View
1.072
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan pakan sumber protein di Indonesia sangat banyak macamnya dan
beragam kualitasnya. Untuk menyusun satu macam ransum biasanya
digunakan beberapa macam bahan. Bila dilihat dari segi proteinnya, maka
ransum yang disusun hanya berdasarkan kadar protein saja menjadi kurang
akurat. Hal ini dapat dilihat di lapang untuk ransum yang berbeda namun
mengandung kadar energi dan protein yang sama, sering kali menghasilkan
tingkat produktivitas yang berbeda-beda. Ransum dengan kadar protein yang
sama bisa jadi memiliki tingkat fermentabilitas, ketahanan protein terhadap
degradasi dalam rumen, kecernaan protein oleh enzim pencernaan pascarumen
dan sintesis protein mikroba yang berbeda-beda. Oleh karena itu kadar protein
ransum yang tinggi tidak dapat menjamin bahwa ransum tersebut berkualitas.
Pemberian protein ransum hendaknya didasarkan pada banyaknya protein
yang dapat diabsorbsi (NRC, 1989). Pada ruminansia jumlah protein yang dapat
diabsorbsi bergantung pada pasokan protein mikroba dan protein ransum. Oleh
karena itu perlu dikembangkan tolok ukur mutu protein yang ada keterkaitannya
dengan pasokan protein tersebut. Mutu protein ransum ditentukan oleh banyak
faktor antara lain: (i) Produksi amonia, karena amonia rumen diperlukan untuk
mendukung sintesis mikroba rumen. Pada ruminansia, protein yang
dikonsumsi sebagian akan didegradasi dalam rumen menjadi asam amino dan
selanjutnya mengalami deaminasi menjadi amonia (NH3) dan sebagian lainnya
akan lolos dari perombakan rumen. Amonia sebagai sumber nitrogen (N)
diperlukan untuk sintesis de novo asam amino oleh mikroba rumen. Kadar
amonia cairan rumen yang mendukung sintesis mikroba rumen berkisar antara
4-14 mM (Satter dan Slyter 1974; Preston dan Leng 1987; Sutardi 1994). (ii)
Tingkat degradasi protein dalam rumen, yang merupakan indikator besarnya
protein yang memasok protein asal ransum (Orskov et al. 1980). Daya
degradasi protein ransum di dalam rumen sangat bervariasi bergantung pada
komposisi, struktur fisik dan kimia, pengolahan bahan baik secara kimia, fisik
maupun biologis (Madsen dan Hvelplund 1985), (iii) Kecernaan protein oleh
pepsin HCl (AOAC 1980; Calsamiglia dan Stern 1995; Habib et al. 2001),
sebagai pemasok asam amino pascarumen. Protein ransum yang tak
terdegradasi dalam rumen dengan kecernaan oleh enzim pencernaan
pascarumen yang tinggi diperlukan untuk menyediakan protein ransum bagi
induk semang. Hal ini sehubungan dengan pasokan asam amino untuk ternak
dengan tingkat produksi tinggi tidak cukup jika hanya mengandalkan pasokan
yang berasal dari protein mikroba. Sebaliknya protein ransum yang tak
terdegradasi dalam rumen, tetapi tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan
pascarumen akan dikeluarkan melalui feses. Oleh karena itu tingkat ketahanan
protein ransum terhadap degradasi dalam rumen sekaligus kecernaan protein
oleh enzim pencernaan pascarumen menjadi penting untuk diperhitungkan
dalam menentukan kualitas protein ransum ruminansia. (iv) Produksi basa
purin cairan rumen (Zinn dan Owens 1986; Chen dan Gomez 1992; Obispo dan
Dehority 1999) untuk melihat besarnya sintesis mikroba rumen, yang merupakan
komponen pemasok protein asal mikroba rumen. Semakin tinggi basa purin
yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi nilai hayati dari protein ransum.
Mikroba rumen merupakan sumber pemasok N yang utama bagi ruminansia
karena mampu mencukupi kebutuhan N sebesar 40 – 80% (Sniffen dan
Robinson 1987).
Pengukuran mutu protein ransum perlu mempertimbangkan cara yang
mudah, cepat dan murah serta mempunyai relevansi tinggi dengan retensi
nitrogen dan pertumbuhan, sehingga tolok ukur mutu protein tersebut bisa
digunakan untuk menduga produktivitas. Pengukuran dengan menggunakan
hewan percobaan (in vivo) dapat diketahui secara langsung besarnya retensi
nitrogen maupun pertumbuhannya, akan tetapi dibutuhkan biaya yang mahal
dan membutuhkan waktu lama. Pengukuran secara in vitro dan in sacco dapat
dilakukan dalam waktu yang cepat, sampel yang dibutuhkan sedikit, kondisi
relatif homogen dan dapat dikontrol serta biaya lebih murah.
Untuk menjawab hal tersebut dilakukan serangkaian percobaan yang
menyangkut pengkajian beberapa faktor yang mempengaruhi masing-masing
tolok ukur, baik secara in vitro, in sacco dan in vivo. Parameter mutu protein
ransum in vitro meliputi produksi amonia, kecernaan pepsin dan produksi purin,
sedangkan secara in sacco dapat diukur tingkat degradasi protein dalam rumen.
Selanjutnya dilakukan analisis relevansi masing-masing tolok ukur terhadap
retensi dan pertumbuhan domba dengan analisis regresi.
Tujuan
1 Mengkaji pengaruh sumber protein ransum terhadap utilisasi protein
berdasarkan tinjauan beberapa parameter mutu protein.
2 Menentukan parameter mutu protein ransum yang erat kaitannya dengan
retensi nitrogen dan pertumbuhan domba.
Manfaat
1 Dengan adanya relevansi antara produksi amonia, degradasi protein dalam
rumen, kecernaan protein tak terdegradasi dalam rumen oleh pepsin HCl
dan produksi purin dengan retensi nitrogen serta pertumbuhan domba,
maka parameter tersebut dapat digunakan sebagai tolok ukur mutu protein
ransum.
2 Tolok ukur mutu protein tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk
memilih bahan yang sesuai dalam menyusun ransum guna mencapai
pertumbuhan domba seperti yang diharapkan.
Hipotesis
Produksi amonia, degradasi protein dalam rumen, kecernaan protein tak
terdegradasi dalam rumen oleh pepsin HCl dan produksi purin dapat digunakan
sebagai tolok ukur mutu protein ransum, karena berpengaruh pada retensi
nitrogen dan pertumbuhan domba.
TINJAUAN PUSTAKA
Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat serta Lemak pada Ruminansia
Proses pencernaan adalah suatu proses perubahan yang dialami bahan
makanan baik secara fisik maupun kimiawi di dalam saluran pencernaan
menjadi zat-zat yang lebih sederhana yang dipersiapkan untuk diabsorbsi dan
digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhannya. Proses pencernaan pada
ruminansia lebih kompleks dibandingkan dengan non ruminansia, yaitu meliputi
interaksi antara pakan dengan populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Proses
pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis (di mulut), fermentatif (oleh
enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen) dan hidrolisis (oleh enzim-
enzim hewan induk semang). Oleh karena itu ruminansia mempunyai
kemampuan yang lebih baik dalam mencerna zat-zat makanan terutama yang
berasal dari makanan berserat.
Pakan ruminansia mengandung sejumlah nutrien seperti karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral. Karbohidrat merupakan komponen yang
mendominasi suatu bahan pakan dan umumnya berupa selulosa, hemiselulosa,
pati dan pektin. Hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen terutama berupa
asam lemak mudah terbang (volatile fatty acid = VFA). Proses pencernaan dan
fermentasi karbohidrat dalam rumen menjadi VFA secara skematis disajikan
pada Gambar 1. Partikel karbohidrat pakan seperti selulosa, hemiselulosa
mengalami hidrolisis oleh enzim â-1-4-glukosidase dari mikroba menjadi
sakarida sederhana seperti heksosa, pentosa, dan selobiosa. Karbohidrat yang
lain seperti pati, fruktan dan gula-gula mudah larut akan dicerna menjadi
maltosa, fruktosa dan glukosa. Hasil pencernaan tersebut segera memasuki
proses glikolisis Embden-Meyerhoff untuk menghasilkan piruvat.
Piruvat akan segera dirubah oleh mikroorganisme secara intraseluler
menjadi VFA. Komponen VFA yang merupakan produk akhir pencernaan
karbohidrat dalam retikulorumen terdiri atas asam asetat, propionat, butirat dan
sejumlah kecil valerat serta asam lemak berantai cabang yaitu isobutirat,
isovalerat dan 2-metilbutirat (Church dan Pond 1988). Perubahan piruvat
menjadi produk akhir VFA dapat melalui beberapa lintasan. Asetat dihasilkan
Selulosa Pati Pektin Hemiselulosa
Pentosa
Heksosa
Lintasan
Embden Mayerhoff Lintasan Pentosa
Piruvat
Format
Asetil Ko-A
CO2 + H2 Lintasan Lintasan Suksinat Akrilat
Metan Asetat Butirat Propionat
Gambar 1 Skema fermentasi karbohidrat menjadi VFA dalam rumen (France dan Siddons 1993)
melalui dua jalur yaitu yang pertama melalui pembentukan asetil Ko-A terlebih
dahulu, kemudian dirubah menjadi asetil-fosfat kemudian asetat. Jalan yang
kedua yaitu dari piruvat dirubah menjadi asetil-fosfat dan format. Format yang
dibentuk oleh Methanobacterium diuraikan menjadi CO2 dan H2 yang
selanjutnya menghasilkan metan. Pembentukan propionat juga dapat melalui
dua jalur, yaitu jalur laktat atau akrilat dan jalur suksinat. Jadi selain VFA, dalam
fermentasi karbohidrat juga dihasilkan gas CO2, H2 dan metan yang dikeluarkan
dari rumen melalui proses eruktasi.
Kisaran konsentrasi VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak
adalah 80–160 mM, sedangkan konsentrasi VFA parsial selalu berubah
bergantung jenis pakan yang dikonsumsi. Pada pemberian hijauan tinggi,
proporsi asetat meningkat, sebaliknya pada pemberian konsentrat tinggi proporsi
propionat akan meningkat. Pada pemberian protein ransum tinggi, akan
dihasilkan isovalerat dan isobutirat yang tinggi pula (Sutardi 1977). Selanjutnya
VFA yang dihasilkan langsung diserap oleh epitelium rumen dan dibawa ke hati
melalui sistem porta untuk dimetabolisme lebih lanjut.
Lemak merupakan senyawa organik berminyak yang tidak larut dalam air.
Komponen lemak yang paling banyak adalah triasilgliserol yang merupakan
bahan bakar utama bagi semua organisme hidup dan juga merupakan
komponen utama membran sel yakni tempat terjadinya reaksi-reaksi metabolik
(Lehninger 1993). Berbeda dengan ternak non ruminansia, pencernaan lemak
pada ruminansia dewasa pertama kali dimulai di dalam retikulorumen,
selanjutnya akan mengalami dua proses penting, yaitu lipolisis dan
biohidrogenasi. Pertama-tama lemak akan mengalami lipolisis oleh enzim lipase
mikroba menghasilkan asam lemak bebas (Free Fatty Acid = FFA), gliserol dan
galaktosa. Gliserol dan galaktosa difermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan
VFA terutama propionat, sedangkan FFA dengan cepat akan dihidrogenasi oleh
mikroba menghasilkan produk akhir berupa asam lemak jenuh (Preston dan
Leng 1987). Asam lemak rantai pendek (C2-14) dan VFA langsung diserap oleh
dinding rumen, sedangkan penyerapan asam lemak jenuh berantai panjang
(>C14) hanya terjadi di usus halus.
Pencernaan dan Metabolisme Protein pada Ruminansia
Proses pencernaan protein pada ruminansia termasuk unik, karena
melibatkan mikroorganisme di dalam lambung majemuk yang menghasilkan
enzim proteolotik dan sangat berperan dalam pencernaan protein. Semua
protein dan non protein nitrogen (NPN) yang masuk ke dalam rumen mengalami
hidrolisis oleh enzim proteolitik menjadi oligopeptida dan asam amino.
Oligopeptida dan asam amino tersebut merupakan produk antara dan
selanjutnya akan dikatabolisme dan dideaminasi menghasilkan VFA, CO2, CH4
dan NH3 (Sutardi 1979; Baldwin dan Allison 1983; McDonald et al. 1988).
Proses proteolitik dan deaminasi asam amino menjadi amonia diduga tidak
memiliki kontrol metabolik. Hal ini berarti degradasi dan deaminasi terhadap
asam amino terus berlangsung meskipun telah terjadi akumulasi amonia yang
cukup tinggi.
protein pakan protein endogen
FERMENTASI RUMEN
asam amino NH3 diabsorbsi tak terdegradasi protein mikroba protein protein protein pakan mikroba endogen KECERNAAN USUS
asam amino diabsorbsi protein tidak tercerna protein endogen NH3 diabsorbsi
FERMENTASI
SEKUM Mikroba
Feces
Gambar 2 Perombakan protein pada hewan ruminansia (Kempton et al. 1978)
Secara skematis perombakan protein pakan pada ruminansia dijelaskan
oleh Kempton et al. (1978) seperti pada Gambar 2. Pada gambar tersebut
terlihat bahwa tidak seluruh protein pakan yang masuk ke dalam rumen akan
didegradasi oleh mikroba rumen. Ada sebagian protein pakan yang tak
terdegradasi dalam rumen dan dapat dicerna oleh enzim pencernaan
pascarumen kemudian diserap oleh usus halus.
Amonia sebagai hasil degradasi oleh mikroba rumen akan digunakan
untuk sintesis de novo protein mikroba yang selanjutnya menyediakan protein
mikroba bagi induk semang. Menurut Cheeke (1998), protein mikroba yang
sampai ke abomasum menjadi tersedia untuk induk semang. Protein ransum
yang tak terdegradasi dalam rumen bersama protein mikroba akan mengalir ke
abomasum terus ke usus halus dan dihidrolisis oleh enzim proteolitik yang
dihasilkan oleh ternak dan untuk selanjutnya diserap (Kempton et al.1978 dan
Nolan 1993). Protein yang tidak terhidrolisis akan meninggalkan usus dan
mengalami fermentasi dalam sekum dan kolon atau diekskresikan melalui feses.
Secara umum produk fermentasi dalam sekum dan kolon tidak bermanfaat bagi
induk semang (Kempton et al. 1978).
Proses degradasi protein tidak dapat dipandang sebagai suatu proses
yang menguntungkan ataupun merugikan. Pada kondisi tertentu proses
degradasi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan amonia dan peptida untuk
pertumbuhan mikroba rumen. Protein mikroba tersebut merupakan sumber
pasokan asam amino bagi induk semang (Chen et al. 1992; Verbic et al. 1990;
Puchala dan Kulasek 1992). Menurut Sniffen dan Robinson (1987) mikroba
rumen dapat mensuplai protein sebanyak 40–80% dari kebutuhan ternak
ruminansia. Sebaliknya pada kondisi protein pakan bermutu tinggi, diharapkan
laju degradasi protein tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu terhadap protein pakan
berkualitas tinggi yang fermentabel perlu dilakukan proteksi agar tahan terhadap
degradasi dalam rumen.
Pemberian protein ransum yang tak terdegradasi dalam rumen dapat
meningkatkan pasokan asam amino ke dalam usus halus dan memperbaiki profil
asam amino (Volden 1999). Protein merupakan bahan pakan ternak ruminansia
yang cukup mahal harganya, maka perhatian untuk meminimalkan degradasi
protein pakan dalam rumen perlu dipertimbangkan (Russel et al. 1992). Lebih
lanjut Saricicek (2000) dan Mustafa et al. (2000) menyatakan bahwa untuk
mengoptimalkan kemampuan ternak agar dapat berproduksi sesuai potensi
genetiknya perlu perhatian pada protein pakan yang tak terdegradasi dalam
rumen. Terhadap protein pakan yang tak terdegradasi dalam rumen perlu
dievaluasi lebih lanjut, terutama terhadap kecernaan oleh enzim proteolitik di
dalam organ pencernaan pascarumen dan keseimbangan asam aminonya. Jadi
usaha memacu produksi ternak melalui perbaikan nutrisi protein dapat dilakukan
dengan cara meningkatkan pemberian protein ransum yang tak terdegradasi
dalam rumen dan memaksimalkan sintesis protein mikroba. Melalui cara
tersebut diharapkan pasokan asam amino untuk diserap oleh usus halus
menjadi lebih banyak.
N-NH3 dan Sintesis Protein Mikroba Rumen
Proses perombakan protein oleh mikroba rumen menghasilkan amonia,
peptida dan asam amino (Nolan 1993). Amonia, peptida dan asam-asam amino
adalah sumber N untuk mikroba rumen. Lebih kurang 82% jenis mikroba rumen
dapat menggunakan amonia sebagai sumber N (Sniffen dan Robinson 1987).
Sebagian besar bakteri menggunakan amonia untuk sintesis protein tubuhnya,
walaupun ada sebagian kecil yang membutuhkan peptida dan asam amino
(Leng dan Nolan 1982; Wallace dan Cotta 1998). Hal ini disebabkan karena
sebagian mikroba mempunyai sistem transpor untuk mengangkut asam amino
ke dalam tubuhnya (Nolan 1993).
Amonia di dalam rumen tidak seluruhnya digunakan oleh mikroba,
sebagian akan diserap melalui dinding rumen. Jumlah amonia yang diserap
melalui dinding rumen bergantung pH rumen, semakin tinggi pH (basa) makin
besar jumlah amonia yang diserap (Haresign dan Cole 1984). Amonia yang
diserap akan dibawa oleh darah menuju ke hati untuk dikonversi menjadi urea.
Sebagian urea kembali ke rumen melalui saliva dan sebagian lagi dikeluarkan
dari tubuh melalui urin. Pool amonia dalam rumen tidak hanya disuplai oleh
proses degradasi protein ransum, tetapi juga oleh sumber N lainnya seperti
urea. Urea sudah umum ditambahkan pada pakan yang bermutu rendah.
Cheeke (1998) menyatakan bahwa urea merupakan sumber NPN terbesar yang
sering ditambahkan dalam pakan dan di dalam rumen akan mengalami
degradasi dengan cepat menghasilkan amonia, dengan konsentrasi maksimal
dalam 1 jam setelah makan (Broderick dan Wallace 1988). Sementara menurut
Kozloski et al. (2000) konsentrasi N amonia rumen meningkat dengan semakin
meningkatnya penambahan urea. Peningkatan terjadi hingga 3 jam pertama
sesudah pemberian pakan. Berkenaan dengan amonia adalah sumber N utama
untuk sintesis protein mikroba maka, konsentrasi amonia dalam rumen perlu
diperhatikan.
Sintesis protein mikroba akan mencapai laju optimum pada konsentrasi
amonia rumen sebesar 3.57 mM Satter dan Slyter (1974). Preston dan Leng
(1987) melaporkan bahwa kadar amonia cairan rumen sangat bervariasi dan
bergantung pada kandungan N ransum, dengan kisaran 10.7–14.3 mM. Leng
(1991) mendapatkan nilai sebesar 14.29 mM untuk mengoptimumkan aktivitas
mikroba rumen pada ternak sapi yang diberi pakan berserat dengan tingkat
kecernaan serat dan protein yang rendah. Sementara Mehrez et al. (1977)
melalui penelitian in vivo pada ternak domba mendapatkan bahwa konsentrasi
amonia yang lebih tinggi, yaitu sebesar 16.78 mM agar aktivitas mikroba dapat
optimal. Sutardi (1979) menyatakan bahwa kadar amonia rumen yang
mendukung pertumbuhan mikroba adalah 4-12 mM. Pada konsentrasi amonia
kurang dari 4 mM proses sintesis protein mikroba sudah terganggu. Pada
konsentrasi amonia yang lebih besar membutuhkan ketersediaan karbohidrat
yang siap pakai untuk memaksimalkan sintesis protein mikroba. Studi lain
menyatakan bahwa kadar amonia yang cukup untuk mencapai efisiensi
penggunaan energi dan protein ransum adalah 7-8 mM (Erwanto et al. 1993).
Produksi amonia merupakan petunjuk dari proses degradasi oleh mikroba
rumen. Produksi amonia rumen mencapai titik optimal pada saat tiga jam setelah
makan (Sutardi 1994; Mirsha et al. 2004). Jika ransum defisien akan protein atau
proteinnya tahan degradasi, maka konsentrasi amonia dalam rumen akan
rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan
turunnya kecernaan terutama kecernaan serat (McDonald et al. 1988). Produksi
amonia dalam rumen menjadi penting untuk diperhatikan dan terdapat korelasi
dengan degradabilitas ransum dalam rumen untuk mendukung sintesis mikroba
rumen yang optimum.
Mikroba rumen memberi sumbangan protein yang cukup besar terhadap
kebutuhan ternak ruminansia (Sniffen dan Robinson 1987). Untuk
mengoptimalkan pertumbuhan mikroba rumen, maka disamping menuntut
ketersediaan N yang cukup, pasokan nutrien lainnya sangat dibutuhkan seperti
energi, asam amino, mineral dan vitamin. Energi yang dibutuhkan untuk sintesis
protein mikroba adalah energi dalam bentuk ATP, sedangkan VFA yang
bermanfaat bagi mikroba rumen hanyalah yang bercabang dan dibutuhkan
sebagai sumber kerangka karbon. Asam amino berantai cabang sangat
mendukung sintesis protein mikroba karena akan mengalami deaminasi dan
dekarboksilasi menghasilkan asam lemak berantai cabang. Erwanto (1995) dan
Zain (1999) melaporkan bahwa penambahan asam amino berantai cabang
dalam ransum ruminansia mampu memacu pertumbuhan bakteri rumen. Hasil
penelitian Kanjanapruthipong et al. (2002) melaporkan bahwa meningkatnya
pasokan protein yang tahan degradasi rumen menyebabkan terjadi penurunan
sintesis protein mikroba dalam rumen yang diindikasikan oleh menurunnya
derivat purin dalam urin.
Meningkatnya pertumbuhan bakteri rumen dapat dilihat dari produksi total
purin dalam cairan rumen atau ekskresi alantoin (salah satu derivat purin) di
dalam urin. Lebih lanjut dinyatakan bahwa absorbsi purin dari asam nukleat
yang didegradasi akan dikeluarkan melalui urin sebagai derivat purin, yaitu
hypoxanthin, xanthin, asam urat dan alantoin. Dengan demikian produksi N
mikroba rumen dapat diestimasi dari derivat purin yang diekskresi melalui urin
(Chen et al. 1990). Secara skematis degradasi purin dan pembentukan derivat
purin seperti yang disajikan pada Gambar 3.
Ekskresi derivat purin dapat dijadikan indikator dan metode untuk
memprediksi biomasa mikroba yang meninggalkan rumen dan dicerna dalam
usus halus. Hal ini karena alantoin bersama dengan xanthin dan hipoxanthin
merupakan metabolit intermediet dari proses pencernaan bakteri rumen di dalam
usus halus yang dikeluarkan melalui urin. Kanjanapruthipong dan Leng (1998)
melaporkan bahwa hipoxanthin, xanthin, asam urat dan alantoin yang
diekskresikan dalam urin merupakan derivat metabolit dari purin endogen dan
eksogen yang didegradasi dalam tubuh. Jumlah asam urat dan alantoin yang
diekskresikan dalam urin diketahui mempunyai hubungan dengan pool asam
nukleat mikroba dalam rumen (Topp dan Elliot 1965) dan dalam usus halus yang
nilainya sebanding dengan derivat purin dalam darah (McAllan 1980). Nilai purin
dan derivatnya dapat menggambarkan besarnya protein mikroba yang memasok
kebutuhan ternak ruminansia. Alantoin urin sebagai komponen derivat purin
mengkontribusi >70% dari totalnya (Orden et al. 2000).
Purin Nukleotida Defosforilasi
Purin nukeosida
Basa purin
Adenin Guanin Adenase Guanase
Adenosin
Inosin HYPOXANTHIN
Xanthin oxidase
XANTHIN
Xanthin oxidase
ASAM URAT
Uricase
ALANTOIN
Gambar 3 Degradasi purin nukleotida dan pembentukan derivat purin (Chen dan Gomez 1992)
Berdasarkan hasil penelitian Obispo dan Dehority (1999) diketahui kadar
purin dari mikroba rumen sebesar 1.88 10-9 ì g setiap koloni. Ogimoto dan Imai
(1981) melaporkan bahwa populasi bakteri dalam rumen berkisar 1010-1012
koloni ml-1. Jadi besarnya kadar purin lebih kurang 0.2 mg ml-1 cairan rumen.
Perez et al. (1997) melaporkan bahwa basa purin dipengaruhi oleh kadar protein
dan karakteristik sumber protein ransum. Besarnya aliran basa purin melalui
duodenum ternyata lebih tinggi pada ransum dengan konsentrat tinggi (17.7
mmol hari-1) dibanding ransum dengan konsentrat rendah (12.9 mmol hari-1).
Pada kedua level konsentrat suplementasi tepung ikan menghasilkan basa
purin terendah (12.3 mmol hari-1) dibandingkan dengan bungkil kedelai (17.25
mmol/h) maupun biji matahari (16.32 mmol hari-1). Komponen alantoin sebagai
komponen terbesar dari derivat purin dalam urin menunjukkan pola yang sama.
Zain (1999) melaporkan bahwa alantoin urin sejumlah 73 mg hari-1 mampu
mendukung pertumbuhan domba sebesar 104 g hari-1.
Pemberian protein pakan yang tidak mudah terdegradasi, akan
menurunkan laju fermentasi protein oleh mikroba, sehingga menurunkan
pasokan energi dan asam amino mikroba untuk induk semang (Volden 1999).
Pada saat sumber protein tak terdegradasi dalam rumen tinggi diberikan,
suplemen NPN dibutuhkan untuk menjaga kecukupan level amonia rumen guna
mendukung sintesis mikroba rumen. Namun demikian dilaporkan bahwa,
dibanding amonia, asam amino dan peptida lebih meningkatkan laju dan jumlah
protein bakteri yang disintesis (NRC 1996). Dalam banyak kasus pakan alami
mengandung protein terdegradasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
mikroba rumen akan asam amino, peptida dan asam amino bercabang.
Protein Tak Terdegradasi dalam Rumen dan Kecernaan Pascarumen
Untuk memaksimalkan produktivitas ternak ruminansia ditinjau dari segi
nutrien proteinnya, maka diperlukan pasokan protein yang tak terdegradasi
dalam rumen dengan kecernaan oleh enzim pascarumen yang tinggi. Protein
mikroba tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan asam amino ruminansia.
Mengutip pernyataan Henson et al. (1997), sapi yang berproduksi tinggi
membutuhkan sejumlah protein yang bermutu tinggi yang mampu menyediakan
asam amino esensial ke saluran pencernaan bagian bawah untuk keperluan
laktasi dan fungsi metabolik. Mikroba rumen adalah sumber protein berkualitas
tetapi tidak selalu dapat mensuplai jumlah protein metabolisme yang cukup
untuk mendukung produksi dan hidup pokok. Protein tidak tercerna dalam
rumen dapat meningkatkan aliran asam amino ke saluran gastrointestinal untuk
diabsorbsi. Lebih lanjut dinyatakan oleh Sutardi (1979) bahwa sumber protein
bagi ruminansia adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) mampu
menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal, (ii) sebagian besar
tahan terhadap degradasi mikroba rumen dan (iii) bernilai hayati atau bernilai
Utilisasi Protein Netto (NPU) tinggi.
Pemenuhan kebutuhan protein ruminansia perlu memperhitungkan
jumlah protein pakan yang dapat didegradasi dalam rumen (untuk pertumbuhan
mikroba yang optimal) dan jumlah protein ransum yang tak terdegradasi dalam
rumen (yang diperlukan untuk melengkapi asam amino asal mikroba rumen).
Chen dan Jayasuria (1998) menyatakan bahwa jumlah N yang didegradasi
dalam rumen dan dikonversi menjadi protein mikroba menentukan efisiensi
penggunaan ransum oleh ruminansia. Lebih lanjut dinyatakan jika ransum
mempunyai efisiensi konversi N yang tinggi, maka protein mikroba lebih banyak
diproduksi dan sedikit N yang diekskresikan lewat urin. Adapun terhadap protein
pakan yang tak terdegradasi dalam rumen masih diperlukan evaluasi lebih
lanjut, terutama terhadap kecernaannya oleh enzim proteolitik di dalam organ
pencernaan pascarumen.
Jumlah protein pakan yang mengalami degradasi dalam rumen cukup
banyak dan laju degradasi tersebut dipengaruhi oleh kelarutan protein dan laju
aliran digesta (Buttery 1976). Derajat ketahanan protein terhadap degradasi
oleh mikroba rumen sangat beragam. Madsen dan Hvelplund (1985) telah
meneliti degradasi protein dari 38 jenis bahan konsentrat dan 44 jenis hijauan
secara in vitro dan in sacco (nylon bag) dan mendapatkan hasil bahwa
degradasi protein bahan yang diteliti bervariasi antara 12-90%. Adanya
keragaman tersebut memberi peluang kepada kita untuk memilih bahan pakan
dengan menyeimbangkan antara bahan pakan yang mudah didegradasi dalam
rumen dengan yang tahan degradasi rumen.
Chalupa (1975), Satter dan Roffler (1975) mengklasifikasikan sumber
protein atas dasar ketahanan protein terhadap degradasi dalam rumen kedalam
tiga kelompok. Bahan pakan sumber protein dengan tingkat ketahanan terhadap
degradasi dalam rumen rendah (<40%) adalah kasein, bungkil kedelai, bungkil
biji matahari dan bungkil kacang. Sedangkan bahan pakan sumber protein
dengan tingkat ketahanan sedang (40-60%) adalah biji kapas, alfalfa yang
didehidrasi, biji jagung dan biji-bijian kering bahan pembuat bir, sementara
bahan pakan sumber protein dengan tingkat ketahanan tinggi (>60%) adalah
tepung daging, corn gluten meal (CGM), tepung darah, tepung bulu, tepung ikan
dan beberapa protein yang diproteksi dengan formaldehid.
Peningkatan protein pakan tak terdegradasi dalam rumen tidak selalu
meningkatkan produksi. Hal ini dimungkinkan karena protein tersebut memiliki
tingkat kecernaan pascarumen yang rendah. Konsekuensinya ketersediaan
asam amino untuk dapat diabsorbsi dari usus halus menjadi berkurang (Owen
dan Bergen 1983). Hasil penelitian Preston dan Willis (1970) menunjukkan
bahwa konsumsi dan pertumbuhan dapat distimulasi dengan pasokan protein
pakan tak terdegradasi dalam rumen dari tepung ikan yang ditambahkan pada
pakan rendah protein. Hasil serupa juga ditunjukkan dengan pemberian barley
pelet pada domba betina (Orskov et al. 1973). Pada penelitian lain dilaporkan
bahwa meningkatnya level protein pakan yang tahan degradasi rumen
meningkatkan pertumbuhan bulu pada domba dan terjadi peningkatan
pertambahan bobot badan (Litherland et al. 2000).
Hasil Penelitian Pemberian Protein pada Ruminansia
Penelitian terhadap empat macam sumber protein dalam ransum yang
disusun isonitrogen telah dilakukan oleh Habib et al. (2001). Hasil yang
diperoleh adalah pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dari kontrolnya,
tetapi tidak menunjukkan perbedaan diantara keempat macam sumber protein.
Faktor yang mendukung pertambahan bobot badan tidak seluruhnya dari
pasokan protein, tetapi juga melibatkan sumber energi baik karbohidrat maupun
lemak. Jadi walaupun pasokan asam amino ke dalam usus berbeda,
pertambahan bobot badan yang dihasilkan bisa juga tidak berbeda.
Schlolsser et al. (1993) melaporkan bahwa pemberian bungkil kedelai dan
tepung darah pada kambing betina tidak menunjukkan perbedaan total protein
yang masuk usus maupun pertambahan bobot badan. Hal yang sama pada sapi
dilaporkan oleh Klusmeyer (1990) tidak terdapat perbedaan pengaruh substitusi
bungkil kedelai dengan corn gluten meal (CGM) terhadap total protein yang
masuk usus. Aliran protein ke pascarumen terdiri atas protein mikroba dan
protein yang tidak terdegradasi dalam rumen dan dicerna di dalam usus.
Bungkil kedelai sebagai sumber protein yang mempunyai tingkat degradasi lebih
tinggi daripada CGM mempunyai dukungan terhadap sintesis protein mikroba
yang lebih tinggi, sedangkan CGM dengan tingkat degradasi rendah dalam
rumen lebih mampu menyediakan protein ke dalam usus halus.
Kalbande dan Thomas (2001) memberikan substitusi tiga macam ransum
dengan tingkat protein degradable tinggi, sedang, dan rendah terhadap protein
tahan degradasi. Ransum disusun isonitrogen dan isoenergi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pH dan amonia rumen lebih rendah pada pakan dengan
protein tahan degradasi, tetapi VFA total dan parsialnya tertinggi. Perubahan
dari profil dan karakteristik fermentasi rumen dipengaruhi oleh jumlah kelarutan
dari protein ransum. Konsentrasi N amonia cairan rumen meningkat dengan
semakin meningkatnya level protein yang terdegradasi. Ditambahkan oleh Lee
et al. (2001) bahwa meningkatnya protein tak terdegradasi rumen menurunkan
konsentrasi amonia, yang berarti rendahnya kecernaan protein sehingga
ketersediaan amonia untuk pertumbuhan mikroba rendah juga.
Kanjanapruthipong et al. (2002) menyatakan total bakteri yang hidup dan
sintesis protein mikroba yang ditunjukkan dalam bentuk derivat purin dalam urin
menurun dengan semakin meningkatnya protein tahan degradasi dalam rumen.
Menurunnya bakteri rumen yang diindikasikan oleh jumlah total bakteri hidup
dengan semakin meningkatnya kadar protein tahan degradasi dari bungkil
kedelai yang diberi formalin dalam pakan diduga akibat lebih rendahnya peptida
yang larut dan asam amino yang tersedia untuk asimilasi. Kelebihan dari
peptida dan asam amino dari protein degradabel yang berlebihan untuk sintesis
protein mikroba dapat digunakan sebagai penghasil ATP.
Evaluasi Mutu Protein Ransum sebagai Penduga Utilisasi
Protein Ransum
Evaluasi ransum dapat dilakukan secara fisik, kimiawi dan biologis.
Evaluasi fisik ransum dilakukan terhadap ukuran, bentuk, keambaan, daya serap
air dan kelarutannya. Evaluasi kimia ransum yang menggambarkan komposisi
nutrien, seperti lemak dan protein hanyalah kadarnya saja. Penentuan besarnya
kebutuhan nutrien dan pemberian ransum ternak domba di Indonesia masih
digunakan standar yang direkomendasikan oleh NRC (1985) dan Kearl (1982).
Kebutuhan nutrien yang dimaksud adalah kadar nutrien yang ditentukan
berdasarkan analisa laboratorium. Berdasarkan kadar nutrien saja tidak dapat
diketahui kualitas dan manfaat ransum bagi ternak yang mengkonsumsi.
Kualitas dan manfaat baru dapat diketahui setelah dicobakan pada ternak. Pada
ternak ruminansia yang mempunyai lambung majemuk proses pencernaannya
berbeda dengan hewan monogastrik. Oleh karena itu pengujian manfaat
ransum yang diberikan terhadap ternak yang mengkonsumsi perlu dilakukan.
Evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium (in
vitro dan in sacco) maupun menggunakan hewan percobaan (in vivo). Teknik in
vitro mempunyai beberapa keuntungan dibanding teknik in vivo, antara lain
dapat dilakukan secara cepat, biaya murah, jumlah sampel yang digunakan
sedikit, kondisi relatif homogen dan dapat dikontrol serta dapat mengevaluasi
beberapa macam ransum dalam waktu singkat (Church 1979). Pada teknik ini
dipergunakan rumen buatan sebagai media (kultur), cairan rumen sebagai
sumber inokulum, larutan buffer untuk mempertahankan pH rumen dengan
kondisi dijaga anaerob seolah-olah menyerupai kondisi rumen pada ternak
sesungguhnya. Oleh karena itu hasil percobaan in vitro dapat dipergunakan
untuk memprediksi percobaan in vivo. Teknik in sacco telah biasa dilakukan
untuk mengukur degradasi pakan di dalam rumen, dengan menggunakan hewan
berkanula rumen. Tingkat degradasi pakan diukur dari bahan yang hilang pada
kantong nilon terhadap bahan awal yang diinkubasikan dalam rumen.
Pengukuran didasarkan pada lama inkubasi yang berbeda dan berurutan.
Berdasarkan hal tersebut, maka evaluasi ransum dapat dilakukan dengan
teknik in vitro dan in sacco, guna memprediksi mutu ransum yang sesungguhnya
bermanfaat bagi ternak yang mengkonsumsinya. Madsen (1985) telah
memperbaiki sistem evaluasi protein dengan memperhitungkan tingkat
degradasi dan daya cerna nutrien di dalam rumen serta sintesa protein mikroba.
Suatu metode pendekatan dilakukan untuk menduga kualitas ransum yang
diberikan dan besarnya sumbangan nutrien ransum terhadap penampilan
ternak. Salah satu pendekatan untuk mengevaluasi mutu ransum menggunakan
tolok ukur mutu protein ransum yang diberikan, yaitu kemampuan menghasilkan
amonia (Setter dan Slyter 1974), laju degradasi dalam rumen (Orskov 1982) dan
kecernaan protein tak terdegradasi dalam rumen oleh enzim pascarumen
(Calsamiglia dan Stern 1995, Muktiani 1994, Habib et al. 2001) dan produksi
purinnya (Chen dan Gomez 1992). Terdapatnya korelasi tolok ukur mutu protein
ransum tersebut dengan retensi nitrogen, pertambahan bobot hidup dan
deposisi protein tubuh, secara tidak langsung dapat digunakan untuk
memprediksi produktivitas ternak.
Recommended