BAB I
ANATOMI MATA
1.1.Bulbus Okuli
Gambar 1.1 Penampang lateral bulbus okuli(3)
Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun
terpisah darinya oleh selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri
atas tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu : (1, 5)
A. Tunica Fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau
sklera dan bagian anterior yang transparan atau kornea. Sklera
merupakan jaringan ikat padat fibrosa dan tampak putih. Daerah
ini relatif lemah dan dapat menonjol ke dalam bola mata oleh
perbesaran cavum subarachnoidea yang mengelilingi nervus
opticus. Jika tekanan intraokular meningkat, lamina fibrosa akan
menonjol ke luar yang menyebabkan diskus menjadi cekung
bila dilihat melalui oftalmoskop. (1, 5)
Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik
yang terkait yaitu vv.vorticosae. Sklera langsung tersambung
dengan kornea di depannya pada batas limbus. Kornea yang
1
transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya
yang masuk ke mata. Tersusun atas lapisan-lapisan berikut ini
dari luar ke dalam sama dengan:
(1) epitel kornea (epithelium anterius) yang bersambung
dengan epitel konjungtiva.
(2) substansia propria, terdiri atas jaringan ikat transparan.
(3) lamina limitans posterior dan
(4) endothel (epithelium posterius) yang berhubungan
dengan aqueous humour. (1, 5)
B. Lamina Vasculosa
Dari belakang ke depan disusun oleh sama dengan : (1)
choroidea (terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis dalam
yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare (ke belakang
bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di
belakang tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus
ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma
berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya
yaitu pupil) iris membagi ruang diantara lensa dan kornea
menjadi camera anterior dan posterior, serat-serat otot iris
bersifat involunter dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier. (1, 5)
C. Tunica Sensoria
Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di
dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan
permukaan dalamnya berkontak dengan corpus vitreum. Tiga
perempat posterior retina merupakan organ reseptornya. Ujung
anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora serrata, di
tempat inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina
bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen
dengan lapisan epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior
retina ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris. (1, 5)
2
Di pusat bagian posterior retina terdapat daerah lonjong
kekuningan, makula lutea, merupakan daerah retina untuk
penglihatan paling jelas. Bagian tengahnya berlekuk disebut
fovea sentralis. (1, 5)
Nervus optikus meninggalkan retina lebih kurang 3 mm
medial dari makula lutea melalui diskus nervus optikus. Diskus
nervus optikus agak berlekuk di pusatnya yaitu tempat dimana
ditembus oleh a. centralis retinae. Pada diskus ini sama sekali
tidak ditemui coni dan bacili, sehingga tidak peka terhadap
cahaya dan disebut sebagai bintik buta. Pada pengamatan
dengan oftalmoskop, bintik buta ini tampak berwarna merah
muda pucat, jauh lebih pucat dari retina di sekitarnya. (1, 5)
1.2.Ruang Mata
Bagian dalam bola mata terdiri dari 2 rongga, yaitu anterior dan
posterior. Rongga anterior terletak didepan lensa, selanjutnya dibagi
lagi kedalam dua ruang, ruang anterior (antara kornea dan iris) dan
ruang posterior (antara iris dan lensa). Rongga anterior berisi cairan
bening yang dinamakan humor aqueous yang diproduksi dalam
badan siliaris, mengalir ke dalam ruang posterior melewati pupil
masuk ke ruang anterior dan dikeluarkan melalui kanal schelmm
yang menghubungkan iris dan kornea ( sudut ruang anterior).(12)
Iris struktur berwarna, menyerupai membran dan membentuk
lingkaran ditengahnya. Iris mengandung dilator involunter dan otot-
otot spingter yang mengatur ukuran pupil. Pupil adalah ruangan
ditengah-tengah iris, ukuran pupil bervariasi dalam merespon
intensitas cahaya dan memfokuskan obyek (akomodasi) untuk
memperjelas penglihatan, pupil mengecil jika cahaya terang atau
untuk penglihatan dekat. Lensa mata merupakan suatu kristal,
berbentuk bikonfek (cembung) bening, terletak dibelakang iris,
terbagi kedalam ruang anterior dan posterior. Lensa tersusun dari
sel-sel epitel yang dibungkus oleh membran elastis, ketebalannya
3
dapat berubah-ubah menjadi lensa cembung bila refraksi lebih besar.(11)
1.3.Orbita dan Otot-otot Ekstra-okular
Gambar 1.2 Cavum orbita(3)
Volume rongga orbita orang dewasa 30 mL, sedangkan bola
mata hanya mengisi 1/5 rongga orbita. Rongga orbita berbentuk
limas segi empat dengan puncak ke arah dalam. Dinding orbita terdiri
dari :(3)
1. Atap orbita, yaitu tulang frontal (terdapat sinus frontalis)
2. Dinding lateral, yaitu tulang sphenoidal dan tulang
zygomaticus
3. Dinding medial, yaitu tulang eithmoidal yang tipis (terdapat
sinus eitmoidal dan sphenoidal)
4. Dasar orbita, yaitu tulang maksilaris dan Zygomaticus. Pada
tulang maksilaris terdapat sinus maksilaris. Kelenjar
makrinalis terdapat dalam fossa lakrimalis dibagian anterior
atap orbita. (7)
4
Gambar 1.3 Penampang lateral bola mata beserta jaringan
sekitarnya(13)
Otot-otot ekstraokular terdiri dari empat muskuli yang berorigo
pada dinding belakang dan M. Oblikus superior yang berorigo pada
tepi foramen optikum menempel pada dinding depan atas orbita.
Seluruh otot-otot tersebut berinsersi pada dinding sklera.(11)
5
BAB IITRAUMA MATAPendahuluan
Trauma mata, baik sengaja maupun tidak sengaja, sering
terjadi dan dapat mengakibatkan kebutaan. Baik itu oleh hantaman
benda tumpul, trauma tembus oleh karena benda tajam, trauma oleh
karena cairan kimia, dan lain-lain. Kerusakan struktur mata yang
terjadi adalah tergantung pada bentuk traumanya.(12)
Di seluruh dunia, ada sekitar 1,6 juta orang yang buta oleh
karrena trauma mata, 2,3 juta terganggu penglihatan bilateralnya dan
19 juta dengan kehilangan penglihatan unilateral, hal ini merupakan
penyebab terbanyak kebutaan unilateral. Distribusi menurut usia,
trauma mata yang serius lebih sering pada dewasa muda dan kedua
pada orang-orang tua. Dimana paling banyak mengenai laki-laki.(6)
Derajat keparahan trauma mata sangat bervariasi, mulai dari
yang sangat ringan, tidak mengancam penglihatan sampai yang
serius dan berpotensi mengancam kebutaan. Namun hanya 2-3% dari
trauma mata membutuhkan perawatan intensif di Rumah Sakit. (6)
Trauma tumpul, meskipun dari luar tidak tampak adanya
kerusakan yang berat, tetapi transfer energi yang dihasilkan dapat
memberi konsekuensi cedera yang fatal. Kerusakan yang terjadi
bergantung kekuatan dan arah gaya, sehingga memberikan dampak
bagi setiap jaringan sesuai sumbu arah trauma. Sehingga perlu
diperhatikan. (6)
1.1.Klasifikasi
Menurut Birmingham Eye Trauma Terminology (BETTS), trauma
mata dibagi menjadi: (2)
6
Gambar 2.1 Klasifikasi trauma mata BETTS(2)
7
Tabel 2.1 Daftar istilah klasifikasi trauma mata BETTS(2)
Term Definition and explanation
Eyewall Sclera and cornea.Though technically the eyewall has three coats posterior to the limbus, for clinical and practical purposes violation of only the most external structure is taken into consideration
Closed globe injury No full- thickness wound of eyewall.
Open globe injury Full- thickness wound of the eyewall.
Contusion There is no (full- thickness) wound.The injury is either due to direct energy delivery by the object (e. g., choroidal rupture) or to the changes in the shape of the globe (e. g., angle recession)
Lamellar laceration Partial- thickness wound of the eyewall.
Rupture Full- thickness wound of the eyewall, caused by a blunt object.Since the eye is filled with incompressible liquid, the impact results in momentary increase of the IOP. The eyewall yields at its weakest point (at the impact site or elsewhere; example: an old cataract wound dehisces even though the impact occurred elsewhere); the actual wound is produced by an inside- out mechanism
Laceration Full- thickness wound of the eyewall, caused by a sharp object.The wound occurs at the impact site by an outside- in mechanism
Penetrating injury Entrance wound.If more than one wound is present, each must have been caused by a different agentRetained foreign object/ s.Technically a penetrating injury, but grouped separately because of different clinical implications
Perforating injury Entrance and exit wounds.Both wounds caused by the same agent
*Some injuries remain difficult to classify. For instance, an intravitreal BB pellet is technically an IOFB injury. However, since this is a blunt object that requires a huge impact force if they enter, not just contuse, the eye, there is an element of rupture involved. In such situations, the ophthalmologist should either describe the injury as "mixed" (i. e., rupture with an IOFB) or select the most serious type of the mechanisms involved. (9)
8
BAB III
TRAUMA TUMPUL
1.2.Etiologi
Kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan aki, cedera yang
berhubungan dengan olah raga, dan kecelakaan lalu lintas
merupakan keadaan-keadaan yang paling sering menyebabkan
trauma mata.(10)
1.3.Epidemiologi
Trauma tumpul pada mata dapat terjadi pada semua usia,
namun prevalensi tertinggi didapatkan pada anak-anak dan dewassa
muda. Laki-laki juga memiliki kemungkinan yang lebih tinggi
dibanding wanita.(10)
1.4.Klasifikasi
Kontusio
Kerusakan disebabkan oleh kontak langsung dengan
benda dari luar terhadap bola mata, tanpa menyebabkab
robekan pada dinding bola mata (4)
Konkusio
Kerusakan terjadi secara tidak langsung. Trauma terjadi
pada jaringan di sekitar mata, kemudian getarannya sampai
ke bola mata.(4)
Ruptur
Diskontinuitas jaringan mata. (4)
1.5.Gejala klinis
Cedera traumatik tumpul umumnya memiliki prognosis yang
lebih buruk daripada trauma tembus karena meningkatnya insidens
ablatio retina juga avulsi dan herniasi jaringan intraokuler.
9
Gambar 3.1 Efek penekanan benda tumpul pada mata &
jaringan sekitar(13)
Gaya kontusif dapat menimbulkan gangguan motilitas,
perdarahan, subkonjungtiva, edema kornea, iritis, hifema, glaukoma
sudut sempit, midriasis traumatik, ruptur sfingter iris, iridodialisis,
paralisis akomodasi, dislokasi lensa, dan katarak. Cedera yang
dialami oleh struktur-struktur posterior adalah perdarahan vitreus dan
retina, edema retina, edema retina, lubang pada retina, avulsi basis
vitreus, ablasio retina, ruptur koroid, dan kontusio atau avulsi nervus
optikus. (12)
Gambar 3.2 Berbagai efek penekanan benda tumpul pada
bulbus okuli(12)
10
Ruptur merupakan tipe luka yang paling parah, yang
menyebabkan prognosa yang buruk pada kasus ini adalah ekstrusi
instan dari jaringan melalui luka tersebut. (12)
Ruptur bola mata dapat terjadi akibat trauma tembus tajam
atau gaya kontusif tumpul. Trauma tumpul menyebabkan
peningkatan tekanan dalam orbita dan intraokuler disertai deformasi
bola mata terjadi dekompresi cepat sewaktu dinding mata robek atau
saat isi orbita keluar ke sinus-sinus di sekitarnya. Lumbus
superonasal adalah lokasi tersering ruptur bola mata. (12)
Ruptur jarang terjadi pada titik kekerasan. Dinding bola mata
hampir selalu robek pada titiik-titik terlemahnya. Pada umumnya,
ruptur bola mata, tanpa tindakan operasi sebelumnya, terjadi pada: (12)
Limbus
Equator
Lamina cribosa
Pada mata yang telah mendapatkan operasi sebelumnya,
maka luka bekas operasi merupakan resiko yang besar terhadap
ruptur. (12)
Gambar 3.3 Ruptur pada limbus disertai ablasio retina menuju
arah ruptur(12)
11
Berbagai kerusakan jaringan mata akibat trauma
1. Orbita
Trauma tumpul orbita yang kuat dapat menyebabkan bola mata
terdorong dan menimbulkan fraktur orbita. Fraktur orbita sering
merupakan perluasan fraktur dari maksila yang diklasifikasikan
menurut Le Fort (I: di bawah dasar orbita, II: melewati os. Nasale dan
os. Lacrimale selain juga ke maxila yang membentuk dasar orbita
medial, III: mengenai dinding medial dan lateral dasar orbita, disertai
dengan pemisahan rangka wajah dari kranium), dan fraktur tripod
pada zygoma yang akan mengenai dasar orbita.(10)
Gambar 3.4 Trauma karena ledakan kembang api pada mata & orbita
kiri(13)
Apabila pintu masuk orbita menerima suatu pukulan, maka gaya-
gaya penekan dapat menyebabkan fraktur dinding inferior dan medial
yang tipis, disertai dengan prolaps bola mata beserta jaringan lunak
ke dalam sinus maksilaris (fraktur blow-out). Mungkin terdapat
cedera intraokular terkait, yaitu hifema, penyempitan sudut, dan
ablasi retina. Enoftalmos dapat segera terjadi setelah trauma atau
terjadi belakangan setelah edema menghilang dan terbentuk sikatrik
dan atrofi jaringan lemak. (1)
12
Gambar 3.5 Blow Out Fracture(13)
Gambar 3.6 Penjepitan muskulus pada fraktur dasar orbita yang
berakibat pada penghambatan gerak bola mata(13)
Pada soft-tissue dapat menyebabkan perdarahan disertai enoftalmus
dan paralisis otot-otot ekstraokular yang secara klinis tampak
sebagai strabismus. Diplopia dapat disebabkan kerusakan
neuromuskular langsung atau edema isi orbita. Dapat pula terjadi
penjepitan otot rektus inferior orbita dan jaringan di sekitarnya.
13
Apabila terjadi penjepitan, maka gerakan pasif mata oleh forseps
menjadi terbatas. (10)
2. Sklera
Ruptur sklera ditandai oleh adanya khemosis konjungtiva, hifema
total, bilik depan yang dalam, tekanan bola mata yang sangat
rendah, dan pergerakan bola mata terhambat terutama ke arah
tempat ruptur. Ruptur sklera dapat terjadi karena trauma langsung
mengenai sklera sampai perforasi, namun dapat pula terjadi pada
trauma tak langsung. (4, 5)
Gambar 3.8 Ruptur pada sklera(12)
3. Palpebra
Meskipun bergantung kekuatan trauma, trauma tumpul yang
mengenai mata dapat berdampak pada palpebra, berupa edema
palpebra, perdarahan subkutis, dan erosi palpebra.(5)
4. Konjungtiva
Dampak trauma pada konjungtiva adalah perdarahan sub-
konjungtiva atau khemosis dan edema. Perdarahan subkonjungtiva
umumnya tidak memerlukan terapi karena akan hilang dalam
beberapa hari. Pola perdarahan dapat bervariasi, dari ptekie hingga
makular. Bila terdapat perdarahan atau edema konjungtiva yang
14
hebat, maka harus diwaspadai adanya fraktur orbita atau ruptur
sklera. (4)
Gambar 3.7 Akibat trauma tumpul pada bulbus okuli(13)
5. Kornea
Edema superfisial dan aberasi kornea dapat hilang dalam beberapa
jam. Edema interstisial dalah edema yang terjadi di substania propria
yang membentuk kekeruhan seperti cincin dengan batas tegas
berdiameter 2 – 3 mm. (5, 10)
Gambar 3.10 Abrasi kornea dilihat menggunakan fluorescin(13)
Lipatan membrana Bowman membentuk membran seperti lattice.
Membrana descement bila terkena trauma dapat berlipat atau robek
dan akan tampak sebagai kekeruhan yang berbentuk benang. Bila
endotel robek maka akan terjadi inhibisi humor aquous ke dalam
15
stroma kornea, sehingga kornea menjadi edema. Bila robekan
endotel kornea ini kecil, maka kornea akan jernih kembali dalam
beberapa hari tanpa terapi. (4)
Deposit pigmen sering terjadi di permukaan posterior kornea,
disebabkan oleh adanya segmen iris yang terlepas ke depan.
Laserasi kornea dapat terjadi di setiap lapisan kornea secara terpisah
atau bersamaan, tetapi jarang menyebabkan perforasi. (4)
6. Iris dan Korpus Siliaris
Segera setelah trauma, akan terjadi miosis dan akan kembali normal
bila trauma ringan. Bila trauma cukup kuat, maka miosis akan segera
diikuti dengan iridoplegi dan spasme akomodasi sementara. Dilatasi
pupil biasanya diikuti dengan paralisis otot akomodasi, yang dapat
menetap bila kerusakannya cukup hebat. Penderita umumnya
mengeluh kesulitan melihat dekat dan harus dibantu dengan
kacamata. Keadaan dilatasi ini meningkatkan resiko glaukoma
sekunder akibat trauma. Juga terdapat faktor resiko iris plateau yang
disebabkan kelainan letak dari insersi badan silier akibat trauma yang
menutup sudut bilik mata depa. (1, 4, 9)
Konkusio dapat pula menyebabkan perubahan vaskular berupa
vasokonstriksi yang segera diikuti dengan vasodilatasi, eksudasi, dan
hiperemia. Eksudasi kadang-kadang hebat sehingga timbul iritis.
Perdarahan pada jaringan iris dapat pula terjadi dan dapat dilihat
melalui deposit-deposit pigmen hemosiderin. Kerusakan vaskular iris,
akar iris, dan korpus siliaris dapat menyebabkan terkumpulnya darah
di kamera okuli anterior, yang disebut hifema. (1)
16
Gambar 3.11 Robekan iris & hifema(12)
Gambar 3.12 Derajat Hifema(13)
17
Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak
sudut kamar okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan
atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam
kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea. Tanda dan
gejala hifema, antara lain: (1)
- Pandangan mata kabur
- Penglihatan sangat menurun
- Kadang-kadang terlihat iridoplegia & iridodialisis
- Pasien mengeluh sakit atau nyeri
- Nyeri disertai dengan efipora & blefarospasme
- Pembengkakan dan perubahan warna pada palpebra
- Retina menjadi edema & terjadi perubahan pigmen
- Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan
- Pupil tetap dilatasi (midriasis)
- Tidak bereaksi terhadap cahaya beberapa minggu setelah trauma
- Pewarnaan darah (blood staining) pada kornea
- Kenaikan TIO (glukoma sekunder )
- Sukar melihat dekat
- Silau akibat gangguan masuknya sinar pada pupil
- Anisokor pupil
- Penglihatan ganda (iridodialisis)
Hifema primer dapat cepat diresorbsi dan dalam 5 hari bilik mata depan
sudah bersih. Komplikasi yang ditakutkan adalah hifema sekunder yang
sering terjadi pada hari ke-3 dan ke-5, karena viskositas darahnya lebih
kental dan volumenya lebih banyak. Hifema sekunder disebabkan lisis dan
retraksi bekuan darah yang menempel pada bagian yang robek dan
biasanya akan menimbulkan perdarahan yang lebih banyak. (4)
7. Lensa
18
Kerusakan yang terjadi pada lensa paska-trauma adalah kekeruhan,
subluksasi dan dislokasi lensa. Kekeruhan lensa dapat berupa cincin
pigmen yang terdapat pada kapsul anterior karena pelepasan pigmen
iris posterior yang disebut cincin Vossius. Kekeruhan lain adalah
kekeruhan punctata, diskreta, lamelar atau difus seluruh massa
lensa. (4, 5)
Akibat lainnya adalah robekan kapsula lensa anterior atau posterior.
Bila robekan kecil, lesi akan segera tertutup dengan meninggikan
kekeruhan yang tidak akan mengganggu penglihatan. Kekeruhan ini
pada orang muda akan menetap, sedangkan pada orang tua dapat
progresif menjadi katarak presenil. Dengan kata lain, trauma dapat
mengaktivasi proses degeneratif lensa. (5)
Subluksasi lensa dapat aksial dan lateral. Subluksasi lensa kadang-
kadang tidak mengganggu visus, namun dapat juga mengakibatkan
diplopia monokular, bahkan dapat mengakibatkan reaksi
fakoanafilaktik. Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke
vitreus, subskleral, ruang interretina, konjungtiva, dan ke subtenon.
Dislokasi ke bilik depan sering menyebabkan glaukoma akut yang
hebat, sehingga harus segera diekstraksi. Dislokasi ke posterior
biasanya lebih tenang dan sering tidak menimbulkan keluhan, tetapi
dapat menyebabkan vitreus menonjol ke bilik depan dan
menyebabkan blok pupil dan peninggian TIO. (5)
Kerusakan traumatis lensa muncul secara sekunder disebabkan
hidrasi dan dehidrasi osmotic. Laserasi dari lensa atau perlukaan
pada pompa ion adenosine triphosphate–dependent sodium–
potassium menyebabkan permeabilitas yang meningkat, yang
memungkinkan influx dari sodium dan air dari aqueous ke dalam
substansi lensa, menghasilkan pembengkakan sel epitel
ekstraseluler dan intraseluler. Selain itu, protein lensa mengalami
proteolisis, agregasi, dan perubahan-perubahan yang lainnya, yang
diperkirakan merupakan factor-faktor yang bertanggung jawab
terhadap pengkeruhan lensa pada katarak traumatika akut. (8)
19
8. Koroid dan korpus vitreus
Kontusio dan konkusio bola mata menyebabkan vitreus menekan
koroid ke belakang dan dikembalikan lagi ke depan dengan cepat
(contra-coup) sehingga dapat menyebabkan edema, perdarahan,
dan robekan stroma koroid. Bila perdarahan hanya sedikit, maka
tidak akan menimbulkan perdarahan vitreus. Perdarahan dapat
terjadi di subretina dan suprakoroid. Akibat perdarahan dan eksudasi
di ruang suprakoriud, dapat terjadi pelepasan koroid dari sklera. (5)
Gambar 3.9 Iridocyclodialisis(12)
Ruptur koroid secara oftalmoskopik terlihat sebagai garis putih
berbatas tegas, biasanya terletak anterior dari ekuator dan ruptur ini
sering terjadi pada membran Bruch. Kontusio juga dapat
menyebabkan reaksi inflamasi, nekrosis, dan degenerasi koroid. (4)
9. Retina
Edema retina terutama makula sering terjadi pada kontusio dan
konkusio okuli. Bila hebat dapat meninggalkan bekas yang
20
permanen. Edem retina bisa terjadi pada tempat kontusio, tetapi
yang paling sering terjadi mengenai sekeliling diskus dan makula.
Dapat pula terjadi nekrosis dan perdarahan retina yang pada proses
penyembuhan akan meninggalkan atrofi dan sikatrik. (10)
Pada edem makula, tampak retina di sekeliling makula berwarna
putih ke abu-abuan dengan bintik merah di tengahnya, menyerupai
gambaran oklusi arteri retina sentralis. Edema dapat berkembang
menjadi kistik atau macular hole. Bila edema tidak hebat, hanya akan
meninggalkan pigmentasi dan atrofi. Segera setelah trauma, terjadi
vasokonstriksi yang diikuti oleh vasodilatasi, menyebabkan edema
dan perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di retina, subhyaloid, atau
bahkan dapat ke vitreus, sehingga pada penyembuhannya
menyebabkan retinopati proliferatif. (4, 5, 10)
Robekan retina jarang terjadi pada mata sehat. Biasanya robekan
retina terjadi pada mata yang memang telah mengalami degenerasi
sebelumnya, sehingga trauma yang ringan sekalipun dapat memicu
robekan. Ruptur retina sering disertai dengan ruptur koroid. Dialisis
ora serata sering terjadi pada kuadran inferotemporal atau nasal
atas, berbentuk segitiga atau tapal kuda, disertai dengan ablasio
retina. Ablasio retina pada kontusio dan konkusio dapat terjadi akibat:(5, 11)
- Kolaps bola mata yang tiba-tiba akibat ruptur
- Perdarahan koroid dan eksudasi
- Robekan retina dan koroid
- Traksi fibrosis vitreus akibat perdarahan retina atau vitreus.
- Adanya degenerasi retina sebelumnya, trauma hanya sebagai
pencetus.
10. Nervus Optikus
21
Kontusio dan konkusio dapat menyebabkan edem dan inflamasi di
sekitar diskus optik berupa papilitis, dengan sekuele berupa papil
atrofi. Keadaan ini sering disertai pula dengan kerusakan koroid dan
retina yang luas. Kontusio dan konkusio yang hebat juga
mengakibatkan ruptur atau avulsi nervus optikus yang biasanya
disertai kerusakan mata berat. (10, 11)
22
BAB IV
DIAGNOSA KLINIS & DIAGNOSA BANDING
Tabel 4.1 pemeriksaan yang dilakukan pada pasien trauma okuler (7)
1.6.Diagnosa Klinis
Anamnesa tergantung klinis. Pemeriksaan fisik: (7)
o Snellen chart: media refraksi terganggu akibat kerusakan
kornea, aqueus humor, iris dan retina.
o Lapang penglihatan: penurunan mungkin disebabkan
oleh patologi vaskuler okuler, glukoma.
o Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler
( TIO ) normal 10,5-20,5 mmHg.
o Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya
glukoma bila TIO normal atau meningkat ringan.
o Pemerikasaan oftalmoskopi: analisa fundus retina.
o Pemeriksaan terhadap afferent pupillary defect (APD)
atau pupil Marcus Gunn untuk menila integritasi mervus
optikis intraorbita, retroorbita dan kanalis optikus.
o Pemeriksaan motilitas mata dengan tes duksi dan versi
serta coer uncover test.
23
o Seidel test untuk menilai apakah terdapat trauma tembus
atau ruptur sklera atau kornea sehingga isi bola mata
keluar.
o Fluorescesin test umtuk menilai diskontinuitas jaringan
sklera.
o Evaluasi kedalaman bilik mata depan dengan gonioskopi.
Pemeriksaan tambahan: (7) o Teknik imaging lainnya (USG, CT-scan, x-ray, MRI):
mengkaji struktur internal okuler, edema retine, bentuk
pupil dan kornea.
o Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan
penyakit sistemik/infeksi
1.7.Diagnosa Banding
o Glaukoma akut
o Keratitis
o Konjungtivitis
o Uveitis
24
BAB V
PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila
tampak jelas adanya ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus
dihindari sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum
pembedahan, tidak boleh diberikan sikloplegik atau antibiotik topikal
karena kemungkinan toksisitas obat akan meningkat pada jaringan
intraokular yang terpajan. Antibiotik dapat diberikan secara parenteral
spektrum luas dan pakaikan pelindung fox pada mata. Analgetik,
antiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan, dengan
restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum harus menghindari
substansi yang dapat menghambat depolarisasi neuromuskular, karena
dapat meningkatkan secara transien tekanan bola mata, sehingga dapat
memicu terjadinya herniasi isi intraokular.(10, 11)
Pada trauma yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat
kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang
tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan mata lengkap.
Anestetik topikal, zat warna, dan obat lainnya yang diberikan ke mata
yang cedera harus steril. (10)
Kecuali untuk cedera yang menyebabkan ruptur bola mata,
sebagian besar efek kontusio-konkusio mata tidak memerlukan terapi
bedah segera. Namun, setiap cedera yang cukup parah untuk
menyebabkan perdarahan intraokular sehingga meningkatkan risiko
perdarahan sekunder dan glaukoma memerlukan perhatian yang serius,
yaitu pada kasus hifema. (4, 10)
Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul,
seperti edema dan perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena
akan menghilang sendiri dalam beberapa jam sampai hari. Kompres
dingin dapat membantu mengurangi edema dan menghilangkan nyeri,
dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk
25
mempercepat penyerapan darah. Pada laserasi kornea , diperbaiki
dengan jahitan nilon 10-0 untuk menghasilkan penutupan yang kedap air.
Iris atau korpus siliaris yang mengalami inkarserasi dan terpajan kurang
dari 24 jam dapat dimasukkan ke dalam bola mata dengan viskoelastik.
Sisa-sisa lensa dan darah dapat dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi
mekanis atau vitrektomi. Luka di sklera ditutup dengan jahitan 8-0 atau 9-0
interrupted yang tidak dapat diserap. Otot-otot rektus dapat secara
sementara dilepaskan dari insersinya agar tindakan lebih mudah
dilakukan. (10)
Prognosis pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena
adanya cedera makula, robekan besar di retina, dan pembentukan
membran fibrovaskular intravitreus. Vitrektomi merupakan tindakan yang
efektif untuk mencegah kondisi tersebut. (11)
Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera
anterior, maka pasien harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan
sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara
berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau
bercak darah di kornea akibat pigmentasi hemosiderin. Penanganan
hifema, yaitu : (1)
A. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema
diserap.
B. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi
bebat tekan.
C. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.
D. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat.
(asetasolamida).
E. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.
F. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang
G. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata
depan dilakukan bila ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma
sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5
hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.
26
H. Asam aminokaproat oral untuk antifibrinolitik.
I. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih
50 mmH selama 5 hari.
J. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase
kamar anterior.
K. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian
limbus.
Pada fraktur orbita, tindakan bedah diindikasikan bila: (10)
Diplopia persisten dalam 30 derajat dari posisi
primer pandangan, apabila terjadi penjepitan
Enoftalmos 2 mm atau lebih
Sebuah fraktur besar (setengah dari dasar orbita)
yang kemungkinan besar akan menyebabkan enoftalmos.
Penundaan pembedahan selama 1 – 2 minggu membantu menilai
apakah diplopia dapat menghilang sendiri tanpa intervensi. Penundaan
lebih lama menurunkan kemungkinan keberhasilan perbaikan enoftalmos
dan strabismus karena adanya sikatrik. Perbaikan secara bedah biasanya
dilakukan melalui rute infrasiliaris atau transkonjungtiva. Periorbita diinsisi
dan diangkat untuk memperlihatkan tempat fraktur di dinding medial dan
dasar. Jaringan yang mengalami herniasi ditarik kembali ke dalam orbita,
dan defek ditutup dengan implan.(10,11)
27
BAB VI
PROGNOSA
Tergantung keparahan kerusakan jaringan & tepatnya penanganan.
Jika penanganan cepat, tepat dan cermat, maka prognosa baik,
sebaliknya.
28
BAB VII
KESIMPULAN
Kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan aki, cedera yang
berhubungan dengan olah raga, dan kecelakaan lalu lintas merupakan
keadaan-keadaan yang paling sering menyebabkan trauma mata.(10)
Trauma tumpul pada mata dapat terjadi pada semua usia, namun
prevalensi tertinggi didapatkan pada anak-anak dan dewassa muda. Laki-
laki juga memiliki kemungkinan yang lebih tinggi dibanding wanita.(10)
Klasifikasi trauma tumpul:
Kontusio
Kerusakan disebabkan oleh kontak langsung dengan
benda dari luar terhadap bola mata, tanpa menyebabkab
robekan pada dinding bola mata (4)
Konkusio
Kerusakan terjadi secara tidak langsung. Trauma terjadi
pada jaringan di sekitar mata, kemudian getarannya sampai
ke bola mata.(4)
Ruptur
Diskontinuitas jaringan mata. (4)
Gaya kontusif dapat menimbulkan gangguan motilitas, perdarahan,
subkonjungtiva, edema kornea, iritis, hifema, glaukoma sudut sempit,
midriasis traumatik, ruptur sfingter iris, iridodialisis, paralisis akomodasi,
dislokasi lensa, dan katarak. Cedera yang dialami oleh struktur-struktur
posterior adalah perdarahan vitreus dan retina, edema retina, edema
retina, lubang pada retina, avulsi basis vitreus, ablasio retina, ruptur
koroid, dan kontusio atau avulsi nervus optikus. (4)
Ruptur bola mata dapat terjadi akibat trauma tembus tajam atau gaya
kontusif tumpul. Trauma tumpul menyebabkan peningkatan tekanan
dalam orbita dan intraokuler disertai deformasi bola mata terjadi
dekompresi cepat sewaktu dinding mata robek atau saat isi orbita keluar
29
ke sinus-sinus di sekitarnya. Lumbus superonasal adalah lokasi tersering
ruptur bola mata. (4)
Berbagai kerusakan jaringan mata akibat trauma:
1. Orbita
Trauma tumpul orbita yang kuat dapat menyebabkan bola mata
terdorong dan menimbulkan fraktur orbita. Fraktur orbita sering
merupakan perluasan fraktur dari maksila yang diklasifikasikan
menurut Le Fort (I: di bawah dasar orbita, II: melewati os. Nasale dan
os. Lacrimale selain juga ke maxila yang membentuk dasar orbita
medial, III: mengenai dinding medial dan lateral dasar orbita, disertai
dengan pemisahan rangka wajah dari kranium), dan fraktur tripod
pada zygoma yang akan mengenai dasar orbita.(10)
Apabila pintu masuk orbita menerima suatu pukulan, maka gaya-
gaya penekan dapat menyebabkan fraktur dinding inferior dan medial
yang tipis, disertai dengan prolaps bola mata beserta jaringan lunak
ke dalam sinus maksilaris (fraktur blow-out). Mungkin terdapat
cedera intraokular terkait, yaitu hifema, penyempitan sudut, dan
ablasi retina. Enoftalmos dapat segera terjadi setelah trauma atau
terjadi belakangan setelah edema menghilang dan terbentuk sikatrik
dan atrofi jaringan lemak. (10)
Pada soft-tissue dapat menyebabkan perdarahan disertai
enoftalmus dan paralisis otot-otot ekstraokular yang secara klinis
tampak sebagai strabismus. Diplopia dapat disebabkan kerusakan
neuromuskular langsung atau edema isi orbita. Dapat pula terjadi
penjepitan otot rektus inferior orbita dan jaringan di sekitarnya.
Apabila terjadi penjepitan, maka gerakan pasif mata oleh forseps
menjadi terbatas. (10)
2. Sklera
Ruptur sklera ditandai oleh adanya khemosis konjungtiva, hifema
total, bilik depan yang dalam, tekanan bola mata yang sangat
rendah, dan pergerakan bola mata terhambat terutama ke arah
tempat ruptur. Ruptur sklera dapat terjadi karena trauma langsung
30
mengenai sklera sampai perforasi, namun dapat pula terjadi pada
trauma tak langsung. (4,5)
3. Palpebra
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat berdampak pada
palpebra, berupa edema palpebra, perdarahan subkutis, dan erosi
palpebra.(5)
4. Konjungtiva
Dampak trauma berupa perdarahan sub-konjungtiva atau
khemosis dan edema. Bila terdapat perdarahan atau edema
konjungtiva yang hebat, maka harus diwaspadai adanya fraktur orbita
atau ruptur sklera. (4)
5. Kornea
Edema superfisial dan aberasi kornea dapat hilang dalam
beberapa jam. Edema interstisial adalah edema yang terjadi di
substania propria yang membentuk kekeruhan seperti cincin dengan
batas tegas berdiameter 2 – 3 mm. (5,10)
Lipatan membrana Bowman membentuk membran seperti lattice.
Membrana descement bila terkena trauma dapat berlipat atau robek
dan akan tampak sebagai kekeruhan yang berbentuk benang. Bila
endotel robek maka akan terjadi inhibisi humor aquous ke dalam
stroma kornea, sehingga kornea menjadi edema. Bila robekan
endotel kornea ini kecil, maka kornea akan jernih kembali dalam
beberapa hari tanpa terapi. (4)
Deposit pigmen sering terjadi di permukaan posterior kornea,
disebabkan oleh adanya segmen iris yang terlepas ke depan.
Laserasi kornea dapat terjadi di setiap lapisan kornea secara terpisah
atau bersamaan, tetapi jarang menyebabkan perforasi. (4)
6. Iris dan Korpus Siliaris
Segera setelah trauma, akan terjadi miosis dan akan kembali
normal bila trauma ringan. Bila trauma cukup kuat, maka miosis akan
segera diikuti dengan iridoplegi dan spasme akomodasi sementara.
Dilatasi pupil biasanya diikuti dengan paralisis otot akomodasi, yang
31
dapat menetap bila kerusakannya cukup hebat. Penderita umumnya
mengeluh kesulitan melihat dekat dan harus dibantu dengan
kacamata. (1, 4)
Konkusio dapat pula menyebabkan perubahan vaskular berupa
vasokonstriksi yang segera diikuti dengan vasodilatasi, eksudasi, dan
hiperemia. Eksudasi kadang-kadang hebat sehingga timbul iritis.
Perdarahan pada jaringan iris dapat pula terjadi dan dapat dilihat
melalui deposit-deposit pigmen hemosiderin. Kerusakan vaskular iris,
akar iris, dan korpus siliaris dapat menyebabkan terkumpulnya darah
di kamera okuli anterior, yang disebut hifema. (1)
Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan
siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan
merusak sudut kamar okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara
spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak
dalam kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea. Tanda
dan gejala hifema, antara lain: (1)
- Pandangan mata kabur
- Penglihatan sangat menurun
- Kadang-kadang terlihat iridoplegia & iridodialisis
- Pasien mengeluh sakit atau nyeri
- Nyeri disertai dengan efipora & blefarospasme
- Pembengkakan dan perubahan warna pada palpebra
- Retina menjadi edema & terjadi perubahan pigmen
- Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan
- Pupil tetap dilatasi (midriasis)
- Tidak bereaksi terhadap cahaya beberapa minggu setelah
trauma.
- Pewarnaan darah (blood staining) pada kornea
- Kenaikan TIO (glukoma sekunder )
- Sukar melihat dekat
- Silau akibat gangguan masuknya sinar pada pupil
- Anisokor pupil
32
- Penglihatan ganda (iridodialisis)
Hifema primer dapat cepat diresorbsi dan dalam 5 hari bilik mata
depan sudah bersih. Komplikasi yang ditakutkan adalah hifema
sekunder yang sering terjadi pada hari ke-3 dan ke-5, karena
viskositas darahnya lebih kental dan volumenya lebih banyak. Hifema
sekunder disebabkan lisis dan retraksi bekuan darah yang menempel
pada bagian yang robek dan biasanya akan menimbulkan perdarahan
yang lebih banyak. (4)
7. Lensa
Kerusakan yang terjadi pada lensa paska-trauma adalah
kekeruhan, subluksasi dan dislokasi lensa. Kekeruhan lensa dapat
berupa cincin pigmen yang terdapat pada kapsul anterior karena
pelepasan pigmen iris posterior yang disebut cincin Vosslus.
Kekeruhan lain adalah kekeruhan punctata, diskreta, lamelar aau
difus seluruh massa lensa. (4, 5)
Akibat lainnya adalah robekan kapsula lensa anterior atau
posterior. Bila robekan kecil, lesi akan segera tertutup dengan
meninggikan kekeruhan yang tidak akan mengganggu penglihatan.
Kekeruhan ini pada orang muda akan menetap, sedangkan pada
orang tua dapat progresif menjadi katarak presenil. Dengan kata lain,
trauma dapat mengaktivasi proses degeneratif lensa. (5)
Subluksasi lensa dapat aksial dan lateral. Subluksasi lensa
kadang-kadang tidak mengganggu visus, namun dapat juga
mengakibatkan diplopia monokular, bahkan dapat mengakibatkan
reaksi fakoanafilaktik. Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke
vitreus, subskleral, ruang interretina, konjungtiva, dan ke subtenon.
Dislokasi ke bilik depan sering menyebabkan glaukoma akut yang
hebat, sehingga harus segera diekstraksi. Dislokasi ke posterior
biasanya lebih tenang dan sering tidak menimbulkan keluhan, tetapi
dapat menyebabkan vitreus menonjol ke bilik depan dan
menyebabkan blok pupil dan peninggian TIO. (5)
33
8. Koroid dan korpus vitreus
Kontusio dan konkusio bola mata menyebabkan vitreus menekan
koroid ke belakang dan dikembalikan lagi ke depan dengan cepat
(contra-coup) sehingga dapat menyebabkan edema, perdarahan,
dan robekan stroma koroid. Bila perdarahan hanya sedikit, maka
tidak akan menimbulkan perdarahan vitreus. Perdarahan dapat
terjadi di subretina dan suprakoroid. Akibat perdarahan dan eksudasi
di ruang suprakoriud, dapat terjadi pelepasan koroid dari sklera. (5)
Ruptur koroid secara oftalmoskopik terlihat sebagai garis putih
berbatas tegas, biasanya terletak anterior dari ekuator dan ruptur ini
sering terjadi pada membran Bruch. Kontusio juga dapat
menyebabkan reaksi inflamasi, nekrosis, dan degenerasi koroid. (4)
9. Retina
Edema retina terutama makula sering terjadi pada kontusio dan
konkusio okuli. Bila hebat dapat meninggalkan bekas yang
permanen. Edem retina bisa terjadi pada tempat kontusio, tetapi
yang paling sering terjadi mengenai sekeliling diskus dan makula.
Dapat pula terjadi nekrosis dan perdarahan retina yang pada proses
penyembuhan akan meninggalkan atrofi dan sikatrik. (10)
Pada edem makula, tampak retina di sekeliling makula berwarna
putih ke abu-abuan dengan bintik merah di tengahnya, menyerupai
gambaran oklusi arteri retina sentralis. Edema dapat berkembang
menjadi kistik atau macular hole. Bila edema tidak hebat, hanya akan
meninggalkan pigmentasi dan atrofi. Segera setelah trauma, terjadi
vasokonstriksi yang diikuti oleh vasodilatasi, menyebabkan edema
dan perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di retina, subhyaloid, atau
bahkan dapat ke vitreus, sehingga pada penyembuhannya
menyebabkan retinopati proliferatif. (4, 5, 10 )
Robekan retina jarang terjadi pada mata sehat. Biasanya
robekan retina terjadi pada mata yang memang telah mengalami
degenerasi sebelumnya, sehingga trauma yang ringan sekalipun
34
dapat memicu robekan. Ruptur retina sering disertai dengan ruptur
koroid. Dialisis ora serata sering terjadi pada kuadran inferotemporal
atau nasal atas, berbentuk segitiga atau tapal kuda, disertai dengan
ablasio retina. Ablasio retina pada kontusio dan konkusio dapat
terjadi akibat:(5, 11))
- Kolaps bola mata yang tiba-tiba akibat ruptur
- Perdarahan koroid dan eksudasi
- Robekan retina dan koroid
- Traksi fibrosis vitreus akibat perdarahan retina atau vitreus.
- Adanya degenerasi retina sebelumnya, trauma hanya sebagai
pencetus.
10. Nervus Optikus
Kontusio dan konkusio dapat menyebabkan edema dan inflamasi di
sekitar diskus optik berupa papilitis, dengan sekuele berupa papil atrofi.
Keadaan ini sering disertai pula dengan kerusakan koroid dan retina yang
luas. Kontusio dan konkusio yang hebat juga mengakibatkan ruptur atau
avulsi nervus optikus yang biasanya disertai kerusakan mata berat. (10, 11)
35
BAB VIII
PENUTUP
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa tugas baca ini dapat
terselesaikan dengan baik, semoga pembaca dapat mengambil manfaat
dari tugas baca ini. Pada dasarnya low vision tidak berbahaya, namun
dapat berpengaruh pada aktifitas hidup sehari-hari. Kami berharap tugas
baca ini dapat menjadi tambahan referensi bagi rekan-rekan sejawat
dalam bidang pendidikan maupun dalam praktik sehari-hari.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Berke SJ. Post-traumatic glaucoma in Ophthalmology. Edisi II. Editor:
Yanoff M, Duker JS, Augsburger JJ. Mosby, 2004.
2. Birrmingham Eye Trauma Terminology System (BETTS)
http://www.asotonline.org/bett.html
3. Crick R. P., Khaw P. T., A Textbook of Clinical Ophtalmology 3rd Edition,
A Practical Guide to Disorders of The Eyes and Their Management.
World Scientific Publishing, Singapore, 2003
4. Hilman H. Setyowati EE, Hamdanah. Ilmu Penyakit Mata I. SMC press,
1998
5. Khaw P.T., Shah P, Elkington AR. Injury to the eye. Br Med J
2004;328:36-8.
6. Macewen C. J., Occular Injuries. The Royal College of Surgeons of
Edinburgh, 1999
http://www.rcsed.ac.uk/journal/vol44_5/4450010.html
7. Nutaitis M. J. Ocular trauma: History and Examination
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/trauma.h tml
8. Pasternak J. Trauma of The Crystalline Lens
http://www.bordeninstitute.army.mil/published_volumes/ophthalmic/
ophch10.pd f.html
9. Plateau Iris
http:// eyewiki.aao.org l/ plateau_Iris. html
10. Riordan P. Witcher J.P. Vaughan & Asbury’s General Opthalmology 17th
edition. . EGC. Jakarta. 2009. Halaman : 372-381
11. Rubsamen PE. Trauma in Ophthalmology. Edisi II. Editor: Yanoff M,
Duker JS, Augsburger JJ. Mosby, 2004
12. Sehu K. W., Lee W. R., Ophtalmic Pathology An Illustrated Guide for
Clinicians. Blackwell Publishing, USA, 2005.
13. image.google.com
http://www.rcsed.ac.uk/journal/vol44_5/4450034.htm
http://www.uniteforsight.org/eyesafety/learn.php
http://drhem.com/2012/03/12/intern-report-5-17/
37
http://www.retinatoday.org/rt/rt.nsf/docCat?
OpenForm&Section=teleretina&Action=Papers&ActionSec=A
rticles&Language=EN&Cat=&Start=1&Count=100&uniiddoc=
33C0B57299B74B67C12571B50031F408
http://www.doereport.com/generateexhibit.php?
ID=5328&ExhibitKeywordsRaw=&TL=&A
http://exact.e-lfh.org.uk/exact/cppid/
EMD_10_009_Zygomatic_Complex_and_Nasal_Injury/last/
d/AE_Session/406/tab_486.html
http://www.arthursclipart.org/medical/senseorgans/
page_01.htm
38