BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertambangan yang berlangsung di berbagai daerah di
Indonesia berdampak positif dalam meningkatkan penerimaan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi
pemerintah daerah untuk mengolah sendiri potensi daerahnya yang lebih
luas sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah
yang berlaku (Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 thn 2004).
Potensi sumber daya alam yang dimiliki kabupaten Maros yaitu
kandungan bahan galian tambangnya diharapkan memberikan kontribusi
optimal bagi penerimaan asli daerah, namun kontribusi sektor
pertambangan kepada daerah belum optimal. Hal ini disebapkan jenis pajak
dan retribusi yang menjadi kewenangan daerah terbatas, penerimaan
daerah seperti pajak dan retribusi yang berpotensi menghasilkan
Pendapatan Asli Daerah kurang maksimal, mekanisme pengawasan dan
pemberian sanksi hukuman terhadap subjek pajak belum berjalan. Aktivitas
pertambangan yang beroperasi tersebut seharusnya berpotensi besar
sebagai penyumbang penerimaan daerah dari tambang mineral dan
batubara tersebut.
Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu indikator dalam
mengukur tingkat kemandirian suatu daerah otonom dalam penyelengaraan
administrasi pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, dibutuhkan
1
suatu analisis untuk meningkatkan kontribusi sektor pertambangan ke
dalam pendapatan asli daerah. Analisis yang digunakan adalah Proses
Hirarki Analitik (PHA). Metode PHA ini melibatkan berbagai stakeholder
yang dianggap berperan yaitu Dinas Pengelola Keuangan Daerah (DPKD),
Dinas Pertambangan, Badan Perencana Daerah (Bappeda), Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pengusaha pertambangan, dan
akademisi. Hasil analisis tersebut dapat dijadikan acuan dasar
pertimbangan dalam perumusan kebijakan dalam pengambilan keputusan
pemerintah daerah di masa yang akan datang sebagai usaha meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah di kabupaten Maros.
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan umum dalam penelitian ini adalah pendapatan daerah
sektor pertambangan kontribusinya kedalam PAD kabupaten Maros belum
optimal, realisasi pendapatan sektor pertambangan belum mencapai target
seperti yang ditetapkan dalam APBD kabupaten Maros. Adapun
permasalahan khusus dalam penelitian ini yang akan disusun berdasarkan
nilai prioritas adalah belum diketahuinya kendala dan permasalahan yang
mempengaruhi pendapatan daerah sektor pertambangan, belum
teridentifikasi stakeholder yang dianggap berperan dalam usaha
meningkatkan PAD sektor pertambangan, belum disusun berbagai kebijakan
yang diharapkan dapat meningkatkan PAD pertambangan dan belum dibuat
rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat mengoptimalkan kontribusi
PAD sektor pertambangan. Permasalahan-permasalahan tersebut dibatasi
oleh struktur hirarki pemilihan kebijakan yang telah dibuat dan dibagikan ke
para responden.
2
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kendala dan permasalahan yang mempengaruhi
penerimaan daerah di sektor pertambangan.
2. Mengidentifikasi berbagai stakeholder yang dianggap berperan dalam
upaya meningkatkan penerimaan PAD sektor pertambangan.
3. Mengidentifikasi berbagai kebijakan yang diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan sektor pertambangan terhadap Pendapatan
Asli Daerah.
4. Merekomendasikan berbagai alternatif kebijakan yang diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan PAD sektor pertambangan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang kendala
yang mempengaruhi kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan
Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Maros dan stakeholder yang berperan
dalam usaha meningkatkan penerimaan daerah sektor pertambangan.
Analisis kebijakan dengan metode Proses Hirarki Analitik akan memberikan
berbagai alternatif dan langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
penerimaan pada sektor pertambangan.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan atau
informasi bagi pemerintah daerah kabupaten Maros sebagai acuan dalam
pengambilan kebijakan atau keputusan pada masa yang akan datang untuk
meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah pada sektor
pertambangan.
1.5. Lokasi Penelitian
3
Kabupaten Maros terletak di bagian barat Sulawesi Selatan, secara
geografis terletak antara 04045 - 05007 LS dan antara 119033’ - 120010’ BT.
Kabupaten Maros sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep,
sebelah selatan berbatasan dengan kota Makassar dan kabupaten Gowa,
sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Bone dan sebelah barat
berbatasan dengan selat Makassar dan memiliki luas wilayah 1.619,12 km.
Secara administratif kabupaten Maros terbagi menjadi empat belas
kecamatan dan seratus tiga desa atau kelurahan, dengan jumlah penduduk
pada akhir tahun 2005 sebanyak 296.336 jiwa (Dhakidae, 2003). Akses ke
kabupaten Maros juga mudah karena keberadaan bandara udara
Hasanuddin yang berada di wilayahnya, disertai akses pintu gerbang jalan
tol dan sebagai kabupaten penyangga kota Makassar.
4
Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Maros (PDE, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertambangan di Kabupaten Maros
5
Potensi sektor pertambangan kabupaten Maros cukup besar. Industri
pertambangan yang beroperasi seperti pabrik semen, industri pengolahan
marmer, penambangan mineral bukan logam dan batuan lainnya.
Perusahaan tambang yang cukup besar adalah Bosowa Group yang memiliki
dua perusahaan bahan galian yaitu perusahaan yang memproduksi semen
dengan produksi 1,8 juta ton/ tahun dan marmer 0,1 juta ton/ tahun.
Perkiraan cadangan marmer di Maros sebesar 2,6 milyar m3 (Dinas
Pertambangan Maros, 2008).
Sektor pertambangan dalam lima tahun terakhir menunjukkan angka
pertumbuhan yang cukup baik meskipun kontribusinya pada Pendapatan
Asli Daerah belum mencapai target yang ditetapkan. Ditinjau dari
konstribusinya berada di urutan ketiga pendapatan terbesar terhadap
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dari sembilan sektor ekonomi
utama (Dinas pertambangan Maros, 2008). Peningkatan hasil
pertambangan yang tersebar dan beranekaragam di kabupaten Maros
menuntut kemampuan daerah untuk memberikan kemudahan berinvestasi
pada sektor pertambangan.
Sumber daya mineral di kabupaten Maros menurut jenisnya
meliputi lempung, batugamping, marmer, pasir kuarsa, oker, basal, andesit,
diorit, granodiorit, trakit, batu pasir, kerikil, batu sungai, dan pasir sungai.
Lokasi persebaran, luas sebaran, dan perkiraan tonase dari bahan galian di
kabupaten Maros hasil inventarisasi bahan galian dapat dilihat pada tabel
2.1.
Tabel 2.1 Potensi pertambangan mineral batuan di kabupaten Maros (Dinas Pertambangan Maros, 2008).
No
Bahan Galian Lokasi dan Sebaran
Potensi Sumber Daya
Luas Sebaran (m2)
Tonase (ton)
6
1 Lempung (Merah
, Hitam dan Abu-
abu)
Kecamatan: 328.600.000 1.560.850.00
0• Bontoa
• Bantimurung
• Turikale
• Maros Baru
• Simbang
• Marusu
• Tanralili
• Moncongloe
• Mandai
• Lau
• Mallawa
2 Batu Gamping Kecamatan: 171.125.000 39.131.718.7
50• Bontoa
• Bantimurung
• Simbang
• Tanralili
• Cenrana
• Tompobulu
• Mallawa
3 Marmer Kecamatan: 48.375.000 8.359.974.50
0• Bantimurung
• Cenrana
• Simbang
4 Pasir Kuarsa Kecamatan: 15.437.500 154.375.000
• Mallawa
5 Oker Kecamatan: 2.600.000 12.350.000
• Camba
• Cenrana
6 Basal Kecamatan: 80.125.000 15.585.234.6
25• Moncongloe
• Simbang
• Tanralili
• Mandai
• Tompobulu
7
• Cenrana
7 Andesit Kecamatan: 5.187.500 839.531.250
• Bantimurung
• Simbang
• Cenrana
8 Diorit Kecamatan: 5.000.000 1.063.125.00
0• Simbang
• Tompobulu
• Bantimurung
9 Granodiorit Kecamatan: 32,375,000 5.409.687.50
0• Camba
• Mallawa
1
0
Trakit Kecamatan: 2.187.500 689.062.500
• Bontoa
1
1
Batu Pasir
Formasi Camba
Kecamatan: 2.625.000 21.000.000
• Marusu
1
2
Kerikil dan Batu
Sungai
Kecamatan: 12.542.500 50.170.000
• Mallawa
• Bantimurung
• Tanralili
1
3
Pasir Sungai Kecamatan: 5.017.500 20.070.000
• Bontoa• Camba• Turikale• Tompobulu
Di kabupaten Maros selain memiliki potensi pertambangan mineral
golongan batuan juga terdapat pertambangan mineral logam dan
pertambangan batubara yang tersebar di wilayah kecamatan Mallawa,
Bantimurung, Camba, Simbang, dan Tanralili. Emas terdapat di Cindakko
dan Bontosomba kecamatan Tompobulu. Namun jumlah deposit kedua jenis
bahan galian tersebut sampai sekarang belum teridentifikasi. Adapun daftar
8
indikasi bahan galian tersebut di kabupaten Maros dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 2.2 Potensi pertambangan mineral logam dan batubara di kabupaten Maros (Dinas pertambangan Maros, 2008).
No Bahan Galian
Lokasi dan Sebaran
Kawasan/ Jenis Lahan
Sistem Penambanga
n 1 Batubara
Formasi Mallawa
Kecamatan: Hutan Tambang terbuka• Mallawa Perkebunan
• Bantimurung Semak belukar • Camba
• Tanralili • Simbang
• Marusu • Tanralili
2 Emas Kecamatan: Perkebunan Tambang terbuka• Tompobulu Persawahan
Pemukiman terbatas
Hutan
Aktivitas pertambangan yang melakukan penambangan, penggalian,
pengangkutan dan penjualan hasil tambang sekarang ini tersebar di
berbagai kecamatan di kabupaten Maros yang dilakukan oleh berbagai
perusahaan tambang. Penambangan bahan galian yang dilakukan seperti
sirtu, batubara, pasir, marmer, tanah timbunan, batu kapur, pasir silika dan
kromit. Daftar perusahaan tambang, jenis tambang, luas, dan lokasi
penambangannya di wilayah kabupaten Maros dapat dilihat pada lampiran
B.
2.2. Keuangan Daerah di Indonesia
Otonomi daerah setiap kabupaten/ kota atau provinsi dituntut untuk
menjalankan tiga prinsip otonomi daerah yaitu luas, nyata, dan
bertanggungjawab. Prinsip otonomi daerah seluas-luasnya, dalam arti
9
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 32/ 2004 tentang pemerintah daerah. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijaksanaan daerah untuk memberikan
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Peningkatan kemakmuran masyarakat daerah sangat membutuhkan
dukungan baik moril maupun materil dari pemerintah daerah yang berperan
sebagai motor penggerak pembangunan. Hal ini terealisasi dalam bentuk
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) suatu daerah.
Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia telah
membawa konsekuensi logis bahwa terjadi perubahan dalam sistem
penyelengaraan pemerintahan di daerah. Di kabupaten Maros kondisi
tersebut ditandai dengan semakin banyaknya kewenangan daerah yang
dimiliki yang sebelumnya merupakan kebijakan pemerintah pusat dalam hal
desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah dengan adanya kewenangan
otonomi kabupaten/ kota dapat memperoleh sumber pembiayaan dalam
melaksanakan otonominya. Pemerintah kabupaten Maros dituntut untuk
dapat mengelolah kewenangan tersebut dengan baik agar Pendapatan Asli
Daerahnya dapat dioptimalkan.
Sumber-sumber penerimaan daerah menurut UU No. 32/ 2004
tentang pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan daerah
a. PAD
- Pajak daerah
- Retribusi daerah
10
- Hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan
- Lain-lain PAD yang sah
b. Dana perimbangan
- Dana Alokasi Umum (DAU)
- Dana Alokasi Khusus (DAK)
- Dana Bagi Hasil (Pajak dan Sumber Daya Alam)
c. Lain-lain pendapatan
2. Pembiayaan:
- Silpa (sisa lebih perhitungan anggaran)
- Pinjaman daerah
2.3. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah menurut Undang–undang RI Nomor 33/ 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pada Bab V pasal 6, PAD bersumber dari:
a. Pajak daerah
b. Retribusi daerah
c. Hasil pengelolaan milik daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah kabupaten Maros, pada
tahun 2005-2009, dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Jumlah Pendapatan Asli Daerah kabupaten Maros pada tahun 2005-2009 (Dinas Pengelola Keuangan Daerah).
Tahun Uraian Jumlah (Rp)
2005 Pendapatan Asli Darah a. Pajak Daerah 6.235.432.388
11
b. Retribusi Daerah 4.683.901.933 c. Laba Usaha Daerah 782.658.229
d. Lain lain Pendapatan Asli Derah yang sah 1.871. 661.813
Total 13.573.664.3632006 Pendapatan Asli Darah a. Pajak Daerah 7.078.786.230 b. Retribusi Daerah 5.444.900.269 c. Laba Usaha Daerah 1.095.678.147
d.Lain lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 4.811.170.919
Total 18.430.535.5662007 Pendapatan Asli Darah a. Pajak Daerah 7.078.786.230 b. Retribusi Daerah 5.444.900.269 c. Laba Usaha Daerah 1.095.678.147
d.Lain lain pendapatan Asli Daerah yang sah 4.811.170.919
Total 20.430.535.566
2008 Pendapatan Asli Darah a. Pajak Daerah 7.078.786.230 b. Retribusi Daerah 5.444.900.269 c. Laba Usaha Daerah 1.095.678.147
d.Lain lain pendapatan Asli Daerah yang sah 4.811.170.919
Total 25.430.535.5662009 Pendapatan Asli Darah a. Pajak Daerah 9.148.000.000 b. Retribusi Daerah 14.218.200.000 c. Laba Usaha Daerah 2.320.000.000
d.Lain lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 7.323.555.000
Total 33.009.755.000
2.3.1. Pajak Daerah
Undang-Undang Nomor 34/ 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, dikelompokan jenis pajak dan retribusi daerah tersebut sebagai
berikut:
1. Pajak hotel
2. Pajak restoran
12
3. Pajak hiburan
4. Pajak reklame
5. Pajak penerangan jalan
6. Pajak pengambilan bahan galian golongan C
7. Pajak parkir
Menurut Undang-Undang Nomor 18/ 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, disebutkan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Pasal 2
ayat (1) dan (2) di dalam Undang–Undang Nomor 18/ 1997 disebutkan
bahwa jenis pajak daerah kabupaten, yaitu:
a. Pajak hotel dan restoran
b. Pajak hiburan
c. Pajak reklame
d. Pajak penerangan jalan
e. Pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C
f. Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
Selanjutnya pasal 3 ayat (1) dicantumkan tarif pajak paling tinggi dari
masing-masing jenis pajak sebagai berikut:
a. Pajak kendaraan bermotor 5 %
b. Pajak balik nama kendaraan bermotor 10 %
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 5 %
d. Pajak hotel dan restoran 10 %
e. Pajak hiburan 35 %
f. Pajak reklame 25 %
13
g. Pajak penerangan jalan 10 %
h. Pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C 25 %
i. Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan 20 %
Tarif pajak untuk daerah provinsi diatur dengan peraturan
pemerintah dan penetepannya seragam di seluruh Indonesia. Sedangkan
untuk daerah kabupaten/ kota, selanjutnya ditetapkan oleh peraturan
daerah masing-masing dan peraturan daerah tentang pajak tidak dapat
berlaku surut. Sumber pendapatan asli daerah sebagaimana tersebut di
atas, terlihat sangat bervariasi.
2.3.2. Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 34/ 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, jenis retribusi daerah terdiri dari:
1. Retribusi Jasa Umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh
daerah kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Pelayanan
yang digolongkan sebagai jasa usaha tersebut tergolong quasy goods
dan pelayanan yang memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan
biaya penyediaan layanan tersebut cukup besar sehingga layak
dibebankan pada masyarakat, misalnya retribusi pelayanan kesehatan,
persampahan, akta catatan sipil, KTP dan lain-lain.
2. Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah
berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan
oleh swasta dan atau penyewaan aset/ kekayaan daerah yang belum
dimanfaatkan misalnya retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong
hewan.
3. Retribusi Perijinan Tertentu yang merupakan pungutan yang
dikenakan sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan
14
kegiatan tertentu yang perlu dikendalikan oleh daerah misalnya IMB, Ijin
Pengambilan Hasil Hutan Ikutan, Pengelolaan Hutan dan lain-lain. Jika
merujuk kembali kepada penjelasan tabel 2.3 terkait dengan tujuan
pencapaian kemandirian daerah, maka peranan pajak dan retribusi daerah
ini sangat penting.
Penetapan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu
untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/ kota ditetapkan sesuai
dengan kewenangan masing-masing daerah. Rincian dan masing-masing
jenis retribusi diatur dengan peraturan daerah yang bersangkutan (Siahaan,
2005).
Retribusi daerah untuk sektor pertambangan yang pernah berlaku di
kabupaten Maros seperti retribusi SIUP, TDP, TDI, IUI, TDG, penerbitan tera
ulang alat ukur, perizinan tertentu, izin tambang daerah, izin pengelolaan
ABT/APT, dan donasi. Peraturan daerah yang baru sedang dibahas oleh
pemerintah daerah kabupaten Maros tentang pertambangan mineral logam
dan batuan.
Tabel 2.4 Daftar Pendapatan Asli Daerah sektor pertambangan dari penerimaan retribusi daerah kabupaten Maros tahun 2005-2009 (Dinas Pengelola Keuangan Daerah).
No. Uraian PAD (Rp)A. Pendapatan Tahun 2005
1 Retribusi Penerbitan SIUP 18.000.000
2 Retribusi Penerbitan TDP 18.000.000
3 Retribusi Penerbitan TDI 7.000.000
4 Retribusi Penerbitan IUI 7.000.000
5 Retribusi Penerbitan TDG 3.000.000
6Retribusi Penerbitan Tera ulang alat ukur/timbangan
2.500.000
Jumlah 55.500.000
15
B. Pendapatan Tahun 2006
1 Retribusi Penerbitan SIUP 23.000.000
2 Retribusi Penerbitan TDP 25.000.000
3 Retribusi Penerbitan TDI 7.000.000
4 Retribusi Penerbitan IUI 7.000.000
5 Retribusi Penerbitan TDG 3.000.000
6Retribusi Penerbitan Tera ulang alat ukur/timbangan
5.000.000
Jumlah 70.000.000
C. Pendapatan Tahun 2007
1Retribusi Izin Usaha Jual Bahan bakar Minyak/BBM
5.000.000
2 Retribusi Perizinan Tertentu 20.000.000
3 Retribusi Izin Tambang Daerah 15.000.000
4 Retribusi Izin Pengelolaan ABT/APT 5.000.000
Jumlah 45.000.000
D. Pendapatan Tahun 2008
1 Retribusi Perizinan Tertentu 25.000.000
2 Retribusi Izin Tambang Daerah 25.000.000
3 Retribusi Izin Pengelolaan ABT/APT 5.000.000
4 pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Sumbangan Pihak Ke 3 50.000.000
5 Donasi 50.000.000
Jumlah 155.000.000
E. Pendapatan Tahun 2009
1 Retribusi Perizinan Tertentu 25.000.000
2 Retribusi Izin Tambang Daerah 25.000.000
3 Retribusi Izin Pengelolaan ABT/APT 5.000.000
4 pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Sumbangan Pihak Ke 3 50.000.000
5 Donasi 50.000.000
16
Jumlah 155.000.000
Pendapatan Negara dan Daerah pada Undang-Undang RI Nomor 4/
2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada pasal 128, yaitu:
1. Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan
pendapatan daerah.
2. Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas
penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
3. Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas:
a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
b. bea masuk dan cukai
4. Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 2
terdiri atas:
a. iuran tetap
b. iuran eksplorasi
c. iuran produksi
d. kompensasi data informasi.
5. Pendapatan daerah sebagimanana dimaksud ayat 1 terdiri atas
a. pajak daerah
b. retribusi daerah dan
c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
Undang-undang mineral dan batubara tersebut, kewenangan daerah
sangat terbatas dalam memperoleh pendapatan daerah. Kabupaten
penghasil hanya mendapatkan pemasukan yang berasal dari pajak daerah
dan retribusi daerah yang sangat kecil. Pemasukan yang besar akan
17
didapatkan negara melalui iuran tetap, eksplorasi, produksi, dan
kompensasi data informasi. Hal ini pula yang membuat pendapatan asli
daerah rendah pada sektor pertambangan karena kewenangan daerah yang
masih dibatasi oleh aturan perundang-undangan yang ada.
Jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah masing-masing Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) termasuk PAD pada sektor pertambangan di
kabupaten Maros pada tahun 2005 - 2008 dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.5 Jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) termasuk PAD pada sektor pertambangan di Kabupaten Maros pada tahun 2005 (Dinas Pengelola Keuangan Daerah).
No. Satuan Kerja
Jumlah
Penerimaan Realisasi
Perangkat Daerah (SKPD) PAD (Rp) target (%)
1 Sekretariat Daerah 2.496.342.060 31,46
2 Dispenda 747.909.558 82,58
3 Bantimurung dan Bandara 2.471.450.032 104,99
4 Dinas Perikanan 104.083.000 49,45
5
Dinas Kehutanan dan
Perkebunan 53.559.313 97,38
6 Dinas Pertambangan dan Energi 5.698.673.605 87,40
7 Koperindag 61.115.000 87,94
8 Dinas Kependudukan dan T. Kerja 203.305.700 91,39
9 Dinas Kesehatan 288.259.200 96,09
10 RSUD 697.849.041 107,36
11 Dinas Sosial 160.505 18,34
12 Dinas Tata Ruang 368.650.854 77,61
13 Dinas Perhubungan 294.352.100 48,33
14 Bapedalda 56.475.000 92,58
15 Kantor Kebersihan 20.386.500 33,98
16 Kantor Pariwisata 11.037.000 101,72
Jumlah 13.573.654.363 ∑ ¿90,10
18
Tabel 2.6 Jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) termasuk PAD pada sektor pertambangan di Kabupaten Maros pada tahun 2006 (Dinas Pengelola Keuangan Daerah).
No. Satuan Kerja Jumlah Penerimaan Realisasi
Perangkat Daerah (SKPD) PAD (Rp) target (%)1 Sekretariat Daerah 2.673.004.817 100,822 Dispenda 677.090.652 120,053 Bantimurung dan Bandara 6.356.961.400 100,554 Dinas Perikanan 127.962.900 60,22
5Dinas Kehutanan dan Perkebunan 74.690.700 124,48
6 Dinas Pertambangan dan Energi 6.386.271.328 84,867 Koperindag 75.657.500 108,088 Dinas Kependudukan dan T. Kerja 147.734.500 86,809 Dinas Kesehatan 181.173.071 120,7810 RSUD 886.878.333 110,8611 Dinas Sosial 129.500 14,8012 Dinas Tata Ruang 518.352.919 50,5713 Dinas Perhubungan 201.731.500 106,7414 Bapedalda 49.200.000 72,3515 Kantor Kebersihan 43.739.500 72,9016 Kantor Pariwisata 8.537.000 63,24
Jumlah 18.430.535.566 ∑ ¿87,38
Tabel 2.7 Jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) termasuk PAD pada sektor Pertambangan di Kabupaten Maros pada tahun 2007 (Dinas Pengelola Keuangan Daerah).
No. Satuan Kerja
Jumlah
Penerimaan Realisasi
Perangkat Daerah (SKPD) PAD (Rp) target (%)
1 Sekretariat Daerah 2.988.087.998 100,4
2 Dispenda 945.995.770 99,45
19
3 Bantimurung dan Bandara 6.998.889.560 105,66
4 Dinas Perikanan 160.000.000 60,55
5
Dinas Kehutanan dan
Perkebunan 70.000.000 101,3
6 Dinas Pertambangan dan Energi 6.578.000.000 75,7
7 Koperindag 80.359.000 98,9
8 Dinas Kependudukan dan T. Kerja 209.980.590 89,8
9 Dinas Kesehatan 185.890.775 110,5
10 RSUD 1.589.560.788 106,4
11 Dinas Sosial 489.886.453 15,3
12 Dinas Tata Ruang 734.755.344 70,54
13 Dinas Perhubungan 325.980.764 94,56
14 Bapedalda 54.980.775 83,45
15 Kantor Kebersihan 60.542.887 60,45
16 Kantor Pariwisata 16.994.335 76,37
Jumlah 23.677.742.664 ∑ ¿84,33
Tabel 2.8 Jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) termasuk PAD pada sektor pertambangan di Kabupaten Maros pada tahun 2008 (Dinas Pengelola Keuangan Daerah).
No. Satuan Kerja
Jumlah
Penerimaan Realisasi
Perangkat Daerah (SKPD) PAD (Rp) target (%)
1 Sekretariat Daerah 3.112.334.546 100,78
2 Dispenda 1.245.667.880 102,57
3 Bantimurung dan Bandara 7.890.550.566 107,42
4 Dinas Perikanan 200.000.00 64,75
5
Dinas Kehutanan dan
Perkebunan 70.000.000 104,7
6 Dinas Pertambangan dan Energi 7.250.550.000 82,8
7 Koperindag 85.879.770 95,5
8 Dinas Kependudukan dan T. Kerja 350.890.566 91,1
9 Dinas Kesehatan 170.678.445 107,8
10 RSUD 2.598.567.998 102,8
20
11 Dinas Sosial 785.885.385 16,2
12 Dinas Tata Ruang 1.108.776.998 74,6
13 Dinas Perhubungan 457.996.887 92,2
14 Bapedalda 63.766.980 91,2
15 Kantor Kebersihan 80.566.443 80,45
16 Kantor Pariwisata 20.544.887 65,33
Jumlah 28.376.253.443 ∑ ¿86,01
2.4. Proses Hirarki Analitik (PHA)
Proses pembuatan kebijakan publik secara umum merupakan proses
yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang
harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat
untuk mengkaji kebijakan publik, membagi proses-proses penyusunannya
ke dalam beberapa tahap, yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan,
adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan (Winarno
B, 2007).
Penelitian ini membahas sampai pada formulasi kebijakan untuk
meningkatkan pendapatan sektor pertambangan dengan memilih metode
perumusan kebijakan yaitu Proses Hirarki Analitik (PHA).
PHA adalah suatu metode pengambilan keputusan yang bentuknya
sederhana, fleksibel dan berdaya guna besar, untuk mendukung suatu
proses pengambilan keputusan yang multi kriteria, multi tujuan, dan penuh
dengan situasi kompleks. Ciri utama proses PHA adalah dengan memecah
suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok-
kelompok kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu
bentuk hirarki (Nuryanti, 2003).
2.4.1. Prinsip Dasar PHA
21
Pada prinsipnya proses PHA adalah membandingkan tingkat prioritas
beberapa elemen atau variabel pada suatu level atau tingkatan dari suatu
susunan hirarki. Hasil dari proses perbandingan tersebut setiap elemen
diberi bobot secara numerik sehingga variabel yang mendapat prioritas
tertinggi dalam akhir proses analisis akan menjadi pilihan yang terbaik.
Prinsip-prinsip dalam menyelesaikan persoalan dengan PHA yang
harus dipahami yaitu decomposition, comparative judgement, synthesis of
prioirity, dan local consistency (Latifah, 2005).
a. Decomposition, yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur–
unsurnya.
b. Comparative judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan
relatif dua elemen pada tingkat tertentu yang berkaitan dengan tingkat
di atasnya.
c. Synthesis of prioirity, yaitu dari setiap matriks perbandingan kemudian
dicari eigenvector nya untuk mendapatkan local priority.
d. Local consistency, yaitu penilaian yang konsisten terhadap objek atau
elemen.
Input utama model PHA adalah persepsi manusia yang dianggap ahli.
Kriteria ahli lebih mengacu pada orang yang mengerti suatu permasalahan,
memiliki kepentingan terhadap suatu masalah dan merasakan akibat dari
masalah tersebut. Model PHA dapat dikatakan sebagai suatu perangkat
pengambilan keputusan yang komprehensif karena selain menggunakan
input yang bersifat kualitatif berupa persepsi manusia, juga dapat mengolah
data yang bersifat kuantitatif.
Penggunaan model PHA untuk mengambil suatu keputusan tidak
terlepas dari sejumlah aksioma-aksioma yang dimiliki model PHA. Aksioma-
aksioma tersebut harus diperhatikan oleh pemakai model PHA, karena
22
pelanggaran pada suatu aksioma akan berakibat tidak validnya model yang
digunakan. Aksioma-aksioma model PHA tersebut adalah:
1. Resiprocal comparison, artinya pengambil keputusan harus bisa
membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya.
2. Homogenity, artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam
skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat
dibandingkan satu sama lain.
3. Independence, artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan
bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada
melainkan obyektif secara keseluruhan.
4. Expectations, artinya untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur
hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka para
pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau obyek yang
tersedia sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.
Hirarki yang dibuat mengkaji permasalahan secara lengkap dan
menyeluruh serta tingkatan pada hirarki harus saling berhubungan.
2.4.2. Tahap Aplikasi PHA
Secara garis besar, aplikasi model PHA dibagi dalam dua tahap yaitu
penyusunan hirarki dan evaluasi hirarki. Penjabaran lebih lanjut dari dua
tahap di atas, adalah sebagai berikut:
2.4.2.1 Penyusunan hirarki
Penyusunan hirarki lazim disebut dekomposisi. Dekomposisi adalah
proses penguraian permasalahan menjadi kelompok-kelompok yang
homogen dan menguraikannya lagi menjadi bagian-bagian yang terkecil
sehingga kelompok- kelompok tersebut tidak dapat diuraikan lagi. Melalui
23
proses dekomposisi akan di peroleh satu atau beberapa level (tingkatan)
dalam hirarki. Penyusunan hirarki lebih bersifat seni dari pada ilmu
pengetahuan, sehingga tidak ada bentuk hirarki yang baku untuk
memecahkan suatu masalah. Namun demikian, dalam penyusunan hirarki
harus tetap memperhatikan hal-hal yang relevan terhadap masalah yang
diteliti, mempertimbangkan lingkungan di sekitar masalah, mengidentifikasi
segala macam kemungkinan yang dapat membantu pemecahan masalah
serta pendapat peserta atas masalah tersebut. Suatu hirarki dikatakan
lengkap apabila semua elemen pada suatu tingkatan hirarki memiliki
keterkaitan dengan tingkat sebelumnya. Beberapa keunggulan dari suatu
hirarki, antara lain:
a. Menggambarkan sistem yang dapat digunakan untuk
menggambarkan bagaimana perubahan prioritas pada tingkat di
bagian atas akan mempengaruhi tingkat di bawahnya.
b. Memberikan informasi yang sangat mendetail tentang struktur dan
fungsi sistem pada tingkat yang rendah, sekaligus memberikan
gambaran mengenai pelaku dan tujuan pada tingkat di atasnya.
c. Sistem secara alamiah merupakan suatu hirarki.
d. Stabil yaitu sedikit perubahan mempunyai sedikit pengaruh dan
fleksibel dimana tambahan pada hirarki yang sudah berstruktur
dengan baik tidak akan merusak kinerjanya.
Proses penyusunan hirarki dapat mengikuti tahap-tahap berikut ini:
a. Mengidentifikasi level-level dan elemen–elemen yang akan
ditempatkan dalam suatu level.
b. Mendefinisikan semua level dan elemen yang kemudian digunakan
untuk formulasi pertanyaan.
24
c. Mengidentifikasi goal atau tujuan keseluruhan dari pemecahan suatu
masalah.
d. Mengidentifikasi sub tujuan dari tujuan keseluruhan.
e. Menentukan kriteria-kriteria yang diperlukan dalam mencapai tujuan
atau sub tujuan, dapat berupa syarat atau keadaan yang mendukung
tercapainya tujuan.
f. Mengidentifikasi sub kriteria dari masing-masing kriteria.
g. Mengidentifikasi alternatif-alternatif yang akan dievaluasi di bawah
sub–sub kriteria.
Gambar 2.1 Model AHP secara umum (Saaty, 2000).
Penentuan susunan prioritas elemen adalah dengan menyusun
matriks perbandingan berpasang untuk seluruh elemen pada sistem hirarki.
Perbandingan tingkat kepentingan antar variabel diberikan penilaian
dengan angka satu sampai sembilan. Penjelasan perbandingan antar
variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 2.9.
25
Tabel 2.9 Skala perbandingan tingkat kepentingan antar variabel (Saaty,
2000)
Bobot / Pengertian Penjelasan
Tingkat siginifikan
1 Sama pentingDua faktor memiliki pengaruh yang
sama tehadap sasaran
3Sedikit lebih
penting Salah satu faktor sedikit lebih
berpengaruh dibanding faktor lainnya
5 Lebih pentingSalah satu faktor lebih berpengauh
dibanding faktor lainnya
7Sangat lebih
penting Salah satu faktor sangat lebih
berpengaruh dibanding faktor lainnya
9Jauh lebih penting
Salah satu faktor jauh lebih berpengaruh
2,4,6,8.Antara nilai yang
di atas Diantara kondisi di atas
Pada tabel di atas menggunakan bilangan untuk menggambarkan
relatif pentingnya suatu elemen di atas lainnya untuk mengisi matriks
banding berpasang dengan memberikan penilaian dalam angka (Saaty,
2000).
2.4.2.2 Evaluasi Hirarki
Pada tahap evaluasi hirarki, terdapat empat proses yang harus
dilakukan meliputi:
1. Pengisian persepsi dan prioritas lokal yang dibuatkan matriks
perbandingan.
26
Hasil penilaian atau perbandingan ini disusun dalam bentuk matriks
perbandingan yang menggambarkan hubungan kepentingan relatif atau
elemen terhadap elemen lainnya. Kepentingan relatif antar elemen tersebut
bersifat resiprokal selama Amn = 1/ Amn. Notasi M dan n menunjukan
baris dan kolom dalam matriks. Jika A1, A2, …, Am adalah kumpulan elemen
sebanyak n dan W1,W2, …, Wn adalah nilai kepentingan masing-masing
elemen, maka hasil perbandingan antar dua elemen ditunjukkan pada
matriks.
Tabel 2.10 Matriks perbandingan (Saaty, 1991).
A A A A A
A1 A1 A1……………..
A2 A2 A2…………….
Am Wm/W1Wm/W2
…………….
Wm/Wn
Tujuan dibuatkannya matriks yaitu membandingkan antar elemen
hasil penilaian responden dengan menggunakan skala prioritas satu sampai
sembilan. Proses pengisian persepsi dalam model PHA dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu pertama melalui konsensus, dimana semua
responden dikumpulkan dalam suatu ruangan dan mereka harus
mengeluarkan satu penilaian saja untuk satu perbandingan melalui diskusi
mendalam, kedua dengan cara pengisian kuisoner. Pengisian kuisioner ini
responden tidak harus dikumpulkan dalam satu ruangan, melainkan dapat
dilakukan secara terpisah dengan memberikan penilaian terhadap kuisioner
yang diberikan.
2. Kontrol konsistensi
27
Proses pengisian persepsi sehingga menghasilkan suatu matriks
perbandingan perlu memperhitungkan tingkat konsistensi dalam
menyatakan preferensi terhadap elemen-elemen. Kontrol konsistensi selain
dilakukan pada tahap pengisian persepsi juga dilakukan secara keseluruhan
hirarki pada akhir proses sintesa akhir. Model PHA yang menggunakan
persepsi manusia sebagai inputnya dihadapkan pada keterbatasan-
keterbatasan dalam menyatakan persepsi secara konsisten, sehingga
memungkinkan untuk terjadinya inkonsistensi. Akibat keterbatasan itulah
maka model PHA tidak mensyaratkan konsistensi mutlak 100%. Meskipun
demikian, terdapat batasan tingkat inkonsistensi yang masih diterima
dalam model PHA sampai 10%.
Secara umum tahapan dalam aplikasi model analisis kuantitatif untuk
berbagai penyelesaian masalah dengan tujuan dapat memberikan alternatif
solusi, tahap awal adalah membuat diagram hirarki penyelesaian, tahapan
kedua adalah menetapkan peringkat kecenderungan untuk setiap kriteria
melalui pembobotan oleh para pakar yang dianggap expert yang
dikelompokan melalui matriks perbandingan, tahap selanjutnya dihitung
nilai prioritas totalnya (TPV), terakhir menghitung nilai prioritas akhir (FPV)
(Suharso, 2010). Jika responden dihubungi terpisah, setelah menghitung
nilai prioritas akhirnya maka dilakukan perhitungan penilaian gabungan
semua responden dengan menggunakan rata-rata ukur atau geometrik
mean.
2.4.2.3 Menghitung Nilai Prioritas Total/ Total Priority Value (TPV)
Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai prioritas total
(TPV):
28
a11 + a12 + ………. + a16 ∑ kolom 1 ∑kolom 2 ∑kolom 6 I = ∑ baris matriks. a21 + a22 + ………. + a26 ∑ kolom 1 ∑kolom 2 ∑kolom 6 II = ∑ baris matriks. a31 + a32 + ………. + a36 ∑ kolom 1 ∑kolom 2 ∑kolom 6 III = ∑ baris matriks.
…………………………………………………………………………………………………… .…..………………………………………………………………………………………………
a61 + a62 + ……….+ a66 ∑ kolom 1 ∑kolom 2 ∑kolom 6 VI = (2.1) ∑ baris matriks.
Tabel 2.11 Contoh menghitung nilai prioritas total/ Total Priority Value
(TPV).
MK RBP MP RM SMPAD TPVRBP 1 3 2 2 0,423MP 0,333 1 0,5 0,5 0,122RM 0,5 2 1 1 0,227
SMPAD 0,5 2 1 1 0,2274 2,333 8 4,5 4,5 1
TPV (RBP) = (1/ 2,333 + 3/ 8 + 2/ 4,5 + 2/4,5 ) / 4 = 0,423
(MP) = (0,333/ 2,333 + 1/8 + 0,5/4,5 + 0,5/4,5 ) / 4 = 0,122
(RM) = (0,5/ 2,333 + 2/8 + 1/ 4,5 + 1/ 4,5 ) / 4 = 0,227
(SMPAD)= (0,5/ 2,333 + 2/8 + 1/ 4,5 + 1/ 4,5 ) / 4 = 0,227
Ket elemen pada tabel:
29
1. RBP : Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang
menjadi
kewenangan daerah
2. MP : Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi
terhadap subjek
pajak belum berjalan
3. RM : Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk
membayar pajak dan retribusi daerah
6. SMPAD : Sistem manajemen PAD belum memadai
2.4.2.4 Menghitung Nilai Prioritas Akhir/ Final Priority Value (FPV)
Menghitung Nilai Prioritas Akhir (FPV), adapun tahapannya yaitu:
a. Kelompokkan masing-masing nilai prioritas total (TPV) ke dalam kolom
hirarki yang di atasnya
b. Kalikan tiap kolom nilai prioritas total (TPV) dengan nilai prioritas total
(TPV) pada tingkat hirarki diatasnya.
c. Jumlahkan hasil perkalian kolom yang sebaris.
Tabel 2.12 Contoh menghitung nilai prioritas akhir/ Final Priority Value
(FPV).
TPV MK PDP FPV
0,249 0,750
RBP 0,423 0,350 0,368
MP 0,227 0,109 0,138
RM 0,227 0,189 0,198
SMPAD 0,227 0,350 0,319
Cara menghitung nilai prioritas akhir/ Final Priority Value (FPV) pada
tabel di atas.
30
FPV (RBP) = (0,249)(0,423) + (0,750)(0,350) = 0,368
(MP) = (0,249)(0,227) + (0,750)(0,109) = 0,138
(RM) = (0,249)(0,227) + (0,750)(0,189) = 0,138
(SMPAD) = (0,249)(0,227) + (0,750)(0,350) = 0,319
2.4.2.5 Analisis penilaian gabungan responden dengan rata-rata
ukur
Adapun rumus rata-rata ukur dengan n (responden) = 6 adalah
sebagai berikut:
AW= 6√a1×a2×a3×a 4×a5 x a6 (2.2)
Nilai a1, a2, a3, dan seterusnya adalah hasil perhitungan nilai
prioritas akhir (FPV) pada masing-masing responden, sehingga perlu
dihitung satu penilaian yang merupakan penilaian gabungan semua
responden.
Tabel 2.13 Perhitungan rata-rata ukur
Analisis Sintesis per elemen dari setiap responden Rata-rata
GlobalD.PRTMB
GNAKADEMI
SIDPR
DBAPPE
DAPNGUS
HADPKD Ukur
Kendala
RBP 0,268 0,0880,36
8 0,421 0,1870,48
3 0,263
MP 0,256 0,2360,13
8 0,108 0,2850,16
7 0,187
RM 0,207 0,2480,19
8 0,131 0,2850,20
2 0,206
SMPAD 0,293 0,4270,31
9 0,292 0,2610,14
6 0,276
Nilai dari tabel di atas adalah hasil perhitungan nilai prioritas akhir,
pada masing-masing tingkatan dari hirarki, dan penilaian masing-masing
responden. Untuk mencari penilaian gabungan diperoleh dengan
menggunakan persamaan rata-rata ukur (persamaan 3.2).
31
Cara menghitung penilaian akhir gabungan responden dengan
persamaan 3.2
Rata-rata ukur (RBP) = 6√a1×a2×a3×a4×a5 xa6.
= 6√0,268×0,088×0,368×0,421×0,187 x 0,483
= 0,263
Rata-rata ukur (MP) = 6√a1×a2×a3×a4×a5 xa6.
= 6√0,256×0,236×0,138×0,108×0,285x 0,167
= 0,187
Rata-rata ukur (RM) = 6√a1×a2×a3×a4×a5 xa6.
= 6√0,207×0,248×0,198×0,131×0,285 x 0,202
= 0,206
Rata-rata ukur (SMPAD) = 6√a1×a2×a3×a4×a5 xa6.
= 6√0,293×0,427×0,319×0,292×0,261 x0,146
= 0,276
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
32
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian tugas akhir ini
adalah sebagai berikut:
1. Studi literatur yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
buku-buku sebagai bahan acuan yang berhubungan dengan metode
proses hirarki analitik dan teori-teori yang berhubungan dengan
penelitian.
2. Menyusun hirarki yang dilengkapi dengan pembuatan kuesioner yang
akan di bagikan kepada semua responden. Hasil dari kuesioner tersebut
merupakan data primer dari penelitian, kemudian dilakukan pengolahan
dan analisis data dengan metode PHA. Pada pengolahan data dibuatkan
matriks perbandingan, menghitung nilai prioritas total dan nilai prioritas
akhir. Hasil perhitungan dari masing-masing responden tersebut
disatukan menjadi satu penilaian dengan menggunakan rata-rata ukur
atau geometrik mean. Akhir dari metodologi penelitian ini adalah analisis
data yang dibuatkan kesimpulan penelitian, rekomendasi kebijakan dan
saran, sesuai dengan tujuan dan manfaat penelitian.
3.1. Proses Hirarki Analitik
Metode Proses Hirarki Analitik dibagi dalam beberapa tahapan yaitu:
a. Menyusun hirarki
Langkah ini bertujuan memecah suatu masalah yang kompleks
disusun menjadi suatu bentuk hirarki. Suatu struktur hirarki terdiri dari
elemen-elemen yang di kelompokkan dalam tingkatan-tingkatan (level).
Hirarki yang dibuat tersebut merupakan dasar terhadap aspirasi atau
penilaian berbagai pihak yang ikut berperan dan terlibat dalam usaha
meningkatkan PAD di kabupaten Maros. Hirarki kebijakan peningkatan PAD
sektor pertambangan dapat dilihat pada Lampiran A.
33
b. Pembuatan kuesioner
Kuesioner yang dibuat jelas dan sesederhana mungkin, dengan
harapan para responden dapat memberikan penilaian terhadap elemen-
elemen yang diperbandingkan dengan benar. Bagian depan daftar
kuesioner memuat penjelasan singkat penelitian, prinsip dasar metode PHA,
hirarki pemilihan kebijakan peningkatan pendapatan sektor pertambangan,
petunjuk pengisian PHA beserta skala penilaian 1-9 serta contoh pengisian
kuesioner (Lampiran A). Proses pengisian kuisioner tersebut semua
responden menerima dan menyetujui bentuk hirarki yang telah dibuat.
Persepsi atau penilaian responden terhadap elemen-elemen suatu hirarki
dilakukan dengan cara pengisian kuisioner, sehingga responden dapat
dihubungi secara terpisah tanpa harus dikumpulkan pada suatu tempat.
3.2. Pengambilan Data Lapangan
Pengambilan data dilakukan sepanjang penelitian baik data primer
maupun data sekunder.
3.2.1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui observasi, wawancara ataupun
pertanyaan kepada pihak yang berwenang. Penulis memberikan kuisioner
pada enam stakeholder antara lain:
1. Dinas Pengelola Keuangan Daerah (DPKD) sebagai dinas yang berperan
langsung di lapangan dalam memungut pajak dan retribusi daerah yang
merupakan subjek PAD atau pelaksana dari kebijakan yang telah
ditetapkan.
34
2. Dinas Pertambangan merupakan instansi yang membidangi
pertambangan yang mengatur regulasi izin tambang dan inventarisasi
perusahaan tambang.
3. Badan Perencana Daerah (Bappeda) sebagai instansi perencana
pembangunan yang membuat arah perencanaan pembangunan daerah
baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai mitra pemerintah
daerah dengan fungsi legislasinya membuat dan menetapkan peraturan
daerah bersama bupati. Dalam hal ini peraturan daerah tentang pajak
dan retribusi daerah untuk sektor pertambangan, fungsi lainnya sebagai
kontrol/ pengawasan dari perda yang ditetapkan.
5. Akademisi merupakan bagian yang sangat penting untuk memberikan
sumbangan pemikirannya dalam meningkatan kontribusi sektor
pertambangan kedalam PAD.
6. Pengusaha pertambangan yang merupakan pihak yang melakukan
usaha pertambangan yang ekonomis menjadi objek pajak dan retribusi
daerah.
Hasil jawaban kuesioner yang diberikan responden tersebut
kemudian dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data
yang dihitung secara manual dengan menggunakan software microsoft
exel.
3.2.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari kantor BPS kabupaten Maros, staf ahli
bupati, sekretariat DPRD, kantor dinas pertambangan dan sumber-sumber
lain yang sesuai dengan tujuan penelitian. Jenis data yang digunakan adalah
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Maros,
35
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Maros, peraturan perundang-
undangan, peraturan daerah, dokumen perencanaan dari Bappeda.
3.3. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang didapatkan dari hasil penilaian para responden melalui
kuesioner diolah dan dianalisis dengan tahapan sebagai berikut:
1. Membuat matriks perbandingan
Hasil pengambilan data lapangan dari kuesioner yang dibagikan
selanjutnya dibuatkan matriks perbandingan pada masing-masing
tingkatan dan masing-masing responden. Membuat matriks perbandingan
adalah membandingkan setiap elemen dari penilaian responden
terhadap pilihan-pilihan dari kuesioner dengan nilai bobotnya masing-
masing.
2. Menghitung Nilai Prioritas Total/ Total Priority Value (TPV)
3. Menghitung Nilai Prioritas Akhir/ Final Priority Value (FPV)
4. Analisis penilaian gabungan responden dengan menggunakan rata-rata
ukur
Hasil perhitungan nilai prioritas total masing-masing responden
dihitung menggunakan persamaan (2.2) kemudian dilakukan perhitungan
dengan menggunakan rata-rata ukur. Total perhitungan akhir dari para
responden diperoleh dengan menggunakan rata-rata ukur atau geometric
mean dari setiap nilai sel perbandingan antar elemen pada masing-masing
responden.
3.4. Hasil Penelitian
36
Hasil:1. Memperluas jenis pajak dan retribusi2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan3. Sosialisasi perda pajak dan retribusi4. Perbaikan sistem manajemen PAD pertambangan
Analisis akhir denganrata-rata ukur
Pengolahan dan Analisis Data (AHP)
Pengambilan Data Lapangan1. Data Primer: Hasil kuesioner ke enam stakeholder yang ekspert .( DPKD, D.Pertambangan, DPRD, Akademisi, Bappeda, Pengusaha) 2. Data Sekunder:BPS kabupaten MarosSekretariat DPRD: APBD Kabupaten MarosPeraturan perundang-undangan dan perdaDPKDMetode Proses Hirarki Analitik.
Identifikasi Masalah:1.Rendahnya kewenangan daerah mendapatkan pajak dan retribusi daerah.2.Mekanisme pengawasan belum berjalan.3.sosialisasi perda yang kurang.4.Sistem Manajemen PAD belum memadai.
Latar Belakang: Belum optimalnya kontribusi sektor pertambangan terhadap PAD kab. Maros
1. membuat matriks perbandingan2. menghitung nilai prioritas total (TPV)3.menghitung nilai prioritas akhir (FPV)
Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini berupa rekomendasi
kebijakan yang diberikan untuk meningkatkan PAD sektor pertambangan
kabupaten Maros yaitu:
1. Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah sektor pertambangan
2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi
3. Sosialisasi perda pajak dan retribusi daerah sektor pertambangan
4. Perbaikan sistem manajemen PAD pertambangan
37
Gambar 3.1 Bagan alur metodologi penelitian
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN UNTUK MENINGKATKAN PAD SEKTOR PERTAMBANGAN DENGAN METODE PHA
4.1. Penyusunan Hirarki
Tahap awal dalam metode PHA adalah menyusun hirarki. Proses
hirarki yaitu membuat permasalahan kompleks tidak terstruktur diuraikan
menjadi kelompok-kelompok yang homogen kemudian disusun kedalam
suatu hirarki. Penyusunan hirarki ini didasarkan pada kondisi keuangan dan
permasalahan daerah Kabupaten Maros yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya.
Hirarki pemilihan kebijakan meningkatkan penerimaan PAD sektor
pertambangan Kabupaten Maros dibagi dalam lima tingkatan, yaitu:
Tingkat 1: Fokus
Fokus hirarki adalah kebijakan peningkatan penerimaan PAD sektor
pertambangan kabupaten Maros. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat
pencapaian penerimaan PAD dari target yang telah ditetapkan dalam APBD
dalam lima tahun terakhir.
Tingkat 2: Sasaran
38
Sasaran yang ingin dicapai pemerintah daerah jika terjadi
peningkatan penerimaan PAD tersebut, adalah:
1. Meningkatnya keleluasaan pemerintah daerah dalam merencanakan
pembangunan di daerah.
2. Tersedianya dan meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada
masyarakat.
Tingkat 3: Kendala
Tingkatan ketiga dari hirarki berupa kendala dimaksudkan untuk
membuat perbandingan-perbandingan dari berbagai persepsi terhadap
kendala-kendala yang menyebabkan atau mempengaruhi jumlah
penerimaan PAD sektor pertambangan kabupaten Maros. Adapun
identifikasi kendala-kendalanya adalah:
1. Relatif rendahnya basis pajak maupun retribusi yang menjadi
kewenangan daerah, sehingga kurang memadai dalam upaya
ekstensifikasi penerimaan PAD.
2. Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak
belum berjalan.
3. Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak dan retribusi daerah sektor pertambangan.
4. Sistem manajemen PAD sektor pertambangan belum memadai.
Tingkat 4: Stakeholder
Tingkatan ke empat dari hirarki adalah stakeholder yang dianggap
berkompeten dalam upaya meningkatkan penerimaan PAD sektor
pertambangan maupun mengatasi permasalahan yang ada, yaitu:
1. Dinas Pengelola Keuangan Daerah (DPKD) Kabupaten Maros.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Maros.
39
3. Badan Perencana Daerah (Bappeda) kabupaten Maros.
4. Dinas Pertambangan kabupaten Maros.
5. Akademisi
6. Pengusaha bidang pertambangan.
Tingkat 5: Kebijakan
Tingkatan ini bertujuan merumuskan berbagai kebijakan alternatif
untuk meningkatkan penerimaan PAD sektor pertambangan, yaitu:
1. Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah sektor pertambangan
2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi
terhadap subyek pajak yang lebih baik.
3. Sosialisasi yang lebih intensif untuk meningkatkan kesadaran dan
motivasi masyarakat dan pengusaha di bidang pertambangan.
4. Memperbaiki sistem manajemen PAD sektor pertambangan.
Total perhitungan akhir dari para responden diperoleh dengan
menggunakan rata-rata ukur atau geometric mean dari setiap nilai sel
perbandingan antar elemen pada masing-masing responden. Persamaan
rata-rata ukur dengan n (responden) = 6
AW= 6√a1×a2×a3×a 4×a5 x a6.
Notasi a adalah nilai setiap sel matriks perbandingan antar elemen
pada masing-masing responden. Sedangkan AW adalah hasil nilai akhir
(penilaian gabungan) dari seluruh responden.
40
Gambar 4.1 Hirarki pemilihan kebijakan Peningkatan PAD sektor pertambangan Kabupaten Maros.
4.2. Matriks dan Nilai Prioritas Total Responden
Pemilihan kebijakan peningkatan penerimaan PAD sektor pertambangan kabupaten Maros
Meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah dalam merencanakan program-program pembangunan di
Penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat
Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak dan
Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak belum
Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang menjadi kewenangan daerah, sehingga kurang berkontribusi terhadap peningkatan
Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai.
DPKD Akademisi
DPRD Pengusaha
Bappeda
Memperluas jenis pajak daerah dan retribusi daerah
Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap subjek pajak
Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi
Memperbaiki sistem manajemen Pendapan Asli Daerah
Tingkat 1FokusTingkat
2Sasaran
Tingkat 3Kendala
Tingkat 4Pelaku
Tingkat 5
Dinas Pertambangan
41
Hasil penetapan nilai peringkat untuk setiap kriteria/ pilihan melalui
pembobotan pada masing-masing responden berdasarkan nilai skala
perbandingan dari angka satu sampai sembilan, kemudian dikelompokkan
ke dalam matriks perbandingan sekaligus perhitungan nilai prioritas
totalnya. Matriks dan perhitungannya pada tabel (lampiran C).
4.3. Nilai Prioritas Akhir Masing-masing Responden
Hasil perhitungan Total Priority Value (TPV) selanjutnya diolah untuk
mendapatkan Final Priority Value (FPV) dari masing-masing responden. Hasil
analisis global atau Final Priority Value (FPV) dari masing-masing responden
sebagai berikut:
Tabel 4.7 Final Priority Value (FPV) masing-masing responden.
Analisis global
Sintesis per elemen dari setiap
responden
(FPV) DPKD KA DPRD
PENGUSA
HA BAPPEDA D.PRTBGN
Tkt. 2;
Sasaran
MK 0,666 0,249 0,249 0,200 0,800 0,249
PDP 0,333 0,750 0,750 0,800 0,200 0,750
Tkt 3;
Kendala
RBP 0,483 0,377 0,377 0,187 0,421 0,204
MP 0,167 0,117 0,143 0,285 0,108 0,354
RM 0,202 0,214 0,214 0,285 0,131 0,112
SMPAD 0,146 0,328 0,328 0,261 0,292 0,354
Tkt 4; Aktor
DPKD 0,265 0,266 0,257 0,219 0,198 0,258
KA 0,063 0,065 0,066 0,049 0,055 0,071
DPRD 0,194 0,189 0,190 0,111 0,256 0,162
PENGUSAHA 0,067 0,158 0,162 0,290 0,120 0,165
BAPPEDA 0,149 0,107 0,109 0,088 0,107 0,099
D. PRTBGN 0,259 0,251 0,278 0,260 0,215 0,268
42
Tkt 5;
kebijakan
MJP 0,330 0,332 0,310 0,256 0,277 0,250
PMP 0,215 0,143 0,146 0,251 0,233 0,197
SUM 0,257 0,275 0,281 0,273 0,162 0,289
MSM 0,428 0,287 0,325 0,238 0,280 0,289
Keterangan:
1. MK : Meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah dalam
merencanakan program pembangunan daerah
2. PDP : Penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik
3. RBP : Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang
menjadi
kewenangan daerah
4. MP : Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi
terhadap subjek
pajak belum berjalan
5. RM : Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk
membayar pajak dan retribusi daerah
6. SMPAD : Sistem manajemen PAD belum memadai
7. DPKD : Dinas Pengelola Keuangan Daerah
8. KA : Kalangan Akademisi
9. DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
10.PENGSHA : Pengusaha bidang pertambangan
11.Bappeda : Badan Perencana Daerah
12.D. PRTBGN : Dinas daerah yang membidangi bidang pertambangan
13.MJP : Memperluas jenis pajak daerah dan retribusi daerah
14.PMP : Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan pemberian
sanksi
43
15.SUM : Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan
motivasi
16.MSM : Memperbaiki sistem manajemen PAD.
Pada Tabel 4.7 hasil sintesa akhir dapat dijelaskan bahwa sasaran
prioritas yang ingin dicapai masing-masing responden adalah sebagai
berikut:
A. Dinas Pertambangan
Untuk pilihan meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah dalam
merencanakan program-program pembangunan di daerah dengan bobot
prioritas sebesar 0,249. Sasaran prioritas berikutnya adalah penyediaan dan
peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dengan bobot
prioritas 0,750.
Pada tingkat kendala, urutan prioritas kendala yang mempengaruhi
tercapainya sasaran yang diinginkan adalah sebagai berikut:
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang menjadi
kewenangan daerah (0,204).
2. Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak dan retribusi daerah (0,112).
3. Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak
belum berjalan (0,354).
4. Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai (0,354).
Pada tingkat aktor/ pelaku, urutan pelaku terhadap faktor kendala
adalah sebagai berikut:
1. Dinas Pengelola Keuangan daerah (0,258).
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (0,162).
3. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) (0,099).
4. Pengusaha (0,165).
44
5. Kalangan Akademisi (0,071).
6. Dinas Pertambangan ( 0,268).
Kebijakan yang diprioritaskan untuk dilaksanakan adalah:
1. Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah (0,250).
2. Memperbaiki sistem manajemen pendapatan asli daerah (0,289)
3. Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat
dalam membayar pajak dan reribusi daerah (0,289).
4. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap subjek
pajak (0,197).
B. Akademisi
Sasaran prioritas yang ingin dicapai oleh responden akademisi adalah
penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat
dengan bobot prioritas sebesar 0,750. Sasaran prioritas berikutnya adalah
meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah dalam merencanakan
program-program pembangunan di daerah dengan bobot prioritas sebesar
0,250.
Pada tingkat kendala, urutan prioritas kendala yang mempengaruhi
tercapainya sasaran yang diinginkan adalah sebagai berikut:
1. Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai (0,328).
2. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang menjadi
kewenangan daerah (0,377).
3. Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak
belum berjalan (0,117).
4. Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak dan retribusi daerah (0,214).
Pada tingkat aktor/ pelaku, urutan pelaku terhadap faktor kendala
adalah sebagai berikut:
45
1. Dinas Pengelola Keuangan Daerah (0,266).
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (0,189).
3. Pengusaha (0,158).
4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) (0,107).
5. Kalangan Akademisi (0,065).
6. Dinas Pertambangan (0,.251).
Urutan kebijakan yang diprioritaskan untuk dilaksanakan adalah:
1. Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah (0,332).
2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap subjek
pajak (0,143).
3. Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat
dalam membayar pajak dan reribusi daerah (0,275).
4. Memperbaiki sistem manajemen pendapatan asli daerah (0,287).
C. DPRD
Nilai prioritas akhir dari sasaran prioritas yang ingin dicapai oleh
responden DPRD dengan adanya peningkatan PAD Kabupaten Maros adalah
meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah dalam merencanakan
program-program pembangunan di daerah dan penyediaan dan
peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dengan bobot
prioritas masing-masing sebesar 0,249 dan 0,7500.
Pada tingkat kendala, urutan prioritas kendala yang mempengaruhi
tercapainya sasaran yang diinginkan adalah sebagai berikut:
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang menjadi
kewenangan daerah (0,377).
2. Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak dan retribusi daerah (0,214).
46
3. Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak
belum berjalan (0,143).
4. Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai (0,328).
Pada tingkat ke empat (aktor/pelaku), urutan pelaku terhadap faktor
kendala adalah sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (0,190).
2. Dinas Pengelola Keuangan Daerah (0,257).
3. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) (0,109).
4. Kalangan Akademisi (0,066).
5. Pengusaha (0,162).
6. Dinas Pertambangan (0,278).
Urutan kebijakan yang diprioritaskan untuk dilaksanakan adalah:
1. Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah (0,310).
2. Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat
dalam membayar pajak dan reribusi daerah (0,281).
3. Memperbaiki sistem manajemen pendapatan asli daerah (0,325).
4. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap subjek
pajak (0,146).
D. Pengusaha
Responden pengusaha, sasaran prioritas yang ingin dicapai berupa
penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat,
dengan bobot prioritas 0,80. Sasaran prioritas berikutnya adalah
meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah dalam merencanakan
program-program pembangunan di daerah dengan bobot prioritas sebesar
0,200.
Pada tingkat ke tiga, urutan prioritas kendala yang mempengaruhi
tercapainya sasaran yang diinginkan adalah sebagai berikut:
47
1. Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai (0,261).
2. Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak
belum berjalan (0,285).
3. Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak dan retribusi daerah (0,285).
4. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang menjadi
kewenangan daerah (0,187).
Pada tingkat ke empat, urutan pelaku terhadap faktor kendala adalah
sebagai berikut:
1. Dinas Pengelola Keuangan Daerah (0,219).
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (0,111).
3. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) (0,088).
4. Kalangan Akademisi (0,049).
5. Pengusaha (0,290).
6. Dinas Pertambangan (0,260).
Urutan kebijakan yang diprioritaskan untuk dilaksanakan adalah:
1. Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah (0,256).
2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap subjek
pajak (0,251).
3. Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat
dalam membayar pajak dan reribusi daerah (0,273).
4. Memperbaiki sistem manajemen pendapatan asli daerah (0,238).
E. Bappeda
Sasaran prioritas yang ingin dicapai oleh responden Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) adalah penyediaan dan
peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dengan bobot
prioritas sebesar 0,200. Sasaran prioritas berikutnya adalah meningkatkan
48
keleluasaan pemerintah daerah dalam merencanakan program-program
pembangunan di daerah, dengan bobot prioritas 0,800.
Pada tingkat ke tiga, urutan prioritas kendala yang mempengaruhi
tercapainya sasaran yang diinginkan adalah sebagai berikut:
1. Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai (0,292).
2. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang menjadi
kewenangan daerah (0,421).
3. Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak dan retribusi daerah (0,131).
4. Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak
belum berjalan (0,108).
Pada tingkat ke empat, urutan pelaku terhadap faktor kendala adalah
sebagai berikut:
1. Dinas Pengelola Keuangan Daerah (0,198).
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (0,256).
3. Kalangan Akademisi (0,055).
4. Pengusaha (0,120).
5. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) (0,107).
6. Dinas Pertambangan (0,215).
Untuk tingkat ke lima, urutan kebijakan yang diprioritaskan untuk
dilaksanakan adalah:
1. Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah (0,277).
2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap subjek
pajak (0,233).
3. Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat
dalam membayar pajak dan reribusi daerah (0,162).
4. Memperbaiki sistem manajemen pendapatan asli daerah (0,280).
49
F. Dinas Pengelola keuangan Daerah
Sasaran prioritas yang ingin dicapai oleh responden Dinas
Pendapatan Daerah adalah meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah
dalam merencanakan program-program pembangunan di daerah dengan
bobot prioritas sebesar 0,666. Sasaran prioritas berikutnya adalah
penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat,
dengan bobot prioritas 0,334.
Pada tingkat kendala, urutan prioritas kendala yang mempengaruhi
tercapainya sasaran yang diinginkan adalah sebagai berikut:
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang menjadi
kewenangan daerah (0,483).
2. Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak dan retribusi daerah (0,202).
3. Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak
belum berjalan (0,167).
4. Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai (0,146).
Pada tingkat aktor/ pelaku, urutan pelaku terhadap faktor kendala
adalah sebagai berikut:
1. Dinas Pendapatan Daerah (0,265).
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (0,194).
3. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) (0,149).
4. Pengusaha (0,067).
5. Kalangan Akademisi (0,063).
6. Dinas Pertambangan ( 0,259 ).
Sedangkan urutan kebijakan yang diprioritaskan untuk dilaksanakan
adalah:
1. Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah (0,330).
50
2. Memperbaiki sistem manajemen pendapatan asli daerah (0,428)
3. Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat
dalam membayar pajak dan reribusi daerah (0,257).
4. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap
subjek pajak (0,215).
4.4. Analisa Sintesa Akhir Masing-Masing Responden
Penilaian ke enam responden terhadap bobot prioritas elemen-
elemen suatu hirarki pada sintesa akhir menunjukkan penilaian yang
bervariasi. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan cara pandang, latar
belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda. Namun secara
keseluruhan, semua responden memiliki perhatian yang besar terhadap
upaya peningkatan keuangan daerah, khususnya peningkatan PAD
pertambangan Kabupaten Maros.
Analisis terhadap tingkat ke dua, yakni sasaran-sasaran apa saja
yang diprioritaskan untuk diwujudkan, menunjukkan bahwa empat
responden (kalangan akademisi, pengusaha, DPRD dan Dinas
pertambangan) memberikan prioritas tertinggi terhadap sasaran
penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat,
dengan bobot prioritas 0,750, 0,800, 0,750, dan 0,750. Sementara itu,
responden Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah dan Badan Perencana
Daerah meletakkan sasaran meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah
dalam merencanakan program-program pembangunan di daerah sabagai
sasaran utama, dengan bobot prioritas masing-masing 0,666 dan 0,800.
Pada tingkat ke tiga (kendala), hasil penilaian enam responden
terhadap kendala-kendala yang lebih penting untuk diperhatikan demi
tercapainya sasaran penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik
51
kepada masyarakat, menunjukkan empat responden (Dinas pengelola
keuangan daerah, kalangan akademisi, DPRD, dan Bappeda) memberikan
prioritas tertinggi pada kendala relatif rendahnya basis pajak dan retribusi
daerah yang menjadi kewenangan daerah. Nilai prioritas masing-masing
responden tersebut berturut-turut adalah 0,483, 0,377, 0,377 dan 0,421.
Penilaian keempat responden tersebut didasarkan atas
pertimbangan bahwa penetapan suatu jenis pajak dan retribusi baru di
daerah harus memenuhi kriteria bahwa pajak daerah tidak boleh tumpang
tindih dengan pajak pusat dan pajak propinsi, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Adanya kriteria ini diperkirakan
akan menyebabkan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan
terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah.
Penilaian kedua responden lainnya (pengusaha dan Dinas
pertambangan) memberikan prioritas tertinggi pada kendala sistem
manajemen PAD kurang memadai dengan bobot prioritas masing-masing
0,261 dan 0,354. Penilaian ini didasarkan pada pendapat ke dua responden
bahwa Kabupaten Maros memiliki peluang untuk meningkatkan
kemampuan keuangan daerah, khususnya peningkatan PAD melalui jenis
pajak dan retribusi daerah yang sudah ada saat ini. Peluang tersebut
didukung dengan kondisi perekonomian dan potensi pertambangan di
kabupaten Maros. Persoalannya adalah bagaimana pungutan dan
pengelolaan pajak dan retribusi daerah tersebut dilaksanakan secara efektif
dan efisien, sehingga dapat memenuhi kebutuhan keuangan daerah. Dalam
hal ini, sistem manajemen PAD yang belum memadai dianggap sebagai
kendala yang utama.
Analisis tingkat ke empat, aktor/ pelaku yang lebih diprioritaskan
untuk mengatasi faktor kendala pada level di atasnya, menunjukkan bahwa
52
terdapat dua responden (DPRD dan Dinas pertambangan) lebih
mengutamakan Dinas pertambangan sebagai pelaku yang lebih
diperhatikan untuk mengatasi faktor kendala tersebut. Adapun bobot
prioritas masing-masing responden berturut-turut adalah 0,278, 0,268.
Sedangkan responden Dinas Pengelola Keuangan Daerah dan kalangan
akademisi lebih mengutamakan Dinas Pengelola Keuangan Daerah sebagai
pelaku yang lebih diperhatikan untuk mengatasi faktor kendala yang ada,
dengan bobot prioritas masing-masing 0,265 dan 0,266.
Analisis pada tingkat ke lima, yaitu tentang urutan kebijakan yang
lebih diprioritaskan untuk dilaksanakan guna mencapai tujuan peningkatan
PAD Kabupaten Maros, menunjukkan bahwa terdapat empat responden
(Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah, DPRD, Bappeda dan Dinas
Pertambangan) lebih mengutamakan kebijakan memperbaiki sistem
manajemen PAD. Adapun bobot prioritas ke empat responden tersebut
adalah 0,428, 0,325, 0,280 dan 0,289. Sedangkan, dua responden lainnya
(akademisi dan pengusaha) memprioritaskan memperluas jenis pajak
daerah dan retribusi daerah dengan bobot prioritas masing-masing 0,332
dan 0,256.
4.5. Hasil dan Analisis Responden dengan Rata-Rata Ukur
Hasil sintesa akhir global menggunakan rata-rata ukur merupakan
suatu kesimpulan analisis hirarki secara keseluruhan dari enam responden
yang ada. Hasil sintesa akhir tersebut akan menghasilkan prioritas sasaran
yang hendak dicapai, mendeteksi kendala-kendala yang diprioritaskan
untuk diselesaikan, serta prioritas kebijakan yang seharusnya dilaksanakan
guna meningkatkan PAD Kabupaten Maros.
53
Tabel 4.8 Hasil akhir dari penilaian gabungan semua responden dengan menggunakan rata-rata ukur.
Analisis global/ hasil akhir dari penilaian gabungan semua responden Rata-rata ukurTkt. 2; Sasaran 1. Meningkatkan keleluasaan pemerintah daerah
dalam merencanakan pembangunan di daerah. 0,344
2. Penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan Publik kepada masyarakat.
0,531
Tkt 3; Kendala 1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang
menjadi kewenangan daerah.0,322
2. Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek pajak belum berjalan.
0,177
3. Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi daerah.
0,184
4. Sistem manajemen PAD belum memadai. 0,274Tkt 4; Aktor 1. Dinas Pengelola Keuangan Daerah 0,2422. Kalangan Akademisi 0,0693. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 0,1784. Pengusaha 0,1465. Badan Perencana Daerah 0,1086. Dinas Pertambangan. 0,254Tkt 5; Kebijakan 1. Memperluas jenis pajak daerah dan retribusi
daerah sektor pertambangan. 0,2912. Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan
pemberian sanksi terhadap subyek pajak yang lebih baik. 0,193
3. Sosialisasi yang lebih intensif untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat dan pengusaha dibidang pertambangan. 0,251
4. Memperbaiki sistem manajemen PAD pertambangan. 0,303
Hirarki pemilihan kebijakan peningkatan PAD sektor pertambangan
dengan nilai masing-masing hasil perhitungan menggunakan rata-rata
ukur. ( Gambar 4.2 )
Pemilihan kebijakan peningkatan penerimaan PAD Sektor pertambangan Kabupaten Maros
Level 0Fokus
54
Gambar 4.2 Hirarki pemilihan kebijakan peningkatan PAD sektor pertambangan hasil perhitungan menggunakan rata-rata ukur.
Berdasarkan Gambar 4.2 diatas terlihat bahwa penilaian ke enam
responden terhadap urutan sasaran yang diprioritaskan untuk diwujudkan
dengan adanya peningkatan PAD sektor pertambangan memprioritaskan
pada sasaran penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik
kepada masyarakat dengan bobot prioritas sasaran tersebut mencapai
0,531. Hasil prioritas sasaran pada sintesa akhir global dengan
menggunakan rata-rata ukur, ternyata secara keseluruhan sama dengan
prioritas sasaran pada sintesa akhir global per responden, yaitu sasaran
berupa penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada
Meningkatkan keleluasaan pemda dalam merencanakan program-program pembangunan di daerah (0,344).
Penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat(0,531).
Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak dan
Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai (0,276).
DPKD(0,242)
Akademisi(0,069)
DPRD(0,178)
Pengusaha
(0,146)
Bappeda
(0,108)
Memperluas jenis pajak daerah dan retribusi daerah(0,291).
Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan Sanksi terhadap Subjek Pajak (0,193).
Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah
Memperbaiki Sistem manajemen Pendapan Asli Daerah (0,303).
Level 1SasaranLevel 2Kendala PAD
Level 3Pelak
Level 4Kebijaka
Dinas Pertambangan (0,254)
55
masyarakat. Sasaran berikutnya adalah meningkatkan keleluasaan
pemerintah daerah dalam merencanakan program-program pembangunan
di daerah dengan bobot prioritas sebesar 0,344.
Mayoritas pemilihan prioritas sasaran utama tersebut timbul karena
adanya pemahaman yang sama tentang kebijakan penganggaran untuk
pengeluaran pemerintah yang seharusnya berorientasi pada penyediaan
dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Mangkusoebroto (1994)
bahwa meningkatnya pengeluaran pemerintah tidak dapat dilepaskan dari
adanya perubahan permintaan terhadap barang publik, perubahan aktifitas
pemerintah, perubahan kualitas penyediaan barang publik yang harus
dilakukan oleh pemerintah, perubahan faktor harga dan pilihan politisi,
sehingga dari tahun ke tahun pengeluaran pemerintah selalu mengalami
peningkatan.
Berdasarkan hasil sintesa akhir global dari seluruh responden
dengan menggunakan rata-rata ukur, ternyata kendala berupa relatif
rendahnya basis pajak yang menjadi kewenangan daerah sehinnga kurang
potensi terhadap penngkatan PAD merupakan faktor penghambat terbesar,
dengan bobot prioritas sebesar 0,322. Kendala sistem manajemen PAD
sektor pertambangan berada pada urutan kedua, dengan bobot prioritas
sebesar 0,276.
Kendala selanjutnya adalah rendahnya motivasi dan kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi daerah dengan bobot
prioritas sebesar 0,184. Sesuai dengan pengertian umum pajak daerah
bahwa pajak daerah merupakan sumber keuangan daerah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran daerah, pemungutannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pungutan pajak tersebut telah
56
disepakati bersama oleh pemerintah daerah dan masyarakatnya, maka
sudah sepantasnya jika masyarakat memiliki kesadaran akan kewajibannya
di bidang perpajakan yaitu membayar pajak dengan benar sesuai peraturan
yang berlaku. Namun kenyataannya, menurut S.Munawir (1992, dalam
Brotodihardjo) dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, terdapat
hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Hambatan
tersebut berupa perlawanan pasif dan perlawanan aktif, sedangkan
menurut Mangkoesoebroto, (1994). Pemerintah selalu berusaha
memperbesar pengeluaran dengan memperbesar penerimaan dari pajak
sedangkan masyarakat tidak menyukai pembayaran pajak yang besar.
Pungutan pajak daerah tersebut bentuk perlawanan aktif yang
sering ditemui di lapangan. Perlawanan aktif adalah semua usaha dan
perbuatan yang secara langsung bertujuan untuk menghindari pajak.
Perlawanan aktif tersebut ditemui usaha-usaha nyata dari subjek pajak
untuk tidak membayar pajak, baik berupa upaya penghindaran diri dari
pajak, penyelundupan pajak, maupun usaha melalaikan pajak.
Pada level 3 (level aktor/ pelaku) urutan pelaku untuk mengatasi
kendala-kendala pada level di atasnya berada pada Dinas Pertambangan,
dengan bobot prioritas tertinggi mencapai 0,254. Penilaian terhadap Dinas
Pertambangan sebagai aktor/ pelaku dengan prioritas tertinggi dalam upaya
penyelesaian faktor kendala tersebut, juga terjadi berdasarkan hasil sintesa
akhir global per responden. Satuan kerja perangkat daerah ini yang
bertugas di lapangan dalam evaluasi, pengendalian dan pemungutan pajak
dan retribusi, juga sebagai pelaksana dari kebijakan peraturan yang
ditetapkan. Kemudian Dinas Pengelola Keuangan Daerah yang merupakan
dinas teknis bersama Dinas Pertambangan dalam pemungutan dan
pengelolaan pajak dan retribusi daerah, sehubungan dengan upaya
57
peningkatan PAD Kabupaten Maros berada pada urutan ke dua dengan nilai
0,242, hal ini dianggap sebagai Dinas yang mengelola dana PAD secara
umum dan berkordinasi dengan Dinas Pertambangan dalam memungut dan
mengumpulkan PAD sektor pertambangan sebagai pelaku yang langsung
bersentuhan dengan objek pajak dari pengusaha di bidang pertambangan.
Aktor DPRD berada pada urutan ketiga, dengan bobot prioritas
sebesar 0,178. Peran DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan menjadi
mitra dari pemerintah daerah, dengan fungsinya membuat regulasi
peraturan daerah khususnya pajak dan retribusi daerah sektor
pertambangan, juga memiliki fungsi penganggaran yang menetapkan
alokasi target PAD, dan fungsi pengawasan yang mengevaluasi,
memonitoring, mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan kebijakan
anggaran. DPRD dianggap sebagai stakeholder yang membuat kebijakan
daerah bersama pemerintah daerah meskipun bukan lembaga teknis yang
merupakan eksekutor/ pelaksana di lapangan tapi tetap dianggap aktor
yang penting dalam mengatasi kendala yang ada. Selanjutnya urutan
prioritas pelaku dalam mengatasi faktor kendala adalah pengusaha, dengan
bobot prioritas mencapai 0,146. Peranan pengusaha sebagai penyumbang
terbesar dalam PAD lebih diarahkan pada upaya untuk mengatasi sekaligus
meningkatkan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak
dan retribusi daerah. Sedangkan Bappeda memiliki bobot proiritas sebesar
0,108 dan akademisi sebesar 0,069.
Hasil analisis kebijakan yang diprioritaskan untuk dilaksanakan guna
mencapai tujuan peningkatan PAD sektor pertambangan Kabupaten Maros,
mengutamakan kebijakan perbaikan sistem manajemen PAD dengan bobot
prioritas 0,303, hal ini dikarenakan manajemen dan koordinasi antara Dinas
Pertambangan dan Dinas Pengelola Keuangan Daerah belum berjalan baik,
58
kualitas dan kapabilitas bahkan integritas atau tingkat kejujuran dari
petugas pemungut dan pengelola pajak dan retribusi yang kurang
memadai, sehingga kebijakan perbaikan manajemen PAD sektor
pertambangan menjadi prioritas pertama untuk dilaksanakan. Kebijakan
yang berkaitan dengan perbaikan sistem manajemen PAD dapat dipandang
sebagai strategi peningkatan dan pengembangan sumber-sumber
pendapatan keuangan daerah, khususnya bagi peningkatan PAD. Hal ini
disebabkan karena perbaikan sistem manajemen PAD merupakan suatu
instrumen (faktor internal) dari dinas/ instansi pemungutan dan pengelolaan
pajak daerah. Kebijakan perbaikan sistem manajemen PAD lebih
memungkinkan untuk segera dilaksanakan. Prioritas kebijakan selanjutnya
adalah memperluas jenis pajak daerah dan retribusi daerah dengan nilai
0,291. Hal ini disadari oleh stakeholder Akademisi, DPRD, Bappeda dan
Pengusaha. Keberadaan peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi
sektor pertambangan yang ada di Kabupaten Maros sangat terbatas dan
perlu segera diperbaharui. Berbagai objek pajak dan retribusi yang
berpotensi menghasilkan PAD sektor pertambangan belum tersedia
sehingga perlu dibuatkan peraturan daerahnya.
Prioritas kebijakan selanjutnya adalah sosialisasi untuk meningkatkan
kesadaran dan motivasi masyarakat dalam membayar pajak dan reribusi
daerah. Nilai prioritas untuk kebijakan tersebut adalah 0,251, karena masih
banyak pengusaha di bidang pertambangan di kabupaten Maros yang
belum taat membayar pajak dan retribusi, sehingga dianggap penting untuk
dilakukan sosialisasi dan pemahaman tentang manfaat pajak bagi
keberlangsungan pembangunan didaerah serta penyelenggaraan tugas
pemerintahan, dengan tujuan meningkatnya kesadaran pengusaha bidang
pertambangan untuk membayar pajak dan retribusi daerah. Kebijakan
59
terakhir adalah pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap
subjek pajak dengan nilai 0,193 yang merupakan penilaian akhir gabungan
responden.
Kebijakan yang telah diurut berdasarkan nilai prioritas diharapkan menjadi
acuan pemerintah Kabupaten Maros dalam pengambilan kebijakan untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Identifikasi kendala dan permasalahan yang mempengaruhi penerimaan
daerah di sektor pertambangan sesuai urutan prioritasnya sebagai
berikut:
Sistem manajemen Pendapatan Asli Daerah belum memadai dengan
nilai 0,276.
Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi yang menjadi
kewenangan daerah, sehingga kurang potensial terhadap
Peningkatan PAD dengan nilai 0,322.
Rendahnya motivasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar
pajak dan retribusi daerah dengan nilai 0,184.
Mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi terhadap subjek
pajak belum berjalan dengan nilai 0,177
2. Stakeholder yang dianggap berperan dalam upaya mengatasi kendala
dan permasalahan serta berperan dalam usaha meningkatkan
penerimaan PAD sektor pertambangan, sesuai urutan prioritasnya
adalah sebagai berikut:
Dinas Pertambangan dengan nilai 0,254.
Dinas Pengelola Keuangan Daerah dengan nilai 0,242.
61
DPRD dengan nilai 0,178.
Pengusaha dengan nilai 0,146.
Bappeda dengan nilai 0,108 dan
Akademisi dengan nilai 0,069.
3. Kebijakan yang diprioritaskan untuk meningkatkan penerimaan PAD
sektor pertambangan adalah:
Memperbaiki sistem manajemen pendapatan asli daerah dengan
nilai 0,303.
Memperluas jenis pajak dan retribusi daerah dengan nilai 0,291.
Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat
dalam membayar pajak dan reribusi daerah dengan nilai 0,251.
Pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap subjek
pajak dengan nilai 0,193.
4. Rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan PAD sektor pertambangan.
Usaha yang intensif untuk memperbaiki sistem manajemen PAD
sektor pertambangan saat ini belum memadai. Kordinasi antar
satuan kerja perangkat daerah (Dinas Pertambangan dan Dinas
Pengelola keuangan Daerah) harus diperbaiki.
Usaha ekstensifikasi penerimaan PAD sektor pertambangan dengan
cara memperluas jenis pajak dan retribusi daerah sektor
pertambangan, melalui pembuatan peraturan daerah yang baru.
Melakukan sosialisasi yang terencana dan berkesinambungan dari
regulasi atau peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah
yang ada, kepada berbagai stakeholder yang terlibat khususnya
pengusaha sektor pertambangan.
62
Upaya meningkatkan pengawasan dan pembinaan pegawai
pengelola PAD untuk menghindari kebocoran penerimaan daerah.
Pengawasan dan pemberian sanksi juga diberikan pada subjek
pajak atau pengusaha sektor pertambangan yang sengaja
melakukan penghindaran, penolakan maupun pengelapan pajak
dan retribusi sektor pertambangan.
5.2 Saran
Saran dan kebijakan yang direkomendasikan dalam upaya mengatasi
kendala dan meningkatkan penerimaan PAD sektor pertambangan yang
dapat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten Maros yaitu:
1. Upaya memperbaiki sistem manajemen PAD sektor pertambangan yang
saat ini belum memadai yaitu kordinasi antar Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Dinas Pertambangan dan Dinas Pengelola keuangan Daerah)
harus di tata dengan baik. Dua dinas tersebut merupakan instansi
pelaksana teknis dari kebijakan yang di tetapkan. Perencanaan
penganggaran dari awal pada pembahasan APBD tentang target PAD
sektor pertambangan harus di hitung secara realistis dan rasional. Ada
pedoman dan uji petik yang dilakukan dilapangan sehingga target PAD
yang di bebankan rasional dan realistis. Dinas Pertambangan dan Dinas
Pengelola Keuangan Daerah memperbaiki dan meningkatkan
sumberdaya manusia di bawah lingkup instansinya yang terlibat dalam
pengelolaan PAD, baik kualitas, kapabilitas dan integritas atau kejujuran
dari pegawainya. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan pegawai dalam
menghitung dan menetapkan besar tarif pajak dan retribusi, daya
kreativitas yang kurang dalam melihat potensi PAD sektor
pertambangan yang memungkinkan untuk dioptimalkan, serta kejujuran
63
pegawai dalam mengumpulkan hasil PAD yang di indikasikan terjadi
kebocoran sehingga mengurangi jumlah PAD. Permasalahan tersebut
diatas yang harus diatasi oleh pemerintah kabupaten Maros agar
memperbaiki sistem manajemen PAD nya.
2. Mengupayakan perluasan objek pajak dan retribusi daerah sektor
pertambangan. Pemerintah Kabupaten Maros di Sekretariat Daerah pada
Asisten Satu, bagian hukum agar membuat perencanaan memasukkan
kedalam program legislasi daerah untuk membuat peraturan daerah
yang baru tentang pajak dan retribusi daerah sektor pertambangan.
Pemerintah daerah menyiapkan rancangan peraturan daerahnya dan
menyerahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk segera dibahas
dan disepakati bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Upaya ini
penting dilakukan agar semakin bervariasi dan bertambahnya objek
pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah untuk
meningkatkan PAD tanpa adanya payung hukum berupa perda,
pemungutan objek baru pendapatan daerah tersebut belum bisa
dilaksanakan. Hal ini juga didasarkan pada perda yang berlaku saat ini
yaitu masih minimnya kewenangan pemerintah kabupaten Maros untuk
memungut objek pajak dan retribusi sektor pertambangan sehingga
perlu dibuatkan perda baru atau memperbaharui perda yang lama.
3. Upaya penyederhanaan administrasi dan birokrasi terhadap pemungutan
pajak dan retribusi daerah sektor pertambangan, dari pendataan,
pemungutan, pencatatan dan pelaporan sehingga tidak mempersulit
wajib pajak atau pengusaha sektor pertambangan untuk membayar
wajib pajak dan retribusinya. Hal ini penting dilakukan untuk memotivasi
pengusaha tambang dengan mempermudah administrasinya dan dapat
64
menekan biaya yang ditimbulkan dari pemungutan objek pendapatan
daerah tersebut.
4. Melakukan sosialisasi yang terencana dan berkesinambungan dari
regulasi atau peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah
yang ada pada semua stakeholder yang terlibat khususnya pengusaha
sektor pertambangan. Hal ini diharapkan adanya pemahaman bersama
antara pemerintah daerah, DPRD, masyarakat dan pengusaha, tentang
keberadaan aktivitas pertambangan di kabupaten Maros yang
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah sebagaimana yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang selanjutnya
digunakan untuk menjaga keberlangsungan dan penyelengaran
pemerintahan daerah, memacu pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan daerah.
5. Upaya meningkatkan pengawasan dan pembinaan pegawai pengelola
PAD untuk menghindari kebocoran penerimaan daerah dan pemberian
sanksi terhadap pegawai yang sengaja melakukan kebocoran, karena
kebocoran penerimaan daerah dapat mengurangi penerimaan daerah
yang cukup signifikan. Selain itu pengawasan dan pemberian sanksi juga
diberikan pada subjek pajak atau pengusaha sektor pertambangan yang
sengaja melakukan penghindaran, penolakan maupun pengelapan pajak
dan retribusi sektor pertambangan di kabupaten Maros.
65
Daftar Pustaka
1. Dhakidae, D., 2003, Profil Daerah Kabupaten dan Kota, Kompas,
Jakarta.
2. Dinas Pertambangan Maros., 2008, Potensi Pertambangan Kabupaten
Maros, PDE Sekretariat Daerah Kabupaten Maros.
3. Latifah, S., 2005, Prinsip-Prinsip Dasar Analitical Hierarki Proses,
Universitas Sumatera Utara.
4. Mangkoesoebroto., 1994, Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia, PT.
Gramedia, Jakarta.
5. Munawir, S., 1992. Perpajakan, liberty, Yogyakarta.
6. Nuryanti, A., 2003, Analisis Kebijakan Peningkatan PAD kota Palembang
Provinsi Sumatera Selatan melalui pendekatan AHP, Program Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia.
7. Peraturan Daerah kabupaten Maros, 2005, tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah kabupaten Maros, Dinas Pengelola
Keuangan Daerah, Kabupaten Maros.
66
8. Peraturan Daerah kabupaten Maros, 2006, tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah kabupaten Maros, Dinas Pengelola
Keuangan Daerah, Kabupaten Maros.
9. Peraturan Daerah kabupaten Maros, 2007, tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah kabupaten Maros, Dinas Pengelola
Keuangan Daerah, Kabupaten Maros.
10. Peraturan Daerah kabupaten Maros, 2008, tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah kabupaten Maros, Dinas Pengelola
Keuangan Daerah, Kabupaten Maros.
11. Peraturan Daerah kabupaten Maros, 2009, tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah kabupaten Maros, Dinas Pengelola
Keuangan Daerah, Kabupaten Maros.
12. PDE., 2011. Profil Daerah Kabupaten Maros, sekretariat Daerah
Kabupaten Maros.
13. Saaty, T.L., 1991, Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Pustaka
Binaan Pressindo, Jakarta.
14. Saaty, T. L., 2000, Teori prioritas dan membuat keputusan penting,
Pittsburgh, PA RWS Publication.
15. Siahaan, M.P., 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
16. Suharso, P., 2010, Model Analisis Kuantitatif “TEV”, Indeks, Jakarta.
17. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah.
18. Undang-Undang RI No. 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan
keuangan antara Pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
19. Undang–Undang RI Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
20. Undang-Undang RI No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
21. Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
22. Winarno, B., 2007, Kebijakan Publik Teori dan Proses, Media Pressindo,
Yogyakarta.
67
68
69
70
Recommended