Upload
elsina-sihombing
View
355
Download
23
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN SEJARAH SINGKAT PENDIDIKAN TAMAN SISWA
(TUGAS TAMBAHAN)
Disusun oleh : Elsina Sihombing, M.Pd NIM : 14169008 Dosen Pengampu : Prof. Dr.Jamaris Jamna, M.Pd
Prof. Dr. Nurhijrah, M.Pd
SEJARAH SINGKAT PENDIDIKAN TAMAN SISWA
• Pada tanggal 3 Juli 1922 berdirilah Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soeryaningrat) . "National Onderwijs Institut Taman Siswa".
Namun mengalai banyak kririkan, masukan, bahkan hujatan, baik dari pribumi maupun kolonial
Tujuan Pendidikan
# Membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya.
Tokoh Pendidikan Taman Siswa :Ki Hajar Dewantara, R.M.
Sutomo Suryokusumo, R.M.H. Suryoputro, dan Ki Pronowidigdo
Mengadakan kongres 20-22 Oktober 1923 dengan hasil sebagai berikut:1. Mengumumkan bahwa Taman Siswa
merupakan “Badan Wakaf” (Institut Pendidikan yang berdiri sendiri, bebas dari pemerintah).
2. Menyatakan prinsip-prinsip Taman Siswa3. Menyusun kembali institutraat menjadi
hoofdraat (Majelis Tinggi), yang kemudian diubah lagi menjadi Majelis Luhur.
Kongres ke-2 di Jogjakarta 6-13 Agustus 1930
* Paradigma Pendirian Pendidikan Taman Siswa adalah :
1. Taman Siswa bertujuan mendukung perkembangan nasional. 2. Nasional Onderwijs Institut diganti menjadi perguruan Nasional Taman Siswa yang
berpusat di Jogyakarta.3. Taman Siswa merupakan suatu yayasan yang berdiri sendiri4. Taman Siswa membentuk suatu konsolidasi, dimana tiap cabang diintegrasikan
kedalamnya di bawah bimbingan perguruan pusat.5. Taman Siswa merupakan suatu keluarga, dimana Ki Hajar Dewantara adalah bapak
dan Taman Siswa di Jogyakarta adalah ibu.6. Tiap-tiap cabang Taman Siswa mesti membantu cabang lainnya atau berprisip saling
bahu membahu.7. Taman Siswa mesti diurus sesuai demokrasi, akan tetapi demokrasi haruslah tidak
mengganggu ketertiban dan perdamaian Taman Siswa sebagai keseluruhan.
MASA PENJAJAHAN JEPANG* Pada permulaan masa pendudukan Jepang,
perguruan Taman Siswa mengalami perkembangan yang amat pesat, namum pada akhirnya tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu dengan mengelabui pemerintah Jepang, nama Taman Siswa diganti dengan nama lain. Mata pelajaran yang diberikan sama bobotnya dengan pendidikan umum.
KONGRES KE-3 TAHUN 1946
* merumuskan kembali pernyataan asas tahun 1922, lahirlah Panca Dharma sebagai dasar Taman Siswa, yang berisi kemerdekaan, kodrat alam, kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan.
*Prinsip dasar dalam sekolah Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru adalah:
- Ing ngarsa sung tulada (yang di depan memberi teladan/contoh) - Ing madya mangun karsa (di tengah membangun
prakarsa/semangat. -Tut wuri handayani (dari belakang mendukung).
LOGO TAMSIS (DENGAN SISTIM AMONG)
• Taman Siswa memiliki nama yang unik, seperti- Taman Indria atau Taman Kanak-kanak (TK)- Taman Muda atau Sekolah Dasar (SD)- Taman Dewasa atau Sekolah Menengah
pertama (SMP)- Taman Madya atau Sekolah Menengah Atas
(SMA)- Taman Guru atau Sarjana Wiyata atau
Universitas (Perguruan Tinggi)
KESIMPULAN* Melihat hasil pendidikan tidak sesuai dengan
karakteristik bangsa Indonesia, maka dipikirkan sistem pendidikan nasional yang berdasarkan budaya bangsa Indonesia dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Akhirnya pada tanggal 3 Juli 1922 berdirilah Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara. Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar, dan Siswa berarti murid. Ketika pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama "National Onderwijs Institut Taman Siswa".
• Ki Hajar Dewantara, R.M. Sutomo Suryokusumo, R.M.H. Suryoputro, dan Ki Pronowidigdo, 20-22 Oktober 1923 merumuskan hasil kongres sebagai berikut:
a. Mengumumkan bahwa Taman Siswa merupakan “Badan Wakaf” (Institut Pendidikan yang berdiri sendiri, bebas dari pemerintah).
b. Menyatakan prinsip-prinsip Taman Siswac. Menyusun kembali institutraat menjadi hoofdraat
(Majelis Tinggi), yang kemudian diubah lagi menjadi Majelis Luhur
• Pada permulaan masa pendudukan Jepang, perguruan Taman Siswa mengalami perkembangan yang amat pesat, namum pada akhirnya tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu dengan mengelabui pemerintah Jepang, nama Taman Siswa diganti dengan nama lain. Mata pelajaran yang diberikan sama bobotnya dengan pendidikan umum.
• Setelah kemerdekaan, Taman Siswa lebih meningkatkan peranannya di Indonesia. Kongres Taman Siswa di tahun 1946 merumuskan kembali pernyataan asas tahun 1922. Dikemukakan Panca Dharma sebagai dasar Taman Siswa, yang berisi kemerdekaan, kodrat alam, kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan
• Perguruan Taman Siswa memiliki peranan yang cukup besar terhadap perkembangan pendidikan nasional di Indonesia, yakni menanamkan semangat kebangsaan serta sikap anti penjajahan. Persoalannya sekarang adalah bagaimana menyesuaikan asas-asas yang dicetuskan dalam zaman penjajahan itu dengan kondisi sekarang.
• Prinsip dasar dalam sekolah Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru adalah:• Ing ngarsa sung tulada (yang di depan memberi
teladan/contoh)• Ing madya mangun karsa (di tengah membangun
prakarsa/semangat)• Tut wuri handayani (dari belakang mendukung).
* Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah liar merupakan masa gemilang bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri sendiri bagi bangsa Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi perlawanan terhadap peraturan pemerintah kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari mulai sekolah rendah hingga sekolah menengah.
THANKS A LOT, WISHING INDONESIA EDUCATION BE THE BEST
November, 2014,By : ELSINA SIHOMBING, M.Pd
PRESENTASI -II
• PENDIDIKAN MASA PENJAJAHAN
ANALISIS PARADIGMA DAN PELAKSANAN PENDIDIKAN INDONESIA MASA PENJAJAHAN
I. RASIONALMasa penjajahan Belanda dan Jepang di
Indonesia memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi sistem pendidikan. Perkembangan pendidikan cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini masih dirasakan hingga sekarang. Sebagai muaranya adalah rendahnya sumber daya manusia untuk bersaing dalam era global.
Alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia yaitu untuk mendidik anak Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Dan pada saat itu belum terdapat pengajaran klasik. Mengajar berdasarkan pengajaran individual. Murid-murid datang seorang demi seorang ke meja guru dan menerima bantuan individual. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa melayu dan portugis, karena bahasa belanda masih dirasakan sulit.
Faktor-faktor yang menyebabkan berlangsungnya politik etikaTerbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “HutangKehormatan” dalam majalah De Gids. Disitu iamengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan Negara.Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908,serikat islam partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919,adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya
Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, diantaranya:
*Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)*Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah*Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )*Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
Ciri umum politik pendidikan Belanda
Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:
*System Dualisme*System Korkondasi*Sentralisasi*Menghmbat gerakan Nasional*Perguruan swasta yang militer*Tidak adanya perencanaan pendidikan yang
sistematis
Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam ciri umum politik pendidikan Belanda, yaitu:
*Dualisme*Gradualisme*Prinsip Konkordansi*Control sentral yang kuat*Tidak adanya perencanaan pendidikan yang
sistematis*Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama
sekolah.
II. PEMBAHASANA. MASA KOLONIAL BELANDA
1. Zaman VOC (Kompeni)Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum
kedatangan belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk kedalam agama katolik yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di ternate, kemudian di solor dan pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat itu. Bahasa portugis hampir sama populernya dengan bahasa melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan portugis melemah akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh belanda pada tahun 1605.
Metode kolonialisasi belanda sangat sederhana, menjalankan pemerintahan melalui raja-raja.Oleh sebab belanda tidak mencampuri kehidupan orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit yang mereka perbuat untuk pendidikan bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di beberapa pulau di bagian timur Indonesia. Itulahkegian pendidikan pertama yang dilakukan VOC.
2. Zaman Pemerintahan Belanda Setelah VOC
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris jendral harus memulai system pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi poetra,serta melenyapkan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi).
Di lapangan pendidikan, Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan sekolah atas uasaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. Kemidian Deandels mendirikan sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah ronggeng di Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris) pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali. Ia menulis buku History of Java.
Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823) menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun 1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi penduduk untk mengajar anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi peketi yang baik. Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganganggu oleh adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya bagi anak-anak Indonesia yang memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial yang berat yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban seerta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School), kemudian ELS (Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini.
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak
Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya. Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa
tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak.
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa. Sedangkan pd standar biaya dan Sarpras, dengan adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.
B. MASA PENJAJAHAN JEPANGSetelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itukemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:(1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah
Rakyat). Lama studi 6 tahun(2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
(3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
(4) Pendidikan Tinggi.
Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agarmemiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:(1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;(2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;(3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;(4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta(5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk
pembinaan kesiswaan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi.
Jepang juga melarang pihak swasta mendirikansekolahlanjutan dan untuk kepentingan kontrol, makasekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnyaterpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadiTaman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada
masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy
(2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
(3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin;
(4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.
III. SIMPULAN1.Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari situasi politik sebuah bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan sebagai sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan. Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan semata. Pada masa Jepang, pendidikan tak lepas dari propaganda Jepang yang disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Akibatnya, semua rakyat mengakui kehebatan dan superioritas Jepang sebagai bangsa maju di kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti: Romusha, Heiho, dan Peta.
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma lama, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi di dalam pendidikan nasional sejak 57 tahun yang lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yang elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial dan militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yang populis yang banyak membuka kesempatan untuk seluruh anak bangsa.
Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis pada zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf.
Ada 4 indikator PARADIGMA LAMA pendidikan: (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya dapat memecahkan
masalah sosial budaya,(2) manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar
tercipta kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas-tugas pendidikan.
(3) sakralisasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat,
(4) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.
Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini.
DAFTAR PUSTAKABrooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia:
Association for Supervision and Curriculum Development.Buchori, M. 2001. Pendidikan antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Budhisantoso, S. 1989. Peranan perguruan tinggi dalam pengembangan kebudayaan yang didukung oleh perkembangan ilmu dan teknologi. dalam Sasmojo, S., dkk. (eds). Menerawang masa depan ilmu pengetahuan, Teknologi & Seni. Bandung: ITB
Dimyati. 2001. Akulturasi teknologi pendidikan dalam masyarakat Indonesia tansisional. Malang: CV. Wineka Media.
Dimyati, M. 2000. Demokratisasi belajar pada lembaga pendidikan dalam masyarakat Indonesia transisional: Suatu analisis epistemologi ke Indonesiaan.
Freire, P. 1985. Pendidikan kaum tertindas, Jakarta: LP3S
Hanurawan, F. 2000. Filsafat pendidikan demokrasi sebagai landasan pendidikan masyarakat Indonesia Baru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(2). pp 117-127.
Kartini Kartono. 1997. Tinjauan politik mengenai sistem pendidikan nasional: beberapa kritik dan sugesti. Jakarta: Pt. Pradnya Paramita.
Koentjaraningrat. 1993. Masalah kesukubangsaan dan integrasi nasional. Jakarta: Universitas Indonesia, Press.
Kuhn, Thomas S. 2002. The structure of scientific revolution. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Longworth, N. 1999. Making lifelong learning work: Learning cities for a learning century. London: Kogan Page.
Mulyana, D., & Rakhmat, J. 1996. Komunikasi antar budaya: Panduan komunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: PT. Remaja Kosdakarya.
Oetama, J., & Widodo, J. 1990. Menuju masyarakat baru Indonesia: Antisipasi terhadap tantangan abad XXI. Jakarta: Gramedia.
Parawansa, P. 2001. Reorientasi terhadap strategi pendidikan nasional. Makalah. Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
MOTTO :EDUCATION AL IMPROVEMENT MEANS HUMANISTIC EMPOWERMENT
THANKS A LOT, KEEP FIGHTING FOR EDUCATION
BY : ELSINA SIHOMBING,M.Pd