Upload
musdalifah-yusuf
View
64
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
REALITA PENJUAL KORAN DI LAMPU MERAH FLY OVER DAN MALL PANAKKUKANG KOTA MAKASSAR
Oleh
Musdalifah Yusuf
Gemerlap & ramainya suasana Lampu Merah dijalanan nan berdebu di
Indonesia, merupakan suatu potret yang sudah menjadi santapan kita sebagai
pengguna jalan raya setiap harinya. Entah itu pagi, siang, sore atau bahkan
malam hari tidak ada yang berubah dari waktu ke waktu selalu ramai dengan
sejuta aktivitas manusia yang tumpah ruah menjadi satu kesatuan yang saling
membaur seperti udara & polusi yang saling melekat memenuhi paru – paru
mahluk hidup.
Dibalik ramai & gemuruhnya suasana Lampu Merah, banyak sekali warna
warna negative & positif yang tertuang didalamnya. Mulai dari pengemis, anak
jalanan, pengamen, tukang asongan, pedagang koran dll. Satu hal yang
membuat mereka bisa akrab kepada sesama walau berbeda suku, adat, agama,
tua & muda adalah rasa sepenanggungan yang satu rasa dibawah garis
kemiskininan.
Dibalik sisi negatif & positif yang ada di kehidupan Lampu Merah, ada satu
moment yang membuat kita jarang tahu & jarang peduli terhadap suasana di
Lampu Merah. Moment dimana kehidupan roda perekonomian di Lampu
Merah nan berputar deras dari hari ke hari. Karena secara langsung maupun
tidak langsung, disana adalah salah satu pusat perekonomian masyarakat kelas
menengah kebawah pada umumnya tumbuh & berkembang.
Seakan semua manusia tua & muda berlomba – lomba meraup pundi – pundi
rupiah sedikit demi sedikit dengan dagangan yang ditawarkan. Ini adalah suatu
cerita nan sederhana dari kalangan bawah, yang menjadi titik mula harapan &
mimpi dibangun kedepannya menjadi lebih baik atau lebih buruk mereka jugalah
yang menentukan akhir cerita hidupnya.
Walau terkadang mereka selalu dijadikan kambing hitam terhadap setiap
permasalah yang ada di Lampu Merah, namun mereka tidak putus asa untuk
terus & terus mengais sesuap rejeki di Lampu Merah nan berdebu. Karena tidak
ada lagi tempat & solusi pasti yang mau menampung mereka untuk mencari
nafkah dengan bebas selain di Lampu Merah.
Alasan saya melakukan penelitian ini hanya untuk mengetahui
masyarakat menengah kebawah berprofesi sebagai penjual koran di lampu
merah Ply Over Makassar dan lampu merah mall Panakkukang,
1. Objek 1
Fenomena Penjual Koran di Lampu merah Flay Over makassar
Aku menyaksikan seorang anak kecil yang mestinya berada dirumah untuk
bermain dan memperoleh kasih sayang dari orang tua serta bergaul dengan teman –
teman sebayanya, namun anak itu turun kejalanan menjual koran supaya bisa
menyambung hidup. Boleh dikata mereka adalah petarung jalanan. Kehidupan kota
besar lebih ganas dibanding kehidupan dikampung, logika kehidupan kota; kalau
seseorang kaya maka akan terus kaya tetapi kalau seseorang miskin akan terus
miskin. Pemerintah kota Makassar kurang perhatian terhadap derita anak jalanan
yang menjual koran dilampu merah flay over, kota Makassar termaksud terbaik
dikawasan timur Indonesia ditinjau dari berdirinya gedung – gedung pencakar langit
dan pertumbuhan ekonomi yang pesat serta banyaknya investasi berbagai macam
sektor.
Mobil – mobil mewah pemerintah Sulawesi Selatan terkhusus pemerintah
kota Makassar selalu melintasi kawasan Flay over, seolah – olah mereka tidak tidak
melihat anak – anak penjual koran yang rata-rata berumur 7-12 tahun. Tidak hanya
itu banyak pengamen dan pengemis yang mangkal dilampu merah Flay over,
sebagai rakyat biasa dikota Makassar merasa terguncang batin ketika melihat
petarung jalanan tersebut.
Seharusnya pemerintah kota Makassar dan wakil rakyat yang prihatin terhadap
rakyat miskin, jangan hanya ketika ada moment demokrasi berlomba – lomba
ketempat kumuh warga miskin mencari simpati supaya dipilih. Mengharapkan
politisi melakukan perubahan merupakan harapan kosong, sebab profesi
politisi syarat kepentingan. Fenomena anak – anak penjual koran di flay over
merupakan potret hitam pemerintah kota Makassar, kemajuan kota diukur dari
seberapa kecil tingkat kemiskinan bukan seberapa banyak gedung – gedung
dibangun. Dan yang paling utama dibangun adalah manusianya, bukan gedungnya.
Namun dikota Makassar dan kota – kota lain yang diprioritaskan adalah gedung –
gedung mewahnya, inilah wajah Indonesia. Ditambah tebaran baliho - baliho yang
mengumbar senyum manis terhadap rakyat terpampang di setiap sudut jaln raya di
kota Makassar, namun sekali lagi saya ingin katakan; "percuma memasang baliho
disetiap sudut jalan kota Makassar, kalau ternyata kemiskinan masih merajalela".
Rambu-rambu lampu merah Flay over adalah pemberian isyarat lalu lintas
kepada setiap pengendara kendaraan agar lebih tertib saat berkendara. Namun, di
balik simbol lampu merah yang memberhentikan setiap pengendara itu, terdapat
sumber rezeki bagi penjual koran seperti Ardi, Riska, Nita, Awa dan seorang Nenek
yang berusia 65 tahun yang tak lain adalah Nenek dari Riska dan Nita.
Sengatan matahari pada Minggu(20 mei)seakan tidak terasa oleh Ardi, bocah
sepuluh tahun yang bekerja sebagai penjual koran. Baginya yang terpenting adalah
bagaimana dapat menawarkan koran demi koran kepada setiap pengendara yang
berhenti di lampu merah flay over. Anak yang tidak lagi mengecam pendidikan ini,
setiap harinya membawa puluhan koran dengan kedua tangannya, tangan sebelah
kanan penuh dengan tumpukan koran, dan tangan kiri memegang satu koran yang
disodorkan kepada pengendara. Sudah 3 tahun dia menjual koran di lampu merah
Flay over. Bersama dengan teman-teman sebayanya, ia menaruh harapan kepada
setiap pengendara agar kiranya membeli koran yang dibawa. “ Setiap hari ia
berjualan koran mulai pukul 11.00 sampai pukul 15.00. Ia mampu menghabiskan
lebih dari 20 eksemplar koran. Ardi mendapatkan penghasilan Rp 500 per eksemplar
koran. Jika ditotalkan perharinya Ardi yang harus bekerja untuk membantu
orangtuanya itu mendapatkan penghasilan Rp 20.000 dan bahkan lebih dari itu.
“Pendapatannya tidak tetap, biasa dapat banyak, biasa dapat sedikit,” katanya.
Pekerjaan ini dilakukan untuk membantu orang tua, menurutnya penghasilan
orang tuanya belum mencukupi kebutuhan keluarga, Bapaknya bekerja sebagai
tukang becak dan Ibunya sedang sakit terkena penyakit diabetes. Jadi tiap hari
Ardi mampu melawan kekejaman hidup hanya untuk satu tujuan yaitu mencari
uang untuk hidup 1 hari. Walaupun yang didapat sedikit namun mereka tetap
bersyukur dan tak mengenal kata “putus asa” untuk kembali berjuang pada hari-hari
selanjutnya.
Lain cerita dengan Nenek yang berumur 65 tahun, Nenek itu mulai jual koran
sejak kemematian suaminya sejak tahun 2000, harga koran saat itu Rp 100 per
eksemplar hingga sekarang tahun 2012 dengan harga Rp 2000,- . keuntungan yang
didapat yaitu Rp 5000 – Rp 10.000 sehari. Hasil penjual koran digunakan untuk
membeli beras 1 liter per hari. Nenek itu hidup bersama anak dan cucunya, mereka
sampai Pukul 22.00 WITA dan ditemani oleh kedua cucunya yaitu Nita dan Riska.
Riska sekarang sudah berumur 9 tahun dan duduk dibangku kelas 3 sd.
Riska anak pertama dari 4 bersaudara. Sedangkan Nita anak kedua yang berumur 8
tahun. Riska dan Nita sekolah di sekolah di salah satu SD negeri di Makassar. DI
sekolah Riska tergolong anak cerdas karena di kelas 1- kelas 3 Dia mampu
memperoleh peringkat 1 dikelasnya. Riska dan Nita mendapat keuntungan Rp 8000
– Rp 10.000 perharinya. Saat pulang sekolah, mereka istrahat dan sekitar jam 16.00
WITA Dia pun berangkat ke Flay Over bersama Neneknya. Awalnya, Riska dan Nita
dilarang oleh kedua orang tuanya untuk menjual koran dengan alasan pelajaran di
sekolah terganggu, namun lama-kelamaan orang tua Nita dan Riska setuju untuk
memperbolekan Riska dan Nita menjual koran di Flay Over saat pulang sekolah tapi
dengan syarat belajar saat pulang dari menjual koran. Desakan ekonomi pula
mereka harus menjual koran, sebagaimana dikatakan oleh Riska bahwa Bapaknya
hanya kerja sebagai tukang cuci motor di sebuah bengkel sedangkan ibunya tinggal
di rumah mengurus anaknya yang masih kecil. Jadi total pendapatan Riska, Nita dan
Neneknya setiap harinya adalah Rp 15.000 sampai Rp 25.000 sehari. Kata Riska,
dia membeli beras 1 liter perhari dan Neneknya pun 1 liter perhari untuk dimakan
bersama 1 keluarga.
Penghasilan yang didapat dari penjualan koran tidak semuanya dipakai,
sebagian dikasih orang tuanya untuk jajan, sebagian lagi ditabung. Menurutnya,
sejak awal berjualan koran, penghasilan yang didapat di tabung yang nantinya akan
digunakan sebagai biaya untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Untuk
membeli buku tulis dan seragam sekolah dia mendapat tambahan dari Bapaknya.
Kata Nenek Nita, kalau koran banyak tidak laku, mereka tidak makan malam,
menahan perihnya kelaparan untuk usia lanjut seperti Nenek Nita sangat susah oleh
karenanya mereka selalu berbekal air dari rumah. Kalau koran banyak yang laku,
Riska,Nita dan Neneknya membeli nasi harga Rp 3000,- dan tempe Rp 2000,-
untuk makan malam bersama di Flay Over. Kegiatan itulah Yang dilakukan oleh
Riska dan Nita sepulang sekolah. Terkadang mereka malu setiap ada teman atau
gurunya yang lewat di Flay over, namun mereka berusaha untuk tersenyum.
Cerita lain datang dari Awa yang berusia 12 tahun, menurut keterangan
darinya, dia masih sekolah kelas 5 SD, Awa menjual koran sejak 3 tahun yang lalu.
Dia memutuskan untuk menjadi seorang loper koran untuk memenuhi kebutuhan
sekolah dan untuk makan. Pendapatan Awa perharinya tidak menentu, tergantung
hari dan waktu, biasanya dia mendapatkan Rp 8000 hingga Rp 10.000 perhari.
Mereka mendapatkan uang lebih banyak pada hari sabtu dan minggu sore. Harga
koran per eksamplaradalah Rp 2000,- tapi kadang-kadang ada yang memberi uang
Rp 5000,- dan menolak mengambil kembaliannya.
Sisa beli beras perharinya, Awa tabung untuk keperluan sekolah yang kadang
mendadak. Awa memiliki saudara 7 orang. Ayahnya sudah menikah sedangkan
ibunya lumpuh. Awa sekarang tulang punggung keluarganya bersama kakaknya
yang juga berprofesi sebagai pengamen.
Banyak suka duka yang mereka alami selama menjadi loper koran di Flay
Over. Sukanya karena mereka bisa mencari uang sendiri dan mengurangi beban
ekonomi keluarga. Sedangkan dukanya, saat tiba rombongan pejabat, mereka harus
berurusan dengan pihak berwajib, siapa lagi kalau bukan pamong praja yang
bertugas untuk menertibkan kawasan umum dari anak jalanan termasuk loper koran
saat rombongan para pejabat kota Makassar akan melintasi kawasan Fly Over.
Sungguh sangat ironi.
2. Objek 2Penjual Koran dilampu Merah Mall Panakkukang
27 Mei 2012,
Ketika saya sampai di lampu merah Mall Panakkukang untuk melakukan
wawancara dengan beberapa penjual koran di daerah tersebut, saya melihat anak-
anak kira-kira berumur 2-10 tahun,mereka berlari disetiap jendelah mobil dan para
pengendara sepeda motor saat lampu merah. Ada pengemis, pengamen, penjual
asongan, dan penjual koran. Bunyi klakson para pengendara tidak dihiraukan,
mereka berlari dari satu mobil kemobil lain. Ada pula yang terlihat menggendong
adeknya, kira-kira berumur 2 tahun. Pemandangan seperti ini sudah biasa terlihat di
lampu merah Mall Panakkukang, kata penjual bakso yang mangkal disekitar lampu
merah.
Ippang, anak yang berusia 16 tahun, diantara kelompok penjual surat kabar,
dia merupakan salah satu yang lebih dewasa. Ippang menjadi seorang anak jalanan
sejak kecil, dengan alasan karena faktor ekonomi. Kebutuhan sehari-hari yang terus
menuntut untuk dipenuhi, maka akhirnya ippang terjun kedunia anak jalanan dengan
menjual koran di lampu merah Mall Panakkukang. Dia tidak sekolah, menjadi anak
jalanan bukanlah pilihannya, namun keadaan menuntut untuk menjadikan dirinya
berprofesi sebagai penjual koran. Ippang mulai menjual koran dari jam 10.00 – pukul
17.00 WITA. Keuntungan yang di peroleh sekitar Rp 10.000- Rp 18.000 seharinya,
dia mengakui uang hasil penjualan koran digunakan untuk makan juga untuk
membeli rokok dan masuk warnet ( Warung Internet ) untuk main game atau
facebook. Ketika ditanya, mengapa tidak memilih jadi pengemis yang rata-rata
pendapatannya sehari untuk wilayah lampu merah Mall Panakkukang ±Rp 40.000 –
Rp 50.000 sehari, dibanding penjual koran yang penghasilannya hanya Rp 10.000 –
Rp 18.000 sehari ? katanya kerja sebagai penjual koran lebih mulia dari pada
mengemis.
Selain Ippang, ada juga X yang yang berprofesi sebagai penjual koran, ia anak ke-6
dari 7 bersaudara, sepulang sekolah sekitar jam 13.00 WITA, X langsung bergegas
menjajahkan korannya di lampu merah Mall Panakkukang bersama seragam
sekolah yang masih lengkap. X tidak perna merasa minder ataupun malu kepada
teman-temannya yang jauh lebih beruntung darinya. Terkadang di sekolahnya dia
sering diejek oleh temannya, dipanggil penjual koran, kotor, bau, dll. Anak yang
berusia 8 tahun ini, tak perna peduli dengan teriknya matahari yang menyengat
tubuhnya, dia tidak merasakan sedikitpun rasa sakit dari kakinya yang kemarin di
injak oleh motor, itu semua dilakukannya untuk membantu beban ekonomi
keluarganya. X menjual koran hingga jam 10 malam, dia memperoleh keuntungan
Rp 8000,- sampai Rp 10.000,- perhari. uang tersebut digunakan untuk membeli
beras 12
liter setiap hari. Terkadang X bolos sekolah karena takut tidak
mendapatkan uang untuk beli makan. Satu hal yang membuat saya bertanya,
Si X bocah yang baru berusia 8 tahun ini, saat X berpanas – panasan melawan
teriknya matahari siang untuk mencari uang, orangtuanya hanya duduk -
duduk sambil memantau X dari kejauhan yang sedang menjual koran.
ANAK-ANAK YANG DIPAKSA DEWASA
Kehidupan yang keras di jalan, ditambah situasi anak itu sendiri di mana
mereka harus bertahan hidup, memaksa anak-anak ini menjadi dewasa sebelum
waktunya. Apabila anak-anak sebaya mereka masih bermain-main dan dirawat oleh
orang mereka, maka anak-anak penjual koran ini sudah harus menghidupi diri
sendiri dan mempertahankan hidup. Keadaan ini memaksanya menjadi seorang
‘anak dewasa’ yang keras, yang ditunjukkan dengan sikapnya yang selalu
membantah dan liar, kejadian ini terlihat saat saya datang dan membawakan
mereka sedikit makanan, mereka lalu merampas makanan tersebut dari tangan saya
dan ada anak yang tidak mendapat bagian lalu membentak saya dan marah-marah.
Namun di saat-saat tertentu, mereka masih terlihat sifat anak-anaknya, karena
memang sebenarnya ia masih anak-anak.
Tidak ada solusi yang ampuh untuk mengatasi masalah sosial ini. Mereka
hadir di jalanan karena kita memberi peluang kepada mereka untuk meneruskan
“profesinya”. Seharusnya tugas negaralah untuk mengentaskan mereka dari
kepapaan hidup, karena di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “anak yatim dan
orang-orang terlantar dipelihara oleh negara”. Tetapi tampaknya Pemerintah
membiarkan mereka tetap beraksi dan tidak mempedulikan mereka.
Anak-anak mestinya dapat menikmati dunianya yang ceria, belum saatnya
mereka bersentuhan dengan persoalan ekonomi yang seharusnya menjadi
tanggung jawab orang tua. pemerintah pun mesti responisif dalam mengurai
masalah ini. karena jelas tersurat dalam UU kalau anak-anak miskin dan telantar
dipelihara oleh negara. namun, agaknya negeri ini memang sedang dililit banyak
persoalan sosial.
Jadi dalam penelitian ini saya menyimpulkan bahwa mereka berprofesi
sebagai loper koran untuk memenuhi kebutuhan seari-hari.
DOKUMENTASI
20 mei 2012
Lampu Merah Fly Over