View
234
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit
yang banyak dijumpai dan mencapai 29,1% dari populasi dengan berbagai
faktor resiko (hipertensi, diabetes, proteinuria) (Suhardjono, 2009).
Prevalensi pasien dengan penyakit ginjal kronik semakin hari
semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya populasi lanjut usia dan
meningkatnya jumlah pasien dengan diabetes dan hipertensi (Thomas et al,
2008). Pasien dengan penyakit ginjal kronik mempunyai resiko lebih besar
untuk meninggal karena penyakit kardiovaskuler dibandingkan karena
gagal ginjal. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa mempunyai resiko 10-30 kali lebih besar terjadi kematian
karena penyakit kardiovaskuler, mempunyai resiko tinggi untuk menderita
penyakit jantung, arterial vascular diseasedankardiomiopati (Sarnak et al,
2003).
Terdapat peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien
penyakit ginjal kronik terutama karena penyakit jantung vaskuler (PJV).
Peningkatan terutama ditemukan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA) yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG). Angka mortalitas
penyakit ginjal tahap akhir yang diterapi dengan hemodialisis tiga kali
seminggu diperkirakan antara 14-26% di Eropa dan 24% di Amerika Serikat
dan lebih dari 50% kematian disebabkan oleh komplikasi jantung vaskuler,
oleh karena itu mortalitas jantung vaskuler 10-20 kali lebih tinggi daripada
populasi umum (Rayner, 2004).
Peningkatan inflamasi dan stres oksidatif merupakan faktor resiko
non tradisional yang penting untuk penyakit jantung vaskuler yang
teridentifikasi pada pasienpenyakit ginjal kronik(Kendrick dan
2
Chonchol,2008). Dalam hal ini inflamasi kronis dan stres oksidatif lebih
ditekankan dan mekanisme sinergiskeduanya mempresentasikan kontributor
penting perkembangan dan progresi percepatan proses aterosklerosis yang
dihubungkan dengan penyakit jantung vaskulerdanpenyakit ginjal
kronik(Cachofeiroet al, 2008).Penyakit kardiovaskuler merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada pasienpenyakit ginjal
kronikdibandingkan populasi umum yang dapat menyebabkan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal
kronik(Collins, 2003; Sarnak et al 2003).
Beberapa kelainan patologik dan manifestasi klinik penyakit
kardiovaskuler pada penyakit ginjal kronikterdapat kelainan pada arteri
(aterosklerosis, arteriosklerosis). Aterosklerosis adalah radang pada
pembuluh darah disebabkan oleh penumpukan plak ateromatous pada tunika
intima, sedangkan arteriosklerosis adalah suatu remodeling dari arteri besar
disertai dengan kalsifikasi tunika media dan berkurangnya elastisitas arteri
(Campean et al, 2005). Presentasi klinis terjadi pada populasi umum antara
lain penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovascular, penyakit vaskuler
perifer atau gagal jantung (Suhardjono, 2009).
Beberapa faktor resiko kardiovaskular dan disfungsi endotel dapat
merangsang Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Oxidase
(NADPH oksidase) pada mitokondria sehingga enzim tersebut akan
mengekskresikan stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan terjadinya
disfungsi endotel. Disfungsi endotel akan meningkatkan progresifitas
aterosklerosis (Gibbons GH, 1997).
Pasien penyakit ginjal kronikberada pada suatu kondisi dengan
status inflamasi kronik yang dihubungkan dengan kalsifikasi vaskuler. Pada
penelitian observasional menunjukkan adanya hiperphospatemia, tingginya
kadar hormon paratiroid dan meningkatnya kalsifikasi vaskuler merupakan
faktor resiko penyakit kardiovaskuler pada penyakit ginjal kronik.Pada
pasien penyakit ginjal kronikdengan hiperparatiroid sekunder terjadi
peningkatan kadar sitokin pro inflamasi sehingga regulasi dari inflamasi
3
vaskuler sistemik dan proses kalsifikasi merupakan masalah penting pada
pasien penyakit ginjal kronikyang menjalani hemodialisis (Tentori et al,
2008).
Hormon Paratiroid (PTH) dan vitamin D berperan dalam
homeostasis mineral dan tulang. Fungsi utama dari PTH-vitamin Dadalah
untuk mempertahankan kadar kalsium serum dengan merangsang produksi
1,25-dihydroxyvitamin D atau 1,25(OH)2 vitamin D atau Calcitrioldan
penurunan ekskresi kalsium urin olehginjal. Paratiroid Hormon
meningkatkan kalsium dari tulang. Sekresi Paratiroid Hormon diatur oleh
calsium sensing reseptor (CASR) terletak di kelenjar paratiroid, merespon
kalsium serum terionisasi dengan meningkatkansekresi Paratiroid Hormon,
84 asam amino peptida dengan Paratiroid HormonReseptor 1 (PTHR1) G
protein-coupled reseptor padatubulus ginjal dan osteoblas/osteosit dalam
tulang. Paratiroid Hormonmerangsang produksi1,25(OH)2 vitamin Datau
Calcitrioldalam tubulus proksimal dengan meningkatkanCytochrome p450
27B1 (CYP27B1) dan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal
melalui regulasi Transient Receptor Potential Cation Channel Subfamily V
member 5(TRPV5)(De Groot,2009). Paratiroid Hormon dalam
tulang,meningkatkan kalsium dan fosfat melaluistimulasi Receptor
Activator of Nuclear Factor Kappa-B Ligand (RANKL) oleh osteoblas yang
pada gilirannya merangsang resorpsi tulang oleh osteoklas. Meningkatnya
produksi 1,25(OH)2 vitamin Datau Calcitriol oleh ginjal dan usus kecil
untuk meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfat. Meningkatnya fosfat
dari tulang dan masuknya dari jalur gastrointestinal adalahseimbang dengan
efek Paratiroid Hormon menurunkan reabsorbsi fosfat oleh tubulus ginjal
untuk menjaga keseimbangan fosfat netral.
Penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa rendahnya kadar 25-
hydroxyvitamin Datau 25(OH) vitamin D berhubungan dengan
meningkatnya resiko penyakit jantung vaskuler (Yanet al, 2013). Penelitian
lain menyebutkan bahwa rendahnya kadar vitamin D pada pasien penyakit
ginjal kronik baik pre dialisis maupun yang menjalani dialisis berhubungan
4
erat dengan peningkatan mortalitas dan kejadian kardiovaskuler (Pilz et al,
2011).
Penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronikdisertai dengan
penurunan produksi 1,25-dihydroxyvitamin D atau 1,25(OH)2 vitamin D
atau Calcitriol, dimulai pada penyakit ginjal kronikstadium 2 yang secara
progresif bertambah rendah dengan bertambahnya stadium penyakit.
Rendahnya kadar 1,25-dihydroxyvitamin D (Calcitriol) tersebut beberapa
efek samping pada pasien penyakit ginjal kronikmeliputi gangguan pada
homeostasis mineral tulang dan hormon paratiroid, kalsifikasi ekstraskeletal
dan terganggunya fungsi biologi multiorgan (Moscovici dan Sprague,
2007).
1,25-dihydroxyvitamin D (Calcitriol)dikenal merupakan terapi lini
pertama yang dapat menekan kadar hormon paratiroid pada pasien penyakit
ginjal kronikdengan hiperpartiroid sekunder. Selain menekan kadar hormon
paratiroid, vitamin D juga dapat memodulasi respon imun dan diferensiasi
sel. Karena efek tersebut diharapkan dapat mengontrol status inflamasi pada
pasien penyakit ginjal kronikdan pemberian vitamin D dapat menekan
mortalitas pada pasien penyakit ginjal kronik. 1,25-dihydroxyvitamin D
(Calcitriol)juga mencegah nefrosklerosis dan memperlambat progresivitas
penyakit ginjal kronik melalui efek anti inflamasi dan anti proliferatifnya
(Teng et al, 2003).
Peran 1,25-dihydroxyvitamin D (Calcitriol)sebagai anti inflamasi
melalui penekanan pada jalur Nuclear Factor kB (NF-ĸB), dimana jalur
Nuclear Factor kBini sangat berperan penting dalam progresivitas penyakit
ginjal, karena jalur tersebut akan memicu inflamasi dan fibrogenesis melalui
pelepasan sitokin pro inflamasi (Lang, 2014). Peran vitamin D aktif dalam
mengatasifibrosis ginjal dan disfungsi ginjal pada beberapa jalur patogen
berkorelasi antara menurunnya vitamin D aktif pada ginjaldan rendahnya
kadar serum 1,25(OH)2D3atau Calcitriol sering dikaitkan denganpenurunan
fungsi ginjal (Llach dan Yudd,1998).
5
Fibroblast Growth Factor-23(FGF-23) disekresi oleh tulang dan
ginjal untuk mengatur metabolisme vitamin D dan fosfat di ginjal
(Yamashita,Yoshioka, Itoh, 2000). Fibroblast Growth Factor-23berinteraksi
dengan reseptor FGF (FGFRs) sebagai kofaktor klotho (Goetz, 2007).
Klotho memfasilitasi pengikatanFibroblast Growth Factor-23ke Fibroblast
Growth Factor Reseptor 1c (FGFR1c, FGFR3c dan FGFR4). (Kurosu,
2006; Urakawa, 2006). Fibroblast Growth Factor Reseptor (FGFRs)
mengandung sinyal transducingekstraseluler liganbinding domain dan
intraselulertirosine kinase domain. Ekspresi klothomenentukan spesifisitas
fungsi jaringanFibroblast Growth Factor-23(Kurosu, 2006; Torres, 2007).
Fibroblast Growth Factor-23(FGF-23)adalah tumor yang
melepaskanFibroblast Growth Factor-23, menghasilkan
hypophosphatemiadan penurunan kadar serum 1,25 (OH)2 vitamin D
(White KE,2000; Shimada, 2004).Sebaliknyatikus atau manusia
denganpenurunanFibroblast Growth Factor-23atau denganpenghapusan
Klotho sebagai koreseptor penting untukFibroblast Growth Factor-23,
hyperphosphatemia dan peningkatan serum 1,25 (OH)2 vitamin D3
(Kurosu, 2006; Araya, 2005). Di samping
itu, klothomRNAdan protein yang ditampilkan,Fibroblast Growth Factor-
23konsentrasinyajauh lebih besar di ginjaldaripada di
setiaporgan. Ditentukanolehreseptor Klotho Fibroblast Growth Factor
Reseptor 1c (FGFR1c) heterodimer di tubulusdistal ginjal (Farrow, 2009).
Klotho tidakhanya terdapat
di ginjal tetapi juga padaorgan lain.Ekspresi klotho terdapat
di ginjal, sinoatrialnode hati,pleksus koroiddan paratiroid. Fibroblast
Growth Factor-23mengikatKlotho-Fibroblast Growth Factor Reseptor
1c(FGFR1c) heterodimer dan mengaktifkanjalur
transduksi MitogenActivated ProteinKinase(MAPK),
menyebabkanpenurunan Sodium Phosphate Cotransporter 2a(NaPi2a)
ginjal dan
fosfaturiasertapenghambatan 25(OH) vitaminD1ase(OH), Cytochrome
6
p45027B1 (CYP27B1),penurunankadarserum 1,25(OH)2 vitamin D.
Pleksus koroid klotho memilikiperandalamtransfer kalsium yang dimediasi
olehNatrium/ Kalium ATPase (Na+/K
+ ATPase).(Kurosu, 2006; Urakawa,
2006).
Albuminuria sangat penting sebagai marker disfungsi endotel pada
seluruh pembuluh darah baik pada ginjal, jantung koroner dan serebral. Bila
terjadi kenaikan albuminuri (mulai dari mikroalbuminuri) akan terjadi
meningkatnya resiko reno kardio serebral vaskuler, sehingga perlu
diantisipasi untuk mencegah peningkatan resiko tersebut. Keadaan
mikroalbuminuri harus diperhatikan sebab merupakan tanda peningkatan
resiko reno kardio serebro vaskuler dan kondisi tersebut masih reversibel,
sehingga faktor pemberat (hipertensi, hiperlipidemi, diabetes mellitus) harus
dikendalikan. Bila sudah terjadi makroalbuminuri, proses disfungsi endotel
menjadi iriversible, sehingga tidak bisa membuat normal target organ tetapi
hanya berusaha mengurangi progresifitas kerusakan target organ (Purwanto
B, 2012).
Kaitan antara mikroalbuminuria dengan komplikasi kardiovaskular
sebetulnya belum jelas, akan tetapi mikroalbuminuria dapat terjadi karena
disfungsi endotel atau merupakan konsekuensi penyakit vaskular secara
umum. Disfungsi endotel dan inflamasi kronik dapat menerangkan kaitan
antara mikroalbuminuria dengan kelainan kardiovaskular yang terjadi
kemudian (Brantsma, 2006).
Studi lain, mikroalbuminuria sebagai prediktor dan prognosis
infark miokardial. Studi ini menunjukkan bahwa pendekatan melalui
pengukuran albumin dalam urin ini cukup efektif dalam mencegah penyakit
jantung dan pada beberapa kelompok dengan resiko tinggi terjadinya
albuminuria menjadi sangat bermanfaat (Gansevort, 2009; Newman dan
Price, 2001).
Studi tentang albuminuria sebagai predictor hemorrhagic
transformation pada acute ischemic stroke dengan kesimpulan bahwa rata-
rata kadar albuminuria pada derajat klinis ringan lebih rendah daripada
7
kadar albuminuria pada derajat klinis sedang dan terdapat hubungan
bermakna antara derajat klinis penderita stroke iskemik dengan kadar
albuminuria (Pedrinelli, 1994).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Adakah pengaruh 1,25 Dihydroxyvitamin D (Calcitriol) terhadap kadar
Fibroblast Growth Factor-23 pada pasien Penyakit Ginjal Kronikstadium
V yang menjalani hemodialisis
1.2.2 Adakah pengaruh 1,25Dihydroxyvitamin D(Calcitriol)terhadap albuminuria
pada pasien Penyakit Ginjal Kronikstadium V yangmenjalani hemodialisis
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh 1,25
DihydroxyvitaminD (Calcitriol)terhadapkadar Fibroblast Growth Factor-
23 dan albuminuria pada pasienPenyakit Ginjal Kronikstadium V yang
menjalani hemodialisis
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Membuktikan adanya pengaruh1,25DihydroxyvitaminD
(Calcitriol)terhadap kadar Fibroblast Growth Factor-23 pada pasien
Penyakit Ginjal Kronikstadium V yang menjalani hemodialisis
1.3.2.2 Membuktikan adanya pengaruh 1,25DihydroxyvitaminD (Calcitriol)
terhadap albuminuria pada pasien Penyakit Ginjal Kronikstadium V
yang menjalani hemodialisis
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Memberikan bukti empiris terhadap teori bahwa 1,25 DihydroxyvitaminD
(Calcitriol)akan berpengaruh terhadap kadarFibroblast Growth Factor-23
dan albuminuria sehingga menurunkan kalsifikasi vaskuler yang pada
akhirnya mengurangi progresifitas penurunan fungsi ginjal
8
1.4.2 Manfaat Terapan
1,25 DihydroxyvitaminD (Calcitriol)dapat menurunkan kalsifikasi vaskuler
sehingga dapat menghambat aterosklerosis yang akhirnya mengurangi
morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronik
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1Penyakit Ginjal Kronis
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologi
dengan etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal secara progresif dan pada umumnya akan berakhir dengan
gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu
derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis
atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).
Batasan Penyakit Ginjal Kronik pada pedoman Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (KDOQI) adalah kerusakan ginjal yang terjadi
selama lebih dari tiga bulanberdasarkan kelainan patologik atau petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria. Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative(KDOQI) membuat klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik dalam 5
tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal yang dinilai dengan laju
filtrasi glomerulus (LFG) seperti terlihat pada Tabel 2.1 (KDOQI, 2002).
Tabel 2.1. Kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2014)
Kriteria PGK
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test)
10
Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Klasifikasi penyakit ginjal kronik di dasarkan atas dasar dua hal
yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat berdasar Laju filtrasi
glomerulusyang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai
berikut (Suwitra, 2014) :
(140 – umur) x BB (kg)
LFG (ml/mnt/1,73 m2) =
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Pada pasienPenyakit Ginjal Kronik, klasifikasi stadium
ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus yaitu stadium yang lebih
tinggi menunjukkannilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah (Tabel
2.2) (Suwitra, 2014).
Tabel 2.2 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasar derajat penyakit
(Suwitra, 2014)
Derajat Penjelasan LFG
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat berat
Gagal ginjal
≥ 90
60-89
30-59
15-29
< 15/ dialisis
11
2.1.2 Morbiditas dan Mortalitas Penyakit Kardiovaskuler pada Penyakit
Ginjal Kronis
Morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada Penyakit Ginjal
Kroniksangat tinggi, akan tetapi banyak pasien yang meninggal karena
komplikasi kardiovaskular sebelum fungsi ginjal mencapai tahap terminal.
Lebih dari separuh pasien Penyakit Ginjal Kronikmempunyai komplikasi
penyakit jantung kongestif, sedangkan sekitar tiga perempatnya
mempunyai hipertrofi ventrikel kiri. Selain itu penyakit kardiovaskular
merupakan penyebab utama kematian pasien Penyakit Ginjal Kronik,
terlebih lagi pasien yang menjalani dialisis (Suhardjono, 2009).
Penyakit jantung vaskuler merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pasien dengan Penyakit Ginjal Kronikpada
semua stadium (Skorecki, 2005). Penyakit jantung merupakan penyebab
kematian paling penting pada pasien yang menjalani hemodialisis yaitu
44% dari seluruh mortalitas. Sebagai gambaran, mortalitas penyakit
kardiovaskuler pada populasi umum (~2.000 kematian) dibandingkan
mortalitas pada pasien hemodialisis (~50.000 kematian). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa tingkat mortalitas penyakit kardiovaskuler per tahun
jauh lebih tinggi pada pasien hemodialisis tanpa mempertimbangakan jenis
kelamin, ras atau usia. Pasien hemodialisis yang masih muda memiliki
peningkatan tingkat mortalitas hingga 500 kali dibandingkan usia yang
sesuai pada populasi umum dan tingkat mortalitas tetap lima kali lipat
lebih tinggi, meskipun pada pasien paling tua (Gambar 2.1) (Sarnaket al,
2003).
12
Gambar 2.1 Mortalitas penyakit kardiovaskuler pada populasi umum
dibandingkan dengan pasien penyakit ginjal kronik stadium
terminal yang menjalani dialisis. GP:general
population(Sarnak, 2003).
Salah satu komplikasi Penyakit Ginjal Kronikadalah adanya
penyakit kardiovaskuler (PKV) yang di dasari oleh proses aterosklerosis.
Angka mortalitaspasien Penyakit Ginjal Kronikdiakibatkan oleh penyakit
kardiovaskuler semakin hari semakin meningkat mencapai 40-50% pada
pasien dengan dialisis reguler. Faktor resiko kardiovaskuler pada Penyakit
Ginjal Kronikterdiri dari faktor resiko klasik (tradisional) dan non klasik
(non tradisional) seperti terdapat pada gambar 2.2, meskipun
mekanismenya belum dimengerti (Filiopoulos dan Vlassopoulos, 2009).
Berbagai macam faktor resiko dan perubahan metabolik yang
didapatkan pada kondisi uremia, berkontribusi terhadap terjadinya faktor
resiko penyakit kardiovaskuler pada populasi tersebut. Faktor resiko
tradisional (Framingham: usia, gaya hidup, hipertrofi ventrikel kiri,
dislipidemia, hipertensi dan diabetes melitus) memprediksi mortalitas
kardiovaskuler pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronikringan hingga
sedang (Munter, 2005), sedangkan faktor resiko non tradisional untuk
penyakit kardiovaskuler seperti inflamasi, disfungsi endotel, hiperaktivitas
simpatis, protein-energy wasting (istilah baru yang diajukan untuk
kehilangan protein tubuh dan cadangan energi), stres oksidatif, kalsifikasi
vaskuler dan volume overload, memiliki prevalensi tinggi pada pasien-
pasien tersebut (Stevinkel dan Peter, 2008).
13
Gambar 2.2 Faktor resiko kardiovaskuler tradisional dan non tradisional
(terkait uremia) pada Penyakit Ginjal Kronik (Stevinkel,
2008)
Terdapat dua alasan potensial untuk peningkatan resiko
mortalitas penyakit kardiovaskuler yang dramatis pada populasi
hemodialisis.Pertama adalah tingginya prevalensi penyakit kardiovaskuler
dan kedua adalah tingginya tingkat kasus kematian pada pasien yang telah
memiliki penyakit kardiovaskuler.Berbagai data menunjukkan bahwa
pasien hemodialisis memiliki prevalensi penyakit jantung iskemik dan
gagal jantung kongestifyang lebih tinggi dibandingkan populasi
umum.Sebagai tambahan prevalensi pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri
sejumlah 75% pada pasien dialisis (Sarnaket al, 2003).
Penting untuk digarisbawahi bahwa prevalensi penyakit
kardiovaskulermeningkat pada semua pasien dengan Penyakit Ginjal
Kronik, tidak hanya pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri meningkat dengan menurunnya filtrasi
glomerulus dan sebanyak 30% pasien penyakit ginjal tahap akhir telah
memiliki bukti klinis adanya penyakit jantung iskemik atau gagal
jantung.Juga perlu diperhatikan bahwa pasien dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG) lebih cenderung mengalami kematian akibat
penyakit kardiovaskuler daripada berkembang ke penyakit ginjal tahap
akhir (Sarnaket al, 2003).
14
2.1.3 Resiko kardiovaskuler pada penyakit ginjal kronik
Pasien Penyakit Ginjal Kronik lebih beresiko terjadinya Penyakit
Kardio Vaskulardibandingkan individu tanpa Penyakit Ginjal Kronik
dengan faktor resiko kardiovaskuler yang sama. Terapi ditujukan untuk
menurunkan faktor resiko tradisional, sehingga faktor resiko tradisional saja
tidak dapat menjelaskan angka kejadianPenyakit Kardio Vaskular yang
tinggi pada pasienPenyakit Ginjal Kronik (Martens dan Edward, 2011).
Pasien dengan hiperuremia kronis yang disebabkan oleh faktor-
faktor renal maupun non-renal, faktor-faktor resiko penyakit jantung dan
aterosklerosissaling mempengaruhi sebagai komorbiditas, seperti terlihat
pada Gambar 2.3(Santoro dan Mancini, 2002).
Gambar 2.3Faktor resiko aterosklerosis pada uremia (Santoro
danMancini, 2002).
Pada respon inflamasi yang berhubungan dengan uremia,
khususnya respon seluler yang dimediasi oleh sel seperti monosit dan
makrofag bukti telah menunjukan bahwa endotel vaskular berperan penting
KLASIKHipertensi
HiperlipidemiaDia
betesMerokok
TERKAIT-UREMIA↑ LDL
teroksidasiRadikal
bebasHiperhomosisteinemia
Infeksi: herpes,
klamidiaAsidosisToksin
TERKAIT-
DIALISISBioinkompatib
ilitas InfeksiEndotoksin
DISFUNGSI
ENDOTEL
PELEPASAN SITOKIN
PROINFLAMASI
PROTEIN REAKTAN FASE AKUT ↑(CPR, SAA, FIBRINOGEN)
↓
RESPON INFLAMASI SISTEMIK ↓
PERCEPATAN ATEROSKLEROSIS
15
dalam kuatnya respon inflamasi. Inflamasi yang terus menerus
menghasilkan respon vaskuler pada suatu proses yang diperantarai oleh
mediator inflamasi lewat jalur kemotaktik dan haptotatik. Migrasi monosit
ke tunika intima akan berubah menjadi makrophag, memakan lipid dan
menjadi foam cells seperti terlihat pada Gambar 2.4 (Stinghen dan Pecoits-
Filho, 2007).
Gambar 2.4Peranan uremia pada disfungsi endotel (Stinghen dan
Pecoits-Filho, 2007).
2.1.4 Inflamasi pada Penyakit Ginjal Kronis
Inflamasi kronis yang terdapat pada penyakit ginjal kronis terjadi
tanpa adanya infeksi akut atau penyakit sistemik aktif. Peningkatan kadar
penanda inflamasi yang bersirkulasi seperti Interleukin 6 (IL-6, IL-18), S-
albumin, leukosit, fibrinogen, hyaluronan, myeloperoxidase, C-Reactive
Protein (CRP) dan pentraxin-3 (PTX3) berhubungan dengan morbiditas
kardiovaskuler dan mortalitas pada pasien Penyakit Ginjal Kronis
(Stevinkel dan Peter, 2008). Telah dibuktikan bahwa peningkatan CRP
serum terdapat pada 30-60% pasien dialisis dan berkorelasi dengan
prevalensi penyakit kardiovaskuler yang tinggi pada populasi tersebut.Hal
tersebut tidak terbatas pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA) yang telah menjalani dialisis, bahkan pasien dengan gangguan
16
fungsi ginjal yang ringan menunjukkan tanda-tanda mikro inflamasi
(Sarnaket al, 2003).Tampaknya bahwa peningkatan klirens sitokin
proinflamasi yang bersirkulasi, endotoksemia akibat volume overload dan
stres oksidatif berkontribusi pada fenomena tersebut (Alscher dan Thomas,
2005).
2.1.5Stres Oxidatif pada Penyakit Ginjal Kronik
Faktor resiko kardiovaskular dan disfungsi endotel Oxidized Low
Density Lipoprotein(OxLDL), hipertensi angiotensin II, merokok,
homosistein, diabetes dan hipernatremia) dapat merangsang Nicotinmide
Adenine Dinucleotide Phosphate Oxidase (NADPH oksidase) pada
mitokondria sehingga enzim tersebut akan mengekskresikan stres
oksidatif. Stres oksidatif akan menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi
endotel akan meningkatkan progresifitas aterosklerosis seperti terlihat
pada gambar 2.5 (Gibbons GH, 1997).
Gambar 2.5Faktor resiko kardiovaskular dan disfungsi endotel (Gibbons
GH, 1997)
17
Ketidakseimbangan antara produksi Reactive Oxygen
Species(ROS) dan pertahanan antioksidan menghasilkan kondisi stres
oksidatif yang dapat muncul dari defisiensi anti oksidan (glutation, asam
askorbat atau α tocoferol) atau peningkatan pembantukan Reactive Oxygen
Species seperti peroksinitrit (OONO-), Hypochlorous Acid(HOCL) atau
anion superoksida (Nanayakkara dan Gaillard, 2010; Sigma, 2011),
Oksidasi Low Density Lipoprotein (ox-LDL) diyakini sebagai langkah kunci
dalam inisiasi aterosklerosis, sehingga stres oksidatif juga diyakini sebagai
salah satu mekanisme peningkatan resiko kardiovaskuler pada Penyakit
ginjal Kronik (Himmelfarb, 2002).
Ketersediaan Nitrite Oxyde (NO) pada disfungsi ginjal terganggu
oleh peningkatan kadar Asimetric Dimethylarginine (ADMA). Terdapat
bukti yang mendukung hipotesis bahwa Asymetric Dimethylarginine
(ADMA), suatu inhibitor endogen Nitrite Oxyde-Synthase terlibat dalam
memperantarai Penyakit Jantung Vascular. Asimetric Dimethylarginine
(ADMA) terutama diekskresikan melalui ginjal in vivo, diketahui meningkat
kadarnya pada Penyakit ginjal Kronik. Asimetric Dimethylargininejuga
merupakan prediktor independen disfungsi endotel dan merupakan prediksi
buruk pada pasien hemodialisis.
Angiotensin II (Ang II) menstimulasi pembentukan Reactive
Oxygen Species(ROS) intraseluler seperti anion superoksida dan hidrogen
peroksida. Angiotensin II mengaktifkan beberapa subunit Nicotinmide
Adenine Dinucleotide Phosphate Oxidase (NADPH oksidase) dan juga
meningkatkan pembentukan Reactive Oxygen Speciesdi dalam mitokondria.
Peningkatan O2-dibentuk oleh Nicotinmide Adenine Dinucleotide Phosphate
Oxidasedan Xanthine Oxidase nantinya akan menurunkan ketersediaan
Nitrite Oxyde (NO), menginduksi disfungsi sel endotel dan sel otot polos
vaskuler. Superoksida juga bereaksi dengan Nitrite Oxydeuntuk membentuk
peroksinitrit ONOO-yang merusak jaringan dan menginduksi disfungsi
mitokondria (Oikawa, 2005; Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
18
Superoksida Dismutase (SOD) mengubah superoksida menjadi
Hidrogen Peroksidase(H2O2)yang dapat memasuki sel dengan mudah.
Oksidan hidrogen peroksidase (H2O2) yang kurang aktif kemudian direduksi
menjadi air dan oksigen oleh katalase dan glutation peroksidase. Sistem
glutation sangat penting untuk perlindungan melawan stres oksidatif. Selain
itu Hidrogen Peroksidase (H2O2)dapat dikonversi menjadiradikal hidroksil
(OH-), Reactive Oxygen Speciespaling reaktif dan toksik melalui reaksi
Harber-Weiss atau Fenton. Dengan adanya Myeloperoksidase (MPO) dari
neutrofil, Hidrogen Peroksidase (H2O2)membentuk oksidantambahan
(Gambar 2.6) (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
Gambar 2.6Representasi sederhana pembentukan superoksida dan hidrogen
peroksida. ADMA = asymetric dimethylarginine; ROS =
reactive oxigen species; SOD = superoxide dismutase; EC =
endotelial cell; VSMC = vascular smooth muscle cell; GSHP =
glutathioneperoxidase; MPO = myeloperoxidase; NF-kB =
nuclear factor kB; AGE = advanced glycosilation end
products (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
19
2.1.6Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23)
Fibroblast Growth Factor-23(FGF-23) merupakan
anggota subfamili FGF-19 dari FGFs endokrin
yang juga mencakup Fibroblast Growth Factor (FGF) 15/19 dan Fibroblast
Growth Factor21/23. Fibroblast GrowthFactor-
23pertamakali diidentifikasi dalam inti thalamicventrolateral dalamotak
tikus pada Autosomal Dominan Hypophos phatemic Ricketsia
(ADHR).Fibroblast Growth Factor-23 terutama terdapat di osteosit dan
osteoblasdalam tulangtapi jugaterdapat pada kelenjar ludah, lambung dan
jaringan lain termasuk otot rangka,otak,kelenjar susu dan hati. Gen
Fibroblast Growth Factor-23 terletakpada kromosom 12 pada manusia dan
kromosom 6 pada tikus oleh 3 exons, dipisahkan oleh 2 intron dan encode
32-kDa glikoproteinyang mengandung251 asam amino residu.
Proteinterdiri dari 24 asam aminohidrofobik, 154 asam amino NH2
terminal yang mengandung inti homolog dan Fibroblast Growth Factor73
asam amino Carboxylic Acid(COOH)terminal domain. Setelah
pembelahan24 asam amino dan O-glikosilasi olehUridine Diphosphate N-
Acetylglucosamine (UDP-GlcNAc): polipeptida Galactosaminyl N-Acetyl
Transferase3 (GALNT3), 25-251 proteinFGF 23 disekresike dalam
sirkulasi. Dalam aliran darah, protein Fibroblast Growth Factor-23beredar
dalam dua bentukyang berbeda yaitu bentuk matang penuh (25-FGF-23-
251) dan bentuk yang lebih pendek (25-Fibroblast Growth Factor-23-
179) kurang Carboxylic Acid(COOH)terminal 73 asam amino. Bentuk
pendek munculdaripembelahan proteolitik pada
176RXXR179 yang mengikutiFibroblast Growth Factor10-12 inti homolog
Fibroblast Growth Factor-23.Hanya bentuk panjangFibroblast Growth
Factor-23 yang aktif, karena Carboxylic Acid(COOH-) terminal domain
penting untuk interaksi dengan kofaktor Klotho dan aktivasi
dari sinyalFibroblast Growth Factor Reseptor (FGFR). O-
glikosilasi dari Fibroblast Growth Factor-23terjadi pada daerah 162–228
20
yang tumpang tindih dengan pembelahan176RXXR179 dan modifikasi ini
untukmelindungi Fibroblast Growth Factor-23 dari pembelahan oleh
subtilisin seperti proprotein convertases apabilamenggunakan rekombinan
peptida secara in vitro. Sebaliknya, Fibroblast Growth Factor-23pada
manusia dengan homozygous mutasi pada Fibroblast Growth Factor-
23berkembang ke hiperfosfatemiaoleh 1,25 (OH)2Ddan kalsifikasi jaringan
lunak. Gen klotho mengkodekan protein transmembran dengan
ekstracellular domain terdiri dari dua domain homolog yang urutan homolog
dengan β glukosidase (Kurosu, 2006; Urakawa, 2006).
Fibroblast Growth Factor-15 (FGF-15) danFibroblast Growth
Factor-19 (FGF-19) adalah orthologs pada vertebrata danFibroblast Growth
Factor-15 (FGF-15) terdapat pada manusia (Itoh N dan Ornitz DM,2004).
FamiliFibroblast Growth Factor(FGF) dibagi menjadi tujuh
filogenetiksubfamili menyusun tiga kelompok sesuai dengan mekanisme:
intraseluler, kanonik dengan Fibroblast Growth Faktorseperti hormon (Itoh
dan Ornitz DM,2008).Kelompok Fibroblast Growth Factorintraseluler
termasuk subfamiliFibroblast Growth Factor11/12/13/14. Fibroblast Growth
Factor (FGFs) ini bertindak sebagai sinyal molekul intraselulerdalam
reseptor FGF (FGFR) (Goldfarb, 2007;Xiao, 2007). Kelompok Fibroblast
Growth Factorkanonik termasuk FGF 1/2/5, Fibroblast Growth Factor3/4/6,
Fibroblast Growth Factor7/10/22, Fibroblast Growth Factor8/17/18.
Fibroblast Growth Factor (FGFs) Canonical memediasi respon biologis
sebagai protein ekstraselulerdengan mengikat dan mengaktifkan permukaan
seltyrosine kinase FGFR dengan heparin/ heparin sulfat sebagai kofaktor
dan bertindak sebagai sinyal molekul autokrin/parakrin (Itoh dan Ornitz
DM,2004, 2008; Thisse B dan Thisse C,2005). Kelompok endokrin
Fibroblast Growth Factortermasuk subfamili Fibroblast Growth
Factor19/21/23.Berbeda dengan kelompok Fibroblast Growth
Factorkanonik, Fibroblast Growth Factor (FGFs) seperti hormonbertindak
secara sistemik sebagai faktor endokrin. Namun jugamemediasi respon
melalui mekanisme yang tergantung Fibroblast Growth Factor Reseptor
21
(FGFR).Gen Fibroblast Growth Factor Reseptor-15 seperti FGFs hormon
dihasilkan darigen Fibroblast Growth Factor Reseptor-4 seperti FGFs
kanonik oleh duplikasi gen pada vertebrata. KemudianFibroblast Growth
Factor Reseptor 15/19,Fibroblast Growth Factor Reseptor-21dan Fibroblast
Growth Factor Reseptor-23 dihasilkan dari Fibroblast Growth Factor
Reseptor-15 seperti gen oleh duplikasi genom. FGFs Canonicalmengikat
heparin untuk stabilitas FGFRs. Sebaliknya hormon seperti FGFs sebagai
fungsi endokrin dengan mengikat pengurangan afinitas heparin dan COOH
memungkinkan aktivasi reseptor FGF dengan tidak adanya heparin
(Itoh,2010).
Fibroblast Growth Factor-23 bertanggung jawab atas gejala klinis
pasien yang menderitaautosomal dominan hypophosphatemic riketsia.
Mutasi ini mencegah proteolitik pembelahan protein Fibroblast Growth
Factor-23, meningkatkan aktivitas biologis dan mengakibatkan kerusakan
ginjal. Demikian pula peningkatan kadar serum Fibroblast Growth Factor-
23 pasien dengan osteomalasia onkogenik menjadifaktor penyebab tumor
ginjal yang diinduksi oleh fosfat(Simada, 2001).
Klotho sebagian besar terdapat pada tubulus distal ginjal, sel epitel,
kelenjar paratiroid dan glandula hipofisis(Torres, 2007; NabeshimaY,
2006). Sumbu Fibroblast Growth Factor-23, tulang dan ginjal adalah bagian
dari sistem biologis menghubungkan tulang dengan organ lain melalui
jaringan endokrin yang kompleks, terintegrasi dengan axis Paratiroid
hormon/ vitamin D dan memainkan peran yang sama (Yamashita, 2000).
Fibroblast Growth Factor-23 dengan adanya klotho dapat mengaktifkan
sinyal molekul, ditentukan oleh aktivasi atau fosforilasidari Fibroblast
Growth FactorReseptor (FGFR) substrat-2a, ekstraseluler signalregulated
kinase. Klotho juga meningkatkan reseptor Fibroblast Growth Factor-23
karena Fibroblast Growth Factor-23 memiliki afinitas yang lebih besar
untuk kompleks klotho-Fibroblast Growth FactorReseptordibandingkan
dengan Fibroblast Growth FactorReseptor saja (Goetz, 2007; Kurosu, 2006).
22
Fibroblast Growth Factor-23/ axis ginjal memiliki setidaknya dua
fungsi fisiologis: 1) untuk memberikan sinyal phosphaturic yang berasal
dari tulang untuk mengkoordinasikanfluks fosfat pada tulang karena
perubahan pergantian tulang danmineralisasi dengan fosfat di ginjal
2)memberikan hormon counterregulatory untuk melindungi organismedari
paparan vitamin D yang berlebihan dengan penekananFibroblast Growth
Factor-23 dimediasi produksi 1,25 (OH)2 vitamin D dan peningkatan
katabolisme oleh ginjal. Fibroblast Growth Factor-23memiliki fungsi lain
untuk mengatur fosfat, fungsi kelenjar paratiroid.
Kalsifikasi vaskular diatur oleh proses yangmelibatkan interaksi
antara molekul stimulator dan kalsifikasi inhibitor. Meskipun banyak
molekul dan atau faktor yang diidentifikasi sebagai kalsifikasi
stimulatortermasuk fosfat anorganik, kalsium,natrium fosfat co-transporter,
Runt-Related Transcription Factor 2 (Runx2), Tissue NonSpesific Alkaline
Phosphase (TNAP), glukosa, asetat Low Density Lipoprotein(LDL), Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α) dan bone morphogenetic protein-2 (El Abbadi
dan Giachelli, 2007).
Mekanisme yang tepat untuk menginduksi kalsifikasi pembuluh
darah daninteraksi dengan inhibitor kalsifikasi belumdipahami dengan
jelas.Penelitian terbaru pada kalsifikasi vaskulardan terganggunya
keseimbangan antara calcificationinhibiting dan faktor promoting dapat
menyebabkan kalsifikasi ektopik. Beberapa faktor kunci yangterbukti secara
langsung mengatur induksi dankalsifikasi vaskular, namun tidakterbatas
pada faktor (misalnya fosfat, kalsium, pirofosfat dan hormon paratiroid) dan
molekul matriks (misalnya Matriks GLA Protein (MGP) dan enzim katalis
misalnyaTissue Non Spesific Alkaline Phosphase(TNAP). Fosfat dan
kalsium serum penentu kalsifikasi vaskular dapat menyebabkan deposisi
kalsium fosfat di dalam pembuluh darah dan jaringan lunak.Hiperfosfatemia
pada pasien dialisis berkorelasi dengankalsifikasi vaskular, fosfat
denganpengikat fosfat noncalcium berkorelasi dengan kalsifikasi vaskular
(Raggi dan Ali, 2002).
23
Penelitian in vitro menunjukkan bahwa sel otot polosmengalami
perubahan fenotipe ditandai dengandownregulation sel otot polos dan
upregulation gen (Steitz, 2001). osteochondrogenic mirip dengan fosfor,
keseimbangan kalsium positif terkait dengan kalsifikasi vaskular pada
manusia secarain vitro. Kalsiummempromosikan mineralisasi dalam sel otot
polos pembuluh darah dan mineralisasi kalsium yang disebabkan ekspresi
cotransporters fosfat tergantung pada sodium(Yanget al, 2004).
Pirofosfat anorganik menghambat kalsifikasi vaskular
denganmembatasi pembentukan hidroksiapatit dan propagasimelalui
chelator seperti peran biofisik serta menstabilkanfenotip aorta, bertindak
sebagai regulator (Towler DA,2005). Pirofosfat plasma berkurang pada
pasien hemodialisis dan diperparah akibat pirofosfat clearance. Faktor lain
Tissue Non Spesific Alkaline Phosphase (TNAP) dan enzim yang
diproduksi dalam beberapa jaringan termasuk tulang, berfungsi sebagai
fenotipe fungsionalpenanda osteoblas dan sering digunakan sebagai penanda
molekuleruntuk kalsifikasi vaskular. Pirofosfat adalahsubstrat untuk Tissue
Non Spesific Alkaline Phosphase dan fosfor adalah produk untukaktivitas
katalitik dapat mengantisipasi Ekspresi Tissue Non Spesific Alkaline
Phosphase bertindak sebagai prekursor untuk kalsifikasi vaskular hormon
paratiroid. Sekresi yang tidak terkendali dari hormon paratiroiddapat
melepaskan jumlah berlebihan kalsium daritulang, mengendap dalam
pembuluh darah dan jaringan. Influenza B virus (BM2 protein) berperan
dalam kalsifikasidengan mengerahkan efek osteogenik pada pembuluh
darah. Selain itu, protein matriks, seperti Matrix Gla Protein (MGP) dapat
menghambat kalsifikasi pembuluh darah. Korelasi positif antara ekspresi
Matrix Gla Protein dan kalsifikasi pada arteri (Poole dan Reeve, 2005).
Kalsifikasi vaskular histologis dibagi menjadi empatjenis utama: (1)
Kalsifikasi intima aterosklerotik, (2)kalsifikasi arteri medial (Monckeberg
sclerosis), (3)kalsifikasi katup jantung, (4) kalsifikasi arteri dibentuk
calciphylaxis.
24
2.1.7 Albuminuria
Penyakit glomerular merupakan penyebab penting terjadinya
Penyakit Ginjal Tahap Akhir yang menjalani dialisis. Kelainan urin
asimptomatik berupa hematuria mikroskopik dan proteinuria merupakan
tanda awal penyakit glomerular. Gejala klinik tersebut beresiko
menimbulkan kerusakan glomerulus bermakna disertai hipertensi dan
disfungsi ginjal progresif. Kelainan urin asimtomatik hematuri
mikroskopik dan atau proteinuria merupakan tanda awal penyakit
glomerular banyak di jumpai pada populasi umum (Feehally dan Johnson,
2003).
Derajat proteinuria diasosiasikan dengan penurunan ginjal progresif
pada penyakit glomerular yang berkembang menuju Penyakit Ginjal
Kronik. Proteinuria terjadi karena lintasan transglomerular abnormal
akibat peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus dan
gangguan reabsorbsi protein oleh sel epitel tubulus proksimal. Kerusakan
dinding kapiler glomerulus berkorelasi dengan menurunnya
sialoglycoprotein yang melapisi sel endotel, fusi dari foot processes
podosit dan terangkatnya sel dari membran basal glomerulus (Glomerular
Basment Membrane). Berkurangnya muatan negatif pada dinding kapiler
menyebabkan albumin lolos dalam urin (Amico G dan Bazzi C, 2003).
Suatu studi baru menunjukkan bahwa adanya protein yang terbuang
dalam urin dapat mengidentifikasi meningkatnya resiko penyakit reno
kardio serebro vaskuler. Dari semua pasien yang memiliki peningkatan
kadar protein urin, lebih dari setengahnya memulai dialisis atau melakukan
transplantasi ginjal selama studi. Dari hasil penelitan tersebut para peneliti
menyimpulkan bahwa pada individu dengan kadar proteinuria tinggi
terjadi peningkatan resiko penurunan fungsi ginjal, akhirnya pasien
memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Semakin tinggi kadar protein
urin, semakin tinggi resiko pasien memerlukan dialisis atau transplantasi
ginjal dan semakin cepat penurunan fungsi ginjal (Gansevort, 2009).
25
Persisten mikroalbuminuria merupakan faktor resiko independen
untuk berkembangnya penyakit kardiovaskular. Persisten
mikroalbuminuria terbukti sebagai prediktor kematian akibat
kardiovaskularpada orang normal, mikroalbuminuria ditemukan dengan
prevalensi 7%. Sementara pada penderita hipertensi, diabetes, penyakit
jantung koroner dan stroke prevalensi mikroalbuminuria berkisar antara
16-28% (Pedrinelli, 1994; Tabaei, 2005).
Gambar 2.7Renal Continum (Tabaei, 2005).
Albuminuria adalah fenomena yang ditunjukkan oleh adanya
molekul albumin dalam urin. Penyebabnya karena adanya kerusakan pada
alat filtrasi. Albuminuria merupakan kondisi patologis. Klasifikasi
albuminuria seperti disajikan pada tabel 2.3 (Gendler SM, 1987).
Tabel 2.3 Klasifikasi Albuminuria(Gendler SM, 1987).
Kondisi Creatinin (µg/min) Time collect 24 hr collect
Normal < 30 < 20 < 30
Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 – 299
Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300
Albuminuria dibagi menjadi 5 jenis berdasarkan miligram protein
yang ditemukan dalam tes urin 24 jam :
1. Microalbuminuria: 30-150 mg
2. Mild : 150-500 mg
26
3. Moderate : 500-1.000 mg
4. Heavy : 1.000-3.000 mg
5. Nephrotic :>3.500 mg
Proteinuria tak terdeteksi sering dijumpai pada stadium 1 Penyakit
Ginjal Kronik dan beresiko berkembang menuju Penyakit Ginjal Kronik
stadium 2, 3 dan 4 yang tidak terdeteksi dan akhirnya menjadi mencapai
Penyakit Ginjal Tahap Akhir. Data dari survei Pernefri membuktikan dari
9400 individu yang diperiksa dengan tes celup urin di dapatkan proteinuria
persisten sebesar 2,8% (Prodjosudjadi, 2009).
Di kenal tiga jenis proteinuria yaitu glomerular proteinuria, terjadi
akibat kerusakan pada basal membran glomerulus sehingga terjadi
peningkatan filtrasi glomerulus yang melebihi kemampuan tubulus untuk
mereabsorbsi. Tubuler proteinuria, terjadi akibat tidak tereabsorbsinya Low
Molecular Weight Protein seperti betamicroglobulin atau lyzozyme atau
adanya defek pada tubulus proksimal sehingga tidak mampu mereabsorbsi
protein filtrate glomerulus,sehingga tubuler proteinuria tidak pernah
melebihi 2g/24 jam. Overflow proteinuria, terjadi bila kelebihan protein
sistemik (Small Molekular Weight) diatas kemampuan tubulus untuk
mereabsorbsinya (Suwitra, 2009).
Mekanisme terjadinya albuminuri pada prinsipnya ada dua, yaitu:
1. Masalah fisik. Pada keadaan ini kondisi sistem filtrasi berhubungan
dengan permeabilitas membran fitrasi (fenestra, kerusakan membran
basalis, podosit, slit diafragma). Kondisi ini tergantung besarnya
diameter fenestra dan kualitas slit diafragma. Pelebaran fenestra biasanya
disebabkan karena rusaknya sistem autoregulasi pada spincter prekapiler
vasa afferent akibat hipertensi yang kronis. Rusaknya autoregulasi ini
membuat hipertensi sistemik langsung diteruskan pada kapiler
glomerulus, sehingga menyebabkan permeabilitas meningkat yang akan
mengakibatkan terjadinya pelebaran fenestra. Pelebaran fenestra ini akan
27
mempermudah keluarnya albumin, sehingga terjadi albuminuri.
Hipertensi kronis meskipun tekanan sistolik hanya diatas 120 mmHg
sudah menimbulkan stresor pada endotel. Endotel yang mendapatkan
stresor ini akan mengekspresikan sitokin pro-inflamasi Tumor Necrosis
Factor-α (TNF-), Interleukin-1 dan 6 (IL-1 dan IL-6), selain itu juga
akan mengekspresikan Tumor Growth Factor β1 (TGF1). Sitokin-
sitokin tersebut akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah
(aterosklerosis).
Bila terjadi peningkatan stres oksidatif akan meningkatkan
jumlah apoptosis pada podosit atau slit diafragma sehingga akan
menyebabkan kerusakan sistem filtrasi dan menyebabkan kebocoran
sistem filtrasi akhirnya akan menyebabkan peningkatan albuminuria.
Gambar 2.8Ilustrasi skematik dari collagen type IV (Robbin, 2005).
28
Gambar 2.9Adanya stresor terhadap sel tubulus proksimal akibat sel
tubulus tersebut melakukan reabsorbsi albuminuri terus
menerus. Dimana sel tubulus proksimal berubah fungsi
seperti makrofag sehingga dapat mengekspresikan sitokin
pro inflamasi maupun growht faktor (misalnya TGF1).
TGF1 dapat menyebabkan remodeling sel otot polos
pembuluh darah akibat terjadinya proliferasi sel otot polos
pembuluh darah tersebut maupun pembentukan Extra
Celluler Matrix (ECM) misalnya : kolagen, fibronektin,
laminin, elastin, proteoglikan. Remodeling tersebutdiatas
akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang
berakibat terjadinya aterosklerosis (Robbin, 2005).
Gambar 2.10Proses growth faktor (TGF1) merangsang reseptor atau
membran sel dan mengakibatkan Cystoplasmic Signal
Transduction dan mengaktifkan nukleus (DNA & mRNA)
sehingga terjadi reaksi transkripsi kemudian translokasi
pembentukan protein ECM (kolagen, dll) juga proliferasi
sel (Proliferation Differentation, Protein synthesis,
Athachment, Migration, Shape Change) (Robbin, 2005).
Tumor Growth Factor 1(TGF1) mempunyai reseptor pada target
sel. Target sel pada glomerulus terutama sel mesangial yang dirangsang oleh
Tumor Growth Factor 1 akan menghasilkan kolagen tipe-IV yang
mengakibatkan glomerulosklerosis. Target sel yang lain misalnya fibroblast
pada intertitial jaringan ginjal bila reseptornya terangsang oleh Tumor
Growth Factor 1akan memproduksi kolagen tipe-I dan akhirnya
menyebabkan intertitial fibrosis.Terjadinya disfungsi endotel pada
pembuluh darah juga akan terjadi disfungsi endotel kapiler glomerulus yang
akan mengurangi negatifitas sehingga terjadi albuminuria. Dengan kata lain,
29
adanya albuminuria maka besar kemungkinan telah terjadi juga disfungsi
endotel pembuluh darah secara sistemik (Robbin, 2005).
Gambar 2.11 Pembentukan kolagen yang berlebihan akibat fibroblast yang
dirangsang oleh Tumor Growth Factor 1 (TGF1)
sehingga terjadi interstitial fibrosis (Robbin, 2005).
Gambar 2.12 Sistem filtrasi dan fenestra endotel kapiler glomerulus
(Robbin, 2005).
Slit diafragma merupakan saringan untuk mencegah terjadinya
albuminuri. Slit diafragma terutama terdiri dari protein nefrin. Angiotensin
II akan merangsang Angiotensin I reseptor, Angiotensin I reseptor berfungsi
untuk menghambat kerja dari enzim yang ada di podosit untuk
memproduksi nefrin. Pemberian obat-obatan penghambat Agiotensin II
(sartan), akan menghambat Angiotensin I reseptor akibatnya enzim tersebut
akan memproduksi nefrin secara optimal. Akhirnya slit diafragma menjadi
sempurna, hal tersebut akan mencegah terjadinya albuminuria.
30
Gambar 2.13 Struktur Fenestra (Robbin, 2005)
Gambar 2.14 Komponen slit diafragma (Robbin, 2005).
2. Masalah bioelektrik. Keadaan ini terjadi karena albumin bermuatan
negatif, dilain pihak permukaan endotel, membrana basalis, lapisan luar
dari podosit juga bermuatan negatif, sehingga keadaan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme tolakmenolak, akibatnya dapat
dihindarinya albuminuri.Permukaan podosit banyak mengandung
glikoprotein, glikoprotein inilah yang menyebabkan permukaan podosit
bermuatan negatif. Bila terjadi peningkatan stres oksidatif akan merusak
lapisan glikoprotein, sehingga muatan negatif (endotel) akan berkurang,
tolak menolak dengan albumin berkurang, akibatnya albumin mudah
keluar akhirnya terjadi mikroalbuminuria (Robbin, 2005; Purwanto B,
2010).
31
Membran basalis glomerulus menangkap protein besar (> 100
kDal) sementara foot processes dari epitel/ podosit akan memungkinkan
lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transport melalui saluran yang
sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya glutamate,
aspartat dan asam silat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis.
Muatan negatif akan menghalangi transport molekul anion seperti
albumin (Robbin, 2005; Purwanto B, 2010).
Reaksi inflamasi akibat infeksi, bahan-bahan kimiawi dan
fragmentasi sel dapat menimbulkan aktivasi makrofag dimana Nuclear
Factor kB(NfB) menjadi lebih aktif sehingga akan mengekspresikan
sitokin-sitokin pro inflamasi antara lain Tumor Necrosis Factor-α(TNF-
), Interleukin-1 atau Interleukin-6(IL-1,IL-6). Selain itu juga akan
mengekspresikan Tumor Growth Factor β (TGF1). Tumor Necrosis
Factor-αbersifat proteolitik, akan merusak glikoprotein sehingga muatan
negatif permukaan podosit menjadi berkurang. Keadaan ini akan
menyebabkan daya tolakmenolak antara podosit dan albumin berkurang,
akhirnya albumin mudah menembus membran filtrasi dan akan terjadi
albuminuria.
Gambar 2.15Bioelektrik membran basalis glomerulus (Robin, 2008;
Purwanto B, 2010).
32
Membran filtrasi dipengaruhi oleh dua mekanisme yaitu (Robin, 2008;
Purwanto B, 2010).
1. Fenestra, slit diafragma (terutama terdiri molekul nephrin).
2. Lapisan permukaan endotel, membrana basalis dan permukaan podosit
mengandung glikoprotein bermuatan negatif karena albumin juga
bermuatan negatif maka akan terjadi mekanisme tolak menolak sehingga
mencegah albuminuria.
Gambar 2.16Skema membran filtrasi (Robin, 2008; Purwanto B, 2010).
Kerusakan ginjal juga dikaitkan dengan reabsorbsi protein pada sel
epitel tubulus proksimal. Protein yang berlebih di dalam lumen tubulus
menyebabkan kemampuan reabsorbsi sel tubulus terlampaui dan dapat
menimbulkan kerusakan. Albumin melalui reseptor megalin dan cubilin yang
terdapat pada sisi apikal sel tubulus mengalami endositosis dan degradasi
oleh lisosom (Brunskill, 2001).
2.1.8 Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan
dengan tujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein)
serta koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara
33
kompartemen darah dan cairan dialisis melalui selaput membran
semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (Cohen, 2007).
Hemodialisis pada umumnya sudah dilakukan pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik dengan bersihan kreatinin <10 ml/menit (<15 ml/menit pada
pasien dengan nefropati diabetes) atau bila kadar kreatinin serum
mencapai 8-10 mg/dL (Ross dan Caruso, 2005). Sebagian besar
pasienPenyakit Ginjal Kronikdalam satu minggu membutuhkan
hemodialisis antara 9-12 jam dibagi dalam 3 sesi yang sama (Sculman dan
Himmelfarb, 2004; Singh dan Brenner, 2006).
Selama proses hemodialisis beberapa zat terlarut seperti albumin,
fibrin, β2-mikroglobulin, komponen aktif komplemen, dan sitokin
Interleukin-1(IL-1) dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) mengalami
absorbsi kedalam membran dialiser dan sebagian dari zat tersebut akan
dieliminasi dari darah (Tzanatoset al, 2000; Malaponte, 2002).
Hemodialisis mempunyai beberapa efek antara
lainbioinkompatibilitas serta reaksi antara cairan dialisis terkontaminasi
bakteri yang akan menghasilkan endotoksin (lipopolisakarida) dan
berakibat pada terlepasnya sitokin (Boure dan Vanholder, 2004; Erten dan
Bali M,2007). Proses ini tidak terlalu kuat bila menggunakan membran
dialisis sintetik atau membran selulosa yang telah dimodifikasi. Beberapa
membran sintetik mempunyai ukuran pori-pori besar yang akan
memudahkan aliran air dan meningkatkan kekuatan ultrafiltrasi sehingga
dapat memindahkan zat–zat dengan molekul besar seperti solute uremia
dibandingkan dengan membran dengan ukuran pori-pori kecil (Boure
dan Vanholder, 2004).
Kaskade aktivasi imunitas humoral dan seluler setelah kontak
antara darah dan membran dialisis. Faktor komplemen yang teraktivasi
seperti C3a dan C5a meningkat selama hemodialisis dan mencapai kadar
maksimal 15-30 menit setelah inisiasi sesi hemodialisa, menyebabkan
aktivasi leukosit, produksi dan pelepasan sitokin serta produksi ROS
(Reactive Oxygen Species) yang berlebihan (Schindler, 2004). Terdapat
34
perbedaan besar antara membran dialisa dalam kapasitasnya untuk
mengaktivasi sistem komplemen dengan cuprophan dan selulosa tanpa
modifikasi lainnya dianggap paling bioinkompatibel.Sebaliknya membran
sintetis yang terbuat dari polimer artifisial lebih sedikit mengaktifkan
komplemen (Jacobs, 2004; Kerret al, 2007).
2.1.9 Vitamin D
Vitamin D berbentuk kristal putih, tidak larut dalam air tetapi larut
dalam minyak dan zat pelarut lemak. Vitamin D tahan terhadap panas dan
oksidasi. Penyinaran ultraviolet menimbulkan aktivitas vitamin D tetapi bila
terlalu kuat dan lama akan terjadi pengrusakan zat-zat aktif tersebut
(Norman, 2008).
Dalam kondisi normal manusia memperolehvitamin D baik dari
makanan atau dari sintesis de novodi kulit akibat paparan langsung sinar
matahari. Vitamin D3 awalnya dihidroksilasidalam hati oleh 25-
hidroksilase untuk membentuk25-hydroxyvitamin D3 dengan hidroksilasi
berikutnyadi ginjal untuk membentuk metabolit aktif1,25
dihydroxyvitamin D atau 1,25(OH)2Djuga dikenal sebagaicalcitriol, yang
akhirnya dimetabolisme oleh25-hydroxyvitamin D-24-hidroksilase
(24OHase). Pengikatan 1,25-dihydroxyvitamin D3 atau yang analog
dengan reseptor vitamin D (VDR), mengaktifkanreseptor vitamin D(VDR)
dan sebagai kofaktor seperti reseptor X retinoid (RXR), sehingga
pembentukan VDR-RXRkofaktor kompleks yang mengikatelemen respon
vitamin D (VDRE) pada gen target untuk mengatur transkripsi gen
(Carlberg et al, 2001).
Beberapa jaringan memiliki 25-hydroxyvitamin D 1α-hidroksilase
yang dapat mengkonversi 25-hydroxyvitaminD untuk 1,25
dihydroxyvitamin D (Zehnder, 2001).Namun pada serum 1,25
dihidroksivitamin Datau Calcitriol diatur oleh ginjal menjadi 25-
hydroxyvitamin D 1α-hidroksilase. Dalam studi baru-baru ini evaluasi
penyakit ginjal tahap awal, defisiensi calcitriol (didefinisikan bila kadar
35
vitamin D serum <22 pg/ ml) ditemukan pada 32% Chronic Kidney
Disease stg 3 dan>60 % pada Chronic Kidney Disease stg 4dan 5 pasien
pra-dialisis (Levin, 2005).
VDR ditemukan lebih dari 30 jaringan termasuk usus,tulang, ginjal,
kelenjar paratiroid, b-sel pankreas,monosit, T-sel, keratinosit dan sel kanker,
menunjukkan bahwa vitamin Dterlibat dalam mengatursistem kekebalan
tubuh, pertumbuhan sel, diferensiasi danapoptosis (Feldman, 2005).
Vitamin D merupakan salah satu dari hormon steroid dan terdapat
secara alami dalam berbagai macam makanan. Sejumlah makanan yang
telah difortifikasi dan juga sinar matahari yang memproduksi vitamin D di
kulit, merupakan prohormon yang akan mengalami 2 tahap hidroksilasi
untuk menghasilkan bentuk hormon yang aktif. Hidroksilasi pertama terjadi
di hati menghasilkan 25(OH)D3 dan hidroksilasi tahap dua terjadi di ginjal
dengan bantuan enzim 1-hydroxylase yang menghasilkan bentuk aktif
1,25(OH)2D (Jia dan Zhang, 2013).
Gambar 2.17Sintesis, aktivasi dan katabolisme vitamin D3 (Dusso,2005).
Hidroksilasi tahap kedua ini terutama terjadi di ginjal, tetapi juga
terdapat tipe sel-sel yang lain yang juga berkontribusi terhadap proses ini
seperti prostat, payudara, kolon, paru, sel β pankreas, monosit dan sel
36
paratiroid. Tetapi bagaimanapun juga proses ekstrarenal yang memproduksi
1,25(OH)2D atau Calcitriol tersebut hanya berefek secara autokrin atau
parakrin terhadap sel spesifik, sedangkan yang dihasilkan intrarenal akan
berefek secara endokrin sebagaimana gambar 2.18 (Dusso,2005).
Gambar 2.18Produksi 1,25(OH)2D3 dari renal dan ekstrarenal yang berefek
autokrin, parakrin dan endokrin (Dusso et al, 2005).
Sistem endokrin dari vitamin D memainkan peranan esensial dalam
homeostasis kalsium dan metabolisme tulang, tetapi berbagai penelitian
selama ±2 dekade menyatakan bahwa terdapat bermacam-macam aksi biologi
dari vitamin D yang meliputi induksi terhadap deferensiasi sel, penghambatan
pertumbuhan sel, imunomodulasi dan kontrol terhadap sistem hormon yang
lain (Dusso, 2005).
Vitamin D memiliki fungsi klasik (calcemic function) dan non klasik
(noncalcemic function). Fungsi klasik yaitu fungsi vitamin D dalam hal
absorbsi kalsium, pembentukan tulang. Sedangkan fungsi non klasik adalah
fungsinya dalam imunoregulator (Williams, 2009).
37
Tabel 2.4Efek langsung terapi vitamin D (Tang, 2009)
Terdapat 2 grup vitamin D yang tersedia di pasaran. Yang pertama
antara lain ergocalciferol (viatamin D2) dan analognya, doxercalciferol dan
paricalcitol. Grup kedua meliputi cholecalciferol (vitamin D3) dan analognya,
calcidiol, alfacalcidiol dan calcitriol atau 1,25(OH)2D3 (Tang, 2009).
2..1.9.1 Vitamin D pada Penyakit Ginjal Kronis
Sasaran terapi vitamin D pada Chronic Kidney Disease melibatkan
peradangan ginjal (sepertisel T dan sel-sel kekebalan lainnya), Renin
angiotensin Sistem(RAS) danglomerular (sel mesangial dan podosit) dan
fibrosis tubolointerstitial(sel epitel tubular dan interstitialfibroblas)
sebagaimana terdapat pada gambar 2.19
38
Gambar 2.19 Patofisiologi vitamin D terhadap fibrosis ginjal pada
Chronic Kidney Disease. Vitamin D aktif terbukti
menghambat beberapa jalur patogen dalam fibrosis ginjal.
Vitamin D aktif (1) memiliki efek anti inflamasi(2)
menghambat proliferasi mesangial dan podosit (3)
mengatur renin angiotensin system (RAS) dengan
menghambat produksi renin (4) mencegah hipertrofi
glomerulus yang diukur berdasarkan volume glomerulus
(5) proteinuria menurun pada model binatang
denganChronic Kidney Disease(6) menurunkan produksi
sitokin fibrogenic di ginjal dengan mengatur Smad3 dan
Tumor Growth Factor β (TGF-β) (7) memblokir Epitelial
to Mesenchymal Transition(EMT) dan aktivasi
myofibroblast. RAS (renin angiotensin sistem); PGC
(pressure glomerularcapillary); SNGFR (single nefron
glomerular filtration rate); α-SMA (α-smooth muscle
actin); EMT (epitelial to mesenchymal transition).
Vitamin D dan hormon paratiroid (PTH) mempunyai hubungan
yang sangat erat. Hormon Paratiroidmerupakan regulator utama dari aktivitas
1-hidroksilase, mempengaruhi sintesa vitamin D dan vitamin D sendiri juga
sangat kuat dan efektif sebagai modulator terhadapHormon Paratiroid. Terapi
dengan vitamin D akan mengurangi kadar serum Hormon Paratiroid melalui
pencegahan hiperplasia glandula paratiroid, peningkatan calcium sensing
receptor expression pada glandula paratiroid dan meningkatkan kadar serum
kalsium. Kadar vitamin D mulai menurun pada Penyakit Ginjal Kronik
stadium 2, sebaliknya kadarHormon Paratiroidsecara signifikan akan
meningkat dan semakin tinggi pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 4-5. Pada
39
penelitian cross sectional skala besar didapatkan kadar Hormon Paratiroid
mencapai 800-900 pg/ml pada Penyakit Ginjal Kronik stadium akhir yang
tidak mendapat terapi dan meskipun etiologinya multifaktorial tetapi
penyebab utamanya adalah karena rendahnya kadar vitamin D,
hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Efek klinis dari tingginya kadar Hormon
Paratiroid dan rendahnya kadar vitamin D sangat sulit dibedakan, karena
keduanya terjadi secara bersamaan mulai padaPenyakit ginjal Kronik
satdium 2-5. Tingginya kadar Hormon Paratiroid sangat berhubungan dengan
penyakit kardiovaskuler (Tang, 2009).
Penurunan fungsi ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik akan disertai
dengan penurunan produksi 1,25-dihydroxyvitamin Datau Calcitrioldimulai
pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 2 yang secara progresif bertambah
rendah dengan bertambahnya stadium penyakit. Rendahnya kadar
1,25dihydroxyvitamin D tersebut akan menyebabkan beberapa efek samping
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik, meliputi gangguan pada homeostasis
mineral tulang dan hormon parathiroid, kalsifikasi ekstraskeletal dan
terganggunya fungsi biologi multiorgan (Moscovici dan Sprague, 2007).
Vitamin D juga mencegah nefrosklerosis dan memperlambat
progresivitas Penyakit Ginjal Kronik melalui efek anti inflamasi dan anti
proliferatifnya. Pada pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium 3-5, terapi
dengan calcitriol dihubungkan dengan tren ke depan dapat memperlambat
kebutuhan inisiasi dialisis. (Schwarz, 1998)
40
Gambar2.20Konsep model alur defisiensi vitamin D sampai
menyebabkan progresivitas Penyakit Ginjal Kronik
dan komplikasinya (Williams et al, 2009)
2.1.9.2 Pemberian Suplementasi Vitamin D pada Penyakit Ginjal
Kronik
Penurunan fungsi dan massa renal pada Penyakit Ginjal Kronik
akan menyebabkan kemampuan memproduksi 1,25(OH)2D3 atau
Calcitriol menurun, sehingga untuk memenuhi kekurangan tersebut maka
perlu pemberian calcitriol atau analognya. Pada Penyakit Ginjal Kronik
suplementasi dengan 25(OH) vitamin D direkomendasikan pada
permulaan penyakit dan pemberian calcitriol mulai diberikan mulai
Penyakit Ginjal Kronik stadium 3. Data terbaru fokus pada efek non
klasik dari vitamin D sehingga dilakukan revisi terhadap rekomendasi
terbaru untuk kebutuhan harian antara orang normal dengan pasien
Penyakit Ginjal Kronik (Jones, 2007). Penelitian baru menyarankan dosis
4000 IU/hari untuk pemeliharaan kadar optimum vitamin D pada
populasi normal dan dosis lebih tinggi diperlukan pada pasien Penyakit
Ginjal Kronikuntuk memenuhi kebutuhannya. Diperkirakan tiap 100 IU
vitamin D dapat meningkatkan kadar serum vitamin D ±1ng/ml (2,5
nmol/L) meskipun terdapat variasi individu dalam merespon dosis
tersebut. Toksisitas jarang menjadi problem yang signifikan pada
pemberian viatmin D karena batas keamanannya cukup luas antara dosis
yang direkomendasikan dengan dosis yang dianggap tidak aman
(Heaney, 2008).
Kadar serum 25(OH)D digunakan untuk menilai status vitamin
D dalam tubuh. Dikatakan defisiensi vitamin D jika kadar serum
25(OH)D<20 ng/ml, insuffisiensi vitamin D jika kadarnya <30ng/ml.
Target pemberian vitamin D untuk mencapai kadar serum 25(OH) paling
tidak 30 ng/ ml atau dalam rentang normal 40-80ng/ml, dikatakan toksik
jika mencapai >150 ng/ml. Gejala dari hipervitaminosis D meliputi fatig,
41
mual, muntah dan kelemahan. Vitamin D yang berasal dari sinar
matahari tidak dapat menyebabkan toksisitas (Kulie et al, 2009; Querfeld
dan Mak, 2010). Resiko terjadinya hiperkalsemia dan hiperfosfatemia
merupakan salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada terapi
vitamin D pada Penyakit Ginjal Kronik tetapi pada penelitian meta
analisis yang dilakukan Praveen et al, 2011 menyebutkan bahwa
pemberian vitamin D menurunkan kadar Hormon Paratiroid dan tidak
didapatkan peningkatan yang signifikan pada kadar serum kalsium dan
fosfat. Pada penelitian cohort eksperimental yang dilakukan oleh Jean G
et al, 2008 menyatakan bahwa dengan pemberian preparat 25(OH)D3 per
oral dengan dosis 10-30 µg/hari pada pasien Penyakit ginjal Kronik yang
menjalani hemodialisis dapat memperbaiki keadaan defisiensi atau
insufisiensi vitamin D pada pasien tersebut tanpa adanya efek toksisitas.
2.2 Penelitian yang Relevan
Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pemberian 1,25
Dihydroxyvitamin D (Calcitriol) pada pasien Penyakit Ginjal Kronik yang
menjalani hemodialisis dapat menurunkan kadar Fibroblast Growth Factor-
23 (FGF-23) serta menurunkan albuminuria (Sung JY et al, 2013).
Pada penelitian terdahulu menyebutkan bahwa rendahnya kadar
1,25 Dihydroxyvitamin D (Calcitriol)berhubungan dengan beberapa marker
inflamasi seperti FGF-23 dan albuminuria serta marker stres oksidatif yang
lain. Pada penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pemberian pericalcitriol
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik dapat menurunkan albuminuria
sehingga dapat menurunkan kalsifikasi vaskuler yang akhirnya mengurangi
progresifitas penurunan fungsi ginjal (Alborzi P et al, 2008).
42
BAB 3
KERANGKA BERPIKIR
3.1. Kerangka berpikir
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
Nephrin
Angiotensin 2
Angiotensin 1
Renin Apparatus Juncta Glomerulus
Iskemia
Garam Ca Fosfat
Aterosklerosis Renal
Demineralisasi Tulang
Osteoklas
Fosfat
PTH
Ca
Angiotensin 1 Reseptor
Enzim Peroksidase
Slid Diafragma
Albuminuria
Penyakit Ginjal Kronik Stg V
Suplementasi
Calcitriol
Klotho
Glikoprotein
ROS
NADPH Oxidase
FGF-23
Fibroblast
Extracellular Matrix
Kolagen
Fibrosis Interstitial Ginjal
Sel Tubulus Distal
Ekskresi Fosfat
43
Keterangan :
: Mengaktivasi
: Menghambat
: Meningkatkan
: Menurunkan
: Variabel yang diperiksa
: Perlakuan yang diberikan
Ca : Calcium
FGF-23 : Fibroblast Growth Factor-23
NADPH Oxidase : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphaate Oxidase
PTH : Paratiroid Hormon
ROS : Reactive Oxygen Species
Keterangan Bagan Kerangka Konsep
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).
Terdapat peningkatan stres oksidatif dan inflamasi kronis pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik dan dialisis (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
Penurunan fungsi ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik akan disertai dengan
penurunan produksi 1,25 dihydroxyvitamin D, dimulai pada Penyakit Ginjal
Kronik stadium 2 yang secara progresif bertambah rendah dengan bertambahnya
stadium penyakit. Rendahnya kadar 1,25 dihydroxyvitamin D tersebut akan
menyebabkan beberapa efek samping pada pasien Penyakit Ginjal Kronik,
meliputi gangguan pada homeostasis mineral tulang dan hormon paratiroid,
kalsifikasi ekstraskeletal dan terganggunya fungsi biologi multiorgan (Moscovici
dan Sprague, 2007). Fungsi non klasik dari vitamin D adalah sebagai
imunoregulator (Williams, 2009). Dan peran vitamin D disini sebagai anti
inflamasi dengan melalui penekanan/ supresi pada jalur Nuclear Factor kB
(NF-ĸB), dimana jalur NF-ĸB ini sangat berperan penting dalam progresivitas
44
penyakit ginjal, karena jalur tersebut akan memicu inflamasi dan fibrogenesis
melalui pelepasan sitokin pro inflamasi (Lang, 2014).
Albuminuria sangat penting sebagai marker disfungsi endotel pada
seluruh pembuluh darah baik pada ginjal, jantung koroner dan serebral.
Albuminuria sebagai prognosis infark miokard. Kenaikan albuminuri (mulai dari
mikroalbuminuri) akan terjadi meningkatnya resiko renokardios erebral vaskuler.
Derajat proteinuria diasosiasikan dengan penuruanan ginjal progresif pada
penyakit glomerular, sering dijumpai pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 1 dan
beresiko berkembang menuju Penyakit Ginjal Kronik stadium 2,3,4 dan akhirnya
mencapai Penyakit Ginjal Tahap Akhir. Proteinuria terjadi karena lintasan
transglomerular abnormal akibat peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus dan gangguan reabsorbsi protein oleh sel epitel tubulus proksimal.
Berkurangnya muatan negatif pada dinding kapiler menyebabkan albumin lolos
dalam urin (Amico dan Bazzi, 2003).
Para peneliti menyimpulkan bahwa kadar proteinuria tinggi, terjadi
peningkatan resiko penurunan fungsi ginjal, akhirnya pasien memerlukan dialisis
atau transplantasi ginjal (Gansevort, 2009). Mikroalbuminuria ditemukan dengan
prevalensi 7%. Sementara pada penderita hipertensi, diabetes, penyakit jantung
koroner dan stroke prevalensi mikroalbuminuria berkisar antara 16-28%
(Pedrinelli, 1994; Tabaei, 2005).
Penurunan fungsi ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik akan disertai
dengan penurunan produksi 1,25 dihydroxyvitamin D, dimulai pada Penyakit
Ginjal Kronik stadium 2 yang secara progresif bertambah rendah dengan
bertambahnya stadium penyakit. Rendahnya kadar 1,25 dihydroxyvitamin D
tersebut akan menyebabkan beberapa efek samping pada pasienPenyakit Ginjal
Kronik, meliputi gangguan pada homeostasis mineral tulang dan hormon
parathiroid, kalsifikasi ekstraskeletal dan terganggunya fungsi biologi multiorgan
(Moscovici dan Sprague, 2007).
45
3.2 Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh pemberian 1,25 Dihydroxyvitamin D (Calcitriol) dapat
menurunkan kadar Fibroblast Growth Factor-23 pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik stadium V yang menjalani hemodialisis
2. Ada pengaruh pemberian 1,25 Dihydroxyvitamin D (Calcitriol) dapat
menurunkan Albuminuria pada pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V
yang menjalani hemodialisis
46
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Hemodialisa RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini selama 5 bulan dengan
jadwal penelitian sebagai berikut
JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
Pesan reagen
Penelitian Olah
data Pelaporan
Sampling Run in periode
Gambar 4.1 Jadwal penelitian
4.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan randomisasi (Randomized
Control Trial (RCT).
4.3 Populasi Sampel
1. Populasi sasaran : Pasien Penyakit Ginjal Kronikstadium V yang telah
melakukan hemodialisis selama 3 bulan sampai 5 tahun di Instalasi
Hemodialisa RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2. Populasi sumber : Pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V yang telah
melakukan hemodialisis selama 3 bulan sampai 5 tahun seminggu sekali
di instalasi Hemodialisa RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan jumlah
30 subjek.
47
3. Populasi Sampel : Diambil acak pada semua pasien Penyakit Ginjal
Kronikstadium V yang telah menjalani hemodialisis selama 3 bulan
sampai 5 tahun seminggu sekali di Instalasi Hemodialisa RSUD Dr.
Moewardi Surakartadan bersedia diambil darahnya untuk penelitian.
4.4 Besar Sampel
Penentuan besar sampel (sample size) melibatkan parameter tingkat
kesalahan (error term) atau α dan tingkat kekuatan pengujian (power test)
atau 1 - β.
Formulasi besar sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
(Dahlan, 2009; Santjaka, 2011).
2
22
11 )(
ZZn
Dimana:
n : besarnya sampel
Z1-α : nilai standar normal tingkat kesalahan, jika α = 0,05 maka
Z1-α = 1,96
Z1-β : nilai standar normal power test, jika 1 - β = 0,90 maka:
Z1-β = 1,282
δ : selisih yang diinginkan (difference of interest)
σ : besarnya penyimpangan (standar deviasi) yang bisa ditolerir
Karena untuk kelompok sampel berpasangan berlaku: δ2 = σ
2 = 1, sehingga:
2
11 )( ZZn
maka dengan kondisi diatas, penelitian ini menggunakan ukuran sampel
minimal adalah:
n = (1,96 + 1,282)2 = 10,51 dibulatkan menjadi 11
Dengan demikian sampel minimal dalam penelitian ini adalah 11 responden
dalam setiap kelompok. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan
48
mempertimbangkan kemungkinan terjadi drop out maka ditetapkan angka
drop out sebesar 10% (Harun SR, 2011). Dengan mempertimbangkan
minimal besar sampel dan drop out maka diambil sampel sebesar 15 pasien
dengan penyakit ginjal kronik stadium V (n=15 pasien untuk tiap kelompok)
sehingga besar sampel telah cukup memadai dan memenuhi formulasi besar
sampel. Teknik pengambilan sampel dengan simple random sampling
menggunakan program Open Epi versi 2.3.
Kriteria Inklusi :
1. Pasien sudah tegak diagnosis Penyakit Ginjal Kronik stadium V yang
dibuktikan dengan pemeriksaan Ultrasonografi Ginjal, laboratorium
darah dan pemeriksaan urin memenuhi kriteria K/ DOQI 2006 (Kidney
Disease Outcome Quality Initiative)
2. Usia 20-59 tahun
3. Telah menjalani hemodialisis seminggu sekali selama lebih dari tiga
bulan - kurang dari 5 tahun
4. Tensi sistolik lebih dari 100 mmHg
5. Hb lebih dari 6 mg/ dL
6. Pasien dalam keadaan tidak mengkonsumsi suplementasi Calcium (baik
berupa tablet Calcium atau susu tinggi Calcium).
Kriteria Eksklusi :
1. Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan nefropati diabetik stadium V
2. Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang sedang menjalani terapi dengan
steroid
3. Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang sedang menjalani terapi vitamin D
4. Pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V dengan keganasan
5. Pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V dengan uropati obstruktif.
6. Pasien dalam kondisi infeksi (dibuktikan dengan suhu tidak lebih tinggi
dari 37.50
C)
49
7. Pasien dalam keadaan sepsis
8. Pasien menderita hepatitis B dan C kronik
9. Pasien dengan aritmia jantung
10. Pasien Penyakit Ginjal Kronikstadium V dengan kadar vitamin D >30
ng/ml
4.5 Variabel dan Definisi Operasional
4.5.1. Variabel Penelitian
a. Variabel tergantung :
Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23)
Albuminuria
b. Variabel bebas :
1,25 Dihydroxyvitamin D (Calcitriol)
4.5.2 Definisi Operasional
Penderita Penyakit Ginjal Kronik stadium V: Penderita yang
memenuhi kriteria seperti di bawah ini :
a. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan,
berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan manifestasi :
• Kelainan patologis.
• Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan
(imaging test).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/ 1,73m2
selama tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Stadium V : Bila Laju Filtrasi Glomerulus <15 mL/ menit, penderita
mengalami Penyakit Ginjal Kronik tanpa melihat penyebabnya, penderita
50
sudah menjalani hemodialisis selama minimal tiga bulanseminggu sekali.
Sebelum dilakukan hemodialisis, pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium V
harus memenuhi pra syarat untuk bisa dilakukan hemodialisis. Prasyarat ini
sekaligus merupakan kriteria inklusi dari sampel yang diikutkan dalam
penelitian.
Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel
Parameter Definisi Alat
Ukur
Satuan
Data
Skala
Data
Fibroblast Growth
Factor-23
(FGF-23)
Adalah protein dengan
berat molekul 30 kDa,
merupakan sub famili
dari Fibroblast Growth
Factor-15 (FGF-15),
sebagai regulator homeos
tasis fosfat
Sandwich
ELISA
RU/ mL
Rasio
Albuminuria
Adalah fenomena yang
ditunjukkan oleh adanya
molekul albumin dalam
urin, merupakan tanda
awal penyakit glomerular
ELISA µg/ mg
Rasio
1,25
Dihydroxyvitamin
D (Calcitriol)
Adalah grup vitamin yang
larut dalam lemak,
prohormon dengan
bentuk aktif (Calcitriol)
- µg Nominal
4.6 Biaya
Biaya penelitian diperkirakan lebih kurang Rp 30.000.000
4.7 Cara Kerja
Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diambil sebanyak
30 orang secara acak dengan metode simple random sampling kemudian
dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok uji dan kelompok kontrol
masing-masing n=15. Proses pengambilan sampel dan membaginya menjadi
51
dua kelompok menggunakan program komputer Open Epi versi 2.3. Selama
penelitian berlangsung, regimen terapi tidak dirubah.
4.7.1 Perlakuan:
Kelompok uji: Vitamin D (Oscal) 0,5µg/ hari, diminum antara
jam18.00-21.00, selama 28 hari.
Kelompok kontrol: Tidak diberikan vitamin D (Oscal).
4.7.2 Monitoring:
1. Dilakukan monitoring tiap dua minggu untuk mengetahui efek samping
yang timbul dengan wawancara dan pemeriksaan fisik. Dicari adanya
fatiq, mual, muntah dan kelemahan serta keluhan lain terkait efek
samping pemakaian vitamin D/ plasebo.
2. Bila ada indikasi akan dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium
seperti serum vitamin D, kadar serum phospat dan kalsium.
3. Dilakukan penghitungan jumlah obat tiap kali kontrol, dikatakan patuh
bila jumlah obat yang minum 90 – 110%.
4. Selama perlakuan, subyek akan dieksklusi bila terdapat salah satu dari
berikut ini; kepatuhan minum obat <80% atau >120%, efek samping
serius dari obat yang diteliti dan masuk rumah sakit.
4.7.3 Tindakan bila ada efek samping:
a. Penanganan efek samping sesuai indikasi.
b. Melaporkan kejadian tersebut ke Komisi Etik secepatnya.
4.7.4 Pengambilan darah dan penanganan spesimen:
a. Teknik pengambilan darah
1. Pemeriksaan kadar Fibroblast Growth Factor-23 dan Albuminuria
dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan.
52
2. Darah yang akan dilakukan pemeriksaan Fibroblast Growth Factor-23
dan diambil melalui vena antecubiti pada ruangan yang tenang dengan
temperatur terkontrol (24-25 0C) pada 2 jam sebelum hemodialisis.
3. Proses penanganan spesimen untuk sampeldarah yang diperoleh
dimasukkan kedalam tabung sentrifus yang sudah diberi kode dan
dibiarkan membeku. Sampel darah yang sudah membeku dipusingkan
selama 5-10 menit dengan kecepatan 4000 rpm.
4. Pemeriksaan Fibroblast Growth Factor-23 dilakukan setelah semua
sampel sebelum dan sesudah perlakuan terkumpul semua, untuk
menghindari rusaknya kit, bila pemeriksaan dilakukan tidak secara
bersamaan.
5. Pemrosesan darah untuk diambil plasmanya, penyimpanan plasma
pada suhu -20 0C dan pemeriksaan FGF-23 dilakukan dengan bekerja
sama dengan Laboratorium Klinik Prodia.
b. Teknik pemeriksaan Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23)
Prinsip pemeriksaan Fibroblast Growth Factor-23 (Metode Sandwich
ELISA Quantitative) dengan menggunakan sampel serum/ plasma.
Teknik pemeriksaan dengan buffer, pipeting atau mencuci.Pengenceran
optimal menggunakan tabung polypropylene. Semua reagen disimpan
pada suhu kamar.
Serum : Gunakan tabung pemisah serum (SST) dan memungkinkan
sampel membeku selama 30 menit sebelum sentrifugasi selama
15 menit pada 1000 xg. Hapus serum dan uji segera aliquot,
simpan sampel pada ≤ -20 ° C. Hindari siklus beku-mencair.
Plasma: Dengan menggunakan EDTA, heparin atau sitrat sebagai
antikoagulan, centrifuge selama 15 menit pada 1000 xg dalam
waktu 30 menit. Assay segera aliquot, simpan pada ≤ -20 ° C.
Hindari siklus beku-mencair.
Opsional: Gunakan Aprotinin (enzim inhibitor) 0,5 TIU per ml larutan
untuk mencegah degradasi sampel.
53
Wash Buffer : Jika konsentrat dalam bentuk kristal, aduk perlahan hingga
kristal mencair. Encerkan 50 ml Wash Buffer konsentrat
ke deionisasi atau 450 mlair suling
FGF-23 Standard : Dengan 1 mL Dilusi Buffer, aduk selama minimal 15
menit sebelum pengenceran. Masukkan Dilusi
Buffer dengan pipet 250 mL ke dalam tabung 1-6.
Campur setiap tabung secara menyeluruh pada 2000
pg/ mL. Sesuai pengenceran Buffer berfungsi
sebagai standar nol (0 ng/ mL).
Teknik pemeriksaan :
1. Siapkan semua reagen dan standar kerja sesuai petunjuk
2. Keluarkan sisa strip lempeng dari frame plat, kembalikan ke kantong
plastik dengan pak pengering
3. Tambahkan 100 mL Dilusi Buffer ke tabung
4. Tambahkan 100 mL pengenceran standar, sampelatau kontrol positif
ke tabung. Tutup dengan piring sealer selama 2 jam pada lempeng
shaker pada suhu kamar
5. Aspirasi masing-masing tabung dengan mencuci, ulangi proses
sampai tiga kali.Cuci dengan 1x Wash Buffer (300 mL) dengan botol
semprot, dispenser manifold atau autowasher. Setelah mencuci
terakhir, hilangkan sisa Wash Buffer dengan aspirating atau
decanting. Bersihkan piring dengan kertas yang bersih.
6. Tambahkan 100 mL antibodi solution yang terdiri dari 1 bagian
Biotinylated Antibodi dan 1 bagian HRP Antibodi. Tutup dengan
piring sealer/ aluminium foil selama 2 jam pada lempeng shaker
pada 180-220 RPM. Simpan pada suhu kamar(untuk menghindari
paparan cahaya)
7. Ulangi aspirasi/ cuci seperti pada langkah 5
8. Tambah 100 mL dari Streptavidin-HRP. Tutup dengan piring
sealerselama 45 menit pada lempeng shaker pada suhu kamar.
Lindungi dari cahaya
54
9. Ulangi aspirasi/ cuci seperti pada langkah 5
10. Tambahkan 100 mL TMB substrat solution masing-masing tabung.
Diamkan selama 4-6 menit pada lempeng shaker pada suhu kamar.
Lindungi dari cahaya.
11. Tambahkan 100 mL stop solution untuk setiap tabung. Warna dalam
tabung berubah dari biru menjadi kuning. Jika warna dalam tabung
berwarna hijau atau jika perubahan warna tidak muncul seragam,
tekan piring untuk memastikan pencampuran menyeluruh
12. Tentukan kerapatan optik selama 15 menit dengan menggunakan
pembaca lempeng pada 450 nm.
c. Teknik pemeriksaan Albuminuria
Alat dan bahan dalam penelitian ini untuk pemeriksaan
albuminuria digunakan alat : pot penampung urin, tabung reaksi dan
bahan: urin dan dipstick albuminuria (Chemstrip R Micral R dari Roche).
Penelitian dilakukan dengan memeriksa kadar albuminuria yaitu dengan
cara disiapkan sampel urin spot pagi hari, kemudian dimasukkan tes strip
(Chemstrip R Micral R dari Roche) kedalam urin sampai batas tertentu
dan tunggu selama 1 menit. Diletakkan tes strip diatas tabung selama 30
detik. Dan dibandingkan warnanya dengan warna standar yang ada
ditabung tempat tes strip. Bila warna putih negatif, bila warna merah
berarti positif. Secara semikuantitatif dibandingkan dengan warna yang
positif lalu ditentukan kadarnya sesuai gradasi warna dari 20-100 mg/ L
(Kresno, 2007).
55
4.8 Analisis Statistik
Data disajikan dalam bentuk mean ± SD kemudian dianalisis
menggunakan SPSS 17 for windows dengan nilai p<0,05 dianggap
signifikan secara statistik. Digunakan uji beda mean. Untuk mengetahui
beda mean antara kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah
perlakuan digunakan uji t sampel independen bila distribusi data normal
(bila tidak normal digunakan uji mann whitney). Untuk mengetahui beda
mean antara sebelum dengan sesudah perlakuan dalam satu kelompok
digunakan uji t sampel berpasangan bila distribusi data normal (bila tidak
normal digunakan uji wilcoxon).
56
4.9 Alur Penelitian
Gambar 4.2 Alur Penelitian
Penderita Penyakit Ginjal Kronik stadium V
Randomisasi
Kelompok Placebo
Sampel darah Pre Test
Fibroblast Growth Factor-23
Sampel Urin (Albuminuria)
Sampel darah Post Test
Fibroblast Growth Factor-23
Sampel urin (Albuminuria)
Analisis Statistik
Kriteria inklusi eksklusi
Kelompok Perlakuan
Sampel darah Pre Test
Fibroblast Growth Factor-23
Sampel Urin (Albuminuria)
Terapi standar + 1,25 Dihydroxyvitamin D
oral 1x0,5µg Selama 4 minggu
Sampel darah Post Test
Fibroblast Growth Factor-23
Sampel Urin (Albuminuria)
Terapi standar + Plasebo oral 1x1
Selama 4 minggu
Recommended