemungkinan nasabah bank syariah tidak
hanya berasal dari kalangan umat muslim saja, namun juga umat nonmuslim.
i
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada
bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Sistem bagi hasil produk simpanan wadiah pada bank syariah
a. Aplikasi prinsip wadiah dalam produk perbankan, di mana bank sebagai
penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini yang dalam bank
konvensional dikenal dengan produk giro. Sebagai konsekuensi, semua
keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank
(demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan
keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.
b. Jika dikaitkan dengan bank syariah, untuk prinsip wadiah yang digunakan
adalah wadi’ah yad adz-dhamanah, artinya pihak yang menerima titipan
(dalam hal ini adalah pihak bank) boleh menggunakan obyek titipan. Namun
ada syaratnya, yaitu pihak yang menerima titipan itu harus mendapat izin dari
pihak penitip (dalam hal ini adalah pihak nasabah bank).
2. Pembagian keuntungan dan kerugian sesudah diinvestasikan dalam sistem bagi
hasil
a. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi,
atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang
berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan
jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.
b. Jika dana mengendap yang dipergunakan oleh bank tersebut mengalami
sesuatu yang tidak diinginkan maka disini nasabah tidak ikut menanggung
kerugian yang disebabkan oleh bank. Karena prinsip wadi’ah yad adz-
dhamanah nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya
ii
ii
sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin
pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan
dana tersebut adalah milik bank, tetapi, atas kehendaknya sendiri, bank dapat
memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank.
3. Implikasi hukum atas keuntungan dan kerugian bagi nasabah dan bank sesudah
diinvestasikan dalam sistem bagi hasil beserta cara penyelesaian terhadap sengketa
yang mungkin timbul sehubungan dengan keuntungan dan kerugian tersebut
Apabila terjadi persengketaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah menyertakan aturan mengenai penyelesaian sengketa yang
mungkin terjadi akibat kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank syariah. Dalam
aturan tersebut, cara penyelesaian sengketa perbankan syariah terbagi menjadi dua
bagian yaitu (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah):
a. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama;
b. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad.
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya-upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase
lain; dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.
iii
iii
B. Saran
1. Untuk bank syariah sebagai lembaga keuangan perbankan yang bergerak
berdasarkan syariat Islam perlu berhati-hati dalam memanfaatkan dana yang
berasal dari produk simpanan wadiah. Hal ini dikarenakan prinsip wadiah yang
digunakan adalah wadi’ah yad adz-dhamanah di mana pihak bank boleh
memanfaatkan dana tersebut namun nasabah sewaktu-waktu dapat mengambilnya
kembali.
2. Untuk bank syariah dalam menyalurkan dana yang berasal dari produk simpanan
wadiah hendaknya benar-benar selektif dalam menentukan calon nasabah
peminjam dalam kegiatan pembiayaannya. Hal ini untuk meminimalisir
kemungkinan adanya pembiayaan bermasalah yang menyebabkan macetnya
pengembalian dana pembiayaan yang berasal dari produk simpanan wadiah.
3. Untuk lembaga peradilan baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan hendaknya
menyiapkan sumber daya manusia para hakim yang baik dan mengerti prinsip
penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Hal ini dikarenakan kedua lembaga
peradilan tersebut baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri diberikan
kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di perbankan syariah
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
iv
iv
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adnan M. Abdeen and Dale N. Shook. 1984. The Saudi Financial System: In The
Context of Western and Islamic Finance. Chichester: John Wiley and Sons. Burhan Ashshofa. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Dahlan Siamat. 1992. Prinsip-prinsip Dasar Manajemen Bank Umum. Yogyakarta: Penerbit BPFE.
Hadiwidjaja dan Rivai Wirasasmita. 2000. Analisis Kredit. Bandung: CV. Pionir Jaya.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah. Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI, Cetakan Pertama.
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishing.
Karnaen Perwaatmadja. 1997. Pembangunan dan Upaya Perbaikan Taraf Hidup: Sekilas Pandangan K.H. Alie Yafie, dalam Wacana Baru Fiqh Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
dan Muhammad Syafei Antonio. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Keenam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Muhammad Najatullah Siddiqi. 1983. Issues in Islamic Banking: Selected Paper. Leicester UK: The Islamic Foundation.
Muhammad Syafei Antonio. 2000. Bank Syariah: Teori dan Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
v
v
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
dan Sri Mamuji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Subdinas Pembinaan Mental Dinas Perawatan Personil Angkatan Udara. 2002.
Alquran Terjemah Indonesia. Semarang: Karya Toha Putra Semarang.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Yogyakarta: PT. Citra Aditya Bakti.
Suhrawardi K Lubis. 1999. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Sutan Remy Sjahdeni. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, Cetakan Pertama.
Syafruddin Prawiranegara. 1988. Ekonomi dan Keuangan; Makna Ekonomi Islami, Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II. Jakarta: CV Masagung, Cetakan Pertama.
Warkum Sumitro. 1997. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wirdyaningsih, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Zainuddin Ali. 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2005 tentang Mediasi Perbankan.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah.
vi
vi
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan.
Makalah
Achmad Baraba. 2001. “Memahami Lembaga Keuangan Syariah”. Makalah.
Disampaikan pada Kursus Singkat dan Lokakarya II Ekonomi Islam.
Burhanudin Harahap. 2008. “Kajian Yuridis Efektifitas Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Implikasi dan Implementasi Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia, pada tanggal 11 Desember di Solo.
Jurnal
Daniel S. Lev. 1972. Islamic Courts in Indonesia: A Study in The Political Bases of
Legal Institutions. California: University of California.
Gerald Turkel. 1996. Law and Society:Critical Approaches. Boston: Allyn and Bacon.
Warkum Sumitro. 2004. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI:
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 01/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Giro.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 02/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Tabungan.
Internet:
Mike Rini. Simpanan Bagi Hasil di Bank. <http://perencanakeuangan.com/
files/Simp.BagiHasilSyariah.html>. (Diakses pada tanggal 1 Mei 2009 pukul
23.00 WIB).
Pembiayaan Bermasalah Pencegahan dan Penanganan.
<http://74.125.95.132/search?q=cache:LlJ-
GkRHe5cJ:images.hasbulloh.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SLQ
vii
vii
VxAoKCDEAADYybS01/Penanganan%2520Pembiayaan%2520Bermasalah.p
pt%3Fnmid%3D112417041+Pengertian+Pembiayaan+bermasalah&cd=1&hl=
id&ct=clnk&gl=id>. (Diakses pada tanggal 17 November 2009 pukul 14.05
WIB).
Mediasi Perbankan. <http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6EEDF369-83F5-4CA4-
8F34-A581CF139CC2/1487/MediasiPerbankan.pdf>. (Diakses pada tanggal
17 November 2009 pukul 14.03 WIB).
viii
viii
LAMPIRAN
ix
ix
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NOMOR: 01/DSN-MUI/IV/2000 TENTANG
GIRO
Menimbang, Mengingat, Memperhatikan,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: FATWA TENTANG GIRO.
Pertama: Giro ada dua jenis:
1. Giro yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan
perhitungan bunga.
2. Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip
Mudharabah dan Wadi’ah.
Kedua: Ketentuan Umum Giro berdasarkan Mudharabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik
dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
x
x
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga: Ketentuan Umum Giro berdasarkan Wadi’ah:
1. Bersifat titipan.
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Ditetapkan di: Jakarta
Tanggal: 26 Dzulhijjah 1420 H/1 April 2000 M
xi
xi
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NOMOR: 02/DSN-MUI/IV/2000
TENTANG TABUNGAN
Menimbang, Mengingat, Memperhatikan,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: FATWA TENTANG TABUNGAN.
Pertama: Tabungan ada dua jenis:
1. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang
berdasarkan perhitungan bunga.
2. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip
Mudharabah dan Wadi’ah.
Kedua: Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik
dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan
mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
xii
xii
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga: Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Wadi’ah:
1. Bersifat simpanan.
2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Ditetapkan di: Jakarta
Tanggal: 26 Dzulhijjah 1420 H/1 April 2000 M