SOLUSI PENCEGAHAN DAN PENYELESAIAN
HUKUM KASUS TAWURAN PELAJAR
DALAM RANGKA MENGURANGI LAHIRNYA
GENERASI KRIMINAL
Oleh :
Remaja pelajar memiliki potensi yang prospektif, dinamis, energik, penuh vitalitas,
patriotisme dan idealisme, sehingga para pelajar memiliki peran dan posisi strategis dalam
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu pula masyarakat pada
umumnya percaya dengan kemampuan mitos pendidikan yang dapat melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai budaya yang luhur, agung, kreatif, inovatif dan konstruktif.
Peranan dan fungsi pendidikan yang demikian mulia dan agung tersebut menjadi
tecoreng oleh makin maraknya kasus tawuran pelajar yang muncul di berbagai kota besar di
Indonesia. Sehingga banyak pihak semakin menyangksikan fungsi dan peranan pendidikan
dalam menyiapkan generasi masa depan yang damai, demokratis, berakhlak, berkeahlian,
| 2 P a g e
berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia,
cinta tanah air, berdasarkan hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Sungguh memprihatinkan dunia pendidikan kita dan sungguh mencemaskan tradisi
tawuran pelajar begitu membudaya yang berakibat jatuh korban meninggal sia-sia. Kalau
kita simak data jumlah korban meninggal dunia akibat tawuran pelajar yang disampaikan
Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni'am begitu
mencengangkan, di mana setidaknya ada 17 remaja tewas dalam tawuran di wilayah
Jabodetabek sejak 1 Januari 2012 hingga 26 September 2012.
Dan berita di mass media cetak maupun elektronik yang masih hangat diperbincangkan
sampai saat ini adalah dua kejadian tawuran pelajar di wilayah Jakarta Selatan. Di mana
hanya selang tiga hari, dua pelajar di Jakarta, Alawy Yusianto Putra siswa kelas X SMAN 6 Jakarta ,
meninggal dunia setelah mengalami luka celuritan dan Deny Yanuar pelajar SMK Yayasan Karya
66 (Yake), meninggal dunia akibat mengalami luka celuritan juga.
Dan yang lebih mengagetkan lagi saat tersangka pembunuh Deny Yanuar menyatakan
rasa puas atas perbuatannya yang diungkapkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Muhammad Nuh saat mengunjunginya di Markas Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, pada hari
Rabu tanggal 26 September 2012.
Di samping marak adanya fenomena tawuran, para pelajar juga mengalami perubahan
sikap dan perilaku terhadap Aparat. Tingkat keberanian dan munculnya kecenderungan sikap
melawan bahkan melukai petugas mulai menjadi budaya di kalangan para pelajar. Dulu ....,
jangankan melawan petugas, melihatnya saja takut. Sekarang, melihat Aparat yang
melaksanakan tugaspun disikat. Salah satu contohnya yang pernah menimpa Bripka Parngadi
anggota Unit Lalu Lintas Polres Jakarta Barat, di traffic light Cengkareng, Jalan Daan Mogot,
Jakarta Barat. Di mana saat korban mengamankan pelaku tawuran pelajar dan barang bukti
senjata tajam, tiba-tiba dari belakang korban disabet dengan senjata tajam oleh teman pelaku,
sehingga pelajar tersebut berhasil melarikan diri dan korban mengalami luka bacok pada
lengan kanan di atas pergelangan.
Ada apa gerangan pada diri remaja? Masalah psikologis apa yang terjadi sehingga
banyak pelajar begitu berani, ngawur, beringas, sadis dan tidak santun ; apakah merupakan
gejala deliquensi ? frustasi, gejolak emosi, atau agresi ? Atau masalah psikologis lainnya ?
Hal tersebut tentunya tidak bisa dibiarkan terus dan terus terjadi. Artinya , perlu segera dicari
solusinya agar generasi muda bangsa kita segera kembali pada posisi yang proporsional, yaitu
| 3 P a g e
dapat melewati perkembangan psikologisnya secara wajar, sehingga mereka tidak
bereinkarnasi menjadi pelaku-pelaku kriminal.
STOP MENCARI KAMBING HITAM
Sikap yang tidak mau dipersalahkan dan selalu mencari kambing hitam sudah begitu
mengakar di semua lapisan masyarakat kita. Kalau dicermati, hal itu terjadi mungkin karena
sebagian besar dari kita dididik untuk menjadi demikian. Kok bisa ? Dari mulai zaman Adam
dan Hawa di Taman Firdaus pun mereka juga tidak mau dipersalahkan setelah makan buah
terlarang. Coba kita ingat-ingat kembali sewaktu masih kecil, ketika kita menabrak pintu dan
terjatuh, orang tua kita mencoba menghibur kita dengan memukul-mukul pintu sambil
berkata, “ pintu, kamu nakal ya !”
Sikap-sikap yang demikian terjadi pula dalam konteks terhadap fenomena perkelahian
pelajar. Media langsung menuding dan menyalahkan Polisi karena dianggap lemah
menegakkan hukum dan kurang antisipatif melalui kegiatan preventif seperti Patroli. Media
juga begitu mudah menuding terhadap kegagalan dunia pendidikan , dan lain-lain. Bila kita
mau jujur, sebenarnya media pun turut memberikan andil terhadap perubahan perilaku dan
semakin membudayanya aksi kekerasan di kalangan pelajar.
Sikap yang tidak mau dipersalahkan dan cenderung mencari kambing hitam
menjadikan semakin sulit mencari solusi yang integratif dan tepat dalam mengatasi maraknya
perkelahian pelajar.
MULAI MENGIDENTIFIKASI AKAR MASALAH
Secara sosiologis, kekerasan merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat sedang
„sakit‟ dimana faktor non-adaptive lebih berkembang daripada faktor adaptive. Dalam
kondisi demikian, masyarakat dilanda krisis nilai dan norma sosial.
Walaupun bersifat kompleks , namun ada beberapa faktor penyebab dominan timbulnya
budaya kekerasan atau tawuran antar pelajar, antara lain :
1. Faktor Internal :
Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik
batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang
lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
Kondisi internal yang cenderung membentuk seorang pelajar mudah melakukan
tindak kekerasan / tawuran disebabkan oleh adanya :
| 4 P a g e
a. Kondisi keluarga
Selain faktor genetik , kondisi penyimpangan perilaku orang tua, konflik
perkawinan dan ketidakacuhan orang tua sangat memberikan pengaruh dalam
membentuk sikap agresi dalam kehidupan sosial seorang anak.
Di samping itu, kondisi rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang
tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja,
belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar
kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi
anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak
berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-
temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai
bagian dari identitas yang dibangunnya.
b. Eksistensi individu
Sosok FR pelaku pembunuh Alawy Yusianto Putra siswa kelas X SMAN 6
Jakarta menurut keterangan beberapa saksi yang telah diperiksa, memiliki
perangai buruk, termasuk kerap terlibat tawuran pelajar, bahkan dua kali tak naik
kelas. Kecenderungan pelaku yang memiliki peragai yang buruk ini salah
satunya termotivasi ingin menunjukkan eksistensinya diantara rekan-rekannya.
Karena secara akademis lemah, maka pelaku tersebut ingin mencari
pengakuan diri dengan menunjukkan kemampuan yang ditonjolkan , yaitu suka
berkelahi, sadis dan berani.
c. Gangguan mental akibat menggunakan alkohol
Beberapa gangguan mental organik yang terjadi pada diri seseorang yang
menggunakan alkohol antara lain adalah mudah marah dan tersinggung
(irritabilitas) yang pada akhirnya menjurus pada perkelahian dan tindak
kekerasan.
2. Faktor Eksternal :
a. Faktor Sekolah :
1). Lingkungan dan suasana sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk
belajar (misalnya : suasana kelas yang monoton, lemahnya penegakan
aturan tata tertib sekolah, kurangnya fasilitas sekolah, banyak jam kosong
belajar atau pengajaran tidak terjadual dengan baik, dsb) akan mendorong
siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-
temannya; Lho ... , bukannya SMA 70 Jakarta dan SMA 6 Jakarta
| 5 P a g e
merupakan salah satu sekolah favorit ? Pasti fasilitas belajar mengajar
lengkap dan proses belajar mengajar pasti berjalan dengan baik. Kenapa
sering tawuran ?
2). Sering terjadinya tawuran pelajar antara SMA 70 dengan SMA 6 Jakarta
antara lain disebabkan oleh adanya :
a). Kebanggaan terhadap kelompok / almamater yang yang terlalu
berlebihan ;
b). Doktrin dan provokasi pelajar senior/ para alumnus secara turun
temurun untuk menanamkan rasa kebencian dan permusuhan serta
persaingan kepada pelajar yunior terhadap kelompok pelajar yang
lain;
c). Terjadinya proses labeling terhadap keberadaan SMA 70 dan SMA 6
yang selalu bermusuhan dan saling menyerang. Dengan makin sering
dan makin banyaknya orang memberikan label kepada mereka, maka
kelompok siswa dari dua sekolah yang letaknya juga berdekatan itu
menjelma menjadi label yang diberikan kepadanya. Reaksi ini muncul
karena kedua kelompok siswa dari dua sekolah ini merasa terkurung
dalam label yang diberikan kepadanya;
3). Kesenjangan baik kualitas pendidikan maupun kesenjangan sosial yang
terlalu jomplang antar sekolah yang relatif berdekatan sehingga
menimbulkan sikap sensitivitas yang berlebihan (iri) bagi kelompok
sekolah yang dianggap lebih minoritas;
4). Sistem pendidikan yang lebih menonjolkan aspek kognitif dan semakin
mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya;
5). Proses pembelajaran siswa melalui observasi maupun imitasi (social
learning) terhadap metode perploncoan yang mengajarkan kekerasan.
Sehingga menimbulkan keterbangkitan emosional para pelajar secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya.
b. Faktor Lingkungan :
1). Pudarnya kontrol sosial
Semakin lemahnya kohesi sosial khususnya di daerah perkotaan,
membuat kontrol sosial menjadi lemah. Baik kontrol sosial dari sekolah,
keluarga maupun masyarakat dan aparat penegak huklum. Justru para siswa
lebih takut dan lebih patuh terhadap aturan dan sanksi sosial yang berlaku
| 6 P a g e
dalam komunitasnya atau kelompoknya sendiri dari pada terhadap aturan
hukum positif yang ada. Sehingga kelompok ataupun gank kumpulan para
pelajar ini semakin berkembang dengan segala aktivitasnya yang cenderung
menyimpang dari norma-norma yang ada.
Bagaimana dengan proses penegakan hukumnya sendiri ? Jujur bisa
dikatakan bahwa proses penegakan hukum masih belum efektif. Belum
efektifnya penegakan hukum sebagai akibat dari belum adanya konsistensi
dan ketegasan aparat karena pengaruh banyaknya intervensi dalam proses
penegakannya serta banyaknya tekanan sosial seperti yang sering dikoar-
koarkan oleh KPAI agar semua kejadian dalam dunia pendidikan tidak
dibawa ke proses hukum, penyelesaian dengan cara mediasi dan korban
diberikan pemulihan serta perlindungan, pelaku menyadari kesalahannya,
minta maaf dan jika sudah ada kesepakatan antara orang tua korban dan
orang tua pelaku, laporan dikepolisian bisa dicabut. Weleh ... weleh ...,
gimana bisa insyaf ? Dan pada akhirnya memunculkan istilah L4 (Lhoe
Lagi ... Lhoe Lagi !).
2). Kekerasan sudah menjadi kultur masyarakat
Proses pembelajaran sosial akan perilaku agresi yang cenderung
brutal dan destruktif langsung bisa dirasakan dan dilihat sehari - hari di
lingkungannya seperti maraknya aksi sweepping dan pengerusakan oleh
ormas-ormas tertentu, perkelahian warga antar kampung, perkelahian gank
motor, tawuran antar supporter dan pengerusakan fasilitas umum, aksi-aksi
unjuk rasa anarkhis, dan lain-lain. Kondisi inilah yang semakin membentuk
watak dan kepribadian pelajar yang mudah emosi serta beringas.
c. Peran Media
Menurut sebuah penelitian, anak dan remaja menghabiskan waktu lebih
banyak dan membentuk interaksi sosial dengan menonton televisi dan
menggunakan media elektronik lainnya seperti internet (Santrock, 2007).
Seringkali media massa justru mempertontonkan aksi –aksi kekerasan dan
brutalitas tanpa sensor yang mudah diakses dan menjadikan asupan informasi
rutin masyarakat .Akibatnya terjadi suatu pembelajaran sosial ataupun proses
imitasi masyarakat khususnya para pelajar terhadap aksi-aksi kekerasan.
| 7 P a g e
SOLUSI MENGATASI FENOMENA TAWURAN PELAJAR
Dengan mengetahui akar permasalahan yang begitu kompleks terhadap faktor-faktor
penyebab membudayanya tradisi tawuran di kalangan pelajar seperti yang telah dijelaskan di
atas, maka ada beberapa solusi yang ditawarkan dan menjadi tugas serta peran semua pihak
untuk segera melaksanakannya jika tidak ingin melihat generasi bangsa yang akan datang
menjadi generasi kriminal. Solusi tersebut antara lain :
1. Meningkatkan Peran Orang Tua
a. Selalu memberikan suri tauladan yang baik terhadap anak ;
b. Meningkatkan komunikasi secara intens dan menjaga keharmonisan serta
memberikan waktu yang berkualitas terhadap anak;
c. Turut membimbing/mendidik , mensupport dan mengawasi perkembangan anak
secara langsung untuk disiapkan menjadi pribadi-pribadi yang santun dan
bertanggungjawab;
d. Meningkatkan komunikasi dengan pihak sekolah / guru dalam mengawasi
perkembangan kepribadian dan prestasi anak.
2. Peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
a. Mengevaluasi kembali kurikulum pendidikan yang hanya fokus pada
pembelajaran kognitif saja namun perlu adanya keseimbangan dalam
pembangunan karakter dan kepribadian para siswa termasuk merubah model
penilaian di raport para siswa dengan memasukkan penilaian tentang
perkembangan kepribadian siswa ;
b. Memberikan program pelatihan secara kontinu dan terprogram terhadap para guru
guna meningkatkan kepekaan dan inovasi seorang guru dalam proses
pembelajaran untuk melihat karakter apa yang bisa dikembangkan dari siswanya
secara positif ;
c. Mengevaluasi , menetapkan standar dan meningkatkan ketersediaan layanan
pendidikan sebagai upaya menyediakan sarana-prasarana dan infrastruktur satuan
pendidikan (sekolah) dan penunjang lainnya;
d. Memberikan instruksi ataupun direktif kepada seluruh Dinas Pendidikan guna
melarang dan menghentikan seluruh aktivitas berbau kekerasan seperti program
perploncoan yang selama ini pelaksanaannya diserahkan penuh kepada siswa
senior serta memberikan sanksi tegas terhadap para Kepala sekolah yang masih
melaksanakannya;
| 8 P a g e
3. Peran Dinas Pendidikan Provinsi / Kabupaten maupun Kota
a. Mengevaluasi secara periodik terhadap kualitas / mutu pendidikan dari masing-
masing sekolah serta memberikan reward dan punishment baik terhadap para
Kepala Sekolah maupun tenaga pendidik secara tegas, konsisten dan adil.
Adapun penilaian tersebut didasarkan atas :
1). Kemampuan dan inovasi guru dan kepala sekolah dalam membangun
karakter dan kepribadian para siswanya;
2). Sering tidaknya para siswanya terlibat dalam kekerasan / tawuran;
3). Upaya-upaya sekolah dalam menjaga dan meningkatkan keharmonisan
siswanya dengan siswa dari sekolah lainnya;
4). Ada tidaknya budaya kekerasan baik dalam proses belajar mengajar
maupun saat dilakukannya perploncoan;
5). Intensitas pertemuan guru atau wali kelas dengan para orang tua atau wali
murid dalam membahas serta konsultasi berkaitan perkembangan
kepribadian dan perilaku serta prestasi siswa;
6). Ketegasan penegakan aturan dan tata tertib sekolah.
b. Turut memberikan program pelatihan secara kontinu dan terprogram terhadap
para guru guna meningkatkan kepekaan dan inovasi seorang guru dalam proses
pembelajaran untuk melihat karakter apa yang bisa dikembangkan dari siswanya
secara positif ;
c. Mengevaluasi dan meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan sebagai upaya
menyediakan sarana-prasarana dan infrastruktur satuan pendidikan (sekolah) dan
penunjang lainnya;
d. Bekerja sama dengan pihak-pihak swasta atau perusahaan-perusahaan untuk turut
mengarahkan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam membangun dunia pendidikan seperti memberikan
pelatihan kepada para tenaga pendidik guna meningkatkan kepekaan dan inovasi
seorang guru dalam proses pembelajaran untuk melihat karakter apa yang bisa
dikembangkan dari siswanya secara positif, pelatihan dan penyaluran bakat dari
para siswa sekolah (musik, olah raga, science dan lain-lain), menggandeng semua
pihak untuk aktif dalam melakukan Campaign “Anti Kekerasan”.
| 9 P a g e
4. Peran Kepala Sekolah dan Tenaga Pendidik
a. Terus meningkatkan kualitas pendidikan dan inovasi membangun karakter dan
kepribadian siswanya menjadi manusia yang berakhlak, santun, disiplin, dan
tanggungjawab serta berprestasi;
b. Membangun komunikasi aktif dengan para siswa dan memberikan suri tauladan
yang baik;
c. Aktif mengawasi dan memberikan penilaian secara obyektif terhadap
perkembangan kepribadian para siswanya;
d. Menegakkan aturan dan tata tertib sekolah secara tegas , konsisten dan adil;
e. Meningkatkan intensitas pertemuan dengan para orang tua atau wali murid guna
konsultasi tentang perkembangan perilaku atau kepribadian siswa serta
prestasinya;
f. Mencegah dan melarang adanya praktek kekerasan, antara lain :
1). Pelaksanaan Perploncoan tidak diserahkan kepada siswa senior yang
cenderung balas dendam atau pelampiasan dan mencontoh pola-pola
perploncoan yang sarat dengan kekerasan sesuai dengan apa yang pernah
dialaminya . Materi perploncoan sebaiknya diarahkan pada pembentukan
karakter kepribadian yang disiplin, tanggung jawab, santun, empati,
membangun kerjasama tim dan kepedulian sosial;
2). Menghilangkan dan melarang adanya doktrin-doktrin menyesatkan dalam
rangka menanamkan rasa kebencian dan permusuhan dengan pihak lain;
g. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan pihak Polri dalam rangka
memberikan pemahaman tentang hukum dan secara periodik melakukan razia
terhadap para pelajar yang disinyalir membawa barang-barang berbahaya atau
terlarang baik dilakukan di dalam sekolah maupun di luar sekolah (seperti di
lokasi-lokasi berkumpulnya para siswa : warung/kios/pos pengamanan sekolah
dan lain-lain);
h. Mengikis seluruh rasa permusuhan/kebencian para siswanya dengan siswa dari
sekolah yang lain melalui kegiatan integratif dan asimilasi (pembauran) seperti :
1). Kerja bhakti sekolah A ke sekolah B ;
2). Pertandingan Tim Olah Raga campuran sekolah A dan B dari IPA melawan
Tim Olah Raga Campuran sekolah A dan B dari IPS;
3). Kegiatan Pramuka, Wisata maupun Ekstra kurikuler yang lainnya yang
dilaksanakan secara bersama-sama;
| 10 P a g e
4). Membangun komunikasi dan komitmen kedamaian diantara para tenaga
pendidik, Kepala Sekolah dan para siswa.
Langkah ini tentunya lebih efektif dan lebih murah dari pada dengan cara
melakukan relokasi sekolah.
5. Peran Polri
Mengoptimalkan manajemen operasional rutin kepolisian dan operasi khusus
kepolisian dengan fokus sasaran ataupun target operasi untuk melakukan upaya-upaya
pencegahan terjadinya aksi tawuran pelajar melalui beberapa kegiatan operasional
kepolisian seperti :
a. Tindakan Pre Emtif
1). Menggiatkan Community Policing (Polmas) dari tingkat Polda sampai
dengan Pol Pos guna membangun komunitas-komunitas anti kekerasan baik
dari komunitas tenaga pendidik, OSIS , Organisasi / perkumpulan pelajar
lainnya, petugas pengamanan sekolah, Organda, penyelenggara angkutan
umum, instansi terkait, dan lain-lain guna kecepatan tukar menukar
informasi dan sekaligus menumbuhkan kepedulian dalam mendeteksi
gejala-gejala awal serta mencari solusi bersama dalam pencegahan dan
penyelesaian permasalahan tawuran pelajar sebelum menjelma menjadi
permusuhan atau konflik yang abadi yang menimbulkan korban sia-sia di
kalangan pelajar;
2). Proaktif melakukan komunikasi, koordinasi dan kerja sama baik dengan
pihak sekolah, organisasi siswa/pelajar, media dan lain-lain untuk
melakukan sosialisasi hukum, sosialisasi dampak tawuran pelajar dan
Campaign “Anti Kekerasan”.
b. Tindakan Preventif
1). Update peta kerawanan tawuran pelajar di wilayah tugasnya (baik
kerawanan berdasarkan lokasi, waktu terjadinya, pelaku dan modus
operandinya);
2). Strong point patroli diarahkan pada lokasi-lokasi dan jam-jam rawan
terjadinya tawuran pelajar di wilayah tugasnya;
3). Bekerja sama dengan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan untuk melakukan
sidak ataupun razia terhadap para siswa dan barang bawaan yang dilakukan
di dalam sekolah secara kontinu;
| 11 P a g e
c. Tindakan Represif
1). Bersama Satpol PP menggiatkan pelaksanaan operasi Miras (Minuman
Keras) yang diperjual belikan secara bebas baik di warung, kios maupun
toko dan swalayan;
2). Bekerja sama dengan pihak sekolah, Dinas Pendidikan dan pihak terkait
lainnya untuk melaksanakan razia terhadap para siswa dan barang bawaan
serta tempat-tempat yang biasa digunakan para siswa untuk menyimpan
senjata tajam dan barang-barang berbahaya lainnya (warung/kios/dan lain-
lain);
3). Melaksanakan penegakan hukum yang proporsional dan profesional, tegas,
konsisten dan adil serta tidak mudah diintervensi oleh pihak manapun bagi
para pelajar yang melakukan pelanggaran hukum.
6. Stop Pembelajaran Sosial Tentang Kekerasan
a. Media dan Lembaga Penyiaran Publik maupun Swasta
Siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan
bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan
perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab
dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa
yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab;
Untuk itulah peran Media dan Lembaga Penyiaran dalam siaran untuk tidak
lagi menyiarkan dan mempertontonkan secara visual tentang aksi kekerasan,
sadisme, brutalitas dan destruktif kepada masyarakat.
b. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) :
Segera menetapkan standar program siaran , menyusun dan menetapkan
pedoman perilaku penyiaran (melarang siaran-siaran yang mempertontonkan
secara visual tentang aksi kekerasan, sadisme, brutalitas dan destruktif kepada
masyarakat), aktif mengawasi dan memberikan sanksi tegas/konsisten dan adil
terhadap setiap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standar program siaran yang sudah ditetapkan (salah satunya adalah larangan
siaran visual aksi kekerasan)
c. Peran Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Ormas, Pejabat Negara dan lain-lain
Ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa , “ Guru kencing berdiri,
Murid kencing berlari”. Artinya bahwa apa yang dilakukan orang-orang yang
| 12 P a g e
seharusnya menjadi tauladan, akan diikuti pula dengan minimal pola yang sama
bahkan lebih buruk oleh masyarakat (para pelajar).
Untuk itulah, alangkah lebih bijak tidak banyak berkomentar dan saling
menyalahkan yang lain, namun instropeksi diri apakah selama ini sudah bisa
dijadikan tauladan yang baik ?
Kemerosotan moral para pelajar salah satunya diakibatkan oleh contoh-
contoh perilaku orang-orang yang seharusnya dijadikan panutan yang tidak lagi
bisa menunjukkan jati diri bangsa yang lebih mendahulukan musyawarah untuk
mufakat dari pada emosi dan sikap egoistis dalam menyelesaikan beda pendapat
ataupun permasalahan.
7. Proses Diversi Vs Penegakan Hukum Dalam Penyelesaian Masalah Tawuran
Pelajar
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
telah diatur tentang Diversi. Diversi di sini merupakan salah satu bentuk pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan
pidana.
Proses diversi inilah yang sering kali disalah artikan sehingga sering
mengintervensi proses penyidikan atau proses penegakan hukum terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum (pelajar selaku pelaku tindak pidana) yang pada akhirnya
terkesan memproteksi anak dengan alasan perlindungan khusus anak dan tidak
berjalannya proses penegakan hukum. Selain itu, banyak pula proses penegakan
hukum terhadap anak kurang mengindahkan proses diversi yang telah diatur Undang-
Undang dalam penyelesaian perkara yang dilakukan pelajar.
a. Diversi
Diversi sebagai salah satu wujud dari perlindungan anak yang berkonflik
dengan hukum bertujuan untuk menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan dengan menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan.
Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan
restoratif.
Dari mulai tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak
di Pengadilan Negeri memang diwajibkan diupayakan Diversi, namun para
| 13 P a g e
Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam melakukan Diversi antara lain harus
mempertimbangkan :
1). Kategori Tindak Pidana :
Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana di
bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
2). Umur Anak :
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
b. Penegakan Hukum :
Penegakan hukum merupakan salah satu bentuk kontrol sosial yang
bertujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat dan sebagai salah satu upaya
terakhir dalam menyelesaiakan permasalahan hukum.
Penyelesaian hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus
tetap memedomani per Undang-Undangan yang ada.
Kategori tindak pidana (kekerasan/tawuran pelajar) yang bisa dilakukan
proses hukum ke Pengadilan dan penjatuhan sanksi pidana harus merupakan
suatu bentuk tindak pidana yang diancam dengan pidana 7 (tujuh) tahun ke atas
ataupun juga tindak pidana yang diancam di bawah 7 (tujuh) tahun namun
dilakukan secara berulang oleh pelaku.
Beberapa contoh tindak pidana yang dilakukan pelajar yang berusia di atas
12 tahun s/d 18 tahun yang diselesaikan melalui proses peradilan pidana antara
lain :
1). Pasal 170 ayat (2) 1e KUHP :
Sengaja merusak barang atau jika kekerasan yang dilakukannya bersama-
sama di muka umum itu menyebabkan sesuatu luka (ancaman penjara
selama lamanya 7 tahun);
2). Pasal 170 ayat (2) 2e KUHP :
Jika kekerasan yang dilakukannya bersama-sama di muka umum itu
menyebabkan luka berat pada tubuh (ancaman penjara selama lamanya 9
tahun);
3). Pasal 170 ayat (2) 2e KUHP :
Jika kekerasan yang dilakukannya bersama-sama di muka umum itu
menyebabkan matinya orang (ancaman penjara selama lamanya 12 tahun);
| 14 P a g e
4). Pasal 338 KUHP :
Dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, karena makar mati, dengan
hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun;
5). Pasal 340 KUHP :
Dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain (ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup atau
penjara selama-lamanya 20 tahun);
6). Pasal 351 ayat (3) KUHP :
Penganiayaan yang mengakibatkan orang lain mati (ancaman hukuman
penjara selama-lamanya 7 tahun);
7). Pasal 12 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 :
Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat,
menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya
atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia
sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-,
steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-
tingginya 10 tahun.
Dalam proses penegakan hukum terhadap pelajar yang terlibat
tawuran/melakukan tindak kekerasan ataupun tindak pidana lain, maka perlu
adanya perlindungan khusus yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-
hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera dengan memedomani antara lain
sebagai berikut :
1). Mendapatkan perlakuan secara manusiawi :
- penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
- penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
- perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa guna
menghindari labelisasi ;
- penyediaan sarana dan prasarana khusus;
| 15 P a g e
- penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini atau pun juga
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
- pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak;
- dalam menangani perkara anak, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja
Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.
2). Pemenuhan hak-hak anak :
- hak membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak
yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum;
- pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua
atau keluarga;
- mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun sosial
sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang
Undang Perlindungan Anak;
- Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya).
Dengan pola penegakan hukum yang demikian terhadap para pelajar yang
yang berkonflik dengan hukum, diharapkan selesai dari menjalani proses hukum
tidak malah menjadi monster-monster pelaku kriminal baru yang lebih
profesional dan sadis. Namun diharapkan dengan proses hukum yang berorientasi
terhadap perlindungan anak justru bisa menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang
serta siap hadir di tengah masyarakat menjadi generasi unggulan.