Surveilans di Puskesmas
(Diskusi)
Disusun Oleh :
Ayu Zahera Adnan (0918011035)
Elis Sri Alawiyah (0918011041)
Nora Ramkita (0918011013)
Rizqa Atina Mira H. (0918011134)
Raden Dicky Wirawan L. (0918011070)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan nasional bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Untuk tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut dibutuhkan antara lain
tersedianya sumber daya manusia yang tangguh, mandiri serta berkualitas. Data United
Nation Development Program (UNDP) menunjukkan Indonesia berada di urutan ke 106 dari
176 negara dengan tingkat pendidikan, pendapatan serta kesehatan penduduk Indonesia yang
memang belum memuaskan.
Menyadari bahwa tercapainya tujuan pembangunan nasional merupakan kehendak
dari seluruh rakyat Indonesia, dan dalam rangka menghadapi makin ketatnya persaingan
bebas pada era globalisasi, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan.
Dalam hal ini peranan keberhasilan pembangunan kesehatan sangat menentukan.
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang
pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk
mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal. Namun, masalah pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini
semakin kompleks. Penyakit infeksi dan menular masih memerlukan perhatian besar dan
sementara itu telah terjadi peningkatan penyakit-penyakit tidak menular seperti penyakit
karena perilaku tidak sehat serta penyakit degeneratif.
Untuk mewujudkan visi Indonesia sehat dan tercapainya tujuan nasional
pembangunan kesehatan serta terwujudnya tujuan pembangunan kesehatan daerah yang
spesifik dan lokal yang memerlukan penerapan konsep pengambilan keputusan berdasarkan
fakta, maka diselenggarakan sistem surveilans epidemiologi kesehatan yang handal, sehingga
para manajer kesehatan dapat mengambil keputusan program yang berhasil guna (efektif)
serta berdaya guna (efisien) sesuai dengan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan pemahaman dan pelaksanaan yang
konsisten pada pelaksanaan program surveilans, terutama pada tingkat pelayanan kesehatan
yang terdekat dengan masyarakat, Puskesmas, agar dapat meningkatkan derajat kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas hingga dan masyarakat
Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Surveillans adalah proses pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap
semua aspek penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu
masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. Surveilans
kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus-
menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-
pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan
lainnya (DCP2, 2008).
Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit,
mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen,
vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada
pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian
penyakit (Last, 2001). Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans
kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab
menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan
masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal sebagai sains inti
kesehatan masyarakat (core science of public health).
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan
secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten
atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-
perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati
atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan
pengendalian penyakit dengan tepat.
B. Tujuan
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:
(1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
(2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak;
(3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada
populasi;
(4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
(5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
(6) Mengidentifikasi kebutuhan riset.
Berikut ini merupakan contoh penggunaan surveilans untuk mendeteksi outbreak
disentri. Grafik yang menghubungkan periode waktu pada sumbu X dengan insidensi
kasus penyakit pada sumbu Y dapat digunakan untuk memonitor dan mendeteksi
outbreak. Kecurigaan outbreak terjadi pada kuartal ke 4 tahun 2008, ketika insidensi
mencapai 3 kali rata-rata per kuartal.
Surveilans dapat juga digunakan untuk memantau efektivitas program kesehatan.
Contoh penggunaan surveilans untuk memonitor performa dan efektivitas program
pengendalian TB dengan statistik deskriptif sederhana surveilans mampu memberikan
informasi tentang kinerja program TB yang meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah
kasus TB yang dideteksi, ketuntasan pengobatan kasus, maupun kesembuhan kasus.
Perhatikan pula peran penting data time-series dalam analisis data surveilans yang
dikumpulkan dari waktu ke waktu dengan interval sama.
Menurut McNabb et al (2002), surveilans berperan dalam mendeteksi KLB, letusan,
wabah (epidemi), memonitor kecenderungan penyakit endemic, evaluasi intervensi, memonitor
kemajuan pengendalian, memonitor kinerja program, prediksi KLB, letusan, wabah (epidemi),
dan memperkirakan dampak masa datang dari penyakit (Last J.M, 2001).
C. Komponen Surveilans
Komponen-komponen kegiatan surveilans menurut Depkes. RI, (2004b) seperti dibawah
ini:
1) Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat
dan ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan
data epidemiologi adalah: untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai
resiko terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi;
untuk menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk
memastikan keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit;
untuk mencatat penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu
wabah, sumbernya, cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya.
2) Kompilasi, analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya
dikompilasi, dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu. Analisa dapat berupa
teks tabel, grafik dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang
akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana
menentukan tindakan dalam menghadapi masalah yang baru.
3) Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi
data digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan
disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada atasan atau kepada
lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut.
Komponen-komponen dalam pelaksanaan sistem surveilans menurut WHO (1999)
adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan komponen yang sangat penting karena kualitas
informasi yang diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas data yang
dikumpulkan. Data yang dikumpulkan harus jelas, tepat dan ada hubungannya
dengan penyakit yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan
surveilans yang baik pengumpulan data harus dilaksanakan secara teratur dan
terus-menerus.
Tujuan pengumpulan data:
1. Menentukan kelompok atau golongan populasi yang mempunyai resiko
terbesar terkena penyakit seperti jenis kelamin, umur, suku, pekerjaan dan
lain-lain.
2. Menentukan jenis agent atau penyebab penyakit dan karakteristiknya.
3. Menentukan reservoir infeksinya
4. Memastikan keadaan yang menyebabkan kelangsungan transmisi penyakit.
5. Mencatat kejadian penyakit, terutama pada kejadian luar biasa.
Sumber data yang dikumpulkan barlainan untuk tiap jenis penyakit. Sumber data
sistem surveilans terdiri dari 10 elemen yaitu:
1) Pencatatan kematian
2) Laporan penyakit, merupakan elemen yang terpenting dalam surveilans. Data
yang diperlukan : nama penderita, umur, jenis kelamin, alamat, diagnosis dan
tanggal mulai sakit.
3) Laporan kejadian luar biasa atau wabah.
4) Hasil pemeriksaan laboratorium.
5) Penyelidikan peristiwa penyakit menular.
6) Penyidikan kejadian luar biasa atau wabah.
7) Survey : memerlukan tenaga, biaya dan fasilitas.
8) Penyelidikan tentang distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan.
9) Data penggunaan obat-obatan, serum dan vaksin.
10) Data kependudukan dan lingkungan.
b. Pengolahan, analisa dan interpretasi data
Data yang terkumpul segera diolah, dianalisa dan sekaligus diinterpretasikan
berdasarkan waktu, tempat dan orang, kemudian disajikan dalam bentuk teks,
tabel, spot map dan lain-lain agar bisa menjawab masalah-masalah yang ada,
sehingga segera dilakukan tindakan yang cepat dan tepat. Berdasarkan hasil analisa
dan interpretasi data, dibuat tanggapan dan saran-saran dalam menentukan
tindakan pemecahan masalah yang ada.
c. Penyebarluasan Informasi dan umpan balik.
Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh
unit kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk
disebarkluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi lebih
lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit kesehatan
pemberi laporan.
Umpan balik atau pengiriman informasi kembali kepada sumber-sumber
data (pelapor) mengenai arti data yang telah diberikan dan kegunaannya setelah
diolah, merupakan suatu tindakan yang penting, selain tindakan follow up.
D. Jenis-jenis Surveilans
Dikenal beberapa jenis surveilans:
(1) Surveilans individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes,
cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan
dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang
dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang
sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi
seandainya terjadi infeksi (Last JM, 2001).
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan
SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial.
Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit
menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak
terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit.
Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang
orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos
tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah
legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan
efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan
masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
(2) Surveilans penyakit;
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan
kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah
penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya
didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans
tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak
sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah
kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung
paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang
masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masing-masing, dan
memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi
(3) Surveilans sindromik;
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing
penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan
individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis.
Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola
perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari
aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun
nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-
penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik
dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan
skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit
tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati.
Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai
influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan
dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah
berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel
merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008).
(4) Surveilans Berbasis Laboratorium;
Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor
penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan
seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi
strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera
dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-
klinik (DCP2, 2008)
(5) Surveilans terpadu;
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans di suatu wilayah yuridiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota)
sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur,
proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang
diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans
terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit
tertentu (WHO, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (a) Memandang surveilans sebagai
pelayanan bersama (common services); (b) Menggunakan pendekatan solusi
majemuk; (c) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (d) Melakukan
sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data,
tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi,
penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (e) Mendekatkan
fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan
pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda
memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002)
(6) Surveilans kesehatan masyarakat global.
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan
binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.
Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan
negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global
(pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh
dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi
internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi
batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global,
baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun
penyakit-penyakit yang baru muncul (new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu
burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-
aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi
(DCP2, 2008).
E. Manajemen Surveilans
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen :
(1) Fungsi inti;
Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah
intervensi kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan,
pelaporan data, analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-
balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons segera
(epidemic type response) dan respons terencana (management type response).
(2) Fungsi pendukung.
Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan
sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi
(McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu
sifat dari masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem
surveilans. Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut,
misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan
dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu sistem surveilans yang dapat memberikan
informasi peringatan dini dari klinik dan laboratorium.
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan
merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu
memonitor perubahan-perubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai
contoh, sistem surveilans yang menilai dampai program pengendalian tuberkulosis
mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung
prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari survei rumah tangga.
F. Pendekatan Surveilans
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis:
1. Surveilans pasif.
Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas
pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit
infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan
analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah
kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan
cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya
rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi
problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.
2. Surveilans aktif.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan
berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis
lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus
baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi
laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans
pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan
tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal.
Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada
surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community
surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari
komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus
bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader
kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas
kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih
menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi
laboratorium. Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu.
G. Karakteristik Surveilans Efektif
1. Kecepatan
Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)
memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi.
Investigasi lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi tertentu dengan lebih
mendalam.
Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara: (1)
Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi
“lag” (beda waktu) yang terlalu panjang antara laporan dan tanggapan; (2)
Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu (notifiable
diseases); (3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan; (4)
Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil
surveilans; (5) Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah
dan segera.
2. Akurasi
Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin
terjadi hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh
mana terjadi hasil positif palsu. Pada umumnya laporan kasus dari masyarakat awam
menghasilkan “false alarm” (peringatan palsu). Karena itu sistem surveilans perlu
mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah
memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak.
Akurasi surveilans dipengarui beberapa faktor : (1) kemampuan petugas; (2)
infrastruktur laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para
ahli madya epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang teknisi
laboratorium dilatih tentang prinsip epidemiologi, sehingga kedua pihak memahami
kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan laboratorium standar di
setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus.
3. Standar, seragam, reliabel, kontinu
Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam sistem
surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. Sistem surveilans yang efektif
mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten atau sporadis,
tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin
data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali
4. Representatif dan lengkap
Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya terjadi pada
populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap.
Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika
penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu
petugas surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan
kesehatan lainnya.
5. Sederhana, fleksibel, dan akseptabel
Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis, baik dalam organisasi,
struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan terfokus. Format
pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans
yang buruk biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang
sasaran lama yang sudah tidak berguna, dengan akibat membebani pengumpul data.
Sistem surveilans harus dapat diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas
terkait surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk memelihara
komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada setiap
level operasi
6. Penggunaan (uptake)
Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans
digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku
surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan
masalah di banyak negara berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara
mengatasi problem ini adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara
peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan (Kasjono, 2009).
BAB III
ANALISIS KASUS
Derajat kesehatan suatu negara, propinsi atau kota/kabupaten dapat diukur melalui angka
mortalitas, angka morbiditas, ataupun status gizi masyarakat di wilayah tersebut. Untuk
mendapatkan angka-angka tersebut demi mendapatkan informasi tepat waktu tentang
masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan
dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif, Puskesmas rawat inap
Kota Karang melakukan surveilans yang salah satunya pada penyakit-penyakit menular yang
terjadi di wilayah kerja Puskesmas Kota Karang.
1. Malaria
Tahun 2009 kasus malaria klinis sebanyak 618 kasus terdiri dari Kelurahan
Kota Karang sebanya 554 kasus, Kelurahan Negeri Olok Gading sebanyak 21 kasus
dan Kelurahan Kuripan sebayak 43 kasus. Sedangkan pada tahun 2010 kasus malaria
klinis sebanyak 864 kasus terdiri dari 660 kasus dari Kelurahan Kota Karang, 87
kasus dari Kelurahan N. Olok Gading dan 117 kasus dari Kelurahan Kuripan. Pada
tahun 2011 malaria klinis sebanyak 800 kasus.
2009 2010 20110
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
618
864800
TREND PENYAKIT MALARIA PUSKESMAS KOTA KARANG TAHUN
2009 - 2011
Jumlah
Pendataan didapatkan secara pasif melalui data pasien yang berkunjung pada
puskesmas. Diagnosa malaria ditegakkan secara klinis, tidak melalui pemeriksaan
laboratorium.
Upaya pencegahan yang telah dilakukan adalah penyuluhan untuk pemakaian
kelambu berinsektisida kepada seluruh warga.
2. Demam Berdarah Dengue
Pada tahun 2009 kasus DBD ditemukan sebanyak 2 kasus terjadi di Kelurahan
Kota Karang pada bulan Januari dan bulan Mei. Sedangkan pada tahun 2010 kasus
DBD ditemukan sebanyak 6 kasus terjadi di kelurahan Kuripan sebanyak 3 kasus,
Kelurahan Kota Karang 1 kasus, Kelurahan Negeri Olok Gading 2 kasus. Kasus
meninggal dunia 1 kasus di kelurahan Kuripan. Pada tahun 2011 kasus DBD
ditemukan sebanyak 15 kasus dan 1 orang meninggal.
2009 2010 20110
2
4
6
8
10
12
14
16
2
6
15
01 1
TREND PENYAKIT DBD PUSKESMAS KOTA KARANG TAHUN 2009 - 2011
KasusMeninggal
Pendataan didapatkan secara pasif melalui data pasien yang berkunjung pada
puskesmas. Diagnosa malaria ditegakkan secara klinis, dan melalui pemeriksaan
laboratorium.
Upaya penanggulangan yang telah dilakukan adalah Pemberantasan Sarang
Nyamuk dengan melaksanakan : Pemantauan Jentik Berkala yang dilaksanakan 3
bulan sekali oleh kader jumantik, Penyemprotan/fogging, dan penyuluhan tentang
PHBS yaitu pola hidup bersih dan sehat.
3. Diare
Pada tahun 2009 jumlah penderita diare pada semua umur adalah 1458 orang,
sedangkan pada tahun 2010 jumlah penderita diare pada semua umur adalah 1710
orang. Pada tahun 2011 terjadi penurunan kasus jumlah penderita diare pada semua
umur sebanyak 1221 orang.
2009 2010 20110
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
1458
1710
1221
TREND PENYAKIT DIARE PUSKESMAS KOTA KARANG TAHUN 2009 - 2011
Kasus
Pendataan didapatkan secara pasif melalui data pasien yang berkunjung pada
puskesmas. Diagnosa malaria ditegakkan secara klinis, dan tidak melalui pemeriksaan
laboratorium.
Upaya yang telah dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan pada ibu-
ibu di posyandu, puskeskel maupun klinik sanitasi di Puskesmas Rawat Inap Kota
Karang.
4. Campak
Pada tahun 2009 penyakit campak ditemukan sebanyak 5 kasus, sedangkan
tahun 2010 ditemukan sebanyak 3 kasus dan pada tahun 2011 tidak ditemukan adanya
kasus penyakit campak.
2009 2010 20110
1
2
3
4
5
6
5
3
0
TREND PENYAKIT CAMPAK PUSKESMAS KOTA KARANG TAHUN
2009 - 2011
Kasus
5. TB paru
Jumlah kasus TB paru pada tahun 2009 pada 4 kelurahan wilayah kerja
Puskesmas Kota Karang adalah 43 orang dengan jumlah kasus yang sembuh 34 orang.
Pada tahun 2010 jumlah kasus TB paru meningkat sebanyak 56 orang, dengan jumlah
kasus sembuh 37 orang. Sedangkan tahun 2011 jumlah kasus TB paru sebanyak
64orag dengan jumlah kasus sembuh sebanyak 32 orang.
2009 2010 20110
10
20
30
40
50
60
70
43
56
64
3437
32
TREND PENYAKIT TB PARU PUSKESMAS KOTA KARANG TAHUN
2009 - 2011
JumlahSembuh
Pendataan didapatkan secara aktif melalui home visite dimana petugas
puskesmas melalui kader-kader kesehatan melakukan kunjungan ke rumah-rumah
warga. Diagnosa TB paru ditegakkan secara klinis, dan pemeriksaan laboratorium.
Upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh Puskesmas Kota Karang
yaitu dengan pemantauan penderita TB dengan home visite, dan pemeriksaan pada
kecurigaan kasus TB pada orang-orang terdekat penderita TB.
6. ISPA
Keseluruhan kasus ISPA pada tahun 2009 ada 1878 kasus, sedangkan pada
tahun 2010 ada sebanyak 1653 kasus, dan pada tahun 2011 kasus ISPA seluruhnya
ada 1885 kasus. Kasus pneumonia pada tahun 2009 ada 170 orang, sedangkan pada
tahun 2010 ada 145 orang, dan kasus pneumonia pada tahun 2011 sebanyak 101
kasus.
2009 2010 20110
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000 1878
1653
1885
70 45 101
TREND PENYAKIT ISPA/PNEUMONIA PUSKESMAS KOTA KARANG TAHUN 2009 -
2011
Kasus ISPAKasus Pneumonia
Pendataan didapatkan secara pasif melalui data pasien yang berkunjung pada
puskesmas. Diagnosa malaria ditegakkan secara klinis, dan tidak melalui pemeriksaan
laboratorium.
Upaya yang telah dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan pada ibu-
ibu di posyandu, puskeskel maupun klinik sanitasi di Puskesmas Rawat Inap Kota
Karang.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Surveillans adalah proses pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap
semua aspek penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu
masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan.
2. Surveilans bertujuan umum memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
3. Komponen Surveilans terdiri atas pengumpulan data; pengolahan, analisa, dan
interpretasi data; dan penyebarluasan serta umpan balik
4. Surveilans yang efektif memiliki karakteristik cepat, akurat, ttandar, seragam, reliabel,
kontinu, representatif dan lengkap, sederhana, fleksibel, dan akseptabel, serta
memiliki daya guna tinggi.
5. Puskesmas rawat inap Kota Karang melaksanakan surveilans, khususnya pada
penyakit-penyakit menular yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Kota Karang.
DAFTAR PUSTAKA
Bensimon CM, Upshur REG . 2007. Evidence and effectiveness in decisionmaking for
quarantine. Am J Public Health.
DCP2. 2008. Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease
Control Priority Project.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004b). Kepmenkes tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan Penyakit Menular dan
Tidak Menular Terpadu. Depkes RI.
Kasjono, Heru S. 2009. Intisari Epidemiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Last, JM. 2001. A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA,
Gesteland PH, Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller RD,
Grannis S. 2004. Implementing syndromic surveillance: A practical guide informed by
the early experience. J Am Med Inform Assoc.
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V,
Rodier G. 2002. Conceptual framework of public health surveillance and action and its
application in health sector reform. BMC Public Health.
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard
K. 2006. Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing
data. Ann Fam Med 2006;4:351-358
WHO. 1999. WHO Recommended Surveillance Standards, The united Kingdom of Great
Britain
WHO. 2002. An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly
epidemiological record.
Recommended