View
17
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
!
!
28!
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan teori
2.1.1 Teori Strategi
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dengan pertumbuhan dan perkembangan
berbagai jenis kegiatan pariwisata yang dilengkapi dengan pesatnya kemajuan
tekonologi informasi, maka strategi merupakan kebutuhan yang vital dan sangat
penting dalam menjalankan roda perusahaan menghadapi berbagai macam
tantangan baik internal maupun eksternal, khususnya para pesaing pada core bisnis
yang sama.
Sejalan dengan pentingnya strategi, maka Jain (1990) mengatakan bahwa
setiap organisasi membutuhkan strategi apabila menghadapi situasi berikut:
1) Sumber daya yang dimiliki terbatas.
2) Ada ketidakpastian (uncertainity) mengenai kekuatan daya saing organisasi.
3) Komitmen (commitment) terhadap sumberdaya tidak dapat diubah lagi.
4) Keputusan-keputusan (decisions) harus dikoordinasikan antar bagian sepanjang
waktu.
5) Ada ketidakpastian mengenai pengendalian inisiatif.
Sementara Porter dalam Wheelen dan Hunger (1995) mengatakan bahwa ”the
reason why firms succeed or fail is perhaps the central question in strategy”.
Artinya, strategi akan menentukan berhasil atau gagalnya suatu perusahaan. Oleh
karena itu, mengingat perannya yang sangat menentukan, maka penentuan strategi
!
!
29!
menjadi sesuatu hal yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan. Pada sisi lain,
Porter (1990) memperkenalkan model kompetetveness diamod sebagai model
kompetitif pada suatu daerah. Model Competitiveness Diamond yang dijabarkan
oleh Porter (1990 ), mengatakan bahwa keunggulan industri pada suatu daerah
bukanlah berasal dari kesesuaian sendiri tetapi merupakan kesuksesan grup dengan
adanya keterkaitan antar perusahaan dan institusi yang mendukung. Pada klaster
industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan
menengah, tetapi juga perusahaan kecil. Pada model diamod ini diperkenalkan
empat aspek yang mendukung kemampuan kompetisi suatu daerah yaitu ; strategi
perusahaan, struktur dan persaingan, kondisi permintaan, kondisi faktor, industri
terkait dan pendukung.
Namun demikian strategi perlu dibedakan dengan taktik. Dari pengertian yang
paling sederhana dapat dibedakan bahwa strategi (strategy) adalah saat dimana
memutuskan apa yang harus dikerjakan, sedangkan taktik (tactics) adalah saat
dimana memutuskan bagaimana mengerjakan sesuatu. Ada beberapa pendapat
pakar untuk membedakan strategi dengan taktik. Brucker berpendapat bahwa
strategi adalah mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right things) dan taktik
adalah mengerjakan sesuatu dengan benar (doing the things right). Selain itu, Karl
Van Clausewitz berpendapat bahwa strategi merupakan suatu seni menggunakan
pertempuran untuk memenangkan suatu perang, sedangkan taktik merupakan seni
menggunakan tentara dalam sebuah pertempuran. Pada dasarnya, manajemen
stratejik merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan
(company’s strengths) dengan mengeksploitasi peluang bisnis (business
!
!
30!
opportunities) guna mencapai tujuan perusahaan (company’s goals) yang sesuai
dengan misi (mission) yang telah ditentukan.
Sehubungan dengan itu Wheelen dan Hunger (1995) mengartikan manajemen
stratejik (strategic management) ”is the set of managerial decisions and actions
that determines the long-run performance of a corporation”, artinya bahwa
manajemen stratejik merupakan suatu himpunan keputusan dan tindakan manajerial
yang menentukan kinerja jangka panjang suatu perusahaan.
Untuk memahami konsep ini, berikut ini diuraikan komponen utama
manajemen stratejik, yakni.
1) Analisis lingkungan bisnis untuk mendeteksi peluang (opportunities) dan
ancaman (threats).
2) Analisis profil perusahaan untuk mengidentifikasi kekuatan (strengths) dan
kelemahan (weaknesses).
3) Rumusan strategi perusahaan yang meliputi: misi, tujuan, strategis, dan
kebijakan-kebijakan.
4) Implementasi strategi perusahaan yang meliputi: program, anggaran dan
prosedur
5) Evaluasi dan pengawasan kinerja nyata suatu perusahaan.
Berdasarkan model Manajemen Stratejik versi Wheelen dan Hunger (1995),
sesungguhnya sejak awal mereka membagi proses manajemen stratejik ke dalam
empat elemen dasar, yakni:
(1) analisis lingkungan (environmental scanning),
(2) perumusan strategi (strategy formulation),
!
!
31!
(3) implementasi strategi (strategy implementation),
(4) evaluasi dan kontrol (evaluation and control).
2.1.2 Teori Pembangunan
Sebagai sebuah teori besar (Grand Theory), telah banyak digunakan dan
menjadi acuan dalam proses perencanaan pada sebuah kegiatan atau daerah.
Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat
untuk berupaya sekeras mungkin demi mencapai kehidupan yang lebih baik
(Todaro & Smith, 2006). Pembangunan memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut
(Todaro & Smith, 2006) : peningkatan ketersediaan kebutuhan hidup pokok,
peningkatan standar hidup, perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial. Kegiatan
pembangunan yang umum dilaksanakan di tiap wilayah administratif, umumnya
terbagi dalam dua kategori besar yaitu pembangunan sektoral dan pembangunan
daerah. Kegiatan Pariwisata masuk dalam kategori pembangunan sektoral. Kondisi
ini dibuat karena kegiatan Pariwisata umumnya lebih banyak berhubungan secara
sektor dengan kegiatan lainnya.
Teori Pembangunan, terbagi atas tiga teori, yakni antara lain teori
modernisasi, dependensi dan teori dunia. Modernisasi diartikan sebagai proses
transformasi dalam rangka mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai
tradisional secara total diganti dengan seperangkat struktur dan nilai-nilai modern.
Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan
pembangunan negara Dunia Ketiga. Teori ini mencermati hubungan dan
keterkaitan negara Dunia Ketiga dengan negara sentral di Barat sebagai hubungan
yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat yang akan
!
!
32!
merugikan Dunia Ketiga. Teori sistem dunia berkeyakinan bahwa tak ada negara
yang dapat melepaskan diri dari ekonomi kapitalis yang mendunia. Wallerstein
menyatakan sistem dunia modern adalah sistem ekonomi kapitalis.
2.1.3 Strategi Pengembangan Pariwisata
Pembangunan di bidang kepariwisataan merupakan salah satu terobosan
untuk meningkatkan pendapatan daerah dan negara, jika bidang atau sektor
kepariwisataan akan disejajarkan kedudukannya dengan sektor-sektor lain dalam
meningkatkan pendapatan negara, maka kepariwisataan pantas kalau diangkat
menjadi sebuah industri, sehingga di sebut industri pariwisata (Sujali, 1989).
Industri pariwisata adalah kumpulan dari macam-macam perusahaan yang
secara bersama-sama menghasilkan barang dan jasa-jasa (goods and servises) yang
dibutuhkan wisatawan pada khususnya dan traveller pada umumnya selama dalam
perjalanannya (Oka. A Yoeti, 1982).
Aspek-aspek yang tercakup dalam industri pariwisata menurut Kusmayadi
dan Endar Sugiarto, (2000) antara lain;
1) Restoran, di bidang restoran dapat diarahkan pada kualitas makanan, baik dari
jenis makanan maupun teknik pelayanannya.
2) Penginapan, yang terdiri atas hotel, resort, wisma-wisma.
3) Pelayananan perjalanan, meliputi biro perjalanan, paket perjalanan, perusahaan
incentive travel dan reception service.
4) Transportasi, dapat berupa sarana dan prasarana angkutan wisatawan seperti
mobil, bus, pesawat, kereta api, kapal dan sepeda.
5) Pengembangan daerah tujuan wisata, dapat berupa kelayakan kawasan wisata.
!
!
33!
6) Fasilitas rekreasi, dapat berupa pemanfaatan taman-taman.
7) Atraksi wisata, dapat berupa kegiatan seni budaya.
Daerah Tujuan Wisata Menurut Gamal Suwantoro (1997), unsur pokok
yang harus mendapat perhatian guna menunjang pengembangan pariwisata di
daerah tujuan yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan
pengembangan meliputi lima unsur;
1) Objek dan daya tarik wisata
2) Prasarana wisata
3) Sarana wisata
4) Tatalaksana / infrastruktur
5) Masyarakat / lingkungan
Sarana Wisata merupakan perusahaan-perusahaan yang memberikan
pelayanan kepada wisatawan, baik secara langsung atau tidak langsung (Oka A.
Yoeti, 1982), sedangkan menurut Gamal Suwantoro (1997), Sarana wisata adalah
kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan
wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Gamal Suwantoro (1997)
membagi sarana wisata menjadi tiga yaitu :
1) Sarana pokok pariwisata (Main Tourism Superstructures) Sarana pokok
pariwisata adalah perusahaan yang hidup dan kehidupannya tergantung pada
arus kedatangan orang yang melakukan perjalanan pariwisata. Misalnya ;
travel agent, tour operator, perusahaan angkutan wisata, hotel, restoran, objek
wisata/atraksi wisata.
2) Sarana pelengkap pariwisata (Suplementing Tourism Superstructures) Sarana
!
!
34!
pelengkap pariwisata adalah perusahaan atau tempat-tempat yang
menyediakan fasilitas untuk rekreasi yang fungsinya tidak hanya melengkapi
sarana pokok pariwisata, tetapi juga yang penting adalah membuat agar
wisatawan dapat lebih lama tinggal pada suatu daerah tujuan wisata (DTW).
3) Sarana penunjang pariwisata (Supporting Tourism Superstructures) Sarana
penunjang pariwisata adalah perusahaan yang menunjang sarana pelengkap
dan sarana pokok berfungsi tidak hanya membuat wisatawan tinggal lebih lama
pada daerah tujuan wisata. Tetapi fungsi lebih penting adalah agar wisatawan
baik domestik maupun mancanegara lebih banyak mengeluarkan atau
membelanjakan uangnya di tempat yang dikunjunginya, misalnya kios-kios.
Menurut James J. Spillane (1994) suatu obyek wisata atau destination, harus
meliputi lima unsur yang penting agar wisatawan dapat merasa puas dalam
menikmati perjalanannya, maka obyek wisata harus memiliki.
1) Attractions
Merupakan pusat dari industri pariwisata. Menurut pengertiannya attractions
mampu menarik wisatawan yang ingin mengunjunginya. Motivasi wisatawan untuk
mengunjungi suatu tempat tujuan adalah untuk memenuhi atau memuaskan
beberapa kebutuhan atau permintaan. Biasanya mereka tertarik pada suatu lokasi
karena ciri-ciri khas tertentu. Ciri-ciri khas yang menarik wisatawan adalah.
a) Keindahan alam
b) Iklim dan cuaca
c) Kebudayaan
d) Sejarah
!
!
35!
e) Ethnicity-sifat kesukuan
f) Accessibility-kemampuan atau kemudahan berjalan atau ketempat tertentu.
2) Facility
Fasilitas cenderung berorientasi pada attractions disuatu lokasi karena
fasilitas harus dekat dengan pasarnya. Fasilitas cenderung mendukung bukan
mendorong pertumbuhan dan cenderung berkembang pada saat yang sama atau
sesudah attractions berkembang. Suatu attractions juga dapat merupakan fasilitas.
Jumlah dan jenis fasilitas tergantung kebutuhan wisatawan. Seperti fasilitas harus
cocok dengan kualitas dan harga penginapan, makanan, dan minuman yang juga
cocok dengan kemampuan membayar dari wisatawan yang mengunjungi tempat
tersebut.
3) Infrastructure
Attractions dan fasilitas tidak dapat tercapai dengan mudah kalau belum ada
infrastruktur dasar. Infrastruktur termasuk semua konstruksi di bawah dan di atas
tanah dan suatu wilayah atau daerah. Yang termasuk infrastruktur penting dalam
pariwisata adalah.
a) Sistem pengairan/air. Kualitas air yang cukup sangat esensial atau sangat
diperlukan. Seperti penginapan membutuhkan 350 sampai 400 galon air per
kamar per hari.
b) Sumber listrik dan energi. Suatu pertimbangan yang penting adalah penawar
tenaga energi yang tersedia pada jam pemakaian yang paling tinggi atau jam
puncak (peak hours). Ini diperlukan supaya pelayanan yang ditawarkan terus
menerus.
!
!
36!
c) Jaringan komunikasi. Walaupun banyak wisatawan ingin melarikan diri dari
situasi biasa yang penuh dengan ketegangan, sebagian masih membutuhkan
jasa-jasa telepon dan/atau telegram yang tersedia.
d) Sistem pembuangan kotoran/pembuangan air. Kebutuhan air untuk pembuangan
kotoran memerlukan kira-kira 90 (persen) dari permintaan akan air. Jaringan
saluran harus didesain berdasarkan permintaan puncak atau permintaan
maksimal.
e) Jasa-jasa kesehatan. Jasa kesehatan yang tersedia akan tergantung pada jumlah
tamu yang diharapkan, umumnya, jenis kegiatan yang dilakukan atau faktor-
faktor geografis lokal.
4) Jalan raya. Ada beberapa cara membuat jalan raya lebih menarik bagi
wisatawan.
a) Menyediakan pemandangan yang luas dari alam semesta
b) Membuat jalan yang naik turun untuk variasi pemandangan
c) Mengembangkan tempat dengan pemandangan yang indah
d) Membuat jalan raya dengan dua arah yang terpisah
e) Transportasi sesuai dengan keadaan tanah
f) Memilih pohon yang tidak terlalu lebat supaya masih ada pemandangan yang
indah.
Ada beberapa usul mengenai pengangkutan dan fasilitas yang dapat menjadi
semacam pedoman termasuk.
a) Informasi lengkap tentang fasilitas, lokasi terminal, dan pelayanan
pengangkutan lokal ditempat tujuan harus tersedia untuk semua penumpang
!
!
37!
sebelum berangkat dari daerah asal.
b) Sistem keamanan harus disediakan di terminal untuk mencegah kriminalitas.
c) Suatu sistem standar atau seragam untuk tanda-tanda lalu lintas dan simbol-
simbol harus dikembangkan dan di pasang di semua bandara udara.
d) Sistem informasi harus menyediakan data tentang informasi pelayanan
pengangkutan lain yang dapat dihubungi di terminal termasuk jadwal dan tarif.
e) Informasi terbaru dan sedang berlaku, baik jadwal keberangkatan atau
kedatangan harus tersedia di papan pengumuman, lisan atau telepon.
f) Tenaga kerja untuk membantu para penumpang.
g) Informasi lengkap tentang lokasi, tarif, jadwal, dan rute dan pelayanan
pengangkutan lokal.
h) Peta kota harus tersedia bagi penumpang.
5) Hospitality (keramahtamahan)
Wisatawan yang sedang berada dalam lingkungan yang belum mereka kenal
maka kepastian akan jaminan keamanan sangat penting, khususnya wisatawan
asing.
Dalam mengembangkan pariwisata baik pengembangan destinasi, kawasan
pariwisata, maupun obyek daya tarik wisata pada umumnya mengikuti alur atau
siklus hidup pariwisata (Tourism Area Life Cycle). Adapun tujuannya adalah untuk
menentukan posisi pariwisata yang akan dikembangkan.
Prasarana Wisata adalah semua fasilitas yang dapat memungkinkan proses
perekonomian berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga dapat
mempermudah kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya (Oka A. Yoeti,
!
!
38!
1982). Sedangkan menurut Gamal Suwantoro (1997), prasarana wisata adalah
sumber daya alam dan sumber daya buatan manusia yang mutlak dibutuhkan oleh
wisatawan dalam perjalanannya di daerah tujuan pariwisata, seperti jalan, listrik,
air, rumah sakit, telekomunikasi, terminal, jembatan, dan lain sebagainya.
Dalam teori kepariwisataan, studi mengenai wisata ditekankan pada sebuah
perjalanan sementara pada tempat-tempat yang memiliki nilai historis sebagai
proses pembelajaran sejarah untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Aktifitas
ziarah sering di sebut menyatu dalam paket dengan kegiatan wisata. Wisata ziarah
selalu dikaitkan dengan tradisi dan budaya kelompok tradisionalis, berbarengan
dengan kesadaran spiritualitas masyarakat sekarang menjadi sebuah kebutuhan
hidup tanpa pandang kelas sosial maupun status (Moh Ali Aziz, 2004). Ziarah
adalah kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia. Pemahaman
mengenai kegiatan ziarah ke tempat-tempat suci tidak hanya sebagai wujud
pelaksanaan ajaran agama semata, namun sudah menjadi budaya rutin yang harus
dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Wisata ziarah adalah wisata yang sedikit
banyak dikaitkan dengan agama, sejarah, adat istiadat, kepercayaan umat atau
kelompok dalam masyarakat. Wisata ini banyak dilakukan perorangan atau
rombongan ke tempat-tempat suci, ke makam orang-orang besar atau pemimpin
yang di agungkan, ke bukit atau gunung yang dikeramatkan, ke tempat pemakaman
tokoh atau pemimpin sebagai manusia ajaib penuh legenda.
Wisata ziarah dimaknai sebagai kegiatan wisata ke tempat yang memiliki
makna khusus bagi umat beragama, biasanya berupa tempat ibadah yang memiliki
kelebihan. Kelebihan ini misalnya di lihat dari sisi sejarah, adanya mitos dan
!
!
39!
legenda mengenai tempat tersebut, ataupun keunikan dan keunggulan arsitektur
bangunannya. Wisata Ziarah adalah jenis wisata yang dikaitkan dengan agama,
kepercayaan ataupun adat istiadat dalam masyarakat. Wisata Ziarah dilakukan baik
perseorangan atau rombongan dengan berkunjung ke tempat-tempat suci, makam-
makam orang suci atau orang-orang terkenal dan pimpinan yang diagungkan.
Tujuanya adalah untuk mendapatkan restu, berkah, kebahagiaan dan ketentraman.
Jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan agama, sejarah, adat istiadat dan
kepercayaan suatu kelompok orang ke tempat suci, ke makam-makam orang besar,
ke bukit, atau gunung yang dikeramatkan dan bersejarah.
Pemahaman mengenai kegiatan ziarah ke tempat-tempat suci tidak hanya
sebagai wujud pelaksanaan ajaran agama semata, namun sudah menjadi budaya
rutin yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
2.1.4 Status Perkembangan Pariwisata
Sejalan dengan perkembangan kegiatan pariwisata yang terjadi dilakukanlah
upaya untuk pembangunan dan pengembangan pariwisata dengan tujuan utama
yaitu pembangunan ekonomi dan sosial daerah wisata. Ekonomi yang memiliki
daya tahan adalah perekonomian yang tidak mudah terombang-ambing oleh gejolak
yang datang, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Perekonomian tersebut,
antara lain ditandai oleh tiga ciri berikut. Pertama, adanya diversifikasi kegiatan
ekonomi, seperti tercermin dalam keragaman sumber mata pencaharian
penduduknya, sumber penerimaan negaranya, sumber penerimaan devisa dan
sebagainya. Kedua, pelaku ekonominya mempunyai keluwesan yang tinggi
(flexibility) dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan lingkungan usaha
!
!
40!
yang dapat berubah dengan cepat. Ketiga, kerangka kebijakan dan peraturan yang
mendukung (conducive) terciptanya iklim usaha yang sehat. Daya saing
perekonomian akan dihasilkan oleh produktivitas dan efisiensi. Apabila kita
berbicara mengenai produktivitas, maka unsurnya yang paling pokok adalah
sumber daya manusia (SDM) dan teknologi. Efisiensi menyangkut aspek
kelembagaan ekonomi, terutama bekerjanya mekanisme pasar secara efektif dan
sedikitnya hambatan dalam transaksi.
Ekonomi yang mandiri, dipahami sebagai ketidaktergantungan kepada pihak
lain (dependency). Ketidaktergantungan tidak berarti keterisolasian, dan tidak
berarti tidak mengenal adanya saling ketergantungan (interdependency). Oleh
karena tidak semua negara memiliki potensi atau endowment yang sama, maka ada
kebutuhan untuk saling mengisi, dan kebutuhan ini menciptakan perdagangan, dan
dengan demikian mengakibatkan adanya lembaga yang di sebut pasar.
Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk
mengembangkan potensi ekonomi rakyat diarahkan untuk meningkatkan
produktivitas rakyat sehingga, baik sumber daya manusia maupun sumber daya
alam di sekitar keberadaan rakyat, dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan
demikian, rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan
menumbuhkan nilai tambah ekonomis.
Pengembangan pariwisata mendasarkan pada sifat, kemampuan, fungsi,
ruang jangkauan pemasaran yang akan dicapai. Jangkauan dapat bersifat lokal,
regional, nasional, dan bahkan bersifat internasional (Sujali, 1989). Alasan utama
pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata, baik wisata lokal,
!
!
41!
regional atau ruang lingkup suatu negara sangat erat kaitannya dengan
pembangunan perekonomian daerah atau negara tersebut. Alasan kedua
pengembangan pariwisata itu lebih banyak bersifat non ekonomis. Wisatawan yang
datang berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata salah satu motivasinya adalah
untuk menyaksikan dan melihat keindahan alam dan termasuk di dalamnya cagar
alam, kebun raya, tempat bersejarah dan candi-candi. Alasan ketiga pengembangan
pariwisata untuk menghilangkan kepicikan berpikir, mengurangi salah pengertian,
terutama bagi masyarakat di objek kepariwisataan itu dibangun (Oka A. Yoeti,
2008).
Tujuan pengembangan pariwisata adalah guna memperoleh nilai-nilai
ekonomi positif dimana pariwisata dapat sebagai katalisator dalam pembangunan
ekonomi pada beberapa sektor. Untuk mengembangkan setiap sektor
pembangunan, pariwisata tidak terkecuali perlu kiranya diperkirakan situasi yang
terjadi di tahun yang akan datang. Ini penting mengingat perencanaan
membutuhkan suatu tindak lanjut, baik yang berupa pekerjaan fisik maupun
penanganan yang bersifat sosial ekonomi. Selain itu perlu diperhatikan bahwa
untuk perencanaan seringkali diperlukan suatu unit besaran tertentu (Oka A. Yoeti,
1992). Peranan pemerintah dalam mengembangkan pariwisata dalam garis besarnya
adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), memperluas
berbagai bentuk fasilitaas, kegiatan koordinasi antara aparatur pemerintah dengan
pihak swasta, pengaturan dan promosi umum ke luar negeri (Spillane, 1985).
Pengertian pengembangan menurut J.S Badudu dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, memberikan definisi pengembangan adalah hal, cara atau hasil
!
!
42!
kerja mengembangkan. Sedangkan mengembangkan berarti membuka, memajukan,
menjadikan maju dan bertambah baik. Ada dua pedoman umum untuk suatu
organisasi pariwisata yang baik. Yaitu harus terjalinnya kerjasama dan koordinasi
diantara.
1) Para pejabat yang duduk dalam organisasi baik tingkat nasional, propinsi dan
lokal
2) Para pengusaha yang bergerak dalam industri pariwisata seperti usaha
perjalanan, usaha penginapan. usaha angkutan, usaha rekreasi dan sector
hiburan, lembaga keuangan pariwisata, usaha cinderamata, dan pedagang
umum.
3) Organisasi yang tidak mencari untung yang erat kaitannya dengan pariwisata
(misalnya klub-klub wisata dan klub, mobil).
4) Asosiasi profesi dalam pariwisata. (Wahab, 1992)
Adapun tahapannya terdiri dari.
1) Tahap eksplorasi (exploration) yang berkaitan dengan discovery yaitu suatu
tempat sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku
pariwisata, maupun pemerintah. Biasanya jumlah pengunjung sedikit,
wisatawan tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya sulit
dicapai namun diminati oleh sejumlah kecil wisatawan yang justru menjadi
berminat karena belum ramai dikunjungi.
2) Tahap keterlibatan (involvement) yang diikuti oleh kontrol lokal (local
control), di mana biasanya oleh masyarakat lokal. Pada tahapan ini terdapat
inisiatif dari masyarakat lokal, obyek wisata mulai dipromosikan oleh
!
!
43!
wisatawan, jumlah wisatawan meningkat, dan infrastruktur mulai di bangun.
3) Tahap pengembangan (development) dan adanya kontrol lokal (local control)
menunjukan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisata secara drastis.
Pengawasan oleh lembaga lokal agak sulit membuahkan hasil, masuknya
industri wisata dari luar dan kepopuleran kawasan wisata menyebabkan
kerusakan lingkungan alam dan sosial budaya sehingga diperlukan adanya
campur tangan kontrol penguasa lokal maupun nasional.
4) Tahap konsolidasi (consolidation) dengan constitutionalism ditunjukkan oleh
penurunan tingkat pertumbuhan kunjungan wisatawan. Kawasan wisata
dipenuhi oleh berbagai industri pariwisata berupa hiburan dan berbagai macam
atraksi wisata.
5) Tahap kestabilan (stagnation) dan masih diikuti oleh adanya institutionalism,
di mana jumlah wisatawan tertinggi telah tercapai dan kawasan ini telah mulai
ditinggalkan karena tidak mode lagi, kunjungan ulang dan para pebisnis
memanfaatkan fasilitas yang telah ada. Pada tahapan ini terdapat upaya untuk
menjaga jumlah wisatawan secara intensif dilakukan oleh industri pariwisata
dan kawasan ini kemungkinan besar mengalami masalah besar yang terkait
dengan lingkungan alam maupun sosial budaya.
6) Tahap penurunan kualitas (decline) hampir semua wisatawan telah
mengalihkan kunjungannya ke daerah tujuan wisata lain. Kawasan ini telah
menjadi obyek wisata kecil yang dikunjungi sehari atau akhir pekan. Beberapa
fasilitas pariwisata telah diubah bentuk dan fungsinya menjadi tujuan lain.
Dengan demikian pada tahap ini diperlukan upaya pemerintah untuk
!
!
44!
meremajakan kembali (rejuvenate).
7) Tahap peremajaan kembali (rejuvenate), dimana dalam tahapan ini perlu
dilakukan pertimbangan mengubah pemanfaatan kawasan pariwisata, mencari
pasar baru, membuat saluran pemasaran baru, dan mereposisi atraksi wisata ke
bentuk lain. Oleh sebab itu diperlukan modal baru atau kerjasama antara
pemerintah dengan pihak swasta.
Gambaran mengenai siklus perkembangan pariwisata berdasarkan Butler
(1980) dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Tourism Area Life Cycle Sumber : Butler, 1980
!
!
45!
Doxey (dalam Ryan, 1991) mempertimbangkan dampak sosial yang terjadi
pada tahapan pengembangan daerah wisata, menyimpulkan, bahwa terjadi perilaku
spesifik pada masyarakat lokal atas pengaruh pariwisata dari waktu ke waktu.
Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi
pembangunan ekonomi di suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Namun
demikian pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan
yang lebih luas bagi suatu negara. Pembangunan kepariwisataan ditujukan untuk :
a) Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Pariwisata mampu memberikan perasaaan bangga dan cinta terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui kegiatan perjalanan wisata yang dilakukan
oleh penduduknya ke seluruh penjuru negeri. Sehingga dengan banyaknya
warganegara yang melakukan kunjungan wisata di wilayah-wilayah selain
tempay tinggalnya akan timbul rasa persaudaraan dan pengertian terhadap sistem
dan filosofi kehidupan masyarakat yang dikunjungi sehingga akan meningkatkan
rasa persatuan dan kesatuan nasional.
b) Penghapusan Kemiskinan (Poverty Alleviation)
Pembangunan pariwisata seharusnya mampu memberikan kesempatan bagi
seluruh rakyat Indonesia untuk berusaha dan bekerja. Kunjungan wisatawan ke
suatu daerah seharusnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pariwisata akan
mampu memberi andil besar dalam penghapusan kemiskinan di berbagai daerah
yang miskin potensi ekonomi lain selain potensi alam dan budaya bagi
kepentingan pariwisata.
!
!
46!
c) Pembangunan Berkesinambungan (Sustainable Development)
Dengan sifat kegiatan pariwisata yang menawarkan keindahan alam, kekayaan
budaya dan keramahtamahan pelayanan, sedikit sekali sumberdaya yang habis
digunakan untuk menyokong kegiatan ini. Bahkan berdasarkan berbagai contoh
pengelolaan kepariwisataan yang baik, kondisi lingkungan alam dan masyarakat
di suatu destinasi wisata mengalami peningkatan yang berarti sebagai akibat dari
pengembangan keparwiwisataan di daerahnya.
d) Pelestarian Budaya (Culture Preservation)
Pembangunan kepariwisataan seharusnya mampu kontribusi nyata dalam upaya-
upaya pelestarian budaya suatu negara atau daerah yang meliputi perlindungan,
pengembangan dan pemanfaatan budaya negara atau daerah. UNESCO dan UN-
WTO dalam resolusi bersama mereka di tahun 2002 telah menyatakan bahwa
kegiatan pariwisata merupakan alat utama pelestarian kebudayaan. Dalam
konteks tersebut, sudah selayaknya bagi Indonesia untuk menjadikan
pembangunan kepariwisataan sebagai pendorong pelestarian kebudayaan di
berbagai daerah.
e) Pemenuhan Kebutuhan Hidup dan Hak Azasi Manusia
Pariwisata pada masa kini telah menjadi kebutuhan dasar kehidupan masyarakat
modern. Pada beberapa kelompok masyarakat tertentu kegiatan melakukan
perjalanan wisata bahkan telah dikaitkan dengan hak azasi manusia khususnya
melalui pemberian waktu libur yang lebih panjang dan skema paid holidays.
f) Peningkatan Ekonomi dan Industri
Pengelolaan kepariwisataan yang baik dan berkelanjutan seharusnya mampu
!
!
47!
memberikan kesempatan bagi tumbuhnya ekonomi di suatu destinasi pariwisata.
Penggunaan bahan dan produk lokal dalam proses pelayanan di bidang
pariwisata akan juga memberikan kesempatan kepada industri lokal untuk
berperan dalam penyediaan barang dan jasa. Syarat utama dari hal tersebut di
atas adalah kemampuan usaha pariwisata setempat dalam memberikan pelayanan
berkelas dunia dengan menggunakan bahan dan produk lokal yang berkualitas.
g) Pengembangan Teknologi
Dengan semakin kompleks dan tingginya tingkat persaingan dalam
mendatangkan wisatawan ke suatu destinasi, kebutuhan akan teknologi tinggi
khususnya teknologi industri akan mendorong destinasi pariwisata
mengembangkan kemampuan penerapan teknologi terkini mereka. Pada daerah-
daerah tersebut akan terjadi pengembangan teknologi maju dan tepat guna yang
akan mampu memberikan dukungan bagi kegiatan ekonomi lainnya. Dengan
demikian pembangunan kepariwisataan akan memberikan manfaat bagi
masyarakat dan pemerintahan di berbagai daerah yang lebih luas dan bersifat
fundamental. Kepariwisataan akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari
pembangunan suatu daerah dan terintegrasi dalam kerangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat.
2.1.5 Teori Pariwisata
Secara etimologi, pariwisata terdiri dari dua kata yaitu pari dan wisata. Pari
berarti banyak, lengkap, berkali-kali, sedangkan wisata berarti perjalanan atau
bepergian. Maka pariwisata artinya adalah suatu perjalanan yang dilakukan secara
berkali-kali.
!
!
48!
Definisi pariwisata telah banyak dikemukakan oleh para ahli di bidang
pariwisata, namun dalam definisi tersebut masih terdapat beberapa perbedaan
dalam pendefinisian. Hunzieker dan Kraf (Kohdyat, 1996) mendefinisikan
pariwisata merupakan keseluruhan fenomena dan hubungan-hubungan yang
ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya,
dengan maksud bukan untuk menetap di tempat yang disinggahinya dan tidak
berkaitan dengan pekerjaan yang menghasilkan upah. Perjalanan yang dilakukan
biasanya di dorong oleh rasa ingin tahu untuk keperluan yang bersifat rekreatif dan
edukatif. Pendapat lain disampaikan oleh McIntosh dan Gupta (1980) tentang
pariwisata yang didefinisikan sebagai gabungan gejala dan hubungan yang timbul
dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah, serta masyarakat tuan
rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan ini serta para
pengunjung lainnya.
Selanjutnya Wahab (1992) mendiskripsikan pariwisata merupakan suatu
aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara
bergantian diantara orang-orang di dalam negara itu dan daerah lain (daerah
tertentu) untuk sementara waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam dan
berbeda dengan apa yang dialaminya di tempat ia memperoleh pekerjaan tetap.
Dari beberapa pengertian pariwisata terdapat satu kesamaan dalam pengertian
tentang pariwisata yaitu bahwa kegiatan ini merupakan fenomena yang ditimbulkan
oleh salah satu bentuk kegiatan manusia yaitu kegiatan perjalanan/travelling.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, kegiatan manusia yang dilakukan
dalam rangka rekreasi atau untuk mencari menikmati suasana yang berbeda
!
!
49!
membutuhkan suatu obyek atau tempat untuk singgah.
Pemandangan alam, dalam hal ini adalah pemandangan rawa berperan
sebagai suatu obyek atau atraksi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam
melakukan kegiatan wisata. Segala hal yang berhubungan dengan kegiatan wisata
dengan obyek pemandangan alam berupa perairan selanjutnya dapat di sebut
sebagai pariwisata air. Definisi luas tentang pariwisata yaitu perjalanan dari suatu
tempat ke tempat lain yang bersifat sementara dan dilakukan oleh perorangan
maupun kelompok sebagai usaha untuk mencari keseimbangan atau keserasian dan
kebahagiaan dengan lingkungan hidup dan dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu
(Kodhyat dalam Spillane, 1987). Dalam Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang
kepariwisataan, dinyatakan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan
wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh
masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Dalam undang –
undang yang sama dinyatakan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan
yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang
muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara
wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan pengusaha. Pariwisata merupakan kegiatan yang mempunyai tujuan
untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan (Sujali, 1989).
Menurut Gamal Suwantoro (1997) istilah pariwisata berhubungan erat
dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat tinggal
sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan bukan untuk
melakukan kegiatan yang menghasilkan upah. Menurut Institut of Tourism in
!
!
50!
Britain (1976) dalam Kusumayadi dan Endar Sugiarto (2000), mendefinisikan
pariwisata sebagai kunjungan orang-orang untuk sementara dalam jangka pendek
ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggal dan tempat bekerja sehari-hari, serta
kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat-tempat tujuan tersebut. Lebih
lanjut Spillane juga mengkategorikan lima bidang dalam industri pariwisata antara
lain: hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, pusat wisata dan souvenir, serta
bidang pendidikan kepariwisataan. Dari beberapa pengertian yang telah di sebutkan
di atas pada dasarnya pariwisata timbul sebagai akibat dari aktivitas manusia yang
berkaitan dengan kebutuhan manusia yaitu perjalanan. Perjalanan yang dilakukan
adalah bersifat sementara waktu, tidak untuk melakukan pekerjaan tetap dan tidak
dalam usaha untuk mencari upah/nafkah.
A. Dampak dan Manfaat Pariwisata
Kegiatan pariwisata terletak di lingkungan dan secara umum dibentuk oleh
hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Kondisi lingkungan manusia
dibentuk oleh factor ekonomi, social dan budaya yang berproses antara satu factor
dengan factor lainnya. Pariwisata dapat mengakibatkan penghancuran budaya,
lunturnya norma sosial dan norma ekonomi, degradasi struktur sosial, penyediaan
peluang kerja dan keuntungan ekonomi dan terjadinya perubahan sosial di
masyarakat. Akibat dari kegiatan ini yang sering didiskripsikan menjadi dampak
kegiatan pariwisata. Kegiatan pariwisata dapat memberikan manfaat positif bagi
destinasi dan juga dapat memberikan dampak negatif terutama terhadap
lingkungan. Guna meminimalisir dampak negatif dengan adanya kegiatan
pariwisata, menjadi hal yang penting untuk menjadikan hubungan yang baik antara
!
!
51!
kondisi lingkungan manusia dengan lingkungan alam sehingga kondisi lingkungan
akan berkelanjutan. Sebuah penelitian oleh Ramsar (2012) yang membahas tentang
persepsi masyarakat terhadap dampak kegiatan pariwisata dan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan pariwisata menghasilkan bahwa kegiatan pariwisata
berpengaruh terhadap kualitas masyarakat local dan terdapat hubungan yang
signifikan antara kualitas hidup masyarakat local dan partisipasinya dalam kegiatan
pariwisata. Struktur sosial dari masyarakat lokal memiliki permasalahan utama
dalam kemampuannya untuk menyerap secara positif norma dan nilai yang berbeda
yang dibawa oleh wisatawan (Mansfeld 1992).
Peter Mason (2003) menjabarkan bahwa dampak pariwisata dibagi menjadi 3
aspek yaitu dampak terhadap ekonomi, sosial budaya dan lingkungan yang dapat
bersifat negatif maupun positif. Pelingkupan mengenai dampak kegiatan pariwisata
yang berdasarkan teori Peter Mason menjadi dasar teoritis yang digunakan dalam
penelitian ini. Dengan adanya kegiatan pariwisata di Nusa Penida, seharusnya
dapat memberikan dampak positif terhadap kondisi ekonomi masyarakat (Ramsar,
2012) sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya.
Bentuk partisipasi masyarakat menjadi esensil bagi pencapaian pariwisata
yang berkelanjutan dan bagi realisasi pariwisata yang berkualitas. Getz dan Jamal
(1994) mengembangkan pondasi teorintis pelibatan masyarakat dalam perencanaan
dan pengembangan pariwisata dan menganalisis watak dan tujuan dari model
kolaborasi (collaboration) yang berbeda dari model kerjasama (cooperation).
Mereka berdua mendefinisikan kolaborasi sebagai “sebuah proses pembuatan
keputusan bersama diantara stakeholders otonom dari domain interorganisasi untuk
!
!
52!
memecahkan problem-problem atau me-manage isu yang berkaitan dengan
pariwisata (Getz dan Jamal, 1994). Proses kolaborasi meliputi ; 1) Problem Setting
dengan mengidentifikasi stakeholders kunci dan isu-isu. 2) Direction Setting
dengan berbagi interpretasi kolaboratif, mengapresiasi tujuan umum. 3)
strukturisasi dan implementasikan, 4) institusionalisasi. Pembelajaran disini
bertujuan untuk membantu proses belajar antara tuan rumah (host Community) dan
tamu (Guest), mendidik dan membangun pengertian antara cara hidup dan budaya
yang beragam, meningkatkan kesadaran terhadap konservasi budaya dan
sumberdaya diantara turis dan masyarakat luas.
Local genius dan kearifan lokal mengambil peranan penting dalam
pengembangan pariwisata. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius,
Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch
Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini
(Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius
adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986).
Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986) mengatakan bahwa
unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji
kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Beberapa contoh yang bisa mendukung pernyataan tersebut, yaitu.
1) Mampu bertahan terhadap budaya luar.
2) Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
7
!
!
53!
3) Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli.
4) Mempunyai kemampuan mengendalikan.
5) Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Beberapa bentuk kearifan lokal yang berkaitan dengan pelestarian alam juga
diungkapkan oleh Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam
http://www. balipost. co. id (2003), bentuk-bentuk kearifan lokal dalam
masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum
adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan
ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-
macam. Beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu.
1) Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2) Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan
dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
3) Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya
pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada Pura Panji.
4) Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5) Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6) Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7) Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam Upacara Ngaben dan
penyucian roh leluhur.
8) Bermakna politik, misalnya upacara nangluk merana dan kekuasaan patron
client
!
!
54!
B. Perencanaan Pariwisata
Perencanaan (planning) adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang
menyangkut masa depan dari suatu destinasi atau atraksi. Planning adalah proses
yang bersifat dinamis untuk menentukan tujuan, bersifat sistematis dalam mencapai
tujuan yang ingin dicapai, merupakan implementasi dari berbagai alternatif pilihan
dan evaluasi apakah pilihan tersebut berhasil. Proses perencanaan menggambarkan
lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik, fisik, sosial, budaya dan
ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling berhubungan dan saling
tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan (Paturusi, 2001).
Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan tindakan-tindakan yang
mana tindakan tersebut digambarkan dalam suatu tujuan (jangka pendek, jangka
menengah, maupun jangka panjang) yang didasarkan kemampuan-kemampuan
fisik, ekonomi, sosial budaya, dan tenaga yang terbatas.
Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga)
kemampuan (the three brains) yaitu.
1) Kemampuan melihat ke depan.
2) Kemampuan menganalisis.
3) Kemampuan melihat interaksi-interaksi, antara permasalahan.
Bila di rinci pengertian perencanaan tersebut maka dalam batasan
perencanaan terdapat unsur.
1) Suatu pandangan jauh ke depan.
2) Merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai dengan menggunakan
alat – alat secara efektif dan ekonomis.
!
!
55!
3) Menggunakan koordinasi dalam pelaksanaan.
Hall (1998) menyatakan bahwa, pariwisata tidak bisa dibiarkan untuk
kemajuan secara ad hoc tanpa kerangka konsep secara keseluruhan dan strategi
menuju tujuan pembangunan yang telah ditentukan. Realita teori hall (1998) ini
telah terbukti di Nusa Penida dengan perkembangan / aglomerasi kegiatan
pariwisata hanya pada daerah bagian barat Nusa Penida. Di masa mendatang
dibutuhkan kerangka konsep yang tepat yang dapat memberikan dampak dan
manfaat kegiatan pariwiata yang ada. Simpson (2001) menyatakan bahwa
"pertimbangan factor terkait proses perencanaan destinas pariwisata belum mampu
menjamin aplikasi konsep pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan pada
sebuah destinasi pariwisata. Berbagai konsep pembangunan dan perencanaan
pariwisata telah di tawarkan dan diaplikasikan.
Optimalisasi manfaat yang dirasakan dengan penerapan konsep pariwisata
sangat tergantung dari berbagai aspek pendukung kegiatan pariwisata. Ritchie dan
Crouch (2000) menyatakan bahwa strategi pengembangan pariwisata yang paling
efektif adalah strategi yang berorientasi kepada tujuan, Aplikasi prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan ke dalam perencanaan pariwisata untuk seluruh
jenjang perencanaan destinasi pariwisata baik tingkat nasional, negara, regional
atau lokal, sangatlah penting untuk diterapkan. Kegiatan pariwisata ditingkat lokal
terbukti memberikan pengurangan yang signifikan terhadap dampak negatif
terhadap kegiatan pariwisata. Kondisi ini didasarkan atas fakta bahwa dengan
pengembangan pariwisata secara lokal, yang dilakukan oleh pemerintah daerah
!
!
56!
memiliki control langsung yang kuat terhadap upaya pengawasan pelaksanaan
kegiatan wisata pada sebuah daya tarik wisata.
Coccossis (1996) menyatakan bahwa di beberapa daerah yang memiliki
kegiatan pariwisata yang telah berkembang, kegiatan pariwisata telah
membangkitkan ekonomi lokal dan memperkuat identitas lokal disisi lain telah
merusak adat istiadat, tradisi dan hubungan sosial; di beberapa daerah telah
membantu melindungi lingkungan yang sensitif. Simpson (2001) mengidentifikasi
dua kunci pendekatan berkelanjutan untuk perencanaan pariwisata: partisipasi
stakeholder beberapa dalam proses perencanaan dan kebutuhan untuk orientasi
yang lebih strategis dan jangka panjang dalam perencanaan pariwisata.
Perencanaan pariwisata berdasarkan pendekatan kegiatan dan langkah
Pendekatan Perencanaan Pariwisata
1) Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Metode Keterkaitan, yang
meliputi.
a) Metode Makro-Meso-Mikro
b) Metode Partisipatif (participatory)
c) Metode Morfologi
2) Pendekatan Pengembangan Kawasan
a) Pendekatan Tipologi
b) Pendekatan Pembangunan Masyarakat
c) Pendekatan Ekowisata
d) Pendekatan Konservasi
!
!
57!
Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau resort akan menuju suatu siklus evolusi
yang sama dengan siklus hidup sebuah produk. Secara sederhana jumlah
pengunjung menggantikan penjualan sebuah produk. Beberapa penulis menyatakan
terdapat tiga tingkatan siklus hidup daerah pariwisata yaitu; penemuan (discovery),
inisiatif dan respon masyarakat lokal dan kelembagaan. Konsep tingkatan atau
tahapan siklus hidup terjadi dalam pembangunan pariwisata merupakan salah satu
permasalahan penting yang harus diantisipasi.
Secara umum perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara
sistematis kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Perencanaan itu sendiri merupakan “alat” dan bukan tujuan, perencanaan
adalah alat untuk mencapai tujuan, dengan demikian dapat berubah – ubah menurut
tempat, waktu dan keadaan. Perencanaan sebagai alat untuk dibuat sedemikian rupa
sehingga fleksibel untuk tiap era pembangunan. Perencanaan dipakai sebagai alat
atau cara karena hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa.
1) Dengan perencanaan dapat dibuat urutan – urutan kegiatan menurut skala
prioritas untuk mencapai tujuan.
2) Dengan perencanaan dapat dibuat pengakolasian sumber daya yang paling
baik. Alternatif dapat dibuat, agar sumber digunakan dengan sebaik – baiknya.
3) Perencanaan merupakan alat ukur daripada kemajuan ekonomi dan juga
sebagai alat pengawas daripada pelaksanaan pembangunan.
4) Melalui perencanaan dapat dibuat perkiraan keadaan di masa yang akan
datang.
5) Dengan perencanaan diharapkan pembangunan tidak akan terputus – putus,
!
!
58!
sebab perencanaan merencanakan proses pembangunan yang menyeluruh.
Ada beberapa alasan mengapa perencanaan diperlukan.
1) Memberi pengarahan
Dengan adanya perencanaan para pelaksana dalam suatu organisasi atau tim
mengetahui apa yang hendak dilakukannya dan kearah mana yang akan dituju,
atau apa yang akan dicapai.
2) Membimbing kerjasama
Perencanaan dapat membimbing para petugas bekerja tidak menurut
kemauannya sendiri. Dengan adanya perencanaan, ia merasa sebagai bagian
dari suatu tim, di tempat tugas seorang banyak tergantung dari tugas yang
lainnya.
3) Menciptakan koordinasi
Bila dalam suatu proyek masing – masing keahlian berjalan secara terpisah,
kemungkinan besar tidak akan tercapai suatu inkronisasi dalam pelaksanaan.
Karena itu sangat diperlukan adanya koordinasi antara beberapa aktivitas yang
dilakukan.
4) Menjamin tercapainya kemajuan
Suatu perencanaan umumnya telah menggariskan suatu program yang hendak
dilakukan meliputi tugas yang tanggung jawab tiap individu atau tim dalam
proyek yang dikerjakan. Bila ada penyimpangan antara yang telah
direncanakan dengan apa yang telah dilaksanakan, akan segera dapat
dihindarkan. Dengan demikian akan dapat dilakukan koreksi pada saat
diketahui, sehingga sistem ini akan mempercepat penyelesaian suatu proyek.
!
!
59!
5) Untuk memperkecil resiko
Perencanaan mencakup mengumpulkan data yang relevan (baik yang tersedia,
maupun yang tidak tersedia) dan secara hati – hati menelaah segala
kemungkinan yang terjadi sebelum di ambil auatu keputusan. Keputusan yang
di ambil atas dasar intuisi, kerjakan ini kerjakan itu tanpa melakukan suatu
penelitian pasar atau tanpa melakukan perhitungan rates of return on
invesment, sangat dikhawatirkan akan menghadapi resiko besar. Karena itu
perencanaan lebih lebih memperkecil resiko yang timbul berlebihan.
6) Mendorong dalam pelaksanaan
Perencanaan terjadi agar suatu organisasi dapat memperoleh kemajuan secara
sistematis dalam mencapai hasil yang diinginkan melalui inisiatif sendiri. Itu
pulalah sebabnya untuk mencapai suatu hasil diperlukan tindakan, namun
demikian untuk melakukan tindakan dibutuhkan suatu perencanaan dan
program. Di samping itu untuk membuat suatu perencanaan diperlukan suatu
kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian untuk
mengetahui data yang perlu dikumpulkan kita memerlukan tujuan yang hendak
dicapai terlebih dahulu, sedangkan untuk mencapai suatu tujuan (objectives)
diperlukan suatu pemikiran (thought) yang khusus. Jadi perencanaan
(planning) merupakan suatu mata rantai yang esensial antara pemikiran
(thought) dan pelaksanaan (action). Dengan perkataan lain kita dapat
mengatakan bahwa “Thought without action is merely philosophy, action
without thought is merely stupidity” (Yoeti, 1997).
!
!
60!
C. Pengembangan Destinasi Pariwisata
Ketika melakukan perjalanan, pasti terdapat daerah yang dituju. Daerah
inilah yang di sebut dengan Daerah Tujuan Wisata. Sesuai Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Daerah
Tujuan Wisata yang selanjutnya di sebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan
geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administrasi yang di dalamnya
terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta
masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan (UU RI
No.10 Th.2009).
Menurut Prof. Mariotti, daerah tujuan wisata harus memiliki hal menarik
yang dapat ditawarkan kepada para wisatawan (Oka A Yoeti, 1996). Destinasi
Pariwisata harus memenuhi tiga syarat, yaitu.
1) Harus memiliki something to see, yaitu di tempat tersebut harus ada obyek dan
atraksi wisata khusus, yang berbeda dengan apa yang dimiliki daerah lain
untuk di lihat.
2) Harus menyediakan something to do, yaitu di tempat tersebut harus disediakan
fasilitas untuk melakukan kegiatan rekreasi yang dapat membuat betah
wisatawan.
3) Harus menyediakan something to buy, yaitu di tempat tersebut harus tersedia
fasillitas untuk berbelanja, terutama oleh-oleh dan barang kerajinan khas yang
dapat dibawa pulang ke tempat asal oleh wisatawan.
Prof. Moratti juga berpendapat bahwa terdapat tiga hal yang dapat menarik
wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah. Ketiga hal tersebut adalah benda –
!
!
61!
benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta (contoh: pemandangan, iklim,
flora dan fauna), benda – benda hasil ciptaan manusia (contoh: monumen dan
museum), dan tata cara hidup masyarakat setempat. Ketiga hal inilah yang
dimaksud dengan obyek dan atraksi wisata.
Pada dasarnya seseorang atau yang di sebut wisatawan memiliki kriteria
khusus dalam memilih daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya, baik yang
berdasarkan pada minat hobinya maupun tujuan perjalanannya. Pemilihan daerah
tujuan wisata secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis
pariwisata. Menurut Nyoman S. Pendit (2002), terdapat beberapa jenis pariwisata
yang sudah dikenal, yaitu.
1) Wisata budaya, yaitu perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk
memperluas pandangan hidup seseorang dengan cara mengadakan kunjungan
ke tempat lain atau ke luar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan
adat istiadat mereka, cara hidup mereka, kebudayaan dan seni mereka.
2) Wisata kesehatan, yaitu perjalanan seseorang wisatawan dengan tujuan untuk
menukar keadaan dan lingkungan tempat sehari-hari di mana ia tinggal demi
kepentingan beristirahat baginya dalam arti jasmani dan rohani.
3) Wisata olahraga, yaitu wisatawan-wisatawan yang melakukan perjalanan
dengan tujuan berolahraga atau memang sengaja bermaksud mengambil bagian
aktif dalam pesta olahraga di suatu tempat atau negara.
4) Wisata komersial, yaitu termasuk perjalanan untuk mengunjungi pameran-
pameran dan pekan raya yang bersifat komersial, seperti pameran industri,
pameran dagang dan sebagainya.
!
!
62!
5) Wisata industri, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau
mahasiswa, atau orang-orang awam ke suatu kompleks atau daerah
perindustrian, dengan maksud dan tujuan untuk mengadakan peninjauan atau
penelitian.
6) Wisata Politik, yaitu perjalanan yang dilakukan untuk mengunjungi atau
mengambil bagian secara aktif dalam peristiwa kegiatan politik.
7) Wisata Konvensi, yaitu perjalanan yang dilakukan untuk menghadiri konvensi,
konferensi, musyawarah atau pertemuan yang bersifat nasional maupun
internasional.
8) Wisata Sosial, yaitu pengorganisasian suatu perjalanan murah serta mudah
untuk memberi kesempatan kepada golongan masyarakat ekonomi lemah
untuk dapat mengadakan perjalanan, misalnya bagi kaum buruh, pemuda,
pelajar, dan sebagainya.
9) Wisata Pertanian, yaitu perjalanan yang diorganisasikan oleh proyek pertanian,
perkebunan, dan ladang pembibitan sehingga wisatawan dapat melakukan
kunjungan dan peninjauan dengan tujuan studi.
10) Wisata Bahari, yaitu wisata yang banyak dikaitkan dengan danau, pantai atau
laut.
11) Wisata Cagar Alam, yaitu jenis wisata yang biasanya diselenggarakan oleh
agen atau biro perjalanan yang mengkhususkan usaha-usaha dengan mengatur
wisata ke tempat atau daerah cagar alam, taman lindung, hutan daerah
pegunungan dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi oleh undang-
undang.
!
!
63!
12) Wisata Bulan Madu, yaitu suatu penyelenggaraan perjalanan bagi pasangan-
pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu dengan fasilitas-fasilitas
khusus dan tersendiri demi kenikmatan perjalanan.
13) Wisata Buru, yaitu perjalanan yang dilakukan untuk berburu ke daerah atau
hutan yang telah ditetapkan sebagai tempat berburu oleh pemerintah negara
yang bersangkutan.
14) Wisata Pilgrim, yaitu perjalanan ziarah ke tempat suci, ke makam orang besar
atau pemimpin yang diagungkan dengan niat memperoleh restu, kekuatan
batin, dan keteguhan iman.
15) Wisata Petualangan, yaitu perjalanan ke daerah atau hutan belantara yang
belum pernah dijelajahi.
Selanjutnya Wahab (1996) menyatakan bahwa ada beberapa bagian penting
dari pariwisata, yaitu; manusia (unsur insani sebagai pelaku kegiatan pariwisata);
tempat (unsur fisik sebagai tempat manusia melakukan kegiatan wisatanya); dan
waktu (unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalanan wisata dan selama berdiam
di tempat tujuan wisata). Dutton dan Hall (1989) menyatakan bahwa pemerintah
harus secara aktif mencari dan mempertimbangkan sikap masyarakat setempat
untuk pariwisata. Keterlibatan beberapa kelompok pemangku kepentingan
dianggap sebagai masalah penting dalam pendekatan berkelanjutan seperti dalam
proses perencanaan khas stakeholder berkonsultasi minimal dekat akhir proses,
yang meninggalkan sedikit kesempatan untuk masukan yang berarti dalam proses.
Sebuah prasyarat lebih lanjut untuk pendekatan perencanaan pariwisata
berkelanjutan adalah penggunaan perencanaan strategis untuk menggantikan
!
!
64!
pendekatan perencanaan konvensional. Terdapat kesenjangan yang tumbuh antara
doktrin keberlanjutan dan yang aplikasi 'dunia nyata' (Simpson, 2001; Trousdale,
1999). Artinya, meskipun penerimaan yang luas dari konsep keberlanjutan,
terutama di sektor akademik, pertanyaan harus ditanyakan apakah para perencana
tujuan, manajer dan operator industri yang membuat keputusan tentang pariwisata
dalam tujuan masing-masing , yang benar-benar menerapkan prinsip-prinsip kunci
dari teori pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan dengan sifatnya adalah proses perubahan dan dapat
dijelaskan dalam berbagai cara. Harrison (1992) dan Woodcock dan Francis (1994)
menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan tradisional bisa membuktikan
kerangka yang berguna untuk penjelasan dari pola pengembangan pariwisata dan
proses. Dalam literatur, pendekatan untuk pengembangan berbagai dari laissez-
faire (hanya melakukan apa-apa) ke diffusionism, ketergantungan dan
keberlanjutan, meskipun tidak ada pendekatan yang pernah mencapai dominasi
mutlak. Selain itu, berbagai alternatif dikotomis telah diusulkan untuk pelaksanaan
pendekatan di atas, seperti besar versus kecil, massa dibandingkan alternatif,
eksogen terhadap endogen dan modal dibandingkan padat karya. Ada dua jenis
model yang berkontribusi terhadap pemahaman yang lebih baik dari
pengembangan: jelas dan deskriptif. Model jelas (misalnya diffusionist) mengacu
pada faktor (prasyarat) yang menyebabkan pembangunan / pertumbuhan. Dalam
pariwisata, ada dua pra-kondisi pembangunan, yaitu 'diperlukan' dan 'cukup'
(Rostow, 1960; Auty, 1995). 'Diperlukan' pra-kondisi termasuk berbagai faktor
yang menarik orang untuk tujuan yang berbeda, sangat sering lanskap bagus dan
!
!
65!
jalan-jalan arkeologi. Namun, meskipun ada banyak tujuan yang memiliki beberapa
diperlukan pra-kondisi, mereka tidak pernah bergerak dari potensi pengembangan
untuk benar-benar berkembang, karena mereka tidak memiliki 'cukup' prasyarat,
kehendak yaitu seseorang untuk mengembangkan industri pariwisata, misalnya
investasi di bidang infrastruktur dan akomodasi.
Model deskriptif (misalnya penjelasan siklus hidup, model fisik dan
kantong dibandingkan menyebar perkembangan) memeriksa pariwisata dari sudut
apa yang muncul di tanah, misalnya hotel besar, fasilitas dan lain-lain Mayoritas
penelitian pengembangan pariwisata telah berkonsentrasi pada penjelasan
deskriptif, terutama model siklus hidup (Butler, 1980; Cooper, 1990; Martin dan
Uysal, 1990; Foster dan Murphy, 1991; Getz, 1992; Ioannides, 1992; di Benedetto
dan Bojanic, 1993; Bianchi, 1994; Agarwal, 1997; Tooman, 1997; Oppermann,
1998; Priestley dan Mundet, 1998; Russell dan Faulkner, 1998; Knowles dan
Curtis, 1999). Demikian pula, banyak penelitian telah dilakukan menekankan hasil
pembangunan-ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (Mathieson dan Wall, 1982;
Dogan, 1989; Uysal, 1990; Gandum, 1993; Buhalis dan Fletcher, 1995;
Haralambopoulos dan Pizam, 1996).
Konsep pembangunan telah di bahas selama bertahun-tahun dan telah
diberikan berbagai interpretasi. Friedmann (1980) dan Oppermann dan Chon
(1997) mengamati pembangunan sebagai salah satu 'istilah yang lebih licin di lidah
kita dan menunjukkan perkembangan sebagai' proses evolusi 'dengan' konotasi
positif.
!
!
66!
Ingham (1993) memandang pembangunan di cara yang mirip dengan
Friedman dengan menghubungkan ke pengembangan sifat ganda, yang terdiri dari
kedua proses dan tujuan. Todaro (1994) menetapkan tiga tujuan pembangunan:
kebutuhan kelangsungan hidup manusia (terutama makanan dan tempat tinggal),
standar hidup (seperti pendidikan dan kesehatan), dan hak asasi manusia (seperti
keadilan sosial dan kedaulatan politik).
Meskipun pertumbuhan pariwisata meresap selama dekade terakhir dan
penggunaan pariwisata dengan banyak negara dan pulau-pulau sebagai strategi
pembangunan, sastra pembangunan telah hampir diabaikan pariwisata sebagai
pendekatan pembangunan (Apostolopoulos, 1996; Gunn, 1994; Sinclair, 1997).
Namun, pengembangan pariwisata melalui adalah strategi yang digunakan oleh
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pendapatan dan penciptaan
lapangan kerja, dan untuk membantu tujuan untuk berpindah dari posisi 'warga
miskin' atau 'bawah-pengembangan' ke posisi 'kekayaan' atau 'pengembangan
lebih'.
Rostow (1960) mengidentifikasi jalur alami untuk pertumbuhan ekonomi
(proses) yang semua masyarakat atau bangsa harus mengikuti jika mereka ingin
menjadi modern. Jalur ini meliputi lima tahap awal dengan masyarakat tradisional
dan maju melalui tahap prakondisi untuk take-off, take-off, dan drive hingga jatuh
tempo, sebelum mencapai tahap akhir dari konsumsi massa tinggi. Rostow (1960)
mengakui bahwa untuk pengembangan lebih cepat dan lebih baik dari negara peran
utama dimainkan oleh sektor swasta bebas dan dinamis dalam kemitraan dengan
sektor publik yang efisien. Namun, ia mengidentifikasi bahaya detouring, ketika
!
!
67!
beberapa negara berangkat dari pembangunan kapitalis untuk rute menyimpang dari
sosialisme-komunisme.
Walaupun model Rostow tidak membahas pertumbuhan pariwisata,
khususnya, namun pertumbuhan ekonomi secara umum dari semua jenis kegiatan,
itu adalah alat yang berguna untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi di sektor
pariwisata. Pariwisata dapat menawarkan untuk tujuan jalur alami untuk
pertumbuhan ekonomi melalui berbagai tahap, mulai dari non-pariwisata tradisional
di mana ada wisatawan mengunjungi tujuan, untuk prasyarat untuk lepas landas di
mana penjelajah dan drifter membuat penampilan mereka, hingga jatuh tempo di
mana tujuan dikunjungi oleh wisatawan individu massa, untuk tahap akhir dari
konsumsi massa di mana tujuan dikunjungi oleh wisatawan massa terorganisir. Dari
sini jelas bahwa Rostow mengatur akar untuk sebagian besar model yang telah
berusaha untuk menjelaskan evolusi pariwisata. Oleh karena itu, banyak penulis
telah dimasukkan ke dalam model evolusi mereka banyak tahapan Rostow,
meskipun menggunakan terminologi pariwisata yang spesifik.
Tradisi 'laissez faire' menunjukkan bahwa dengan gangguan minimum oleh
pemerintah dan operasi yang efisien dari pengusaha individu produksi dan
pertukaran barang dapat dirangsang dan peningkatan konsekuensi dalam standar
umum hidup yang dicapai. Namun, kebebasan tersebut tidak dapat memastikan
nilai-nilai sosial dasar, seperti distribusi pendapatan yang merata. Sebaliknya, itu
memungkinkan akumulasi kekayaan yang luas dan kepentingan pribadi yang kuat
yang mengarah ke kemiskinan bagian utama dari masyarakat. Pariwisata
pendekatan laissez-faire harus dihindari karena dapat mengakibatkan efek merusak
!
!
68!
karena konsekuensi yang luar biasa dari pengembangan pariwisata yang tidak
terkendali pada kelangsungan hidup sumber daya lingkungan dan budaya dan
bahaya tujuan kehilangan keasliannya di drive untuk keuntungan cepat dan mudah .
Difusi adalah proses di mana pertumbuhan ekonomi menyebar-out dari satu
lokasi ke sejumlah orang lain (Sarre, 1977; Rostow, 1960; Auty, 1995). Proses
penyebaran-out ini dapat lebih baik dilaksanakan melalui pengembangan.
"Pembangunan tidak bisa dihindari, (itu) terjadi dalam tahap pengembangan, dan
disebarkan dari inti pembangunan menuju daerah pinggiran" (Oppermann dan
Chon 1997, p.36). Sebuah prasyarat difusi adalah proses inovasi, yang tidak harus
menjadi sesuatu yang baru, tetapi mungkin ada di daerah lain, dan dapat merujuk
pada benda-benda nyata, seperti mesin, atau fenomena kurang nyata, seperti
pariwisata (Sarre, 1977).
Difusi dalam pariwisata memiliki dua sisi. Pertama, sisi permintaan yang
bersangkutan dengan bagaimana wisatawan diinformasikan tentang tujuan dan
memutuskan untuk mengunjunginya. Biasanya produk wisata tidak diberikan
langsung kepada masyarakat tetapi intermediet mengendalikan distribusinya.
Akibatnya, sisi penawaran yang bersangkutan dengan cara yang tujuan
mengembangkan industri pariwisata. Sisi penawaran melibatkan lembaga, misalnya
lembaga pemerintah atau eksogen yang membuat keputusan. Dalam setiap tujuan
ada beberapa individu atau lembaga yang memutuskan pertama untuk
menghasilkan fasilitas wisata. Setelah sejumlah kecil produsen membuat beberapa
fasilitas yang sukses dalam menarik wisatawan, lebih individu memutuskan untuk
mengadopsi inovasi, biasanya terletak di dekat produsen yang ada. Ini difusi hasil
!
!
69!
inovasi dalam perubahan sosial dengan perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi sistem sosial, dengan meminjam atau mengadopsi ciri-ciri budaya dari
negara-negara lain (Rogers, 1995).
Miossec (1976) mengembangkan model diffusionist ruang pariwisata, yang
menggambarkan evolusi struktural tujuan melalui ruang dan waktu dan perubahan
dicatat dalam penyediaan resor dan fasilitas transportasi dan perubahan perilaku
dan sikap selanjutnya antara wisatawan, pengambil keputusan dan populasi tuan
rumah. Dia berargumen difusi yang terjadi dalam lima fase (0, 1, 2, 3 dan 4) dari
isolasi, tanpa pembangunan, penciptaan sebuah resor perintis bersama-sama dengan
transportasi yang diperlukan berarti untuk aksesibilitas resort, untuk perkalian
resort dan jaringan transportasi lanjut, dan kejenuhan melalui pemerataan resort di
seluruh negeri. Melalui fase perubahan dalam sikap lokal terjadi yang dapat
menyebabkan penerimaan lengkap pariwisata, penerapan kontrol perencanaan atau
bahkan penolakan pariwisata (Pearce, 1989).
Miossec menyarankan bahwa lebih-pembangunan dapat mengakibatkan
penurunan, pengaturan sehingga batas tingkat pembangunan yang resort atau
negara dapat mempertahankan. Namun, Miossec dapat dikritik karena ia gagal
untuk mengakui bahwa pariwisata tidak dapat berkembang dalam 'ruang kosong'
tetapi biasanya berkembang "dalam struktur ekonomi yang ada sosial di mana
beberapa bentuk hirarki perkotaan dan beberapa jaringan transportasi yang sudah
ditemukan" (Pearce, 1989).
Proses difusi dari inti pembangunan ke pinggiran dapat dengan mudah
terwujud melalui pariwisata, karena meningkatnya permintaan dari wisatawan
!
!
70!
modern untuk tujuan baru. Perluasan industri pariwisata menyiratkan interaksi yang
lebih besar dari 'trickle-down effect’ dan kemungkinan penyesuaian kesenjangan
regional. Pariwisata dapat menghasilkan pengaruh positif pada pariwisata
menerima tujuan dengan manfaat untuk kesejahteraan individu dan kolektif dalam
pembangunan sosial-ekonomi. Sejak hasil pengeluaran pariwisata di keterkaitan
dengan sektor ekonomi lainnya, misalnya pertanian, kerajinan, dan bangunan, efek
multiplier yang tinggi, dan penciptaan lapangan kerja bagi penduduk setempat,
pariwisata internasional telah di lihat oleh pemerintah daerah perifer sebagai alat
untuk pembangunan ekonomi mereka, seperti yang ditekankan oleh Christaller
(1966).
Dalam negara dunia ketiga kubu elitis berlaku dan masih ada kesenjangan
besar antara kelas-kelas sosial dan ekonomi, serta antar daerah, di tingkat
kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi. Namun demikian, kadang-kadang
hasil dari proses difusi berbeda. Di beberapa negara difusi, melalui pariwisata, tidak
menyebabkan perkembangan ekonomi yang signifikan dan peningkatan
kesejahteraan individu, tetapi telah meningkat ketimpangan regional, kesenjangan
antara kelas sosial-ekonomi dan kubu elitis. Akibatnya, difusi tidak segera muncul
di seluruh negara atau pulau. Ada daerah di mana difusi muncul pertama, pada
orang lain kemudian, dan dalam beberapa tidak pernah. Namun, apa alasan untuk
ini? Sebagai Friedmann (1973) menegaskan, biasanya inti mendominasi pinggiran
dalam fungsi ekonomi, politik dan inovatif, dan karena itu difusi dalam inti
biasanya muncul pertama. Di sisi lain, pinggiran bukanlah entitas yang homogen,
dan oleh karena itu, bagian-bagian itu berbeda dalam potensi mereka untuk
!
!
71!
pembangunan. Brown (1981) menyarankan: daerah pinggiran mungkin atas transisi
karena mereka berada di dekat dengan impuls pembangunan yang berasal dari inti,
atau karena mereka berada di antara dua kota inti dan dengan demikian merupakan
koridor pembangunan. Atau, ada daerah pinggiran yang bawah transisi karena
mereka berada jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi, atau karena norma-norma
sosial mereka yang luar biasa tradisional.
Ini telah digambarkan oleh banyak penulis (misalnya Pearce, 1987;
Oppermann, 1993) yang mengusulkan bahwa resort wisata biasanya dibuat di
sekitar bandara internasional. Karena sebagian besar waktu bandara internasional
sering dekat dengan ibukota, resort yang terletak di daerah-daerah. Misalnya, di
Dominika, setengah dari semua perusahaan akomodasi berada di ibukota Rousseau.
Oppermann (1993) menegaskan bahwa cara yang paling sukses untuk mengarahkan
wisatawan ke daerah lain adalah pembukaan bandara baru. Karena laut dan pasir
menarik sebagian besar wisatawan, bandara sering dibangun di sepanjang pantai.
Negara-negara berkembang dan kepulauan terdiri dari penurunan sektor
'tradisional', dan sektor tumbuh 'modern'. Sektor tradisional terdiri dari budaya asli
dan ditandai oleh sub-budaya tani atau norma-norma sosial berorientasi
mempertahankan status quo (Brown, 1981). Di sisi lain, sektor modern
menggabungkan pengaruh, dunia terutama dikembangkan, praktik ekonomi asing
dan norma-norma sosial (Brown, 1981). Melalui masukan dari ideologi baru,
teknologi dan keahlian dari eksternal ke agen daerah, terjadi perubahan dalam
struktur ekonomi dan masyarakat daerah tertinggal. Seperti Harrison (1992)
mengatakan:
!
!
72!
Secara ekonomi, ada pergeseran dari pertanian ke industri (dan dari desa ke
kota), dan peran sentral untuk uang dan pasar uang. Sosial, pengaruh keluarga dan
lain jajahan menurun, lembaga menjadi lebih berbeda, dan peran penting yang
dimainkan oleh 'modernisasi' elit dan 'agen perubahan' lainnya dalam
memperkenalkan nilai-nilai dan lembaga-lembaga modern, sering dalam
menghadapi tradisi bermusuhan atau resisten. Jika modal investasi, keterampilan
wirausaha, pengetahuan teknologi dan nilai-nilai yang diperlukan untuk modernitas
yang absen dari masyarakat yang 'mengembangkan', mereka dapat menyebar dari
luar, mungkin karena beberapa bentuk bantuan, asalkan ada cukup, dan cukup kuat,
agen perubahan adat untuk bertindak sebagai katalis dan membawa seluruh
masyarakat dengan mereka, meskipun enggan.
Menurut gagasan pembangunan tergantung, sementara pertumbuhan
ekonomi telah terjadi di beberapa negara pinggiran, pembangunan tersebut telah
menghasilkan fitur yang tidak diinginkan yang dibedakan dari pengembangan
kapitalis di inti. Tidak adanya modal yang cukup, dan investasi rendah berikutnya
dan produktivitas, menghasilkan pinggiran terjebak dalam lingkaran setan
kemiskinan (Mydral 1957), dengan pariwisata perifer dikendalikan dan
dimanfaatkan oleh 'daerah inti industri (Keller, 1987). Akibatnya, evolusi
pariwisata di banyak tujuan Pulau cocok pola neo-kolonialisme dan ketergantungan
ekonomi, di mana' masyarakat Barat metropolitan kaya 'sangat mendominasi bisnis
perjalanan di bawah-dikembangkan tujuan dengan memanfaatkan sumber daya
mereka melalui pengembangan 'kantong-kantong pariwisata', seperti Matthews
(1977) telah melaporkan mengenai kepulauan Karibia. Situasi digambarkan ini
!
!
73!
dalam model kantong pariwisata di negara-negara berkembang. Dia menunjukkan
bahwa pariwisata di negara-negara berkembang spasial terkonsentrasi dan
terorganisir dalam ekonomi metropolitan, biasanya ibu kota, di mana "markas
perusahaan pariwisata metropolitan dan perusahaan non-pariwisata terkait
berlokasi". Sejak perusahaan metropolitan sebenarnya terletak di dalam pasar
wisata utama mereka memiliki kontak langsung dengan wisatawan, mereka
mendominasi aspek utama dari industri, seperti teknologi, pemasaran, harga produk
dan desain, dan dengan demikian, mereka mengontrol link dalam rantai arus
wisatawan (Wilkinson, 1997). Markas asing negara pariwisata menghasilkan
mengatur paket tour (transportasi, akomodasi dan wisata) dan oleh karena itu ada
"kapasitas sektor pariwisata yang dominan untuk mengendalikan pengeluaran
wisatawan melalui kontrol gerakan wisata, dengan mengesampingkan relatif
produsen kecil sektor ".
Satu-satunya aspek yang tidak terkontrol oleh kantor pusat asing beberapa
pola konsumsi wisatawan selama tinggal mereka, misalnya barang yang mereka
beli, hiburan, dan layanan lainnya. Akibatnya, lokus kontrol atas proses
pembangunan dan sumber daya lokal bergeser dari orang-orang yang paling terkena
dampak pembangunan, masyarakat tuan rumah, ke negara-negara pariwisata
menghasilkan, dengan efek buruk pada lingkungan, masyarakat dan ekonomi.
Masyarakat setempat menemukan diri mereka "terperangkap dalam sistem yang
terintegrasi secara global penggunaan sumber daya di mana mereka tidak dapat
melakukan kontrol" dan mereka menjadi "sasaran pengambilan keputusan top-
down oleh badan-badan elitis eksogen kepada masyarakat" (Brohman, 1996).
!
!
74!
Paradigma ketergantungan disajikan dalam model kantong Britton mungkin
akan dikritik karena diarahkan hanya satu segmen pasar pariwisata, paket wisata.
Akibatnya, mengabaikan pentingnya wisatawan individu dan domestik bagi
perekonomian dan kesejahteraan daerah tujuan. Selain itu, teori ketergantungan
mengabaikan pentingnya institusi domestik, khususnya pemerintah daerah dan
nasional, dan akibatnya badan-badan mempengaruhi proses pembangunan industri.
Gagal untuk merumuskan resep alternatif untuk pengembangan pariwisata di
negara-negara berkembang (Oppermann dan Chon 1997) dan mengabaikan fakta
bahwa dalam beberapa kasus perusahaan lokal negara-negara berkembang
mengendalikan aspek utama dari industri pariwisata mereka, misalnya perusahaan
akomodasi di Jamaika (Wilkinson, 1997).
Paradigma ketergantungan telah mengabaikan aspek domestik pariwisata di
negara-negara berkembang, seperti yang digambarkan model kedua Britton ini:
model struktural pariwisata di negara-negara berkembang. Britton mencoba
menjelaskan bahwa ketergantungan tidak ada hanya antara negara-negara
metropolitan dan berkembang, tetapi juga di negara-negara berkembang, antara
pusat-pusat kota yang lebih maju dan daerah perifer. Pengembangan pariwisata
tidak berkembang dalam ruang kosong tapi biasanya berkembang di ibukota dan
kota-kota besar dengan kedekatannya dengan bandara internasional. Perusahaan
yang berlokasi di pusat-pusat perkotaan negara-negara berkembang memiliki
kemampuan finansial dan dukungan politik untuk berinvestasi di daerah perifer.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini mengendalikan industri dari pinggiran,
mengurangi lebih lanjut manfaat ekonomi dari daerah perifer.
!
!
75!
Pendekatan tersebut gagal untuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat
setempat dan pentingnya pelestarian lingkungan dan budaya dalam pembangunan.
Akibatnya, pendekatan yang lebih kontemporer berasal, pendekatan pembangunan
berkelanjutan. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk
mengarahkan perubahan dari pembangunan menuju 'masa depan yang lebih ideal
dan lebih hijau' (Woodcock dan Francis, 1994).
Meskipun kepedulian terhadap lingkungan merupakan fenomena baru,
pembusukan lingkungan adalah fenomena berabad-abad. Selanjutnya konsep
pembangunan berkelanjutan telah didefinisikan dalam banyak cara. Definisi yang
paling banyak diterima dari pembangunan berkelanjutan telah diberikan oleh
Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan dalam Laporan Brundland
'Our Common Future', menggambarkannya sebagai:
Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri ... (Ini adalah) proses perubahan di mana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan semua selaras dan meningkatkan baik potensi saat ini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (WCED, 1987). Dari definisi di atas jelas bahwa pembangunan berkelanjutan, seperti dengan
semua pendekatan pembangunan lainnya, adalah proses perubahan. Namun,
pendekatan ini menekankan pelestarian sumber daya dan menghormati kebutuhan
generasi mendatang. Aronsson (2004) menyarankan pembangunan berkelanjutan
sebagai "masalah secara bersamaan melestarikan, kekayaan spesies dan keragaman
di daerah alam, dan berusaha untuk mengembangkan sebuah komunitas untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang". Definisi membayar
!
!
76!
perhatian khusus pada kepuasan kebutuhan manusia, khususnya kebutuhan pokok
kaum miskin di dunia, seperti makanan yang cukup, air bersih, tempat tinggal,
pakaian dan pekerjaan, serta aspirasi manusia normal untuk hal-hal yang
berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik, seperti standar hidup yang lebih
tinggi, pilihan konsumen lebih besar, lebih keamanan dan meningkatkan
kesempatan liburan (Hunter dan Green, 1995). Dimana kebutuhan dasar tidak
terpenuhi, pembangunan berkelanjutan membutuhkan pertumbuhan ekonomi
sebagai senjata dalam memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Hanya dengan
pertumbuhan ekonomi, dan di bawah kondisi meningkatkan potensi produktif dan
memastikan peluang yang adil bagi semua, adalah kemampuan untuk 'mengurangi
kemiskinan dan mengatasi ancaman lingkungan sukses.
Sebagai sebuah satu kesatuan sistem kepariwisataan, destinasi pariwisata
umumnya dikembangkan dengan sejumlah pendekatan dan model. Pendekatan dan
model yang digunakan umumnya bersifat umum dan dapat dilakukan secara
mandiri dan gabungan antara model yang satu dengan model yang lain. Mengacu
kepada Prasiasa (2013), model pengelolaan destinasi wisata dibedakan atas.
1) Unsur Pengelola dari Pranata Kemasyarakatan Lokal. Model ini melibatkan
pranata kemasyarakatan lokal sebagai pengelola utama, sedangkan pemerintah
dan pelaku pariwisata sebagai mitra. Semua yang terlibat saling melengkapi
kekurangan masing – masing mitra, sehingga pengelolaan menjadi satu
kesatuan yang utuh dan terpadu. Dalam konteks ini terjadi pemberdayaan
masyarakat melalui pranata kemasyarakatan lokal. Kelemahan model ini
!
!
77!
adalah pranata kemasyarakatan lokal lemah dalam pengelolaan destinasi
pariwisata.
2) Unsur pengelola Pelaku Pariwisata. Pada model ini, pelaku pariwisata sebagai
pengelola utama, sedangkan masyarakat dan pemerintah menjadi mitra kerja.
Kelemahan model ini adalah masyarakat sering dijadikan objek komodifikasi,
pemberdayaan masyarakat relatif sedikit, dan adanya potensi konflik antara
pelaku pariwisata dengan masyarakat.
3) Unsur pengelola pemerintah. Pada model ini fungsi pemerintah sebagai
pengelola destinasi pariwisata dapat berwujud badan usaha milik negara, UPT,
Badan Usaha Milik Daerah atau BLU. Kelemahan model ini adalah partisipasi
masyarakat terbatas, keuntungan yang dinikmati masyarakat cukup kecil, dan
masyarakat sulit melakukan kontrol
4) Unsur pengelola berupa badan pengelola. Model ini mengetengahkan
keterpaduan antara pranata kemasyarakatan lokal, pelaku pariwisata dan
pemerintah. Semua unsur terlibat dalam pengelolaan Destinasi pariwisata
berdasarkan peranannya masing – masing yang disepakati bersama.
D. Pemasaran Pariwisata
Strategi pemasaran menurut Marpaung (2002a) adalah dasar dari seluruh
kebijaksanaan perusahaan, karena strategi pemasaran merupakan basis dari
penentuan serta memberikan pengarahan bagi keputusan perusahaan. Rencana
perusahaan juga berisi rencana rancangan tindakan yang perlu di ambil bagi setiap
elemen dari marketing mix. Sehingga tugas dari seorang marketing tidak hanya
terkait pada pengambilan keputusan operasional, melainkan juga harus terlibat
!
!
78!
dalam rencana-strategi jangka panjang.
Hubungan antara strategi pemasaran dengan strategi kebijaksanaan
perusahaan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Misi organisasi pariwisata, misi suatu organisasi pariwisata merupakan rencana
jangka panjang yang ingin dicapai disertai dengan tindakan-tindakan yang
sesuai dengan target yang ingin dicapai tersebut.
2) Kebijaksanaan perusahaan, merupakan penjabaran misi organisasi yang
dituangkan kedalam bentuk target-target yang lebih spesifik dari tiap misi yang
akan dicapai dalam jangka waktu tertentu.
3) Rencana strategi perusahaan, adalah pernyataan langkah-langkah pelaksanaan
dan pemanfaatan sumber daya secara detail. Strategi alternatif pemasaran
pariwisata: market penetration, market development, new product
development. Market penetration dicapai dengan meningkatkan produktivitas
dan mengungkit masalah pemasaran, market development dilakukan melalui
proses mengidentifikasikan pelanggan baru untuk produk-produk yang akan
dijual, dan strategi new product development bertujuan memperluas basis pasar
dengan meng-embangkan produk baru.
Dalam menentukan suatu stategi pemasaran, perlu adanya manajemen
pemasaran dari produk pariwisata yang hendak ditawarkan pada wisatawan.
Manajemen pemasaran menurut Marpaung (2002b) adalah proses dari program-
program analisis, perencanaan, pengembangan pelaksanaan, pengkoordinasian dan
pengawasan yang melibatkan pemikiran, penetapan harga, promosi dan distribusi
produk dan pelayanan serta desain ide-ide untuk menciptakan dan menambah
!
!
79!
beneficial enchanges melalui target pasar untuk pencapaian tujuan organisasi. Guna
membentuk suatu program strategi pemasaran, menurut Marpaung (2002b) perlu
diperhatikan.
1) Membuat tujuan dan sasaran yang spesifik dengan memberikan target pasar
yang akan diraih. Tujuan ini harus dapat dimonitor dan dievaluasi setiap waktu,
2) Membuat keputusan mengenai strategi pemasaran secara menyeluruh dengan
pertimbangan keinginan pasar dan sedemikian rupa untuk mencapai
keuntungan sesuai dengan target pasar yang telah ditetapkan, dan
3) Membuat keputusan mengenai taktik pemasaran (dalam tahap operasional)
untuk mendukung strategi yang telah dibuat.
Selanjutnya ditambahkan oleh Marpaung (2002a) hal-hal yang terkait dalam
membentuk formula strategi pemasaran adalah sebagai berikut.
1) Product Mix. Product mix membutuhkan analisis mengenai produk dan pasar-
pasarnya.
2) Pricing. Penentuan harga harus menjadi bagian dari strategi pemasaran
3) Promotion Mix. Harus diperhatikan mengenai bauran promosi ini dalam
membuat strategi pemasaran, karena hal ini sangat mempengaruhi pasar untuk
mau mengambil produk (berperan dalam customers buying decision process),
dan
4) Distribution/ Place. Hal yang penting untuk dijawab dalam pendistribusian
produk adalah; Jalur-jalur mana yang paling produktif? Adakah dibutuhkan
jalur produk yang baru? Pendistribusian produk ini harus didukung oleh
pelayanan informasi, materi publikasi, jenis promosi, dan lain-lain.
!
!
80!
Pemasaran pariwisata menurut Marpaung (2002b) mencakup; menemukan
apa yang menjadi keinginan konsumen (market research), mengembangkan
pemberian pelayanan yang sesuai kepada wisatawan (product planning),
pemberitahuan tentang produk yang dibuat (advertising and promotion), dan
memberikan instruksi di mana mereka dapat memperoleh produk-produk tersebut
(channies of distribution-tout operator and travel agent). Melalui rencana
pemasaran, menurut Marpaung (2002b) akan diperoleh banyak keuntungan, seperti.
1) Penganalisaan lingkungan pemasaran,
2) Mengidentifikasikan ancaman dan peluang pasar,
3) Mengidentifikasikan kekurangan dan kelebihan unit bisnis,
4) Menjelaskan misi dari unit bisnis,
5) Memberikan arah pengembangan yang jelas,
6) Memberikan gambaran mengenai strategi dalam menghadapi pesaing dan
perubahan kondisi pasar, memberikan penilaian bagaimana seluruh fungsi-
fungsi bidang-bidang usaha terintegrasi dalam mencapai tujuan,
7) Mencantumkan batas waktu pencapaian target dan pembagian tugas dan
tanggung jawab, dan
8) Mengidentifikasikan sumber daya yang digunakan.
Selanjutnya ditambahkan oleh Marpaung (2002a) komponen-komponen
yang terkandung dalam rencana pemasaran adalah.
1) Analisis lingkungan,
2) Analisis SWOT,
3) Misi dan tujuan,
!
!
81!
4) Strategi pemasaran,
5) Taktik-taktik operasional,
6) Pemanfaatan sumber daya dan fungsinya, dan
7) Evaluasi dan control.
Studi kelayakan pasar atau Marketing Feasibility Study (MFS) merupakan
satu tahap yang vital dalam suatu rancangan pariwisata. Tahapan ini membantu
para pembuat keputusan untuk mengidentifikasikan apakah ada gap antara
antisipasi supply dan dilakukan dengan jumlah permintaan (demand).
Perubahan teknologi secara langsung akan mempengaruhi persaingan dalam
mencapai pengurangan biaya, pemberian pelayanan yang lebih cepat dan lebih baik
kepada konsumen dan kemungkinan penanganan yang efektif terhadap peningkatan
jumlah transaksi yang terjadi. Dengan teknologi, maka dalam proses produksi akan
mengalami penekanan biaya, waktu yang efisien tanpa mengurangi kualitas produk,
bahkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produk serta yang utama
membantu kelancaran proses administrasi. Lima prinsip dasar bagi perencanaan
strategi pemasaran meliputi: identifikasi strategi-strategi inti pemasaran,
pengumpulan fakta-fakta yang akurat, keberhasilan penerapan strategi ialah refleksi
dari pada situasi pasar, memfokuskan strategi pemasaran pada pemasaran, distribusi
dan produksi, dan memperhatikan faktor lingkungan.
Menurut Marpaung (2002a) istilah penetrasi atau penembusan pasar
memiliki 3 pengertian, yaitu: perbandingan dari para pemakai pasar (market users)
dalam periode tertentu dengan total target pasar-pasar potensial; nilai rata-rata
produk atau pelayanan baru yang diterima pasar; dan dalam strategi pemasaran,
!
!
82!
dimana strategi pasar digambarkan sebagai upaya untuk memperluas penjualan
produk terbaru dalam pasar yang baru. Melalui penetrasi pasar akan banyak
keuntungan yang akan diperoleh, diantaranya.
1) Meningkatkan market share
2) Merupakan suatu strategi yang dapat segera dilaksanakan di lapangan dengan
dampak yang segera nampak,
3) Merupakan analisa mengenai strategi praktis dalam menghadapi pesaing
dengan berhasil, dan
4) Biaya yang lebih murah dibandingkan strategi lainnya.
Pembuatan anggaran pemasaran memberikan tujuan penting; mendorong
untuk mengkoordinasikan mengenai sumber daya dan proyek, membantu
memberikan definisi mengenai standar-standar yang dibutuhkan dalam keseluruhan
sistem pengawasan, sebagai pedoman dalam menjelaskan sumber daya dan
pengharapan kegiatan wisata, dan memberikan kemudahan dalam mengevaluasi
keberadaan/penampakan manajer dan unit-unit kegiatan usaha.
Marketing audit adalah pemeriksaan sistematis dari suatu organisasi
mengenai tujan pemasaran, strategi, organisasi, berikut performance-nya.
Pemeriksaan ini dapat dilaksanakan baik oleh orang-orang yang ada dalam
organisasi ataupun di luar organisasi, misalnya oleh konsultan. Salah satu cara dari
audit pemasaran adalah check list approach, dengan cara ini maka auditor tidak
perlu lagi berpikir ulang atau menulis ulang hal-hal yang sudah terjadi dan
meyakinkan bahwa pokok-pokok penting telah terawasi. Audit pemasaran penting
sebagai bahan pertimbangan sebelum perusahaan mengambil keputusan (penting)
!
!
83!
untuk melakukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.
E. Industri Pariwisata dan Kelembagaan
Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan
terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta
berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa
kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah
pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21
adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab, 1996).
Pitana, Sirtha, Anom, et.al, (2005) dalam “ Hospitality Industry and
Tourism Education (The Case of Indonesia) menyatakan “ Tourism has been one of
the biggest industries in the world, seen from various indicators, such as labor
absorption, people movement, and income earned. For a number of countries and
territories, tourism has been the biggest contributor in the formation of their gross
domestics products”.
Pemerataan pembangunan perlu mendapat perhatian serius karena menurut
kajian Colman dan Nixon (1978) bahwa pembangunan yang menyebabkan
peningkatan dibidang ekonomi, bila tidak dibarengi dengan penyebaran yang
merata antar mesyarakat, maka pembangunan tersebut dikatakan gagal. Ini telah
terbukti saat negara Indonesia kolap akibat tidak meratanya dampak positif dari
pembangunan. Konglomerasi telah melemahkan sendi-sendi perekonomian
Indonesia. Konsep pembangunan yang mengagungkan paradigma pertumbuhan,
yang percaya sepenuhnya dengan tricle down effect, dimana konsep dasarnya
adalah dengan mengembangkan industri besar, secara otomatis akan memberikan
!
!
84!
pengaruh positif pada perusahaan kecil di bawahnya atau masyarakat di sekitarnya.
Ternyata kajian empiris menunjukkan bahwa asumsi teori pertumbuhan ini tidak
sepenuhnya benar karena implementasinya ada yang tidak sesuai dengan harapan.
Pariwisata pernah dipromosikan sebagai kegiatan ekonomi bersih dan tidak
berbahaya; bebas dari dampak lingkungan dikaitkan dengan industri lain, seperti
manufaktur, pertambangan, dan pertanian intensif. Pengembangan pariwisata
Namun, dampak fisik kaki, sampah, kemacetan, lebih-bangunan dan dampak sosial
dari kunjungan massa pada budaya dan masyarakat adat, telah menyebabkan
dipertanyakan, dan pariwisata akan dianggap sebagai 'ancaman terhadap
keberlanjutan' dari banyak daerah (Butler, 1992; Long, 1993). Akibatnya doktrin
"pariwisata memelihara angsa yang meletakkan telur emas" dan gagasan bahwa
"ada hubungan simbiosis antara pariwisata dan lingkungan" yang dipertanyakan.
Namun demikian, tujuan wisata saat ini tergantung pada lingkungan fisik yang
bersih, lingkungan yang dilindungi dan pola budaya khas masyarakat setempat.
Tujuan yang tidak menawarkan kualitas lingkungan biasanya menderita penurunan
kualitas dan wisata digunakan. Oleh karena itu, setiap kegiatan ekonomi, termasuk
pariwisata, harus memastikan kapasitas untuk kelanjutan. Beberapa pola
pengelolaan pariwisata di suatu negara dapat dijadikan referensi dengan
penyesuaian berdasarkan skala dan kepentingan sebagai berikut.
1) Scotland Tourism Board
STB merupakan lembaga yang bekerjasama dengan pelaku usaha pariwisata,
agen perjalanan dan otoriras lokal dalam mewujudkan kualitas berwisata
di Skotlandia dengan memberdayakan sumberdaya wisata yang ada. Langkah
!
!
85!
ini ditempuh melalui pemasaran pariwisata Skotlandia ke seluruh dunia,
menyediakan informasi dan arahan kepada wisatawan sehingga wisatawan
mendapatkan pengelaman yang terbaik saat berkunjung, memberikan jaminan
kualitas berwisata kepada wisatawan dan dukungan regulasi terhadap pelaku
industri pariwisata lokal dan pada akhirnya mewujudkan sinergi antara
kebutuhan wisatawan, pelaku industri pariwisata dan pemerintah.
2) Maldives Tourism Department
MTD bertugas untuk menyusun dan mengimplementasikan kebijakan
pariwisata, perencanaan jangka panjang pengembangan pariwisata dalam skala
nasional, mengkoordinasikan kegiatan pengembangan yang berlangsung,
membuat sistem administrasi dalam standard fasilitas dan pelayanan,
memastikan adanya pengembangan yang tetap memperhatikan lingkungan,
menyusun data statistik pariwisata, melakukan penelitian terkait
pengembangan pariwisata, perencanaan dan pengembangan sumber daya
manusia dibidang pariwisata, menyusun standar kompetensi dan
pelatihan untuk tenaga kerja pariwisata, penyewaan lahan untuk
kegiatan pariwisata dan pendaftaran secara resmi fasilitas dan operator
terkait pariwisata.
3) Amsterdam Tourism and Convention Board
ATCB merupakan lembaga yang menyusun strategi pemasaran dan
komunikasi dalam industri pariwisata untuk mendorong tingkat kunjungan ke
Amsterdam melalui kegiatan promosi, inovasi produk, penelitian dan press-
trips. Kegiatan ATCB bekerjasama dengan Amsterdam Partner, Amsterdam
!
!
86!
Convention Board, Amsterdam Cruise Port. Kegiatan ATCB ditujukan untuk
mengoptimalkan jumlah pengeluaran wisatawan yang pada akahirnya akan
mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Beberapa kegiatan ATCB lainnya adalah pembangunan citra pariwisata,
kegiatan pemasaran yang berkesinambungan dan pada tahun 2009 ATCB
menetapkan standar minimum kunjungan ke Amsterdam akibat dari krisis
ekonomi di Eropa. !
4) Victoria Tourism Board
VTB merupakan partner industri pariwisata yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi pasar wisatawan lokal dan dunia sesuai dengan
karakteristik sumber daya pariwisata Victoria. Tourism Victoria merupakan
motor pemerintah dalam kegiatan pariwisata dan industri perjalanan
dengan tujuan memasarkan Victoria sebagai destinasi pariwisata dalam skala
nasional dan internasional, meningkatkan jumlah kunjungan, meningkatkan
pemanfaatan fasilitas pariwisata, meningkatkan kualitas fasilitas
pariwisata, mendukung dan mengkoordinasikan jumlah fasilitas wisata,
menyediakan cara yang efektif dan efisien dalam investasi di bidang parwisata.
Salah satu tujuan pokok VTB adalah memastikan implementasi kebijakan dan
aturan pemerintah dalam kegiatan pariwisata
5) CTDC-Canada
Canadian Tourism Development Corporation (CTDC) merupakan lembaga
independen yang ikut serta dalam usaha menumbuhkan pengembangan industri
pariwisata di Kanada. CTDC bekerjasama dengan rekan industri untuk
!
!
87!
menyediakan tenaga ahli pariwisata bagi anggotanya, menyediakan
peluang pemasaran, konsultasi dan dampingan dalam pengelolaan kegiatan dan
fasilitas wisata. Misi dari CTDC adalah memfasilitasi pertumbuhan industri
pariwisata yang baik (kuat) melalui kerjasam a dengan semua partner
strategis untuk memberikan dampak positif dalam pengembangan kegiatan
pariwisata. CTDC tidak di danai oleh pemerintah atau instansi lain terkait di
bidang pariwisata.
6) Lucerne Tourism Ltd.
Lucerne Tourism Ltd. merupakan pusat kompetensi dalam kegiatan
positioning, kehumasan, pemasaran dan menawarkan jasa pelayanan pariwisata
di sekitar destinasi Lucerne-Wilayah Danau Lucerne, Swiss.
F. Pariwisata Kerakyatan
Prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam
berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-
besarnya diperuntukkan bagi masyarakat. Sasaran utama pengembangan
kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat).
Konsep Community Based Development lazimnya digunakan oleh para perancang
pembangunan pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi
secara aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata. Tujuan yang
ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan
meletakkan nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan.
Community Based Development adalah konsep yang menekankan kepada
!
!
88!
pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-nilai dan aset yang
mereka miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup.
Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut haruslah secara mandiri
melakukan mobilisasi asset dan nilai tersebut menjadi daya tarik utama bagi
pengalaman berwisata wisatawan. Melalui konsep Community Based Tourism,
setiap individu dalam komunitas diarahkan untuk menjadi bagian dalam rantai
ekonomi pariwisata, untuk itu para individu diberi keterampilan untuk
mengembangkan small business.
Menurut Suansri (2003), ada beberapa prinsip dari community based
tourism yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut.
1) Mengenali, mendukung, dan mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam
pariwisata.
2) Melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata
dalam berbagai aspeknya.
3) Mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan.
4) Meningkatkan kualitas kehidupan.
5) Menjamin keberlanjutan lingkungan.
6) Melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal.
7) Mengembangkan pembelajaran lintas budaya.
8) Menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia.
9) Mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional
kepada anggota masyarakat.
10) Memberikan kontribusi dengan presentase tertentu dari pendapatan yang
!
!
89!
diperoleh untuk proyek pengembangan masyarakat.
11) Menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.
Pembangunan community based tourism terdapat 5 aspek yang harus
diberdayakan, yakni.
1) Sosial asset yang dimiliki oleh komunitas tersebut, seperti : budaya, adat-
istiadat, sosial network, gaya hidup;
2) Sarana dan prasarana, bagaimana sarana dan prasarana objek wisata tersebut
apakah sudah ideal dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan;
3) Organisasi, apakah telah ada organisasi masyarakat yang mampu secara
mandiri mengelola objek dan daya tarik wisata tersebut;
4) Aktivitas ekonomi, bagaimanakan aktivitas ekonomi dalam rantai ekonomi
pariwisata di komunitas tersebut, apakah secara empiris telah menimbulkan
distribution economic benefit di antara masyarakat lokal, ataukah manfaat
tersebut masih dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu;
5) Proses pembelajaran, satu hal yang tak kalah pentingnya dari komunitas
tersebut dalam mewujudkan objek dan daya tarik wisata.
Dalam buku pegangan yang diterbitkan REST, dimuat hal-hal konseptual
dan praktis dari CBT, Menurut REST, secara terminologis, pelibatan partisipasi
masyarakat dalam proyek pengembangan pariwisata mempunyai banyak nama,
yakni Community-Based Tourism (CBT), Community-Based Ecotourism (CBET),
Agrotourism, Ecoand Adventure Tourism dan homestay. Dikalangan akademik,
belum ada konsensus terhadap istilah-istilah dari beragam tipe pariwisata ini.
Adapun definisi CBT adalah pariwisata yang menyadari kelangsungan
!
!
90!
budaya, sosial, dan lingkungan. Bentuk pariwisata ini di kelola dan dimiliki oleh
masyarakat untuk masyarakat, guna membantu para wisatawan untuk
meningkatkan kesadaran mereka dan belajar tentang masyarakat dan tata cara hidup
masyarakat lokal (local way of life). Dengan demikan, CBT sangat berbeda dengan
pariwisata massa (mass tourism). CBT merupakan model pengembangan
pariwisata yang berasumsi bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-
nilai kebutuhan masyarakat sebagai upaya membangun pariwisata yang lebih
bermanfaat bagi kebutuhan, inisiatif dan peluang masyarakat lokal (Pinel: 277)
CBT bukanlah bisnis wisata yang bertujuan untuk memaksimalkan profil bagi para
investor. CBT lebih terkait dengan dampak pariwisata bagi masyarakat dan sumber
daya lingkungan (environmental resources). CBT lahir dari strategi pengembangan
masyarakat dengan menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat
kemampuan organisasi masyarakat rural/lokal. Dalam penerapan konsep CBT di
desa wisata, sejumlah aspek yang menjadi bahan pertimbangan penyusunan model
pariwisata berbasis masyarakat yaitu karakter sosial, budaya, potensi budaya,
tingkat partisipasi masyarakat (Isnaini Muallisin, 2007).! Meskipun menuntut
banyak prasyarat dan prakondisi, pergulatan untuk menjadikan perkembangan
pariwisata dunia berkelanjutan (sustainable) bagi negara-negara Dunia III melalui
pembangunan pariwisata berbasis komunitas bukan hanya merupakan sebuah
harapan melainkan sebuah peluang. Ia memperoleh rasionalnya di dalam properti
dan ciri-ciri unik yang dimilikinya, yang antara lain dan terutama meliputi paling
sedikit empat hal berikut (Nasikun, 2001). Pertama, oleh karena karakternya yang
lebih mudah diorganisasi di dalam skala yang kecil, jenis pariwisata ini pada
!
!
91!
dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan,
secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang
dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang berskala massif. Kedua,
pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan
obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil, dan oleh karena itu dapat di
kelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal, menimbulkan
dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian memiliki peluang yang
lebih besar untuk diterima oleh masyarakat. Ketiga, berkaitan sangat erat dan
sebagai konsekuensi dari keduanya, lebih dari pariwisata konvensional yang
bersifat massif pariwisata alternatif yang berbasis komunitas memberikan peluang
yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di dalam
proses pengambilan keputusan keputusan dan di dalam menikmati keuntungan
perkembangan industri pariwisata, dan oleh karena itu lebih memberdayakan
masyarakat. Keempat, “last but not least”, pariwisata alternatif yang berbasis
komunitas tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya “keberlanjutan
kultural” (cultural sustainability), akan tetapi secara aktif bahkan berupaya
membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain
melalui pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan. Dalam
pembangunan pariwisata berbasis komunitas, yang terpenting adalah bagaimana
memaksimalkan peran serta masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan
pariwisata itu sendiri. Masyarakat diposisikan sebagai penentu, serta keterlibatan
maksimal masyarakat mulai dari proses perencanaan sampai kepada
pelaksanaannya. Masyarakat berhak menolak jika ternyata pengembangan yang
!
!
92!
dilakukan tidaklah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian tidaklah berlebihan pariwisata berbasis masyarakat
dijadikan sebagai salah satu bentuk paradigma baru pembangunan pariwisata yang
mengusung prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development)
demi pencapaian pendistribusian kesejahteraan rakyat secara lebih merata.
1. Model Pengembangan CBT
Konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat pertama kali
dikembangkan oleh Murphy (1985), yang menyatakan bahwa produk pariwisata
secara lokal diartikulasikan dan dikonsumsi, produk wisata dan konsumennya harus
visible bagi masyarakat lokal yang seringkali sangat sadar terhadap dampak
turisme. Untuk itu, pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal, sebagai bagian
dari produk turisme, lalu kalangan industri juga harus melibatkan masyarakat lokal
dalam pengambilan keputusan. Sebab, masyarakat lokallah yang harus
menanggung dampak kumulatif dari perkembangan wisata dan mereka butuh untuk
memiliki input yang lebih besar, bagaimana masyarakat dikemas dan dijual sebagai
produk pariwisata (Murphy, 1985).
Getz dan Jamal (1994) mengkritik model Murphy, sebab tidak menawarkan
blueprint untuk mengimplementasikannya dalam bentuk konkrit. Konsep Murphy
dalam implementasinya masih terdapat berbagai masalah. Partisipasi publik di lihat
sebagai alat untuk memelihara integritas dan otentisitas dan juga kemampuan
kompetitif produk pariwisata (Gunn, 1994). Tetapi, ketika partisipasi public
muncul, perencanaan tujuan pariwisata tetap terpusat pada inters-inters komersial
dan pelibatan masyarakat sangat kecil. Dan tujuan dari perencanaan pariwisata
!
!
93!
model ini lebih terfokus pada upaya melestarikan keunikan dan daya tarik wisata,
dan pada faktanya lebih top-down, bersifat bisnis, dan dengan pendekatan yang
berorientasi ekonomi (bahaire and Elliott-White, 1999).
Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku
bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan
masyarakat didalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk
wisata. D’amore memberikan guidelines model bagi pengembangan pariwisata
berbasis masyarakat, yakni; Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang
dilakukan masyarakat lokal (resident), Mempromosikan dan mendorong
masyarakat lokal, Pelibatan masyarakat lokal dalam industry, Investasi modal lokal
atau wirausaha sangat dibutuhkan, Partisipasi masyarakat dalam event-event dan
kegiatan yang luas, Produk wisata untuk menggambarkan identitas lokal. Mengatasi
problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh
Poin-poin diatas merupakan ringkasan dari community approach.
Masyarakat lokal harus “dilibatkan”, sehingga mereka tidak hanya dapat menikmati
keuntungan pariwisata dan selanjunya mendukung pengembangan pariwisata yang
mana masyarakat dapat memberikan pelajaran dan menjelaskan secara lebih rinci
mengenai sejarah dan keunikan yang dimiliki. Kemudian pada 1990-an, seiring
dengan pengembangan interest dalam mengembangkan produk pariwisata yang
berkesinambungan, kebutuhan untuk menggunakan bentuk partisipasi masyarakat
menjadi sesuatu yang sangat urgen. Bentuk partisipasi masyarakat menjadi esensil
bagi pencapaian pariwisata yang berkelanjutan dan bagi realisasi pariwisata yang
berkualitas. Getz dan Jamal (1994) mengembangkan pondasi teorintis pelibatan
!
!
94!
masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata dan menganalisis
watak dan tujuan dari model kolaborasi (collaboration) yang berbeda dari model
kerjasama (cooperation). Mereka berdua mendefinisikan kolaborasi sebagai
“sebuah proses pembuatan keputusan bersama diantara stakeholders otonom dari
domain interorganisasi untuk memecahkan problem-problem atau me-manage isu
yang berkaitan dengan pariwisata (Getz dan Jamal, 1994). Proses kolaborasi
meliputi ; 1) Problem Setting dengan mengidentifikasi stakeholders kunci dan isu-
isu. 2) Direction Setting dengan berbagi interpretasi kolaboratif, mengapresiasi
tujuan umum. 3) strukturisasi dan implementasikan, 4) institusionalisasi. Supaya
pelaksanaan CBT dapat berhasil dengan baik, ada elemen-elemen CBT yang musti
diperhatikan, yakni: sumberdaya alam dan budaya,Organisasi-organisasi
masyarakat, manajemen, dan pembelajaran (Learning). Pembelajaran disini
bertujuan untuk membantu proses belajar antara tuan rumah (host Community) dan
tamu (Guest), mendidik dan membangun pengertian antara cara hidup dan budaya
yang beragam, meningkatkan kesadaran terhadap konservasi budaya dan
sumberdaya diantara turis dan masyarakat luas.
2. Prinsip-prinsip dari CBT
Prinsip-prinsip pengembangan CBT, meliputi 5 (lima) prinsip, antara lain:
1) Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (prinsip
konservasi dan partisipasi masyarakat)
Ekowisata yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata yang
“HIJAU dan ADIL” (Green & Fair) untuk kepentingan pembangunan
berkelanjutan dan konservasi, yaitu sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk
!
!
95!
menyediakan alternatif ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan
yang dilindungi, berbagi manfaat dari upaya konservasi secara layak (terutama bagi
masyarakat yang lahan dan sumberdaya alamnya berada di kawasan yang
dilindungi), dan berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian
dan dukungan terhadap perlindungan bentang lahan yang memiliki nilai biologis,
ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. Prinsip ini meliputi kriteria, antara lain:
a) Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan
kegiatan wisatawan pada sebuah daerah tujuan ekowisata di kelola sesuai
dengan batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam maupun sosial-
budaya Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan (listrik
tenaga surya, mikrohidro, biogas, dan lain-lain)
b) Mendorong terbentuknya ”ecotourism conservancies” atau kawasan ekowisata
sebagai kawasan dengan peruntukan khusus yang pengelolaannya diberikan
kepada organisasi masyarakat yang berkompeten.
2) Pengembangan institusi masyarakat lokal dan kemitraan (Prinsip partisipasi
masyarakat)
Aspek organisasi dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata
juga menjadi isu kunci: pentingnya dukungan yang profesional dalam menguatkan
organisasi lokal secara kontinyu, mendorong usaha yang mandiri dan menciptakan
kemitraan yang adil dalam pengembangan ekowisata. Beberapa contoh di lapangan
menunjukan bahwa ekowisata di tingkat lokal dapat dikembangkan melalui
kesepakatan dan kerjasama yang baik antara Tour Operator dan organisasi
masyarakat (contohnya: KOMPAKH, LSM Tana Tam). Peran organisasi
!
!
96!
masyarakat sangat penting oleh karena masyarakat adalah stakeholder utama dan
akan mendapatkan manfaat secara langsung dari pengembangan dan pengelolaan
ekowisata. Koordinasi antar stakeholders juga perlu mendapatkan perhatian. Salah
satu model percontohan organisasi pengelolaan ekowisata yang melibatkan semua
stakeholders termasuk, masyarakat, pemerintah daerah, UPT, dan sektor swasta,
adalah ”Rinjani Trek Management Board”. Terbentuknya Forum atau dewan
pembina akan banyak membantu pola pengelolaan yang adil dan efektif terutama di
daerah di mana ekowisata merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat
setempat. Prinsip partisipasi asyarakat, meliputi kriteria:
a) Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan Tour Operator untuk
memasarkan dan mempromosikan produk ekowisata; dan antara lembaga
masyarakat dan Dinas Pariwisata dan UPT
b) Adanya pembagian adil dalam pendapatan dari jasa ekowisata di masyarakat
c) Organisasi masyarakat membuat panduan untuk turis. Selama turis berada di
wilayah masyarakat, turis/tamu mengacu pada etika yang tertulis di dalam
panduan tersebut.
d) Ekowisata memperjuangkan prinsip perlunya usaha melindungi pengetahuan
serta hak atas karya intelektual masyarakat lokal, termasuk: foto, kesenian,
pengetahuan tradisional, musik, dan lain-lain.
3) Ekonomi berbasis masyarakat (Prinsip partisipasi masyarakat)
Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata.
Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana
yang di kelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah
!
!
97!
keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak
memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat
merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan turis, dan distribusi
manfaat di masyarakat lebih terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi
sebagai produk ekowisata di mana soerang turis mendapatkan kesempatan untuk
belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi
tersebut. Pihak turis dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan belajar satu
sama lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang
lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan orang Indonesia. Dalam
ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan pengalamannya
tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting dalam jasa
yangdiberikan kepada turis. Demikian juga seorang pemandu lokal akan merasakan
langsung manfaat ekonomi dari ekowisata, dan sebagai pengelola juga akan
menjaga kelestarian alam dan obyek wisata. Prinsip partisipasi masyarakat,
meliputi kriteria antara lain.
a) Ekowisata mendorong adanya regulasi yang mengatur standar kelayakan
homestay sesuai dengan kondisi lokasi wisata
b) Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai dengan
kondisi lokasi wisata
c) Ekowisata mendorong ketersediaan homestay
d) Ekowisata dan tour operator turut mendorong peningkatan pengetahuan dan
keterampilan serta perilaku bagi para pelaku ekowisata terutama masyarakat.
4) Prinsip Edukasi
!
!
98!
Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada
wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap
kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, Pusat Informasi menjadi hal yang
penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai
dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap
tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan acara
seni, kerajinan dan produk budaya lainnya. Prinsip edukasi meliputi kriteria.
a) Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan
upaya konservasi
b) Kegiatan ekowisata selalu beriringan dengan aktivitas meningkatkan kesadaran
masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
c) Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis/tamu menjadi
bagian dari paket ekowisata
d) Mengembangkan skema di mana tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan
konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungannya (stay &
volunteer).
5) Pengembangan dan penerapan rencana tapak dan kerangka kerja pengelolaan
lokasi ekowisata (prinsip konservasi dan wisata).
Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (=carrying
capacity) perlu diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak
negative terhadap alam (dan budaya) setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu
dipertimbangkan adalah: jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis; berapa
!
!
99!
sering lokasi yang “rentan” secara ekologis dapat dikunjungi; dan lain-lain. Bagian
isi dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga
nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata. Prinsip konservasi meliputi
kriteria.
a) Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan ruang dan
kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan melalui pelaksanaan sistem
bagian isi dan pengaturan waktu kunjungan
b) Fasilitas pendukung yang dibangun tidak merusak atau didirikan pada
ekosistem yang sangat unik dan rentan
c) Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin sesuai tradisi lokal, dan
masyarakat lokal terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan
d) Ada sistem pengolahan sampah di sekitar fasilitas umum.
e) Kegiatan ekowisata medukung program reboisasi untuk menyimbangi
penggunaan kayu bakar untuk dapur dan rumah
f) Mengembangkan paket-paket wisata yang mengedepankan budaya, seni dan
tradisi lokal.
g) Kegiatan sehari-hari termasuk panen, menanam, mencari ikan/melauk, berburu
dapat dimasukkan ke dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan wisatawan
pada cara hidup masyarakat dan mengajak mereka menghargai pengetahuan
dan kearifan lokal.
Pariwisata kerakyatan merupakan konsep pariwisata alternatif sebagai
antisipasi terhadap pariwisata konvensional. Pariwisata alternatif (alternative
tourism) mempunyai pengertian ganda, di satu sisi dianggap sebagai salah satu
!
!
100!
bentuk kepariwisataan yang ditimbulkan sebagai reaksi terhadap dampak-dampak
negatif dari pengembangan pariwisata konvensional. Di sisi lain dianggap sebagai
bentuk kepariwisataan yang berbeda dari pariwisata konvensional untuk menunjang
kelestarian lingkungan (Kodyat, 1996). Pariwisata alternatif merupakan pariwisata
yang berupaya untuk memberikan situasi saling pengertian, solidaritas dan keadilan
di antara wisatawan, pelaku pariwisata dan masyarakat lokal dan lingkungannya
(Sumarwoto, 1995).
2.2 Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Wells (1997) membedakan antara dampak ekonomi dari wisata alam, yang
ia mendefinisikan sebagai jumlah uang yang dihabiskan oleh alam turis dalam
perekonomian tentang wisata, akomodasi, makanan, souvenir, dan lain-lain, dan
nilai ekonomi total, yang meliputi manfaat ekonomi luas, konservasi yang dapat
dikaitkan dengan tujuan wisata alam. Penggunaan langsung oleh wisatawan adalah
hanya salah satu dari nilai-nilai ekonomi yang mengalir dari tujuan wisata alam
(Wells, 1997). Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah
kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat
pragmatis dan teknis. Pada kenyataannya semua hal dalam kehidupan masyarakat
Hindu-Bali khususnya, tidak bisa lepas dari peranan kearifan lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Komsan Suriya (2002) menggambarkan
bahwa perkembangan pariwisata telah mengakibatkan perubahan social dan
ekonomi yang terdiri atas perubahan pekerjaan dan pendapatan, pola pembagian
kerja, kesempatan kerja dan berusaha, perubahan lingkungan mencakup perubahan
pola guna lahan. Pada akhir penelitiannya Komsan Suriya menegaskan bahwa
!
!
101!
kegiatan pariwisata yang dilakukan yang berbasis masyarakat dapat memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Dalam
penelitiannya Konsam Suriya menjelaskan bahwa pelayanan jasa home stay yang
dilakukan oleh masyarakat yang lebih kaya memperoleh pendapatan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pendapatan masyarakat yang lebih miskin.
Tujuan pelaksanaan penelitian adalah untuk mengetahui dampak langsung
dan tidak langsung terhadap peningkatan harga/tarif jasa pariwisata yang dikenakan
kepada wisatawan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa peningkatan
harga jasa wisata sangat berpengaruh terhadap perubahan jumlah kunjungan
wisatawan yang berakibat pada penurunan kondisi ekonomi desa. Disisi lain,
pelayanan jasa home stay yang dilakukan oleh masyarakat yang lebih kaya
memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan
masyarakat yang lebih miskin. Dalam penelitian ini juga diperoleh bahwa
penjualan souvenir memberikan manfaat ekonomi yang besar. Kondisi ini yang
mendorong perlunya promosi secara bersama oleh semua pihak terkait dengan
pariwisata berbasis masyarakat yang sedang dilaksanakan melalui souvenir.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesamaan bahwa fokus penelitian
adalah penelitian pariwisata yang dilakukan berbasis masyarakat dan penelitian
dampak kegiatan pariwisata terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat utamanya
ekonomi atau pemenuhan kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian Komsan Suriya
ini dapat dijadikan rujukan hipotesis bahwa kegiatan pariwisata yang dilakukan
yang berbasis masyarakat dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan pemenuhan kebutuhan/ekonomi masyarakat.
!
!
102!
Penelitian terkait dengan dampak kegiatan pariwisata dilakukan oleh
Angelica M. , et,all. Dengan judul “Social and environmental effects of ecotourism
in the Osa Peninsula of Costa Rica: the Lapa Rios case”. Penelitian ini membahas
bagaimana dampak operasional pelayanan wisata oleh Lapa Rios Eco-Lodge
terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat dan pelestarian lingkungan.
Penelitian ini menggunakan metode Nested-Scale Analysis yang diperkuat dengan
interview serta analisis remote sensing perbandingan pola guna lahan dan
penggundulan hutan yang terjadi. Berdasarkan hasil analisis, kegiatan pariwisata
yang dilakukan oleh Lapa Rios Eco-Lodge telah memberikan dampak positif secara
ekonomi, sosial dan lingkungan bagi wilayah sekitarnya. Penelitian ini
memperkuat perumusan hipotesis yang akan dilakukan, bahwa dengan adanya
pelibatan masyarakat dan persepsi yang baik dari masyarakat terkait kegiatan
pariwisata mengakibatkan dampak positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan
sekitar.
Mikkelsen dalam Soetomo (2006), mengatakan bahwa pembangunan pada
dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang
diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Penjabaran hubungan teoritis ini
diperkuat oleh penelitian Komsan Suriya dengan judul “Impact of Community-
based Tourism in a Village Economy in Thailand: An analysis with VCGE model”.
Sejumlah kasus pengelolaan pariwisata berbasis alam telah menjadi pelajaran yang
berharga bagi hubungan antara manusia dengan lingkungan. Rodger et al. (2007)
menyoroti kebutuhan untuk lebih memahami pertemuan antara pengunjung dan
satwa liar. Mereka mencatat bahwa pemahaman tentang konteks sosial dan
!
!
103!
lingkungan, pariwisata satwa liar umumnya harus memberikan kontribusi penting
bagi keberlanjutan satwa liar. Penelitian Chien-Chiang Lee, Chun-Ping Chang
(2008) membahas hubungan antara pembangunan pariwisata dengan pertumbuhan
ekonomi pada periode tahun 1990 – 2002. Hasil penelitian menggambarkan
bahwa pada skala global, terdapat hubungan substitusi antara pertumbuhan
ekonomi dengan pembangunan kepariwisataan. Di sebutkan oleh Chien-Chiang
Lee, Chun-Ping Chang bahwa pembangunan pariwisata memberikan dampak yang
lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Chien-Chiang Lee, Chun-Ping Chang
menggambarkan bahwa terdapat perbedaan besaran skala hubungan antara
sejumlah daerah di asia dan afrika yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah
daerah dalam pembangunan kepariwisataan.
Robin Nunkoo melakukan penelitian yang berjudul “Developing A
Community Support Model For Tourism” dengan cara membangun model
partisipasi masyarakat dalam pertukaran sosial. Robin Nunkoo menyimpulkan
bahwa dukungan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh pengharapan terhadap
keuntungan, perkiraan besaran biaya dan tingkat kepuasan masyararakat terhadap
pengelolaan pariwisata. Pengharapan keuntungan mempengaruhi kepuasan
masyarakat, kepercayaan kelembagaan, kemampuan pelayanan kegiatan wisata,
dan kondisi lingkungan.
Penelitian yang dilakukan Norman McIntyre dilakukan pada kawasan Asia-
Pasifik, Eropa, Samudera India dan Samudera Amerika. Norman McIntyre
menjabarkan bahwa kegiatan pariwisata pada daerah pesisir saat ini memiliki tren
yang sangat tinggi dalam perkembangannya. Norman McIntyre menggambarkan
!
!
104!
kegiatan pariwisata pesisir kedalam sejumlah morpologi, tipologi, aktivitas wisata,
tekanan lingkungan dan pengelolaan pesisir untuk tiap tipe kawasan pesisir baik
daerah pantai berpasir, daerah pasang surut atau daerah terumbu karang.
Kompleksitas pengelolaan dan perencanaan kawasan pesisir dijabarkan Norman
McIntyre sebagai sebuah area yang dimiliki oleh lintas sektor, lintas stakeholder,
dampak lingkungan yang luas dan serangkaian aspek lain yang berhubungan
dengan kawasan pesisir.
Penelitian Kurniadi (2009) dengan judul ” Analisis Strategi Pengembangan
Kawasan Ekowisata Ciwidey di Perum Perhutani Unit III – Bandung” membahas
pengembangan jasa layanan ekowisata Ciwidey yang dengan optimalisasi kesatuan
usaha wisata, usaha benih dan usaha lain. Peneliti membandingkan potensi
pengelolaan kawasan Perum Perhutani III untuk pengembangan hutan dan
pengembangan ekowisata. Metode digunakan dengan metode survei melalui
kegiatan wawancara dan FGD dengan berbagai pihak yang terkait dengan tema
kajian. Data yang digunakan meliputi data primer yang dikaji melalui wawancara,
diskusi (FGD), observasi, sedangkan data sekunder dilakukan melalui review
terhadap buku bahan bacaan, laporan, dan peraturan perundangan. Kegiatan dalam
penelitian ini antara lain ; melakukan identifikasi faktor, melakukan analisis faktor
eksternal, melakukan analisis faktor internal, melakukan analisis SWOT/TOWS,
melakukan analisis Portofolio dan selanjutnya mengkaji prioritas melalui analisis
QSPM.
Berdasarkan hasil SWOT dan analisa prioritas melalui analisis QSPM
dihasilkan beberapa alternatif strategi. Irianto (2011) menjabarkan bahwa kegiatan
!
!
105!
pariwisata telah memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan
ekonomi masyarakat dan pendapatan daerah berdasarkan penelitian yang dilakukan
di Gili Trawangan. Adanya kegiatan wisata juga telah memberikan dampak
ekonomi bagi masyarakat seperti peningkatan pendapatan, peningkatan kesempatan
kerja, dan peluang usaha (Achadiat Dritasto, 2013). Mengukur dampak ekonomi
suatu kegiatan wisata terhadap perekonomian masyarakat lokal dibagi menjadi dua
tipe, yaitu (Vanhove, 2005):
1. Keynesian Local Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan berapa besar
pengeluaran pengunjung berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat
lokal.
2. Ratio Incorne Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar dampak
langsung yang dirasakan dari pengeluaran pengunjung berdampak terhadap
perekonomian lokal. Pengganda ini mengukur dampak tidak langsung dan
dampak lanjutan (indirect).
Recommended