4
RESPON TERHADAP ARTIKEL PROF SARLITO WIRAWAN (Ditulis Khusus untuk Keperluan Internal bagi Para Promotor STIFIn) Farid Poniman Pertama, saya sangat menghormati Prof. Sarlito Wirawan dan pendapatnya. Hal terpenting berikutnya, kita mesti terbiasa menerima perbedaan dengan lapang dada. Dimana letak perbedaannya? Hal ini berawal dari perbedaan world-view (sumber paradigma). Prof Sarlito dan ilmuwan psikologi lainnya, terutama yang beraliran barat, akan melihat personaliti sebagai ilmu perilaku (aliran behaviorism). Segalanya mesti bisa diukur berdasarkan perilaku yang tampak. Unsur-unsur potensial yang tersembunyi tidak bisa dijadikan patokan. Sehingga kalau kembali kepada rumus 100% Fenotip = 20% Genetik + 80% Lingkungan, maka aliran Prof Sarlito adalah yang 100% Fenotip, sedangkan saya aliran yang 20% Genetik. Perbedaan world-view ini merupakan perbedaan yang tidak pernah tuntas di dunia akademik. Perbedaan itu dikenal dengan Nature vs Nurture. Saya penganut Nature, sedangkan Prof Sarlito penganut Nurture. Perbedaan tersebut selaras dengan perbedaan: 1. Barat menganut Teori Evolusi Darwin bahwa manusia berasal dari monyet, sedangkan agamawan menganut teori eksistensi bahwa manusia pertama adalah Adam, juga selaras dengan 2. Stephen Hawking (fisikawan Barat) menganggap surga cuma dongeng, sedangkan agamawan meyakini keberadaan surga. World-view Barat seperti Darwin dan Hawking tersebut selaras dengan world view Behaviorism-nya Prof Sarlito. Kalau menggunakan bahasa gaulnya, “jangan bawa-bawa Tuhan deh dalam pembahasan ilmiah”. Itulah world-view mereka. Secara sederhananya, saya meyakini adanya sibghah (celupan) Allah dalam diri manusia melalui kesengajaan Allah menjadikan manusia keturunan Adam. Selain itu ada kesengajaan Allah memberikan genetik yang unik pada setiap manusia. Konsep ini yang menjadi aliran Nature (ada campur tangan Allah dalam cetakan genetik manusia) sebagaimana yang saya anut, bahwa setiap manusia punya jalan sendiri-sendiri sesuai dengan genetiknya. Sedangkan aliran Nurture- nya Prof Sarlito akan mengatakan bahwa sepenuhnya manusia dapat dibentuk menjadi apapun, sepanjang bisa mengawal penggemblengan (menciptakan lingkungan sesuai keperluannya). Menurutnya manusia dibentuk oleh pengalaman hidupnya. Jika mempelajari manusia pelajarilah pengalamannya. Pandangan saya sebagaimana yang saya ungkapkan dalam banyak kesempatan bahwa yang 20% Genetik itulah yang aktif mencari 80% Lingkungan sehingga 100% Fenotip itu banyak dikontribusi oleh 20% Genetik. Memang betul tidak selalu 80% Lingkungan itu berhasil dicapai

Respon Terhadap Artikel prof Sarlito Wirawan by Farid Poniman

Embed Size (px)

Citation preview

RESPON TERHADAP ARTIKEL PROF SARLITO WIRAWAN

(Ditulis Khusus untuk Keperluan Internal bagi Para Promotor STIFIn)

Farid Poniman

Pertama, saya sangat menghormati Prof. Sarlito Wirawan dan pendapatnya.

Hal terpenting berikutnya, kita mesti terbiasa menerima perbedaan dengan lapang dada.

Dimana letak perbedaannya? Hal ini berawal dari perbedaan world-view (sumber paradigma).

Prof Sarlito dan ilmuwan psikologi lainnya, terutama yang beraliran barat, akan melihat

personaliti sebagai ilmu perilaku (aliran behaviorism). Segalanya mesti bisa diukur berdasarkan

perilaku yang tampak. Unsur-unsur potensial yang tersembunyi tidak bisa dijadikan patokan.

Sehingga kalau kembali kepada rumus 100% Fenotip = 20% Genetik + 80% Lingkungan, maka

aliran Prof Sarlito adalah yang 100% Fenotip, sedangkan saya aliran yang 20% Genetik.

Perbedaan world-view ini merupakan perbedaan yang tidak pernah tuntas di dunia akademik.

Perbedaan itu dikenal dengan Nature vs Nurture. Saya penganut Nature, sedangkan Prof

Sarlito penganut Nurture.

Perbedaan tersebut selaras dengan perbedaan: 1. Barat menganut Teori Evolusi Darwin bahwa

manusia berasal dari monyet, sedangkan agamawan menganut teori eksistensi bahwa manusia

pertama adalah Adam, juga selaras dengan 2. Stephen Hawking (fisikawan Barat) menganggap

surga cuma dongeng, sedangkan agamawan meyakini keberadaan surga. World-view Barat

seperti Darwin dan Hawking tersebut selaras dengan world view Behaviorism-nya Prof Sarlito.

Kalau menggunakan bahasa gaulnya, “jangan bawa-bawa Tuhan deh dalam pembahasan

ilmiah”. Itulah world-view mereka.

Secara sederhananya, saya meyakini adanya sibghah (celupan) Allah dalam diri manusia melalui

kesengajaan Allah menjadikan manusia keturunan Adam. Selain itu ada kesengajaan Allah

memberikan genetik yang unik pada setiap manusia. Konsep ini yang menjadi aliran Nature

(ada campur tangan Allah dalam cetakan genetik manusia) sebagaimana yang saya anut, bahwa

setiap manusia punya jalan sendiri-sendiri sesuai dengan genetiknya. Sedangkan aliran Nurture-

nya Prof Sarlito akan mengatakan bahwa sepenuhnya manusia dapat dibentuk menjadi apapun,

sepanjang bisa mengawal penggemblengan (menciptakan lingkungan sesuai keperluannya).

Menurutnya manusia dibentuk oleh pengalaman hidupnya. Jika mempelajari manusia

pelajarilah pengalamannya.

Pandangan saya sebagaimana yang saya ungkapkan dalam banyak kesempatan bahwa yang

20% Genetik itulah yang aktif mencari 80% Lingkungan sehingga 100% Fenotip itu banyak

dikontribusi oleh 20% Genetik. Memang betul tidak selalu 80% Lingkungan itu berhasil dicapai

sepenuhnya sesuai dengan 20% Genetik, tetapi tesis besarnya adalah –sadar atau tidak sadar—

kebebasan berkehendak pada manusia akan mencetuskan keinginan mencari lingkungan yang

sesuai dengan dirinya, yaitu yang sesuai dengan 20% Genetik tadi. Setiap manusia mencari

lingkungan yang ‘gua banget’ bagi dirinya.

Tentang hal ini, Rhenald Khasali (sesama dosen UI dengan Prof Sarlito namun berbeda

pandangan juga dengan Prof Sarlito) menyebutnya sebagai genetika perilaku. “Para ahli

genetika mulai masuk ke cabang baru dari genetika biologi, yakni genetika perilaku (behavioral

genetics), karena berdasar sejumlah penelitian mutakhir terungkap adanya pengaruh genetika

terhadap perilaku perubahan “, Rhenald Khasali (2010).

Sekedar ilurtrasi dalam bentuk lain, saya paparkan empat riset sebagai bukti pengaruh genetik

terhadap perilaku dan eksistensi manusia (saya kutip dan edit dari Kompas.com):

1. Seorang psikolog asal Virginia Commonwealth University, Michael McDaniel

menyatakan bahwa otak yang besar memang berpengaruh terhadap kecerdasan.Dalam

Journal Intelligence yang terbit tahun 2005, Michael menyebutkan bahwa volume otak

sangat erat kaitannya dengan tingkat kecerdasan karena semakin banyak sel-sel otak,

sistem dan jaringan informasi yang dimiliki seseorang dalam otaknya pun semakin

banyak, yang berarti ia bisa lebih cerdas. Hal itu menurutnya berlaku untuk semua

rentang usia dan juga jenis kelamin.

2. Para ilmuwan dari Cambridge University menemukan bahwa para pialang yang bekerja

di bursa-bursa saham memiliki jari manis lebih panjang dari pada jari telunjuk. Ini

menunjukkan bahwa mereka lebih pintar mencari uang. Dalam 20 bulan para pialang

dengan jari manis lebih panjang ini 'mencetak' uang sebelas kali daripada yang jari

manisnya relatif lebih pendek(Kompas.com,16 Januari 2009).

3. Ukuran pinggul yang besar memengaruhi daya ingat seorang perempuan. Para peneliti

menemukan bahwa setiap poin kenaikan BMI, skor tes kemampuan daya ingat mereka

juga turun satu poin. Dan, partisipan yang memiliki bentuk tubuh pir (pinggang kecil,

tetapi pinggul lebar) memiliki skor yang paling buruk(Kompas.com, 15 Juli 2010).

4. Menurut hasil penelitian, mereka yang bertampang menarik lebih pintar daripada

kebanyakan orang. Riset yang dilakukanLondon School of Economics (LSE) di Inggris dan

Amerika Serikat menunjukkan, pria dan perempuan menarik memiliki intelligence

quotient (IQ) 14 poin di atas rata-rata kebanyakan orang(KOMPAS.com, 17 Januari

2011).

Nah, tentu saja para ilmuwan psikologi tidak akan setuju sepenuhnya dengan empat contoh

riset tersebut karena mereka lebih meyakini dengan pola perilaku yang tampak yang dibentuk

oleh pengalaman hidupnya. Kira-kira mereka akan mengatakan demikian, “Tidak ada kaitannya

antara potensi genetik yang tergambar pada besar kepala, panjang jari manis, besar pinggul,

dan tampang yang menarik dengan perilaku seseorang”. Sebagaimana Prof Sarlito juga

mengatakan tidak ada kaitannya antara sidik jari dengan perilaku seseorang.

Sampai disini, saya berharap anda dapat memahami bahwa perbedaan pandangan harus

diterima dengan lapang dada, yang penting kita mengetahui perbedaan world-view nya.

Oleh karena itu untuk menjembatani bahwa potensi genetik yang digali Tes STIFIn itu juga

dapat diukur dari perilaku yang tampak maka saya selalu memasukkan 10 variabel personaliti

yang bisa diukur secara psikometrik pada setiap hasil Tes STIFIn. Pendek kata, jika anda ingin

membuktikan secara ilmiah keberadaan potensi genetik dalam personaliti seseorang, minta

salah satu doktor/PhD psikometrik di kota anda untuk mengukur keberadaan 10 variabel pada

peserta tes. Jika keberadaan 10 variabel itu ternyata eksis maka hal itu menunjukkan bahwa

Tes STIFIn memiliki validitas yang tinggi. Jika hal tersebut dites lagi beberapa kali dan hasilnya

tetap sama maka bermakna reliabilitas Tes STIFIn juga tinggi. Tentang kedua hal ini kami sudah

melakukan riset internal yang menunjukkan bahwa validitas dan reliabilitas Tes STIFIn sangat

tinggi. Namun saya harap anda bersabar menunggu hasil riset independen yang dilakukan dua

tim profesor di Malaysia dan Indonesia yang akan diumumkan tidak lama lagi.

Sejarah Finger Print

Sidik jari adalah ciri permanen yang genetik dan tidak berubah sepanjang umur manusia.

William Jenings dari Franklin Institute Philadelpia, mengambil sidik jarinya sendiri pada umur 27

tahun (1887) kemudian membandingkan dengan sidik jari setelah umur 77 tahun ternyata tidak

terjadi perubahan.

Sidik jari seseorang memiliki hubungan dengan kode genetik dari sel otak dan potensi

intelegensi seseorang. Penelitian ini telah dimulai sejak lebih 200 tahun yang lalu, diawali oleh

Govard Bidloo (1865), J.C.A Mayer (1788), John E Purkinje (1823), Dr. Henry Faulds (1880),

Francis Galton (1892), Harris Hawthorne Wilder (1897), Inez Whipple (1904), Kristine Bonnevie

(1923), Harold Cummins (1926), Noel Jaquin (1958), Beryl Hutchinson (1967), dan kemudian

oleh Baverly C Jaegers (1974) yang menyimpulkan bahwa sidik jari dapat mencerminkan

karakteristik dan aspek psikologis seseorang.

Pada tahun 1901, Sir Edward Richard Henry mengembangkan Sistem Galton menjadi sistem

Galton-Henry. Pada tahun 1914, sistem Galton-Henry mulai dikembangkan di Indonesia. Pada

tahun 1960, sistem ini resmi digunakan oleh POLRI (menurut Indonesia Automatic Fingerprint

Identification System/INAFIS).

Sekarang teknologi sidik jari sudah berkembang jauh. Salah satunya, teknologi dermatoglyphics

yang dapat dipakai untuk membuktikan seberapa besar kapasitas yang dimiliki anak sejak lahir,

mengetahui potensi bawaan, serta bakat terpendam anak. Teknologi tersebutmulanya

dikembangkan di Harvard University, Cambridge University, dan Massachusetts University.Data

statistik perangkat lunak dermatoglyphics itu diolah berdasarkan data sidik jari 3 juta orang di

Asia dan Amerika.

Dari rangkaian sejarah riset-riset sidik jari di atas masih kurang ilmiah apa lagi?

Jika genetika perilaku yang mampu ditunjukkan oleh sidik jari dianggap sebagai ilmu semu,

sebaiknya hal tersebut perlu direkomendasikan langsung ke POLRI dan institusi intelijen di

seluruh negara untuk menukarkannya dengan cara lain. Saya yakin Prof Sarlito tidak akan punya

cara lain yang lebih efisien dan efektif dibanding teknologi sidik jari. Padahal sidik jari sudah

memiliki sejarah riset yang panjang, yang sungguh menyedihkan kalau dianggap sebagai bentuk

penipuan yang lain.

Penutup

Sebenarnya anda sendiri bisa menjadi juri bebas, karena sebelum menjadi promotor anda

mengikuti Tes STIFIn. Adakah kesimpulan tentang personaliti anda yang dikeluarkan oleh Tes

STIFIn tidak akurat? Kalau lebih dari 90% diantara anda mengatakan akurat, maka janganlah

golongkan kami sebagai penipu. Justru ini adalah amal kifayah kami untuk mencerdaskan

bangsa kita.

Bagaimanapun, saya berterima kasih kepada Prof Sarlito atas pengabdian dan integritasnya

sebagai ilmuwan psikologi.

Kuala Lumpur, 18 April 2011