17
“Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan” Konferensi Pers 17 Desember 2013

Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

“Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan

Penyelamatan Hutan”

Konferensi Pers17 Desember 2013

Page 2: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Narasumber

• Azmi Sirajuddin, Koordinator Program Hutan & Perubahan Iklim Yayasan Merah Putih (YMP) Palu,

• Rainal Daus, Manajer Proyek KKI-Warsi

• Kortanius, Yayasan Citra Mandiri Mentawai

• Rifai Hadi, Jaringan Advokasi Tambang, Sulawesi Tengah

• Anggalia Putri, Koordinator Program Kehutanan, Perubahan Iklim, dan Hak Komunitas Perkumpulan

Page 3: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Konteks REDD+

MP3EI PROSES DAERAH?

Moratorium, One MapImplementasi MK 35 dan

45, NKB 12 K/L

Badan REDD+?

Page 4: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

SULAWESI TENGAH

Page 5: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Kurang lebih 33,15 % penduduk Sulteng bermukim di 724 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan. Umumnya desa pertanian/ perkebunan (Dephut & BPS, 2009)

Sekitar 20.517 KK Komunitas Adat di Sulteng hidup subsisten dalam hutan dengan cara berladang dan memanfaatkan HHBK berdasarkan kearifan tradisionalnya.(KAT Center)

Populasi penduduk mencapai 2,3 juta orang, kecenderungan pertambahan penduduk dari waktu ke waktu karena menjadi daerah pertemuan kaum migran lintas Sulawesi

(BPS, 2010)

Tantangan Geopolitik

Terus mengalami pemekaran wilayah, kini menjadi 12 Kabupaten dan 1 Kota, karena tuntutan Otoda (Depdagri, 2013)

DARATAN SULTENG6.803.300 ha

Kawasan Hutan4.394.932 ha

( 65 % )

APL2.408.368 ha

( 35 % )

Termasuk wilayah yg lemah indeks pembangunan manusianya, dan 15% penduduk di bawah garis kemiskinan(BAPPENAS, 2009)

Page 6: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Pertumbuhan sektoral ekonomi Sulteng sejak tahun 2011 didominasi oleh sektor pertambangan dan galian sebesar 34,25% Pada tahun 2012, (BI,2012)

Sektor Pertanian di mana termasuk perkebunan sawit di dalamnya mencapai 38,10% dalam PDRB (BI, 2012)

Sedikitnya 250-an perusahan tambang (lokal, nasional dan transnasional) mendapat IUP (KP/KK) dalam kawasan hutan Sulteng. Luas total 2.389.580 ha.

(Jatam Sulteng)

Tantangan Ekonomi Politik

Kurang lebih 12 Perusahaan mendapat izin HGU perkebunan sawit. Total luas`124.546 ha (sumber: Walhi Sulteng)

DARATAN SULTENG6.803.300 ha

Kawasan Hutan4.394.932 ha

( 65 % )

APL2.408.368 ha

( 35 % )

Sekitar 16 Perusahaan memperoleh IUPHHK (6 tidak aktif) untuk pembalakan kayu. Total Luas 992.155 Ha (Dephut & BPS, 2009)

Maraknya konflik kehutanan (20-an kasus)

yang berujung pada kriminalisasi masyarakat

Page 7: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Pertarungan Antara Kebijakan Pembangunan Rendah KarbonDengan Pembangunan Pro Investasi Ekstraktif

Provinsi Pilot UNREDD Indonesia (2010)Pusat Produksi Nikel dan Biji Besi (2011)

Page 8: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Tantangan Penurunan GRK Sektor Hutan/Lahan di SultengInisiatif REDD+ yang terbangun selama ini masih di level provinsi [termasuk STRADA hanya diketahui secara terbatas, belum sampai ke level kabupaten]Masih lemahnya dukungan dan keterlibatan para pihak yang lebih luasParadigma pembangunan yang dianut oleh para pihak, terutama kalangan pemerintah masih “cash and instant money” Kewenangan Otoda di level kabupaten/kota mengebiri semangat “minimum deforestation” yang dicanangkan oleh Gubernur di level provinsi dengan tekad “penurunan emisi GRK hutan/lahan sebesar 3% dari REL nasional - pidato Gubernur di Durban, Afsel, tahun 2011.REDD+ umumnya masih dipandang sebagai “all about carbon – not beyond carbon”Pemosisian masyarakat di dalam dan di sekitar hutan masih sebatas “stakeholders” belum sebagai “the right holders”

Page 9: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

……berujung pada konflik [klaim ruang kelola]KPH Dampelas Tinombo103.208,66 Ha [SK. 792/MENHUT-II/2009]

Sketsa masyarakat Desa Talaga sebagai antitesa terhadap klaim pihak KPH atas Danau Talaga

Page 10: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Aktivitas Pertambangan di Sulteng

Page 11: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Andreas Lagimpu

Anggota Utusan Kamar Masyarakat Regio SulawesiDewan Kehutanan Nasional

Dalam berbagai riset di Sulawesi Tengah, terbukti bahwa pengelolaan

hutan dengan Pola Manajemen Kolaboratif sudah banyak terbukti

keberhasilannya. Pengelolaan sepihak hanya menuai konflik

karena tidak melibatkan masyarakat yang banyak berinteraksi dengan

hutan.

Page 12: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

• Dalam pelaksanaan Program REDD+ di Sulawesi Tengah, hendaknya

memperhatikan kegagalan-kegagalan masa lalu dalam pengelolaan hutan. Pembahasan dan analisa penyebab deforestasi dan degradasi hutan terkesan masih sangat dangkal. Di sini dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan: apa, dan siapa yang menyebabkan deforestasi itu?

• Tanpa pelibatan para pihak secara utuh dalam pelaksanaan Program REDD+, kegagalan demi kegagalan masih akan mungkin terjadi di saat REDD+ di implementasikan.

• Keberhasilan REDD+ dapat terjadi jika semua insentif yang tersedia dapat membawa perubahan sosial (menurunkan angka kemiskinan, menghindari penyimpangan( Korupsi) disemua level pelaksana Program REDD+.

• Ingat bahwa mekanisme Kontrol pada semua kebijakan Negara sangat lemah. Fakta benteng terakhir Penegakan Hukum Negara luluh lantak(Kasus MK, Grafitasi finansial pada Anggota DPR dan sebagainya. Tak kalah pentingnya adalah masalah klasik belum ada political will yang jelas atas pengakuan Hak-hak Tenurial Masyarakat Pemukim Hutan. Jika semua ini sudah jelas endingnya Implementasi REDD+ dapat dijamin keberhasilannya.

Andreas Lagimpu (lanjutan)

Page 13: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

SUMATERA BARAT

Page 14: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat:• Sebagai instrumen untuk penanggulangan kemiskinan

masyarakat desa hutan• Sebagai instrumen untuk mempertahankan kelestarian hutan

Page 15: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

KALIMANTAN TIMUR

Page 16: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Prof. Dr. Deddy Hadriyanto, M. Agr., Kepala Center for Climate Change Studies

Universitas Mulawarman

Orientasi pembangunan yang direncanakan oleh MP3EI tidak membahas sama sekali dampaknya

terhadap perubahan iklim yang merupakan isu global nomor satu

yang sedang kita hadapi.

Pemerintah kurang bisa memberdayakan sekaligus mendayagunakan lembaga penelitian dan pendidikan universitas dalam penyusunan MP3EI

yang menyangkut aspek lingkungan. Dalam beberapa hal, bahkan universitas diporsikan untuk mengamini MP3EI tersebut.

Page 17: Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Abaikan Penyelamatan Hutan

Prof. Deddy Hadriyanto (lanjutan)• MP3EI tidak jelas status dan kaitannya dengan RAPBN dan RAPBD di semua

provinsi di Indonesia. Penyusunan MP3EI mestinya harus melalui suatu konsultasi karena menyangkut pembangunan jangka lama sampai tahun 2025. Dengan ketidak jelasan stautus inipun, MP3EI telah dilaksanakan di beberapa provinsi dan kabupaten.

• Isu deforestasi dan forest degradation juga tidak sama sekali tersentuh dalam MP3EI. Sebagai contoh, kawasan kota, kabupaten, daerah aliran sungai di Indonesia seharusnya mempunyai kawasan 30% tertutup oleh hutan. Namun, penambangan batu bara sepertinya hampir tidak bisa dikontrol oleh pemerintah.

• Di Samarinda, sebagai contoh, seluas 67% dari kawasan teritorialnya telah teralokasi menjadi kawasan penambangan. Sementara itu, luas hutan hampir tidak ada lagi. Banjir terjadi dengan respon yang sangat reaktif. Hujan 1 atau 2 jam akan menajdikan jalan-jalan kota Samarinda banjir, jalan dan infrastruktur lainnya rusak.

• Pemerintah kurang bisa melakukan empowering sekaligus mendayagunakan lembaga penelitian dan pendidikan universitas dalam pembangunan MP3EI yang menyangkut aspek lingkungan dan perubahan iklim ini. Dalam beberapa hal bahkan universitas diporsikan untuk mengamini MP3EI tersebut.