4
1 SAATNYA MENGEMBANGKAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SETEMPAT RINGKASAN EKSEKUTIF Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) berdasarkan PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan dibentuk oleh Pemerintah untuk : mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang efisien dan lestari, dengan mengintegrasikan unit-unit pengelolaan hutan dan hutan hak dalam satu sistem pengelolaan dalam satu KPH. Bentuk KPH di masing-masing kawasan disesuaikan dengan fungsi peruntukan hutan yang dominan, yaitu Produksi (KPHP), Lindung (KPHL), atau Konservasi (KPHK). Permasalahan utama yang dihadapi oleh Pemerintah selama ini dalam pengembangan KPH di seluruh Indonesia, seperti yang terdapat juga di KPHP Berau Barat, Kalimantan Timur (Kaltim) yang dikaji oleh Tim CSF adalah : ada banyak masyarakat yang tinggal di dalam dan / atau di sekitar kawasan hutan yang bergantung pada hutan untuk pelbagai keperluan hidup seperti berburu, memetik buah-buahan dan sayuran hutan, mengambil kayu, rotan dan bambu, serta damar, madu hutan, kayu gaharu dan lain-lain ; dengan jenis dan tingkat ketergantungan yang bervariasi, ada ijin usaha penggunaan kawasan yang sudah beroperasi seperti Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH) maupun Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan lain-lain, dengan kepentingan pemanfaatan hutan yang berbeda. Dengan demikian tantangan besar yang dihadapi Pemerintah dalam pelaksanaan sistem KPH adalah : memastikan adanya harmonisasi pemanfaatan hutan dan pengelolaan hutan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder), memastikan agar sumber penghidupan / pencaharian masyarakat setempat dari hutan tetap terjamin, dan bisa lebih dikembangkan di dalam sistem pengelolaan KPH. Oleh karena itu Tim CSF menganggap sudah saatnya : mengembangkan KPH bersama semua stakeholder di areal KPH, terutama bersama masyarakat setempat yang keperluan hidupnya tergantung dari hutan, membentuk Forum komunikasi bagi semua stakeholder untuk harmonisasi pemanfaatan dan pengelolaan hutan dalam sistem Pengelolaan KPH, dibawah koordinasi serta difasilitasi oleh Kepala KPH. UPT. Perhutanan Sosial (Center for Social Forestry CSF) Universitas Mulawarman Policy briefs Masyarakat setempat sudah memanfaatkan dan mengelola hutan sekitar : dari generasi ke generasi Gambar 1. Masyarakat Setempat di Kampung Hulu Sungai Kelay, KPHP Berau Barat

Policy brief-csf-indonesian

Embed Size (px)

Citation preview

1

SAATNYA MENGEMBANGKAN KESATUAN PENGELOLAAN

HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SETEMPAT

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) berdasarkan PP

No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan

dibentuk oleh Pemerintah untuk :

mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang

efisien dan lestari,

dengan mengintegrasikan unit-unit pengelolaan

hutan dan hutan hak dalam satu sistem

pengelolaan dalam satu KPH.

Bentuk KPH di masing-masing kawasan disesuaikan

dengan fungsi peruntukan hutan yang dominan, yaitu

Produksi (KPHP), Lindung (KPHL), atau Konservasi

(KPHK).

Permasalahan utama yang dihadapi oleh Pemerintah

selama ini dalam pengembangan KPH di seluruh

Indonesia, seperti yang terdapat juga di KPHP Berau

Barat, Kalimantan Timur (Kaltim) yang dikaji oleh

Tim CSF adalah :

ada banyak masyarakat yang tinggal di dalam

dan / atau di sekitar kawasan hutan yang

bergantung pada hutan untuk pelbagai keperluan

hidup seperti berburu, memetik buah-buahan dan

sayuran hutan, mengambil kayu, rotan dan

bambu, serta damar, madu hutan, kayu gaharu

dan lain-lain ; dengan jenis dan tingkat

ketergantungan yang bervariasi,

ada ijin usaha penggunaan kawasan yang sudah

beroperasi seperti Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan (IUPHH) maupun Ijin Usaha

Pertambangan (IUP) dan lain-lain, dengan

kepentingan pemanfaatan hutan yang berbeda.

Dengan demikian tantangan besar yang dihadapi

Pemerintah dalam pelaksanaan sistem KPH adalah :

memastikan adanya harmonisasi pemanfaatan

hutan dan pengelolaan hutan oleh para pemangku

kepentingan (stakeholder),

memastikan agar sumber penghidupan /

pencaharian masyarakat setempat dari hutan

tetap terjamin, dan bisa lebih dikembangkan di

dalam sistem pengelolaan KPH.

Oleh karena itu Tim CSF menganggap sudah saatnya :

mengembangkan KPH bersama semua

stakeholder di areal KPH, terutama bersama

masyarakat setempat yang keperluan hidupnya

tergantung dari hutan,

membentuk Forum komunikasi bagi semua

stakeholder untuk harmonisasi pemanfaatan dan

pengelolaan hutan dalam sistem Pengelolaan

KPH, dibawah koordinasi serta difasilitasi oleh

Kepala KPH.

UPT. Perhutanan Sosial (Center for Social Forestry – CSF) Universitas Mulawarman

Policy briefs

Masyarakat setempat sudah memanfaatkan dan

mengelola hutan sekitar : dari generasi ke generasi

Gambar 1. Masyarakat Setempat di Kampung Hulu Sungai Kelay, KPHP Berau Barat

2

KONTEKS DAN MASALAH

Berbagai kebijakan pengelolaan hutan lestari yang

melibatkan dan memberi peluang kepada masyarakat

seperti Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH),

Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan

Hutan Tanaman Rakyat (HTR) telah digulirkan oleh

Kementerian Kehutanan, namun banyak yang belum

berjalan optimal di lapangan. Salah satu penyebabnya

adalah :

hubungan dengan masyarakat setempat dalam

mekanisme pengelolaan hutan belum terjalin

secara harmonis dan terpadu,

komunikasi yang intensif dengan masyarakat

setempat belum terbangun dengan memadai,

karena belum ada institusi di tingkat tapak /

lapangan yang menangani hal tersebut.

Oleh karena itu pembentukan KPH seyogyanya bisa

menjadi pintu masuk yang prospektif ke arah

pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat dan

stakeholder lainnya. KPH, seperti halnya KPHP Berau

Barat, merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas /

UPTD. Fungsinya adalah sebagai institusi teknis

operasional pengelolaan hutan di lapangan, untuk a.l.:

memantau dan membina para pemegang izin

pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan,

mengadakan pemberdayaan, komunikasi dan

kerjasama dengan masyarakat.

Masalahnya adalah mengoperasionalisasikan fungsi

KPH seperti tersebut di atas bukan hal yang mudah

dan sederhana. Sebagai UPTD, KPHP Berau Barat

disadari mengalami keterbatasan pendanaan karena

sangat tergantung dengan kuota Anggaran Dinas

Kehutanan. Sedangkan kondisi riil di lapangan yang

perlu dikelola cukup kompleks.

TEMUAN-TEMUAN

Areal KPHP Berau Barat yang ditetapkan Menteri

Kehutanan pada tahun 2010, seluas 775.539 Ha terdiri

dari :

Hutan Produksi / HP + 528.514 Ha, dan

Hutan Lindung / HL + 247.025 Ha).

Di dalamnya ada 3 variasi izin pemanfaatan kawasan

yakni :

12 buah IUPHHK (11 buah IUPHHK-HA dan 1

buah IUPHHK-HT)

1 Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) yang dikelola oleh Badan Penelitian

dan Pengembangan Kehutanan Samarinda.

10 Izin Usaha Pertambangan (IUP), terdiri dari 1

izin skala besar (PKP2B) dan 9 izin skala kecil

(IUP-OP).

Dengan demikian masih ada sekitar 36% areal KPHP

masuk dalam kategori Wilayah Tertentu atau yang

tidak dibebani hak (termasuk di dalamnya HL), seperti

yang terlihat dalam Gambar 2, yang dikelola langsung

oleh KPH, secara mandiri, dan idealnya dikelola

bersama dengan masyarakat setempat.

Selain itu terdapat 10 kampung, yang terletak di

sepanjang DAS Sungai Kelay :

di bagian hulu dihuni oleh komunitas tradisional,

terutama dari masyarakat Dayak Punan,

di bagian hilir dihuni oleh komunitas tradisional,

campur dengan pendatang menetap dari luar

Kaltim.

Tim CSF mengkaji keadaan masyarakat di 2 kampung

yang mewakili gradient (rentang variasi) karakteristik

masyarakat setempat, dari yang masih banyak

tergantung kepada hutan, sampai yang sudah tidak

banyak lagi tergantung pada hutan, yakni :

1 kampung paling hulu (Kampung Hulu),

1 kampung paling hilir (Kampung Hilir).

Gambar 2. Areal KPHP Berau Barat

3

Masyarakat Kampung Hulu masih banyak tergantung

pada pada hutan sebagai sumber penghidupan mereka :

sagu, buah-buahan dan sayuran hutan, serta

perburuan satwa untuk bahan makanan

kayu untuk bahan bangunan

rotan, damar dan gaharu untuk dijual

madu untuk keperluan sendiri dan untuk dijual.

Porsi sumber penghidupan masyarakat Kampung Hulu

yang berasal dari hasil hutan adalah seperti terlihat

pada Gambar 3.

Masyarakat Kampung Hulu sudah memanfaatkan dan

mengelola hutan di sekitar kampung secara tradisional,

dari generasi ke generasi, yakni :

Hutan Lindung Kampung sebagai tempat sumber

air bersih, yang bisa dimanfaatkan oleh kaum

wanita dan anak-anak untuk tempat berburu.

Hutan Adat Kampung, sebagai tempat penghasil

hasil hutan yang diperlukan, seperti sagu, buah-

buahan dan sayuran hutan, kayu bangunan,

rotan, madu, gaharu, serta binatang buruan.

Pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan Hutan

Lindung Kampung serta Hutan Adat dilakukan oleh

Pengurus Kampung ; dan dimonitor oleh warga.

Sedangkan masyarakat Kampung Hilir sudah tidak

banyak lagi yang tergantung pada hasil hutan sebagai

sumber penghidupan, seperti terlihat pada Gambar 4.

Namun Kampung Hilir masih mempunyai wilayah

khusus di areal KPHP, yang menurut rencana

masyarakat ingin direhabilitasi dengan menggunakan

pola Hutan Tanaman.

Dengan demikian peluang pelibatan dan kerjasama

dengan masyarakat setempat terbuka luas. Hanya pola

dan skemanya masih perlu dibangun bersama-sama,

sesuai dengan kondisi riil di lapangan dengan

memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Dalam Rencana Pengelolaan (RP) KPHP Berau Barat

2013 – 2022, pelibatan dan kerjasama dengan

masyarakat ini sudah dirancang dalam Bab V Rencana

Kegiatan Pengelolaan, No.9 mengenai Pemberdayaan

Masyarakat, dengan kegiatan sebagai berikut :

Melakukan pengumpulan data sosial ekonomi

dan budaya masyarakat

Melakukan analisis data sosial ekonomi tingkat

unit kelestarian

Melakukan analisis kelembagaan masyarakat

pada wilayah KPH baik kelembagaan internal

maupun antara kampung

Menyusun program pemberdayaan masyarakat

secara partisipatif

Membangun pola kemitraan dengan pemegang

ijin pemanfaatan dan stakeholder lain

Meningkatkan kapasitas masyarakat dan

kelembagaan terkait dengan pengelolaan hutan

dan hasil hutan

Mengembangkan skema-skema pengelolaan

hutan berbasis masyarakat seperti : HKm, HD

dan HTR

Peningkatan Teknologi Pengolahan Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK)

Butir-butir RP ini memperlihatkan prinsip-prinsip

penting dalam pengelolaan KPH yaitu :

perhatian yang cukup terhadap kepentingan dan

hak masyarakat setempat atas hutan

pendekatan partisipatif dalam penyusunan

program

pemberdayaan masyarakat setempat ke arah

kemandirian, dan

pengembangan pola kemitraan dalam usaha.

Secara operasional pelaksanaannya tentu saja masih

perlu diatur dengan kelembagaan dan mekanisme

pengelolaan KPH.

Gambar 3. Sumber Penghidupan Masyarakat Kampung Hulu

Gambar 4. Sumber Penghidupan Masyarakat Kampung Hilir

4

REKOMENDASI

Untuk bisa mengembangkan kelembagaan dan

mekanisme pengelolaan KPH dengan prinsip-prinsip

tersebut di atas, Tim CSF merekomendasikan :

Pembentukan Forum Komunikasi bagi semua

stakeholder untuk harmonisasi pemanfaatan dan

pengelolaan hutan di areal KPH, dibawah

koordinasi serta fasilitasi dari Kepala KPH.

Selanjutnya Forum Komunikasi dikembangkan

per kelompok pemanfaatan areal dan stakeholder

terkait, sebagai dasar untuk menjalankan pola

Kemitraan Kehutanan, di tingkat tapak, antara :

1) Pemegang IUPHHK – Masyarakat ; 2)

Pemegang IUP Pertambangan – Masyarakat ; 3)

BPP Kehutanan – Masyarakat ; 4) KPHP Berau

Barat – Masyarakat.

Pola Kemitraan Kehutanan dengan Masyarakat,

seyogyanya dikembangkan secara bervariasi,

berdasarkan variasi karakteristik kepentingan dan

ketergantungan masyarakat setempat pada hutan,

serta sistem pemanfaatan dan pengelolaannya

oleh masyarakat setempat selama ini, dengan

memperhatikan prospek pengembangan masa

depannya.

Untuk keberhasilan programnya, perlu ada dukungan

kebijakan dari Pemerintah maupun Pemerintah

Daerah / Kabupaten. Kebijakan dari Pemerintah

yang terpenting adalah :

Memberikan kesempatan yang lebih luas untuk

pengembangan varian HKm, HD dan HTR sesuai

dengan varian pemanfaatan dan pengelolaannya

oleh masyarakat setempat, dan mengaturnya

dengan peraturan perundang-undangan.

Meneguhkan legalitas Hutan Lindung Kampung

dan Hutan Adat Kampung dalam skema

Kemitraan Kehutanan yang dikembangkan dalam

sistem pengelolaan KPH.

Kebijakan dari Pemerintah Daerah / Kabupaten,

yang utama adalah :

Meningkatkan kuota Anggaran Daerah untuk

kegiatan operasional KPHP Berau Barat dan

kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

Melengkapi struktur kelembagaan KPHP Berau

Barat, serta memantabkan tatanan tupoksi dan

hubungan kerja antara Dinas Kehutanan dengan

KPHP Model Berau Barat sebagai UPTD.

.

Gambar 3. Pemukiman dan Kegiatan Masyarakat Setempat di Kampung Hilir Sungai Kelay, KPHP Berau Barat

Didanai Oleh :

Policy briefs ini dipublikasikan

oleh Center for Social Forestry (CSF)

Universitas Mulawarman dengan

dukungan the Asia Foundation.

Peneliti :

Fadjar Pambudhi

G. Simon Devung

Rujehan

Martinus Nanang

Penasihat Peneliti

Mustofa Agung

Sardjono

Alamat Redaksi :

UPT. Perhutanan Sosial (Center for Social Forestry)

Unmul Gedung Pusrehut (A – 8) Lantai II

Kampus Gn. Kelua, Universitas Mulawarman

Jl. Ki Hajar Dewantara Samarinda 75123

Telp. : (0541) 201275, 206407

Fax : (0541) 206407

E-mail : [email protected]

Website : www.csf.or.id