Upload
pindai-media
View
78
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Bara di Urutsewu
Oleh:
Prima Sulistya Wardhani
Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected]
Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 2 | 13
Bara di Urutsewu
Oleh : Prima Sulistya Wardhani*
Puluhan tahun perebutan klaim tanah antara warga sipil dan militer terjadi di pesisir selatan Kebumen.
Puncaknya perlawanan warga dihadapi militer dengan senjata.
PADA tengah hari Sabtu, 16 April 2011, suara tembakan berdesing dari satu tempat di dekat tangsi militer.
Saat itu Siti Khotijah di rumah bersama putrinya yang berumur setahun. Dentum meriam memang sering
terdengar oleh warga Desa Setrojenar tempat tentara-tentara dari Kodam IV/Diponegoro rutin menggelar
latihan perang. Tapi suara letusan senapan bukanlah sesuatu yang biasa.
Suara itu membuat Khotijah cemas karena putra sulungnya, masih kelas lima sekolah dasar, tidak di rumah.
Ia segera mencari. Yang terlintas dalam benaknya, barangkali si sulung tengah main ke rumah orangtua
Khotijah yang terletak di selatan tangsi militer.
Sementara, pada saat bersamaan, Siti Khotijatun, yang kediamannya berselang lima rumah dari Siti
Khotijah, tetap melanjutkan pekerjaan rumah setelah letusan senapan itu terdengar. Namun segera
sesudahnya, ia mendengar ada keramaian di jalan. Ia keluar. Rasa panik menyergap seiring teringat
suaminya, Imam Zuhdi, yang pergi sejak siang. Kepanikannya memudar selepas dhuhur saat melihat
suaminya pulang untuk salat di musala di pekarangan rumah.
Adapun Ngasiyah tak mendengar letusan itu karena desanya, Kaibon Petangkuran, terletak 5 kilometer dari
Setrojenar. Sore harinya, selepas pulang mengajar anak-anak usia dini di balai desa, barulah ia mendapat
kabar dari tetangga: ada huru-hara di Setrojenar.
Khotijah melihat huru-hara itu. Ketika mencari anak sulung di rumah orangtuanya, ia menyaksikan
sekelompok tentara menggusah para petani sambil mengokang senjata. Suara tembakan itu datang dari sini.
Hatinya makin jeri karena ia tak menemukan si sulung. Saat berlari pulang, rupanya si anak sudah di
halaman rumah. Namun ia sama sekali tak terpikir tentang suaminya, Solekhan.
Sekitar pukul 11, sebelum terjadi tembakan, Solekhan pergi bersama Imam Zuhdi. Hari itu sejumlah warga
Setrojenar berziarah ke makam desa. Suami Ngasiyah, Seniman Martodikromo, juga ikut dalam rombongan
ziarah. Tetapi Ngasiyah tidak tahu tentang itu. Sebelum ia berangkat mengajar, memang ada empat orang
intelijen dari Polres Kebumen datang ke rumah menemui Seniman. Ngasiyah merasa biasa saja karena,
belakangan ini, rumah mereka sering kedatangan tamu. Sembari membuat teh, ia mendengar pertanyaan
tentang ziarah.
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 3 | 13
Berjam-jam kemudian Khotijah mengkhawatirkan Solekhan. Ia mengirim pesan pendek. Kata suaminya, ia
terlibat huru-hara siang itu dan lari ke Desa Ayam Putih. Karena Khotijah menyuruhnya pulang, Solekhan
kembali ke Setrojenar sore itu. Namun, selepas magrib, mereka mendengar desas-desus akan ada sweeping
oleh tentara. Sekira pukul 7 malam Solekhan mengungsi ke rumah abangnya di Desa Waluyo. Suami-suami
lain juga meninggalkan istri mereka. Kaum ibu yang ketakutan lantas berkumpul di musala di depan rumah
Khotijatun. Khotijatun turut bergabung. Suaminya pergi lagi sejak sore.
Di rumahnya, lepas magrib, Ngasiyah menerima pesan singkat dari suaminya, “Alhamdulillah, aku aman,
Bu.” Ngasiyah membalas, “Maksudnya apa, Pak?” Lewat pesan pendek, Seniman minta Ngasiyah untuk
tidak menghubungi lagi. Kendati bingung, ia pun menuruti. Ngasiyah melewati malam itu di rumah bersama
tiga anaknya yang masih balita dan ibu mertua yang tengah sakit. Tak terlintas dalam benaknya bahwa hal
buruk sedang menimpa suaminya.
Solekhan, Imam Zuhdi, dan Seniman tidak pulang hingga besok pagi. Malam itu tidak terjadi penyisiran.
ZIARAH 16 April digelar sebagai protes warga Setrojenar terhadap latihan senjata berat oleh unit pasukan
TNI Angkatan Darat di Urutsewu.
Tujuh hari sebelumnya, enam buah meriam Howitzer KH-178 kaliber 105 mm terlihat dibawa ke Dinas
Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD, sebuah bangunan hijau besar berhalaman luas,
dikelikingi pagar, dengan posko penjaga di pintu masuk. Properti ini bersebelahan dengan lapangan Desa
Setrojenar, sekira 500 meter dari pantai. Warga biasa menyebutnya sebagai “tangsi.” Meriam buatan Korea
Selatan itu menandakan akan ada latihan senjata dalam waktu dekat. Padahal, selama Januari-Maret 2011,
persoalan klaim tanah antara warga dan militer di Urutsewu dalam ketegangan tinggi. Latihan senjata
sewaktu-waktu bisa memanaskan suasana.
Pada 11 April, warga Setrojenar berdemonstrasi di halaman tangsi. Demo dikoordinatori Imam Zuhdi, kiai
Desa Setrojenar, tokoh perlawanan di desa itu. Pendemo membakar ban, membuat blokade di jalan-jalan
menuju tangsi, memasang spanduk protes, dan mengepung tangsi. Warga dari Kecamatan Ambal yang
membawa makanan untuk tentara dihadang dan dipukuli. Dari dalam tangsi, tentara siaga dengan senapan
di tangan. Kedua pihak siap bentrok.
Namun, pada malam hari, terjadi mediasi antara warga, diwakili organisasi Forum Paguyuban Petani
Kebumen Selatan, dan Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayjen Langgeng Sulistiyono. Forum Paguyuban
Petani adalah organisasi masyarakat yang diketuai Seniman Martodikromo. Pihak penengah adalah asisten
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 4 | 13
sekda Kebumen Adi Pandoyo. Kapolda Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, juga hadir di
sana. Mediasi memutuskan akan ada musyawarah dalam dua minggu ke depan dan, selama itu, tentara
dilarang latihan senjata di Urutsewu. Pengepungan bubar. Spanduk dan blokade dibiarkan terpasang oleh
warga.
Pada 15 April malam, warga desa mendengar kabar kalau tentara-tentara tetap menggelar latihan dengan
enam meriam tersebut. Lokasinya berpindah dari Setrojenar ke Kenoyojayan. Ini melanggar hasil mediasi.
Malam itu juga sejumlah warga Setrojenar dan pegiat Forum Paguyuban Petani merapat. Mereka
memutuskan untuk aksi esok hari dengan berziarah ke makam lima anak yang tewas pada Maret 1997.
Kelimanya meninggal setelah sebuah mortir yang mereka temukan di ladang meledak karena dipukul-
pukul. Mortir itu sisa latihan senjata yang luput dibersihkan.
Ziarah dimulai sekira pukul 11 siang. Sekitar 30 orang, termasuk perempuan, turut hadir. Dalam sebuah
rekaman yang dibuat Paryanto, anggota Forum Paguyuban Petani dari warga Setrojenar, tampak Imam
Zuhdi memimpin doa. Yang lain mengenakan pakaian ladang, duduk atau berjongkok, mengelilingi lima
kuburan tanpa nisan bertanda batu.
Solekhan duduk di samping Imam, sebuah caping tersandar di dekat punggungnya. Istrinya, Siti Khotijah,
tak ikut karena menjaga si bungsu. Sementara Seniman Martodkiromo duduk di belakang Imam. Empat
intel dari Polres Kebumen yang bertandang ke rumah Seniman pada pagi hari turut mengekor ke kuburan.
Orang-orang menyadari kehadiran mereka tapi tak mengindahkan. Doa selesai saat seseorang
menyampaikan kabar dari pesan pendek bahwa tentara-tentara tangsi baru saja mencopoti spanduk dan
membongkar blokade jalan.
URUTSEWU adalah nama non-administratif untuk kawasan pesisir selatan sepanjang Kebumen-
Purworejo, Jawa Tengah. Di Kebumen, Urutsewu meliputi enam kecamatan: Ambal, Buluspesantren,
Klirong, Mirit, Petanahan, dan Puring.
Tiga dari enam kecamatan itu punya kesamaan sejarah. Sejak 1937, Ambal, Buluspesantren, dan Mirit
adalah tempat latihan perang. Melewati tiga fase: kolonial Belanda, pemerintahan militer Jepang, dan
tentara republik. Ada 75 desa di tiga kecamatan itu, tetapi yang bersinggungan langsung dengan latihan
perang hanya 15 desa, letaknya berderet di pesisir selatan.
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 5 | 13
Peta kawasan Urutsewu (Cahyati, 2011)
Tentara Angkatan Darat mulai datang ke Urutsewu pada 1960-an untuk latihan senjata. Pada 1982, mereka
membangun gedung Dislitbang di Desa Setrojenar. Mereka membeli tanah dari pemerintah desa. Saat
menggelar latihan, militer selalu menyampaikan surat izin pemakaian lahan kepada pemerintah desa walau
kemudian tak dilakukan lagi.
Latihan senjata mulai jadi bibit perseteruan pada 1997 sewaktu lima anak tewas akibat mortir sisa latihan
di ladang warga. Setahun kemudian, seorang prajurit bernama Sersan Mayor Hartono mulai mengukur
tanah dan membuat peta area latihan. Hasilnya mengejutkan warga: lahan dalam peta dinamai “Tanah TNI-
AD” sepanjang 22,5 kilometer dan lebar 500 meter dari bibir pantai ke daratan. Luasan ini setara 1.125
hektar, memanjang dari Sungai Lok Ulo di barat hingga Sungai Wawar di timur. Klaim “tanah TNI-AD”
ini dimiliki pula warga desa sebagai lahan pertanian.
Klaim itu, dalam perkembangannya, memuluskan proyek Jaringan Jalan Lintas Selatan pada 2007. Klaim
tanah selebar 500 meter dinaikkan jadi 750-1.000 meter dan ditandai patok dari cor semen bertuliskan “TNI
AD”. Patok dipasang sepanjang 22,5 km. Karena proyek jalan itu melewati kawasan antara 500-1.000 meter
dari pesisir, Pangdam IV/Diponegoro mengirim surat permintaan ganti rugi atas “Tanah TNI AD” kepada
gubernur Jawa Tengah. Ganti rugi itu dikabulkan.
Klaim itu mengabaikan hak milik warga, secara individual maupun masyarakat. Menurut Widodo Sunu
Nugroho, Kepala Desa Wiromartan saat ini, pada 2014 otoritas TNI AD bahkan meminta warga yang
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 6 | 13
mengklaim tanah untuk menunjukkan sertifikat. Bila tak dapat membuktikan, tanah itu serta merta jadi
milik tentara.
Padahal, “Sertifikat itu tahap akhir untuk menunjukkan hak milik yang dikeluarkan oleh BPN (Badan
Pertanahan Negara),” kata Ahmad Nashih Luthfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional di Yogyakarta
yang meneliti status tanah Urutsewu.
Selain sertifikat, ada bukti kepemilikan lain seperti Surat Keterangan Tanah, Letter C, maupun keterangan
dari kepala desa. “Masyarakat tidak peduli punya surat (sertifikat) atau tidak. Tapi yang paling kuat itu
sertifikat oleh BPN. Tapi (tidak memiliki sertifikat) bukan berarti tidak punya bukti,” ujar Luthfi.
Di masa lalu, tidak semua tanah pesisir Urutsewu bersertifikat. Ini karena konsep communaal individueel
bezit, yakni tanah milik komunal yang dikerjakan individu dan hasilnya dimiliki individu itu, atau
dinamakan tanah gogolan. Adapula disebut tanah yasan, dimiliki bukan dari hasil pembelian melainkan
dari membuka lahan. Di atas tanah pesisir itu berkembang pertanian hortikultura, pertanian garam, dan
peternakan.
Model kepemilikan itu berubah setelah ada pengaturan administrasi di bawah sistem regulasi agraria
kolonial. Salah satu yang mencolok, pemerintah kolonial mengatur tanah selebar 150-200 meter dari bibir
pantai ke darat menjadi milik negara. Penandanya berupa patok, yang penamaannya berbeda di tiap desa.
Warga Desa Setrojenar menyebutnya pal budheg, artinya tonggak yang tak perlu dihiraukan, sebagai bahasa
perlawanan yang memandang areal tanah mereka dari daratan hingga batas laut.
Pada 24 September 1960 pemerintah Sukarno mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria. Dari aturan
terbaru itu para pemilik tanah di Urutsewu ramai-ramai mengajukan ke Departemen Agraria untuk dibuat
sertifikat. UUPA berperan mencabut hak “domein verklaring,” penguasaan negara secara otomatis atas
tanah tanpa hak milik, satu aturan dari warisan hukum kolonial. UUPA, pendek kata, menguatkan hak
individu atas tanah.
Namun, pergantian kekuasan dari Sukarno ke Soeharto lewat pembantaian massal sejak 1965 mengacaukan
sumbangsih terbaik dari UUPA. Belied yang didukung Partai Komunis Indonesia itu secara otomatis
distigma buruk seiring rezim baru yang membunuh ratusan ribu orang yang dituduh atau dianggap
simpatisan komunis, diikuti pula pemenjaraan puluhan ribu orang. Ini berimbas pula pada warga di
Urutsewu. Mereka takut mengakui sertifikat dari hasil UUPA.
Selama pemerintahan Soeharto, militer menikmati keistimewaan, dari jabatan publik hingga kepemilikan
bisnis. Di Urutsewu, sejak ada klaim tanah oleh tentara pada 1998, muncul perlawanan kendati masih
terpecah. Warga Desa Setrojenar yang paling sengit melawan, selain desa ini menjadi pusat latihan militer
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 7 | 13
juga lokasi tangsi. Pada 2006, beberapa organisasi di Kecamatan Ambal dan Buluspesantren menyatu dalam
Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan.
Sementara warga Desa Wiromartan di Kecamatan Mirit, satu dari tiga kecamatan yang terimbas konflik
lahan, tak pernah mendengar bunyi dentuman meriam dari Setrojenar. Sentimen perlawanan dari desa ini
muncul pada 2008 saat ada rencana tambang pasir besi. Otoritas Kebumen memberikan izin eksplorasi pasir
besi kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang. Lokasinya di enam desa pesisir di Kecamatan Mirit, termasuk
Desa Wiromartan. Menurut Masagus Herunoto dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kebumen, izin
tambang ini membutuhkan rekomendasi Pangdam Diponegoro—dengan kata lain, menunjukkan sikap
pemerintah yang menilai militer berkuasa atas tanah pesisir Urutsewu.
Izin tambang untuk PT Mitra ditengarai ada faktor koneksi. Komisaris PT Mitra adalah Mayjen (Purn)
Rianzi Julidar, alumni Akademi Militer tahun 1973, seangkatan dengan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Saat persetujuan diteken oleh Kasad Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo dan Pangdam
IV/Diponegoro Mayjen Haryadi Soetanto, pada 2008, Rianzi menjabat sebagai koordinator staf ahli Kasad.
Izin macam ini tak diketahui secara terbuka. Warga Urutsewu belakangan mengetahui keterlibatan militer
dalam proses izin itu dari Devy Dhian Cahyati, mahasiswi Universitas Indonesia yang meneliti kasus itu
pada 2011.
Dari sana, warga mengajukan protes dengan melakukan demonstrasi di kantor legistalif daerah. Ia juga
melahirkan organisasi perlawanan di Kecamatan Mirit bernama Forum Masyarakat Mirit Selatan.
Organisasi ini, bersama Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan, memotori penolakan tambang dengan
melakukan demo dan desakan bertemu dengan bupati dan politisi daerah. Sementara advokasi itu terus
jalan, di sisi lain, eksplorasi tambang juga terus jalan.
Warga Urutsewu kian terdesak dari sisi regulasi sesudah para politisi dan pemerintah daerah mengatur apa
yang disebut “rencana tata ruang dan wilayah”—biasa disingkat RTRW—untuk daerah Kebumen periode
2011-2031. Salah satu poinnya, menetapkan Urutsewu sebagai kawasan pertahanan dan keamanan. Ia juga
mencantumkan Kecamatan Ambal, Buluspesantren, dan Mirit sebagai wilayah penambangan pasir besi.
Konsep itu bertubrukan dengan aturan serupa di tingkat provinsi Jawa Tengah yang menetapkan kawasan
pantai selatan sebagai daerah rawan tsunami. Artinya, gumuk pasir—sumberdaya alam di Urutsewu—
merupakan salah satu pengurang risiko tsunami.
Perda yang mengatur tata ruang dan wilayah itu disahkan pada 2012. Sebaliknya, izin eksploitasi sudah
diteken pada Januari 2011. Warga menanggapinya dengan amarah. Alat-alat berat tambang yang datang ke
Wiromartan dan Lembupurwo disegel. Saat perda disahkan, warga berdemonstrasi ke kantor dewan.
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 8 | 13
Imam Zuhdi mengatakan “masyarakat terusik dan merasa tanahnya diklaim” sejak ada pemetaan tanah
diiringi patok cor oleh militer. Ini menunjukkan perubahan pola relasi antara warga dan tentara yang
sebelumnya memandang tanah itu sebagai milik bersama: yang bertani tetap bertani namun, pada waktu
tertentu, tentara bisa memakainya untuk latihan.
“Kalau mau latihan cukup pakai bendera merah atau bambu. Ini kenapa dipatok?” kata Imam Zuhdi.
Ditambah lagi, ujar Imam, Pangdam Diponegoro mengancam dengan kalimat yang samar bahwa “TNI akan
bertindak bila warga bertindak.”
Pada Juli 2009, Bupati Kebumen Mohammad Nashiruddin Al Mansyur mengatakan, selama urusan
kepemilikan tanah belum jelas, jangan ada latihan alutsista.
“Tapi (TNI) tetap latihan,” ujar Imam.
Puncaknya, kedatangan enam meriam ke Setrojenar pada 9 April 2011. Itu ditentang warga lewat aksi
penolakan terbuka dua hari kemudian dengan memasang spanduk dan blokade jalan. Tentara merespons
dengan mencabut dan membongkarnya pada 16 April. Ini mendidihkan amarah.
PARA peziarah segera menuju ke salah satu blokade jalan di dekat tangsi. Warga lain telah berkumpul di
titik itu. Mereka tak menjumpai para serdadu. Mereka lantas menyeret balok dan potongan-potongan kayu
untuk menyusun ulang blokade.
Sementara Solekhan terlihat di tengah massa, Imam Zuhdi memerhatikan dan pergi ke warung kopi
terdekat. Adapun Seniman Martodikromo hanya melihat sebentar, lantas pergi ke rumah Sarmo, dipisahkan
lapangan dari tangsi, dan duduk sebentar bersama kaum pria di teras.
Massa yang menyusun blokade lantas bergerak ke utara untuk melihat blokade dan titik spanduk lain.
Solekhan turut dalam rombongan ini. Mereka bergerak hingga ke gapura di dekat kantor Kecamatan
Buluspesantren. Gapura itu dibangun tentara-tentara Angkatan Darat. Solekhan, mungkin didorong arus
massa, mungkin pula digerakkan amarah yang menumpuk, menyaksikan gapura itu dirobohkan dan ia pun
terlibat sebagai eksekutor yang mengayunkan kapak ke tiang besi gapura. Semua ini terjadi begitu saja,
tanpa rencana.
Beberapa orang merekam peristiwa itu, termasuk Paryanto dari Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan
dan para intel dari kepolisian dan Kodim. Setelah gapura roboh, massa bergerak kembali ke selatan,
melewati tangsi, menuju gudang mesiu yang terbengkalai. Di sana, massa meruntuhkan atap. Tak lama
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 9 | 13
kemudian warga mendapat kabar: ada rombongan tentara bersenjata datang dari utara menuju posisi
mereka.
Solekhan ingat bagian itu. Ada yang bicara untuk tidak takut dengan tentara. “Sekarang sudah ada HAM,
tidak mungkin tentara akan menembak warga,” kata orang itu.
Kata-kata itu melenyapkan kegentaran mereka. Massa bergerak ke utara, menyongsong arah kedatangan
tentara. Di satu titik tempat blokade, mereka berhenti, terdiam memandang barisan tentara berbanjar empat
di kejauhan. Seorang saksimata melihat intel yang mengikuti mereka, dibonceng di atas sepedamotor,
melewatinya sambil mengibarkan sapu tangan putih.
Mendadak letusan pertama terdengar. Tembakan itu datang dari arah barat. Itulah yang membuat warga
yakin mereka dikepung.
Senapan-senapan lain menyalak. Hujan peluru karet. Orang-orang panik. Berlari. Tentara menyergap.
Memukul.
Seorang kakek tergeletak pingsan di sekeliling tentara. Darah menggenang. Seorang saksimata
menghampirinya, mengelap darah dari kepala si kakek. Ia berteriak kepada tentara-tentara di sekitar,
“Panggil ambulans! Kalau dia sampai mati, kalian melanggar HAM!” Belakangan, kakek itu bukan bagian
dari massa, ia kena gebuk sepulang dari menyadap nira yang, pada saat kebetulan, melintasi jalan titik
kejadian penembakan.
Solekhan ikut kena gebuk. Ia lari menjauh hingga ke desa tetangga. Sementara Imam Zuhdi dan warga lain,
yang duduk di warung dekat tangsi, ikut digeruduk tentara. Mereka semua berhamburan. Imam lari ke
rumah dan salat di musala.
Seniman Martodikromo dan orang-orang di teras rumah Sarmo juga tak luput dari amukan tentara. Ia
sempat melihat rombongan tentara dari utara menuju selatan, ke arah rumah mesiu, tapi tak menyangka
bakal terjadi bentrok fisik. Sebagian dari tentara itu berbalik, termasuk menghampiri rumah Sarmo. Tanpa
introduksi, seorang tentara menghantam bahu Seniman dengan popor, lalu memukulnya dengan pentungan.
Sarmo juga dipukul dengan pentungan di kepalanya.
Seorang tentara lain mengokang senapan ke atas. Lalu moncongnya diturunkan. Mengarah pada Seniman.
Ia memucat. Rasa gentar menyerbu dirinya. Dengan gemetar, ia mengangkat kedua tangan. Aku akan mati,
batinnya.
Senapan itu menyalak. Sebuah peluru melesat. Menembus kopiah hingga terpental. Ia melihat dirinya tak
terluka. Tentara itu berlalu.
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 10 | 13
Seniman lemas setengah mati. Melihat Sarmo tergeletak, bersama empat orang lain, ia mengangkat tubuh
itu ke dalam rumah.
SENIMAN Martodikromo lari menuju rumah Imam Zuhdi. Di jalan, ia melewati rumah Tukir. Ada
kerumunan di halaman. Ia bergabung dan mendapat cerita tentang apa yang sedang berlangsung.
Kerumunan itu bubar karena kedatangan serombongan tentara. Mereka menuju rumah Kiai Dolah di
seberang rumah Tukir.
Bersama beberapa orang, Seniman bersembunyi di bawah ranjang di dalam rumah Tukir. Kabarnya,
tentara-tentara itu mencari Seniman. Di rumah Kiai Dolah, tentara memberondongkan peluru dan
mendobrak pintu, lalu berbalik pergi.
Tapi tentara-tentara itu datang lagi. Seniman mendengar tembakan. Di rumah lain, tentara menembaki
kasur-kasur. Istri Tukir sigap menyembunyikan Seniman di bawah rak piring, ditutupi tumpukan ikatan
padi. Ketika tentara memasuki rumah, istri Tukir menyergah, “Tidak ada orang di sini!”
Peristiwa itu terjadi selepas dhuhur. Sekira pukul 2 siang, sejumlah warga ditangkap dan digelandang ke
tangsi. Beberapa warga diangkut dengan truk. Sebagian diinterogasi di tangsi. Letusan senapan masih
terdengar hingga magrib.
Menurut rilis resmi militer, pasukan yang turun siang itu dari satuan setingkat peleton Batalyon Infanteri
403/Wirasada Pratista. Pasukan ini dipimpin komandan Letkol Infanteri Satrijo Pinandojo. Markasnya di
Kentungan, Sleman, Yogyakarta. Satu peleton biasanya terdiri 30-50 serdadu. Tapi Imam Zudhi berkata ia
melihat dua kompi keluar dari tangsi, atau sekitar 3-4 peleton.
Devy Dhian Cahyati, mahasisiwi yang meneliti kasus konflik lahan dan dalam momen krusial itu di lokasi
kejadian, menyebut angka 50-100 serdadu dikerahkan untuk menghadapi demonstrasi warga pada 16 April
itu. Devy ikut ditangkap. Ia dibawa ke tangsi bersama warga desa lain, diinterogasi dengan nada keras. Ia
sempat dibawa ke rumahsakit Kebumen sebelum dipindahkan ke Kepolisian Resor Kebumen.
Isu penyisiran pada malamnya bikin kaum lelaki di Setrojenar bersembunyi ke tempat lain. Seniman tidur
di kuburan tempat mereka ziarah. Imam Zuhdi dibawa ke Polres Kebumen. Di sana ia bertemu Devy.
Solekhan, lari hingga Desa Ayam Putih, kembali ke Setrojenar setelah ditelepon istrinya, Siti Khotijah.
Pukul 10 malam, ia mendapat telepon dari abangnya, ada polisi yang minta bertemu di depan kantor
Kecamatan Buluspesantren. Abangnya merayu sambil menenangkan, “Paling cuma ditanya-tanya.” Ia
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 11 | 13
menurut. Saat tiba, seorang polisi telah menunggu. Polisi menanyakan banyak nama lalu mengajaknya
menuju Polsek Buluspesantren. Saat itu ia tak tahu kalau ditangkap. Sesampai di Polsek, Solekhan langsung
dimasukkan di balik tahanan. Keesokan pagi ia dipindahkan ke Polres Kebumen.
Khotijah melewati malam itu dengan tegang dan melelahkan. Ia harus menangani sendiri seekor sapi yang
melahirkan dini hari. Sewaktu pagi ia mendengar Solekhan ditahan, tubuhnya mendadak lemas.
Sementara Siti Khotijatun, istri Imam Zuhdi, melihat suaminya pulang ke rumah pada esok hari.
Adapun Ngasiyah, istri Seniman, baru bisa bertemu suaminya di Kebumen tiga hari sesudah peristiwa
penembakan. Suaminya mengungsi di rumah kenalan di Kebumen. Selama itu, Ngasiyah mendapat kabar
simpang-siur kalau Seniman telah meninggal. Seniman kembali ke rumah pada hari Jumat atau enam hari
setelah insiden itu. Ia membawa perasaan cemas menyusul kabar kalau ia jadi buronan tentara.
PERISTIWA penembakan 16 April menjadi sorotan berita utama. Paryanto, warga Setrojenar dari Forum
Paguyuban Petani Kebumen Selatan, berhasil kabur menyelamatkan rekaman. Video itu kemudian dirilis
untuk membuktikan kebrutalan kesatuan tentara dari Kodam Diponegoro.
Pada tahun-tahun selanjutnya, tanggal 16 April terus diperingati. Ini juga menandakan perubahan dramatis
antara warga dan tentara atas klaim tanah itu kian sengit dan saling curiga. Atau, dalam bahasa Paryanto,
“Sekarang mau lihat wajah (tentara) saja malas.”
Tentara menjadi sosok lain dalam benak anak-anak. Ketika melihat tentara, anak-anak mengadu khawatir
kepada ibu mereka, “Mak, ana tentara kuwe...” Anak lelaki Siti Khotijah dan Solekhan bahkan benci
tentara.
Usai peristiwa 16 April, Solekhan menghadapi proses persidangan. Pada 8 September 2011, Pengadilan
Negeri Kebumen memvonisnya enam bulan penjara karena merusak gapura. Dua warga lain dihukum lima
bulan karena menganiaya warga Ambal yang hendak mengirim makanan kepada tentara.
Saat vonis dijatuhkan, Siti Khotijah pingsan. Selama suaminya di balik jeruji, ia tak pernah bisa jenak
berpikir. Selama ini ia bersama suami mendapat penghasilan dari berdagang makanan di pantai Setrojenar.
Lebaran tahun 2011 berlalu dengan perasaan haru tanpa suami.
Ada 13 orang yang tercatat mengalami luka-luka. Itu jumlah yang dibawa ke rumahsakit. Enam warga
terkena peluru karet dan satu warga tertembus peluru tajam. Duabelas sepedamotor rusak dan disita di
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 12 | 13
tangsi. Salah satunya milik Devy Dhian Cahyati. Sampai hari ini motor itu tak pernah dikembalikan.
Beberapa ponsel dan perekam dirampas. Rekaman dihapus sebelum alat perekam dikembalikan.
Devy nyaris juga dipidanakan. Namun ia dibela oleh ketua legislatif daerah Kebumen bahwa ia datang
sebagai peneliti dan sudah dapat izin dari pemerintah kabupaten. Devy harus menghadapi tuduhan sebagai
provokator dari media-media di internet.
Imam Zuhdi, bersama istrinya, terus menjalani kehidupan sebagai petani. Pagi ia bertani di lahan sewa
dekat menara intai militer—warga menyebutnya “rumah tingkat”—dekat dari tangsi. Sorenya ia mengajar
anak-anak mengaji di rumah. Mereka tetap tinggal di Setrojenar.
Tidak ada tindakan hukum atas penembakan, pemukulan, dan perusakan oleh unit pasukan dari Kodam
Diponegoro. Justru yang muncul sesudah kejadian adalah spanduk bernada provokatif. Isinya melabeli
perlawanan warga petani terhadap klaim tanah oleh tentara sebagai “bahaya laten komunisme/ PKI”—satu
bahasa lazim yang dipakai institusi resmi militer dan paramiliter di Indonesia. Komandan Yonif pasukan
yang turun saat itu, dua bulan setelah kejadian, dilantik sebagai komandan Kodim 0732/Sleman.
Klaim tanah 1.000 meter oleh tentara telah diturunkan menjadi 500 meter. Pada 2013, batas 500 meter itu
tak lagi ditandai patok tapi pagar kawat setinggi tiga meter. Pagar itu terpasak di Kecamatan Mirit. Ia
membelah kebun-kebun semangka dan cabai, termasuk kebun milik Siwun, petani Desa Mirit Petikusan.
Malahan, para petani setempat yang mengerjakan pagar itu.
“Mau kita yang ngerjakan atau enggak, pasti (pagar) tetap berdiri. Jadi, daripada orang lain yang dibayar,
lebih baik saya yang ngerjakan,” ujar Siwun. Ia dibayar Rp 50 ribu/ hari. Selama membangun pagar, ia
tidak bertani.
Di Setrojenar hingga Mirit Petikusan, pada hari-hari tertentu, latihan persenjataan alat berat tentara-tentara
Angkatan Darat masih berlangsung sampai sekarang. Saat ada latihan, area pesisir disterilkan dan ada
pengumuman lewat masjid sehari sebelumnya. Warga tak melihat senjata-senjata itu, namun dentum
meriam menggema hingga radius 1-2 kilometer.
Siti Khotijah berpendapat, pengosongan pantai saat latihan tentara bertujuan mengusir warga-warga
setempat yang berjualan di sana. Kini para istri tentara turut berjualan di pantai.
Saya datang ke Setrojenar tepat ketika latihan senjata berlangsung, akhir September 2014. Dari rumah Siti
Khotijah, dentuman meriam terdengar beruntun tiap 15 menit sekali. Gemanya membuat pintu dan kaca
jendela bergetar, mengingatkan pada film-film perang. Tak terbayangkan hidup dengan suara-suara itu
seumur hidup.*
PINDAI.ORG – Bara di Urutsewu / 26 Desember 2014
H a l a m a n 13 | 13
---------------
*Prima Sulistya Wardhani. Penulis lepas, aktif di organisasi Gerakan Literasi Indonesia dan redaktur
literasi.co. Twitter: @mahisa_cempaka