View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Kedisiplinan
2.1.1. Pengertian Disiplin Kerja
Sikap disiplin kerja yang dimiliki oleh karyawan sangat penting bagi suatu
instansi pemerintahan dalam rangka mewujudkan tujuan instansi pemerintahan.
Tanpa disiplin kerja karyawan yang baik sulit bagi suatu instansi pemerintahan
mencapai hasil yang optimal.
Menurut (Simanjuntak & Hamali, 2016) “disiplin adalah kegiatan manajemen
untuk menjalankan standar-standar organisasi.
Menurut Hasibuan dalam Taryaman (2016:99) berpendapat bahwa
kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan
organisasi dan norma-norma sosial yang berlaku.
Menurut (Fisqy et al., 2017) mengemukakan bahwa disiplin merupakan
tindakan manajemen untuk mendorong anggota organisasi memenuhi tuntutan
berbagai ketentuan tersebut.
Menurut Rivai’I dalam (Yuliantari & Ulfa, 2016) “Disiplin kerja adalah suatu
alat yang digunakan manajer untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu
upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua
peraturan perusahaan serta norma-norma sosial yang berlaku”.
Sastrohadiwiryo dalam (Utari, 2015) disiplin kerja dapat didefinisikan sebagai
suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturan-
9
peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup
menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya
apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.
Menurut Sutrisno dalam (Udayanto et al., 2015) disiplin kerja adalah sikap
hormat terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan, yang ada dalam diri karyawan,
yang menyebabkan ia dapat menyesuaikan diri dengan sukarela pada peraturan dan
ketetapan perusahaan.
Kedisiplinan harus ditegakkan dalam suatu organisasi. Tanpa dukungan
disiplin karyawan yang baik, sulit organisasi untuk mewujudkan tujuannya. Jadi,
kedisiplinan adalah kunci keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.
2.1.2. Tujuan dan Manfaat Disiplin Kerja
Disiplin kerja sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi tujuan dan manfaat
dari disiplin kerja itu sendiri sehingga pelaksanaan kerja menjadi lebih efektif dan
efisien.
Disiplin kerja yang dilakukan secara terus-menerus oleh manajemen
dimaksudkan agar para karyawan memiliki motivasi unttuk mendisiplinkan diri,
bukan karena adanya sanksi tetapi timbul dari dalam dirinya sendiri.
Menurut (Hamali, 2016) bahwa yang menjadi tujuan utama dari disiplin
adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi yang maksimal dengan cara
mencegah pemborosan waktu dan energi.
Disiplin kerja dapat dilihat sebagai sesuatu yang begitu besar manfaatnya,
baik bagi kepentingan organisasi maupun bagi para karyawannya. Bagi organisasi
dengan adanya disiplin kerja, akan merasakan terpeliharanya tata tertib dan
10
kelancaran pelaksanaan tugas yang didapatkan, sehingga dapat diperoleh hasil yang
optimal. Adapun bagi karyawan yang akan memperoleh dalam suasana kerja yang
menyenangkan, sehingga akan menambah semangat kerja dalam melaksanakan
pekerjaannya. Dengan demikian, karyawan dapat mengembangkan tenaga dan pikiran
dengan semaksimal mungkin demi terwujudnya tujuan organisasi.
2.1.3. Indikator-Indikator Disiplin Kerja
Disiplin kerja menurut Handoko dalam Hamali (2016:216) mengemukakan
bahwa terdapat tiga tipe kegiatan pendisiplinan, yaitu :
1. Disiplin Preventif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong para
karyawan agar mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga
penyelewengan-penyelewengan dapat dicegah. Sasaran pokoknya adalah
untuk mendorong disiplin diri di antara para karyawan. Dengan cara ini, para
karyawan menjaga disiplin diri mereka bukan semata-mata karena dipaksa
oleh pihak manajemen.
2. Disiplin Korektif adalah kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran-
pelanggaran terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari
pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif sering berupa suatu
bentuk hukuman dan disebut sebagai tindakan pendisiplinan (disciplinary
action), sebagai contoh bisa berupa peringatan atau skorsing. Sebagai berikut
yang dapat berguna dalam pendisiplinan korektif :
a. Peringatan pertama dengan mengkomunikasikan semua peraturan
terhadap karyawan.
11
b. Mendapatkan pendisiplinan yang ditetapkan supaya karyawan dapat
memahami hubungan peristiwa yang dialami oleh karyawan.
c. Konsisten yaitu para karyawan yang melakukan kesalahan yang sama
akan diberikan sanksi yang sesuai dengan kesalahan yang mereka buat.
d. Tidak bersifat pribadi dengan maksud dalam tindakan pendisiplinan ini
tidak memandang secara individual atau subjective, tetapi setiap
karyawan yang melanggar akan dikenakan sanksi yang berlaku bagi
perusahaan tersebut.
3. Disiplin Progresif adalah kegiatan yang dapat memberikan hukuman-
hukuman yang lebih berat terhadap pelanggaran yang berulang. Tujuannya
adalah memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengambil tindakan
korektif sebelum hukuman yang lebih “serius” dapat dilaksanakan.
2.1.4. Pendekatan Dalam Disiplin Kerja
Menurut Mangkunegara dalam Sinambela (2018:339), dalam melakukan
pendekatan ini, disiplin kerja memiliki tiga bentuk pendekatan disiplin menurut,
yakni :
a. Disiplin modern, yaitu pendekatan yang mempertemukan sejumlah keperluan
atau kebutuhan baru di luar hukuman. Untuk itu, asumsi pendekatan ini adalah
(1) Disiplin modern merupakan sesuatu cara menghindarkan bentuk hukuman
secara fisik. (2) Melindungi tuduhan yang benar untuk diteruskan pada proses
hukum yang berlaku. (3) Keputusan-keputusan yang semuanya terhadap
kesalahan atau prasangka harus diperbaiki dengan mengadakan proses
12
penyuluhan dengan mendapatkan fakta-faktanya. (4) Melakukan proses
terhadap keputusan yang berat sebelah pihak terhadap kasus disiplin.
b. Pendekatan disiplin dengan tradisi, yaitu pendekatan disiplin dengan cara
memberikan hukuman. Untuk itu, asumsi pendekatan ini adalah (1) Disiplin
dilakukan oleh atasan kepada bawahan, dan tidak pernah ada peninjauan
kembali bila telah diputuskan. (2) Disiplin adalah hukuman untuk
pelanggaran, pelaksanaannya harus disesuaikan dengan tingkat
pelanggarannya. (3) Pengaruh hukuman untuk memberikan pelajaran kepada
pelanggar maupun kepada pegawai lainnya agar tidak mengikuti pelanggaran
yang sama. (4) Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang
lebih keras. (5) Pemberian hukuman terhadap karyawan yang melanggar
kedua kalinya harus diberi hukuman yang lebih berat.
c. Pendekatan disiplin bertujuan, yaitu apabila diterapkan dengan harapan bukan
hanya memberikan hukuman, melainkan lebih bersifat pembinaan. Untuk itu,
asumsi pendekatan ini adalah (1) Disiplin kerja harus dapat diterima dan
dipahami oleh semua karyawan. (2) Disiplin bukanlah suatu hukuman,
melainkan lebih mengarah pada pembentukan perilaku positif. (3) Disiplin
ditujukan untuk perubahan pada perilaku yang lebih baik. (4) Disiplin
karyawan bertujuan agar karyawan bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
2.1.5. Sanksi Terhadap Disiplin Kerja
Pelanggaran kerja adalah setiap ucapan, tulisan, perbuatan seorang karyawan
yang melanggar peraturan disiplin yang melanggar peraturan disiplin yang telah
diatur oleh pimpinan organisasi. Sedangkan sanksi peanggaran adalah hukuman
13
disiplin yang dijatuhkan pimpinan organisasi kepada karyawan yang melanggar
peraturan disiplin yang telah diatur pimpinan organisasi.
Menurut Rivai dalam Sinambela (2018:353) Pelanggaran kerja adalah setiap
ucapan, tulisan, perbuatan seorang pegawai yang melanggar peraturan disiplin kerja
yang telah diatur oleh pimpinan organisasi, sedangkan sanksi pelanggaran kerja
adalah hukuman disiplin yang dijatuhkan pimpinan organisasi kepada pegawai yang
melanggar peraturan disiplin yang telah diatur pimpinan organisasi. Selanjutnya,
dikemukakan bahwa terdapat beberapa tingkat dan jenis pelanggaran kerja yang
umumnya berlaku dalam suatu organisasi.
a. Sanksi pelanggaran ringan, dengan jenis: teguran lisan, teguran tertulis, dan
pernyataan tidak puas secara tertulis.
b. Sanksi pelanggaran sedang, dengan jenis: penundaan kenaikan gaji,
penurunan gaji, dan penundaan kenaikan pangkat.
c. Sanksi pelanggaran berat, dengan jenis: penurunan pangkat, pembebasan dari
jabatan, dan pemberhentian, pemecatan.
2.2. Kinerja Pegawai
2.2.1. Pengertian Kinerja Karyawan
Kinerja dalam bahasa Inggris disebut dengan job performance atau actual
performance atau level of performance, yang merupakan tingkat keberhasilan
karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Kinerja bukan merupakan
karakteristik individu, seperti bakat atau kemampuan, melainkan perwujudan dari
bakat atau kemampuan itu sendiri. Kinerja merupakan perwujudan dari kemampuan
14
dalam bentuk karya nyata atau merupakan hasil kerja yang dicapai karyawan dalam
mengemban tugas dan pekerjaan yang berasal dari perusahaan.
Menurut Gibson dalam (Nisyak & Trijonowati, 2016) kinerja karyawan
merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil
pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode
tertentu dan relatif dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja atau kinerja
organisasi.
Menurut Nawawi dalam (Timbulang & Sumarauw, 2015) bahwa, kinerja
dikatakan tinggi apabila suatu target kerja dapat diselesaikan pada waktu yang tepat
atau tidak melampaui batas waktu yang disediakan.
Menurut Mangkunegara dalam (Simanjuntak & Hamali, 2016) bahwa kinerja
(prestasi kerja) didefinisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Hasibuan dalam (Taryaman, 2016) bahwa, prestasi kerja merupakan
hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta
waktu.
Menurut Harsuko dalam Priansa (2017:49) menyatakan bahwa kinerja adalah
sejauh mana seseorang telah melaksanakan strategi perusahaan, baik dalam mencapai
sasaran khusus yang berkaitan dengan peran perseorangan dan/ atau dengan
memperlihatkan kompetensi yang dinyatakan relevan bagi perusahaan. Kinerja adalah
15
konsep multidimensional yang mencakup tiga aspek, yaitu sikap (attitude),
kemampuan (ability), dan prestasi (accomplishment).
Berdasarkan uraian tersebut, kinerja merupakan perwujudan atas pekerjaan
yang telah dihasilkan atau diemban karyawan. Hasil tersebut tercatat dengan baik
sehingga tingkat ketercapaian kinerja yang seharusnya dan hal-hal yang terjadi dapat
dievakuasi dengan baik.
2.2.2. Kriteria-kriteria Kinerja Karyawan
Dalam menetapkan kriteria kinerja, hasil dari tugas individu sulit untuk
ditentukan organisasi dapat mengevaluasi perilaku seseorang yang terkait dengan
tugas atau kompetensi.
Menurut Schuler dan Jackson dalam Priansa (2017:49) menyebutkan tiga
kriteria yang berhubungan dengan kinerja sebagaimana dijelaskan, sebagai berikut.
Tabel II.1.
Kriteria Kinerja Pegawai
No. Kriteria Penjelasan
1. Sifat Kriteria berdasarkan sifat memusatkan diri
pada karakteristik pada seseorang
karyawan. Loyalitas, keandalan,
kemampuan berkomunikasi, dan
keterampilan memimpin merupakan sifat-
sifat yang sering dinilai selama proses
penilaian. Jenis kriteria ini memusatkan diri
pada cara kerja seseorang, bukan pada yang
dicapai atau tidak dicapai seseorang dalam
pekerjaannya.
16
2. Perilaku Kriteria berdasarkan perilaku terfokus pada
cara pekerjaan dilaksanakan. Kriteria ini
penting sekali bagi pekerjaan yang
membutuhkan hubungan antarpersonal
karyawan. Sebagai contoh, apakah
karyawannya ramah atau menyenangkan.
3. Hasil Kriteria berkenaan dengan hasil semakin
populer dengan semakin ditekannya
produktivitas dan daya saing internasional.
Kriteria ini berfokus pada apa yang telah
dicapai atau dihasilkan daripada bagaimana
sesuatu dicapai atau dihasilkan.
Sumber: Priansa (2017)
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan
Faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adaah menjadi tugas
manajemen agar karyawan memiliki semangat kerja dan moril yang tingggi serta ulet
dalam bekerja. Biasanya karyawan yang puas dengn apa hang diperolehnya dari
instansi pemerintahan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan
terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Untuk itu merupakan keharusan bagi bagi
instansi pemerintahan untuk mengenali faktor-faktor apa saja yang membuat
karyawan puas bekerja di instansi pemerintahan.
Menurut Ivancevich dan Donnely dalam Priansa (2017:50) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kinerja karyawan adalah variabel individu,
variabel psikologis, dan variabel organisasional. Variabel individu meliputi
kemampuan dan keterampilan fisik ataupun mental; latar belakang, seperti keluarga,
17
tingkat sosial dan pengalaman; demografi, menyangkut umur, asal-usul, dan jenis
kelamin. Variabel psikologis meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan
motivasi. Variabel organisasional meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan,
struktur, dan desain pekerjaan.
Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja karyawan menurut Mathis dan
Jackson dalam Priansa (2017:50), sebagai berikut.
1. Kemampuan individu
Mencakup bakat, minat, dan faktor kepribadian. Tingkat keterampilan
merupakan bahan mentah yang dimiliki oleh seseorang berupa pengetahuan,
pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan teknis.
Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan mempunyai kinerja yang
baik, jika kinerja karyawan tersebut memiliki tingkat keterampilan baik,
karyawan tersebut akan menghasilkan yang baik pula.
2. Usaha yang dicurahkan
Usaha yang dicurahkan bagi karyawan adalah ketika kerja, kehadiran, dan
motivasinya. Tingkat usahanya merupakan gambaran motivasi yang
diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Oleh
karena itu, jika karyawan memiliki tingkat keterampilan untuk mengerjakan
pekerjaan, ia tidak akan bekerja dengan baik jika hanya sedikit upaya. Hal ini
berkaitan dengan perbedaan antara tingkat keterampilan dan tingkat upaya.
Tingkat keterampilan merupakan cerminan dari kemampuan yang dilakukan,
sedangkan tingkat upaya merupakan cermin dari sesuatu yang dilakukan.
18
3. Lingkungan organisasi
Di lingkungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi
karyawan yang meliputi pelatihan dan pengembangan, peralatan, teknologi,
dan manajemen.
Menurut Mikovich dan Boudreau dalam Priansa (2017:51) menyatakan bahwa
kinerja karyawan merupakan fungsi dari interaksi tiga dimensi, sebagai berikut :
1. Kemampuan (ability), artinya kapasitas seorang individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan keseluruhan seorang
individu pada dasarnya tersusun dari dua perangkat faktor :
a. Kemampuan fisik, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk melakukan
tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan
keterampilan, berupa faktor kekuatan dinamis, kekuatan tubuh, kekuatan
statik, keluwesan ekstent, keluwesan dinamis, koordinasi tubuh,
keseimbangan dan stamina.
b. Kemampuan mental/intelektual, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk
kegiatan intelektual, seperti kecerdasan numeric, pemahaman verbal,
kecepatan perceptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi
ruang dan ingatan.
2. Motivasi (motivation), artinya kesediaan untuk mengeluarkan tingkat yang
tinggi ke arah tujuan perusahaan yang dikondisikan oleh kemampuan upaya
untuk memenuhi suatu kebutuhan individu.
3. Peluang (opportunity), berkaitan dengan peluang yang dimiliki oleh pegawai
yang bersangkutan karena adanya halangan yang akan menjadi rintangan
19
dalam bekerja. Peluang ini meliputi dukungan lingkungan kerja, dukungan
peralatan kerja, ketersediaan bahan dan suplay yang memadai, kondisi kerja
yang mendukung, rekan kerja yang membantu, aturan dan prosedur yang
mendukung, cukup informasi untuk megambil keputusan, dan waktu kerja
yang memadai untuk bekerja dengan baik.
Kinerja dipengaruhi oleh faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi
(motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Keith Davis dalam Mangkunegara
(2017:67-68), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja,
adalah :
1. Human performance = ability + motivation
2. Motivation = attitude + situation
3. Ability = knowledge + skill
Faktor kemampuan secara psikologis terdiri atas kemampuan potensi, yang
disebut Inteligent Quotient (IQ) dan kemampuan realitas (knowledge + skill). Artinya
karyawan dengan IQ tinggi dan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan
terampil dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan.
Selanjutnya, faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan
dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Sikap mental tersebut merupakan kondisi
mental yang mendorong pegawai untuk mencapai prestasi kerja secara maksimal.
Sikap mental seorang karyawan harus sikap mental yang siap secara psikofisik (siap
mental, fisik, tujuan, dan situasi). Artinya, harus siap secara mental ataupun fisik,
20
memahami tujuan utama dan target kerja yang akan dicapai, serta mampu
memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja.
2.2.4. Meningkatkan Kinerja Karyawan
Menurut Tyson dan Jackson dalam Priansa (2017:52), meningkatkan kinerja
merupakan konsep sederhana, tetapi penting. Konsep tersebut didasarkan pada ide
bahwa sebuah tim akan meningkat dengan capat dan terus-menerus dengan cara
meninjau keberhasilan dan kegagalannya. Tyson dan Jackson (2017) menyebutkan
empat tahap dalam rencana kerja meningkatkan kinerja, yaitu:
1. Memulai tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh kelompok dan membiarkan
tim mengidentifikasi faktor-faktor signifikan yang telah memberikan
kontribusi terhadap keberhasilan dan tugas-tugas yang merintangi
keberhasilan;
2. Dari faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan, pilihan yang praktis dan buang
yang tidak mempunyai nilai;
3. Kelompok menyetujui cara membuat faktor-faktor tersebut dengan tepat dan
menyingkirkan yang lain;
4. Analisis tersebut tidak hanya dilakukan pada tingkat kelompok, tetapi juga
pada tingkat individual.
Tujuan perusahaan hanya dapat dicapai jika perusahaan tersebut didukung
oleh unit-unit kerja yang dapat dicapai jika perusahaan tersebut didukung oleh unit-
unit kerja yang terdapat didalamnya. Upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kinerja dapat dilakukan dengan cara-cara seperti yang disajikan dalam
Tabel II.2 berikut.
21
Tabel II.2.
Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai
No. Upaya Penjelasan
1.
Diskriminasi Seorang manajer harus mampu membedakan
secara objektif antara karyawan yang dapat
memberikan sumbangan penting bagi tujuan
perusahaan dengan karyawan yang tidak dapat
memberikan sumbangan penting. Penilaian
kinerja dilakukan untuk mengetahui hal tersebut.
Melalui penilaian kinerja, keputusan yang
terukur dan adil dapat diambil, misalnya
berkaitan dengan pengembangan karyawan,
penggajian, dan sebagainya.
2. Pemberian
Harapan
Pada umumnya, karyawan yang memiliki
kinerja tinggi mengharapkan berbagai
pengakuan dari perusahaan, baik pengakuan dari
sisi materi, sisi sosial internal perusahaan,
maupun jenjang karier tertentu sesuai dengan
kemampuan perusahaan. Untuk itu, perusahaan
harus mampu melakukan identifikasi yang tepat
untuk memastikan bahwa karyawan yang
berkinerja baik memiliki berbagai harapan yang
penting bagi dirinya sehingga ia termotivasi
untuk mewujudkan kinerja terbaik dan
perusahaan memastikan bahwa harapan
karyawan tersebut dapat diberikan sesuai dengan
keinginan karyawan.
3. Pengembangan Upaya peningkatan kinerja karyawan juga dapat
dirancang dalam skema pengembangan
22
karyawan yang sesuai dengan kinerja karyawan.
Karyawan yang menghasilkan kinerja tinggi
dapat dipromosikan sesuai dengan kebutuhan
perusahaan dan sesuai dengan kinerja karyawan,
sementara itu karyawan yang memiliki kinerja di
bawah ketentuan, program pelatihan dan
refreshing diperlukan untuk memecahkan
kebuntuan, sekaligus meningkatkan kinerja
karyawan.
4.
Komunikasi Para manajer bertanggung jawab untuk
mengevaluasi kinerja para karyawan dan secara
akurat mengkomunikasikan penilaian yang
dilakukannya. Untuk melakukan secara akurat,
para manajer harus mengetahui kekurangan dan
masalah yang dihadapi karyawan dan cara
mengatasinya. Di samping itu, para manajer juga
harus mengetahui program pelatihan dan
pengembangan yang dibutuhkan. Untuk
memastikannya, para manajer perlu
berkomunikasi secara intens dengan karyawan.
Sumber: Priansa (2017)
2.2.5. Pengukuran Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan pada dasarnya diukur sesuai dengan kepentingan
perusahaan dan mempertimbangkan karyawan yang dinilainya. Mondy, Noe,
Premeaux dalam Priansa (2017:55) mengatakan bahwa pengukuran kinerja dapat
dilakukan dengan menggunakan dimensi, berikut :
23
1. Kuantitas pekerjaan (quantity of work); berkaitan dengan volume pekerjaan
dan produktivitas kerja yang dihasilkan oleh pegawai dalam kurun waktu
tertentu.
2. Kualitas pekerjaan (quality of work); berkaitan dengan pertimbangan
ketelitian, presisi, kerapian, dan kelengkapan dalam menangani tugas-tugas
yang ada di perusahaan.
3. Kemandirian (dependability); berkenaan dengan pertimbangan derajat
kemampuan pegawai untuk bekerja dan mengemban tugas secara mandiri
dengan meminimalisasi bantuan orang lain. Kemandirian juga
menggambarkan kedalam komitmen yang dimiliki oleh pegawai.
4. Inisiatif (initiative); berkenaan dengan pertimbangan kemandirian,
fleksibilitas berpikir, dan kesediaan untuk menerima tanggung jawab.
5. Adaptabilitas (adaptability); berkenaan dengan kemampuan untuk
beradaptasi, mempertimbangkan kemampaun untuk bereaksi terahadap
mengubah kebutuhan dan kondisi-kondisi.
6. Kerja sama (cooperation); berkaitan dengan pertimbangan kemampuan untuk
bekerja sama, dan dengan orang lain. Apakah assignements, mencakup lembur
dengan sepenuh hati.
Menurut Bernaddin dan Russel dalam Priansa (2017:55) menyatakan enam
kriteria utama kinerja yang dapat dinilai dari karyawan, sebagai berikut.
1. Kualitas, yaitu tingkat proses atau hasil dari suatu kegiatan yang sempurna,
dengan kata lain melaksanakan kegiatan dengan cara ideal atau sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan, atau dengan cara yang paling berkualitas.
24
2. Kuantitas, yaitu besaran yang dihasilkan dalam bentuk nilai uang, sejumlah
unit atau kegiatan yang diselesaikan.
3. Ketepatan waktu, yaitu tingkat kegiatan diselesaikan, atau hasil yang
diselesaikan dengan waktu yang lebih cepat dari yang ditetapkan dan
menggunakan waktu yang disediakan untuk kegiatan lain.
4. Efektivitas biaya, yaitu tingkat penggunaan berbagai sumber daya yang
dimiliki perusahaan, baik sumber daya manusia, sumber daya teknologi,
sumber daya bahan baku, serta peralatan, dan perlengkapan digunakan secara
optimal untuk menghasilkan kinerja terbaik.
5. Kebutuhan pengawasan, yaitu keadaan yang menunjukkan seberapa jauh
pegawai membutuhkan pengawasan untuk dapat memperoleh hasil yang
diinginkan tanpa melakukan kesalahan.
6. Pengaruh interpersonal, yaitu tingkat pegawai menunjukkan perasaan
selfesteam, goodwill, dan kerja sama di antara sesama rekan kerja ataupun
dengan pegawai yang lebih rendah.
2.3. Konsep Dasar Operasional dan Perhitungan
2.3.1. Kisi-kisi Operasional Variabel
Kisi-kisi operasional variabel yang penulis gunakan untuk menyusun daftar
pernyataan kuesioner dalam penelitian ini digambarkan dalam tabel dimensi dan
indikator :
25
Tabel II.3.
Variabel Disiplin (Variabel X)
Variabel
Disiplin
(X)
Dimensi Indikator Butir Item
Tujuan dan Kemampuan 1. Kurang pengetahuan
tentang peraturan,
prosedur, dan kebijakan
yang ada, menjadi
penyebab terbanyak
tindakan indisipliner.
2. Disiplin kerja dapat
menambah produktivitas
kerja.
1-2
Keteladanan Pemimpin 3. Seorang pemimpin harus
dapat memberikan
contoh pada staf dan
menjadi role
model/panutan bagi
bawahannya.
3
Keadilan 4. Aturan-aturan yang
dibuat harus
diberlakukan untuk
semua staf tanpa
memandang kedudukan.
4
Pengawasan Melekat 5. Tindakan nyata dan
paling efektif dalam
mewujudkan
kedisiplinan karyawan di
Kelurahan.
5
Sanksi Hukuman 6. Sanksi indisipliner 6
26
dilakukan untuk
mengarahkan dan
memperbaiki perilaku
pegawai, bukan untuk
menyakiti.
Ketegasan 7. Ketegasan seorang
pemimpin dalam
memberikan sanksi
terhadap staf yang
melakukan pelanggaran
difokuskan untuk
mengoreksi disiplin kerja
karyawan agar peraturan
kerja dapat diberlakukan
secara konsisten.
7
Hubungan Kemanusiaan 8. Disiplin bermanfaat
mendidik karyawan
untuk mematuhi dan
menenangi peraturan,
prosedur, maupun
kebijakan yang ada,
sehingga dapat
menghasilkan kinerja
yang baik.
9. Kondisi kerja.
10. Kerja sama.
8-10
Sumber: Hartatik dalam (Yuliantari & Ulfa, 2016)
27
Tabel II.4.
Variabel Kinerja (Variabel Y)
Variabel
Kinerja
(Y)
Dimensi Indikator Butir Item
Efektif 1. Hasil kinerja karyawan. 1
Efisien 2. Pekerjaan sesuai
dengan target.
2
Kualitas 3. Hasil kerja karyawan.
4. Kualitas produk atau
jasa sama dengan
harapan konsumen.
3-4
Ketepatan Waktu 5. Mengukur kinerja
karyawan telah selesai
secara benar dan tepat
waktu.
5
Produktivitas 6. Para karyawan bekerja
dengan benar.
7. Inisiatif karyawan.
8. Kerjasama karyawan.
6-8
Keselamatan 9. Kesehatan organisasi
secara keseluruhan
serta lingkungan kerja
para karyawan.
10. Asuransi karyawan.
9-10
Sumber: Abdullah dalam (Yuliantari & Ulfa, 2016)
2.3.2. Uji Instrumen Penelitian
Uji instrumen penelitian terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas yang
masing-masing memiliki penjelasan, yaitu:
28
1. Uji Validitas
Menurut Nugroho dalam (Manansal et al., 2016) menyatakan bahwa
“Validitas menunjukkan kemampuan alat ukur/ instrumen penelitian dalam
mengukur suatu hal yang hendak didapatkan dari penggunaan instrumen
tersebut. Biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah
kalau r = 0,3. Jadi, kalau relasi antar butir dengan skor total kurang dari 0,3,
maka butir dalam instrumen dinyatakan tidak valid”.
Kirteria penilaian uji validitas yang dapat dikatakan valid atau tidak valid,
yaitu :
a. Apabila r hitung > r tabel (pada signifikan 5%), maka dapat dikatakan
item kuesioner tersebut valid.
b. Apabila r hitung < r tabel (pada signifikan 5%), maka dapat dikatakan
item kuesioner tersebut tidak valid.
2. Uji Reliabilitas
Menurut Ghozali dalam (Indryani & Budiarti, 2016) mengatakan bahwa “uji
reliabilitas berguna untuk menetapkan apakah instrumen, dalam hal ini
kuesioner, dapat digunakan lebih dari satu kali, paling tidak boleh responden
yang sama”. Jika nilai-nilai Cronbach's Alpha > 0.81, maka instrumen
penelitian sangat reliabel. Berikut ini Skala Alpha Cronbach’s.
Tabel II.5.
Skala Alpha Cronbach’s
Nilai Alpha Cronbach’s Keterangan
0,00 – 0,20 Kurang Reliabel
0,21 – 0,40 Agak Reliabel
0,41 – 0,60 Ccukup Reliabel
29
0,61 – 0,80 Reliabel
0,81 – 1,00 Sangat Reliabel
Sumber : Triton dalam (Yuliantari & Ulfa, 2016)
2.3.3. Konsep Dasar Perhitungan
Konsep dasar perhitungan yang penulis gunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Populasi dan Sampel
Menurut Sugiyono dalam (Yuliantari & Ulfa, 2016) mengatakan bahwa
“populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Menurut Sugiyono dalam (Yuliantari & Ulfa, 2016) mengatakan bahwa
“sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut”. Apabila populasi yang ditentukan sangat besar dan tidak
memungkinkan untuk meneliti semua yang ada pada populasi, maka sampel
inilah yang dapat digunakan oleh periset untuk dijadikan objek atau subjek
riset.
Menurut Sugiyono dalam (Yuliantari & Ulfa, 2016), mengemukakan bahwa
“sampel jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi
digunakan sebagai sampel.
Secara garis besar terdapat dua metode yang dapat digunakan periset untuk
menarik sampel dari populasi dalam riset mereka.
2. Skala Likert
Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala
30
likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel.
Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun
item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban
setiap item instrumen yang menggunakan skala likert mempunyai gradiasi
dari sangat positif sampai sangat negatif. Dapat berupa kata-kata, antara lain :
Tabel II.6.
Klarifikasi Jawaban dan Besarnya Bobot atau Skor
Alternatif Jawaban Skor Kode
Sangat Setuju 5 SS
Setuju 4 S
Kurang Setuju 3 KS
Tidak Setuju 2 TS
Sangat Tidak Setuju 1 STS Sumber: (Siregar, 2013)
3. Uji Koefisien Korelasi
Menurut (Devita, 2016) korelasi adalah hubungan atau keeratan antara 2
variabel, dimana terdiri dari 1 variabel independen (bebas) dan 1 variabel
dependen (terikat) dan juga mengetahui arah hubungan. Adapun pedoman arti
korelasi, sebagai berikut :
Tabel II.7.
Tingkat Korelasi dan Kekuatan Hubungan
Nilai Korelasi Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Tidak Erat
0,20 – 0,399 Tidak Erat
0,40 – 0,599 Cukup Erat
0,60 – 0,799 Erat
0,80 – 1,000 Sangat Erat
Sumber : (Devita, 2016)
31
4. Uji Koefisien Determinasi
Menurut (Siregar, 2013:232), “koefisien determinasi adalah angka yang
menyatakan atau digunakan untuk mengetahui kontribusi atau sumbangan
yang diberikan oleh sebuah variabel atau lebih x (bebas) terhadap variabel Y
(terkait)”.
Dengan rumus : KD = (r)2 X 100%
Keterangan :
KD : Koefisien Determinasi
R : Koefisien Korelasi
5. Persamaan Regresi
Menurut Sugiyono dalam (Yuliantari & Ulfa, 2016), mengemukakan bahwa
“regresi sederhana didasarkan pada hubungan fungsional atau kausal satu
variabel independen dengan satu variabel dependen”.
Secara umum persamaan regresi sederhana dapat dirumuskan, sebagai berikut
: Y = a + b.X
Keterangan :
Y : Variabel terkait yang diproyeksikan
a. : Nilai harga konstan Y jika = 0
b : Koefisien regresi atau nilai arah sebagai penentu prediksi yang
menunjukkan nilai peningkatan atau penurunan variabel terkait
X : Variabel bebas
Recommended