i
UNIVERSITAS INDONESIA
CINTA DAN PERSAHABATAN: SINTESIS ANTARA ETIKA KEBAHAGIAAN DAN ETIKA KEWAJIBAN MENURUT
ROBERT SPAEMANN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat
AGUNG NUGRAHA0606091312
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI FILSAFAT
DEPOKJULI 2012
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, 17 Juli 2012
Agung Nugraha
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Agung Nugraha
NPM : 0606091312
Tanda Tangan : ……………………………
Tanggal : 17 Juli 2012
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi yang diajukan oleh :Nama : Agung NugrahaNPM : 0606091312Program Studi : Ilmu FilsafatJudul : Cinta dan Persahabatan: Sintesis antara Etika
Kebahagiaan dan Etika Kewajiban Menurut Robert Spaemann
Ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Ganang Dwi Kartika, M.Hum. (…………………………)
Penguji : M. Fuad Abdillah, M.Hum. (…...…………………….)
Penguji : Dr. Naupal Asnawi (…...…………………….)
Ditetapkan di : DepokTanggal : 17 Juli 2012
oleh
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia
Dr. Bambang Wibawarta, S.S., M.A.NIP. 131882265
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
v
KATA PENGANTAR
Kehidupan tidak lain merupakan sebuah dinamika perasaan. Ada saatnya
kita merasa senang dan gembira, ada saatnya kita merasa sedih dan kecewa. Itulah
yang dialami penulis dalam kehidupan dunia pada umumnya dan kehidupan dunia
kampus pada khususnya. Fenomena yang ada terkadang membuat penulis ambigu
untuk melakukan apa yang seharusntya dilakukan. Namun karena keyakinan
penulis kepada ‘Yang Absolut’ dapat memecahkan sebuah keraguan yang dijawab
oleh proses dialog itu sendiri. Sembah sujud penulis kepada zat yang tidak pernah
luput dalam pengatura-Nya, Allah SWT. Berkat-Nya skripsi dan kuliah penulis
dapat terselesaikan. Sebagai makhluk yang saling membutuhkan, penulis
menghaturkan banyak terima kasih dan karena mereka, penulis dapat
merealisasikan segala hasil yang kini dapat diraih oleh penulis. Mereka adalah:
Kedua orang tua tercinta, penulis amat sangat berterimakasih dalam
memberikan bantuan serta dukungan material maupun moral. Tanpa bantuan dari
kedua orang tua, akan sangat mustahil bagi penulis menyelesaikan skripsi dan
kuliah yang telah dijalankan selama ini.
Ganang Dwi Kartika, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah
mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan kuliah dan penyusunan skripsi ini. Bapak selalu mengingatkan
penulis akan koreksi, diskusi, maupun kritik yang amat membangun dalam
penulisan skripsi ini. Bapak sudah seperti keluarga sendiri yang tidak pernah
bosan membantu penulis.
Dr. Donny Gahral Adian, selaku selaku pembimbing akademis. Yang telah
meluangkan waktu kepada penulis dan selalu bersedia dilibatkan ketika penulis
meminta persetujuan surat menyurat, diskusi, serta masukan.
M. Fuad Abdillah, M.Hum., selaku dosen penguji. Yang telah memberikan
masukan yang sangat berharga bagi penulis, serta memberi pandangan-pandangan
baru dalam penulisan skripsi ini.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
vi
Dr. Naupal Asnawi, selaku dosen penguji. Yang telah memberi masukan
yang amat berarti. Melalui diskusi-diskusi dengan beliau, penulis mendapatkan
inspirasi baru untuk mengkoreksi skripsi ini hingga selesai.
Para Pengajar yang memberikan kontribusi, baik secara langsung maupun
tidak langsung atas penyusunan skripsi ini. Pak Achyar yang memberikan tempat
bernaung pada masa-masa karantina, Pak Tommy yang telah memberikan
masukan atas keberlangsungan skripsi ini, Mbak Yayas yang selalu direpotkan
oleh penulis, Bu Embun, Bu Herminie, dan mereka yang luput dari penulisan
nama pada skripsi ini.
Sahabat seperjuangan pada masa kuliah; Indra sudaryanto, Andrew
Alfajrin, Bimo, Jeffery, Okta, Dam, Nia, dan sahabat filsafat 06’, yang jika
dituliskan masing-masing nama dari mereka, skripsi ini akan penuh dengan daftar
nama.
Sahabat sekaligus kekasih terbaik yang pernah dimiliki oleh penulis,
Anggie Putri Utamie, S.H. Penulis amat sangat berterima kasih karena berkat
dukungan maupun pengertian yang telah diberikan selama ini, skripsi ini maupun
studi kuliah akhirnya selesai meskipun tidak tepat pada waktunya. Kemudian
teman sepermainan penulis, baik yang aktual maupun yang tidak aktual; Sheila,
Nanda, Fahmi, Afit, Ida, Yanto, Eko, Ozy, Ratim vs Dhika, Randy, Tiddy, Emak,
Rendi, Andri, Indra Zao, Luthfi, dan lain-lain.
Kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan yang telah membantu untuk
menyelesaikan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 17 Juli 2010
Agung Nugraha
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Agung Nugraha
NPM : 0606091312
Program Studi : Ilmu Filsafat
Departemen : Filsafat
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Cinta dan Peersahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika Kewajiban
Menurut Robert Spaemann
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Depok, 17 Juli 2012
Agung Nugraha
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
viii
ABSTRAK
Nama : Agung Nugraha
Program Studi : Ilmu Filsafat
Judul : Cinta dan Persahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika
Kewajiban Menurut Robert Spaemann
Dalam pemikiran etika modern, eudaimonia dipandang tidak lagi relevan sebagai dasar dari moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama akibat kritik Kant terhadap etika eudaimonia, bahwa motivasi akan kebahagiaan hanya akan merusak inti dari moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban. Robert Spaemann bermaksud merehabilitasi etika eudaimonia dengan berusaha mencari titik temu antara kebahagiaan dan kewajiban. Pemisahan antara kebahagiaan dengan kewajiban adalah kesalahan dalam memahami dasar dari moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang moralitas haruslah bebas dari segala kepentingan dan memandang motivasi akan kebahagiaan bersifat egoistik. Kesalahan tersebut adalah konsekuensi dari ontologi modern yang tidak dapat menampung konsep tentang transendensi diri. Spaemann lantas beralih kepada konsep cinta, yang menurutnya mengubahkepentingan diri, sebagai hasil dari transendensi diri makhluk rasional. Dalam cinta, tidak ada lagi pertentangan antara motivasi akan kebahagiaan dan melakukan yang wajib. Hal ini karena dalam cinta, yang menjadi motivasi dari tindakan adalah realitas orang lain, dan dalam cinta pula seseorang memperoleh kebahagiaan atas realitas orang lain.
Kata Kunci:eudaimonia, antinomi kebahagiaan, kalon, kagathon, hedonisme, etika Stoa, etika Kristiani, etika Kewajiban, utilitarisme, cinta, kebaikan hati, persahabatan, ordo amoris, tanggung jawab, maaf
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
ix
ABSTRACT
Name : Agung Nugraha
Study Program : Philosophy
Title : Love and Friendship: Synthesis between Eudaimonic Ethics and
Deontological Ethics According to Robert Spaemann
In modern ethics, eudaimonia is considered as irrelevance to become a ground for morality or ethical actions. It is primarily an implication of Kant’s critique to ethics of eudaimonia, that motif of happiness may corrupt the core of morality. According to Kant, morality is all about obligation. Robert Spaemann attempts to rehabilitate ethics of eudaimonia by seeking for a link between happiness and obligation. The separation between happiness and obligation is a mistake in attempt to understand the ground of morality. Kant makes a mistake by considering morality as free from any interest and also considering that motif of happiness is egoistic. That mistake is a consequence of modern ontology that unable to accommodate the concept of self-transcendency. Thus Spaemann turns to concept of love, which he thinks can change self-interest as the result from rational being’s self-transcendency. In love, there is no opposition between motif of happiness and doing obligation. It is because, in love the motif of an action is other’s reality; it is also in love that someone acquires happiness from other’s reality.
Keywords:eudaimonia, antinomy of happiness, kalon, kagathon, hedonism, Stoic ethics, Christian ethics, Deontological ethics, utilitarism, love, benevolence, friendship, ordo amoris, responsibility, forgiveness
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………. iSURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ……………………………… iiHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………………. iiiHALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………… ivKATA PENGANTAR …………………………………………………………….. vHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………………………………………….. viiABSTRAK………………………………………………………………………….viiiABSTRACT ……………………………………………………………………….. ixDAFTAR ISI ………………………………………………………………………. x
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………… 011.1. Latar Belakang ……………………………………………………………. 011.2. Rumusan Masalah…………………………………………………………. 021.3. Pernyataan Tesis ………………………………………………………….. 021.4. Tujuan Penulisan …………………………………………………………. 031.5. Metode Penelitian ………………………………………………………… 031.6. Sistematika Penulisan …………………………………………………….. 04
BAB II. RIWAYAT HIDUP ROBERT SPAEMANN ……………………………. 062.0. Pengantar …………………………………………………………………. 062.1. Kehidupan Robert Spaemann …………………………………………….. 062.2. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran yang Memengaruhi Robert
Spaemann …………………………………………………………………. 082.3. Karya-karya Robert Spaemann …………………………………………… 092.4. Penutup ……………………………………….………………………....... 13
BAB III. KRITIK ROBERT SPAEMANN TERHADAP ETIKA EUDAIMONIA DAN ETIKA MODERN …………………………………………………………... 15
3.0. Pengantar …………………………………………………………………. 153.1. Kritik Robert Spaemann terhadap Etika Eudaimonia ……………………. 16
3.1.1. Eudaimonisme ……………………………………………………… 163.1.2. Etika Kebahagiaan Menurut Plato ………………………………….. 173.1.3. Etika Kebahagiaan Menurut Epikuros ……………………………… 193.1.4. Etika Kebahagiaan Menurut Stoa …………………………………... 223.1.5. Etika Kebahagiaan menurut Aristoteles ……………………………. 24
3.2. Kritik Robert Spaemann terhadap Etika Modern …………………………. 263.2.1. Etika Kristiani ………………………………………………………. 263.2.2. Etika Kant…………………………………………………………… 283.2.3. Utilitarisme …………………………………………………………. 293.2.4. Etika Diskursus ……………………………………………………... 33
3.3. Penutup …………………………………………………………………… 36
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
xi
BAB IV. CINTA DAN PERSAHABATAN DALAM PERSPEKTIF ROBERT SPAEMANN ………………………………………………………………………. 40
4.1. Pengantar ………………………………………………………………….. 404.2. Kebaikan Hati, Persahabatan, dan Melihat Kenyataan …………………… 404.3. Ordo Amoris………………………………………………………………. 454.4. Tanggung Jawab…………………………………………………………... 494.5. Maaf ………………………………………………………………………. 564.6. Bagan ……………………………………………………………………... 614.6. Penutup …………………………………………………………………… 62
BAB VI. PENUTUP ……………………………………………………………….. 645.1. Tanggapan Kritis ………………………………………………………….. 645.2. Kesimpulan ……………………………………………………………….. 66
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 71
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
1Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setidaknya ada dua pendekatan dasar dalam etika. Pendekatan yang
pertama adalah etika eudaimonia. Etika eudaimonia berangkat dari tesis bahwa
tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Karena itu etika adalah
ajaran tentang bagaimana mencapai kebahagiaan tersebut. Sedangkan pendekatan
yang kedua, dengan Kant sebagai pelopornya, memandang bahwa eudaimonia
tidak lagi relevan bagi moralitas, bahkan dapat merusak dimensi moralitas itu
sendiri. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban, dan harus bebas dari
motivasi untuk mendapatkan kebahagiaan.
Sajak kritik Kant terhadap etika eudaimonia, pada wacana tentang
kebahagiaan seolah menghilang dari pemikiran etika-etika selanjutnya. Padahal
etika Kant dengan paham kewajibannya bukannya tanpa masalah, agar seseorang
mau melakukan sesuatu, seharusnya sesuatu tersebut memiliki daya tarik yang
membuat orang tersebut bersedia untuk melakukannya. Dan Kant tidak dapat
menjawab pertanyaan mengapa orang bersedia untuk melakukan apa yang wajib.
Memang Kant mengatakan bahwa adanya kewajiban adalah fakta moral, yakni
kenyataan bahwa kita spontan sadar berkewajiban untuk bertindak moral. Jadi
bagi Kant, tidak mungkin untuk mempertanyakan mengapa manusia harus
bertindak moral atau melakukan apa yang wajib. Namun fakta moral ini
sebenarnya sudah berada di luar pengandaian-pengandaian teoritis Kant.1
Sesungguhnya ketidakmampuan Kant untuk menjawab pertanyaan
mengapa orang harus bertindak moral menunjuk pada persoalan lebih mendasar
pada etika Kant dan etika-etika selanjutnya yang menyingkirkan gagasan
teleologis tentang tujuan hakiki manusia. Gagasan teleologis tentang tujuan
hakiki manusia adalah dasar berpijak bagi filsafat, tanpa gagasan teleologis, 1 Bdk. Magniz-Suseno, Franz, “Perkembangan-Perkembnagan Baru dalam Etika”, Jurnal Diskursus Vol. 01, No. 01, April 2002, hal. 20.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
2Universitas Indonesia
filsafat dan etika seolah berjalan tanpa berpijak.2 Kesan seperti itu memang tidak
dapat disangkal bila kita melihat pemikiran etika modern. Etika modern,
misalnya etika diskursus malah sibuk tentang persoalan prosedur.
Dengan latar belakang situasi pemikiran etika moderen seperti inilah
posisi Spaemann menjadi sangat penting. Dalam bukunya yang berjudul
Happiness and Benevolence, Spaemann berusaha menggeluti apa yang
seharusnya menjadi sumber persoalan, yaitu pertentangan antara etika eudaimonia
dan etika kewajiban. Persoalan pertentangan antara etika eudaimonia dan etika
kewajiban akan dipecahkan melalui kacamata Spaemann agar pemikiran etika
modern tidak semakin jauh lagi menyimpang dari pokok persoalan, yakni apa
yang seharusnya menjadi fokus etika.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang
menjadi pembahasan skripsi ini adalah:
1. Merumuskan kembali apa yang seharusnya menjadi tugas pokok dari
etika dalam pandangan Spaemann, yaitu bagaimana mempertemukan
antara ‘apa yang membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, tentang
bagaimana mencapai hidup yang berhasil.
2. Usaha Spaemann dalam menyatukan ‘apa yang wajib’ dan ‘apa yang
membahagiakanku’ dirumuskan dengan cara memperlihatkan kritiknya
terhadap etika kewajiban dan etika kebahagiaan.
1.3. Pernyataan Tesis
Cinta yang direlasikan dengan kebaikan hati, merubah self interest
menjadi bentuk transendensi diri manusia, di mana realitas orang lain dalam
teleologinya sendiri menjadi motif bagi tindakan.
2 Ibid. hal. 20.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
3Universitas Indonesia
1.4. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Memahami pemikiran Robert Spaemann tentang pertentangan antara etika
eudaimonia dengan etika kewajiban, dan solusi yang ditawarkan Spaemann
sebagai jalan keluar dari pertentangan tersebut. Spaemann melihat bahwa
pada awalnya etika bersifat eudaimonistik, yaitu sebagai ajaran untuk
mencapai kebahagiaan, di mana Spaemann menerjemahkan kata
eudaimonia sebagai hidup yang berhasil dilihat secara keseluruhan. Namun
hidup yang didasarkan pada pengejaran akan kebahagiaan cukup
bermasalah. Hal ini juga tidak terlepas dari kritik Kant bahwa suatu
tindakan yang dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan kebahagiaan
ataupun ganjaran di surga malah moralitas.
2. Menunjukkan kesalahan Kant dalam memahami moralitas. Kesalahan Kant
adalah memandang bahwa moralitas harus berarti bebas dari segala
kepentingan, sedangkan pengejaran atas kebahagiaan dipandang sebagai
sifat egoistis. Di sinilah kemudian Spaemann menunjuk pada fenomena
cinta yang menurutnya dapat merubah kepentingan diri (self-interest),
menjadi bentuk transendensi diri manusia, dimana realita orang lain dalam
teleologinya sendiri menjadi tujuan bagi tindakan. Jadi dalam cinta, tidak
ada lagi kepentingan antara kebahagiaan dengan apa yang wajib.
1.5. Metode Penelitian
Proses pencarian soluisi pada etika merupakan suatu upaya agar manusia
dapat hidup lebih baik, yakni etika dipahami tentang bagaimana cara untuk
berbuat baik dan menghindari keburukan. Banyak pembicaraan tentang etika yang
tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya karena mendasarkan diri
pada prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada
kebermanfaatan, pencegahan keburukan dan lain sebaginya. Etika sebenarnya
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
4Universitas Indonesia
lebih menaruh perhatian pada pembicaraan tentang prinsip pembenaran daripada
tentang keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan.
Skripsi ini mengacu pada buku Spaemann Happines and Benevolence.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-analitis,
dimana saya berusaha memaparkan gagasan Spaemann kemudian memberi
tanggapan berdasarkan wawasan yang saya baca dari sumber lain.
1.6. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, pernyataan tesis, tujuan penulisan,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Dalam bab dua, membahas riwayat hidup Spaemann, yang mencakup
bagaimana kehidupan Spaemann, latar belakang pendidikan yang disusul
pengaruh pemikiran, dan karya-karya Spaemann.
Dalam bab tiga, dipaparkan pembahasan tentang kritik Spaemann terhadap
etika eudaimonia. Mencakup pemikiran Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles
yang berusaha mencari isi dari pada eudaimonia. Di samping menunjukkan
kelemahan dari setiap pemikir, Spaemann pada akhirnya menunjukkan pada
konsep tentang eudaimonia bersifat antinomi, yang tentu akan menyebabkan
kegagalan etika eudaimonia. Kemudian dilanjutkan dengan kritik Spaemann
terhadap etika modern, yaitu etika Kristiani, etika, Kant, utilitarisme, dan etika
diskursus. Di sini Spaemann pun menunjukkan kegagalan etika-etika tersebut
dalam memahami apa yang sesungguhnya menjadi pokok dari moralitas.
Setelah pada bab sebelumnya dibahas keterbatasan dari etika-etika
tersebut, selanjutnya dalam bab empat, saya membahas apa yang menjadi inti dari
pemikiran Spaemann sendiri. Dalam bab empat dibahas tentang kebaikan hati,
cinta/persahabatan, persepsi atas realitas, ordo amoris. Dan memaparkan tentang
tanggung jawab dan maaf, yang menurut Spaemann tidak terlepas dari konsep
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
5Universitas Indonesia
tentang cinta. Kemudian skripsi ini diakhiri dengan bab lima yang merupakan
penutup.
Dalam bab lima, yang merupakan bab penutup, saya membuat kesimpulan
atas seluruh pemaparan dalam skripsi ini, yang disusul dengan tanggapan kritis
atas pemikiran Robert Spaemann.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
6 Universitas Indonesia
BAB II
RIWAYAT HIDUP ROBERT SPAEMANN
2.0 Pengantar
Sebagai seorang filsuf abad ke-20 Robert Spaemann belum banyak
dikenal. Hal Ini terlihat pada karya-karyanya yang masih sangat sedikit ditulis
dalam bahasa Inggris, dan ini menjadi salah satu faktor penyebab Spaemann
kurang dikenal. Jika dibandingkan dengan Habermas, reputasi Spaemann memang
harus diakui beberapa peringkat di bawahnya. Meskipun demikian, tentu penting
untuk mengetahui siapa dan apa saja karya yang telah dihasilkan Spaemann,
mengingat di negaranya, ia termasuk ke dalam peringkat ke-9 pemikir-pemikir
Jerman yang paling berpengaruh kurun waktu terakhir ini, dan pemikirannya
dimasukkan ke dalam pemikiran yang mampu menyemangati perjalanan hidup
bangsanya.
Dalam bab ini akan dipaparkan informasi tentang Robert Spaemann, yang
terdiri dari; bagaimana kehidupan Robet Spaemann, latar belakang pendidikan
dan pemikiran yang mempengaruhi Robert Spaemann, kemudian diakhiri dengan
penutup.
2.1. Kehidupan Robert Spaemann
Robert Spaemann lahir di Berlin, pada 5 Mei 1927 dari pasangan Heinrich
Spaemann dan Ruth Krämer. Tak seorang pun meragukan bahwa kedua orang
tuanya adalah ateis-ateis radikal. Namun pada tahun 1930, akhirnya kedua orang
tua Spaemann memeluk agama Kristen Katolik. Tak lama setelah kematian
ibunya, Heinrich Spaemann, ayahnya, mengabdikan diri sebagai seorang imam
katolik sejak tahun 1942.
Di Jerman dewasa ini, di samping Spaemann sangat dikenal sebagai
seorang filsuf konservatif yang berhaluan katolik Roma, ia juga dikenal sebagai
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
7 Universitas Indonesia
seorang penulis. Perhatian utama Spaemann tertuju pada etika Kristen. Sebagai
seorang filsuf ia dikenal untuk permasalahan bioetika, ekologi, dan hak-hak
manusia. Meskipun karya-karyanya belum diterjemahkan secara luas ke dalam
berbagai bahasa, yang pada umumnya masih ditulis dalam bahasa tempat
kelahirannya, yakni bahasa Jerman, di kalangan internasional karya-karya
Spaemann memperoleh pujian dari Paus Benedict XVI.
Sebagai seorang professor, Spaemann ikut serta dalam Schülerkreis Paus
Benedict, sebuah konferensi yang diselenggarakan atas inisiatif pribadi yang
berdiri sejak akhir tahun 1970. Di samping itu, kontribusinya sangat berarti dalam
hal perdebatan-perdebatan kontemporer di bidang filsafat dan teologi, percakapan-
percakapan terbuka antar kedua disiplin tersebut. Dia juga ikut serta dalam sebuah
dialog yang menuntutnya untuk bertumpu pada pandangan-pandangan klasik atau
pun kontemporer dan sering mengemukakan pandangan-pandangan pribadinya
yang penting dan orisinal. Sebagai contoh untuk itu adalah pertanyaan tentang
'Who is a person?' yang memperoleh bentuknya yang makin penting ke dalam
pertanyaan-pertanyaan seperti: Are all human beings persons? Are there animals
that can be considered persons? What does it mean to speak of personal identity
and of the dignity of the person? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut
jawaban Spaemann adalah bahwa “...Every human being ...” menurutnya, “... is a
person and, therefore, 'has' his nature in freedom.” Agar dapat memahami orang
tersebut, menurut Spaemann, “... we have to think about the relation between
nature and freedom and avoid the reductive accounts of this relation prevalent in
important strands of modern thought.” 1
Sebagai seorang filsuf, Spaemann mengembangkan sebuah kritik yang
menantang tentang modernitas analisis gabungan akan anti-modernisme modern
dan modernisme. Jika kita tidak ingin menghapuskan diri kita sebagai pribadi-
pribadi, menurut Spaeman, maka “... we need to find a way of understanding
ourselves that evades the dialectic of modernity.” Dengan demikian, Spaemann
mengingatkan para pembacanya akan pengetahuan yang serba cukup bukti (self-
1
http://search.barnesandnoble.com/Robert-Spaemanns-Philosophy-of-the-Human-Person/Holger-Zaborowski/e/9780199576777
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
8 Universitas Indonesia
evident), yakni wawasan-wawasan yang sebenarnya kita telah ketahui tetapi
cenderung melupakannya.
2.2. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran yang Memengaruhi Robert
Spaemann
Robert Spaemann menjalani masa studinya di University of Münster. Di
universitas itulah ia menerima penganugerahan Habilitation. Habilitation (bahasa
Latin habilis berarti ‘cukup baik’, ‘dihargai secara sosial’, ‘cakap’) adalah
kualifikasi akademik tertinggi yang dapat dicapai seorang sarjana melalui
berbagai usahanya di beberapa negara Eropa dan Asia. Bertolak dari
penganugerahan tersebut, Spaemann diharuskan menulis sebuah karya tesis yang
sering disebut dengan istilah Habilitationsschrift atau Habilitation thesis. Karya
tulis akademis tersebut dilakukan atas dasar kesarjanaan yang telah diperolehnya
dan di-review serta harus dipertahankan di hadapan komite akademis seperti yang
biasa dilakukan untuk karya-karya penelitian disertasi.
Spaemann seorang profesor filsafat di beberapa universitas, di antaranya
Universitas Stuttgart (hingga 1968), Universitas Heidelberg (hingga 1972),
Universitas Munich sampai tiba masa pensiun baginya di tahun 1992. Di
Universitas Salzburg ia dipekerjakan sebagai profesor pengabdi yang tanpa
menerima pembayaran (honorar-professor). Dia dianugerahi kehormatan doktor
(honorary doctorate) oleh Catholic University of Lublin di tahun 2012.
Pemikiran Robert Spaemann sangat dipengaruhi oleh beberapa filsuf, baik
yang hidup di masa Yunani maupun yang hidup di masa modern. Para filsuf itu
antara lain; Aristoteles, Plato, Stoa, Epikuros, Immanuel Kant, Thomas Aquinas,
Agustinus, Gottfried Wilhelm Leibniz, Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan
George Edward Moore. Namun demikian, ada dua filsuf yang sangat
mempengaruhi Robert Spaemann, yaitu Aristoteles dan Immanuel Kant.
Robert Spaemann dikategorikan sebagai Neo-Aristotelian dan konservatif.
Sudah lama etika menghindar dari pertanyaan yang paling mendasar: Mengapa
kita harus bermoral? Dengan kembali ke etika Yunani, khususnya tradisi Plato,
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
9 Universitas Indonesia
Spaemann mengindentifikasi kebaikan hati dan persahabatan pada konsep
Aristoteles, sebagai fenomena paling mendasar. Moralitas, bagi Kant yang selama
ini dianggap sebagai persoalan kewajiban semata, dapat diketahui secara intuitif
dengan pengalaman cinta.
Spaemann mengembangkan intuisi-intuisi dasar dengan berdialog pada
filsafat Yunani. Ia mengangkat kembali suatu gaya berpikir yang selama satu
setengah ribu tahun menjadi pengetahuan terdalam filsafat Barat: kaitan antara
kebahagiaan dan kontemplasi, antara kebaikan moral dan pemenuhan eksistensi.
Spaemann membawa etika keluar dari jalan buntu metafisika dan epistemologi
pasca Kant.
2.3. Karya-karya Robert Spaemann
Di antara sekian banyak karya yang telah dituliskannya, karya Spaemann
yang berjudul Glück und Wohlwollen (Happiness and Benevolence, 1989) dan
Personen (Persons, 1996) diakui sebagai karya-karyanya yang paling fenomenal.
Di dalam buku Happiness and Benevolence, Spaemann mengemukakan sebuah
tesis bahwa kebahagiaan berasal dari kebaikan hati dan keinginan menolong.
Spaemann mempercayai bahwa keberadaan kita sebagai manusia diciptakan oleh
Tuhan sebagai “... as social beings to help one another find truth and meaning in
an often confused and disordered world.” “... sebagai makhluk sosial untuk
menolong orang lain menemukan kebenaran dan makna dalam sebuah dunia yang
sering membingungkan dan kacau.”2
Berikut ini disampaikan sedikit di antara publikasi-publikasi untuk tema-
tema politik yang pernah dilakukan, yakni: ”Reflexion und Spontaneität. Studien
über Fénelon“ (1963); “Zur Kritik der politischen Utopie“ (1977);
“Philosophische Essays“ (1983); “Grenzen. Zur ethischen Dimension des
2 http://payingattentiontothesky.com/2011/05/31/when-death-becomes-inhuman-
professor-robert-spaemann/
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
10 Universitas Indonesia
Handelns“ (Aufsätze, 2001); “Das unsterbliche Gerücht. Die Frage nach Gott
und die Täuschung der Moderne“ (2007).
Dalam hal karya-karya dan publikasi-publikasi yang dilakukannya, sebuah
majalah Jerman berjudul Cicero: Magazin für politische Kultur pernah
memublikasikan peringkat pemikir-pemikir Jerman yang masih hidup dan
dianggap paling penting berdasarkan banyaknya publikasi atas karya-karyanya
pada Selasa, 20 Oktober 2009, dengan mendudukkan Robert Spaemann di urutan
ke-9 setelah pemikir-pemikir berikut ini: Jürgen Habermas (peringkat ke-1), Peter
Sloterdijk (peringkat ke-2), Julian Nida-Rümelin (peringkat ke-3), Hermann
Lübbe (peringkat ke-4), Hans Albert (peringkat ke-5), Richard Davis Precht
(peringkat ke-6), Nobert Bolz (peringkat ke-7), Dieter Thomä (peringkat ke-8).
Di samping kategori filsafat, majalah ini membuat kategori-kategori pada
urutan peringkat reputasi seseorang berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:
natural science, economics, history, culture, film production, comedy, dan writers.
Klasifikasi urutan peringkat tersebut berdasarkan kemunculan masing-masing di
dalam 160 surat kabar Jerman dan majalah-majalah.
Keberadaan klasifikasi urutan peringkat bagi para pemikir Jerman tersebut
untuk mengetahui beberapa hal berikut ini: Siapa yang menduduki peran
terhormat sebagai pemberi semangat jaman (Zeitgeist), siapa yang memprovokasi
dengan tesis-tesis apa saja, siapa yang terlibat dalam perdebatan, dengan siapa,
dan terdapat di forum apa.
Berikut ini adalah karya-karya Robert Spaemann yang dibagi ke dalam 3
kategori sebagai berikut:
1. Karya Buku
a. Dalam bahasa Inggris:
1) Basic Moral Concepts, trans. T.J. Armstrong. London: Routledge, 1990
(1982).
2) Essays in Anthropology: Variations on a Theme, trans. Guido De
Graaff and James Mumford. Eugene, OR: Cascade Books, 2010 (1987).
3) Happiness and Benevolence, trans. J. Alberg. Edinburgh: T & T Clark,
2000 (1989).
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
11 Universitas Indonesia
4) Persons: The Difference between "Someone" and "Something", trans.
Oliver O’Donovan. Oxford: Oxford University Press, 2006 (1996).
b. Dalam bahasa Jerman:
1) Rousseau – Mensch oder Bürger. Das Dilemma der Moderne. Klett-
Cotta, Stuttgart 2008, ISBN 978-3-608-94245-3
2) Der letzte Gottesbeweis. Pattloch Verlag 2007, ISBN 978-3-629-
02178-6
3) Das unsterbliche Gerücht. Die Frage nach Gott und der Aberglaube
der Moderne. Klett-Cotta, Stuttgart 2005, ISBN 3-608-94452-4.
Neuausgabe als: Natürliche Ziele. Klett-Cotta, Stuttgart 2005, ISBN 3-
608-94121-5
4) Grenzen. Zur ethischen Dimension des Handelns. Klett-Cotta, Stuttgart
2001, ISBN 3-608-91027-1
5) Der Ursprung der Soziologie aus dem Geist der Restauration. Studien
über Louise-Gabriel de Bonald. Kösel, München 1959; 2. A. Klett-
Cotta, Stuttgart 1998, ISBN 3-608-91921-X
6) Töten oder sterben lassen? Worum es in der Euthanasiedebatte geht
(mit Thomas Fuchs). Herder Verlag 1997
7) Personen. Versuche über den Unterschied zwischen „etwas“ und
„jemand“. Klett-Cotta, Stuttgart 1996, ISBN 3-608-91813-2
8) Zur kirchlichen Erbsündenlehre. Stellungnahmen zu einer brennenden
Frage (mit Albert Görres, Christoph Schönborn). (Sammlung Kriterien
87), Johannes Verlag Einsiedeln Freiburg 1994, ISBN 3-89411-303-0
9) Reflexion und Spontanität. Studien über Fénelon. Kohlhammer,
Stuttgart 1963; 2. A. Klett-Cotta, Stuttgart 1990, ISBN 3-608-91334-3
10) Glück und Wohlwollen. Versuch über Ethik. Klett-Cotta, Stuttgart
1989, ISBN 3-608-91556-7
11) Das Natürliche und Vernünftige. Aufsätze zur Anthropologie. Piper
Verlag (Serie Piper 702), München 1987, 3-492-10702-8
12) Philosophische Essays. Reclam (UB 7961), Stuttgart 1983; 2. erw. A.
ebd. 1994, ISBN 3-15-007961-6
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
12 Universitas Indonesia
13) Moralische Grundbegriffe. Beck Verlag (Beck’sche Reihe 256),
München 1982, ISBN 3-406-45442-9
14) Rousseau – Bürger ohne Vaterland. Von der Polis zur Natur. Piper
Verlag, München 1980, ISBN 3-492-10579-3
15) Einsprüche. Christliche Reden. Johannes Verlag Einsiedeln Freiburg
1977, ISBN 3-265-10195-9
16) Die Frage Wozu? Geschichte und Wiederentdeckung des
teleologischen Denkens (mit Reinhard Löw). Piper (Serie Piper 748),
München 1981
17) Zur Kritik der politischen Utopie. Zehn Kapitel politischer
Philosophie. Klett-Cotta, Stuttgart 1977, ISBN 3-12-910110-1
2. Karya Artikel
a. Dalam bahasa Inggris:
1) "Remarks on the Problem of Equality," Ethics 87 (1976-77), 363-69.
2) "Side-effects as a Moral Problem," trans. Frederick S. Gardiner,
Contemporary German Philosophy, vol. 2, ed. Darrel E. Christensen,
Manfred Riedel, Robert Spaemann, Reiner Wiehl, Wolfgang Wieland
(University Park: Pennsylvania State University Press, 1983), 138-51.
3) "Remarks on the Ontology of 'Right' and 'Left,'" Graduate Faculty
Philosophy Journal 10.1 (1984), 89-97.
4) "Is Every Human Being a Person?," trans. Richard Schenk, O.P., The
Thomist 60 (1996), 463-74.
b Dalam bahasa Jerman
1) Hermann Lübbe (Hrsg.): Wozu Philosophie? Stellungnahmen eines
Arbeitskreises. De Gruyter, Berlin 1978, ISBN 3-11-007513-X.
2) Robert Spaemann: Die christliche Religion und das Ende des
modernen Bewusstseins. In: Internationale Katholische Zeitschrift
Communio. Nr. 3. 1979, S. 256f.
3) Robert Spaemann: Bestialische Quälereien Tag für Tag. In: Deutsche
Zeitung. 33, 1979. Auch veröffentlicht unter: Welt des Grauens. In:
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
13 Universitas Indonesia
Kritik der Tierversuche. Kübler Verlag, Lambertheim 1980, ISBN 3-
921265-24-X, S. 27-31.
4) Peter Thomas Geach, Fernando Inciarte, Robert Spaemann:
Persönliche Verantwortung. Adamas, Köln 1982, ISBN 3-920007-78-6.
5) Robert Spaemann: Tierschutz und Menschenwürde. In: Ursula M.
Händel (Hrsg.): Tierschutz - Testfall unserer Menschlichkeit. Fischer
Taschenbuchverlag GmbH, Frankfurt am Main 1984, ISBN 3-596-
24265-7, S. 71–81.
6) Robert Spaemann, Wolfgang Welsch, Walther Christoph Zimmerli:
Zweckmässigkeit und menschliches Glück. Fränkischer Tag, Bamberg
1994, ISBN 3-928648-12-8.
7) Oswald Georg Bauer (Red.): Was heißt „wirklich“? Unsere Erkenntnis
zwischen Wahrnehmung und Wissenschaft. Oreos, Waakirchen-
Schaftlach 2000, ISBN 3-923657-54-4.
8) Walter Schweidler (Hrsg.): Menschenleben – Menschenwürde.
Interdisziplinäres Symposium zur Bioethik. Lit, Münster 2003, ISBN 3-
8258-6808-7.
9) Georg Muschalek (Hrsg.): Der Widerstand gegen die Alte Messe. Van
Seth, Denkendorf 2007, ISBN 978-3-927057-16-6.
10) Robert Spaemann: Die schlechte Lehre vom guten Zweck. Der
korrumpierende Kalkül hinter der Schein-Debatte. In: FAZ vom 23.
Oktober 1999, Bilder und Zeiten I.
2.4. Penutup
Meskipun ringkas, dan oleh karenanya takkan mungkin membawa kita
pada pemahaman yang memadai mengenai pemikiran Robert Spaemann, namun
informasi yang telah penulis kemukakan dalam bab ini sekiranya cukup untuk
memperkenalkannya. Bagi penggiat filsafat di Indonesia, nama yang satu ini
barangkali relatif asing sehingga pembahasan mengenai pemikirannya diharapkan
membawa kesegaran ke dalam perdebatan filosofis di negeri ini, terutama dalam
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
14 Universitas Indonesia
hal etika. Arti penting pemikirannya Spaemann sendiri amat sayang untuk
diabaikan, karena dia berusaha membawa persoalan klasik yang sering kali
dilupakan dalam perdebatan etika ke dalam inti pembicaraan. Persoalan yang
dimaksud adalah pemisahan, bahkan pertentangan, antara kebahagiaan dan
kewajiban. Sementara sebagian filsuf gagal mengatasi pertentangan ini dan
sebagian lainnya justru memilih untuk mengabaikannya, Spaemann malah
berusaha mempertemukan keduanya, dan hingga titik tertentu dapat kita katakan
bahwa Spaemann telah berhasil. Oleh karena itu, pada bab-bab selanjutnya
penulis akan mengurai satu per satu konsep yang berkaitan dengan pemikiran
Spaemann mengenai etika tersebut.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
15Universitas Indonesia
BAB III
KRITIK ROBERT SPAEMANN TERHADAP ETIKA EUDAIMONIA DAN
ETIKA MODERN
3.0. Pengantar
Menurut Spaemann, pertama-tama etika dipahami sebagai ajaran untuk
mencapai hidup yang berhasil. Para filsuf Yunani memiliki kesepakatan bahwa
hidup manusia dapat berhasil bila manusia mencapai tujuannya. Dan tujuan pokok
hidup manusia adalah eudaimonia. Namun hanya sampai disinilah kesepakatan
para filsuf tersebut. Etika dihadapkan pada pertanyaan berikutnya, yaitu “Apakah
yang dimaksud dengan eudaimonia?” dan “Bagaimana orang dapat mencapai
eudaimonia?” para filsuf mengajukan jawaban yang berbeda-beda. Spaemann
sendiri telah memiliki pendapat tentang bagaimana eudaimonia harus dipahami,
yaitu sebagai hidup yang berhasil ketika terlihat secara keseluruhan. Spaemann
melihat bahwa eudaimonia hanya dapat bersifat formal, yaitu sebagai horizon
yang mencakup seluruh tujuan-tujuan konkrit tindakan manusia. Spaemann
menulis :
We observe the phenomenon that the goals of our actions are relativized by the more comprehensive Why and Whither and What-for of these actions, even when this ultimate goal is understood as merely “unhindered progress from passion.” The acients named this horizon which encompasses all our concrete individual aims eudaimonia. We Spaeak here of “life’s turning out well.” Were there no such horizon, then the individual goals of our actions would be completely in commensurable with one another. We could not weigh one goal against the other in the any way (Spaemann, Happines and Benevolence 19).
Setiap usaha yang memberikan isi pada eudaimonia tidak akan berhasil.
Spaemann akan menunjukkan kegagalan-kegagalan yang harus dialami oleh para
filsuf Yunani ketika berusaha memberikan isi pada eudaimonia, yang Spaemann
hadapkan tentang pemahamannya terhadap eudaimonia sebagai hidup yang
berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Dengan demikian, akan terlihat
kegagalan para filsuf Yunani, seperti Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles.
Kemudian juga akan dibahas tentang kritik Spaemann terhadap etika modern,
seperti etika Kristiani, yang diwakili oleh Agustinus dan Thomas Aquinas
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
16Universitas Indonesia
terhadap etika eudaimonia. Dan dilanjutkan dengan pemikiran Kant yang
akhirnya sungguh mengeluarkan percakapan tentang eudaimonia dari wacana
moralitas. Namun pemikiran Kant bukannya tanpa persoalan. Karena itu muncul
pemikiran tentang etika utilitarisme dan etika diskursus yang juga akan dibahas
pada bab ini.
3.1. Kritik Spaemann terhadap Etika Eudaimonia
3.1.1. Eudaimonisme
Konsep eudaimonia pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles. Dalam
bukunya, Ethika Nikomakheia, Aristoteles memulai dengan menegaskan bahwa
dalam setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Dapat dikatakan dalam
setiap perbuatan, kita ingin mencapai suatu yang baik bagi kita. Sering kali kita
mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lagi. Dari sinilah maka timbul
pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan
karena sesuatu yang lain lagi; apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi
sesuatu yang lain lagi.1 Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa
tujuan tertinggi dalam makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan
(eudaimonia). Namun jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai
tujuan terakhir manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan
kebahagiaan mereka mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang
mengatakan kesenangan adalah kebahagiaan dan ada pula yang menganggap
status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Namun Aristoteles beranggapan
bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir.
Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan
menjalankan fungsinya dengan baik. Jika manusia menjalankan fungsinya sebagai
manusia dengan baik, maka ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau
kebahagiaan. Menurut Aristoteles, manusia mempunya fungsi yang khas dan
memiliki keunggulan dibanding makhluk lain, yakni terletak pada akal budi.
Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan cara paling baik ketika
1 Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 242.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
17Universitas Indonesia
manusia melakukan kegiatan-kegiatan rasionalnya (theoria). Hal ini berarti bahwa
kegiatan-kegiatan rasional itu harus dijalankan disertai dengan keutamaan. Bagi
Artstoteles ada dua macam keutamaan: keutamaan intelektual dan keutamaan
moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung dari rasio itu sendiri.
Dan pada keutamaan moral rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan
dalam hidup sehari. Maka kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia
terletak dalam praksis, partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis.
3.1.2. Etika Kebahagiaan Menurut Plato
Dalam pandangan Plato, orang dikatakan baik apabila dikuasai akal budi,
buruk apabila dikuasai oleh hawa nafsu. Karana ketika seseorang dikuasai hawa
nafsu dan emosi, seseorang dikuasai sesuatu yang diluar dirinya.2 Plato melihat
bahwa hidup yang berhasil dapat dicapai bila manusia menjalankan hidup
berdasarkan akal budinya. Manusia yang hidup berdasarkan akal budinya dapat
mengetahui dan sekaligus akan memilih yang baik, dan menolak hal-hal yang
buruk. Dengan hidup berdasarkan akal budi, manusia akan mencapai ketenangan,
kesatuan dengan dirinya, dan pendekatan diri yang tenang. Kebalikan dari
manusia yang dikuasai oleh akal budi adalah mereka yang hidupnya dikuasai oleh
hawa nafsu. Mereka menjalani hidup dalam ketidakteraturan, terombang-ambing.
Dan hidup semacam itu berarti kesengsaraan. Hidup yang didasarkan pada akal
budi berkaitan erat dengan penguasaan diri. Namun Plato lebih menekankan unsur
akal budi daripada unsur penguasaan diri. Dapat saja penguasaan diri dipandang
sebagai syarat untuk hidup yang dikuasai akal budi. Ketika orang mampu
menguasai diri, maka akal budinya yang menguasai dan mengarahkan hidupnya.
Plato lebih memandang akal budilah yang memampukan manusia untuk
menguasai dirinya. Ketika seseorang tahu apa yang baik, maka pengetahuan itu
akan membuat seseorang memilih yang baik.
Di sini dapat muncul pertanyaan tentang bagaimanakah sesungguhnya
Plato memahami akal budi. Bagi Plato, akal budi tidaklah terbatas pada rasio. 2 Magniz-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1997. Hal. 19.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
18Universitas Indonesia
Akal budi lebih merupakan kesatuan dari unsur-unsur batin manusia yang
meliputi rasio, kehendak, dan perasaan. Dengan demikian manusia yang dikuasai
oleh akal budi berarti adalah manusia yang utuh, integral. Di dalam dirinya tidak
ada lagi pertentangan-pertentangan antara unsur batin, rasio dan perasaan. Karena
itulah Plato dapat mengatakan bahwa manusia yang mengetahui apa yang baik,
tentulah memilih apa yang baik tersebut. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan
antara unsur rasio, kehendak, dan perasaan.
Seseorang berkat akal budinya dapat mengetahui yang baik. Pertama-tama,
yang baik ini berarti apa yang baik bagi diriku. Yang baik ini bersifat partikular.
Namun hal-hal yang baik bersifat partikular ini tidak berdiri sendiri, melainkan
berasal dari satu ide tertinggi, yaitu ide Sang Baik. Sang baik melingkupi seluruh
hal-hal yang baik partikular. Untuk mengatakan tentang ‘yang baik’, Plato
menggunakan dua istilah, yaitu kalon dan agathon. Kalon adalah yang baik
universal, atau “yang indah”, sedangkan agathon berarti yang baik partikular, atau
yang baik bagiku.
Menurut Plato dengan mengetahui yang baik bagiku, manusia sampai pada
keutamaan. Dan ketika manusia mengetahui atau lebih tepat memandang Sang
Baik, pada saat itulah manusia mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Memandang
Sang Baik terjadi dalam theoria atau kontemplasi. Puncak dari etika menurut
Plato adalah kesatuan antara kalon dan agathon, antara keutamaan (yang baik
bagiku) dan kebahagiaan (dalam memandang Sang Baik), menjadi kalonkagathon.
Spaemann berpendapat bahwa Plato sudah melihat adanya dua unsur yang
dapat saling bertentangan, yang nyata tercermin dalam sejarah pemikiran etika,
yaitu antara keutamaan dan kebahagiaan. Dan Plato sudah berusaha untuk
mempertemukan kedua unsur tersebut, yaitu persatuan antara kalon dan agathon,
kalonkagathon.3 Pemahaman Spaemann sesungguhnya dapat dimengerti sebagai
3 Spaemann, Robert, Happines and Benevolence, Notredome: Univesity of Notre Dame Press, 2000, hal. 78.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
19Universitas Indonesia
upaya untuk mengaktualisasikan Plato, menemukan kembali persatuan antara
yang baik bagiku dan Sang Baik.4
3.1.3. Etika Kebahagiaan Menurut Epikuros
Epikuros melihat, setiap manusia dalam kodratnya selalu mencari
kenikmatan. Namun kesenangan yang dimaksudkan Epikuros tidak sekedar
kenikmatan dalam tahap badani, kenikmatan adalah suatu gejala psikis yang
merupakan perluasan dari kesenangan badani. Ia juga tidak membatasi
kenikmatan pada pada kesenangan aktual saja. Dalam menilai kenikmatan,
menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan,
termasuk juga masa lampau dan masa depan.5
Jawaban terhadap hedonisme yang diberikan oleh Epikuros adalah salah
satu jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi isi bagi eudaimonia.
Terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi isi bagi eudaimonia, Epikurus
menjawab bahwa yang menjadi tujuan manusia adalah kenikmatan. Jawaban ini
berangkat dari hasil pengamatan bahwa ternyata sikap makhluk hidup secara
kodrat bergerak untuk mencari kenikmatan. Namun pada manusia, kenikmatan
yang dimaksud oleh Epikuros lebih merupakan kenikmatan psikologis, yaitu
perasaan tenang, tak terganggu, damai. Hakikat nikmat terdiri dalam ketenteraman
jiwa yang tenang, yang tidak dapat dikejutkan dan dibingungkan. Orang yang
batinnya tenang, damai adalah orang yang hidupnya berhasil, karena orang
tersebut bukan hanya memiliki apa yang dia yakini layak untuk diinginkan, tapi
memiliki apa yang memang sesungguhnya dia inginkan.6
Dalam ajaran Epikuros, Spaemann menemukan adanya beberapa
kelemahan, yang bahkan pada akhirnya Epikuros sendiri mengakui bahwa
etikanya tidak memadai. Kritik pertama dari Spaemann adalah tentang klaim
hedonisme bahwa motif dasar dari tindakan setiap orang adalah kenikmatan
4 Magnis-Suseno, Franz, Kewajiban dan Kebahagiaan. Percobaan Robert Spaemaan untuk kembali ke dasar Etika, dalam Atma nan Jaya, 1994, no.3, hal.1-17.5 Bertens, K., Op.Cit., hal. 237.6 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal.31-32.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
20Universitas Indonesia
pribadi. Bila memang demikian, apakah arti dari tindakan para hedonis yang
mengajarkan kepada orang lain tentang seni hidup? Apakah mereka mengajar
demi kepuasan diri mereka sendiri, ataukah agar orang lain juga dapat bahagia
seperti mereka? bila yang benar adalah alternatif pertama, maka orang perlu
curiga tehadap ajaran mereka, sebab di sini orang lain dijadikan sarana oleh kaum
hedonis untuk mencapai nikmat. Bisa jadi mereka mengajarkan itu karena
ketidakmampuan mereka untuk mencapai kebahagiaan yang berasal dari hal-hal
lain, misalnya cinta, persahabatan, pengorbanan bagi orang yang dicintai. Dengan
kata lain, mereka tidak senang bila ada orang lain yang lebih bahagia dari mereka
sehingga mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan hanya terletak pada
kinikmatan. Sedangkan bila alternatif kedua yang benar, bahwa mereka
melakukan itu agar orang lain juga dapat berbahagia, berarti sudah terdapat
kontradiksi dengan ajaran mereka sendiri. Mereka mengajarkan bahwa motif
dasar orang lain adalah nikmat, sedangkan mereka mengajarkan itu demi
kebahagiaan orang lain.
Kritik kedua berkenaan dengan pemahaman Epikuros tentang
waktu/temporalitas. Tujuan ajaran dari Epikuros adalah agar manusia mencapai
nikmat setiap saat, di mana nikmat dipahami sebagai tiadanya rasa sakit dan
keadaan batin yang tenang, tidak terganggu atau gelisah. Persoalannya adalah dari
pengalaman, kita mengetahui bahwa hidup adalah suatu dinamika perasaan. Ada
saatnya kita merasa senang, gembira, dan ada saatnya pula kita merasa sedih,
kecewa, takut. Kita tidak dapat senang atau tenang terus-menerus.
Kemudian, Epikuros mengajarkan bahwa agar kita dapat selalu tenang,
kita harus hidup hanya dalam saat ini. Kesulitannya adalah manusia terkait dengan
waktu. Dan waktu itu berkesinambungan, yakni ada masa lalu, masa kini, dan
masa yang akan datang. Dan itu berarti pula manusia selalu hidup dengan ingatan
akan masa lalu dan harapan akan masa depan. Bila konsisten dengan ajaran
Epikuros tentang hidup di masa kini, berarti manusia harus menghapus ingatan
masa lalu dan tidak berharap akan masa depan.
Sesungguhnya Epikuros pun menyadari bahwa hidup terdiri dari masa
lalu, masa kini, dan masa depan. Dia pun melihat kesulitan yang muncul dari
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
21Universitas Indonesia
ingatan akan masa lalu dan harapan akan masa depan terhadap hidup dalam
kekinian. Namun Epikuros malah melihat bahwa masa lalu dapat
menyumbangkan nikmat terhadap masa kini dengan hanya mengingat hal-hal
yang menyenangkan di masa lalu. Demikian juga dengan harapan akan masa
depan, mengharapkan nikmat di masa depan juga sudah memberikan nikmat pada
masa kini.7
Masih ada satu masalah lagi berkenaan dengan pemahaman Epikuros
tentang waktu, dimana dia melihat waktu sebagai satu-satuan yang terpisah.
Padahal menurut Spaemann, pemahaman atau pengalaman akan waktu yang
seperti itu hanya terdapat pada hewan, juga pada bayi yang memang belum
memiliki kemampuan transendensi diri. Sedangkan pada manusia yang
berkembang normal, berkembanglah kemampuan transendensi diri yang membuat
momen-momen waktu tidak dialami sebagai kesatuan-kesatuan yang terpisah,
melainkan momen yang berkesinambungan. Berkat transendensi diri, waktu
dialami sebagai satu kesatuan. Kemudian disini terlihat bahwa pemahaman
Epikuros tentang waktu malah membuat manusia turun ke taraf yang lebih rendah.
Spaemann juga membandingkan pemahaman Epikuros tentang waktu
dengan pemahaman mistik tentang waktu. Menurut Spaemann memang ada
kesatuan antara keduanya, yaitu menekankan momen kekinian. Dalam
pemahaman mistik yang ada adalah kekinian, dimana waktu tidak memiliki lagi
realitasnya. Dalam pengalaman ini, para mistikus berhasil mengatasi waktu,
keluar dari ikatan waktu. Namun perbedaan mendasar antara kekinian dalam
pengalaman mistik dengan kekinian versi Epikuros adalah dalam pengalaman
mistik, kekinian dapat dicapai lewat transendensi diri, sedangkan pada Epikuros,
kekinian dipelihara lewat mengisolasi diri, meniadakan diri terhadap waktu.
Kritik ketiga Spaemann terhadap Epikuros adalah tentang isi dari
kebahagiaan. Pada Epikuros, kebahagian diartikan sebagai perasaan tenang. Dan
perasaan semacam itu tidak memiliki objek keterarahan. Sedangkan menurut
Spaemann, dengan mendasarkan diri pada pemikiran Max Scheler, juga psikologi
modern, kita sama-sama mengetahui bahwa kebahagiaan yang bernilai tinggi yang
7 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 35-36.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
22Universitas Indonesia
dapat dirasakan oleh manusia haruslah memiliki objek keterarahan. Dangan kata
lain, kebahagiaan tersebut berasal dari luar diri manusia. Kebahagiaan yang
sekedar perasaan tenang, gembira yang tanpa sebab tidaklah selalu berarti.
Spaemann juga menunjukkan bahwa Sokrates pun sudah menyadari ini. Sokrates
menyamakan perasaan nikmat semacam itu sebagai rasa gatal yang kemudian
digaruk dan menimbulkan perasaan nikmat.
Namun di samping beberapa kritik tersebut, Spaemann menemukan bahwa
Epikuros telah melihat adanya satu kegiatan manusia yang bahkan merupakan
sumber kebahagiaan terbesar, yang dapat membantah fondasi etikanya, bahwa
kebahagiaan manusia terletak pada nikmat, dan setiap kegiatan manusia dilakukan
demi nikmat tersebut. Epikuros mengakui bahwa salah satu sumber kebahagiaan
terbesar manusia adalah persahabatan. Memiliki seorang sahabat adalah suatu
kebahagiaan terbesar. Dan Epikuros menyadari bahwa persahabatan hanya
mungkin terjalin bila dibangun demi persahabatan itu sendiri, demi sahabatnya,
bukan demi kenikmatan yang diperoleh dari persahabatan tersebut. Kenikmatan
yang muncul dari persahabatan merupakan efek sampingan dari persahabatan, dan
tidak dapat menjadi tujuan dari persahabatan. Bahkan, kenikmatan yang muncul
akibat dari persahabatan hanya akan muncul ketika manusia tidak terpaku pada
nikmat itu sendiri.
Dihadapkan pada fenomena persahabatan, Epikuros harus mengakui
bahwa etikanya tidak memadai. Kenikmatan tidak dapat dijadikan tujuan hidup
manusia. Juga kebahagiaan lebih daripada sekedar kenikmatan, keadaan tanpa
rasa sakit, dan jiwa yang tenang.
3.1.4. Etika Kebahagiaan Menurut Stoa
Stoa mengambil sikap yang bertolak dari pengertian bahwa manusia
adalah makhluk dalam dimensi waktu, ia sadar bahwa kenikmatan sesaat tidak
menjamin kebahagiaan. Makin manusia beridentifikasi dengan keseluruhan,
makin ia mencapai autarkia, kemandirian, dimana ia tidak dapat mengalami
sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Cita-cita ini adalah ataraxia,
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
23Universitas Indonesia
keterkejutan. Dalam ataraxia itu manusia bahagia, apabila apapun yang
dialaminya itu sesuai dengan kehendaknya.
Menurut Spaemann, ada beberapa keunggulan dari etika Stoa
dibandingkan dengan etika Epikuros. Etika Epikuros mengalami masalah besar
berkenaan dengan dimensi waktu. Etika tersebut tidak dapat menampung dimensi
waktu ke dalam sistem etikanya. Etika Epikuros gagal untuk memandang
eudaimonia sebagai keseluruhan proses hidup seseorang. Sedangkan etika Stoa
berhasil melihat eudaimonia sebagai kondisi di mana hidup seseorang dinilai
secara keseluruhan. Artinya hidup seseorang dikatakan berhasil atau tidak berhasil
bila yang dijadikan materi penilaian adalah keseluruhan perjalanan hidupnya.
Pada Stoa, seseorang mencapai eudaimonia, atau dapat dikatakan hidupnya
berhasil bila dia dapat mempertahankan diri, dapat menyesuaikan dirinya dengan
hukum alam.
Dengan demikian, Stoa menemukan dasar bagi kehidupan manusia:
perbuatan yang baik adalah menyesuaikan dengan diri dengan hukum alam,
perbuatan buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri. Di situ orang bijak
menunjukkan diri. Dengan sadar ia menerima apa yang tidak dapat dihindari.
Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita itu sebagai autarki. Autaraki adalah
kemandirian manusia dalam dirinya sendiri. Autarki/autarkia adalah pertahanan
diri sempurna, keberhasilan akhir kehidupan manusia. Dalam menyatu dengan
seluruh realitas, manusia tidak tergantung lagi pada apa pun diluar dirinya. Dalam
situasi apa pun ia berada pada dirinya sendiri, adalah autarki.8
Yang menjadi dasar persoalannya adalah pada premis dasar, bahwa tujuan
manusia adalah mempertahankan diri. Bagi Spaemann, mempertahankan diri
hanyalah prasyarat awal untuk hidup, namun tidak memadai untuk dijadikan
tujuan hidup manusia. Dengan membatasi tujuan manusia pada sekedar
mempertahankan hidup, Stoa telah mereduksi aspek-aspek lain dari kehidupan
manusia, yang sesungguhnya merupakan langkah selanjutnya dari
mempertahankan diri.
8 Magniz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Op.Cit., Hal. 58.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
24Universitas Indonesia
Bagi Spaemann, pemahaman Stoa tentang eudaimonia telah mendekati
apa yang seharusnya menjadi eudaimonia, yaitu sebagai hidup yang berhasil
ketika dilihat secara keseluruhan. Pada Stoa, eudaimonia dicapai dengan
menyesuaikan diri dengan hukum alam sehingga diri seluruhnya dapat menyatu
dengan alam. Diri tidak lagi dibingungkan atau dikacaukan oleh segala yang
terjadi, baik penderitaan, kekecewaan, dan kegembiraan. Diri telah mecapai
autarki, penuh pada dirinya sendiri dan tidak lagi membutuhkan apapun dari luar
dirinya. Memang paham eudaimonia semacam ini memenuhi kriteria Spaemann
tantang eudaimonia, yaitu hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan.
Pribadi Stoa pada dirinya sendiri mendapati dirinya bahagia, dan kebahagiaan
mereka pun memiliki dimensi objektif sehingga orang lain pun dapat memulai
hidup mereka sebagai bahagia.
Namun terdapat masalah pada pemahaman Stoa tentang autarki. Orang
yang autarki, yang penuh pada dirinya sendiri sesunggguhnya telah menutup diri
pada kemungkinan terjadinya pemenuhan di masa yang akan datang. Spaemann
mempertentangkan antara autarki/penuh pada dirinya sendiri dengan
kemungkinan terjadinya pemenuhan, misalnya dalam cinta. Hanya orang yang
menemukan dirinya tidak utuh atau kosong yang dapat mengusahakan
pemenuhannya, dan terbuka pada kemungkinan pemenuhannya. Pemenuhan
tersebut, menurut Spaemann, dapat dipandang sebagai kebahagiaan/eudaimonia.
Sedangkan orang yang cukup pada dirinya sendiri tertutup pada unsur-unsur lain
dari luar dirinya sendiri, misalnya cinta. Menurut Spaemann, tidanya cinta adalah
bayaran yang cukup mahal untuk suatu ketercukupan diri/autarki.
3.1.5. Etika Kebahagiaan Menurut Aristoteles
Menurut Aristoteles manusia mendua. Ia berpatisipasi pada nous atau
logos ilahi. Maka kebahagiaan tertinggi yang dicapai manusia adalah theoria,
memandang hal-hal abadi. Kekhasan manusia adalah sebagai zon politicon, yaitu
mahkluk yang dapat mengembangkan diri dengan menjalankan secara paling baik
kegiatan-kegiatan rasionalnya, melaui praksis/komunikasi dalam lingkungan-
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
25Universitas Indonesia
lingkungan sosial manusia, dimana yang paling luas adalah polis.9 Maka
kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia terletak dalam praksis,
partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis. Karena itu Aristoteles
berusaha untuk mencari eudaimonia yang berangkat dari kondisi keseharian
manusia.
Spaemann melihat bahwa etika Aristoteles merupakan upaya untuk
mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang dihadapi oleh konsep eudaimonia.
Walaupun Aristoteles sependapat dengan Plato bahwa eudaimonia sejati manusia
dicapai lewat theoria, dia sadar bahwa hidup manusia tidak dapat hanya terdiri
dari theoria saja. Manusia bukan semata-mata makhluk rohani sehingga dapat
melepaskan diri dari keseharian. Melainkan manusia adalah makhluk campuran,
terdiri dari rohani dan jasmani, yang karenanya terikat pada keseharian.
Aristoteles melihat bahwa kebahagiaan tercapai apabila manusia merealisasikan
dirinya.
Kemudian, menurut Spaemann, dengan menempatkan manusia ke dalam
polis, Aristoteles berusaha untuk memenuhi tuntunan bahwa hidup yang berhasil
haruslah dapat dinilai secara subjektif sekaligus objektif. Dengan mengarahkan
tindakannya bagi kepentingan polis, individu mendapatkan kepuasan karena dapat
berbuat sesuatu bagi polis atau sesama warga negara lainnya, sekaligus juga
tindakan tersebut memang nyata memberikan manfaat bagi polis. Aristoteles juga
berhasil memecahkan persoalan yang dihadapi oleh etika eudaimonia yang lain, di
mana walupun eudaimonia merupakan tujuan manusia, tindakan manusia tidak
dapat langsung ditujukan untuk mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Ketika
tindakan dilakukan dengan tujuan memperoleh kebahagiaan, maka kebahagiaan
malah tidak dapat dicapai. Pemecahan Aristoteles dapat dipandang sebagai jalan
memutar, yaitu dengan mengarahkan tindakan demi kepentingan polis, maka
individu secara tidak langsung memperoleh kebahagiaan.
Tapi kemudian, menurut Spaemann, yang juga telah disadari oleh
Aristoteles, jalan keluar yang ditawarkan ini hanya akan menghasilkan
9 Bertens, K., Op.Cit., hal. 243.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
26Universitas Indonesia
eudaimonia yang bersifat relatif. Hal ini karena kehidupan polis yang
sesungguhnya tidak pernah sempurna, pasti banyak kekecewaan, kegagalan.
Namun memang kebahagiaan yang ditawarkan Aristoteles adalah kebahagiaan
yang paling mungkin bagi manusia, karena sesuai dengan kondisi manusia.
3.2. Kritk Robert Spaemann terhadap Etika Modern
3.2.1 Etika Kristiani
Setelah membahas etika eudaimonia yang pada akhirnya harus berhadapan
dengan sifat antinominya sendiri, Spaemann mulai membahas tradisi etika lain
yang juga dapat dipandang sebagai reaksi terhadap etika eudaimomia, yaitu etika
Kristiani. Dalam membahas etika Kristiani, Spaemann memulainya dengan
menunjukkan pertentangan antara etika Kristiani dengan etika eudaimonia.
Menurut Spaemann, tokoh-tokoh etika Kristiani, seperti Agustinus dan Thomas
Aquinas sangatlah akrab dengan etika eudaimonia. Pemikiran mereka yang
bersumberkan pada ajaran agama Kristiani, tetaplah dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran yang berkembang pada masanya, di antaranya adalah etika eudaimonia.
Etika Yunani pasca Plato tidak berhasil. Eudemonisme Yunani lemah
karena eudemonia tidak berhasil di rumuskan. Kebahagiaan sebagai sekedar
perasaan puas tidak memadai, sedangkan sebagai keberhasilan kehidupan terlihat
tidak menjamin pengalaman kebahagiaan yang kiranya juga termasuk
eudaimonia. Keberhasilan kehidupan mengandaikan suatu perspektif dimana
hidup kita dilihat sebagai kesatuan. Antisipasi kebahagiaan yang menurut
Aristoteles, konstitutif bagi segala tindakan kita, bukan sesuatu yang empiris.
Wawasan keberhasilan kehidupan itu secara hakiki transenden, yakni meluap ke
dimensi pasca kematian. Filsafat moral Yunani pasca Plato gagal, karena tidak
terbuka terhadap dimensi transenden tersebut. Etika Kristiani menegaskan bahwa
kebahagiaan yang sebenarnya hanya dapat tercapai dalam visio beatifica, yakni
dalam memandang Tuhan.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
27Universitas Indonesia
Menurut Spaemann, berbeda dari etika eudaimonia yang tidak
memberikan tempat pada unsur transenden, etika Kristiani malah berpusat pada
unsur transenden tersebut, yaitu Ketuhanan. Untuk memberikan tempat bagi unsur
ini, dalam pemikiran etika Kristiani, Agustinus dan Thomas Aquinas mulai
dengan menunjukkan bahwa etika eudaimonia lebih merupakan suatu fiksi atau
utopia. Bagi Agustinus dan Aquinas, eudaimonia tidak dapat disamakan dengan
hidup bermoral. Alasannya karena dalam konsep eudaimonia terkandung
pemahaman bahwa eudaimonia haruslah melampaui kematian. Padahal ketika
berhadapan dengan kematian, moralitas pun akan musnah. Sekalipun seseorang
hidup secara bermoral, namun ketika dia mati, maka tidak ada lagi yang tersisa.
Demikianlah bila eudaimonia disamakan dengan hidup bermoral. Padahal, bagi
Spaemann, seharusnya eudaimonia bersifat abadi, melampaui kematian.
Etika Kristiani menunjukkan bahwa etika eudaimonia tidak memadai
karena tidak dapat bertahan berhadapan dengan fakta kematian manusia, etika
Kristiani masuk dengan menawarkan konsep baru tentang kebahagiaan. Bagi etika
Kristiani, kebahagiaan adalah ketika manusia dapat bersatu dengan Tuhan, yakni
setelah kematian. Dan bagi etika Kristiani, tidak ada usaha apapun yang dapat
yang dapat dilakukan oleh manusia agar nanti setelah kematian dapat bersatu
dengan Tuhan. Manusia dapat bersatu dengan Tuhan sepenuhnya karena
rahmatNya, karena Tuhan telah menjanjikannya. Yang kini dapat dilakukan oleh
manusia dalam hidup ini adalah menanti pemenuhan janji tersebut dengan penuh
harapan. Dan harapan itulah yang menjadi kebahagiaan bagi manusia selama ia
masih di dunia ini.
Selain memahami kebahagiaan sebagai bersatu dengan Tuhan nanti di
surga, etika Kristiani juga memahami moralitas sebagai bentuk ekspresi cinta
manusia akan Tuhan. Jadi bagi etika kristiani, moralitas bukanlah kebahagiaan itu
sendiri, ataupun sarana untuk memperoleh ganjaran di surga. Melainkan cinta
akan Tuhan-lah yang menjadi motivasi manusia untuk bertindak moral.
Bagi Spaemann, etika Kristiani memang berhasil mengatasi persoalan
yang dihadapi oleh konsep eudaimonia yang tidak dapat bertahan behadapan
dengan kematian, dengan memahami kebahagiaan sebagai persatuan dengan
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
28Universitas Indonesia
Tuhan di surga. Namun kemudian kebahagiaan tersebut hanya akan terpenuhi
nanti setelah kematian. Etika Kristiani juga dapat memberikan alasan mengapa
orang bertindak moral, yaitu sebagai ekspresi cinta akan Tuhan. Tetapi dengan
demikian tidak ada kaitan langsung antara kebahagiaan/eudaimonia dengan
moralitas. Di sinilah kritik Spaemann terhadap etika Kristiani, bahwa etika
Kristiani tidak berhasil menyatukan kebahagiaan dengan moralitas, antara “yang
baik” dan “yang indah”, antara yang bermanfaat bagiku dan yang “luhur”. Kaitan
antara kebahagiaan dengan moralitas menjadi tidak langsung. Dengan demikian,
seseorang melakukan tindakan moral bukanlah karena tindakan itu sendiri
memberikan kebahagiaan. Padahal seharusnya, suatu tindakan haruslah memiliki
daya tarik sehingga orang mau untuk melakukannya. Barulah ketika tindakan
memiliki daya tarik yang dapat membuat orang mau untuk melakukannya, di situ
tercapai kesatuan antara “yang baik” dan “yang indah”.
3.2.3. Etika Kant
Menurut Kant, bahwa tindakan manusia berada dibawah keterikatan moral
yang mutlak dan dapat dituntut pertanggungjawaban oleh orang lain. penilaian
dan tindakan moral harus dapat dibenarkan dengan argumentasi yang rasional.
Adapun Kant menempatkan argumentasi itu atas dasar sebuah prinsip moralitas
tertinggi.10 Perdebatan dengan Kant terjadi di mana etika dewasa ini sendiri tidak
lagi sepakat tentang penentuan prinsip moral itu. Filsafat moral Kant merupakan
salah satu model etika terpenting. Dengan serangannya yang frontal terhadap etika
hedonisme, etika Kant merupakan salah satu alternatif dalam usaha perumusan
prinsip moralitas, yakni pada dua pola dasar etika universalitik: eudaimonisme
dan etika kewajiban Kant.
Etika Kant berada dalam jalur yang searah dengan etika Kristiani. Etika
Kristiani memisahkan antara kebahagian dengan moralitas, di mana moralitas
tidak menjadi syarat satu-satunya untuk mencapai kebahagian. Etika Kristiani
menolak pemahaman tentang relasi antara moralitas dan kebahagiaan sebagai
10 Magniz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Op.Cit., Hal. 141.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
29Universitas Indonesia
relasi antara sebab dan akibat. Begitu juga dengan Kant yang kemudian sama
sekali menolak moralitas atau tindakan baik yang didasarkan oleh motif untuk
memperoleh eudaimonia/kebahagiaan pribadi. Bagi Kant, tindakan baik yang
dilakukan dengan maksud memperoleh eudaimonia/kebahagiaan tidak lain
daripada sikap egoistis. Kant bertolak dari pengandaian bahwa eudaimonia,
perhatian terhadap kehidupan yang berhasil, bersifat instrumentalistik dan
egoistik. Artinya, moralitas direndahkan menjadi sarana untuk mencapai
kebahagiaan, adalah kepentingan pribadi. Moralitas, menurut Kant, adalah
tindakan semata-semata karena hormat terhadap hukum.11 Spaemann melihat
bahwa kritik Kant terhadap etika eudaimonia adalah disebabkan kesalahan dalam
memahami moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang bahwa moralitas harus
berarti bebas dari segala kepentingan pribadi, sedangkan pengajaran atas
kebahagiaan di pandang sebagai sikap egoistis.
Kemudian Spaemann membahas tentang bagaimana etika Kristiani dan
Kant masih tetap dapat mempertahankan moralitas, ketika moralitas tidak lagi
dipandang sebagai syarat mutlak untuk memperoleh eudaimonia. Menurut
Spaemann, kunci dari etika Kristiani adalah konsep tentang cinta akan Tuhan.
Pada etika Kristiani, cinta akan Tuhan menjadi dasar bagi semua moralitas,
sebagai forma virtutum.12 Sedangkan pada Kant, yang menjadi dasar moralitas
adalah rasa hormat terhadap hukum, terhadap apa yang menjadi kewajiban. Kant
memang mengakui akan adanya kebaikan tertinggi yang merupakan kesatuan
antara berbuat baik dan kebahagiaan. Namun kebaikan tertinggi tersebut haruslah
dipahami sebagai sifat ekstrinsik dari moralitas. Dan kebaikan tertinggi tersebut
bukanlah komponen pokok dari moralitas itu sendiri, melainkan kepercayaan yang
kadang mendukung moralitas.
3.2.4. Utilitarisme
Aliran ini berasal dari pemikiran moral di United Kingdom dan kemudian
hari berpengaruh ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Pada Jermy 11 Bertens, K., Op.Cit., hal. 256.12 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 77.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
30Universitas Indonesia
Bentham, dengan bukunya yang berjudul Introduction to the Principles of Morals
and Legislation (1789), utilitarisme dimaksudkan sebagai dasar etis untuk
memperbarui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Menurut Bentham,
manusia pada dasarnya menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan.
Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan.
Dalam hal ini Bentham sebenarnya melanjutkan begitu saja dari hedonisme
klasik.13
Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada
kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat
meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebnyak mungkin orang. Moralitas
suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai
kebahagiaan manusia. Dengan demikian Bentham mencapai pada the principles of
utility yang berbunyi: the greatest happiness of the greatest number, “kebahagiaan
terbesar dari jumlah orang terbesar.”
Utilitarisme muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan perlunya
panduan dalam bertindak secara praktis. Bagi Spaemann, utilitarian tidak lagi
etika yang bersifat normatif seperti etika eudaimonia ataupun etika-etika
sebelumnya. Etika utilitarisme mungkin dapat dapat dipandang sebagai kelanjutan
dari etika kewajiban Kant. Namun berbeda dari Kant yang tidak dapat menjawab
pertanyaan tentang apa yang menjadi “kewajibanku”, etika utilitarisme
mengklaim dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut etika
utilitarisme, kriteria untuk menilai apakah suatu tindakan baik atau buruk, adalah
semata-mata tergantung daripada akibat dari tindakan tersebut, baik akibat aktual,
ataupun akibat yang baru merupakan kemungkinan. Suatu tindakam menjadi
tindakan yang wajib dilakukan bila tindakan tersebut akan menghasilkan manfaat
yang lebih besar dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang mungkin bagi
pelaku. Prinsip ini menjadi prinsip umum yang diterima oleh berbagai macam
variasi dari etika utilitarisme. Perbedaan yang terdapat di antara etika utilitarisme
terutama mengenai cara menentukan nilai/bobot dari akibat-akibat yang mungkin
muncul.
13 Bertens, K., Op.Cit., hal. 247.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
31Universitas Indonesia
Spaemann menyebutkan beberapa varian dari utilitarisme yang berbeda
dalam hal tolak ukur yang digunakan untuk menilai akibat-akibat dari suatu
tindakan. Yang pertama adala Jeremy Bentham yang menyusun semacam sistem
kalkulasi untuk menentukan bobot nikmat yang dimiliki oleh setiap tindakan, dan
dengan demikian dapat dibandingkan dengan bobot nikmat yang dihasilkan antara
tindakan yang satu dengan tindakan yang lain. Kalkulasi Bentham ini sangat
bersifat hedonistik karena nikmat yang ingin dinilai dalam setiap tindakan
dipahami sebatas nikmat jasmani. Karena itu, John Stuart Mill mengajukan
alternatif tolak ukur lain dalam menentukan bobot/nilai suatu tindakan. Berbeda
dengan Bentham yang membatasi nikmat pada nikmat jasmani, Mill juga
mengakui adanya nikmat rohani. Bahkan nikmat rohani lebih bernilai daripada
nikmat jasmani. Oleh karena itu, mungkin saja seseorang mengorbankan nikmat
jasmani demi memperoleh nikmat rohani. Dengan demikian, Mill lebih
menawarkan agar suatu tindakan dinilai secara kualitatif, bukan secara kuantitatif
seperti yang disarankan oleh Bentham.
Tokoh Terakhir yang diambil oleh Spaemann untuk mewakili utilitarisme
adalah George Edward Moore. Berbeda dengan Bentham dan Mill yang masih
berpikir dalam kerangka etika hedonistik, di mana nikmat menjadi satu-satunya
kriteria untuk menilai bobot dari akibat suatu tindakan, Moore berhasil keluar dari
kerangka pemikiran hedonistik. Sebagai tolak ukur dalam menghitung
konsekuensi dari suatu tindakan, Moore mengajukan teori nilai. Dalam teori nilai
tersebut, nikmat hanyalah satu nilai di antara banyak nilai lain.
Bagi Spaemann, Moore masih memandang etika sebagai upaya
maksimalisasi kebaikan. Cara memandang seperti itu masih dalam kerangka
rasionalitas instrumental. Konsekuensi dari kerangka berpikir semacam itu,
mengindikasikan bahwa tujuan dari tanggung jawab, objek kebaikan hati akhirnya
bukanlah orang atau kelompok orang tertentu, melainkan dunia sebagai
keseluruhan. Tindakan dipandang tepat dan karenanya baik secara moral ketika
dilihat secara keseluruhan akan menghasilkan dunia yang lebih baik dibandingkan
dengan alternatif-alternatif tindakan lain yang mungkin.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
32Universitas Indonesia
Ada beberapa kritik yang disampaikan oleh Spaemann berkenaan dengan
utilitarisme. Pertama, Spaemann melihat bahwa fokus etika utilitarisme yaitu
sebanyak mungkin bermanfaat bagi semua orang yang terkena akibat dari suatu
tindakan, pada akhirnya hanya akan menjadi pengabaian terhadap pribadi-pribadi
konkrit. Bagi Spaemann, “keseluruhan” adalah suatu konsep abstrak. Padahal
sesuatu yang abstrak tidak dapat menjadi tujuan dari suatu tindakan moral.
Moralitas selalu berkenaan dengan pribadi-pribadi konkrit.14
Ketika berhadapan dengan berbagai pilihan tindakan, utilitarisme
menuntut agar kita mempertimbangkan semua kemungkinan akibat yang akan
timbul terhadap setiap pihak yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Dalam
hal ini, utilitarisme menuntut kita untuk membuat kalkulasi menyeluruh terhadap
tindakan-tindakan yang kita ambil. Maksud dari kalkulasi tersebut ialah agar kita
dapat menentukan mana tindakan yang paling tepat, yaitu paling banyak
menghasilkan manfaat bagi sebanyak mungkin pihak yang terlibat. Dari sinilah
kelemahan berikutnya dari utilitarisme yang ditujukkan oleh Spaemann. Bagi
Spaemann, kita tidak akan mungkin dapat membuat kalkulasi universal semacam
itu. Alasannya adalah kita tentu tidak akan dapat sepenuhnya memperhitunghkan
akibat dari tindakan yang kita ambil terhadap setiap pihak yang terkena
dampaknya, dan untuk jangka waktu yang panjang. Dapat saja terjadi bahwa
tindakan yang sebelumnya kita perhitungkan akan bermanfaat pada waktu yang
akan datang ternyata malah menghasilkan akibat-akibat negatif.
Konsekuensi dari utilitarisme yang menjadikan manfaat sebagai tolak ukur
untuk menilai suatu tindakan menimbulkan kesan bahwa utilitarisme mendukung
pandangan tujuan menghalalkan segala cara.15 Memang sudah merupakan
konsekuensi dari etika-etika teleologis, di mana utilitarisme termasuk di dalamnya
yang meletakkan bobot moral suatu tindakan pada akibat dari tindakan tersebut,
tidak dapat menghindar dari kesan bahwa etika utilitarisme mendukung paham
demi tujuan-tujuan yang dipandang baik, dengan cara apapun dapat dilakukan.
Padahal, bagi Spaemann, pandangan bahwa tujuan menghalalkan segala cara,
bertentangan dengan intuisi moral dari kebanyakan orang dan tradisi-tradisi etika 14 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 127.15 Bertens, K., Op.Cit., hal. 251.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
33Universitas Indonesia
dalam semua kebudayaan. Dengan demikian, bagi Spaemann, utilitarisme
menghadapi tantangan yang berat karena bertentangan dengan intuisi moral
manusia yang pada umumnya menolak bahwa tindakan apapun dapat dibenarkan
bila tujuannya baik.
Kemudian menurut Spaemann, etika utilitarisme tidak dapat menampung
konsep oidos, rasa malu, yakni perasaan yang muncul ketika manusia sampai
kepada batas-batas di mana mereka harus berhenti dalam mengejar tujuan mereka.
Pada utilitarisme, sejauh suatu tindakan dilakukan demi tujuan yang baik atau
bermanfaat bagi keseluruhan, tindakan tersebut benar bahkan wajib untuk
dilakukan. Dari sinilah tidak ada lagi batas-batas tentang perbuatan apa yang
pantas atau tidak pantas untuk dilakukan. Kepantasan tidak lagi menjadi kriteria
dalam menilai suatu tindakan. Pada utilitarisme, kata-kata seperti
‘pengkhianatan’, ‘perbuatan rendah’ tidak lagi memiliki arti yang independen
dalam tindakan itu sendiri. Padahal dalam intuisi moral, kebanyakan orang akan
mengatakan bahwa pengkhianatan, perbuatan-perbuatan rendah tidak dapat
diterima apapun tujuannya.
Konsekuensi lebih lanjut dari paham yang memandang bahwa tujuan
menghalalkan segala cara adalah adanya bahaya pada individu-individu konkrit
yang akhirnya diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Di sini
orang tidak lagi diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri seperti yang
dituntut oleh etika Kant, melainkan orang dapat saja ditundukkan demi tujuan atau
kepentingan bersama.
3.2.5. Etika Diskursus
Menurut Sapemann, kegagalan etika utilitarisme dalam mempertahankan
subjek konkrit merupakan salah satu pemicu munculnya etika diskursus. Etika
diskursus merupakan upaya merevitalisasi kembali etika Kant di mana subjek
memperoleh jaminan akan keberadaannya, yaitu diri tidak sekedar dijadikan
sarana untuk mencapai tujuan, melainkan tujan dari tindakan atau keputusan
moral yang dibuat
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
34Universitas Indonesia
Walaupun etika Kant telah membuat pengakuan terhadap individu konkrit,
tetapi etika tersebut masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut
diantaranya adalah masih terlalu abstrak dan individualistik. Prinsip universalisasi
Kant masih tetap tidak dapat memberitahukan apa yang menjadi kewajiban subjek
dalam suatu situasi konkrit. Selain itu, ketika rasio atau pertimbangan pribadi
dijadikan satu-satunya patokan dalam menentukan tindakan apa yang dapat
diuniversalisasikan dan karenanya wajib untuk dilakukan, menurut Spaemann,
tetap ada kemungkinan bahwa pertimbangan tersebut dikaburkan oleh
kepentingan-kepentingan pribadi. Karena itu, keputusan moral yang diambil dapat
saja salah.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, muncullah etika
diskursus yang berusaha menginterpretasikan kembali etika Kant dan keluar dari
sifat formalistik Kant. Etika diskursus berusaha untuk memberikan isi konkrit
terhadap prinsip universalisasi Kant dan juga mengatasi sifat individualistiknya, di
mana keputusan moral semata dibuat berdasarkan pertimbangan pribadi. Upaya
untuk memberikan isi konkrit tersebut dilakukan lewat diskursus yang melibatkan
berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Lewat diskursus diharapkan dapat
dihasilkan prinsip atau norma konkrit yang dapat memecahkan persolan-persoalan
moral tertentu. Karena dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak itu pula etika
diskursus sekaligus mengatasi kelemahan etika Kant yang masih sangat bersifat
individualistik.
Spaemann menyebutkan tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar tercipta
diskursus yang ideal. Syarat pertama adalah proses diskursus tersebut harus bebas
dari dominasi. Masing-masing pihak hadir dalam posisi yang setara dan memiliki
kesempatan yang sama untuk mengemukakan dan memperjuangkan kepentingan-
kepentingannya. Syarat kedua adalah masing-masing pihak yang terlibat dalam
diskursus, memiliki pengetahuan yang cukup sehingga dapat mengetahui dengan
jelas akan apa yang menjadi kepentingnnya. Syarat ketiga adalah adanya kapasitas
moral tertentu sehingga masing-masing pihak yang terlibat mau untuk membuka
diri terhadap kemungkinan bahwa rumusan kepentingannya mengalami perubahan
setelah melalui proses diskursus. Masing-masing pihak bersedia untuk
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
35Universitas Indonesia
mendialogkan kepentingan-kepentingan mereka dan menerima rumusan baru hasil
dari diskursus tersebut.
Spaemann memulai kritiknya terhdap etika diskursus dengan membahas
masing-masing persyaratan yang dibutuhkan untuk terciptanya diskursus.
Pertama, tentang proses diskursus yang harus bebas dominasi. Menurut
Spaemann, dalam diskursus nyata, tidak akan ada proses diskursus yang bebas
dari dominasi. Spaemann mencontohkan bahwa dalam diskursus, tentu orang-
orang yang pandai dalam berbicara atau menyampaikan pikirannya, misalnya
orang-orang terpelajar, kemungkinan besar akan mendominasi proses diskursus.
Spaemann pun memberikan contoh lain, yaitu sejarah sains yang selama ini
dianggap berkembang semata berdasarkan faktor-faktor objektif dari sains itu
sendiri, yang berarti bebas dari dominasi atau faktor-faktor di luar sains itu
sendiri, ternyata dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di
luar sains.
Kritik berikutnya adalah mengenai syarat adanya kompetensi moral dan
kejujuran yang harus dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam diskursus.
Menurut Spaemann ketika masing-masing pihak telah memiliki kejujuran dan
keterbukaan untuk berdialog, sesungguhnya apa yang ingin dicapai lewat
diskursus malah sulit tercapai. Nilai moral dari kesediaan untuk melakukan
diskursus terletak bukan pada menghasilkan norma-norma, melainkan pada
kesediaan untuk menguji keyakinan-keyakinan moral yang diyakini.
Selanjutnya Spaemann, adanya permasalahan dalam tuntutan etika
diskursus akan kesetaraan dalam hal kapasitas intelektual dari pihak-pihak yang
terlibat dalam diskursus. Spaemann mengemukakan bahwa walaupun masing-
masing pihak yang terlibat mempu untuk berpikir secara rasional, pada
kenyataannya orang tidak hanya dipengaruhi oleh sisi kognitif atau
rasionalitasnya. Manusia bukanlah semata makhluk rasional. Setiap orang
memiliki sisi-sisi yang lain, misalnya dorongan-dorongan instingtualnya, dan
harapan-harapannya. Tentu sisi-sisi lain ini pun akan mempengaruhi persepsi dan
keputusan orang tentang suatu persoalan moral. Menurut Spaemann yang
diperlukan untuk suatu diskursus tidak hanya kesetaraan dalam kapasitas
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
36Universitas Indonesia
intelektual, melainkan juga masing-masing pihak yang terlibat dalam diskursus
memiliki semacam kepekaan akan moralitas. Kita tidak dapat berdiskursus
tentang hal-hal moral dengan orang yang tidak memiliki kepekaan/intuisi tentang
moralitas. Misalnya kita tidak dapat berdiskursus tentang perlakuan terhadap
tahanan perang dengan orang-orang yang tidak memiliki intuisi untuk melindungi
orang-orang yang tidak berdaya, atau untuk tidak menyakiti oring lain. Dan
kepekaan tersebut, menurut Spaemann, tidak dapat dihasilkan lewat diskursus.
Jadi, di sini etika diskursus menemukan batasnya, dimana diskursus tidak dapat
dilakukan denagan orang-orang yang tidak memiliki kepekaan moral.
Spaemann juga melihat bahwa etika diskursus diarahkan untuk
menyelesaikan konflik-konflik tentang moralitas. Padahal menurut Spaemann
tugas utama etika bukanlah untuk menyelesaikan konflik-konflik moral. Etika
terutama adalah refleksi atas kondisi yang diperlukan untuk hidup yang berhasil.
Malah sering kali keyakinan etis menghasilkan konflik.16
3.3. Penutup
Sebelumnya telah dibahas analisa Spaemann terhadap pemikiran etika
Yunani untuk menemukan jawaban tentang apa sesungguhnya yang menjadi isi
bagi eudaimonia. Pada Plato, Spaemann menemukan adanya benih pemikiran
yang kiranya dapat menjawab persoalan dasar etika, yaitu pertentangan antara
keutamaan dan kebahagiaan. Plato mencita-citakan terjadinya penyatuan antara
kalon (yang luhur/yang indah) yang terwujud dalam keutamaan, dan agathon
(yang baik bagiku) yang menimbulkan kebahagiaan/kepuasan. Kalonkagathon
atau kesatuan antara kalon dan agathon tercapai ketika manusia dapat memandang
Sang Ilahi dalam kegiatan theoria.
Namun para filsuf Yunani berikutnya tidak melanjutkan proyek Plato.
Seperti pada Aristoteles yang memilih untuk membahas persoalan eudaimonia
dengan berangkat dari condito humania, dan bukannya ide dari Sang Ilahi.
Namun eudaimonia yang ditawarkan oleh Aristoteles adalah eudaimonia yang
16 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 140.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
37Universitas Indonesia
kompromistik, eudaimonia yang bersifat relatif, karena memang eudaimonia
semacam itulah yang mungkin dicapai manusia mengingat kodratnya sebagai
manusia.
Kemudian pada Epikuros yang menawarkan nikmat sebagai isi
kebahagiaan manusia, Spaemann mengakui bahwa Epikuros menyumbangkan
suatu pemikiran yang bermanfaat bagi kita dalam memahami eudaimonia, yakni
sesuatu yang menjadi tujuan hidup kita haruslah mampu untuk membuat kita
tertarik untuk mengejarnya. Sesuatu itu haruslah memiliki daya tarik, misalnya
menjanjikan kepuasan ketika kita berhasil mendapatkannya. Namun selain itu,
pemikiran Epikuros juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahannya
adalah tidak dapat menampung dimensi waktu. Padahal menurut Spaemann,
manusia berada dalam dimensi waktu, dan tidak dapat melepaskan diri darinya.
Kemudian kelemahan lain, Epikuros mengidentikan kebahagiaan dengan nikmat
psikologis yang sama sekali bersifat subjektif. Di sini Spaemann memberikan
ilustrasi tentang seorang pasien yang tidak sadarkan diri dan oleh dokter, di
otaknya dipasang alat-alat yang merangsang timbulnya perasaan nikmat pada
pasien tersebut. Spaemann memandang bahwa ide Epikuros tentang kebahagiaan
tidaklah berbda dengan keadaan pasian yang dirangsang untuk merasakan nikmat
terus-menerus. Dan Spaemann berpendapat bahwa keadaan tersebut tidaklah
memadai untuk dipandang sebagai eudaimonia/kebahagiaan manusia.
Tantang etika Stoa, Spaemann melihat bahwa apa yang ditawarkan oleh
etika Stoa sebagai eudaimonia, yaitu keadaan cukup diri, hanyalah alternatif lain
bagi eudaimonia, yang levelnya adalah lebih rendah dari eudaimonia. Menurut
Spaemann, ketika manusia merasa cukup diri, dia akan menutup diri terhadap
kemungkinan yang sesungguhnya, misalnya yang dicapai lewat cinta, atau lewat
realitas orang lain.
Dari seluruh filsuf Yunani yang telah dibahas, menurut Spaemann tidak
ada yang berhasil memecahkan persoalan tentang isi eudaimonia. Kegagalan
tersebut bagi Spaemann memang tidak dapat dihindari karena eudaimonia itu
sendiri mengandung antinomi. Kita memang dapat memiliki gagasan eudaimonia
yang absolut atau kebahagiaan sejati. Namun, gagasan kita tentang kebahagiaan
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
38Universitas Indonesia
absolut tersebut tidak dapat terealisasi secara sempurna dalam tataran empiris.
Kebahagiaan absolut adalah gagasan yang mentransendensi semua pengalaman,
jadi bersifat transendental. Walaupun demikian, kita tidak dapat berhenti berfikir
tentang kebahagiaan absolut. Gagasan tentang kebahagian absolut selalu muncul
dan merelatifkan setiap kepuasan yang kita capai.17
Menurut Spaemann, ketika kita mencoba untuk memahami eudaimonia
sebagai konsep empiris yang dapat direalisasikan dalam tataran empiris, kita
hanya akan dihadapkan pada antinomi. Karakter antinomi dari eudaimonia
tersebut, menurut Spaemann, sudah tampak dalam definisi eudaimonia, yaitu
sebagai hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Padahal, hidup
seseorang tampak sebagai secara keseluruhan hanya ketika dilihat dari perspektif
orang lain/dari luar, dan ketika orang tersebut sudah mati. Karena itu, sisi lain,
ketika hidup dipandang lewat perspektif objektif, atau perspektif orang lain,
dimensi subjektifitas, yaitu perasaan orang yang bersangkutan tidak dapat masuk
dalam penilaian atas berhasil atau tidaknya hidup seseorang. Padahal,
kebahagiaan juga berarti bahwa orang tersebut merasakan dirinya sebagai
bahagia. Sedangkan ketika eudaimonia hendak dicoba dilihat dari perspektif
subjektif, bahwa seseorang merasakan dirinya bahagia, perspektif ini tidak dapat
mengakomodasi tuntunan bahwa hidup yang berhasil harus mencakup
keseluruhan hidup.
Pada etika modern, Spaemann telah melihat bahwa etika Kristiani sebagai
tanggapan terhadap etika eudaimonia berhasil mengatasi beberapa kelemahan dari
etika eudaimonia, di antaranya adalah persoalan bahwa seharusnya kebahagiaan
terus berlanjut setelah kematian, bukan berhenti begitu saja ketika seseorang mati.
Namun konsekuensi dari etika Kristiani adalah terjadinya pemisahan antara apa
yang ‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’. Padahal bagi Spaemann, etika
yang memadai haruslah dapat mempertemukan antara apa yang
‘membahagiakanku’ dengan apa yang wajib’. Dan selajutnya etika Kant pun
semakin menegaskan pemisahan tersebut, di mana Kant sungguh membuang
wacana tentang kebahagiaan dari wilayah etika. Etika adalah semata persoalan
17 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 61.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
39Universitas Indonesia
kewajiban. Upaya untuk mengejar kebahagiaan tidak lain daripada upaya
memuaskan dorongan ego, dan itu sama sekali tidak relevan untuk moralitas.
Pemikiran-pemikiran etika selanjutnya yang sangat terpengaruh oleh etika
Kantian, seperti etika utilitarisme dan etika diskursus pun semakin jauh dari
persoalan pokok etika, yaitu bagaimana mempertemukan antara apa yang
‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, tentang bagaimana mencapai hidup
yang berhasil. Namun usaha Spaemann untuk mengembalikan tugas pokok etika,
yaitu sebagai ajaran tentang hidup yang berhasil, dimana tercapai kesatuan antara
yang ‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, belumlah berakhir.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
40 Universitas Indonesia
BAB IV
CINTA, DAN PERSAHABATAN DALAM PERSPEKTIF ROBERT
SPAEMANN
4.1. Pengantar
Pada bab sebelumnya telah dibahas bagaimana berbagai etika, seperti etika
Kristiani, etika Kant, etika utilitarisme dan etika diskursus tidak mampu
menyatukan antara yang membahagiakan dan yang wajib. Namun Spaemann tidak
berhenti sampai disini. Dan ternyata dia menemukan jalan keluar dari
permasalahan ini dalam pemikiran dua orang filsuf, yaitu Leibniz dan Aristoteles.
Dalam pemikiran keduanya, di mana Leibniz mengemukakan rumusan delectatio
in felicitate alterius (gembira atas kebahagiaan orang lain) sebagai definisi cinta,1
sedangkan Aristoteles memandang bahwa kebahagiaan puncak yang dapat dicapai
manusia adalah dalam persahabatan.2 Spaemann menemukan bahwa apa yang
membahagiakanku dan apa yang wajib sesungguhnya dapat dipertemukan.
Dalam bab ini akan dibahas solusi yang ditawarkan oleh Spaemann
terhadap persoalan antara apa yang membahagiakan dan yang wajib, yang
memang diinspirasikan oleh pemikiran Leibniz dan Aristotels.
4.2. Kebaikan Hati, Persahabatan, dan Melihat Kenyataan
Menurut Spaemann, walaupun nampaknya etika eudaimonia, etika
Kristiani, etika Kant, dan etika-etika selanjutnya tidak mampu mempertahankan
kesatuan antara kalon dan kagathon, atau antara apa yang menjadi kewajiban
dengan apa yang membahagiakan, masih terdapat harapan untuk penyatuan
tersebut. Spaemann melihat harapan tercapainya kesatuan antara apa yang
membahagiakanku dan apa yang menjadi kewajiban dalam konsep Leibniz
1 Spaemann, Robert, Happines and Benevolence, Notredome: Univesity of Notre Dame Press, 2000, hal. 78.2 Ibid., hal. 97.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
41 Universitas Indonesia
tentang cinta, yaitu sebagai delectatio in felicitate alterius, dan dalam konsep
Aristoteles tentang persahabatan.
Dalam persahabatan, sahabat mencintai sahabatnya demi dirinya sendiri.
Kebersamaan dengan dia adalah bagi sahabat-sahabatnya sumber kebahagiaan,
tetapi tidak dapat dikatakan bahwa sahabat dicintai demi kebahagiaan itu. Cinta
adalah kebahagiaan dalam kebahagiaan dia yang dicintai. Cinta adalah
kebahagiaan tertinggi tetapi tidak mementingkan diri dan dengan akan kewajiban
terhadap yang dicintai. Dalam memenuhi “kewajiban” cinta itu sendiri langsung
terletak pada kebahagiaan. Pengalaman cinta adalah pengalaman kehidupan yang
berhasil. Dalam cinta moralitas tidak tampak kepentingan dan kehidupan yang
berhasil tidak egoistik. Apa yang memotivasikan tindakan moral, cinta-adalah
sekaligus apa yang pemenuhannya dipikirkan sebagai kebahagian. Oleh karena itu
Spaemann menunjuk pada fenomena cinta. Disitu egoisme dan altruisme tidak
terpisah, kebahagiaan dan tanggung jawab terhadap orang diluar ‘aku’ bersatu.
Tentang cinta/persahabatan, Spaemann membedakan antara cinta yang
bersifat sentimental seperti yang menjadi pemahaman umum, dan cinta yang
merupakan kebaikan hati. Ketika Spaemann berbicara tentang cinta/persahabatan,
yang dimaksudkannya adalah relasi yang dicirikan oleh kebaikan hati.
Menurut Spaemann, kebaikan hati mengandaikan dua hal. Pertama, bahwa
manusia memiliki struktur teleologis/keterarahan, sehingga orang yang menjadi
tujuan dari kebaikan hati dapat menjadi berarti, bermakna baginya. Kedua, pihak
yang menjadi tujuan dari tindak kebaikan hati tersebut dapat menampak sebagai
dirinya sendiri. Untuk menjelaskannya, mengikuti Aristoteles, Spaemann
membedakan dua model bertindak, yaitu untuk apa dan bagi siapa. Pada model
untuk apa, suatu tindakan dilakukan demi tujuan-tujuan yang impersonal.
Sedangkan pada model bagi siapa, suatu tindakan dilakukan dan diarahkan pada
subjek yang bersifat personal. Dalam tindakan yang bersifat bagi siapa ini, selain
subjek pelaku muncul, juga subjek yang menjadi tujuan dari tindakan tersebut
menampakkan diri.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
42 Universitas Indonesia
Ketika itu, menurut Spaemann, dalam cinta dan kebaikan hati subjek yang
menjadi tujuan dari ‘tindakanku’ menjadi muncul. ‘Aku‘ melihat orang lain yang
‘kucintai’ atau ‘sahabatku’ dan menjadi tujuan dari kebaikan ‘hatiku’ sebagai
pribadi yang lain dari ‘diriku’, yang memiliki identitasnya sendiri, memiliki
realitasnya sendiri. Dalam cinta/persahabatan terjadi apa yang oleh Spaemann
sebut sebagai keterjagaan terhadap kenyataan. Dalam cinta/persahabatan, ‘aku’
dapat melihat ‘sahabatku’, orang lain sebagai nyata. Spaemann menulis :
One discovers beneath all of our purposes which have an “in-order-to-do-something” character , a goal which one can characterize as a ”for-the-sake-of,” and this discovery is accuretely described in this analysis as awakening to “actuality.” We could also say “awakening to reality,” since everything in our world which has significance only shows it self in this its function, not as its ownself, not in its own reality. Only the for-the-sake-of which goes beyond any involvements the real pure and simple. It is a for the-sake-of not just in the sense of a purpose to be realized but as that “final end,” which is always presupposed as a reality in order that something can appear to us as worth striving for. When Kant call humans ends-in-themselves, or when, in the tradition of metaphysics, God is called the “final end,” then “end”does not mean that which is to be realized, but that which is presupposed as a ground in every realization. The showing-it self of this ground is that which we call awakening to reality or “the becoming real of reality for me (Spaemann, Happines and Benevolence 93).
Keterjagaan terhadap kenyataan, tidak lain daripada terbagunnnya akal
budi. Karena itu yang dapat memiliki kebaikan hati hanyalah makhluk rasional.
Kebaikan hati tidak dapat dipahami sebagai sekedar dorongan insting-insting.
Untuk menjelaskan bahwa kebaikan hati adalah lebih sekedar daripada insting,
Spaemann mengambil contoh tentang insting mempertahankan diri. Pada
manusia, seperti pada binatang, juga terdapat insting untuk mempertahankan diri.
Tetapi berbeda dari binatang yang tidak dapat berfikir tentang insting pertahanan
diri tersebut, manusia dapat menyebut dorongan tersebut sebagai insting
mempertahankan diri, karena manusia memiliki akal budi yang memampukannya
melakukan refleksi. Dan dari refleksilah manusia kemudian dapat menemukan
bahwa dirinya dipengaruhi oleh insting untuk mempertahankan diri.3
Dari contoh tersebut, dapat dilihat bahwa manusia selain memiliki insting-
insting, memiliki daya lain, yaitu akal budi. Dan dalam kapasitas akal budi inilah
manusia dapat memiliki kebaikan hati. Namun, bagi Spaemann, sekalipun
manusia memiliki akal budi dapat dikatakan bahwa pada umumnya akal budi
3 Ibid., hal. 93-94.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
43 Universitas Indonesia
manusia berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Akal budi baru
menjadi sadar ketika realitas diluar dirinya dapat tampak sebagai realitas, bukan
sekedar sebagai bagian dari dirinya. Hal ini berbeda dari binatang, di mana
lingkungan bagi binatang tidak pernah menjadi sesuatu yang lain daripada dirinya,
melainkan merupakan bagian dari dirinya. Dan memang, bagi Spaemann, manusia
telah dapat membedakan dirinya dari lingkungannya, bahwa dia berhadapan
dengan lingkungannya. Namun itu berubah setengah dari proses terjaganya akal
budi. Akal budi baru sungguh terjaga ketika kita dapat melihat bahwa pribadi lain
merupakan suatu realitas yang lain dari ‘diriku’, dan bahwa realitas tersebut
memuat tuntutan untuk dihormati, diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya
sendiri, bukan sekedar benda lain ataupun sarana untuk mencapai tujuan.
Menurut Spaemann, keyakinan bahwa pribadi merupakan suatu
realitas/kenyataan yang bernilai pada dirinya sendiri dan harus dihormati, dapat
dianggap sebagai suatau keyakinan metafisika. Hal ini tidak berbeda dari
keyakinan, karena persoalannya adalah melihat atau tidak melihat, tidak dapat
dibuktikan. Keyakinan ini pula yang termuat dalam keyakinan religius. Karena
itu, Spaemann mengambil contoh, bahwa hanya manusia religius saja yang
memiliki alasan untuk menentang pembunuhan. Manusia religius disini
maksudnya adalah mereka yang dapat menangkap akan adanya ‘yang suci’ dalam
eksistensi pribadi manusia. Bila manusia tidak dapat melihat ‘yang suci’ dalam
pribadi manusia maka dia sesungguhnya tidak memiliki alasan yang kuat untuk
mengatakan bahwa membunuh orang lain tidak diperbolehkan. Karena itu, dia
dapat saja membenarkan pembunuhan atas seseorang berdasarkan suatu
pertimbangan atau alasan, atau bahkan tanpa alasan apapun. Hal itu berbeda
dengan manusia religius, yang dapat menangkap bahwa ada ‘yang suci’ dalam
pribadi manusia, sehingga setiap pribadi wajib untuk dihormati eksistensinya.4
Bagi Spaemann, seseorang perlu ‘terbangun’ agar dapat melihat realitas
orang lain. Dan salah satu momen di mana kita dapat terbangun atau melihat
realitas orang lain adalah dalam persahabatan atau cinta. Dalam persahabatan dan
cinta, kita melihat orang lain, ‘sahabatku’ secara jernih, sebagai makhluk yang
4 Ibid., hal. 95.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
44 Universitas Indonesia
memiliki nilai pada dirinya sendiri. Sahabat adalah orang yang dicintai demi
dirinya sendiri, jadi bukan demi hal-hal lain di luar dirinya, atau pun demi
manfaatnya ‘bagiku.’ Ketika seseorang menjadi sahabat, maka apapun akan
dilakukan demi kebaikan atau kebahagiaan sahabatnya. ‘Aku’ bahagia ketika ‘dia’
bahagia, bila ‘aku’ melihat dia dalam kesulitan, maka secara spontan ‘aku’ akan
membantunya. Pertimbangan apakah ‘aku’ wajib atau tidak wajib untuk
membantunya tidak lagi relevan.
Menurut Spaemann, terjadi hubungan timbal balik antara
persahabatan/cinta dengan kemampuan untuk melihat kenyataan. Di satu sisi,
persahabatan membuat realitas sahabat menjadi nampak. Dan di sisi lain, karena
‘aku’ dapat memandang orang lain secara jernih, di mana ‘aku’ memperlakukan
dia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, maka dia dapat menjadi sahabat ‘bagiku’.
Tidak mungkin ‘aku’ dapat memiliki sahabat bila ‘aku’ tidak mampu melihatnya
sebagai realitas pada dirinya sendiri, sebagai seseorang yang menjadi tujuan
‘tindakanku’.
Sesungguhnya dalam persahabatan, persoalan tentang egoisme telah
dilampaui. Memang pada akhirnya kita pun mendapatkan kebahagiaan atas apa
yang kita lakukan demi sahabat kita, dan hal itu tidaklah menjadi masalah.
Walaupun kita mendapatkan kebahagiaan, kebahagian itu bersifat tidak langsung,
sebagai dampak saja. Apa yang kita lakukan bukanlah pertama-tama demi
kebahagian tersebut, melainkan demi sahabat kita. Fenomena persahabatan pun
membuat etika Kantian yang berdasarkan tindakan moral pada intuisi tentang apa
yang wajib menjadi kehilangan kekuatannya. Dalam persahabatan, dihadapkan
pada situasi di mana sahabat berada dalam kesulitan dan membutuhkan bantuan
kita, persoalan wajib atau tidak wajib tidak lagi relevan. Bila memang sungguh
dia adalah sahabat kita, tentu kita akan membantu dia, tanpa harus melalui refleksi
apakah saya wajib untuk membantunya atau tidak. Bila dalam situasi semacam itu
kita masih bertanya apakah saya wajib untuk membnatu dia, maka dapat
dipertanyakan apakah saya memang sahabat yang baik bagi dia.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
45 Universitas Indonesia
4.3. Ordo Amoris
Bagi Spaemann, kebaikan hati masihlah bersifat abstrak, dan
membutuhkan realisasinya. Dalam tindakan menolong, kebaikan hati mencapai
aktualisasinya. Kebaikan hati terekspresi dalam bentuk kesediaan untuk menolong
orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. Sesungguhnya kebaikan hati atau
kesediaan untuk menolong ini berlaku pada siapa saja, sekalipun orang yang tidak
dikenal, bila dia sedang berada dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan
kita. Menurut Spaemann, karena manusia dari kodratnya makhluk yang terbatas,
walaupun sesunguhnya kebaikan hati tidak mengenal batas, namun mau tidak mau
ada apa yang dinamakan sebagai ordo amoris. Kebaikan hati pertama-tama
berlaku bagi orang-orang yang paling dekat dengan diri kita, baru kemudian
meluas kepada orang-orang yang agak jauh relasinya dengan diri kita. Spaemann
menulis :
For the finite being benevolence in its universality has to organize itself into a structure which corresponds both to the finitude of its perspective as well as the finitude of the objects of benevolence in order words there exist is called ordo amoris. Everyone has their own place in the ordo amoris of other. Through reason’s universality we our selves realize that we cannot be as important to othes as we are to ourselves. And because each of us know this, no one has the right to treat someone else as no body (Spaemann, Happines and Benevolence 109).
Situasi kontemporer yang dicirikan oleh penyebaran informasi yang tanpa
batas, dimana orang di satu tempat dapat mengetahui apa yang terjadi di tempat
lain yang sangat jauh sekalipun, dapat dijadikan contoh tentang pentingnya ordo
amoris/tatanan kebaikan hati. Berkat teknologi informasi dalam bentuk televisi,
atau koran, orang dapat mengikuti dan mengetahui peristiwa-peristiwa apa saja
yang terjadi di belahan bumi lain. Lewat informasi-informasi tersebut, misalnya
tentang akibat perang yang harus ditanggung oleh masyarakat sipil di suatu
wilayah yang berkonflik, dapat mengakibatkan rasa solidaritas dari orang-orang
yang mengetahui informasi tersebut. Walaupun sebenarnya seseorang yang
mengetahui informasi tersebut tidak mengenal orang-orang yang menjadi korban
perang, namun ia menjadi tergerak oleh penderitaan orang-orang yang sebenarnya
sama sekali tidak mengenal dan berada di tempat yang jauh darinya. Bagi
Spaemann, solidaritas, rasa prihatin yang muncul akibat berita di media masa
adalah bersifat semu dan hanya menimbulkan perasaan tidak berdaya, karena
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
46 Universitas Indonesia
tidak ada yang dapat dilakukan bagi mereka yang nampak dalam berita tersebut.
Mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal, juga jaraknya
sangat jauh dengan kita.
Bagi Spaemann, berhadapan dengan fenomena semacam ini, terasa akan
perlunya dibuat ordo amoris bagi orang-orang yang berada di luar lingkup
perhatian kita, ordo amoris yang tidak berdasarkan kedekatan atau kejauhan relasi
dengan diri kita. Spaemann mengusulkan, pertama, pada level politis, harus
tercipta kondisi di mana setiap orang memiliki kewarganegaraan. Dengan
memiliki kewarganegaraan, berarti seseorang memiliki ikatan, relasi, dan itu
berarti juga ada pihak yang berkepentingan, bertanggung jawab atas dirinya.
Dengan memiliki kewarganegaraan pula, seseorang dapat dikatakan menjadi
seseorang, tidak lagi bukan siapapun (nobody). Kedua, berdasarkan sifat
universalitas kebaikan hati, yang sebenarnya berlaku terhadap siapapun, maka
dalam situasi tertentu berhadapan dengan orang yang kita tidak kenal, namun
membutuhkan pertolongan kita, kita perlu untuk membantunya, karena pada
momen kita berhadapan dengan dia, dia telah menjadi nyata bagi kita. Orang
tersebut telah menegaskan dirinya di hadapan kita. Memang kita dapat saja
menolak dengan berpaling, namun itu bukanlah sikap yang sesuai dengan prinsip
kebaikan hati.
Ordo amoris juga berlaku bukan hanya berdasarkan kejauhan atau
kedekatan relasi, tetapi pertama-taman berdasarkan struktur realitas itu sendiri,
dan berbicara tentang struktur realitas, sebenarnya itu berbicara tentang
metafisika. Bagi Spaemann, etika memang tidak dapat dilepaskan dari metafisika.
Tidak ada etika tanpa metafisika.5 Yang dimaksud oleh Spaemann dengan struktur
realitas adalah level-level makhluk berdasarkan tingkat kesadarannya. Yang
menempati level paling tinggi dalam realitas adalah manusia karena memiliki
tingkat kesadaran yang paling tinggi, kemudian binatang, tumbuhan, dan akhirnya
benda mati.
Berdasarkan struktur realitas inilah tersusun ordo amoris. Pertaman-tama,
realitas yang menempati tempat yang paling tinggi dalam ordo amoris adalah
5 Ibid., hal. 113.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
47 Universitas Indonesia
manusia, pribadi yang memiliki kesadaran. Menurut Spaemann, relasi kewajiban
untuk hormat terhadap orang lain bukanlah pertama-tama karena kesamaan
biologis, melainkan karena orang lain pun memiliki relasi dengan diri mereka
sendiri, yakni pribadi. Mereka adalah pribadi yang memiliki kesadaran, maka
mereka adalah ‘nyata’ dan tidak dapat direduksi sekedar sebagai objek.
Menurut Spaemann, manusia sebagai makhluk yang dapat mengacu pada
dirinya sendiri, bukan saja bersifat relatif dalam hubungannya dengan orang lain
dan dalam pengalaman akan orang lain, melainkan pada dasarnya memang
tergantung pada orang lain dan hanya menjadi nyata dalam hubungan ini. Bila
manusia dapat menyadari bahwa dirinya bersifat relatif dan dapat keluar dari
dirinya sendiri, dengan merelatifkan dirinya, maka dia melampaui relatifitasnya
dan menjadi representasi dari Yang Absolut. Bagi Spaemann, inilah yang
dimaksud sebagai martabat manusia, bahwa manusia adalah representasi dari
Yang Absolut.
Dengan demikian, atas dasar inilah manusia adalah pribadi yang
merupakan representasi dari Yang Absolut, maka di dalamnya termuat larangan
untuk memperlakukan pribadi sekedar sebagai sarana. Spaemann memilih untuk
menggunakan kata ‘larangan’ karena kata tersebut merupakan batas minimum
dari setiap perintah untuk membantu orang lain yang membutuhkan bantuan, yang
tidak dapat dirumuskan secara positif karena bersifat tidak terbatas dan bervariasi.
Spaemann telah melihat bahwa relasi etis antar pribadi didasarkan pada
kenyataan bahwa setiap pribadi adalah makhluk yang memiliki kesadaran diri.
Namun Spaemann menyadari bahwa prinsip tersebut menghadapi tantangan
ketika berhadapan dengan kasus-kasus etis, misalnya dalam kasus pasien yang
tidak lagi memiliki kesadaran dan hanya dapat bertahan berkat alat bantu
kedokteran. Spaemann bertanya, “Bila relasi, tanggung jawab moral terhadap
makhluk yang memiliki kesadaran diri, lalu bagaimana dengan manusia yang
tidak lagi memiliki kesadaran diri?.” Menurut Spaemann, kita masih tetap
memiliki tanggung-jawab moral terhadap pasien tersebut, karena bagaimanapun
juga dia pernah mamiliki kesadaran diri. Hal itu berarti pula bahwa secara
potensial, pasien tersebut masih dapat memiliki kesadaran diri kembali.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
48 Universitas Indonesia
Selanjutnya, menurut Spaemenn, ordo amoris juga berlaku bagi makhluk
yang tingkatannya lebih rendah daripada manusia, misalnya binatang. Namun
tentu saja bentuk perhatian dan bantuannya berbeda daripada terhadap manusia.
Alasannya karena manusia merupakan suatu pribadi yang satu keseluruhan, yang
memuat tuntutan untuk dihormati, binatang bukanlah suatu keseluruhan/totalitas.
Binatang tidak dapat menjadi nyata bagi dirinya sendiri, dan tidak dapat keluar
dari pengaruh kegiatan dorongan instingtualnya, dan karena itu hidupnya tidak
dapat menjadi suatu keseluruhan. Apa yang nyata bagi binatang adalah satuan-
satuan peristiwa atau pengalaman. Panjang atau pendeknya hidup tidaklah berarti
bagi binatang itu sendiri. Dan terhadap kenyataan itulah, kebaikan hati dan
tanggung jawab kita harus mengacu secara praktis, misalnya kita boleh saja
membunuh binatang. Dan yang menjadi tanggung-jawab kita terhadap binatang
tersebut adalah meminimalkan rasa sakitnya, sehingga binatang tersebut sedikit
mungkin mengalami rasa sakit. Itulah yang dapat menjadi wujud kebaikan hati
terhadap binatang.
Berhadapan dengan alam, apa yang dapat dipandang sebagai tanggung-
jawab terhadap alam bagi kepentingan alam itu sendiri. Memang alam tidak
memiliki kesadaran diri, namun dalam kesadaran manusia sebagai makhluk
rasional, realitas ditangkap sebagai keseluruham, termasuk alam. Relasi manusia
dengan alam bukan hanya bahwa manusia berhadapan dengan alam, namun juga
ada semacam relasi/ikatan yang bersifat primordial. Manusia dan alam saling
melengkapi. Ketika alam tidak lagi utuh/lengkap, maka sesungguhnya manusia
pun menjadi kehilangan. Menurut Spaemann, apa yang dirumuskan oleh Leibniz
sebagai kebahagiaan, delectatio in felicitate alterius, berlaku juga dalam
hubungan manusia dengan alam. Rumusan tersebut bahkan dapat mengatasi
oposisi antar anthroposentrisme dan cinta akan alam demi alam itu sendiri.6
Bagi Spaemann, sejauh mana objek mati dapat menjadi objek kebaikan
hati adalah tergantung pada bagaimana kita memahaminya, sejauh mana kita
menerimanya sebagai nyata. Namun benda itu sendiri tidaklah memuat tuntutan
ontologis terhadap kita untuk memperhatikannya, karena benda itu sendiri tidak
6 Ibid., hal. 117-118.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
49 Universitas Indonesia
mengalami kerugian apapun atas apa yang menjadi keputusan kita. Lagi pula
sejauh mana benda itu menjadi nyata bagi kita adalah sama sekali tergantung pada
kita.
4.4. Tanggung Jawab
Bagi Spaeman, kebaikan hati tidak dapat diasalkan dari imperatif,
malainkan berasal dari persepsi akan kenyataan. Persepsi akan kenyataan ini
mengandung suatu paradoks. Di satu sisi, persepsi akan kenyataan tersebut adalah
anugerah, bukan sesuatu yang dapat kita usahakan atau berasal dari diri kita
sendiri. Namun, persepsi tersebut adalah suatu anugerah, selama kita tidak dapat
melihat kenyatan, kita tetap bersalah. Ada semacam suatu tuntutan bahwa kita
dapat melihat kenyataan; dan kita memiliki tanggung-jawab untuk memenuhi
tuntutan tersebut. Tindakan kita dinilai benar atau salah berdasarkan apakah kita
dapat memenuhi tuntutan ini atau tidak.
Menurut Spaemann, setidaknya ada tiga kriteria untuk menilai apakah
suatu tindakan adalah benar. Pertama, berdasarkan apakah tindakan tersebut
mendukung tercapainya tujuan. Kedua, berdasarkan apakah tindakan tersebut
mendukung tercapainya eudaimonia atau keseluruhan hidup yang berhasil.
Namun, berbeda dari tujuan-tujuan lain, eudaimonia tidak dapat dijadikan tujuan
langsung dari suatu tindakan. Ketika eudaimonia hendak dijadikan tujuan
langsung dari suatu tindakan, malah eudaimonia seolah menghindar. Spaemann
memberikan analogi tentang hukum kedua dari termodinamika, di mana ketika
kita berusaha untuk membangun suatu sistem tertutup yang teratur, hal tersebut
malah akan menyebabkan kekacauan pada lingkup yang lebih luas. Bagitu pula
dengan eudaimonia, ketika seseorang berusaha untuk mengatur hidupnya demi
mencapai eudaimonia, usaha tersebut tidak akan berhasil. Alasannya karena
eudaimonia tidak hanya terbatas pada hidup seseorang saja, melainkan juga
mencakup aspek-aspek di luar dirinya, misalnya keluarga, atau orang-orang yang
dicintainya, bahkan hidup semua orang.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
50 Universitas Indonesia
Dari sinilah, menurut Spaemann muncul kriteria ketiga untuk menentukan
apakah suatu tindakan benar atau salah. Kriteria tersebut bersifat moral, yaitu
apakah kita berhubungan secara bertanggung jawab dengan kenyataan. Di sini
Spaemann sekali lagi menggunakan pembedaan yang dibuat Aristotels, yaitu
antara poiesis dan praxis. Bila dalam poiesis, kita bertindak berdasarkan tujuan
tertentu dan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sedangkan dalam praxis, kita
bertindak demi tindakan itu sendiri. Dan ketika praxis diterapkan dalam relasi
dengan orang lain, hal itulah yang memenuhi kriteria moral ini. Karena dalam
praxis, orang lain dapat mengembangkan dirinya sendiri dan dapat tampil sebagai
dirinya sendiri. Dalam praxis ini pula kita dapat melihat orang lain sebagai
kenyatan. Karena itu, tepatlah bila relasi dengan orang lain yang bersifat praxis,
dipandang sebagi tindakan moral.
Dalam relasi dengan orang lain yang bersifat praxis ini, di mana orang lain
menampak dalam kesadaran, termuat tanggung jawab; dan tanggung jawab tidak
dapat lepas dari perhatian. Tanggung jawab terwujud dalam peraturan bahwa saya
peduli dengan keadaannya. Kepedulian tersebut, menurut Spaemann, mengacu
pada mereka dengan siapa saya bergaul, atau mereka yang secara tidak langsung
terkena dampak dari tindakan saya, baik pribadi maupun kolektif. Tanggung
jawab dan kepedulian, hanya dapat mengacu pada makhluk yang memiliki karater
teleologis, yaitu pada mereka yang dapat menangkap atau memberikan makna
pada apa yang terjadi.
Menurut Spaemann, ada perbedaan antara ‘atas apa’ dan ‘kepada siapa;
kita bertanggung jawab, atau objek dan alamat dari tanggung jawab kita. Pertama-
tama, kita bertanggung jawab atas apa yang dapat memiliki arti bagi seseorang.
Dengan menjadi alamat dari tanggung jawab kita adalah pribadi yang baginya
sesuatu dapat memiliki arti. Pada prinsipnya, kita bertanggung jawab kepada
siapapun yang dapat menuntut pertanggungjawaban kepada kita, dapat bertanya,
“Mengapa?”, atau “Atas hak apa?.”
Kita dapat dengan mudah memahami tentang perbedaan antara objek dan
alamat dari tanggung jawab ketika kita berhadapan dengan benda mati. Benda
mati adalah objek dari tanggung jawab kita, tetapi kita tidak perlu dan tidak dapat
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
51 Universitas Indonesia
bertanggung jawab terhadap benda mati. Namun persoalannya menjadi lebih sulit
ketika kita berhadapan dengan makhluk hidup lain selain manusia, misalnya
binatang dan tumbuhan. Bagi Spaemann, walaupun binatang dan tumbuhan dapat
tampil bagi kita sebagai kenyataan, sebagai pribadi, yang hanya bersifat analogi,
tetaplah binatang dan tumbuhan hanya dapat menjadi objek dari tanggung jawab
kita, dan bukan alamat bagi tanggung jawab kita. Alasannya karena bagi binatang
dan tumbuhan, hidup mereka tidak dapat menjadi suatu keseluruhan. Binatang dan
tumbuhan tidak memiliki kapasitas/kemampuan untuk memahami atau
memandang hidup sebagai keseluruhan. Diperlukan pemikiran reflektif yang
hanya dimungkinkan oleh adanya akal budi. Sedangkan binatang dan tumbuhan
tidak memiliki akal budi.
Walaupun kepada binatang dan tumbuhan kita tidak bertanggung jawab,
kita tetap memiliki tanggung-jawab atas mereka. Hal ini dimungkinkan karena
mereka dapat menjadi kenyataan bagi kita. Spaemann memberikan contoh tentang
seekor kumbang yang terbalik tubuhnya dan berusaha untuk membalikkan diri.
Ketika kita melihat penderitaan kumbang tersebut, kumbang tersebut menjadi
realitas bagi kita, umumnya kita langsung membantu kumbang tersebut untuk
membalikkan tubuhnya. Berhadapan dengan penderitaan kumbang, hati kita
tergerak oleh kebaikan hati untuk membantu meringankan atau membuat dia
terbebas dari penderitaannya tersebut. Di sinilah terjadi kesatuan antara melihat
kenyataan, kebaikan hati, dan mengambil tindakan. Semuanya itu tidak dapat
dipisahkan. Hal ini berlaku bukan hanya ketika kita berhadapan dengan orang
lain, melainkan juga ketika kita berhadapan dengan binatang dan tumbuhan,
ketika mereka menjadi kenyataan bagi kita.
Menurut Spaemann, ketika berhadapan dengan binatang dan tumbuhan,
kita tidak bertanggung jawab terhadap mereka, melainkan terhadap diri kita
sendiri. Tindakan berhenti menjadi actus humanus, bila secara sengaja tindakan
tersebut membuat kita buta. Martabat manusia muncul dari kenyatan bahwa
manusia melangkah dari sentralitasnya dimana segala sesuatu yang dijumpai
adalah tidak lagi sekedar sebagai ‘lingkungan’ mereka. Apa yang membuat
manusia manjadi representasi dari yang ‘tak terbatas’ adalah bahwa manusia dapat
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
52 Universitas Indonesia
memiliki persepsi akan kondisi batin pihak lain, entah itu orang lain ataupun
binatang. Memang tidak setiap penderitan binatang menjadi tangung jawab kita.
Apa yang menjadi tanggung jawab kita adalah ketika binatang tersebut menjadi
‘tetangga’ kita. Sebagai prinsip umum memperlakukan binatang, Spaemann
merumuskan, “pertama-tama, tidak setiap tindakan demi kepentingan manusia
dapat digunakan untuk membenarkan penderitaan binatang. Kedua, ada batas
toleransi dari penderitaan yang boleh kita sebabkan terhadap binatang. Untuk
menentukan batas tersebut, lamanya penderitaan dibandingkan dengan usia
harapan hidup dan bentuk kehidupan binatang tersebut dapat dijadikan
petimbangan.
Bagi Spaemann, bila kita membunuh binatang pun, tidak berarti bahwa
kita tidak bertanggung jawab. Memang membunuh binatang tanpa alasan adalah
hal yang tidak bertanggung jawab. Namun, bagi binatang lamanya hidup tidaklah
terlalu berarati. Karena itu, tanggung jawab kita terhadap binatang lebih
berkenaan dengan bagaimana kehidupan mereka, dan bukan seberapa lama
mereka hidup.
Spaemann juga mengulas tanggung jawab atas tumbuhan. Landasan
pertimbangan apa yang dapat membenarkan sikap tanggung jawab kita atas
tumbuhan?, menurut Spaemann, mempertentangkan antara ‘bagi kepentingan
manusia sendiri’ dan ‘bagi kepentingan tumbuhan sendiri’ adalah kekeliruan
paradigma. Spaemann memberikan contoh tentang keberlangsungan suatu spesies
tumbuhan tertentu dengan memberikan semacam pertimbangan estetis, bahwa
spesies tumbuhan itu tetap ada dan hal itu membuat kita senang, kegembiraan
estetis. Spaemann mengacu pada Kant yang mengatakan bahwa nikmat yang
dihasilkan oleh sesuatu yang indah adalah suatu kenikmatan yang tidak bersifat
egoistis atau tidak mengacu kepada kepentingan diri. Dan peduli karna sesuatu
berdasarkan pertimbangan estetis, tidak berarti peduli atas sesuatu bagi
‘kepentingan manusia.’ Melainkan kemampuan untuk memiliki ketertarikan pada
sesuatu yang tidak memberikan apapun adalah karakteristik dari manusia. Karena
itu ‘apapun’ yang tidak dapat dihasilkan kembali atau tidak dapat diperbaiki
masuk dalam lingkup tanggung jawab manusia.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
53 Universitas Indonesia
Menurut Spaemann, pertanggungjawaban hanya dapat diberikan kepada
mereka yang dapat meminta pertanggungjawaban dan terbuka terhadap akal budi;
dan yang hanya memiliki persyaratan tersebut adalah manusia. Memang hanya
kepada manusialah kita bertanggung jawab; dan kita bertanggung jawab bukan
hanya kepada orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Pihak yang meminta
pertanggungjawaban dalam diri sendiri adalah apa yang disebut sebagai suara
hati. Kita bertanggung jawab terhadap suara hati. Namun dengan adanya suara
hati ini tidak berarti kita terbebas dari tanggung jawab terhadap orang lain.
Pada prinsipnya kita bertanggung jawab terhadap semua orang. Namun
bentuk tanggung jawab terhadap orang lain ini berbeda dari tanggung jawab kita
terhadap binatang atau tumbuhan, karena manusia atau orang lain adalah makhluk
yang memiliki kebebasan. Untuk dapat membantu orang lain, kita membutuhkan
persetujuan dari orang lain tersebut. Kita tidak dapat memaksa untuk membantu
orang lain selama dapat saja orang tersebut memang tidak menghendakinya.
Ketika kita memaksakan bantuan, itu berarti kita melanggar kebebasannya.
Memang ada kasus-kasus khusus di mana kita berhadapan dengan orang yang
tidak lagi memiliki kesadaran, sehingga kita tidak dapat meminta persetujuannya.
Dalam kasus-kasus seperti itu, dapat dibenarkan bahwa kita bertindak menurut
apa yang kita anggap baik demi orang tersebut, di mana kita bertindak sebagai
wakilnya dalam membuat keputusan. Namun, berhadapan dengan orang yang
memiliki kesadaran, tanggung jawab kita atas mereka adalah terbatas sejauh
mereka meminta bantuan kita. Alasannya adalah karena ada pihak yang lebih
bertanggung jawab atas diri mereka dibandingkan diri kita, yaitu diri mereka
sendiri.
Menurut Spaemann, karena ada batas antara relasi kita dengan orang lain,
yaitu kebebasannya, maka tanggung jawab kita yang paling pokok terhadap orang
lain hanya dapat dirumuskan secara negatif, yaitu: menghindari untuk
mempengaruhi orang lain dengan cara-cara yang tidak menghormati mereka
sebagai pribadi. Berbeda dari setiap kewajiban positif yang harus terikat pada
situasi dan kondisi, kewajiban untuk tidak melanggar wilayah kebebasan orang
lain yang akan mengabaikan dimensi diri mereka sebagai pribadi, berlaku tanpa
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
54 Universitas Indonesia
syarat dan tidak tergantung pada situasi dan kondisi. Tentu saja ada kasus-kasus di
mana kita harus melanggar kebebasan seseorang demi menghalangi dia
melakukan tindakan yang akan merugikan orang lain, misalnya dengan
memasukkan seseorang ke dalam penjara. Namun perlakuan tersebut, yang
dilakukan untuk menghalangi seseorang menggunakan kebebasannya tidaklah
melanggar martabatnya sebagai manusia. Tindakan tersebut hanya menghalangi
dia untuk melakukan tindakan yang bukan merupakan haknya.
Tanggung jawab kita atas dan terhadap manusia yang didasarkan pada
klaim bahwa setiap orang harus diperlakukan oleh setiap orang bukan sekedar
sebagai objek, melainkan sebagai pribadi. Spaemann menulis :
Our responsibility for and to humans is grounded in the claim of every human being to be taken by every other rational being not just as an object, but man as a self-being. That this claim cannot at every moment be made good by everyone toward everyone is due to the finitude of humans, and this finds its rational expression in that which we have named, following the tradition, ordo amoris (Spaemann, Happines and Benevolence 182).
Bahwa klaim tersebut tidak dapat direalisasikan setiap waktu, oleh setiap
orang, dan terhadap setiap orang adalah karena keterbatasan manusia. Namun
kondisi ini telah menemukan pemecahannya dalam apa yang disebut sebagai ordo
amoris. Berkat universalitas akal budi kita yang memiliki kemampuan untuk
melihat kenyataan, dan dari ketergantungan setiap orang terhadap dukungan dari
sesamanya untuk merealisasikan kodratnya sebagai pribadi, sebagai subjek
kebebasan, dalam kasus tertentu dapat saja tiba-tiba orang lain yang tidak kita
kenal menjadi ‘tetangga’ kita yang menghimbau kita untuk membantunya. Pada
saat itulah kita memiliki tanggung jawab terhadap orang tersebut. Tanggung
jawab ini, sekali lagi, tidaklah didasarkan pada prinsip ataupun maksim,
melainkan persepsi atas kenyataan orang lain sebagai pribadi.
Munurut Spaemann, untuk semakin memahami tentang tanggung jawab,
kita dapat melihat dua macam bentuk tanggung jawab, yaitu tangung jawab atas
diri sendiri dan tanggung jawab atas diri orang lain. Pertama-tama, kita menyadari
bahwa kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri dengan memenuhi apa yang
menjadi tuntutan dari kebutuhan-kebutuhan dasar kita. Namun ada juga tuntutan
yang tidak berasal dari kebutuhan-kebutuhan dasar, misalnya untuk
mengembangkan diri. Dan sesungguhnya mengembangkan diri pun adalah
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
55 Universitas Indonesia
kewajiban kita, tanggung jawab kita terhadap diri sendiri. Dalam tanggung jawab
atas diri sendiri, di sini atas dan kepada siapa kita bertangung jawab memang
tumpang tindih. Bagi Spaemann, kepeutusan untuk berbicara tentang tanggung
jawab semacam ini, yakni terhadap diri sendiri, bersifat metafisik. Hal ini
tergantung pada bagaimana kita memahami diri kita. Dan hanya ketika kita
memahami diri tidak sebatas apa yang nampak, melainkan sebagai representasi
dari ‘yang absolut’ maka pemikiran tentang tanggung jawab terhadap diri sendiri
menjadi mungkin. Sebaliknya, bila kita memahami diri hanya sebatas pada
kerangka pikir sosiologis, psikologis, ataupun biologis, maka pembicaraan tentang
tanggung jawab terhadap diri sendiri menjadi tidak dapat ditampung.
Menurut Spaemann, selain tanggung jawab atas diri sendiri kepada diri
sendiri, ada juga macam tanggung jawab atas diri sendiri kepada orang lain,
misalnya kepada mereka yang hidupnya tergantung pada diri saya. Tanggung
jawab semacam ini, yaitu tanggung jawab atas hidup saya demi orang lain, hanya
mungkin nampak sebagi kenyataan bagi saya; dan itu berarti adalah dalam momen
kebaikan hati. Kepedulian terhadap diri saya sebagai bagian dari dunia orang lain
adalah bagian dari kebaikan hati kepada orang lain. Walaupun demikian tanggung
jawab saya tersebut tidaklah lebih besar daripada tanggung jawab saya terhadap
diri sendiri.
Kasus lain yang dapat membantu kita untuk lebih memahami tentang
tanggung jawab adalah kasus pasien yang sudah kehilangan kesadaran diri, di
mana tidak ada lagi orang yang merasa rugi dengan tidak adanya orang tersebut.
Bagi Spaemann, dari sini terlihat bahwa nilai dari hidup seseorang tidak boleh
direlatifkan, tetapi harus dihormati begitu saja tanpa perlu nengacu pada siapa
atau apapun. Dan hal ini hanya dapat dipahami dalam perspektif tentang ‘yang
absolut’, bahwa ada ‘yang absolut’, dan ‘yang absolut’ ini pun harus dipahami
secara simbolik, bukan sebagai semesta yang kemudian harus dioptimalisasikan.
Karena bila ‘yang absolut’ ini dapat dipahami sebagai sesuatu yang empiris,
sebagai totalitas dunia, maka tanggung jawab kita malah menjadi terlalu besar,
bahkan semuanya menjadi tanggung jawab kita.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
56 Universitas Indonesia
4.5. Maaf
Menurut Spaemann, karena keterbatasam manusia dalam memberikan
perhatian, seperti terwujud dalam ordo amoris, maka kepada orang-orang yang
ternyata luput dari perhatian dan belas kasih, kita membutuhkan maaf. Kita
merasa bersalah dan karenanya membutuhkan maaf dari orang-orang yang berada
di luar rentang perhatian kita atau pun karena kita tidak mampu untuk membantu
mereka. Memang kesadaran akan perlunya maaf terkait juga dengan kondisi
keterjagaan kita terhadap kenyataan. Selama kita tidak terjaga atau tidak melihat
kenyataan, kita tidak merasakan adanya yang salah dengan kondisi ini, bahwa ada
orang-orang yang ternyata berada di luar ordo amoris kita. Namun, ketika kita
tersadar dan melihat kenyataan, kita merasa bahwa kita ikut bersalah atas kondisi
tersebut, bahwa kita tidak berdaya berhadapan dengan orang lain yang ternyata
membutuhkan kita, dan kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk membantu mereka.
Spaemann menulis :
I call the forgiveness which we speak “ontological” because it has as its object our being, the fact that we are as we are. To use an expression taken from moral discourse fot this seems to be misleading or merely methaporical. Given that we did not ourselves, it would seem that this being the way we are is exactly that for which we ourselves cannot be held responsible. Where is addressee forgiveness? Had I made myself, I would have to think myself as creatot of myself without nature, and thats means without any of the “mitigating circumstances” which would make the forgiveness possible.” (Spaemann, Happines and Benevolence 189-190).
Dengan demikian, bagi Spaemann, maaf yang ia bicarakan adalah lebih
bersifat ontologis daripada bersifat moral, karena yang menjadi objek maaf adalah
adanya kita, fakta bahwa kita adalah seperti yang ada sekarang, dan bukan yang
lain. Tetapi Spaemann pun menyadari adanya suatu masalah yang dihadapi oleh
konsep tentang maaf tersebut, yaitu apakah memang kita bertanggung jawab dan
karenanya bersalah atas adanya kita seperti ini, padahal adanya kita sekarang ini
bisa saja lebih disebabkan berasal dari karakter-karakter dasar individual kita yang
kita bawa sejak lahir. Karena itu, adanya kita seperti sekarang ini sebagian besar
disebakan oleh kodrat kita. Namun Spaemann tidak menjawab permasalahan ini
secara langsung, melainkan kembali pada gagasan dalam melihat kenyataan,
bahwa ketika kita terjaga dan mampu melihat kenyataan, kita merasa malu,
menyesal, dan bersalah atas keadaan kita sebelumnya. Terlepas dari apakah
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
57 Universitas Indonesia
memang pantas untuk merasa bersalah karena kondisi ‘tertidur’ tersebut, atau
apakah sungguh kita bersalah atas kondisi tersebut
Dalam melihat kenyataan, kebaikan hati telah termuat maaf terhadap orang
lain atas keterbatasan mereka, sehingga diri kita bagi mereka tidak atau menjadi
kurang nyata dibandingkan diri mereka sendiri. Dalam melihat kenyataan orang
lain, kita melihat orang lain dalam keadaan dasariahnya, dalam keterpusatannya
terhadap dirinya sendiri, dan kita menerima keadaan mereka yang seperti itu.
Melihat kenyataan orang lain sebagai nyata, kita belumlah melihat orang lain
sebagai pihak yang telah berhasil mengatasi keterpusatan dari dirinya dan mampu
melihat kenyataan, melainkan sebagai orang yang sama sekali terbatas, sama
sekali tidak sempurna. Kita juga mampu melihat, mengakui, menerima mereka
dalam keadaan seperti apa adanya mereka. Pada momen itu pula, menurut
Spaemann, telah termuat tindakan maaf, bahwa kita telah memberikan maaf
kepada mereka atas segala keterbatasan mereka. Kita membiarkan mereka
menggunakan perspektif ordo amoris, di mana kita dapat menjadi tidak atau
kurang nyata bagi mereka dibandingkan nyatanya pengalaman kita atas diri
sendiri. Namun sekaligus juga kita berharap bahwa dalam keterbatasan tersebut,
orang lain pun memiliki kebaikan hati.
Selanjutnya Spaemann membahas tentang maaf pada level yang lebih
praktis, yaitu ketika kita berhadapan dengan orang lain yang bersalah atas
tindakannya. Walaupun maaf pada level ontologi seolah tidak terkait dengan
tindakan atau karakter individual, namun pada level berikunya, maaf tidak dapat
dilepaskan dari tindakan dan pelaku. Maaf mengandaikan adanya pelaku dan
tindakan yang salah. Ada keterikatan antara prilaku dan tindakan. Namun, maaf
juga mengandaikan bahwa ikatan antara pelaku dan tindakan tersebut dapat
dipatahkan. Juga diandaikan bahwa pelaku dapat memperbaiki dirinya dari
karakter-karakter buruk yang menyebabkan dia melakukan tindakan yang salah.
Menurut Spaemann, perbaikan diri dari pelaku tersebut dimungkinkan bila
pelaku terjaga, dapat melihat kenyataan. Ketika dia dapat melihat kenyataan, dia
dapat melihat dirinya dari perspektif yang lain. Melihat bahwa dia bertanggung
jawab dan bersalah atas kondisinya yang seperti itu. Dan melihat kenyataan ini
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
58 Universitas Indonesia
pun menyebabkan pelaku dapat mengambil jarak terhadap karakter-karakternya
yang buruk, dan akhirnya dapat mengatasinya. Namun ini hanya mungkin dengan
bantuan orang lain. Orang yang bersalah tergantung dan membutuhkan maaf dari
orang lain. Maaf tersebut tidak dapat hanya berasal dari diri sendiri. Orang yang
bersalah hanya dapat membiarkan dirinya dimaafkan dan menerima maaf.
Tanggapan yang dapat dia berikan terhadap maaf adalah syukur, yang merupakan
bentuk paling murni dari kebaikan hati.
Memang, menurut Spaemann, ada bahaya dari maaf, ketika seseorang
ternyata memaafkan dirinya sendiri. Lewat maaf, orang tersebut ingin nampak
bagi orang lain, dan bagi dirinya sendiri sebagai subjek yang rasional. Padahal,
mungkin saja sebenarnya tidak ada yang perlu dimaafkan. Bagi Spaemann, maaf
yang sesungguhnya mensyaratkan adanya luka yang nyata. Maaf memiliki
karakter memperbaiki. Arti moral dari maaf terletak pada kapasitasnya untuk
menciptakan. Maaf tidak sekedar pengakuan akan subjektivitas orang lain,
melainkan memberikan kesempatan bagi dia untuk menjadi nyata. Ketika diberi
maaf, orang ridak dapat lagi berkata, “Memang beginilah saya.” Lewat maaf
termuat pengakuan bahwa,”Kamu bukanlah yang seperti itu.”7 Dengan demikian,
lewat maaf orang dapat melihat dirinya sebagai nyata yang juga
mengimplikasikan perbaikan diri.
Kemudian, Spaemann menyadari kesulitan yang dihadapi ketika kita
berhadapan dengan orang yang sulit, yang sama sekali tidak sadar bahwa dia
bersalah dan sama sekali tidak berniat untuk memperbaiki diri. Pertanyaannya
adalah: “Apakah mungkin untuk memberikan maaf pada orang semacam itu?”
Padahal maaf mengandaikan adanya hubungan timbal-balik, di mana orang yang
bersalah pun mengharapkan adanya maaf.
Berhadapan dengan kondisi semacam ini, Spaemann menyarankan bahwa
setidaknya kita menahan diri untuk membuat keputusan tentang orang tersebut
seperti apa. Menahan diri membuat keputusan ini bukan berarti bahwa kita tidak
memberikan penilaian terhadap perbuatan yang dia lakukan. Namun bahwa kita
berusaha untuk tidak membuat penilaian, gambaran tentang dirinya berdasarkan
7 Ibid., hal. 194.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
59 Universitas Indonesia
dari tindakan yang dilakukannya. Kita berusaha untuk tidak menghakimi orang
tersebut. Bahkan, bagi Spaemann, orang yang dapat menunda untuk tidak
membuat keputusan tentang seseorang yang telah berbuat kejahatan kepadanya,
atau orang yang dia saksikan berbuat kejahatan adalah bentuk penegasan
transendensinya terhadap realitas “kejahatan”. Juga, menunda membuat keputusan
adalah bentuk minimal dari kebaikan hati yang tidak dapat direbut dari siapapun.
Selanjutnya, menurut Spaemann, ketika suatu tindakan atau kesalahan
melibatkan dan memberikan dampak buruk terhadap orang lain, maaf tidak dapat
hanya berasal dari diri sendiri, melainkan juga harus berasal dari orang yang
dirugikan tersebut. Namun, ketika suatu tindakan tidak merugikan siapapun dan
hanya merugikan diri sendiri, maka maaf cukuplah berasal dari diri sendiri. Jadi,
memang kita dimungkinkan untuk memaafkan diri sendiri. Namun, pemikiran
maaf terhadap diri sendiri ini tidak dapat terlepas dari gagasan tentang tanggung
jawab atas diri sendiri. Bila kita tidak bertanggung jawab atas diri sendiri, maka
tidak ada yang perlu dimaafkan, karena saya tidak bersalah terhadap siapapun.
Ternyata tanggung jawab terhadap diri sendiri mengandaikan adanya subjek
kepada siapa saya harus bertanggung jawab.
Bagi Spaemann, paham tentang tanggung jawab terhadap diri sendiri tidak
dapat dipikirkan tanpa memahami manusia sebagai gambaran atau representasi
dari ‘yang absolut’. Hal ini berarti memandang manusia sebagai tidak sekedar
dirinya, melainkan bahwa manusia merupakan bagian, ‘milik’ dari sesuatu ‘yang
absolut’ yang bersifat transenden. Dan kepada ‘yang absolut’ seseorang
bertanggung jawab atas dirinya. Karena itulah, bagi Spaemann, gagasan tentang
tanggung jawab atas diri sendiri adalah gagasan religius. Memang, ‘yang absolut’
dapat dipikirkan dengan berbagai cara, namun hanya ketika ‘yang absolut’
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat personal dan sebagai subjek, maka
tanggung jawab terhadapnya menjadi mungkin. Dan maaf bagi diri sendiri pun
menjadi mungkin. Sebaliknya, menurut Spaemann, bila ‘yang absolut’ ini bersifat
impersonal, maka gagasan tentang tanggung jawab menjadi tidak mungkin dan
tidak perlu, karena kita tidak dapat dan tidak perlu bertanggung jawab terhadap
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
60 Universitas Indonesia
sesuatu yang tidak bersifat personal, bukan subjek. Namun, dengan demikian
pula, maaf bagi diri sendiri juga menjadi tidak mungkin.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
61 Universitas Indonesia
4.6. Bagan
ETIKA
ROBERT SPAEMANN
Plato
Etika Eudaimonia Etika Modern
Epikurus AristotelesStoa Etika
Kristiani
Etika
Deontologis
Kant
Etika
Diskursus
Etika
Utilitarisme
Kritik Spaemann terhadap Etika Eudaimonia:
Kegagalan dalam mengonsepsikan isi dari eudaimonia
Kritik Spaemann terhadap Etika Modern:
Kegagalan dalam mempertemukan kebahagiaan dengan kewajiban
ETIKA ROBERT SPAEMANN
sebagai sintesis Etika Eudaimonia dan Etika Modern,
Kebaikan hati,
persahabatan, dan
melihat kenyataan
Ordo Amoris MaafTanggung Jawab
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
62 Universitas Indonesia
4.7. Penutup
Spaemann telah menunjukkan bahwa ternyata masih terdapat harapan bagi
kesatuan antara kalon dan kagathon, antara tindakan moral dan kebahagiaan, yaitu
dalm cinta dan persahabatan. Dalam cinta/persahabatan, tidak ada lagi kontradiksi
antara apa yang menjadi ‘kewajibanku’ dengan apa yang ‘membahagiakanku’,
karena ‘aku’ bahagia ketika ‘sahabatku’ berbahgia, dan persahabatan/cinta ini
mensyaratkan terbukanya mata hati kita terhadap realitas ‘sahabatku’, atau orang
yang dicintai. Ketika itu kita mampu melihat realitas orang lain, atau sahabat,
maka kebaikan hati akan muncul. Spaemann menggeser persolan etika dari
persolan kebahagiaan atau kewajiban, menjadi persolan kebaikan hati atau
persoalan dalam melihat kenyataan. Bagi Spaemann, kebaikan hati, melihat
kenyataan adalah dasar dari moralitas.
Spaemann pun menyadari bahwa kebaikan hati sesungguhnya bersifat
universal. Tetapi fakta keseharian manusia menunjukkan adanya keterbatasan
manusia dalam mengekspresikan kebaikan hati. Karena itu, Spaemann melihat
bahwa gagasan tentang ordo amoris, hirarki kebaikan hati sebagai jalan keluar
bagi sifat universalitas kebaikan hati ketika dihadapkan dengan realitas
keseharian. Berkat ordo amoris, kita dapat mengetahui siapa yang berhak
mendapat prioritas dari kebaikan hati kita, dan kita pun dapat mengetahui di mana
letak diri kita dalam ordo amoris orang lain. Selain didasarkan pada jauh dekatnya
relasi, ordo amoris juga tersusun berdasarkan struktur realitas, dari makhluk yang
berkesadaran paling tinggi hingga yang paling rendah, atau tidak memiliki
kesadaran diri.
Spaemann juga menunjukkan bahwa merupakan bagian dari tanggung
jawab kita sebagai makhluk rasional untuk akhirnya mampu melihat kenyataan.
Dan ketika kita mampu melihat kenyataan pun, tersirat tanggung jawab.
Tanggung jawab tersebut memiliki dua dimensi, yaitu objek tanggung jawab dan
alamat bagi tanggung jawab tersebut. Pertama-tama, sesungguhnya tanggung
jawab kita mencakup semua orang. Namun karena keterbatasan kita sebagai
manusia, tanggung jawab kita pun akhirnya terutama terhadap mereka yang
masuk ke dalam ordo amoris kita. Dan terhadap orang yang ternyata luput dari
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
63 Universitas Indonesia
tangung jawab kita, kita bolehlah mengharapkan maaf. Kemudian, tanggung-
jawab kita pun meliputi makhluk-makhluk lain, misalnya binatang, tumbuhan,
juga alam. Namun tanggung jawab kita atas semua itu berbeda daripada tanggung
jawab atas manusia. Kemudian, dimensi selanjutnya dari tanggung jawab adalah
alamat dari tanggung jawab tersebut. Bagi Spaemann, yang dapat menjadi alamat
bagi tanggung jawab hanyalah manusia, karena hanya manusia yang dapat
meminta pertangungjawaban.
Ternyata fakta keterbatasan kita sebagai manusia juga mau tidak mau
memunculkan gagasan tentang maaf. Menurut Spaemann, ketika kita mampu
melihat kenyataan dan kita melihat kembali keadaan kita sebelumnya, kita merasa
bersalah tidak sejak sebelumnya memenuhi apa yang menjadi tangung jawab kita,
yaitu untuk mampu melihat kenyataan dengan mata hati kita. Karenanya kita
membutuhkan maaf. Selain itu, ketika kita telah dapat membuka mata hati kita,
ternyata kita pun seringkali tidak berdaya, tidak dapat berbuat apapun berhadapan
dengan realitas orang lain yang sebetulnya membutuhkan perhatian atau
pertolongan kita, hanya karena mereka memang berada di luar jangkauan kita.
Untuk itu, kita pun membutuhkan maaf.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
64Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP
Bab ini memuat tanggapan atas analisa Spaemann yang saya bahas dalam
tulisan ini. Kemudian akan saya lanjutkan dengan kesimpulan dari keseluruhan
uraian pemikiran Spaemann tersebut.
5.1. Tanggapan Kritis
Ada beberapa poin tanggapan yang saya ajukan berkenaan dengan anlisa
Spaemann yang dibahas dalam tulisan ini:
Pertama, bagi Spaemann, cinta dan persahabatan adalah puncak dari
moralitas, di mana terjadi perjumpaan antara apa yang membahagiakanku dan apa
yang wajib. Tetapi saya melihat bahwa ada kemungkinan di mana terjadi konflik
moral antara persahabatan dengan nilai-nilai moral. Misalnya, seseorang akan
melakukan apa saja demi tercapainya kebutuhan sahabatnya tanpa mempedulikan
nilai atau objek di luar dari sahabatnya. Jadi ada kemungkinan bahwa cinta dan
persahabatan harus melanggar nilai-nilai moral, misalnya keadilan.1 Sayangnya
Spaemann tidak berbicara tentang hal ini. Spaemann seolah membatasi diri untuk
tidak berbicara tentang kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi oleh konsep
persahabatan. Tentunya kesulitan tersebut pun telah disadari oleh Spaemann,
sehingga dalam pengantarnya Spaemann menulis bahwa kalaupun memang ada
jalan keluar bagi pertentangan antara kebahagiaan dan kewajiban, hanya dapat
ditunjuk dan tidak dapat dibuktikan atau diargumentasikan.2 Karena itu Spaemann
hanya mendeskripsikan apa yang terjadi dalam persahabatan. Yang patut
disayangkan adalah ketika Spaemann tidak mengeksplorasi tema ini secara lebih
jauh dengan membahas persoalan-persoalan yang ada berkenaan dengan konsep
tentang persahabatan. 1 Bdk. Cooking, Dean, ‘friendship and Moral Danger’, The Journal of Philosophy, vol. XCVII, no.5, Mei 2000, hal. 278-296.2 Spaemann, Robert, 2000, hal. Viii.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
65Universitas Indonesia
Kedua, salah satu poin berharga dari Spaemann adalah Spaemann
meletakkan inti moralitas pada persepsi akan orang lain dan kebaikan hati. Bagi
Spaemann moralitas adalah persoalan apakah kita mampu melihat realitas orang
lain atau tidak. Ketika kita mampu melihat realitas orang lain, pada saat itu pun
muncul kebaikan hati. Kebaikan hati tidak dapat dipisahkan dari persepsi akan
realitas orang lain. Realitas orang lain itulah yang menggerakkan kita.
Pemahaman Spaemann ini memiliki kemiripan dengan pemikiran Iris Murdoch,
Hans Jones, dan Emmanuel Levinas.3 Para filsuf tersebut pun melihat bahwa inti
moralitas adalah persepsi akan realitas orang lain.
Ketiga, ada beberapa relevansi praktis dari pemikiran Spaemann. Gagasan
Spaemann dapat menjadi dasar bagi etika lingkungan dan etika terhadap binatang.
Dalam gagasannya tentang ordo amoris dan juga tentang tanggung-jawab,
Spaemann memandang bahwa tanggung jawab manusia tidak hanya terbatas atas
manusia, melainkan juga mencakup makhluk-makhluk lain seperti binatang dan
tumbuhan. Namun memang tanggung-jawab kita atas binatang dan tumbuhan
berbeda daripada tanggung-jawab kita atas diri sendiri dan orang lain. Pada
binatang, karena mereka tidak memiliki kesadaran diri, lamanya hidup tidak
menjadi persoalan. Karena itu dalam praksisnya kita boleh saja membunuh
binatang. Yang menjadi tanggung-jawab kita terhadap binatang adalah
meminimalkan rasa sakitnya, sehingga binatang tersebut sedikit mungkin
mengalami rasa sakit. Sedangkan perlakuan bertanggung jawab manusia atas alam
dilandasi oleh pertimbangan bahwa dalam kesadaran manusia sebagai makhluk
rasional, realitas, termasuk alam ditangkap sebagai keseluruhan. Ada semacam
relasi/ikatan primodial antara manusia dengan alam, di mana keduanya saling
melengkapi.
Akhirnya, keempat, skripsi ini memang tidak dapat dilepaskan dari konsep
Spaemann tentang filsafat. Spaemann melihat filsafat sebagai perbincangan yang
tidak akan pernah berhenti atau mencapai titik akhir. Karena itu kita memang
tidak dapat mengharapkan bahwa Spaemann membangun suatu sistem filsafat
atau etika sendiri. Etikanya lebih bersifat dialektis. Tujuan Spaemann dalam 3 Bdk. Magniz-suseno, Franz, Good atau God? Catatan tentang Filsafat Moral Irish Murdoch, dalam jurnal Diskursus, vol. 03, no. 02, April 2004, hal. 109.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
66Universitas Indonesia
bukunya adalah menunjukkan kesalahan-kesalahan, sekaligus juga menekankan
kembali kebenaran-kebenaran yang selama ini terlupakan.4 Walaupun Spaemann
tidak membuat suatu sistem etika yang baru, apa yang dilakukan oleh Spaemann,
yaitu dialog dengan pemikiran-pemikiran etika sejak masa Yunani hingga
kontemporer sekarang adalah sesuatu yang bernilai. Dia mampu menggapai secara
segar pemikiran-pemikiran etika tersebut, juga mengangkat kembali persoalan-
persoalan dasar dari etika.
5.2. Kesimpulan
Dalam pemikiran etika modern, eudaimonia/kebahagiaan dipandang tidak
lagi relevan sebagai dasar untuk moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama
akibat kritik Kant terhadap etika eudaimonia, bahwa motivasi akan kebahagiaan
hanya akan merusak inti moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan
kewajiban. Robert Spaemann bermaksud merehabilitasi etika eudaimonia dengan
berusaha mencari titik temu antara kebahagiaan dan kewajiban.
Dalam usahanya tersebut, Spaemann melakukan analisa terhadap
pemikiran etika yang telah ada. Spaemann mengikuti pemahaman para filsuf
Yunani yang memahami etika sebagai ajaran tentang hidup yang berhasil. Dan
penilaian akan hidup yang berhasil haruslah dibuat dengan memperhatikan hidup
sebagai suatu keseluruhan. Dengan latar belakang pemahaman tentang etika
sebagai ajaran tentang hidup yang berhasil ini, Spaemann menguji pemikiran-
pemikiran etika dari para filsuf Yunani, filsuf Kristiani, Kant, hingga etika
diskursus. Spaemann memulai analisanya pada filsuf Yunani. Spaemann
menemukan bahwa para filsuf Yunani sepakat bahwa yang menjadi tujuan
manusia adalah mencapai eudaimonia/kebahagiaan. Namun kemudian masing-
masing filsuf memiliki pemahaman yang berbeda tentang apa yang menjadi isi
dari eudaimonia dan cara untuk mencapai eudaimonia tersebut. Menurut
Spaemann, Plato telah menangkap apa yang sesungguhnya menjadi permasalahan
etika, yaitu bagaimana menyatukan antara kalon (yang ‘luhur’) dan kagathon 4 Madigan, Arthur, Robert Spaemann’s Philosophische Essay, artikel penutup dalam Happines and Benevolence, hal. 227.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
67Universitas Indonesia
(yang ‘baik bagiku’). Puncak etika tercapai ketika terjadi kesatuan antara kalon
dan kagathon tersebut, sebagai kalonkagathon. Namun ternyata, para filsuf
sesudah Plato memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang menjadi
eudaimonia.
Menurut Spaemann, Epikuros melihat eudaimonia sebagai terdapat dalam
apa yang menjadi tujuan manusia, yaitu kenikmatan. Namun kenikmatan tersebut
lebih bersifat psikologis, yaitu sebagai keadaan di mana batin merasa tenang dan
juga tiadanya rasa sakit. Kritik utama Spaemann terhadap Epikuros adalah bahwa
kenikmatan yang tidak memiliki keterarahan, yakni sekedar perasaan tenang,
gembira yang tanpa sebab tidaklah terlalu berarti. Kritik lain adalah bahwa
pemikiran Epikuros tidak dapat menampung dimensi waktu. Ajaran Epikuros
hanya mungkin bila orang dapat keluar atau tidak dipengaruhi oleh waktu.
Kemudian kepada Stoa, Spaemann memandang bahwa apa yang
ditawarkan oleh Stoa sebagai eudaimonia, yaitu keadaan cukup diri, hanyalah
merupakanm alternatif lain yang tingkatannya lebih rendah daripada eudaimonia.
Ketika seseorang telah merasa cukup diri, ia malah menutup diri terhadap
kemungkinan eudaimonia yang sesungguhnya, misalnya yang muncul berkat
realitas orang lain atau dalam cinta.
Sedangkan eudaimonia yang ditawarkan oleh Aristoteles adalah
eudaimonia yang diperoleh lewat keterlibatan aktif dalam kehidupan polis.
Spaemann menilai bahwa apa yang ditawarkan oleh Aristoteles sebagai
eudaimonia adalah eudaimonia yang bersifat kompromistis, yang sesuai dengan
kondisi manusia, yaitu sebagai makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani.
Eudaimonia semacam ini pun bersifat relatif, karena sesungguhnya kehidupan
polis tidaklah sempurna, pasti banyak diwarnai kekecewaan dan kegagalan.
Setelah menganalisa pemikiran filsuf Yunani tentang eudaimonia,
Spaemann sampai pada kesimpulan bahwa etika eudaimonia/kebahagiaan tidak
memadai. Salah satu alasannya adalah karena eudaimonia tidak dapat dijadikan
tujuan langsung. Eudaimonia sebagai tujuan hakiki manusia bersifat formal,
sebagai horizon bagi tujuan-tujuan konkrit manusia. Ketika kebahagiaan dijadikan
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
68Universitas Indonesia
tujuan dari segala tindakan kita, maka kebahagiaan malah seolah menghindar.
Kebahagiaan hanya mungkin ada sebagai hasil sampingan. Alasan lain,
eudaimonia adalah konsep yang utopis, karena eudaimonia sejati tidak akan
terwujud dalam tataran empiris. Eudaimomia atau kebahagiaan absolut adalah
gagasan yang mentransendensi semua pengalaman, jadi bersifat transendental.
Selain itu, konsep eudaimonia sendiri mengandung antinomi. Eudaimonia
dipahami sebagai hidup yang berhasil sebagai keseluruhan. Itu berarti hidup
seseorang dapat atau boleh dinilai berhasil ketika penilaian tersebut dibuat dengan
memperhatikan keseluruhan hidupnya. Penilaian itu hanyalah mungkin bila
dilakukan dengan orang lain, dari perspektif orang lain; dan juga juga ketika
orang tersebut sudah mati. Karena itu di sisi lain, ketika hidup dipandang lewat
perspektif orang lain, dimensi subjektivitas, yaitu perasaan orang yang
bersangkutan tidak dapat masuk dalam penilaian atas berhasil atau tidaknya hidup
seseorang. Padahal kebahagiaan juga berarti bahwa seseorang merasakan dirinya
bahagia. Sedangkan ketika eudaimonia hendak dilihat dari perspektif subjektif,
bahwa seseorang merasakan dirinya bahagia, perspektif tersebut tidak dapat
mengakomodasi tuntutan bahwa hidup yang berhasil harus mencakup keseluruhan
hidup.
Setelah menemukan bahwa etika eudaimonia tidak memadai, dan tidak
dapat menyatukan kalon dan kagathon, Spaemann melanjutkan analisanya pada
etika Kristiani, etika Kant, etika utilitarisme, dan etika diskursus. Spaemann
memandang bahwa etika Kristiani secara langsung ataupun tidak langsung
merupakan tanggapan terhadap etika eudaimonia. Namun konsekuensi dari etika
Kristiani adalah terjadinya pemisahan antara kalon dan kagathon, antara ‘yang
baik bagiku’ dengan ‘yang luhur’. Padahal apa yang diupayakan oleh Spaemann
adalah penyatuan antara kalon dan kagathon, antara yang membahagiakanku dan
yang wajib.
Dalam etika Kant, Spaemann melihat bahwa Kant semakin menegaskan
pemisahan tersebut di mana Kant sungguh membuang wacana tentang
kebahagiaan dari wilayah etika. Bagi Kant, etika adalah semata persoalan
kewajiban. Upaya untuk mengejar kebahagiaan tidak lain daripada upaya
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
69Universitas Indonesia
memuaskan dorongan ego yang sama sekali tidak relevan dengan moralitas.
Menurut Spaemann, kesalahan Kant adalah memandang bahwa moralitas haruslah
bebas dari segala kepentingan dan motivasi akan kebahagiaan yang dipandang
bersifat egoistis.
Pemikiran-pemikiran etika selanjutnya yang sangat dipengaruhi oleh etika
Kant, seperti etika utilitarisme dan etika diskursus, bagi Spaemann, malah
semakin jauh dari persoalan pokok etika, yaitu bagaimana mempertemukan antara
kalon dan kagathon, tentang bagaimana mencapai hidup yang berhasil. Etika
utilitarisme terjebak dalam upaya memaksimalkan dampak baik bagi dunia
sebagai keseluruhan, yang sesungguhnya bukanlah tujuan ataupun tugas dari
etika. Malah di dalam upaya maksimalisasi kebaikan tersebut, subjek konkrit
menjadi terabaikan. Sedangkan etika diskursus terjebak pada upaya untuk
menghasilkan konsensus. Padahal menurut Spaemann, keputusan etis sering kali
tidak berupa konsensus. Tugas etika bukanlah untuk menghasilkan konsensus.
Seringkali keputusan/pendirian etis malah mendatangkan konflik.
Walaupun etika-etika yang telah disebutkan diatas tidak berhasil
memecahkan persoalan kalon dan kagathon, ternyata Spaemann menemukan
adanya harapan jalan keluar bagi persoalan tersebut, yaitu dalam cinta dan
persahabatan. Spaemann mendapatkan inspirasi tersebut dari pemikiran Leibniz
tentang cinta, dan pemikiran Aristoteles tentang persahabatan. Leibniz
mendefinisikan cinta sebagai delectatio in felicitate alterius (bergembira atas
kebahagiaan orang lain), sedangkan pada Aristoteles, Spaemann menemukan
bahwa dalam persahabatanlah terletak kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai
oleh manusia.
Spaemann melihat bahwa ternyata dalam cinta dan persahabatan tidak ada
lagi pertentangan antara apa yang membahagiakanku dan apa yang menjadi
kewajibanku. Dalam persahabatan ‘aku’ merasa bahagia karena ‘sahabatku’, atas
adanya dia. Namun ‘aku’ bersahabat dangannya tentu bukan demi kebahagiaan
tersebut; dan ketika ‘sahabatku’ berada dalam kesulitan dan membutuhkan
‘pertolonganku’, pertanyaan apakah ‘aku’ wajib untuk membantunya sama sekali
tidak relevan. Dalan cinta dan persahabatan, persoalan kewajiban menjadi pudar.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
70Universitas Indonesia
Menurut Spaemann, cinta dan persahabatan hanya mungkin bila kita
mampu untuk melihat kenyataan orang lain atau sahabat sebagai dirinya sendiri.
Selanjutnya, persepsi kita atas realitas orang lain tersebut akan membangkitkan
kebaikan hati. Kebaikan hati tidak akan ada tanpa adanya persepsi akan realitas
orang lain. Namun kebaikan hati masihlah bersifat abstrak dan universal. Ketika
diterjemahkan ke dalam bentuk praktiknya, yaitu dalam kegiatan menolong,
kebaikan hati menjadi terbatas. Karena itu ada, apa yang dinamakan ordo amoris
atau hirarki kebaikan hati, untuk menentukan prioritas orang-orang yang harus
kita tolong.
Dalam kaitan dengan kemampuan untuk melihat realitas orang lain,
Spaemann membahas tanggung jawab dan maaf. Di satu sisi kemampuan untuk
melihat realitas orang lain adalah suatu anugerah, dan tidak ada yang dapat kita
lakukan untuk mendapatkannya. Namun di sisi lain, pada saat kita mampu melihat
realitas, kita merasakan bahwa sesungguhnya kita dituntut untuk mampu melihat
realitas orang lain. Kita menemukan bahwa kita memilki tanggung jawab untuk
dapat memenuhi tuntutan tersebut. Kita merasa bersalah karena kita tidak sejak
awal memenuhi tuntutan tersebut. Karena itu kita membutuhkan maaf.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
71 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Ackrill, John-Lloyd. Aristotle on Eudaimonia: In Essays on Aristotle's Ethics.
Berkeley: University of California Press, 1980.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Penerbit Gramedia, 2005.
Cocking, Dean. Friendship and Moral Danger, The Journal of Philosophy, Vol.
XCVII, No.5 (Mei 2000): 278-296.
Descartes, Rene. Discourse on Method. Trans. John Veitch. London, 1960.
Dua, Mikhael. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis, Dinamis, dan
Dialektis. Maumere: Penerbit Ledalero, 2007.
Georg-Gadamer, Hans. Hegel’s Dialectic, Five Hermeneutical Studies. New
Haven and London: Yale University, 1976.
Keraf, Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Leenhouwers, P. Manusia dalam Lingkungannya: Refleksi Filsafat tentang
Manusia. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1988.
Leibniz, Gottfried-Wilhelm. New Essays on Human Understanding, Cambridge:
Cambridge University Press, 1996.
Magniz-Suseno, Franz. Good atau God: Catatan tentang Filsafat Moral Irish
Murdoch’, Jurnal Diskursus, Vol. 3, No.2 (April 2004): 109-123.
____________. Kewajiban dan Kebahagiaan. Robert Spaemann Kembali ke
Dasar Etika, Atman nan Jaya, Vol. 7, No. 3 (1994): 1-18
______________. Perkembangan-perkembangan Baru dalam Etika, Jurnal
Diskursus, Vol.1, No. 1 (April 2002): 15-34.
______________. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1997.
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012
72 Universitas Indonesia
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Schenk, Richard. The Ethics of Robert Spaemann in the Context of Recent
Philosophy’, One Hundred Years of Philosophy (Shanley, Brian J., eds).
Washington, D.C.: The Catholic University, 2001.
Spaemann, Robert. Happines and Benevolence. Notredome: Univesity of Notre
Dame, 2000.
Van Peursen, Cornelis Anthonie. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia,
1991.
Daftar Referensi Internet:
http://ncse.com/rncse/28/3/review-creation-evolution-conference-with-pope-
benedict-xvi
http://payingattentiontothesky.com/2011/05/31/when-death-becomes-inhuman-
professor-robert-spaemann/
http://search.barnesandnoble.com/Robert-Spaemanns-Philosophy-of-the-Human-
http://www.denkerranking.de/
http://www.evi.com/q/robert_spaemann_biography
Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012