I. PENDAHULUAN
Stress merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari manusia
yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan
eksternal. Sedangkan stressor adalah kejadian, situasi , seseorang atau suatu
obyek yang dilihat sebagai unsur yang menimbulkan stress dan menyebabkan
reaksi stress sebagai hasilnya. Stressor sangat bervariasi bentuk dan
macamnya, mulai dari sumber-sumber psikososial dan perilaku seperti
frustrasi, cemas dan kelebihan sumber-sumber bioekologi dan fisik seperti
bising, polusi, temperatur dan gizi.1
Orang-orang modern dihadapkan pada paradoksikal dari stress
tersebut, dimana di satu pihak stress merupakan bagian penting dari hidup kita
untuk memberikan semangat untuk bekerja dan hidup, dan berkembang.
Sebaliknya, stress juga merupakan akar dari sekian banyak problem-problem
sosiologikal, medis dan ekonomi.1
Stress diketahui merupakan faktor etiologi dari banyak penyakit. Salah
satunya adalah menyebabkan gangguan pada menstruasi. Kebanyakan wanita
mengalami sejumlah perubahan dalam pola menstruasi selama masa
reproduksi. Tetapi, hubungan antara stress dan pola menstruasi ini sangatlah
kompleks dan pemahaman kita mengenai hubungan ini masih sangat terbatas.
Dalam pengaruhnya terhadap pola menstruasi, stress melibatkan sistem
neuroendokrinologi sebagai sistem yang besar peranannya dalam reproduksi
wanita. 1,2,3
Dr. Hans Seyle, seorang ilmuwan yang terkenal dan pelopor dalam
bidang penelitian mengenai stress, merancang suatu konsep mengenai reaksi
tubuh terhadap stress yang disebut dengan respon adaptasi umum terhadap
stress. Konsep ini menggambarkan respon tubuh terhadap stress menjadi tiga
tahapan dasar yaitu tanggapan terhadap bahaya (alarm reaction), tanggapan
fisik atau tahap perlawanan (stage of resistance) dan tahap kelelahan (stage of
exhaustion). Ketiga tahapan ini tidak selalu terjadi pada setiap manusia yang
mengalami stress karena tergantung pada daya tahan mental setiap individu.1,2
2
II. SIKLUS MENSTRUASI NORMAL
Sistem reproduksi wanita menjalani serangkaian perubahan siklik yang
teratur, yang disebut sebagai siklus menstruasi. Siklus ini ditandai dengan
perubahan-perubahan, dimana yang paling nyata terlihat adalah perdarahan
pervaginam secara berkala sebagai hasil dari pelepasan lapisan
endometrium uterus. Menstruasi normal secara fungsional merupakan hasil
interaksi antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium, dimana masing-
masing organ ini memainkan peranan penting dalam fungsi reproduksi
normal.
A. Karakteristik dari Siklus
Penelitian mengenai periodisitas dari siklus menstruasi manusia telah
memperlihatkan bahwa interval median antara periode-periode
menstruasi adalah 28 hari selama usia reproduksi aktif, dengan batas
normal antara 25 – 35 hari. Tetapi perlu dipahami bahwa panjang
siklus haid dipengaruhi oleh usia seseorang, dimana satu peningkatan
dari interval intermenstruasi timbul pada dua ujung dari kehidupan
reproduksi manusia. (Gambar 1). Interval menstruasi yang memanjang
ini berhubungan dengan siklus anovulatoir yang sering timbul selama
usia remaja dan pada masa transisi menopause. Pada masa ini, sekresi
aberan dari estradiol dan gonadotropin menghasilkan asikronisasi dari
berbagai elemen dari sistem dan bermanifestasi sebagai siklus yang
anovulatoir.3,4
Siklus menstruasi merupakan satu mekanisme ulangan dari
kerja sistem hipotalamus–hipofisis-ovarium, yang berhubungan dengan
perubahan struktur dan fungsi dari jaringan target –uterus, tuba fallopii,
endometrium dan vagina- dari organ reproduksi. Tiap siklus mencapai
puncaknya dalam bentuk perdarahan menstruasi, dan hari pertama
siklus diterima sebagai titik permulaan siklus menstruasi.3,4
Hormon gonadotropin (follicle stimulating hormone /FSH dan
luteineizing hormone/LH) membantu sebagai penghubung antara
3
hipotalamus dan ovarium. Gambaran dari pola perubahan sekresi
gonadotropin pada wanita, sebelum, selama, dan setelah masa
reproduksi diperlihatkan pada gambar 2. Pada keadaan fungsi ovarium
tidak ada (seperti yang ditemukan pada fase prepubertas dan
perimenopause dari siklus kehidupan), kadar FSH dalam darah lebih
besar daripada LH. Penurunan yang bermakna dari rasio FSH/LH
merupakan ciri khas dari masa-masa reproduksi. Sekresi gonadotropin
yang rendah selama fase prepubertas, secara sebab akibat berhubungan
dengan insufisiensi dari stimulasi hormon (GnRH). Gambaran dari
penambahan sleep induced LH memberikan bayangan dari maturasi
dari sistem CNS-hipotalamus. Keadaan ini akan menghilang setelah
masa pubertas. Tingginya kadar gonadotropin berhubungan dengan
masa postmenopause dan terutama dipengaruhi oleh penurunan
mekanisme negative-feedback dari hormon steroid ovarium dan inhibin.
Gambar 1. Median lama siklus menstruasi sepanjang usia reproduksi
wanita mulai dari menarke sampai menopause. (dari Treloar, dkk. Int J
Fertil 12:77,1967)3
4
Gambar 2. Pola perubahan dan rasio rasio dari LH terhadap FSH
sebelum, selama, dan setelah fase reproduksi dari siklus kehidupan
wanita.3
B. Pola hormonal selama siklus menstruasi 3,4
Siklus menstruasi manusia dapat dibagi menjadi empat fase fungsional
atas dasar struktural, morfologi, dan produksi steroid seks oleh
ovarium.
1. Fase folikuler (terbagi menjadi awal, pertengahan, dan akhir)
2. Fase ovulasi (transisi fase folikuler-luteal)
3. Fase menstruasi (terbagi menjadi awal, pertengahan, dan akhir)
4. Fase menstruasi (transisi luteal-folikuler)
Kadar gonadotropin, estrogen, androgen, progestin dan inhibin dalam
sirkulasi darah selama siklus ovulasi normal pada wanita menunjukkan
pola siklus yang teratur. Perjalanan dan perubahan relatif dalam kadar
hormon ini yang diukur dalam sehari digambarkan pada gambar 3.
1. Fase Folikuler
Pertengahan pertama dari siklus disebut sebagai fase folikuler dan
memiliki ciri khas adanya peningkatan yang progresif dari kadar
estradiol dan inhibin dalam sirkulasi yang dipengaruhi oleh
5
perkembangan folikel de Graaf. Meskipun, folikulogenesis dimulai
pada fase luteal akhir dari permulaan siklus dan berlanjut selama
transisi luteal-folikuler. Pada saat ini, menghilangnya korpus luteum
dan hubungannya dengan penurunan yang cepat dari kadar inhibin,
sama baiknya dengan estradiol dan progesteron, menyebabkan
peningkatan sekresi FSH kira-kira 2 hari sebelum onset menstruasi
(gbr. 3B). Peningkatan kadar FSH, bersama-sama dengan kembalinya
frekuensi denyut LH dari lambat menjadi tinggi, mencetuskan
penambahan folikel selama 4 sampai 5 hari pertama fase folikuler.
Kejadian ini diikuti dengan seleksi terhadap satu folikel (hari ke 5- 7);
maturasi dari folikel dominan (hari 8-12); akhirnya, ovulasi (hari ke 13-
15) . Proses ini membentuk fase folikuler dari siklus, berlangsung
mencapai 13 hari, dan ditunjukkan kepada proses genesis dari satu
folikel preovulasi sementara folikel yang lain mengalami atresia.
Seleksi terhadap satu folikel yang diperlukan untuk ovulasi
dihubungkan dengan kapasitas yang tinggi dari biosintesis dan sekresi
androgen, estrogen, progestin dan inhibin. Integritas dari produksi
hormon-hormon ini tergantung kepada interaksi antara sel teka dan sel
granulosa. Aktivitas masing-masing sel ini dimodulasi oleh perubahan-
perubahan dalam ensim steroidogenik sitokrom P-450 dan melalui
berbagai faktor-faktor pertumbuhan yang bekerja langsung melalui
mekanisme parakrin dan otokrin. Sebagai hormon trofik, LH dan FSH
memiliki abilitas inheren untuk mengubah laju dari pertumbuhan dan
maturasi folikel dan berhubungan dengan lingkungan mikro dalam
folikel ovarium. Karena baik estradiol dan inhibin merupakan supresor
yang poten dari sekresi FSH, waktu perjalanan dari penurunan FSH
selama fase folikuler pertengahan ke akhir kemungkinan secara sebab
akibat berkaitan dengan supresi feedback sekuensial oleh estradiol dan
inhibin. Sedikit berbeda bahwa kadar LH dalam sirkulasi
memperlihatkan kecenderungan peningkatan yang progresif( gbr. 3A).
6
2. Fase ovulasi
Karena puncak dari midsiklus LH surge tidak dapat secara tepat
ditentukan, onset LH surge dipakai untuk memberikan secara relatif
mengenai titik rujukan yang tepat bagi waktu hormonal dan dinamika
Gambar 3. A. Pola hormonal dalam siklus menstruasi manusia
B. Hubungan antara FSH, inhibin, dan steroid ovarium
selama regresi korpus luteum, onset menstruasi, dsan inisiasi
folikulogenesis untuk siklus berikutnya.
intrafolikuler pada midsiklus (Gbr 4). Selama 2 – 3 hari terakhir
sebelum onset dari surge midsiklus, peningkatan dalam kadar estradiol
dalam sirkulasi sebanding dengan kadar inhibin, progesteron, dan
7
17α-hidroksiprogesteron (17-OHP). Peningkatan ini dalam konsentrasi
progestin memberikan gambaran proses luteinisasi dari sel granulosa
diikuti penggabungan dengan reseptor LH dan hasil dari kemampuan
LH untuk menginisiasi biosintesis 17-OHP dan progesteron.
LH dan FSH surge mulai secara tiba-tiba dan secara temporer
berhubungan dengan pencapaian kadar estradiol puncak dan inisiasi
dari pertambahan yang cepat dari progesteron 12 jam lebih awal.
Durasi rata-rata dari LH surge adalah 48 jam, secara cepat naik keatas
dan bertahan selama 14 jam, dan disertai oleh penurunan yang cepat
dalam estradiol sirkulasi dan konsentrasi 17-OHP tetapi pertambahan
yang tetap dari kadar serum inhibin (gbr. 3A). Kejadian ini diikuti oleh
satu plateu puncak dari kadar gonadotropin selama 14 jam dan kadar
konsentrasi progesteron yang transien. Pemanjangan penurunan ke
cabang (waktu paruh 9,6 jam), bertahan selama 20 jam, berhubungan
dengan pertambahan yang cepat sekunder dari progesteron dan
penurunan lebih lanjut dalam kadar 17-OHP, estradiol, dan inhibin
sirkulasi, yang dimulai 36 jam setelah onset surge, atau 12 jam sebelum
pengakhiran surge. Sekresi inhibin selama interval periovulasi tidak
digabungkan dengan baik estrogen atau progesteron. Perubahan kadar
inhibin pada saat ini mewakili sejumlah kontribusi inhibin melalui
folikel preovulasi dan timbulnya korpus luteum. Mekanisme seluler
sebagai respon terhadap pergantian akut dalam steroidogenesis untuk
menyokong produksi progesteron tampaknya merupakan pengaruh dari
peningkatan aktivitas P-450 17 α-hidroksilase pada folikel preovulasi.
Penyebab dari penambahan yang bersamaan dalam kadar inhibin dan
gonadotropin selama surge masih belum jelas.
Interval waktu yang tepat antara onset LH surge dan ovulasi
pada wanita tetap belum jelas, tetapi data yang ada menyatakan bahwa
ovulasi terjadi dalam 1–2 jam sebelum fase terakhir dari pertambahan
progesteron, atau 35 – 44 jam setelah onset LH surge.
8
3. Fase Luteal
Tanda dari fase luteal dalam siklus menstruasi adalah pergantian dari
dominasi estrogen pada fase folikuler ke dominasi progesteron.
Luteinisasi sel teka-granulosa setelah ovulasi berhubungan dengan
berlimpahnya ensim steroidogenik P-450 dalam sel luteal dan
peningkatan kemampuan untuk mensintesis sejumlah besar progesteron
Gambar 4. Dinamika hormon pada pertengahan siklus
dan jumlah estradiol yang lebih sedikit. Konsentrasi puncak dari
progesteron dan estradiol dicapai pada fase midluteal dimana
endometrium fase sekresi mendukung terjadinya implantasi. Meskipun
inhibin juga mencapai kadar puncak pada saat ini, inhibin tidak bekerja
9
dalam proses implantasi. Jika terjadi implantasi, terjadi luteolisis,
dengan penurunan yang linier cepat dari kadar progesteron, estradiol
dan inhibin sirkulasi selama 4 – 5 hari terakhir dari kehidupan
fungsional korpus luteum.
Aktivitas sekresi korpus luteum dan bentuk kehidupan
fungsional tergantung dukungan LH yang tersedia. Interupsi dari
pulsatilitas LH dengan arti pemberian antagonis GnRH selama tahapan
yang berbeda dari fase luteal menyebabkan pengurangan yang cepat
dari kadar progesteron, estradiol, dan inhibin, diikuti luteolisisis dan
onset menstruasi. Kadar FSH ditekan selama fase luteal mencapai
kadar terendah selama siklus. FSH tidak diperlukan untuk
mempertahankan korpus luteum. Kombinasi inhibin dengan estrogen
dan progesteron secara sinergis menekan sekresi FSH dan mencegah
inisiasi folikulogenesis.
4. Fase menstruasi
Inisiasi pertumbuhan folikuler dari siklus berikut tergantung pada
regresi dari korpus luteum sebelumnya. Kejadian kuncinya adalah
hubungan sebaliknya antara penurunan kadar inhibin dan peningkatan
kadar FSH yang terjadi 2 hari sebelum onset menstruasi, karena itu
terjadi penambahan inisiasi folikuler untuk siklus tersebut (gbr. 3B).
Jadi, transisi luteal-folikuler mewakili satu deretan perubahan dinamis
yang melibatkan pengakhiran fungsi luteal dan reaktivasi dari sistem
gonadotropin-GnRH. Perubahan ini merupakan hasil dari kemunduran
pengaruh inhibisi oleh hormon steroid korpus luteum dan inhibin.
III. REGULASI NEUROENDOKRIN
Daerah yang terpenting dalam sintesis GnRH di hipotalamus adalah
nukleus arkuata, yang berada di bagian basal organ ini. Akson-akson
meluas dari nukleus ini ke bagian tengah. Selanjutnya ini disebut traktus
tuberoinfundibular. Pada saat ini, kelihatannya pelepasan GnRH
dipengaruhi oleh senyawa amine biogenik (seperti dopamin, norepinefrin,
10
epinefrin) yang disintesis di daerah yang lebih tinggi di otak, yang
mungkin juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti stress atau emosi.
Sebagian besar badan-badan sel saraf mensintesis amine biogenik di
daerah dalam brainstem. Akson-akson dikirim melalui forebrain medial
dan menghilang di berbagai daerah dari otak, termasuk di hipotalamus.
Bukti-bukti baru-baru ini mendukung ide bahwa norepinefrin
memiliki pengaruh pada pelepasan GnRH dan bahwa peptid opiat (seperti
ß-endorfin) bersifat menghambat. Dalam keadaan berbeda, ada
pemahaman yang tidak lengkap dari dinamika dalam interaksi dopamin
dan sekresi GnRH. Pada beberapa situasi penelitian, dopamin kelihatan
sebagai stimulator dan pada situasi lain bersifat sebagai inhibitor terhadap
pelepasan GnRH.
A. Sekresi pulsatil dari gonadotropin
Satu rancangan yang penting dalam kontrol gonadotropik terhadap
fungsi ovarium adalah pulsatil alamiah dari pelepasan LH dan FSH
oleh hipofisis. Frekuensi denyut dan amplitudo dari pelepasan
gonadotropin secara mendalam diatur oleh hormon steroid ovarium.
Tidak adanya mekanisme feedback gonadal, seperti pada wanita
postmenonopause atau ovariektomi, peningkatan kadar gonadotropin
dipertahankan oleh peningkatan amplitudo dan frekuensi dari
pelepasan pulsatil.
Ada variabilitas individual dalam pola yang benar dari
pelepasan pulsatil dari GnRH. Pada satu fase dari siklus menstruasi
wanita, ketika estrogen dari ovarium berada pada kadar terendah (fase
folikuler awal), frekuensi denyut mencapai 90 menit tiap denyutnya.
Kemudian, sebagaimana peningkatan estrogen, frekuensi denyut
meningkat menjadi setiap 60 menit. Setelah ovulasi, ada penurunan
yang bermakna dan pogresif dalam frekuensi denyut menjadi satu
denyut tiap 360 menit. Perlambatan dari frekuensi denyut
11
berhubungan dengan durasi paparan terhadap progesteron, yang
disekresikan setelah ovulasi.
Pada kera rhesus maupun pada manusia denyut intermitten
GnRH tiap 60 – 90 menit merangsang pelepasan LH dan FSH tanpa
batas. Pada kera rhesus, perubahan dalam frekuensi denyut GnRH
dapat secara selektif meningkatkan atau menurunkan kadar serum
baik FSH maupun LH.
B. Interaksi fungsional dari aksis H-P-O
Kerja dari sistem neuroendokrin yang mengontrol siklus menstruasi
manusia dapat diformulasikan. Perubahan dalam ilmu pengetahuan
baru-baru ini akan menyempurnakan tanpa keraguan atau membentuk
pemahaman baru terhadap pengaturan siklus menstruasi.
Pulsatil alamiah dari sekresi gonadotropin oleh hipofisis
merupakan hasil langsung pelepasan episodik GnRH dari terminal saraf
pada bagian yang menonjol dari arkuata bagian tengah ke gonadotrof
melalui pembuluh-pembuluh portal hipotalamus-hipofisis. Pelepasan
intermiten GnRH tampaknya menjadi konsekuensi dari osilator yang
memicu sekresi periodik oleh saraf-saraf sintetase GnRH. Pelepasan
pulsatil GnRH tampaknya secara tonik dihambat oleh saraf-saraf
opiodergik sebelahnya dan derajatnya adalah ovarium steroid-
dependent: Disosiasi dari sistem interaktif terjadi ketika kadar steroid
ovarium rendah. Jadi, sepertinya penghambat opiat dari GnRH dan
konsekuensi dari frekuensi rendah dari denyut LH tampak selama fase
luteal menjadi tidak sesuai dengan perdarahan ovarium yang
mengikutinya selama luteolisis; hasilnya adalah peningkatan frekuensi
denyut gonadotropin-GnRH. Inhibisi dan disinhibisi modulasi
opioidergik dari akivitas neuronal GnRH mungkin jugs terlibat dalam
penurunan frekuensi denyut LH selama fase folikuler awal dari siklus
dan inisiasi surge gonadotropin midsiklus.
12
Penurunan yang cepat dari kadar inhibin ovarium menjadi
tanda kunci dari peningkatan dari pelepasan FSH hipofisis yang terjadi
2 hari sebelum onset menstruasi, karena itu menginisiasi
folikulogenesis. Frekuensi dan amplitudo dari denyut GnRH adalah
krusial untuk mendeterminasi sintesis dan sekresi hormon gonadotropin
oleh hipofisis. Respon ditentukan oleh positif otoregulasi dari reseptor
GnRH dan melalui pengaturan konsentrasi estradiol, yang menambah
gonadotrof GnRH-receptive dalam hubungan dengan peningkatan yang
bermakna dalam total keduanya dan gonadotrof multihormonal. Dalam
kombinasi, mereka membuat satu peningkatan yang bermakna dalam
kapasitas hipofisis dalam sinkronisasi dengan peningkatan dalam aksi
feedback estradiol. Ketika kadar estradiol melampaui ambang batas
selama masa 2 – 3 hari, satu perubahan dalam kapasitas fungsional
gonadotrof terjadi, sebagaimana dimanifestasikan oleh peningkatan
yang bermakna dalam sensitivitas terhadap denyut kecil GnRH eksogen
dan oleh pergantian yang cepat dari gonadotropin dari pool-reserve
yang besar ke pool yang dapat dilepaskan, dimana dari sini surge
midsiklus mungkin diinisiasi. Meskipun, estradiol memicu onset surge,
peningkatan sekresi progesteron oleh folikel preovulasi tampaknya
memperlama durasi surge.
Meskipun tempat dari aksi feedback secara prinsip terjadi pada
tingkat hipofisis, ada bukti meyakinkan di satu tempat hipotalamik
mengenai aksi estradiol pada sistem neuronal yang menghubungkan
dengan neuron GnRH daripada pada neuron GnRH langsung.
Progesteron menampakkan pengaruh mekanisme feedback pada
jaringan saraf yang mengurangi fekuensi denyut sekresi GnRH akut
dalam menginduksi surge gonadotropin midsiklus secara jelas tampak
pada tikus dan domba, keperluan ini pada manusia dan hewan primata
masih belum jelas. Onset LH surge dan ovulasi terjadi dalam respon
terhadap pengeluaran intermiten dari sejumlah besar GnRH eksogen
pada monyet dengan lesi pada nukleus arkuata dan pada wanita dengan
13
defisiensi GnRH endogen; hal ini memberikan bukti yang tidak
disangka bahwa peningkatan pelepasan GnRH pada manusia dan hewan
primata tidak diperlukan. Contoh eksperimental ini tidak dapat secara
lengkap mengeluarkan adanya kemungkinan atau keterlibatan peptid
hipotalamik lain yang dapat memicu pelepasan gonadotrof, seperti
endothelin, yaitu suatu peptid hipotalamik yang memiliki aksi stimulasi
bermakna pada pelepasan gonadotropin.
IV. Stress
A. Tanda dan gejala stress1,2,6
Proses terjadinya stress merupakan hal yang kompleks dan
melibatkan hubungan antara perasaan dan tubuh manusia. Informasi
dari lingkungan diproses melalui dua mekanisme dasar, yaitu:
1. Mekanisme subkonsius (autonomic nervous system)
Mekanisme ini merupakan refleks fisik dan emosional yang
bekerja untuk mempersiapkan tubuh terhadap segala aksi
potensial yang mungkin diperlukan. Persiapan tubuh ini berdiri
sendiri atau terpisah dari aksi akhir.
2. Mekanisme konsius
Mekanisme volunter berupa persepsi, evaluasi, dan pembuatan
keputusan. Mekanisme ini memiliki peran untuk menentukan
apakah stressor yang timbul diperlukan dan berguna atau tidak
dan menimbulkan sesuatu yang buruk atau tidak. Aksi atau
respon itu sendiri adalah konsius dan dapat timbul hanya apabila
kita dapat melihat dan mengevaluasi situasi.
Respon terhadap stress berupa tekanan fisik selanjutnya dapat
ditimbulkan oleh konsius, aksi volunter atau subkonsius, aktivasi
involunter yang menjaga tubuh dalam keadaan tetap siaga.
Stress bersifat subyektif dan individual. Keadaan ini bermula
ketika kita mengamati satu situasi, seseorang, satu kejadian atau
bahkan satu obyek yang kita sebut sebagai stressor. Hal ini berarti
14
bahwa otak tidak memberikan respon secara buta tetapi respon yang
terjadi merupakan hasil dari satu derajat latihan terhadap interpretasi
subyektif.
Bagaimana kita melihat suatu kejadian secara luas tergantung
kepada konsep terhadap diri pribadi, kekuatan ego, sistem nilai dan
bahkan hereditas. Peristiwa-peristiwa menyenangkan seperti
menikah, memenangkan undian atau bertemu dengan seseorang yang
dicintai setelah lama tidak bertemu, juga menimbulkan stress,
meskipun kebanyakan stress berawal dengan peristiwa-peristiwa
negatif, menyakitkan dan tidak diharapkan dalam kehidupan kita.
Situasi yang sama dapat dilihat, secara keseluruhan, secara
berbeda oleh dua individu. Yang satu dapat memandang situasi yang
ada sebagai tantangan yang menarik sementara individu yang lain
memandang situasi tersebut sebagai ancaman terhadap kehidupannya.
Satu lampu merah diinterpretasikan oleh yang satu sebagai obyek
yang berguna untuk mengatur suatu usaha dan oleh yang lain
merupakan sumber yang menyakitkan. Lebih jauh, kita memandang
dan bereaksi terhadap suatu peristiwa yang sama secara berbeda pada
saat yang berbeda, tergantung pada keadaan perasaan dan fisik kita
saat tersebut.
Stress yang datang dari peristiwa-peristiwa dan kondisi
kehidupan yang tidak menyenangkan dapat mengganggu perasaan
dan tubuh kita. Stress menyebabkan kesedihan dan menghalangi
untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat. Sangatlah penting
untuk mengenali seseorang yang menderita stress yang berat.
Stress dapat mempengaruhi semua bagian dari kehidupan
seseorang, menyebabkan stress mental, keluhan-keluhan fisik,
perubahan perilaku, dan masalah-masalah dalam interaksi dengan
orang lain. Seseorang yang menderita stress seringkali tidak
mengeluh tentang stress secara langsung. Sebagai gantinya, mereka
mengeluhkan banyak keluhan fisik dan mental yang berbeda. Mereka
15
dapat saja menderita sakit yang serius sehingga memerlukan
perawatan medis
Seseorang yang berada dalam keadaan stress dapat memiliki
berbagai gejala yang bervariasi. Gejala-gejala tersebut dapat
bermanifestasi pada perasaan, tubuh kita, pada perilaku dan terhadap
pergaulan dengan orang lain. Pada perasaan kita gejala-gejala
tersebut dapat berupa:
- Rasa cemas atau mudah marah
- Rasa sedih, menangis atau rasa tidak diperhatikan
- Perubahan mood yang cepat
- Konsentrasi yang jelek, memerlukan penjelasan beberapa
kali baru bisa memahami dan mengingatnya
- Berpikir tentang satu hal yang sama berulang-ulang
Orang-orang sulit untuk mengenali dan menggambarkan gejala
yang mereka derita. Sedangkan pada tubuh gejala-gejala stress
yang timbul dapat berupa:
- Kelelahan
- Sakit kepala
- Ketegangan otot
- Berdebar-debar atau denyut jantung tidak teratur
- Perasaan tidak dapat bernapas/sesak
- Mual-mual (merasa sakit) atau nyeri di perut
- Nafsu makan kurang
- Nyeri yang tidak jelas, misalnya pada lengan, tungkai, atau
dada
- Gangguan siklus menstruasi
Orang dapat memiliki beberapa gejala yang berbeda yang dapat
hilang dan timbul. Gejala—gejala ini apabila tidak diatasi
dengan segera akan menjadi kronis dan menimbulkan penyakit
yang lebih berat, sebagai contoh stress yang kronik dapat
16
menyebabkan ulkus pada lambung. Dalam perilaku stress
menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut:
- Berkurangnya aktivitas, tidak bertenaga
- Aktivitas berlebihan atau ketidakmampuan untuk
beristirahat
- Memakai alkohol atau obat-obatan seperti kanabis atau
opium untuk mengurangi ketegangan
- Kesulitan untuk berkonsentrasi pada satu pekerjaan
- Gangguan tidur
Sementara itu stress dapat pula menyebabkan gangguan
terhadap kemampuan dalam pergaulan dengan orang lain.
Gejala-gejala yang timbul sebagai berikut:
- Tidak memiliki emosi
- Terlalu tergantung pada orang lain dalam mengambil
keputusan dan dukungan
- Suka berdebat dan melakukan penolakan
Sangatlah penting untuk berbicara dengan anggota keluarga
yang lain atau orang lain yang mengetahui dengan baik mengenai
seseorang yang mengalami stress. Pertama-tama yang harus
diketahui adalah apakah perilaku saat ini dari orang yang mengalami
stress adalah normal. Kemudian perlu diketahui bagaimana
terjadinya perubahan menjadi tidak normal.
B. Sumber stress1,2,6
Setiap waktu kita dihadapkan dengan perubahan, apakah kejadian
tersebut kita inginkan atau tidak, homeostasis akan terganggu dan kita
akan menderita stress selama masa adaptasi terhadap kejadian
tersebut. Proses pemulihan homeostasis tersebut disebut ‘adaptasi’.
Derajat tertentu dari perubahan tersebut diinginkan dan bahkan
diperlukan. Perubahan dapat menjadi faktor positif untuk
perkembangan atau dapat menjadi kekuatan negatif yang akan
17
membawa ke arah deteriorasi pada mental dan atau fisik. Terlalu
banyaknya kejadian dan situasi baru yang dihadapi pada satu waktu
menimbulkan keadaan stress yang berlebihan. Ketika derajat dan
jumlah perubahan tersebut melampaui kemampuan adaptasi kita, kita
akan akan mendapatkan diri kita dalam fase stress yang negatif, yaitu
suatu keadaan dimana keseimbangan mental dan fisik terganggu.
Besarnya stress yang dialami tergantung pada dua faktor yaitu:
1. Intesitas dan frekuensi perubahan
2. Kemampuan kita untuk beradaptasi.
C. Biokimia stress1,2,6
Stress fisik atau emosional mengaktivasi amygdala yang merupakan
bagian dari sistem limbik yang berhubungan dengan komponen
emosional dari otak. Respon emosional yang timbul ditahan oleh input
dari pusat yang lebih tinggi di forebrain. Respon neurologis dari
amygdala ditransmisikan dan menstimulasi respon hormonal dari
hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan hormon CRF
(corticotropin- releasing factor) yang menstimulasi hipofisis untuk
melepaskan hormon lain yaitu ACTH (adrenocorticotropic hormone)
ke dalam darah. ACTH sebagai gantinya menstimulasi kelenjar
adrenal, suatu kelenjar kecil yang berada di atas ginjal.
Kelenjar adrenal berisi dua daerah yang berbeda, bagian dalam
atau medulla yang mensekresi adrenalin (epinefrin) dan noradrenalin
(norepinefrin) dan lapisan luar atau korteks yang mensekresi
kortikosteroid mineral (aldosteron) dan glukokortikoid (kortisol).
Secara simultan, hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem
otonom untuk merangsang respon yang segera terhadap stress. Sistem
otonom sendiri diperlukan dalam menjaga keseimbangan tubuh. Sistem
otonom terbagi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem
simpatis bertanggung jawab terhadap adanya
18
STRESS
AKTIVASI AMYGDALA
RESPON NEUROLOGIS
HIPOTALAMUS
RESPON HORMONAL
CRF
STIMULASI SARAF RESPON HORMONAL
SENSORIK
ACTH
HIPOFISIS
SISTEM OTONOM
STIMULASI KEL ADRENAL
RESPON STRESS
Gambar 5. Kaskade stress
19
stimulasi atau stress. Reaksi yang timbul berupa peningkatan denyut
jantung, napas yang cepat, penurunan aktivitas gastrointestinal.
Sementara sistem parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan
istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan pernapasan,
meningkatkan aktivitas gastrointestinal. Perangsangan yang
berkelanjutan terhadap sistem simpatis menimbulkan respon stress yang
berulang-ulang dan menempatkan sistem otonom pada
ketidakseimbangan. Keseimbangan antara kedua sistem ini sangat
penting bagi kesehatan tubuh.
Dengan demikian tubuh dipersiapkan untuk melawan atau
reaksi menghindar melalui satu mekanisme rangkap: satu respon saraf,
jangka pendek, dan satu respon hormonal yang bersifat lebih lama.
V. PENGARUH STRESS PADA SIKLUS MENSTRUASI1,2,3,4,7
Berbagai macam perubahan emosi akibat suatu stressor telah dihubungkan
dengan adanya fluktuasi hormonal selama siklus menstruasi. Beberapa
penelitian menunjukkan stressor seperti meninggalkan keluarga, masuk kuliah,
bergabung dengan militer, atau memulai kerja baru mungkin berhubungan
dengan tidak datangnya menstruasi. Stressor yang membuat satu tuntutan baru
bagi suatu pekerjaan, meningkatkan panjang siklus menstruasi, jadi menunda
periode setiap bulannya. Sebagai tambahan mengenai meninggalkan keluarga
atau memulai satu pekerjaan baru, beberapa penelitian menunjukkan satu
hubungan baru meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan siklus yang
lebih panjang (Insel & Roth, 1998)1
Gangguan pada pola menstruasi ini melibatkan mekanisme regulasi
intergratif yang mempengaruhi proses biokimia dan seluler seluruh tubuh
termasuk otak dan psikologis. Pengaruh otak dalam reaksi hormonal terjadi
melalui jalur hipotalamus-hipofisis-ovarium yang meliputi multiefek dan
mekanisme kontrol umpan balik. Pada keadaan stress terjadi aktivasi pada
amygdala pada sistem limbik. Sistem ini akan menstimulasi pelepasan hormon
20
STRESS
CRH
Endorfin ACTH
Cortisol
Somato statin
TRH
T4
TSH GnRH
T3
Gambar 6. Pengaruh stress terhadap sistem neuroendokrinologi4
21
dari hipotalamus yaitu corticotropic releasing hormone (CRH). Hormon ini
secara langsung akan menghambat sekresi GnRH hipotalamus dari tempat
produksinya di nukleus arkuata. Proses ini kemungkinan terjadi melalui
penambahan sekresi opioid endogen. Peningkatan CRH akan menstimulasi
pelepasan endorfin dan adrenocorticotropic hormone (ACTH) ke dalam darah.
Endorfin sendiri diketahui merupakan opiat endogen yang peranannya terbukti
dapat mengurangi rasa nyeri. Sedangkan ACTH dirangsang oleh CRH secara
bergelombang dengan ritme diurnal. Peningkatan kadar ACTH akan
menyebabkan peningkatan pada kadar kortisol darah. Pada wanita dengan
gejala amenore hipotalamik menunjukkan keadaan hiperkortisolisme yang
disebabkan adanya peningkatan CRH dan ACTH. Hormon-hormon tersebut
secara langsung dan tidak langsung menyebabkan penurunan kadar GnRH,
dimana melalui jalan ini maka stress menyebabkan gangguan menstruasi.
Gejala klinis yang tampak terutama adalah amenore, selain itu dapat juga
berupa anovulasi, atau fase luteal yang inadekuat. Gejala klinis yang timbul ini
tergantung pada derajat penekanan pada GnRH. Gejala-gejala ini umumnya
bersifat sementara dan biasanya akan kembali normal apabila stress yang ada
bisa diatasi.
VI. MENGHADAPI STRESS DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI1,2
Studi epidemiologi baru-baru ini yang mengamati gangguan yang berhubungan
dengan stress menemukan bahwa masalah ini menjadi dilema bagi para dokter.
Lebih dari semua profesi lain, tenaga medis memiliki konsekuensi untuk
mengalami peningkatan ketegangan dan tekanan dalam populasi umumnya.
Lebih kurang 50 – 75% semua kunjungan ke dokter secara langsung atau tak
langsung berhubungan dengan stress. Meskipun pengobatan konvensional
memainkan peranan penting dalam penatalaksanaan kelainan yang
berhubungan dengan stress, tidak selalu sesuai dengan situasi saat itu, sebagai
tambahan memerlukan pendekatan edukasional dan preventif.
Dengan kewajiban terhadap koreksi patologi dan kurangnya penekanan
pada tehnik pencegahan, pengobatan konvensional memainkan peranan
22
paliatif. Lebih jauh lagi, memerlukan waktu untuk mendiagnosis masalah-
masalah gangguan yang berhubungan dengan stress dan tambahan waktu untuk
mengatasi masalah ini dengan konseling. Para dokter tampaknya telah
kelebihan pekerjaan dan kekurangan waktu untuk masalah ini. Apabila terapi
obat dan nasehat-nasehat medis digabungkan dengan sistem suportif lainnya,
kita bukan hanya akan menyingkirkan gejala dengan segera tetapi akan
melangkah lebih jauh untuk mengatasi stress yang mendasarinya. Dalam
masalah ini, dukungan terhadap individu itu sendiri juga merupakan hal yang
penting. Sesungguhnya, ada beberapa kondisi medis dimana tanggungjawab
pencegahan dan pengobatan adalah sangat tergantung pada individu tersebut.
Pengetahuan merupakan hal mendasar untuk mengefektifkan
penanganan stress pada individu. Dengan bantuan dan dukungan pada sisi
pencegahan dan edukasional, usaha dan kerja yang dilakukan dokter untuk
menahan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan stress akan lebih efektif
dan dihargai.
Orang yang berada dalam keadaan stress menemukan kesulitan untuk
relax dan seharusnya dipikirkan untuk dilakukan latihan relaksasi khusus.
Latihan relaksasi merupakan aspek paling penting dalam menangani seseorang
dengan stress. Ada banyak cara relaksasi seperti membaca, menyanyi,
mendengarkan musik, atau hanya beristirahat saja. Bagi orang yang merasa
tidak diperhatikan sebaiknya diberi semangat untuk melakukan beberapa
pekerjaan yang berguna, meskipun terbatas. Mereka juga sebaiknya berbicara
dengan orang yang lebih percaya diri dan optimis dalam lingkungannya. Cara-
cara ini merupakan cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi stress. Secara
umum orang yang mengalami stress memerlukan dukungan untuk mengubah
perilaku mereka dengan tujuan untuk:
- mengembalikan pola tidur yang normal di malam hari, dan
mengusahakan aktivitas yang berguna dan menyenangkan setiap hari
- menemukan cara yang positif untuk mengatasi stress
- menghentikan hal yang tidak menyenangkan
23
Secara garis besar solusi dalam menghadapi stress dapat dilakukan dengan
beberapa pilihan sebagai berikut:
1. Diagnosis personal dari stress
2. Pengetahuan tentang stress
3. Berpikir positif dan sikap yang positif
4. Manajemen perencanaan, organisasi dan waktu
5. Aktivitas fisik dan nutrisi
6. Program relaksasi
7. Aktivitas otak kiri dan kanan yang seimbang
8. Toleransi/fleksibilitas/adaptaabilitas
9. Enthusiasm
10. Rasa humor
11. Kebijaksanaan
12. Siraman rohani.
VII. RINGKASAN
Stress merupakan keadaan yang tidak dihindarkan, setiap orang akan dan
pernah mengalaminya. Respon yang timbul akibat stress sangat tergantung
pada kemampuan adaptasi seseorang dan besarnya stressor. Stress akan
berpengaruh negatif apabila kemampuan adaptasinya kurang atau stressor yang
ada terlalu besar atau melampaui batas kemampuan adaptasinya.
Pengaruh stress pada siklus menstruasi melibatkan sistem
neuroendokrinologi terutama melalui aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium.
Akibat pengaruh stress, pada akhirnya akan menyebabkan penurunan pada
kadar GnRH dalam darah. Melalui jalan inilah terjadi gangguan pada pola
menstruasi. Gangguan yang sering ditemukan adalah amenore, dimana pada
wanita dengan amenore ditemukan adanya hiperkortisol dalam darah.
Penanganan stress sampai saat ini masih bersifat konvensional dimana
peranan obat-obatan masih sangat besar. Dimasa mendatang, penanganan
stress hendaknya juga dilakukan melalui pendekatan bio-psiko-sosial.
24
VIII. RUJUKAN 1. Michal M. Stress. Editiones Roche 1991.
2. Suyono B. Stress sebagai Salah satu Sebab Gangguan Menstruasi. Dalam: Seminar
kelainan menstruasi. Bag/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNDIP/RSUP Dr.
Kariadi; 11 Mei 2002; Semarang 2002.
3. Yen SSC. The human menstrual cycle: Neuroendocrine regulation. In: Yen SSC,
Jaffe RB, Reproductive endocrinology. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders; 1991. p.
273-301
4. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Cinical gynecologic endocrinology and infertility.
6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.
5. Greenspan FS, Baxter JD. Basic & clinical endocrinology. 4th ed. Philadelphia: WB
Saunders; 1992.
6. Lubis DB. Pengantar Psikiatri Klinik. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya; 1989.
7. Beck LE, Gervitz R, Mortola J. Psychosicial stress and symptom severity in
premenstrual synd. Psychosom Med 1990; 52: 536.