Tinjauan Ekonomi dan Keuangan
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia
Volume 2 | Nomor 10 | Oktober 2012 | ekon.go.id
Menata Energi bagi
Pertumbuhan Ekonomi
Arah dan Kebijakan Energi Nasional
Subsidi BBM dan Alternatif Solusi
ISSN 2088-3157 Pertumbuhan Ekonomi dan Energi Listrik |
Aglomerasi Manufaktur | Realisasi Penyaluran KUR |
Stabilisasi Harga Pangan Pokok | Ketenagakerjaan
KETENAGAKERJAAN 25
KREDIT USAHA RAKYAT (KUR)
DAN UKM 28
Realisasi Penyaluran KUR
September 2012
KOORDINASI KEBIJAKAN
EKONOMI 2
Stabilisasi Harga Pangan Pokok
EKONOMI INTERNASIONAL 4
Meneropong Energi Minyak
Tahun 2012-2013
EKONOMI DOMESTIK 6
Inflasi dan Ekspor & Impor
EKONOMI DAERAH 9
Aglomerasi Manufaktur
Pembina : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Pengarah : Sekretaris Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Koordinator : Bobby
Hamzar Rafinus Editor : Edi Prio Pambudi, M. Edy Yusuf Analis : Rista Amallia, Windy Pradipta,
Sandra Kurniawati, Fauzia Suryani Puteri, Masyitha Mutiara, Fitria Faradila, Insani Sukandar,
Alexcius Winang, Andi Distribusi : Chandra Mercury Kontributor : Gede Edy Prasetya, Tim
Pemantauan dan Pengendalian Inflasi, Komite Kebijakan KUR
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat diunduh pada situs: www.ekon.go.id
OPINI PAKAR 20
Dr. Ir. Arsegianto, M.Sc,
Pengamat Perminyakan ITB
FISKAL DAN REGULASI
EKONOMI 22
Subsidi Energi dalam
RAPBN 2013
MP3EI 23
Infrastruktur Energi
KEUANGAN 26
Penerapan PSAK 62
ENERGI NASIONAL 11
Arah & Kebijakan Energi Nasional |
Menakar Kebutuhan dan Kapasitas
Energi Masa Depan |
Subsidi BBM dan Altenatif Solusi |
Pertumbuhan Ekonomi dan Energi
Listrik |
Pengantar Redaksi
Bobby H. Rafinus
1
Oktober merupakan bulan yang penting dalam
perjalanan negara Republik Indonesia setelah
bulan Agustus. Ada tiga kejadian yang
senantiasa diperingati setiap tahun, yaitu hari
Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1965, hari
lahirnya Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) 5 Oktober 1966, dan Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928. Perayaan tersebut
seakan melanjutkan pesan dari generasi
terdahulu kepada generasi kini untuk menjaga
perjalanan negara yang telah diperjuangkan
melalui episode kesatuan, kemerdekaan, dan
keteguhan pada nilai-nilai dasar pembentukan
negara.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat
merupakan medan perjuangan generasi abad ke
21 . Kesejahteraan ditentukan oleh seberapa
kuat daya saing suatu negara, demikian
menurut Michael Porter (2004). Menurutnya
kebijakan makro ekonomi yang baik dan
stabilitas lembaga politik dan hukum memang
diperlukan namun tidak memadai untuk
memastikan naiknya kesejahteraan ekonomi.
Daya saing bertumpu pada fundamental
ekonomi mikro, yaitu kemampuan operasi dan
strategi perusahaan, serta kualitas lingkungan
persaingan usaha, yang selanjutnya tercermin
dari tingkat produktivitasnya. Salah satu
prasyarat penting bagi peningkatan
produktivitas perusahaan adalah ketersediaan
energi yang terjangkau secara ekonomis.
Keterbatasan energi yang saat ini dialami oleh
India serta kesungguhan Amerika Serikat, Cina
dan banyak negara lain dalam mempersiapkan
sediaan energi menjadi indikasi tersebut.
TEK kali ini fokus pada ketersediaan energi
setelah memperhatikan semakin ketatnya
persaingan antar-negara dalam
memperolehnya saat ini maupun masa depan.
Pergerakan harga minyak bumi yang dinamis
dan begitu luas pengaruh yang ditimbulkannya
mencerminkan kondisi persaingan tersebut.
Prof. Rinaldy dari Dewan Energi Nasional
mengingatkan pentingnya berfikir „starting
from the end‟ dalam penyediaan energi.
Pengembangan energi terbarukan, seperti
matahari, air, dan biofuel, yang potensinya
sangat besar di tanah air, disarankan menjadi
prioritas menghadapi harga bahan bakar fosil
yang semakin mahal.
Kelalaian kita dalam meletakkan prioritas
tersebut antara lain tercermin dari temuan studi
Michael T. Rock (Juni, 2012) berjudul „Indonesia:
learning from China’s industrial saving energy?‟.
Ada empat hal yang penulis sarankan untuk
Indonesia dan negara lain pelajari dari
pelaksanaan kebijakan pengurangan emisi CO2
di China, yaitu: a) mendorong penggunaan
semua energi pada harga keekonomiannya, b)
mensyaratkan industri untuk mengurangi
intensitas konsumsi energi, c) membuka
kesempatan investasi dan perdagangan yang
luas bagi investor asing serta berkompetisi
dengan usaha domestik sehingga mendorong
kemajuan teknologi perusahaan setempat, dan
d) menerapkan kebijakan penguasaan teknologi
lintas sektor yang agresif. Keempat saran
tersebut memang tidak mudah, mungkin itulah
medan perjuangan yang setara dengan yang
dihadapi generasi terdahulu. Ayo maju tak
gentar!
Menjelang Hari Raya Idul Adha 1433 H, diperkirakan harga pangan pokok
akan stabil
ada bulan September
2012, bahan makanan
cenderung mengalami
penurunan harga. Penurunan
harga bahan makanan
merupakan koreksi pasca hari
raya Idul Fitri. Secara umum,
bahan makanan mengalami
deflasi sebesar 3,65%
dibandingkan bulan lalu (mtm)
dan inflasi sebesar 9,03%
dibandingkan bulan yang
sama di tahun lalu (yoy). Oleh
karena itu, dari inflasi bulan
September yang sebesar
0,01% (mtm), bahan makanan
menyumbang deflasi sebesar
0,23%.
Komponen bahan makanan
yang mengalami deflasi
tertinggi adalah cabe merah.
Harga cabe merah menurun
sebesar 19,59% (mtm) akibat
terlambatnya masa panen di
daerah sentra produksi.
Sebaliknya, komponen bahan
makanan yang mengalami
inflasi tertinggi adalah kedelai
sebesar 0,59% (mtm).
Kekeringan di negara
produsen, Amerika Serikat,
menyebabkan penurunan
produksi kedelai yang
mendorong kenaikan harga
kedelai di pasar internasional.
Harga pangan pokok
menjelang hari raya Idul Adha
diperkirakan akan relatif stabil.
Berdasarkan kondisi tahun-
tahun sebelumnya, mendekati
hari raya Idul Adha harga
pangan pokok cenderung
menurun. Pasokan bahan
makanan pokok yang
Fitria Faradila
P
Koordinasi Kebijakan Ekonomi
2
mencukupi akan mendorong
harga menjadi lebih stabil.
Sementara, produksi
komoditas kedelai belum
mencukupi kebutuhan.
Berdasarkan prognosa neraca
kebutuhan dan ketersediaan
BKP, kedelai akan mengalami
defisit produksi sebesar 712,6
ribu ton pada akhir tahun
2012. Penyebab utama yang
defisit produksi kedelai adalah
keterlambatan masa panen
dan dapat berpotensi memicu
kenaikan harga.
Untuk menjaga harga kedelai
di pasar domestik, pemerintah
melalui Kementerian
Perdagangan akan melakukan
impor mengikuti beberapa
ketentuan sebagai berikut: (i)
Bulog dan BUMN lain
melakukan impor harus
melalui Importir Terdaftar (IT)
(ii) Perusahaan swasta
melakukan impor harus
melalui IT dan memperoleh
surat persetujuan impor
dengan lampiran bukti serap
10% dari total yang diimpor.
Ketentuan impor kedelai ini
akan dibahas lebih lanjut pada
Inpres.
Hingga akhir tahun ini
pemerintah juga akan
melakukan impor beras
sebesar 1 juta ton untuk
mengamankan pasokan
hingga tahun 2013 dan
mencapai target surplus beras
10 juta ton pada tahun 2014.
Namun, masih terdapat
kendala untuk mendukung
program surplus beras 10 juta
ton yaitu masalah lahan. Untuk
itu, BPN akan berusaha
menyelesaikan masalah lahan,
khususnya pemanfaatan lahan
yang terlantar.
Upaya lain untuk menjaga
inflasi dengan memperlancar
distribusi pasokan bahan
pangan pokok. Kementerian
Perhubungan akan
menyiapkan fasilitas prioritas
sandar di pelabuhan khusus
untuk bahan pangan pokok.
Dengan pemerataan distribusi,
pemerintah mengharapkan
terjadi penurunan kesenjangan
harga dan tersedia pasokan
yang cukup antar daerah di
Indonesia.
Untuk melakukan stabilisasi
harga, pemerintah akan
menggunakan dana cadangan
ketahanan pangan.
Penggunaan dana ini
diarahkan antara lain untuk: (i)
mendukung program surplus
beras 10 juta ton pada tahun
2014; (ii) melakukan stabilisasi
harga kedelai; (iii) mengatasi
masalah tunggakan Kredit
Usaha Tani (KUT); dan (iv)
melakukan revitalisasi peran
Bulog.
3
emerintah dalam Nota Keuangan
RAPBN 2013 menetapkan asumsi harga
minyak ICP USD 100/barel. Harga
minyak dalam negeri sangat
dipengaruhi oleh tren pergerakan harga minyak
di pasar internasional. Meskipun kini harga
minyak di pasar internasional sangat dipengaruhi
oleh sentimen pasar, pergerakan harga minyak
juga tidak terlepas dari faktor fundamental
permintaan dan penawaran.
Selama tahun 2012, sisi suplai minyak banyak
dipengaruhi perkembangan isu geopolitik. Mulai
dari demokratisasi di beberapa negara Kawasan
Timur Tengah yang mempengaruhi kelancaran
produksi minyak di negara tersebut. Isu utama
pada sisi suplai terkait dengan pengenaan sanksi
dari negara-negara barat atas dugaan program
nuklir Iran, salah satu negara pemasok minyak
dunia. Hingga yang terkini konflik antara
anggota NATO, Turki dengan Syria yang dinilai
sekutu Rusia. Berbagai isu tersebut
mempengaruhi ekspektasi pasar terhadap
pasokan minyak di pasar internasional.
Pada kenyataannya, berdasarkan catatan
Lembaga Energi Internasional (EIA) selama
triwulan II-2012 pasokan minyak dunia tumbuh
3,7% (yoy) lebih tinggi dari triwulan sebelumnya
2,7% (yoy). Laju pertumbuhan tersebut seiring
dengan pertumbuhan produksi baik di negara
OPEC maupun non-OPEC khususnya kawasan
Amerika Utara. Meskipun sejak memasuki
semester II-2012 pertumbuhan tersebut
diperkirakan melambat.
Pada sisi permintaan, selama tahun 2012
permintaan minyak dipengaruhi oleh
perekonomian negara-negara maju yang masih
berjuang untuk pulih. Sehingga berdasarkan EIA,
permintaan minyak cenderung datar selama
triwulan I-2012, yaitu tumbuh 0,5% (yoy).
Meskipun demikian, permintaan tercatat
merangkak naik pada triwulan selanjutnya sekitar
1,5% (yoy) seiring dengan pertumbuhan
permintaan dari negara-negara pusat
pertumbuhan ekonomi baru di Asia khususnya
Cina.
Rista Amallia
P
Seiring dengan proyeksi permintaan yang
meningkat, IMF memperkirakan harga rata-rata
minyak mencapai USD106,18/barel pada tahun
2012 dan USD105,1/barel pada tahun 2013.
Ekonomi Internasional
4
EIA memperkirakan selama tahun 2012
permintaan energi akan tumbuh sekitar 0,9%
(yoy) yaitu dari 89,8 juta barel/hari dari 88,9 juta
barel/ hari. Sedangkan seiring dengan pemulihan
ekonomi dunia yang
diperkirakan
tumbuh 3,3%-3,6%
(yoy) selama tahun
2012-2013,
permintaan energi
diperkirakan akan
terus meningkat
hingga mencapai
90,6 barel/hari pada
tahun 2013.
Selama periode
2010-2013
pertumbuhan permintaan minyak dunia terutama
didorong oleh permintaan dari negara-negara
non-OPEC yaitu dari 41,1 juta barel/hari hingga
44,7 juta barel/hari. Sebaliknya permintaan dari
negara-negara OPEC menurun dari 46,9 juta
barel/hari hingga 45,9 juta barel/hari.
Berbagai isu sisi penawaran dan permintaan
minyak dunia mempengaruhi pergerakan harga
minyak selama tahun 2012. Harga rata-rata
minyak (Brent, WTI, dan Dubai) yang berdasarkan
catatan IMF sempat menurun tajam hingga USD
61,78/barel pada puncak krisis global tahun 2009
dari level USD 97,04/barel
pada tahun sebelumnya terus
meningkat hingga
USD104,01/barel pada tahun
2011.
Pada September 2012,
berdasarkan data EIA harga
rata-rata minyak Brent USD
113,03/barel dan WTI USD
94,56/barel. Seiring dengan
proyeksi permintaan yang
meningkat, IMF
memperkirakan harga rata-
rata minyak mencapai USD 106,18/barel pada
tahun 2012 dan USD105,1/barel pada tahun
2013. Kenaikan harga minyak di pasar
internasional diharapkan masih terkendali dan
tidak mendorong kenaikan harga minyak ICP di
atas asumsi pemerintah yang dapat
menyebabkan beban APBN 2013 membengkak.
5
nflasi bulan September
2012 tercatat sebesar
0,01% dibandingkan
bulan Agustus 2012 (mtm)
dan 4,31% dibandingkan
bulan September 2011 (yoy).
Nilai ini lebih rendah dari
tingkat inflasi bulan Agustus
2012 yang mencapai 0,95%
dibandingkan bulan Juli
2012 (mtm) dan 4,58%
dibandingkan bulan Agustus
2011 (yoy). Penurunan ini
terutama didorong oleh
menurunnya tekanan inflasi
inti, koreksi harga pada
kelompok volatile food, dan
stabilnya inflasi administered
price.
Inflasi inti pada bulan
September 2012 tercatat
0,34% (mtm) dan 4,12%
(yoy). Meredanya tekanan
musiman, terutama koreksi
tarif transportasi dan
rendahnya sumbangan
inflasi biaya pendidikan
mampu menahan dampak
kenaikan harga pangan
internasional dan emas.
Inflasi volatile food pada
bulan September 2012
tercatat -1,17% (mtm) dan
6,71% (yoy). Komponen
volatile food yang
menyumbang deflasi adalah
daging ayam, telur ayam,
cabe merah, cabe rawit,
bawang merah dan bawang
putih, sedangkan komponen
yang menyumbang inflasi
antara lain beras, jeruk,
wortel, dan tomat.
Memasuki masa paceklik,
harga beras cenderung
meningkat walaupun tidak
signifikan. Untuk
mengantisipasi lonjakan
harga, pemerintah akan
melakukan operasi pasar
dan penyaluran raskin yang
intensif. Sementara itu,
gangguan pasokan
merupakan faktor yang
mempengaruhi tekanan
inflasi pada jeruk, wortel dan
tomat.
Tidak adanya kebijakan
strategis dan terdapat
koreksi tarif angkutan,
khususnya kereta api
menyebabkan inflasi
administered prices
cenderung stabil. Pada bulan
September 2012, inflasi
administered prices tercatat
sebesar 0,28% (mom) atau
2,74% (yoy), lebih rendah
dari bulan sebelumnya yang
mencapai 0,35% (mom) atau
2,78% (yoy).
Dari 66 kota IHK, 21 kota
diantaranya mengalalami
inflasi, sedangkan 45 kota
mengalami deflasi. Inflasi
tertinggi terjadi di kota
Pangkal Pinang yang
I
Fitria Faradilla
Fitria Faradila
Ekonomi Domestik
6
mencatatkan inflasi sebesar
0,74% (mtm) dan inflasi
terendah terjadi di kota
Dumai dengan inflasi
sebesar 0.01% (mtm).
Sementara itu, deflasi
tertinggi terjadi di kota
Singkawang sebesar 2,18%
(mtm) dan terendah di kota
Medan, Cirebon, Kediri, dan
Cilegon. Keempat kota
tersebut mencatatkan deflasi
sebesar 0,02% (mtm).
Tekanan inflasi di sisa tahun
2012 diperkirakan
bersumber dari kelompok
volatile food yang pada akhir
tahun ini akan memasuki
masa paceklik. Selain itu
juga terdapat risiko
terbatasnya pasokan impor
terkait pengaturan tata
niaga hortikultura mulai
akhir September 2012. Pada
tahun 2013, adanya rencana
kenaikan TTL sebesar 15%
dan kenaikan harga gas
industri diperkirakan dapat
menyebabkan tingkat inflasi
yang lebih tinggi.
Untuk mengantisipasi
tekanan inflasi di masa yang
akan datang, Tim Pengendali
Inflasi (TPI) pusat dan daerah
akan melakukan koordinasi
untuk menjaga ekspektasi
inflasi masyarakat. Selain itu,
TPI dan TPID akan terus
berupaya mendorong
kelancaran pasokan dan
distribusi barang, khususnya
bahan pokok melalui
kerjasama antar daerah.
Nilai ekspor dan impor
Indonesia mengalami
penurunan selama bulan
Agustus 2012, dibandingkan
bulan Juli 2012. Nilai ekspor
pada bulan Agustus 2012
mencapai US$14,12 miliar atau
turun 12,27% dibanding
ekspor Juli 2012. Sementara
nilai impor sebesar US$13,87
miliar atau turun 15,21%
dibanding impor Juli 2012.
Dengan perkembangan
tersebut neraca perdagangan
periode Agustus 2012
mencatat surplus sebesar
US$248,5 juta, sedangkan
secara akumulasi Januari-
Agustus 2012 juga surplus
sekitar US$496,7 juta.
Perkembangan nilai ekspor
Agustus 2012 tersebut bila
dibanding Agustus 2011
mengalami penurunan sebesar
24,30%. Penurunan ekspor
Agustus 2012 disebabkan oleh
menurunnya ekspor nonmigas
sebesar 14,49%, demikian juga
ekspor migas yang turun
sebesar 2,30%.
Dengan perkembangan
tersebut maka nilai ekspor
selama Januari–Agustus 2012
mencapai US$127,17 miliar
atau turun 5,58% dibanding
periode yang sama tahun
Referensi: Analisis Inflasi
September 2012-Tim
Pemantau dan Pengendalian
Inflasi
Sandra Kurniawati
7
2011. Sementara itu, nilai
impor mencapai US$126,67
miliar atau meningkat 10,28%
jika dibanding periode yang
sama tahun sebelumnya
(US$114,86 miliar).
Menurut negara tujuan,
penurunan ekspor nonmigas
Agustus 2012 terjadi ke semua
negara tujuan utama,
khususnya Jepang, Singapura,
Malaysia, Korea Selatan, dan
Cina. Walaupun mengalami
penurunan, ekspor nonmigas
ke Cina pada Agustus 2012
mencapai angka terbesar yaitu
US$1,31 miliar, disusul Jepang
US$1,28 miliar dan Amerika
Serikat US$1,16 miliar, dengan
kontribusi ketiganya mencapai
33,31%. Sementara ekspor ke
Uni Eropa (27 negara) sebesar
US$1,42 miliar.
Dilihat dari kontribusi sektor
ekonomi, kontribusi ekspor
produk industri mendominasi
sebesar 60,34% terhadap
ekspor keseluruhan Januari–
Agustus 2012. Ekspor hasil
industri periode Januari–
Agustus 2012 turun sebesar
6,20% dibanding periode yang
sama tahun 2011, demikian
juga ekspor hasil tambang dan
lainnya turun 4,53%,
sedangkan ekspor hasil
pertanian naik sebesar 2,48%.
Impor pada Agustus 2012 jika
dibanding impor Agustus 2011
(US$15,08 miliar) turun 8,02%.
Sementara itu, selama Januari–
Agustus 2012 nilai impor
mencapai US$126,67 miliar
atau meningkat 10,28% jika
dibanding impor periode yang
sama tahun sebelumnya
(US$114,86 miliar).
Penurunan nilai impor Agustus
2012 disebabkan oleh
penurunan impor nonmigas
sebesar 22,35%, sebaliknya
impor migas mengalami
peningkatan sebesar 19,97%.
Peningkatan impor migas
disebabkan oleh naiknya impor
minyak mentah, hasil minyak
dan gas. Nilai impor nonmigas
terbesar Agustus 2012 adalah
golongan barang mesin dan
peralatan mekanik dengan nilai
US$2,14 miliar atau turun
21,33% dibanding bulan
sebelumnya.
Negara pemasok barang impor
nonmigas terbesar selama
Januari–Agustus 2012 masih
ditempati oleh Cina dengan
pangsa 19,37%, diikuti Jepang
(15,61%) dan Thailand (7,72%).
Impor nonmigas dari ASEAN
mencapai 21,54%, sementara
dari Uni Eropa sebesar 9,08%.
Neraca perdagangan Indonesia
kembali surplus pada Agustus
2012 setelah empat bulan
sebelumnya mengalami defisit.
Namun, surplus tersebut lebih
disebabkan oleh penurunan
impor dan belum terlihat
perbaikan dari sisi kinerja
ekspor. Belum pulihnya krisis
perekonomian global
merupakan tantangan yang
akan sangat mempengaruhi
kinerja ekspor Indonesia,
khususnya yang ditujukan ke
negara tujuan utama seperti
Cina, Jepang, Amerika Serikat,
India, dan negara-negara
ASEAN.
8
Aglomerasi kerap terjadi di sektor manufaktur
Indonesia. Pembentukan aglomerasi baru biasanya
dilakukan di luar area manufaktur lama. Hal ini
didasari oleh adanya dorongan dari pasar. Akan
tetapi, sektor manufaktur tersebut lebih
berkonsentrasi di kota-kota besar, seperti Jakarta,
Bandung, dan Surabaya.
Wilayah pinggiran kota cenderung mempunyai biaya
kongesti yang tinggi bagi perusahaan. Biaya kongesti
ini mencakup biaya tenaga kerja, infrastruktur, dan
biaya perizinan. Biaya-biaya ini kerap mengurangi
daya tarik wilayah tradisional di Indonesia. Padahal
aglomerasi berkontribusi pada peningkatan jumlah
aneka ragam industri yang diikuti peningkatan
diversifikasi produk. Hal ini mendorong peningkatan
produktifitas di kawasan aglomerasi.
Dalam membentuk aglomerasi baru di wilayah
pinggiran kota, peran pemerintah daerah sangatlah
penting. Kebijakan dan aturan pemerintah daerah
mempunyai pengaruh yang besar bagi perusahaan
dalam memilih lokasi pembentukan sektor
manufaktur baru.
Program pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) dirasakan baik untuk memfasilitasi
pembentukan aglomerasi baru di sektor manufaktur.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam KEK
diantaranya pemberian insentif, ketersediaan energi,
dan kemudahan perizinan. Dengan kemudahan
seperti itu diharapkan akan mendorong masuknya
perusahaan (investor) baru yang tentunya akan
menggairahkan perekonomian wilayah tersebut.
Program MP3EI sendiri sebenarnya dapat mendorong
pembentukan aglomerasi dengan beberapa aksi yang
harus dilakukan. Beberapa aksi tersebut diantaranya
(i) memperbaiki konektivitas (ii) penyederhanaan
proses perizinan (iii) memberikan kebijakan yang jelas
mengenai sektor manufaktur; dan (iv) membangun
kapasitas wilayah. Dengan aksi-aksi ini, pada akhirnya
MP3EI juga dapat mendorong revitalisasi sektor
manufaktur di Indonesia.
Referensi: Executive Summary World Bank “Picking up the
pace: Reviving Growth in Indonesia’s Manufacturing Sector”
Fitria Faradila
Ekonomi Daerah
Hampir dapat dipastikan sumber daya energi
minyak bumi yang saat ini digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi transportasi,
industri, dan kelistrikan akan semakin menipis.
Kondisi tersebut menunjukkan ketersediaan
energi menjadi persoalan utama nasional
sehingga pemanfaatan potensi energi alternatif
menjadi sangat diperlukan.
Disisi lain, Indonesia merupakan negara dengan
potensi mega biodiversity terbesar kedua di dunia
setelah Brazil. Potensi ini perlu disadari dan mulai
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
energi domestik. Akan tetapi, kesuksesan
penggunaan energi di Indonesia membutuhkan
perubahan paradigma masyarakat bahwa sumber
energi minyak bumi saat ini sudah sangat
terbatas.
Perpres Nomor 5 Tahun 2006 mengamanatkan
untuk mewujudkan energi (primer) mix yang
optimal dengan menurunkan pemakaian BBM
Indonesia dari sekitar 55% menjadi 15%-20%. Hal
ini akan selaras dengan pengembangan energi
terbarukan di setiap daerah. Energi terbarukan
yang dikembangkan adalah energi yang sudah
tidak dapat diperdebatkan lagi seperti energi
panas bumi, shale gas, biofuel, angin, dan air.
Pengembangan energi terbarukan ini mempunyai
ciri mudah, murah, aman, dan memiliki potensi
yang besar.
Dalam upaya pengembangan energi terbarukan
di daerah, Pemerintah Daerah memiliki peran
yang penting. Pemerintah dapat membantu
mendorong perkembangan energi terbarukan
dengan memberikan insentif fiskal
Gede Edy Prasetya
9
yang memadai baik pada saat pengembangan
(research and development) maupun pada saat
produksi. Insentif ini diharapkan akan menarik
minat masyarakat, akademisi, dan dunia usaha
untuk ikut berpartisipasi.
Pengembangan energi alternatif dapat disesuaikan
dengan keunggulan komparatif daerah masing-
masing. Pengembangan ini dapat memberikan
manfaat pada perekonomian masyarakat di daerah,
antara lain kenaikan pendapatan masyarakat,
penyerapan tenaga kerja, dan kelestarian
lingkungan hidup. Di samping itu, pengembangan
energi terbarukan tersebut dapat disinergikan
dengan program kemandirian pangan.
Salah satu energi alternatif terbarukan yang
potensial untuk dikembangkan di daerah adalah
bahan bakar nabati (BBN) yang terdiri dari biodiesel
dan bioetahanol. Bahan baku pembuatan Biodisesel
dan Bioethanol dapat tumbuh subur dan relatif
mudah dikembangkan di Indonesia. Bahan tersebut
antara lain minyak kelapa, jarak pagar, kapuk dan
nyamplung. Sedangkan Bioethanol berasal dari tetes
tebu, nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong,
ubi jalan dan tumbuhan lain yang jumlahnya
berlimpah di Indonesia. Kesuburan tanah
merupakan salah satu faktor utama yang
mendukung majunya perkembangan BBN di
Indonesia.
Namun, upaya pengembangan energi terbarukan
khususnya yang berasal dari sumber daya nabati
perlu memperhatikan beberapa potensi masalah
yang mungkin dihadapi berupa:
Belum ada kebijakan harga bahan baku BBN dan
harga produk BBN
Belum optimalnya koordinasi pengembangan
BBN didaerah oleh instansi terkait dari Pusat,
Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Belum maksimalnya pemanfaatan bantuan dan
kesinambungan pemanfaatan BBN yang
terintegrasi antara program Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota penerima bantuan.
Luas tanaman jarak pagar di daerah sebagian
besar belum memenuhi jumlah yang
dipersyaratkan dalam memenuhi kapasitas alat
sehingga masih perlu dioptimalkan
penanamannya pada program selanjutnya.
Harga biji jarak masih relatif tinggi dan
cenderung dijual sebagai bibit.
Melihat kondisi pasar energi saat ini, Pemerintah
Pusat dan Daerah perlu terus mengajak masyarakat,
dunia pendidikan dan dunia usaha untuk memahami
pentingnya konservasi energi fosil yang disertai
dengan diversifikasi energi.
10
M enata Energi
bagi Pertumbuhan Ekonomi
| Laporan Utama
“Bijak mengelola Sumber daya Energi
bagi kelangsungan generasi mendatang”
Bagaimanakah proyeksi kebutuhan dan kapasitas energi hingga tahun 2025 mendatang?
etahanan energi
merupakan salah satu
poin penting dalam
mendorong pertumbuhan
ekonomi suatu negara,
sehingga negara berkewajiban
memenuhi ketersediaan energi
sebagai prasyarat utama.
Untuk menakar bagaimana
ketahanan energi nasional
masa depan, dua hal yang
menjadi pertimbangan utama
yaitu kebutuhan serta
kapasitas sumber daya energi.
Rida Mulyana menyatakan
bahwa kebutuhan energi
nasional meningkat setiap
tahunnya mengikuti
pertumbuhan ekonomi.
Proyeksi kebutuhan energi
nasional pada tahun 2025
meningkat 13,9% dari tahun
2010 sebesar 3,23 juta BOEPD
(Barrels of Oil Equivalent per
Day/Barel Ekuivalen Minyak
Per Hari) menjadi 7,72 juta
BOEPD di tahun 2025.
Komposisi pemenuhan
kebutuhan energi di tahun
2025 diproyeksikan sebesar
1,83 juta BOEPD dari minyak
bumi, 1,52 juta BOEPD gas
bumi, 2,4 juta BOEPD batu
bara, dan 2 juta BOEPD energi
baru terbarukan (EBT). Pemakai
energi terbanyak di masa
depan adalah sektor industri.
Dalam rangka mengarahkan
upaya-upaya mewujudkan
keamanan pasokan energi
nasional sesuai dengan tujuan
kebijakan energi nasional,
pemerintah mencanangkan
blueprint pengelolaan energi
nasional pada tahun 2025 yaitu
berdasarkan Perpres 5/2006.
Pasokan energi ke depan akan
bersumber dari pemanfaatan
minyak bumi sebesar 20%, gas
bumi 30%, batubara 30%, dan
EBT 17%. Hal ini berbeda
dengan komposisi sumber
energi saat ini yaitu minyak
bumi sebesar 49,7%, gas bumi
20,1%, batubara 24,5%, dan
EBT 5,7%. Alokasi pengelolaan
energi tersebut menunjukkan
adanya shifting dari dominasi
minyak bumi ke pemanfaatan
gas bumi, batubara, dan EBT.
Upaya shifting tersebut sudah
menjadi pertimbangan yang
matang apabila melihat
potensi dan produksi energi
nasional saat ini. Pada tahun
2011, rasio cadangan minyak
bumi nasional sebesar 14%,
sementara gas bumi nasional
masih memiliki cadangan
sebesar 46% dan batu bara
sebesar 17%. Secara umum,
produksi minyak bumi dan gas
bumi tahun 2011 lebih rendah
dibandingkan tahun 2010. Di
sisi lain, produksi batubara
mengalami peningkatan dari
tahun 2010 sebesar 6%.
Namun, apabila energi fosil
dilihat sebagai satu kesatuan
(as single commodity), produksi
energi fosil 2011 mengalami
peningkatan sebesar 1,6% dari
5,68 juta BOEPD tahun 2010
menjadi 5,77 BOEPD di tahun
2011.
Fauzia Suryani P.
K
Rida Mulyana
Kepala Biro Perencanaan dan
Kerja Sama
Kementerian ESDM
12
Melihat pada peningkatan
kebutuhan serta kapasitas
energi nasional saat ini, maka
beberapa kebijakan yang
dilakukan pemerintah dalam
upaya peningkatan ketahanan
energi di masa depan
diantaranya: Pertama,
pengurangan subsidi BBM dan
subsidi listrik, antara lain
melalui program peningkatan
pemanfaatan gas untuk
transportasi (pembangunan
SPBG), peningkatan
pemanfaatan gas untuk rumah
tangga (jaringan distribusi gas
kota), dan substitusi bahan
bakar pembangkit listrik.
Kedua, peningkatan rasio
elektrifikasi antara lain melalui
perluasan jaringan dan gardu
distribusi di perdesaan,
penyediaan listrik murah dan
hemat untuk masyarakat
daerah tertinggal dan nelayan,
serta pembangunan
pembangkit EBT (Energi Baru
Terbarukan).
Ketiga adalah peningkatan
produksi/ lifting dan cadangan
minyak bumi dan gas bumi
melalui evaluasi cadangan
migas dan CBM (Coal Bed
Methane), eksplorasi dalam
upaya mencari cadangan
migas baru, serta peningkatan
kontrak kerja sama migas dan
CBM. Keempat, diversifikasi
energi melalui pengembangan
energi berbasis sumber daya
lokal (Desa Mandiri
Energi/DME), pengembangan
panas bumi, dan
pengembangan pemanfaatan
gas bumi. Kelima, konservasi
energi melalui audit energi
bagi industri, edukasi dan
sosialisasi konservasi energi.
Keenam, peningkatan
infrastruktur energi antara lain
melalui lanjutan pembangunan
pembangkit listrik, jaringan
transmisi dan gardu induk,
pembangunan SPBG,
pembangunan jaringan
distribusi kota, dan
pembangunan Mini LPG Plant.
Terakhir, peningkatan
pembinaan dan pengawasan
mineral dan batubara, antara
lain melalui peningkatan
pengawasan produksi dan
pemasaran mineral dan
batubara, inventarisasi dan
penyusunan produksi mineral
dan batubara nasional, serta
inventarisasi potensi PNBP
(Penerimaan Negara Bukan
Pajak) pertambangan umum.
alam menentukan
kebijakan energi
nasional dibutuhkan
pandangan ke depan yang
mempertimbangkan berbagai
hal termasuk kondisi saat ini
yang menjadi acuan. Demikian
pendapat Prof. Rinaldy Dalimi,
selaku anggota Dewan Energi
Nasional (DEN).
Saat ini kondisi teknologi
energi domestik masih
terbatas dan peraturan yang
berlaku lebih mengutamakan
kemajuan sektor masing-
masing. Sebagai akibatnya
maka tak terhindarkan
benturan kepentingan
antarsektor. Misalnya
peningkatan penjualan
produksi mobil pribadi
merupakan prestasi di bidang
industri, namun menimbulkan
dampak bagi membengkaknya
subsidi BBM yang mayoritas
dikonsumsi oleh mobil pribadi.
Alexcius Winang
Sandra Kurniawati
Chandra Mercury D
“Pada tahun 2030,
diperkirakan akan terjadi
perpotongan antara
harga energi fosil yang
semakin mahal dengan
harga energi terbarukan
yang semakin murah.” –
Prof. Rinaldy
13
Prof. Rinaldy berpendapat,
dalam merencanakan
pemenuhan kebutuhan energi
di masa depan harus dengan
pola pikir “starting from the
end”, yakni berpikir dimulai
dari akhir. Menurutnya, kita
harus berpikir ke depan bahwa
penggunaan energi di masa
depan akan semakin efisien
dan didominasi oleh energi
terbarukan dengan
menggunakan solar cell atau
biofuel.
Pada tahun 2030, diperkirakan
harga energi terbarukan akan
sama dengan harga bahan
bakar fosil karena akan terjadi
perpotongan antara harga
energi fosil yang semakin
mahal dengan harga energi
terbarukan yang semakin
murah.
Kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah saat ini
sebaiknya mencakup dua hal
yaitu kebijakan memberikan
insentif sebelum tahun 2030
agar energi terbarukan banyak
digunakan dan kebijakan yang
mendukung pengembangan
industri energi terbarukan
yang memenuhi kebutuhan
pasar domestik. Dengan
demikian potensi pasar
domestik yang besar dapat
dipenuhi oleh industri energi
dalam negeri. Sementara itu,
hingga tahun 2030, kebutuhan
energi cukup dipenuhi oleh
batubara, minyak, dan gas
bumi.
Potensi energi fosil, seperti
batubara sebesar 104 Miliar
Ton dan gas bumi sebesar
384,7 Trillion Standard Cubic
Feet (TSCF), saat ini
produksinya sebagian besar
diekspor sebagai sumber
pendapatan negara. Dalam
penyusunan Kebijakan
Ekonomi Nasional, DEN
memberikan pertimbangan
bahwa penurunan ekspor
energi fosil harus dilakukan
dan harus ditetapkan waktu
dimana Indonesia berhenti
mengekspor energi fosil.
Kedepannya potensi energi
terbarukan yang besar harus
dimanfaatkan secara optimal.
Indonesia memiliki profil
besaran potensi energi
terbarukan sebagai berikut :
(a) Tenaga air: 75,67 Giga Watt
(GW); (b) Panas bumi: 28,00
GW; (c) Biomassa: 49,81 GW;
(d) Energi laut (Hydrokinetic
Energi): 240,00 GW dan (e)
Matahari (6-8 jam/hari):
1200,00 GW.
Terkait dengan kebijakan
pembangunan PLTN, Prof.
Rinaldy mengemukakan bahwa
hal itu merupakan pilihan
terakhir karena kebutuhan
energi nasional dapat dipenuhi
melalui optimalisasi potensi
energi yang ada di Indonesia.
Saat ini krisis energi listrik yang
terjadi di beberapa daerah
bukan disebabkan tidak
adanya sumber daya energi
primer, melainkan karena
belum dilakukannya tata kelola
energi yang tepat untuk
memenuhi kebutuhan energi
tersebut.
Dari sisi regulasi Undang-
undang Ketenagalistrikan
memberikan kewenangan bagi
Pemda dan DPRD untuk
menentukan tarif listrik di
daerahnya. Kebijakan ini akan
mendorong Pemerintah
Daerah, DPRD dan PLN
melakukan efisiensi dengan
memanfaatkan potensi energi
listrik setempat, dibanding
membeli energi listrik dari
daerah lain. Selain itu, Pemda
dan DPRD memiliki tanggung
jawab terhadap pemenuhan
kebutuhan energi listrik di
daerahnya. Dengan tata kelola
yang baik dan kebijakan yang
memberikan kemudahan bagi
pengembangan energi
terbarukan, Indonesia akan
dapat memenuhi kebutuhan
energi nasionalnya di masa
mendatang.
Prof. Rinaldy Dalimi
Anggota Dewan Energi
Nasional (DEN) | Guru
Besar Fakultas Teknik
Universitas Indonesia (UI)
14
alam RAPBN-2013
porsi subsidi energi
mencapai Rp 202,3
triliun. Angka tersebut tidak
tergolong kecil. Kepala Pusat
Kebijakan APBN, Badan
Kebijakan Fiskal, Rofyanto
menjelaskan bahwa
penentuan besarnya subsidi
BBM didasarkan pada
beberapa parameter.
Parameter tersebut antara
lain perkembangan harga
minyak dunia, nilai tukar
Rupiah terhadap dolar AS,
volume konsumsi BBM
bersubsidi dan nilai alpha
BBM.
Pergerakan harga minyak
dunia akan mempengaruhi
harga keekonomian minyak
dalam negeri. Kenaikan harga
minyak domestik tidak dapat
dihindari apabila harga
minyak dunia terus
merangkak naik. Dalam UU
APBN-P 2012 diatur bahwa
Pemerintah dapat menaikan
harga BBM apabila harga
rata-rata minyak
menyimpang 15% dari
asumsi selama enam bulan
berturut-turut. Asumsi harga
minyak dalam APBN-P 2012
sebesar US$105/ barel.
Kenaikan harga BBM dapat
dilakukan jika harga minyak
naik 15% atau mencapai
US$ 120,75 per barel.
Kenaikan harga akan
disesuaikan oleh kemampuan
fiskal pemerintah dengan
kisaran 500-1500/ liter.
“Berdasarkan kajian yang
dilakukan oleh beberapa
universitas, kenaikan harga
BBM sebesar Rp 500 tidak
akan terlalu memberatkan
masyarakat, dampaknya
terhadap inflasi juga akan
terkontrol. Akan tetapi,
apabila kenaikan harga BBM
di atas Rp 500 maka perlu
ada kompensasi kepada
masyarakat agar daya beli
mereka tetap terjaga”, jelas
Rofy.
Pemerintah telah melakukan
berbagai upaya untuk
mengurangi konsumsi BBM
bersubsidi. Mulai dari
pelarangan pemakaian BBM
bersubsidi pada kendaraan
dinas, penghematan listrik di
instansi pemerintah, bahkan
dengan diversifikasi sumber
D
Masyitha Mutiara R.
Fitria Faradila
15
energi alternatif. “Dari segi
fuelmix, Pertamina akan
segera mengganti komponen
genset yang menggunakan
diesel dengan sumber energi
lain seperti batu bara, gas
bumi, dan PLTA.”
Pemerintah juga akan
melakukan program konversi
minyak ke gas untuk
angkutan umum. Angkutan
umum dijadikan fokus utama
karena sudah memiliki rute
yang tetap sehingga
peninjauan kebutuhan gas
dan penempatan SPBG
mudah untuk dilakukan.
Pemerintah akan memasang
konverter minyak ke gas
pada angkutan umum secara
gratis sebagai langkah awal
pelaksanaan program ini.
Selain itu, pemerintah akan
membenahi mekanisme pen-
distribusian BBM. “Selama ini,
pendistribusian BBM
bersubsidi ke daerah hanya
berdasarkan data historis
saja. Untuk tahun 2013,
pendistibusian BBM
bersubsidi akan diberikan
sesuai dengan kebutuhan
daerah masing-masing.
Pemerintah telah melakukan
pemetaan dan kajian untuk
mengetahui besarnya
kebutuhan BBM berdasarkan
aktivitas ekonominya, seperti
jumlah industri, jumlah
mobil, dan jumlah rumah
tangga. Harapannya, subsidi
BBM akan lebih tepat sasaran
dan dapat menekan
penyelundupan minyak ke
luar negeri,”tutur Rofy.
Dari Mengubah Visi hingga Cara Pandang Pengguna Energi
eningkatan permintaan
atas BBM dan energi
secara luas merupakan
konsekuensi dari pertumbuhan
ekonomi. Sebagai perusahaan
minyak terbesar di Indonesia,
Pertamina menempuh
berbagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan
tersebut. Tidak hanya semata
untuk mencukupi kebutuhan
energi dalam bentuk BBM,
tetapi juga pengusahaan
sumber-sumber energi lainnya.
Pertamina kemudian
mengubah visinya dari
Perusahaan Minyak Kelas
Dunia menjadi Perusahaan
Energi Kelas Dunia dan telah
disahkan dalam AD/ART
Pertamina pada awal tahun
2012 lalu.
“Yang perlu diubah adalah cara
pandang pengguna dalam
melihat energi sebagai sesuatu
yang harus dipergunakan
secara bijaksana. Dengan
begitu pemenuhan kebutuhan
energi tidak hanya dari sisi
penyediaan, tetapi juga dari
sisi penggunaan.” tutur Humas
Pertamina kepada TEK.
Secara alami, produksi di
lapangan akan terus menurun.
Pertamina berupaya untuk
terus mencari lapangan baru
baik di dalam maupun di luar
negeri supaya produksi
meningkat. Selain itu,
Pertamina juga terus mengkaji
berbagai kemungkinan sumber
energi yang dimiliki Indonesia,
seperti gas, panas bumi
(geothermal) dan Coal Bad
Methane (CBM).
P
Rofyanto Kurniawan
Kepala Pusat Kebijakan APBN
Badan Kebijakan Fiskal (BKF),
Kementrian Keuangan
Masyitha Mutiara R.
16
Pertamina kini gencar untuk
menjadi backbone bagi
penyediaan gas di tanah air
melalui berbagai
pengembangan infrastruktur.
Misalnya, pembangunan unit
penampungan dan regasifikasi
terapung (Floating Storage and
Regasification Unit) di teluk
Jawa Tengah, terminal
penerima LNG di Arun, pipa
trans Sumatera dan Jawa, serta
penerima LNG mini di kawasan
Indonesia Timur.
Pertamina melalui anak
perusahaan Pertamina Hulu
Energy juga tengah melakukan
pengembangan coal bad
methane (CBM) yang
diharapkan dapat menjadi
salah satu tumpuan sumber
energi Indonesia di masa
depan karena cadangan CBM
di Indonesia tergolong besar.
Di luar energi fosil tersebut,
Pertamina telah lama
mengembangkan energi panas
bumi untuk tenaga listrik
dengan kapasitas terpasang
saat ini 292 MW dan
diharapkan meningkat menjadi
2.000 MW pada 2015. Bersama
dengan PT LEN Industri,
Pertamina menjadi pionir
bersama untuk
mengembangkan energi panel
surya secara integratif dari
hulu ke hilir. Program ini
diharapkan mampu
mengurangi impor komponen
panel surya untuk tenaga
listrik.
Pertamina juga tengah
menjajaki pembagunan PLTS
dengan kapasitas 120 MW di
TPST Bantargebang, Bekasi.
Teknologi ini memungkinkan
pengelolaan sampah menjadi
sumber energi listrik hingga
zero waste.
Pertamina telah berkomitmen
untuk tetap menjaga
ketersediaan dan kelancaran
pasokan BBM nasional dalam
waktu 20 hari secara periodik.
Untuk menunjang hal itu,
Pertamina telah memiliki 130
depot penyimpanan BBM dan
5000 SPBU yang tersebar
diseluruh Indonesia. Untuk
daerah yang tidak memiliki
SPBU, disediakan APMS atau
Agen Premium, Minyak Tanah
dan Solar.
Dalam upaya menekan
konsumsi BBM bersubsidi,
Pertamina memberikan insentif
kepada SPBU berupa margin
penjualan yang lebih tinggi
untuk BBM non-subsidi
dibandingkan dengan BBM
bersubsidi. Margin paling
tinggi diberikan untuk setiap
penjualan Pertamina Dex yang
pasarnya relatif baru tumbuh.
17
Pemanfaatan gas untuk pembangkit listrik harus lebih dominan di
masa mendatang
ertumbuhan ekonomi
dan kebutuhan energi
memiliki korelasi yang
positif. Hal ini terlihat
dari adanya kenaikan
konsumsi energi seiring
dengan peningkatan aktivitas
ekonomi. Untuk itu,
dibutuhkan penyediaan yang
lebih besar dalam upaya
memacu pertumbuhan
ekonomi lebih cepat.
Monty Girianna, Direktur
Sumber Daya Energi, Mineral,
dan Pertambangan, Bappenas
menegaskan kondisi tersebut
dengan menggunakan
elastisitas energi, khususnya
listrik. Beliau menjelaskan,
sebelumnya tingkat elastisitas
energi sebesar 2%, artinya
jika ekonomi ingin tumbuh
sebesar 5%, maka tingkat
kebutuhan listrik harus
tumbuh sebesar 10%. Saat ini
nilai elastisitas listrik cukup
membaik, yaitu sebesar 1,2%
- 1,3%”
Kapasitas energi listrik yang
tersedia saat ini sebesar
42.000 – 43.000 MW, namun
jika pertumbuhan ekonomi
diharapkan di atas 6%, maka
energi listrik juga harus naik
sebesar 4.000 – 5.000 MW per
tahun. Untuk memenuhi
Andi
Windy Pradipta
P
18
target kapasitas listrik
tersebut, pemerintah perlu
mengembangkan pola
kerjasama melalui PLN dan
pihak swasta. Kerja sama
tersebut dilakukan melalui
skema IPP (Independent
Power Producer) yaitu
penjualan produksi listrik dari
pihak swasta kepada PLN.
“Selama ini, penyediaan listrik
dilakukan dengan skema
vertical integrated, dimana
seluruh proses produksi
dilakukan oleh PLN”, ungkap
Monty.
Monty berpendapat bahwa
saat ini pemenuhan
kebutuhan listrik berkaitan
dengan sumber energi yang
tersedia, seperti batu bara
yang memasok 40% sumber
energi listrik. Di waktu
mendatang sumber energi
listrik diharapkan lebih
bergantung pada
pemanfaatan renewable
energy seperti geothermal
dan panas bumi.
Gas dapat digunakan untuk
menjadi sumber energi listrik
utama dalam waktu lima
tahun mendatang. Monty
berpendapat bahwa
pemanfaatan gas untuk
pembangkit listrik (share gas)
harus lebih dominan di masa
mendatang.
Pemanfaatan gas sebagi
sumber energi listrik
merupakan strategi energy
security yang dinilai aman
dan cukup memenuhi
kebutuhan energi dasar
masyarakat. Hal ini dapat
menjadi salah satu
pertimbangan dalam
penentuan kebijakan energi
nasional.
Monty menerangkan bahwa
sesuai dengan proyeksi
pembangkit listrik dalam
Kebijakan Energi
Nasional/KEN tahun 2010 –
2050, persentase untuk diesel
pada tahun 2010 sebesar
7,4% dan diperkirakan
menurun menjadi 0,5% pada
tahun 2025. Demikian pula
dengan penggunaan batu
bara dan gas direncanakan
juga akan berubah. Pada
tahun 2010, porsi batu bara
dan gas masing-masing
sebesar 42% dan 17,2%
berubah menjadi 14,4% dan
52,7% pada tahun 2025.
Kebijakan perencanaan energi
dari jangka pendek hingga
jangka panjang menurut KEN
akan segera diatur dalam
bentuk Peraturan Presiden.
Penyediaan energi nasional
tersebut sudah
memperhitungkan
pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan penduduk.
Monty juga menjelaskan
upaya penyediaan sumber
energi yang dilakukan
pemerintah di tengah upaya
peningkatan kebutuhan
energi listrik yang terus
meningkat menghadapi
beberapa kendala.
Penyediaan minyak bumi
terbentur pada masalah
subsidi bahan bakar.
Sementara penyediaan gas
terbentur pada masalah
harga yang lebih tinggi di luar
negeri, sehingga lebih
menarik bagi para produsen
untuk menjualnya ke luar
negeri daripada untuk
memenuhi kebutuhan di
dalam negeri.
Di saat yang sama batu bara
terhimpit isu emisi yang
akhir-akhir ini gencar diprotes
dengan alasan pelestarian
lingkungan hidup. Sementara
itu, penyediaan geothermal
menghadapi kendala
pengembangan lahan di
kawasan yang berfungsi
sebagai hutan konservasi.
Permasalahan lain yaitu
keterbatasan sumber daya
manusia di daerah
pengolahan. Oleh karena itu
pemerintah perlu berperan
aktif, khususnya terkait
dengan Rencana Umum
Energi Daerah (RUED).
19
emerintah menghadapi
tantangan dalam upaya
meningkatkan ketahanan
energi dometik berupa produksi dan
cadangan minyak bumi dalam negeri
yang kian menurun di saat
permintaan terus meningkat.
Beberapa langkah telah diambil,
salah satunya mengembangkan gas
bumi sebagai energi alternatif
mengurangi konsumsi minyak bumi.
Menurut pakar Forum Konsultasi
Daerah Penghasil Migas dan
pengamat perminyakan Institut
Teknologi Bandung (ITB), Arsegianto,
pada dasarnya gas bumi merupakan
salah satu sumber energi yang dapat
menggantikan hampir semua
sumber pemakaian minyak bumi.
Namun, hal ini harus didukung
dengan teknologi yang cukup
mengingat ketersediaan gas bumi
dalam negeri masih sangat
memadai. “Kita itu mempunyai
sekitar 60 basin gas bumi,
sedangkan yang diekplorasi baru 15
basin”, ungkap Arsegianto. Apabila
melihat struktur produksi gas bumi
saat ini, maka dapat dikatakan
bahwa sebagian besar gas bumi
Indonesia justru diekspor, sementara
23-25% untuk konsumsi dalam
negeri.
P Fauzia Suryani P.
Sandra Kurniawati
Opini Pakar
20
Arsegianto mengingatkan bahwa
ekspor gas bumi yang tinggi
dibandingkan dengan konsumsi
dalam negeri perlu menjadi
perhatian. Dengan harga gas di luar
negeri relatif lebih mahal, ekspor gas
bumi jelas membawa untung lebih
besar daripada dipakai dalam negeri.
Karena inilah kontraktor lebih suka
melepas gas ke pasar dunia.
Padahal, terdapat multiplier effect
yang dihasilkan dari konsumsi gas
bumi di dalam negeri dan
menghasilkan keuntungan jauh lebih
besar. Namun, keuntungan yang
diterima kontraktor bukan sekedar
hasil dari multiplier effect tersebut.
Untuk mengatasi ini intervensi
pemerintah mutlak diperlukan
dengan memberikan insentif agar
kontraktor lebih memilih untuk
menjual gas bumi di dalam negeri.
Di Indonesia, sumber gas bumi
sebagian besar tersedia di luar pulau
Jawa, sementara pasar terbesar
justru berada di Pulau Jawa. Untuk
itu, dukungan infrastruktur yang
mampu menghubungkan sumber
dengan pasar gas bumi tersebut
diperlukan. Dalam hal penyediaan
infrastruktur gas bumi, penentuan
harga menjadi faktor yang sangat
penting. Menurut Arsegianto,
apabila investor yang harus
membangun infrastruktur gas, maka
pertanyaan berikutnya adalah dari
mana gas diperoleh?
Arsegianto mengatakan bahwa
persoalan gas bumi ini memang
berasal dari hulu hingga hilir.
Persoalan pertama adalah pihak
asing menguasai pengelolaan hulu
gas bumi. Hal ini menyulitkan untuk
mengarahkan gas bumi ke domestik
karena pihak asing punya hak
menjual ke luar negeri, walaupun
ada yang dialokasikan untuk dalam
negeri.
Pilihan lain jika pemerintah
berkeinginan mengelola sendiri,
maka persoalannya adalah teknologi
dalam negeri untuk mengeksploitasi
gas bumi tersebut belum
sepenuhnya siap. Perusahaan asing
yang keluar dari industri gas dalam
negeri akan berdampak pada
penurunan produksi gas bumi, dan
akhirnya menyebabkan ekses
permintaan dan penerimaan dalam
negeri menurun sangat besar.
Persoalan berikutnya adalah jaringan
infrastruktur yang menghubungkan
antara sumber energi dengan pasar.
Keterbatasan infrastruktur ini masih
menjadi kendala utama hingga saat
ini meliputi pipa-pipa dan terminal-
terminal pengirim dan penerima gas.
Gas dari Tangguh, misalnya, butuh
waktu lama untuk memasok
tambahan gas ke Jawa karena tidak
tersedia terminal penerima energi
gas. Arsegianto berpendapat bahwa
pemerintah perlu ikut berinvestasi
dalam realisasi pembangunan
tersebut. “Yang penting gasnya
sudah ada. Di Pulau Jawa „kan tidak
ada. Gasnya justru ada di Kalimantan
dan Papua. Bawa dulu kesini. Karena
investor tidak akan mau
membangun jaringan, kalau gasnya
tidak ada. Jadi, Pemerintah harus
ikut investasi”, tutur Arsegianto.
Arsegianto
Pakar FKDPM |
Pengamat Perminyakan
Nasional |
Dosen Teknik Perminyakan
ITB
“Dengan harga gas
di luar negeri relatif
lebih mahal, ekspor
gas bumi jelas
membawa untung
lebih besar
daripada dipakai
dalam negeri.
Padahal, terdapat
multiplier effect
yang dihasilkan
dari konsumsi gas
bumi di dalam
negeri dan
menghasilkan
keuntungan jauh
lebih besar” - Dr.
Arsegianto
21
enyediaan anggaran subsidi energi dalam
beberapa tahun terakhir mengalami
peningkatan signifikan. Rata-rata
pertumbuhan realisasi anggaran belanja subsidi
mencapai 10,3% per tahun dalam kurun waktu
2007-2012. Dari total subsidi energi, subsidi BBM
menempati porsi yang paling besar, mencapai
67,9% dari total subsidi energi pada APBN-P
2012.
Peningkatan subsidi yang cukup signifikan dalam
lima tahun terakhir didasarkan pada beberapa
faktor. Pertama, kenaikan subsidi disebabkan oleh
peningkatan harga minyak mentah Indonesia
(ICP). Pada periode tersebut harga ICP meningkat
hampir dua kali lipat. Pada tahun 2007 harga ICP
sekitar USD 72,3 per barel dan menjadi USD 105
per barel pada tahun 2012. Kedua, peningkatan
subsidi juga disebabkan oleh adanya peningkatan
konsumsi BBM bersubsidi. Konsumsi BBM
bersubsidi pada tahun 2012 diprediksi mencapai
40 juta kiloliter atau naik sekitar 1,3 juta liter
dibandingkan tahun 2007. Peningkatan jumlah
kendaraan bermotor dinilai menjadi penyebab
utama kenaikan konsumsi BBM dalam negeri.
Kenaikan belanja subsidi, khususnya subsidi BBM
tentunya menyebabkan beban fiskal semakin
berat. Perlu strategi dan langkah konkrit untuk
menekan pembengkakan beban subsidi BBM.
Dalam R-APBN 2013, terdapat empat langkah
pengendalian yang dilakukan pemerintah, yaitu (i)
mengalihkan pemakaian minyak tanah ke LPG; (ii)
meningkatkan pemanfaatan energi alternatif dan
diversifikasi energi; (iii) melakukan pembatasan
kategori pengguna BBM bersubsidi; dan (iv)
menggunakan sistem distribusi tertutup untuk
mengendalikan penggunaan BBM. Empat langkah
tersebut diharapkan mampu menekan volume
permintaan BBM bersubsidi sehingga mengurangi
beban APBN.
Tidak menutup kemungkinan apabila subsidi
sudah sangat memberatkan APBN, pemerintah
akan menaikan harga BBM dalam negeri. Dalam
lima tahun terakhir pemerintah telah melakukan
penyesuaian harga BBM sebanyak empat kali.
Harga BBM tertinggi terjadi pada periode Mei
sampai November 2008, yaitu sebesar Rp 6000
per liter.
Sama halnya dengan subsidi BBM, sejak tahun
2007 subsidi listrik tumbuh rata-rata sekitar
14,5% per tahun dan diprediksi mencapai Rp 65
triliun pada tahun 2012. Untuk itu, agar kesehatan
fiskal tetap terjaga, pemerintah dan DPR sepakat
untuk menurunkan subsidi listrik
secara bertahap. Pemerintah telah
menyesuaikan tarif tenaga listrik (TTL)
rata-rata 10% per tahun. Akan tetapi,
agar tidak mengorbankan masyarakat
berpenghasilan rendah, kenaikan tarif
TTL tidak berlaku bagi pelanggan
listrik dengan daya 450 dan 900 watt.
(Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN
Tahun Anggaran 2013)
P Masyitha Mutiara R.
Fiskal dan Regulasi Ekonomi
22
% subsidi Energi dalam APBN
Sumber: Kementerian Keuangan
ndonesia merupakan
negara yang penyediaan
sumber energinya sangat
tergantung pada minyak bumi.
Selain itu, sekitar 70%
konsumsi minyak bumi
nasional digunakan di Pulau
Jawa. Studi Gas Transportation
Project through Public-Private
Partnership (2005)
memperkirakan permintaan
gas bumi di Pulau Jawa pada
tahun 2005-2025 tumbuh
sekitar 1.000-1.500 MMCFD
(juta kaki kubik per hari).
Ketergantungan ini telah
memperbesar porsi subsidi
BBM dan mengakibatkan
tekanan terhadap APBN
Indonesia.
Untuk mengurangi
ketergantungan minyak bumi,
dibutuhkan diversifikasi secara
konsisten dalam waktu singkat
dan pengembangan
infrastruktur yang dapat
menunjang distribusi.
Diversifikasi dapat dilakukan
dengan cara memperbesar
pangsa pengguna sumber-
sumber non-BBM seperti gas
bumi, bata bara, dan panas
bumi (geothermal).
Sebagai realisasinya,
Pemerintah, diwakili oleh
Komite Percepatan dan
Perluasan Pembangunan
Ekonomi (KP3EI), telah
mengembangkan Master Plan
Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi
(MP3EI) agar pengembangan
infrastruktur energi mampu
dilakukan secara terintegrasi.
I
Insani Sukandar
Kolom MP3EI
23
MP3EI mengembangkan
konsep Kawasan Perhatian
Investasi (KPI) yang
merupakan kumpulan
sejumlah sentra produksi pada
suatu wilayah. Pada setiap KPI
telah dirancang sejumlah
infrastruktur yang dibutuhkan
untuk menunjang
pembangunan dan
operasionalisasi dari setiap
sentra produksi.
Edib Muslim selaku Kepala
Divisi Humas dan Promosi
Sekretariat KP3EI menjelaskan
bahwa salah satu jenis
infrastruktur yang dibangun
adalah pembangkit listrik dan
pipa gas. Proyek
pembangunan ini akan
disinergikan dengan kondisi
dan kebutuhan di setiap KPI.
Sebagai salah satu prinsip
keberhasilan pembangunan,
kebijakan energi didasarkan
kepada manajemen resiko dari
kebutuhan dan ketersediaan
energi di Indonesia, meliputi:
(1) manajemen resiko melalui
peraturan komposisi energi
yang mendukung
pembangunan ekonomi
secara berkelanjutan, (2) revisi
peraturan perundang-
undangan yang tidak
mendukung iklim usaha, serta
perbaikan konsistensi antar
peraturan, (3) pembatasan
ekspor komoditas energi
untuk pengolahan lebih lanjut
di dalam negeri guna
meningkatkan nilai tambah
ekspor, dan (4) tata kelola
penambangan untuk
meminimalkan kerusakan
lingkungan.
Mengenai rencana
pembiayaan pembangunan
infrastruktur energi, Edib
Muslim menerangkan bahwa
dengan keterbatasan ruang
fiskal maka Pemerintah harus
lebih memaksimalkan skema
Public Private Partnership
(PPP) dalam pembangunan
infrastruktur energi. Lebih
lanjut, Pemerintah juga akan
mendorong penerapan skema
Independent Power Producer
(IPP) yang telah diberlakukan
untuk pembangkit tenaga
listrik. Saat ini sudah terdapat
18 proyek infrastruktur energi
MP3EI yang sudah
groundbreaking.
Edib Muslim menjelaskan dua
kendala utama yang dihadapi
dalam pembangunan
infrastruktur energi pada
MP3EI, yaitu: (1) ketersediaan
lahan dan (2) tumpang tindih
kawasan. Seringkali
pembangunan infrastruktur
energi terhambat oleh
pembebasan lahan sehingga
konstruksi infrastruktur
terhambat. Selain itu,
tumpang tindih lahan
tambang dan hutan seringkali
menghambat investor yang
sudah memiliki ijin usaha
dalam melaksanakan
proyeknya, dimana lokasi
proyek yang masih berstatus
hutan lindung.
Edib Muslim
Kepala Divisi Humas dan
Promosi Sekretariat KP3EI.
24
enerapan UU No. 13
Tahun 2003 telah
melegalkan kembali
sistem pekerja outsourcing (alih
daya), sebagai salah satu
alternatif untuk mengurangi
tingkat pengangguran di
Indonesia. Dewasa ini, tidak
sedikit pekerja yang
merupakan tenaga outsourcing.
Namun, para pekerja tersebut
merasa bahwa banyak dari
hak-haknya yang diabaikan.
Puncaknya pada awal Oktober
ini, mereka melakukan demo
besar-besaran dengan
tuntutan utama yaitu
penghapusan
outsourcing.
Outsourcing sendiri
sebenarnya sudah
diatur secara
gamblang pada
pasal 64-66 UU No.
13 Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan.
Dalam pasal 64
disebutkan bahwa
“Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/
buruh yang dibuat secara
tertulis.”
Terdapat tiga pelanggaran
yang dilakukan oleh
perusahaan outsourcing.
Pertama, adanya
pengalihdayaan pekerjaan inti
(utama). Padahal sudah jelas
bahwa pekerjaan yang
diijinkan untuk dialihdayakan
hanya pekerjaan tambahan,
seperti: cleaning service,
keamanan,
transportasi, catering, dan
pekerjaan penunjang
pertambangan. Hal ini jelas
melanggar UU
Ketenagakerjaan.
Kedua, perusahaan
melanggar aturan terkait
dengan pemberian upah.
Pasal 88-98 UU No. 13 Tahun
2003 menyebutkan bahwa
”Setiap pekerja kontrak
berhak mendapatkan hak
yang sama dengan pekerja
tetap dalam hal upah, upah
lembur, upah jika tidak masuk
kerja, serta tunjangan hari
raya (THR)”. Dengan kata lain,
untuk pekerja alih daya dan
tetap memiliki sistem
pengupahan yang sama.
Ketiga, adanya ketidak adilan
jaminan kesehatan bagi
pekerja alih daya. Lebih
tepatnya tingkat iuran untuk
para pekerja agar benar-
benar bersifat adil, dimana
semua warga negara akan
masuk di dalam penanganan
BPJS sebagai pengganti
Jamsostek tahun 2015. Aturan
baru ini akan diterapkan
kurang lebih dalam satu
tahun kedepan dan secepat-
cepatnya enam bulan
semenjak ditetapkan,
dengan koordinasi dari
Kementrian Kesehatan.
Untuk mengatasi hal ini,
Pemerintah akan: (1)
memperketat
pengawasan dan
pendaftaran ulang ijin-
ijin perusahaan alih
daya. Dimana semua
perusahaan yang masih
mempekerjakan keperja
alih daya untuk pekerjaan inti
(utama) harus meninjau ulang
status pegawai dan (2)
mencabut ijin usaha
perusahaan penyalur pekerja
alih daya yang masih
melakukan penyimpangan,
termasuk tidak memberikan
hak-hak pekerja sesuai
dengan aturan yang ada.
P
Ketenagakerjaan
Insani Sukandar
25
adan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga
Keuangan
mengisyaratkan tidak
akan menunda pelaksanaan
penerapan Pernyataan Sistem
Akuntansi Keuangan (PSAK)
nomor 62 untuk menjaga
industri asuransi tetap
berpegang prinsip kehati-
hatian (prudent).
Saat ini pencatatan perolehan
premi sesuai dengan PSAK 28
dan PSAK 36 belum
membedakan antara premi
murni dan premi investasi. Ke
depan, apabila PSAK 62 yang
mengadopsi International
Financial Resulting Standards
(IFRS) diterapkan, premi
investasi tidak lagi dicatatkan
sebagai pendapatan premi
dalam laporan keuangan.
Konsekuensinya, pencatatan
transaksi premi pada laporan
keuangan tidak berdasarkan
entitas, melainkan
membedakan antara transaksi
premi proteksi dan investasi.
Dengan perubahan
pencatatan ini premi industri
asuransi lebih mudah
teridentifikasi, antara
perolehan premi proteksi
dengan premi investasi.
Implikasi dari kebijakan
tersebut adalah akan terjadi
penurunan nilai pendapatan
premi yang tercatat di
laporan keuangan yang
disebabkan karena
pemisahan jenis premi
tersebut. Dampak penurunan
nilai pendapatan premi akan
terasa secara signifikan pada
perusahaan yang banyak
melakukan ekspansi pada
produk unit link, yakni produk
yang mengkombinasikan
proteksi dan investasi.
Kebijakan ini juga akan
mempengaruhi perencanaan
produk asuransi, yaitu
menahan minat perusahaan
untuk memperluas produk
unit link. Perusahaan akan
mengarahkan ekspansinya ke
produk yang didominasi
premi proteksi, dimana
pendapatannya dicatat secara
utuh dalam laporan
keuangan. Meskipun
perusahaan tetap
mengeluarkan produk unit
link, namun target yang
ditetapkan cenderung lebih
rendah dibandingkan tahun
sebelumnya.
B
Alexcius Winang
Implikasi dari kebijakan
pencatatan transaksi premi
berdasarkan entitas adalah akan
terjadi penurunan nilai
pendapatan premi yang tercatat di
laporan keuangan disebabkan
pemisahan jenis premi tersebut.
Keuangan
26
Menurut Ketua Asosiasi
Asuransi Umum Indonesia
(AAUI), Kornelius
Simanjuntak, pada tahun
pertama penerapan PSAK 62,
akan terlihat perbedaan
kinerja yang signifikan. Yang
harus diwaspadai adalah
ketika kinerja perusahaan
terlihat menurun secara
berlebihan. Hal ini akan
menurunkan kepercayaan
masyarakat pada perusahaan
asuransi, oleh karena itu
perusahaan perlu mengelola
dengan baik kemungkinan
dampak kebijakan ini.
Sedangkan menurut
Widyawati, Ketua Bidang
Keuangan, Akuntansi &
Perpajakan AAUI, terdapat
beberapa hambatan dalam
penerapan IFRS pada Industri
Asuransi, yakni: (1) kesiapan
sumber daya manusia industri
pada penyediaan tenaga
aktuaria karena jumlahnya
sangat sedikit,
(2) terdapat
kemungkinan terjadi
penurunan ekuitas
yang signifikan dari
tahun 2011 ke 2012
karena koreksi
penggunaan PSAK
yang baru, (3)
kurangnya kesadaran
perusahaan asuransi
terhadap
konsekuensi penerapan IFRS.
Secara resmi Asosiasi
Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI)
telah meminta penundaan 1-
2 tahun penerapan standar
laporan keuangan
internasional atau
International Financial
Resulting Standards (IFRS)
dalam PSAK 62 pada laporan
keuangan. Industri asuransi
dirasa belum siap dan
diperkirakan akan
memperlihatkan kinerja
industri terlihat seolah-olah
menurun, padahal penurunan
tersebut disebabkan
perubahan metode
pencatatan laporan
keuangan.
Sementara itu dalam
kesempatan terpisah, Isa
Rachmatarwata, Kepala Biro
Perasuransian Bapepam-LK,
mengungkapkan bahwa saat
ini pihaknya akan melihat
hasil simulasi penerapan
PSAK 62 dari industri yang
berakhir pada bulan Oktober
2012, lebih lanjut
diungkapkan bahwa
Pemerintah akan menetapkan
masa transisi dalam
pelaksanaan kebijakan
tersebut, penerapannya tidak
harus 100% sesuai dengan
PSAK namun penerapannya
dapat dilakukan secara
bertahap yakni 70% atau
80%.
Dengan perkembangan
peraturan dan kebijakan
dalam rangka menjaga
prinsip kehati-hatian,
perusahaan dituntut untuk
memberikan informasi yang
mudah teridentifikasi dan
transparan, namun di sisi lain
perusahaan juga tetap
menjaga kondisi
keuangannya agar dapat
menjaga kepercayaan
masyarakat. Industri Asuransi
sebagai sistem proteksi risiko
dari kerugian yang bersifat
finansial membutuhkan
profesionalisme dan
komitmen dalam
pengelolaannya.
27
Semakin optimis mencapai target KUR 2012 sebesar Rp 30 trilliun.
ada September 2012,
realisasi KUR tercatat Rp
2,57 triliun. Dengan
demikian penyaluran KUR
selama tahun 2012 telah
mencapai Rp 22,3 triliun.
Secara agregat realisasi KUR
sejak November 2007 sebesar
Rp 87,5 triliun disalurkan
kepada 7,1 juta debitur. Rata-
rata tiap debitur menerima
kredit sebesar Rp 12,3 juta
dengan tingkat NPL 3,7%.
Penyaluran KUR dilakukan
oleh tujuh bank penyalur dan
BPD yang tersebar di seluruh
Indonesia. Dari ketujuh bank
penyalur, BRI merupakan bank
penyalur KUR terbesar.
Realisasi KUR Mikro BRI pada
September 2012 mencapai Rp
1,4 triliun. Pada saat yang
sama KUR Ritel BRI sebesar Rp
206 miliar.
Di sisi lain, penyaluran KUR
oleh BPD masih perlu terus
ditingkatkan. Realisasi
penyaluran KUR
oleh BPD pada bulan
September 2012 mencapai
Rp 239 M yang disalurkan
kepada 2.592 debitur.
Diantara BPD penyalur, Bank
Jatim dan Jabar Banten
merupakan penyalur KUR
tertinggi. Hal ini sekaligus
mencerminkan masih
terpusatnya sebaran KUR pada
pulau Jawa. Secara akumulatif
sejak November 2007
penyaluran KUR terbesar pada
provinsi Jawa sebesar Rp 13,4
triliun. Sebaliknya penyaluran
KUR di luar Jawa masih sangat
rendah, penyaluran terendah
pada provinsi Maluku Utara
sebesar Rp 356 miliar.
Secara sektoral, pada bulan
September 2012 penyaluran
terbesar pada sektor
perdagangan sekitar 57% dari
total plafon KUR. Sedangkan
untuk urutan kedua pada
sektor pertanian 16%.
Sementara laporan KUR TKI
saat ini terus mengalami
peningkatan, tercatat realisasi
pada September 2012
mencapai Rp 21,9 miliar
dengan jumlah debitur
mencapai 2.219 TKI. Mayoritas
KUR TKI diberikan kepada
pekerja yang ditempatkan di
Korea Selatan dan Malaysia
masing-masing sebesar Rp
14,6 miliar dan Rp 3,5 miliar. Di
saat yang sama, plafon KUR
sebagian besar disalurkan ke
lapangan kerja manufaktur
yaitu sebesar Rp 14,8 miliar.
Pada Agustus 2012, Kepala
BNP2TKI telah mengeluarkan
surat tentang pelaksanaan
KUR TKI. Surat tersebut
ditujukan kepada kepala
BP3TKI/UPTP3TKI untuk
mendorong Pelaksana
Penempatan TKI
Swasta (PPTKIS)
memanfaatkan KUR TKI
sebagai sumber pembiayaan
penempatan TKI. Langkah ini
dilakukan tidak hanya untuk
optimalisasi penyaluran KUR
melainkan juga sebagai
instrumen perlindungan bagi
TKI dari sumber-sumber
pembiayaan yang ilegal dan
memberatkan.
P Windy Pradipta
Sumber: Komite Kebijakan KUR
KUR dan UKM
28
Indikator Sept 2012
Aug 2012 Indikator Aug
2012 Juli
2012
Inflasi (% yoy) 4,31 4,58 Utang Pemerintah* (USD milyar) 204,73 205,60
Indeks Harga Saham Gabungan 4262,56 4.060,33 Ekspor (USD miliar) 14,12 16,2
Harga Minyak ICP (USD per
barel) 111,02 112,02 Impor (USD miliar) 13,87 16,3
Indeks Harga Perdagangan
Besar 192,11 191,81 Wisatawan Mancanegara (ribu orang) 634,2 701,2
Cadangan Devisa* (USD milyar) 110,17 108,99 Suku Bunga Kredit Modal Kerja Bank (%) 11,74 11,78
Nilai Tukar Petani 105,41 105,26 Belanja Negara Realisasi Semester I-2012
(Rp. Tr)* 629,4
Nilai Tukar (Rp/USD) 9.588 9.560 Pendapatan Negara Realisasi Semester I-
2012 (Rp. Tr)* 593,3
Pertumbuhan Ekonomi Tw.I1-
2012 (%) 6,40 Tingkat Kemiskinan (Maret, 2012) (%) 11,96%
Tingkat Pengangguran (Feb.
2012) (%) 6,32
Neraca Keseluruhan NPI Tw II-2012 (USD
miliar) -2,8
Indikator Ekonomi
Untuk informasi lebih lanjut hubungi :
Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710 Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836 Email : [email protected] Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id
ISSN 2088-3153