78
28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Teori Strategi Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis kegiatan pariwisata yang dilengkapi dengan pesatnya kemajuan tekonologi informasi, maka strategi merupakan kebutuhan yang vital dan sangat penting dalam menjalankan roda perusahaan menghadapi berbagai macam tantangan baik internal maupun eksternal, khususnya para pesaing pada core bisnis yang sama. Sejalan dengan pentingnya strategi, maka Jain (1990) mengatakan bahwa setiap organisasi membutuhkan strategi apabila menghadapi situasi berikut: 1) Sumber daya yang dimiliki terbatas. 2) Ada ketidakpastian (uncertainity) mengenai kekuatan daya saing organisasi. 3) Komitmen (commitment) terhadap sumberdaya tidak dapat diubah lagi. 4) Keputusan-keputusan (decisions) harus dikoordinasikan antar bagian sepanjang waktu. 5) Ada ketidakpastian mengenai pengendalian inisiatif. Sementara Porter dalam Wheelen dan Hunger (1995) mengatakan bahwa ”the reason why firms succeed or fail is perhaps the central question in strategy”. Artinya, strategi akan menentukan berhasil atau gagalnya suatu perusahaan. Oleh karena itu, mengingat perannya yang sangat menentukan, maka penentuan strategi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Universitas Udayana · setiap organisasi membutuhkan strategi apabila menghadapi situasi berikut: 1) Sumber daya yang dimiliki terbatas. ... reason why firms

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

!

!

28!

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan teori

2.1.1 Teori Strategi

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dengan pertumbuhan dan perkembangan

berbagai jenis kegiatan pariwisata yang dilengkapi dengan pesatnya kemajuan

tekonologi informasi, maka strategi merupakan kebutuhan yang vital dan sangat

penting dalam menjalankan roda perusahaan menghadapi berbagai macam

tantangan baik internal maupun eksternal, khususnya para pesaing pada core bisnis

yang sama.

Sejalan dengan pentingnya strategi, maka Jain (1990) mengatakan bahwa

setiap organisasi membutuhkan strategi apabila menghadapi situasi berikut:

1) Sumber daya yang dimiliki terbatas.

2) Ada ketidakpastian (uncertainity) mengenai kekuatan daya saing organisasi.

3) Komitmen (commitment) terhadap sumberdaya tidak dapat diubah lagi.

4) Keputusan-keputusan (decisions) harus dikoordinasikan antar bagian sepanjang

waktu.

5) Ada ketidakpastian mengenai pengendalian inisiatif.

Sementara Porter dalam Wheelen dan Hunger (1995) mengatakan bahwa ”the

reason why firms succeed or fail is perhaps the central question in strategy”.

Artinya, strategi akan menentukan berhasil atau gagalnya suatu perusahaan. Oleh

karena itu, mengingat perannya yang sangat menentukan, maka penentuan strategi

!

!

29!

menjadi sesuatu hal yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan. Pada sisi lain,

Porter (1990) memperkenalkan model kompetetveness diamod sebagai model

kompetitif pada suatu daerah. Model Competitiveness Diamond yang dijabarkan

oleh Porter (1990 ), mengatakan bahwa keunggulan industri pada suatu daerah

bukanlah berasal dari kesesuaian sendiri tetapi merupakan kesuksesan grup dengan

adanya keterkaitan antar perusahaan dan institusi yang mendukung. Pada klaster

industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan

menengah, tetapi juga perusahaan kecil. Pada model diamod ini diperkenalkan

empat aspek yang mendukung kemampuan kompetisi suatu daerah yaitu ; strategi

perusahaan, struktur dan persaingan, kondisi permintaan, kondisi faktor, industri

terkait dan pendukung.

Namun demikian strategi perlu dibedakan dengan taktik. Dari pengertian yang

paling sederhana dapat dibedakan bahwa strategi (strategy) adalah saat dimana

memutuskan apa yang harus dikerjakan, sedangkan taktik (tactics) adalah saat

dimana memutuskan bagaimana mengerjakan sesuatu. Ada beberapa pendapat

pakar untuk membedakan strategi dengan taktik. Brucker berpendapat bahwa

strategi adalah mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right things) dan taktik

adalah mengerjakan sesuatu dengan benar (doing the things right). Selain itu, Karl

Van Clausewitz berpendapat bahwa strategi merupakan suatu seni menggunakan

pertempuran untuk memenangkan suatu perang, sedangkan taktik merupakan seni

menggunakan tentara dalam sebuah pertempuran. Pada dasarnya, manajemen

stratejik merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan

(company’s strengths) dengan mengeksploitasi peluang bisnis (business

!

!

30!

opportunities) guna mencapai tujuan perusahaan (company’s goals) yang sesuai

dengan misi (mission) yang telah ditentukan.

Sehubungan dengan itu Wheelen dan Hunger (1995) mengartikan manajemen

stratejik (strategic management) ”is the set of managerial decisions and actions

that determines the long-run performance of a corporation”, artinya bahwa

manajemen stratejik merupakan suatu himpunan keputusan dan tindakan manajerial

yang menentukan kinerja jangka panjang suatu perusahaan.

Untuk memahami konsep ini, berikut ini diuraikan komponen utama

manajemen stratejik, yakni.

1) Analisis lingkungan bisnis untuk mendeteksi peluang (opportunities) dan

ancaman (threats).

2) Analisis profil perusahaan untuk mengidentifikasi kekuatan (strengths) dan

kelemahan (weaknesses).

3) Rumusan strategi perusahaan yang meliputi: misi, tujuan, strategis, dan

kebijakan-kebijakan.

4) Implementasi strategi perusahaan yang meliputi: program, anggaran dan

prosedur

5) Evaluasi dan pengawasan kinerja nyata suatu perusahaan.

Berdasarkan model Manajemen Stratejik versi Wheelen dan Hunger (1995),

sesungguhnya sejak awal mereka membagi proses manajemen stratejik ke dalam

empat elemen dasar, yakni:

(1) analisis lingkungan (environmental scanning),

(2) perumusan strategi (strategy formulation),

!

!

31!

(3) implementasi strategi (strategy implementation),

(4) evaluasi dan kontrol (evaluation and control).

2.1.2 Teori Pembangunan

Sebagai sebuah teori besar (Grand Theory), telah banyak digunakan dan

menjadi acuan dalam proses perencanaan pada sebuah kegiatan atau daerah.

Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat

untuk berupaya sekeras mungkin demi mencapai kehidupan yang lebih baik

(Todaro & Smith, 2006). Pembangunan memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut

(Todaro & Smith, 2006) : peningkatan ketersediaan kebutuhan hidup pokok,

peningkatan standar hidup, perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial. Kegiatan

pembangunan yang umum dilaksanakan di tiap wilayah administratif, umumnya

terbagi dalam dua kategori besar yaitu pembangunan sektoral dan pembangunan

daerah. Kegiatan Pariwisata masuk dalam kategori pembangunan sektoral. Kondisi

ini dibuat karena kegiatan Pariwisata umumnya lebih banyak berhubungan secara

sektor dengan kegiatan lainnya.

Teori Pembangunan, terbagi atas tiga teori, yakni antara lain teori

modernisasi, dependensi dan teori dunia. Modernisasi diartikan sebagai proses

transformasi dalam rangka mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai

tradisional secara total diganti dengan seperangkat struktur dan nilai-nilai modern.

Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan

pembangunan negara Dunia Ketiga. Teori ini mencermati hubungan dan

keterkaitan negara Dunia Ketiga dengan negara sentral di Barat sebagai hubungan

yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat yang akan

!

!

32!

merugikan Dunia Ketiga. Teori sistem dunia berkeyakinan bahwa tak ada negara

yang dapat melepaskan diri dari ekonomi kapitalis yang mendunia. Wallerstein

menyatakan sistem dunia modern adalah sistem ekonomi kapitalis.

2.1.3 Strategi Pengembangan Pariwisata

Pembangunan di bidang kepariwisataan merupakan salah satu terobosan

untuk meningkatkan pendapatan daerah dan negara, jika bidang atau sektor

kepariwisataan akan disejajarkan kedudukannya dengan sektor-sektor lain dalam

meningkatkan pendapatan negara, maka kepariwisataan pantas kalau diangkat

menjadi sebuah industri, sehingga di sebut industri pariwisata (Sujali, 1989).

Industri pariwisata adalah kumpulan dari macam-macam perusahaan yang

secara bersama-sama menghasilkan barang dan jasa-jasa (goods and servises) yang

dibutuhkan wisatawan pada khususnya dan traveller pada umumnya selama dalam

perjalanannya (Oka. A Yoeti, 1982).

Aspek-aspek yang tercakup dalam industri pariwisata menurut Kusmayadi

dan Endar Sugiarto, (2000) antara lain;

1) Restoran, di bidang restoran dapat diarahkan pada kualitas makanan, baik dari

jenis makanan maupun teknik pelayanannya.

2) Penginapan, yang terdiri atas hotel, resort, wisma-wisma.

3) Pelayananan perjalanan, meliputi biro perjalanan, paket perjalanan, perusahaan

incentive travel dan reception service.

4) Transportasi, dapat berupa sarana dan prasarana angkutan wisatawan seperti

mobil, bus, pesawat, kereta api, kapal dan sepeda.

5) Pengembangan daerah tujuan wisata, dapat berupa kelayakan kawasan wisata.

!

!

33!

6) Fasilitas rekreasi, dapat berupa pemanfaatan taman-taman.

7) Atraksi wisata, dapat berupa kegiatan seni budaya.

Daerah Tujuan Wisata Menurut Gamal Suwantoro (1997), unsur pokok

yang harus mendapat perhatian guna menunjang pengembangan pariwisata di

daerah tujuan yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan

pengembangan meliputi lima unsur;

1) Objek dan daya tarik wisata

2) Prasarana wisata

3) Sarana wisata

4) Tatalaksana / infrastruktur

5) Masyarakat / lingkungan

Sarana Wisata merupakan perusahaan-perusahaan yang memberikan

pelayanan kepada wisatawan, baik secara langsung atau tidak langsung (Oka A.

Yoeti, 1982), sedangkan menurut Gamal Suwantoro (1997), Sarana wisata adalah

kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan

wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Gamal Suwantoro (1997)

membagi sarana wisata menjadi tiga yaitu :

1) Sarana pokok pariwisata (Main Tourism Superstructures) Sarana pokok

pariwisata adalah perusahaan yang hidup dan kehidupannya tergantung pada

arus kedatangan orang yang melakukan perjalanan pariwisata. Misalnya ;

travel agent, tour operator, perusahaan angkutan wisata, hotel, restoran, objek

wisata/atraksi wisata.

2) Sarana pelengkap pariwisata (Suplementing Tourism Superstructures) Sarana

!

!

34!

pelengkap pariwisata adalah perusahaan atau tempat-tempat yang

menyediakan fasilitas untuk rekreasi yang fungsinya tidak hanya melengkapi

sarana pokok pariwisata, tetapi juga yang penting adalah membuat agar

wisatawan dapat lebih lama tinggal pada suatu daerah tujuan wisata (DTW).

3) Sarana penunjang pariwisata (Supporting Tourism Superstructures) Sarana

penunjang pariwisata adalah perusahaan yang menunjang sarana pelengkap

dan sarana pokok berfungsi tidak hanya membuat wisatawan tinggal lebih lama

pada daerah tujuan wisata. Tetapi fungsi lebih penting adalah agar wisatawan

baik domestik maupun mancanegara lebih banyak mengeluarkan atau

membelanjakan uangnya di tempat yang dikunjunginya, misalnya kios-kios.

Menurut James J. Spillane (1994) suatu obyek wisata atau destination, harus

meliputi lima unsur yang penting agar wisatawan dapat merasa puas dalam

menikmati perjalanannya, maka obyek wisata harus memiliki.

1) Attractions

Merupakan pusat dari industri pariwisata. Menurut pengertiannya attractions

mampu menarik wisatawan yang ingin mengunjunginya. Motivasi wisatawan untuk

mengunjungi suatu tempat tujuan adalah untuk memenuhi atau memuaskan

beberapa kebutuhan atau permintaan. Biasanya mereka tertarik pada suatu lokasi

karena ciri-ciri khas tertentu. Ciri-ciri khas yang menarik wisatawan adalah.

a) Keindahan alam

b) Iklim dan cuaca

c) Kebudayaan

d) Sejarah

!

!

35!

e) Ethnicity-sifat kesukuan

f) Accessibility-kemampuan atau kemudahan berjalan atau ketempat tertentu.

2) Facility

Fasilitas cenderung berorientasi pada attractions disuatu lokasi karena

fasilitas harus dekat dengan pasarnya. Fasilitas cenderung mendukung bukan

mendorong pertumbuhan dan cenderung berkembang pada saat yang sama atau

sesudah attractions berkembang. Suatu attractions juga dapat merupakan fasilitas.

Jumlah dan jenis fasilitas tergantung kebutuhan wisatawan. Seperti fasilitas harus

cocok dengan kualitas dan harga penginapan, makanan, dan minuman yang juga

cocok dengan kemampuan membayar dari wisatawan yang mengunjungi tempat

tersebut.

3) Infrastructure

Attractions dan fasilitas tidak dapat tercapai dengan mudah kalau belum ada

infrastruktur dasar. Infrastruktur termasuk semua konstruksi di bawah dan di atas

tanah dan suatu wilayah atau daerah. Yang termasuk infrastruktur penting dalam

pariwisata adalah.

a) Sistem pengairan/air. Kualitas air yang cukup sangat esensial atau sangat

diperlukan. Seperti penginapan membutuhkan 350 sampai 400 galon air per

kamar per hari.

b) Sumber listrik dan energi. Suatu pertimbangan yang penting adalah penawar

tenaga energi yang tersedia pada jam pemakaian yang paling tinggi atau jam

puncak (peak hours). Ini diperlukan supaya pelayanan yang ditawarkan terus

menerus.

!

!

36!

c) Jaringan komunikasi. Walaupun banyak wisatawan ingin melarikan diri dari

situasi biasa yang penuh dengan ketegangan, sebagian masih membutuhkan

jasa-jasa telepon dan/atau telegram yang tersedia.

d) Sistem pembuangan kotoran/pembuangan air. Kebutuhan air untuk pembuangan

kotoran memerlukan kira-kira 90 (persen) dari permintaan akan air. Jaringan

saluran harus didesain berdasarkan permintaan puncak atau permintaan

maksimal.

e) Jasa-jasa kesehatan. Jasa kesehatan yang tersedia akan tergantung pada jumlah

tamu yang diharapkan, umumnya, jenis kegiatan yang dilakukan atau faktor-

faktor geografis lokal.

4) Jalan raya. Ada beberapa cara membuat jalan raya lebih menarik bagi

wisatawan.

a) Menyediakan pemandangan yang luas dari alam semesta

b) Membuat jalan yang naik turun untuk variasi pemandangan

c) Mengembangkan tempat dengan pemandangan yang indah

d) Membuat jalan raya dengan dua arah yang terpisah

e) Transportasi sesuai dengan keadaan tanah

f) Memilih pohon yang tidak terlalu lebat supaya masih ada pemandangan yang

indah.

Ada beberapa usul mengenai pengangkutan dan fasilitas yang dapat menjadi

semacam pedoman termasuk.

a) Informasi lengkap tentang fasilitas, lokasi terminal, dan pelayanan

pengangkutan lokal ditempat tujuan harus tersedia untuk semua penumpang

!

!

37!

sebelum berangkat dari daerah asal.

b) Sistem keamanan harus disediakan di terminal untuk mencegah kriminalitas.

c) Suatu sistem standar atau seragam untuk tanda-tanda lalu lintas dan simbol-

simbol harus dikembangkan dan di pasang di semua bandara udara.

d) Sistem informasi harus menyediakan data tentang informasi pelayanan

pengangkutan lain yang dapat dihubungi di terminal termasuk jadwal dan tarif.

e) Informasi terbaru dan sedang berlaku, baik jadwal keberangkatan atau

kedatangan harus tersedia di papan pengumuman, lisan atau telepon.

f) Tenaga kerja untuk membantu para penumpang.

g) Informasi lengkap tentang lokasi, tarif, jadwal, dan rute dan pelayanan

pengangkutan lokal.

h) Peta kota harus tersedia bagi penumpang.

5) Hospitality (keramahtamahan)

Wisatawan yang sedang berada dalam lingkungan yang belum mereka kenal

maka kepastian akan jaminan keamanan sangat penting, khususnya wisatawan

asing.

Dalam mengembangkan pariwisata baik pengembangan destinasi, kawasan

pariwisata, maupun obyek daya tarik wisata pada umumnya mengikuti alur atau

siklus hidup pariwisata (Tourism Area Life Cycle). Adapun tujuannya adalah untuk

menentukan posisi pariwisata yang akan dikembangkan.

Prasarana Wisata adalah semua fasilitas yang dapat memungkinkan proses

perekonomian berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga dapat

mempermudah kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya (Oka A. Yoeti,

!

!

38!

1982). Sedangkan menurut Gamal Suwantoro (1997), prasarana wisata adalah

sumber daya alam dan sumber daya buatan manusia yang mutlak dibutuhkan oleh

wisatawan dalam perjalanannya di daerah tujuan pariwisata, seperti jalan, listrik,

air, rumah sakit, telekomunikasi, terminal, jembatan, dan lain sebagainya.

Dalam teori kepariwisataan, studi mengenai wisata ditekankan pada sebuah

perjalanan sementara pada tempat-tempat yang memiliki nilai historis sebagai

proses pembelajaran sejarah untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Aktifitas

ziarah sering di sebut menyatu dalam paket dengan kegiatan wisata. Wisata ziarah

selalu dikaitkan dengan tradisi dan budaya kelompok tradisionalis, berbarengan

dengan kesadaran spiritualitas masyarakat sekarang menjadi sebuah kebutuhan

hidup tanpa pandang kelas sosial maupun status (Moh Ali Aziz, 2004). Ziarah

adalah kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia. Pemahaman

mengenai kegiatan ziarah ke tempat-tempat suci tidak hanya sebagai wujud

pelaksanaan ajaran agama semata, namun sudah menjadi budaya rutin yang harus

dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Wisata ziarah adalah wisata yang sedikit

banyak dikaitkan dengan agama, sejarah, adat istiadat, kepercayaan umat atau

kelompok dalam masyarakat. Wisata ini banyak dilakukan perorangan atau

rombongan ke tempat-tempat suci, ke makam orang-orang besar atau pemimpin

yang di agungkan, ke bukit atau gunung yang dikeramatkan, ke tempat pemakaman

tokoh atau pemimpin sebagai manusia ajaib penuh legenda.

Wisata ziarah dimaknai sebagai kegiatan wisata ke tempat yang memiliki

makna khusus bagi umat beragama, biasanya berupa tempat ibadah yang memiliki

kelebihan. Kelebihan ini misalnya di lihat dari sisi sejarah, adanya mitos dan

!

!

39!

legenda mengenai tempat tersebut, ataupun keunikan dan keunggulan arsitektur

bangunannya. Wisata Ziarah adalah jenis wisata yang dikaitkan dengan agama,

kepercayaan ataupun adat istiadat dalam masyarakat. Wisata Ziarah dilakukan baik

perseorangan atau rombongan dengan berkunjung ke tempat-tempat suci, makam-

makam orang suci atau orang-orang terkenal dan pimpinan yang diagungkan.

Tujuanya adalah untuk mendapatkan restu, berkah, kebahagiaan dan ketentraman.

Jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan agama, sejarah, adat istiadat dan

kepercayaan suatu kelompok orang ke tempat suci, ke makam-makam orang besar,

ke bukit, atau gunung yang dikeramatkan dan bersejarah.

Pemahaman mengenai kegiatan ziarah ke tempat-tempat suci tidak hanya

sebagai wujud pelaksanaan ajaran agama semata, namun sudah menjadi budaya

rutin yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu.

2.1.4 Status Perkembangan Pariwisata

Sejalan dengan perkembangan kegiatan pariwisata yang terjadi dilakukanlah

upaya untuk pembangunan dan pengembangan pariwisata dengan tujuan utama

yaitu pembangunan ekonomi dan sosial daerah wisata. Ekonomi yang memiliki

daya tahan adalah perekonomian yang tidak mudah terombang-ambing oleh gejolak

yang datang, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Perekonomian tersebut,

antara lain ditandai oleh tiga ciri berikut. Pertama, adanya diversifikasi kegiatan

ekonomi, seperti tercermin dalam keragaman sumber mata pencaharian

penduduknya, sumber penerimaan negaranya, sumber penerimaan devisa dan

sebagainya. Kedua, pelaku ekonominya mempunyai keluwesan yang tinggi

(flexibility) dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan lingkungan usaha

!

!

40!

yang dapat berubah dengan cepat. Ketiga, kerangka kebijakan dan peraturan yang

mendukung (conducive) terciptanya iklim usaha yang sehat. Daya saing

perekonomian akan dihasilkan oleh produktivitas dan efisiensi. Apabila kita

berbicara mengenai produktivitas, maka unsurnya yang paling pokok adalah

sumber daya manusia (SDM) dan teknologi. Efisiensi menyangkut aspek

kelembagaan ekonomi, terutama bekerjanya mekanisme pasar secara efektif dan

sedikitnya hambatan dalam transaksi.

Ekonomi yang mandiri, dipahami sebagai ketidaktergantungan kepada pihak

lain (dependency). Ketidaktergantungan tidak berarti keterisolasian, dan tidak

berarti tidak mengenal adanya saling ketergantungan (interdependency). Oleh

karena tidak semua negara memiliki potensi atau endowment yang sama, maka ada

kebutuhan untuk saling mengisi, dan kebutuhan ini menciptakan perdagangan, dan

dengan demikian mengakibatkan adanya lembaga yang di sebut pasar.

Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk

mengembangkan potensi ekonomi rakyat diarahkan untuk meningkatkan

produktivitas rakyat sehingga, baik sumber daya manusia maupun sumber daya

alam di sekitar keberadaan rakyat, dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan

demikian, rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan

menumbuhkan nilai tambah ekonomis.

Pengembangan pariwisata mendasarkan pada sifat, kemampuan, fungsi,

ruang jangkauan pemasaran yang akan dicapai. Jangkauan dapat bersifat lokal,

regional, nasional, dan bahkan bersifat internasional (Sujali, 1989). Alasan utama

pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata, baik wisata lokal,

!

!

41!

regional atau ruang lingkup suatu negara sangat erat kaitannya dengan

pembangunan perekonomian daerah atau negara tersebut. Alasan kedua

pengembangan pariwisata itu lebih banyak bersifat non ekonomis. Wisatawan yang

datang berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata salah satu motivasinya adalah

untuk menyaksikan dan melihat keindahan alam dan termasuk di dalamnya cagar

alam, kebun raya, tempat bersejarah dan candi-candi. Alasan ketiga pengembangan

pariwisata untuk menghilangkan kepicikan berpikir, mengurangi salah pengertian,

terutama bagi masyarakat di objek kepariwisataan itu dibangun (Oka A. Yoeti,

2008).

Tujuan pengembangan pariwisata adalah guna memperoleh nilai-nilai

ekonomi positif dimana pariwisata dapat sebagai katalisator dalam pembangunan

ekonomi pada beberapa sektor. Untuk mengembangkan setiap sektor

pembangunan, pariwisata tidak terkecuali perlu kiranya diperkirakan situasi yang

terjadi di tahun yang akan datang. Ini penting mengingat perencanaan

membutuhkan suatu tindak lanjut, baik yang berupa pekerjaan fisik maupun

penanganan yang bersifat sosial ekonomi. Selain itu perlu diperhatikan bahwa

untuk perencanaan seringkali diperlukan suatu unit besaran tertentu (Oka A. Yoeti,

1992). Peranan pemerintah dalam mengembangkan pariwisata dalam garis besarnya

adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), memperluas

berbagai bentuk fasilitaas, kegiatan koordinasi antara aparatur pemerintah dengan

pihak swasta, pengaturan dan promosi umum ke luar negeri (Spillane, 1985).

Pengertian pengembangan menurut J.S Badudu dalam Kamus Umum

Bahasa Indonesia, memberikan definisi pengembangan adalah hal, cara atau hasil

!

!

42!

kerja mengembangkan. Sedangkan mengembangkan berarti membuka, memajukan,

menjadikan maju dan bertambah baik. Ada dua pedoman umum untuk suatu

organisasi pariwisata yang baik. Yaitu harus terjalinnya kerjasama dan koordinasi

diantara.

1) Para pejabat yang duduk dalam organisasi baik tingkat nasional, propinsi dan

lokal

2) Para pengusaha yang bergerak dalam industri pariwisata seperti usaha

perjalanan, usaha penginapan. usaha angkutan, usaha rekreasi dan sector

hiburan, lembaga keuangan pariwisata, usaha cinderamata, dan pedagang

umum.

3) Organisasi yang tidak mencari untung yang erat kaitannya dengan pariwisata

(misalnya klub-klub wisata dan klub, mobil).

4) Asosiasi profesi dalam pariwisata. (Wahab, 1992)

Adapun tahapannya terdiri dari.

1) Tahap eksplorasi (exploration) yang berkaitan dengan discovery yaitu suatu

tempat sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku

pariwisata, maupun pemerintah. Biasanya jumlah pengunjung sedikit,

wisatawan tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya sulit

dicapai namun diminati oleh sejumlah kecil wisatawan yang justru menjadi

berminat karena belum ramai dikunjungi.

2) Tahap keterlibatan (involvement) yang diikuti oleh kontrol lokal (local

control), di mana biasanya oleh masyarakat lokal. Pada tahapan ini terdapat

inisiatif dari masyarakat lokal, obyek wisata mulai dipromosikan oleh

!

!

43!

wisatawan, jumlah wisatawan meningkat, dan infrastruktur mulai di bangun.

3) Tahap pengembangan (development) dan adanya kontrol lokal (local control)

menunjukan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisata secara drastis.

Pengawasan oleh lembaga lokal agak sulit membuahkan hasil, masuknya

industri wisata dari luar dan kepopuleran kawasan wisata menyebabkan

kerusakan lingkungan alam dan sosial budaya sehingga diperlukan adanya

campur tangan kontrol penguasa lokal maupun nasional.

4) Tahap konsolidasi (consolidation) dengan constitutionalism ditunjukkan oleh

penurunan tingkat pertumbuhan kunjungan wisatawan. Kawasan wisata

dipenuhi oleh berbagai industri pariwisata berupa hiburan dan berbagai macam

atraksi wisata.

5) Tahap kestabilan (stagnation) dan masih diikuti oleh adanya institutionalism,

di mana jumlah wisatawan tertinggi telah tercapai dan kawasan ini telah mulai

ditinggalkan karena tidak mode lagi, kunjungan ulang dan para pebisnis

memanfaatkan fasilitas yang telah ada. Pada tahapan ini terdapat upaya untuk

menjaga jumlah wisatawan secara intensif dilakukan oleh industri pariwisata

dan kawasan ini kemungkinan besar mengalami masalah besar yang terkait

dengan lingkungan alam maupun sosial budaya.

6) Tahap penurunan kualitas (decline) hampir semua wisatawan telah

mengalihkan kunjungannya ke daerah tujuan wisata lain. Kawasan ini telah

menjadi obyek wisata kecil yang dikunjungi sehari atau akhir pekan. Beberapa

fasilitas pariwisata telah diubah bentuk dan fungsinya menjadi tujuan lain.

Dengan demikian pada tahap ini diperlukan upaya pemerintah untuk

!

!

44!

meremajakan kembali (rejuvenate).

7) Tahap peremajaan kembali (rejuvenate), dimana dalam tahapan ini perlu

dilakukan pertimbangan mengubah pemanfaatan kawasan pariwisata, mencari

pasar baru, membuat saluran pemasaran baru, dan mereposisi atraksi wisata ke

bentuk lain. Oleh sebab itu diperlukan modal baru atau kerjasama antara

pemerintah dengan pihak swasta.

Gambaran mengenai siklus perkembangan pariwisata berdasarkan Butler

(1980) dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tourism Area Life Cycle Sumber : Butler, 1980

!

!

45!

Doxey (dalam Ryan, 1991) mempertimbangkan dampak sosial yang terjadi

pada tahapan pengembangan daerah wisata, menyimpulkan, bahwa terjadi perilaku

spesifik pada masyarakat lokal atas pengaruh pariwisata dari waktu ke waktu.

Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi

pembangunan ekonomi di suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Namun

demikian pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan

yang lebih luas bagi suatu negara. Pembangunan kepariwisataan ditujukan untuk :

a) Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Pariwisata mampu memberikan perasaaan bangga dan cinta terhadap Negara

Kesatuan Republik Indonesia melalui kegiatan perjalanan wisata yang dilakukan

oleh penduduknya ke seluruh penjuru negeri. Sehingga dengan banyaknya

warganegara yang melakukan kunjungan wisata di wilayah-wilayah selain

tempay tinggalnya akan timbul rasa persaudaraan dan pengertian terhadap sistem

dan filosofi kehidupan masyarakat yang dikunjungi sehingga akan meningkatkan

rasa persatuan dan kesatuan nasional.

b) Penghapusan Kemiskinan (Poverty Alleviation)

Pembangunan pariwisata seharusnya mampu memberikan kesempatan bagi

seluruh rakyat Indonesia untuk berusaha dan bekerja. Kunjungan wisatawan ke

suatu daerah seharusnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pariwisata akan

mampu memberi andil besar dalam penghapusan kemiskinan di berbagai daerah

yang miskin potensi ekonomi lain selain potensi alam dan budaya bagi

kepentingan pariwisata.

!

!

46!

c) Pembangunan Berkesinambungan (Sustainable Development)

Dengan sifat kegiatan pariwisata yang menawarkan keindahan alam, kekayaan

budaya dan keramahtamahan pelayanan, sedikit sekali sumberdaya yang habis

digunakan untuk menyokong kegiatan ini. Bahkan berdasarkan berbagai contoh

pengelolaan kepariwisataan yang baik, kondisi lingkungan alam dan masyarakat

di suatu destinasi wisata mengalami peningkatan yang berarti sebagai akibat dari

pengembangan keparwiwisataan di daerahnya.

d) Pelestarian Budaya (Culture Preservation)

Pembangunan kepariwisataan seharusnya mampu kontribusi nyata dalam upaya-

upaya pelestarian budaya suatu negara atau daerah yang meliputi perlindungan,

pengembangan dan pemanfaatan budaya negara atau daerah. UNESCO dan UN-

WTO dalam resolusi bersama mereka di tahun 2002 telah menyatakan bahwa

kegiatan pariwisata merupakan alat utama pelestarian kebudayaan. Dalam

konteks tersebut, sudah selayaknya bagi Indonesia untuk menjadikan

pembangunan kepariwisataan sebagai pendorong pelestarian kebudayaan di

berbagai daerah.

e) Pemenuhan Kebutuhan Hidup dan Hak Azasi Manusia

Pariwisata pada masa kini telah menjadi kebutuhan dasar kehidupan masyarakat

modern. Pada beberapa kelompok masyarakat tertentu kegiatan melakukan

perjalanan wisata bahkan telah dikaitkan dengan hak azasi manusia khususnya

melalui pemberian waktu libur yang lebih panjang dan skema paid holidays.

f) Peningkatan Ekonomi dan Industri

Pengelolaan kepariwisataan yang baik dan berkelanjutan seharusnya mampu

!

!

47!

memberikan kesempatan bagi tumbuhnya ekonomi di suatu destinasi pariwisata.

Penggunaan bahan dan produk lokal dalam proses pelayanan di bidang

pariwisata akan juga memberikan kesempatan kepada industri lokal untuk

berperan dalam penyediaan barang dan jasa. Syarat utama dari hal tersebut di

atas adalah kemampuan usaha pariwisata setempat dalam memberikan pelayanan

berkelas dunia dengan menggunakan bahan dan produk lokal yang berkualitas.

g) Pengembangan Teknologi

Dengan semakin kompleks dan tingginya tingkat persaingan dalam

mendatangkan wisatawan ke suatu destinasi, kebutuhan akan teknologi tinggi

khususnya teknologi industri akan mendorong destinasi pariwisata

mengembangkan kemampuan penerapan teknologi terkini mereka. Pada daerah-

daerah tersebut akan terjadi pengembangan teknologi maju dan tepat guna yang

akan mampu memberikan dukungan bagi kegiatan ekonomi lainnya. Dengan

demikian pembangunan kepariwisataan akan memberikan manfaat bagi

masyarakat dan pemerintahan di berbagai daerah yang lebih luas dan bersifat

fundamental. Kepariwisataan akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari

pembangunan suatu daerah dan terintegrasi dalam kerangka peningkatan

kesejahteraan masyarakat setempat.

2.1.5 Teori Pariwisata

Secara etimologi, pariwisata terdiri dari dua kata yaitu pari dan wisata. Pari

berarti banyak, lengkap, berkali-kali, sedangkan wisata berarti perjalanan atau

bepergian. Maka pariwisata artinya adalah suatu perjalanan yang dilakukan secara

berkali-kali.

!

!

48!

Definisi pariwisata telah banyak dikemukakan oleh para ahli di bidang

pariwisata, namun dalam definisi tersebut masih terdapat beberapa perbedaan

dalam pendefinisian. Hunzieker dan Kraf (Kohdyat, 1996) mendefinisikan

pariwisata merupakan keseluruhan fenomena dan hubungan-hubungan yang

ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya,

dengan maksud bukan untuk menetap di tempat yang disinggahinya dan tidak

berkaitan dengan pekerjaan yang menghasilkan upah. Perjalanan yang dilakukan

biasanya di dorong oleh rasa ingin tahu untuk keperluan yang bersifat rekreatif dan

edukatif. Pendapat lain disampaikan oleh McIntosh dan Gupta (1980) tentang

pariwisata yang didefinisikan sebagai gabungan gejala dan hubungan yang timbul

dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah, serta masyarakat tuan

rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan ini serta para

pengunjung lainnya.

Selanjutnya Wahab (1992) mendiskripsikan pariwisata merupakan suatu

aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara

bergantian diantara orang-orang di dalam negara itu dan daerah lain (daerah

tertentu) untuk sementara waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam dan

berbeda dengan apa yang dialaminya di tempat ia memperoleh pekerjaan tetap.

Dari beberapa pengertian pariwisata terdapat satu kesamaan dalam pengertian

tentang pariwisata yaitu bahwa kegiatan ini merupakan fenomena yang ditimbulkan

oleh salah satu bentuk kegiatan manusia yaitu kegiatan perjalanan/travelling.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, kegiatan manusia yang dilakukan

dalam rangka rekreasi atau untuk mencari menikmati suasana yang berbeda

!

!

49!

membutuhkan suatu obyek atau tempat untuk singgah.

Pemandangan alam, dalam hal ini adalah pemandangan rawa berperan

sebagai suatu obyek atau atraksi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam

melakukan kegiatan wisata. Segala hal yang berhubungan dengan kegiatan wisata

dengan obyek pemandangan alam berupa perairan selanjutnya dapat di sebut

sebagai pariwisata air. Definisi luas tentang pariwisata yaitu perjalanan dari suatu

tempat ke tempat lain yang bersifat sementara dan dilakukan oleh perorangan

maupun kelompok sebagai usaha untuk mencari keseimbangan atau keserasian dan

kebahagiaan dengan lingkungan hidup dan dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu

(Kodhyat dalam Spillane, 1987). Dalam Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang

kepariwisataan, dinyatakan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan

wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Dalam undang –

undang yang sama dinyatakan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan

yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang

muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara

wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah

Daerah, dan pengusaha. Pariwisata merupakan kegiatan yang mempunyai tujuan

untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan (Sujali, 1989).

Menurut Gamal Suwantoro (1997) istilah pariwisata berhubungan erat

dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat tinggal

sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan bukan untuk

melakukan kegiatan yang menghasilkan upah. Menurut Institut of Tourism in

!

!

50!

Britain (1976) dalam Kusumayadi dan Endar Sugiarto (2000), mendefinisikan

pariwisata sebagai kunjungan orang-orang untuk sementara dalam jangka pendek

ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggal dan tempat bekerja sehari-hari, serta

kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat-tempat tujuan tersebut. Lebih

lanjut Spillane juga mengkategorikan lima bidang dalam industri pariwisata antara

lain: hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, pusat wisata dan souvenir, serta

bidang pendidikan kepariwisataan. Dari beberapa pengertian yang telah di sebutkan

di atas pada dasarnya pariwisata timbul sebagai akibat dari aktivitas manusia yang

berkaitan dengan kebutuhan manusia yaitu perjalanan. Perjalanan yang dilakukan

adalah bersifat sementara waktu, tidak untuk melakukan pekerjaan tetap dan tidak

dalam usaha untuk mencari upah/nafkah.

A. Dampak dan Manfaat Pariwisata

Kegiatan pariwisata terletak di lingkungan dan secara umum dibentuk oleh

hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Kondisi lingkungan manusia

dibentuk oleh factor ekonomi, social dan budaya yang berproses antara satu factor

dengan factor lainnya. Pariwisata dapat mengakibatkan penghancuran budaya,

lunturnya norma sosial dan norma ekonomi, degradasi struktur sosial, penyediaan

peluang kerja dan keuntungan ekonomi dan terjadinya perubahan sosial di

masyarakat. Akibat dari kegiatan ini yang sering didiskripsikan menjadi dampak

kegiatan pariwisata. Kegiatan pariwisata dapat memberikan manfaat positif bagi

destinasi dan juga dapat memberikan dampak negatif terutama terhadap

lingkungan. Guna meminimalisir dampak negatif dengan adanya kegiatan

pariwisata, menjadi hal yang penting untuk menjadikan hubungan yang baik antara

!

!

51!

kondisi lingkungan manusia dengan lingkungan alam sehingga kondisi lingkungan

akan berkelanjutan. Sebuah penelitian oleh Ramsar (2012) yang membahas tentang

persepsi masyarakat terhadap dampak kegiatan pariwisata dan partisipasi

masyarakat dalam kegiatan pariwisata menghasilkan bahwa kegiatan pariwisata

berpengaruh terhadap kualitas masyarakat local dan terdapat hubungan yang

signifikan antara kualitas hidup masyarakat local dan partisipasinya dalam kegiatan

pariwisata. Struktur sosial dari masyarakat lokal memiliki permasalahan utama

dalam kemampuannya untuk menyerap secara positif norma dan nilai yang berbeda

yang dibawa oleh wisatawan (Mansfeld 1992).

Peter Mason (2003) menjabarkan bahwa dampak pariwisata dibagi menjadi 3

aspek yaitu dampak terhadap ekonomi, sosial budaya dan lingkungan yang dapat

bersifat negatif maupun positif. Pelingkupan mengenai dampak kegiatan pariwisata

yang berdasarkan teori Peter Mason menjadi dasar teoritis yang digunakan dalam

penelitian ini. Dengan adanya kegiatan pariwisata di Nusa Penida, seharusnya

dapat memberikan dampak positif terhadap kondisi ekonomi masyarakat (Ramsar,

2012) sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya.

Bentuk partisipasi masyarakat menjadi esensil bagi pencapaian pariwisata

yang berkelanjutan dan bagi realisasi pariwisata yang berkualitas. Getz dan Jamal

(1994) mengembangkan pondasi teorintis pelibatan masyarakat dalam perencanaan

dan pengembangan pariwisata dan menganalisis watak dan tujuan dari model

kolaborasi (collaboration) yang berbeda dari model kerjasama (cooperation).

Mereka berdua mendefinisikan kolaborasi sebagai “sebuah proses pembuatan

keputusan bersama diantara stakeholders otonom dari domain interorganisasi untuk

!

!

52!

memecahkan problem-problem atau me-manage isu yang berkaitan dengan

pariwisata (Getz dan Jamal, 1994). Proses kolaborasi meliputi ; 1) Problem Setting

dengan mengidentifikasi stakeholders kunci dan isu-isu. 2) Direction Setting

dengan berbagi interpretasi kolaboratif, mengapresiasi tujuan umum. 3)

strukturisasi dan implementasikan, 4) institusionalisasi. Pembelajaran disini

bertujuan untuk membantu proses belajar antara tuan rumah (host Community) dan

tamu (Guest), mendidik dan membangun pengertian antara cara hidup dan budaya

yang beragam, meningkatkan kesadaran terhadap konservasi budaya dan

sumberdaya diantara turis dan masyarakat luas.

Local genius dan kearifan lokal mengambil peranan penting dalam

pengembangan pariwisata. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius,

Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch

Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini

(Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius

adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang

menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing

sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986).

Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986) mengatakan bahwa

unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji

kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.

Beberapa contoh yang bisa mendukung pernyataan tersebut, yaitu.

1) Mampu bertahan terhadap budaya luar.

2) Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.

7

!

!

53!

3) Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya

asli.

4) Mempunyai kemampuan mengendalikan.

5) Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Beberapa bentuk kearifan lokal yang berkaitan dengan pelestarian alam juga

diungkapkan oleh Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam

http://www. balipost. co. id (2003), bentuk-bentuk kearifan lokal dalam

masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum

adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan

ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-

macam. Beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu.

1) Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.

2) Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan

dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.

3) Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya

pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada Pura Panji.

4) Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

5) Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.

6) Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.

7) Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam Upacara Ngaben dan

penyucian roh leluhur.

8) Bermakna politik, misalnya upacara nangluk merana dan kekuasaan patron

client

!

!

54!

B. Perencanaan Pariwisata

Perencanaan (planning) adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang

menyangkut masa depan dari suatu destinasi atau atraksi. Planning adalah proses

yang bersifat dinamis untuk menentukan tujuan, bersifat sistematis dalam mencapai

tujuan yang ingin dicapai, merupakan implementasi dari berbagai alternatif pilihan

dan evaluasi apakah pilihan tersebut berhasil. Proses perencanaan menggambarkan

lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik, fisik, sosial, budaya dan

ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling berhubungan dan saling

tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan (Paturusi, 2001).

Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan tindakan-tindakan yang

mana tindakan tersebut digambarkan dalam suatu tujuan (jangka pendek, jangka

menengah, maupun jangka panjang) yang didasarkan kemampuan-kemampuan

fisik, ekonomi, sosial budaya, dan tenaga yang terbatas.

Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga)

kemampuan (the three brains) yaitu.

1) Kemampuan melihat ke depan.

2) Kemampuan menganalisis.

3) Kemampuan melihat interaksi-interaksi, antara permasalahan.

Bila di rinci pengertian perencanaan tersebut maka dalam batasan

perencanaan terdapat unsur.

1) Suatu pandangan jauh ke depan.

2) Merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai dengan menggunakan

alat – alat secara efektif dan ekonomis.

!

!

55!

3) Menggunakan koordinasi dalam pelaksanaan.

Hall (1998) menyatakan bahwa, pariwisata tidak bisa dibiarkan untuk

kemajuan secara ad hoc tanpa kerangka konsep secara keseluruhan dan strategi

menuju tujuan pembangunan yang telah ditentukan. Realita teori hall (1998) ini

telah terbukti di Nusa Penida dengan perkembangan / aglomerasi kegiatan

pariwisata hanya pada daerah bagian barat Nusa Penida. Di masa mendatang

dibutuhkan kerangka konsep yang tepat yang dapat memberikan dampak dan

manfaat kegiatan pariwiata yang ada. Simpson (2001) menyatakan bahwa

"pertimbangan factor terkait proses perencanaan destinas pariwisata belum mampu

menjamin aplikasi konsep pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan pada

sebuah destinasi pariwisata. Berbagai konsep pembangunan dan perencanaan

pariwisata telah di tawarkan dan diaplikasikan.

Optimalisasi manfaat yang dirasakan dengan penerapan konsep pariwisata

sangat tergantung dari berbagai aspek pendukung kegiatan pariwisata. Ritchie dan

Crouch (2000) menyatakan bahwa strategi pengembangan pariwisata yang paling

efektif adalah strategi yang berorientasi kepada tujuan, Aplikasi prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan ke dalam perencanaan pariwisata untuk seluruh

jenjang perencanaan destinasi pariwisata baik tingkat nasional, negara, regional

atau lokal, sangatlah penting untuk diterapkan. Kegiatan pariwisata ditingkat lokal

terbukti memberikan pengurangan yang signifikan terhadap dampak negatif

terhadap kegiatan pariwisata. Kondisi ini didasarkan atas fakta bahwa dengan

pengembangan pariwisata secara lokal, yang dilakukan oleh pemerintah daerah

!

!

56!

memiliki control langsung yang kuat terhadap upaya pengawasan pelaksanaan

kegiatan wisata pada sebuah daya tarik wisata.

Coccossis (1996) menyatakan bahwa di beberapa daerah yang memiliki

kegiatan pariwisata yang telah berkembang, kegiatan pariwisata telah

membangkitkan ekonomi lokal dan memperkuat identitas lokal disisi lain telah

merusak adat istiadat, tradisi dan hubungan sosial; di beberapa daerah telah

membantu melindungi lingkungan yang sensitif. Simpson (2001) mengidentifikasi

dua kunci pendekatan berkelanjutan untuk perencanaan pariwisata: partisipasi

stakeholder beberapa dalam proses perencanaan dan kebutuhan untuk orientasi

yang lebih strategis dan jangka panjang dalam perencanaan pariwisata.

Perencanaan pariwisata berdasarkan pendekatan kegiatan dan langkah

Pendekatan Perencanaan Pariwisata

1) Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Metode Keterkaitan, yang

meliputi.

a) Metode Makro-Meso-Mikro

b) Metode Partisipatif (participatory)

c) Metode Morfologi

2) Pendekatan Pengembangan Kawasan

a) Pendekatan Tipologi

b) Pendekatan Pembangunan Masyarakat

c) Pendekatan Ekowisata

d) Pendekatan Konservasi

!

!

57!

Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau resort akan menuju suatu siklus evolusi

yang sama dengan siklus hidup sebuah produk. Secara sederhana jumlah

pengunjung menggantikan penjualan sebuah produk. Beberapa penulis menyatakan

terdapat tiga tingkatan siklus hidup daerah pariwisata yaitu; penemuan (discovery),

inisiatif dan respon masyarakat lokal dan kelembagaan. Konsep tingkatan atau

tahapan siklus hidup terjadi dalam pembangunan pariwisata merupakan salah satu

permasalahan penting yang harus diantisipasi.

Secara umum perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara

sistematis kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan

tertentu. Perencanaan itu sendiri merupakan “alat” dan bukan tujuan, perencanaan

adalah alat untuk mencapai tujuan, dengan demikian dapat berubah – ubah menurut

tempat, waktu dan keadaan. Perencanaan sebagai alat untuk dibuat sedemikian rupa

sehingga fleksibel untuk tiap era pembangunan. Perencanaan dipakai sebagai alat

atau cara karena hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa.

1) Dengan perencanaan dapat dibuat urutan – urutan kegiatan menurut skala

prioritas untuk mencapai tujuan.

2) Dengan perencanaan dapat dibuat pengakolasian sumber daya yang paling

baik. Alternatif dapat dibuat, agar sumber digunakan dengan sebaik – baiknya.

3) Perencanaan merupakan alat ukur daripada kemajuan ekonomi dan juga

sebagai alat pengawas daripada pelaksanaan pembangunan.

4) Melalui perencanaan dapat dibuat perkiraan keadaan di masa yang akan

datang.

5) Dengan perencanaan diharapkan pembangunan tidak akan terputus – putus,

!

!

58!

sebab perencanaan merencanakan proses pembangunan yang menyeluruh.

Ada beberapa alasan mengapa perencanaan diperlukan.

1) Memberi pengarahan

Dengan adanya perencanaan para pelaksana dalam suatu organisasi atau tim

mengetahui apa yang hendak dilakukannya dan kearah mana yang akan dituju,

atau apa yang akan dicapai.

2) Membimbing kerjasama

Perencanaan dapat membimbing para petugas bekerja tidak menurut

kemauannya sendiri. Dengan adanya perencanaan, ia merasa sebagai bagian

dari suatu tim, di tempat tugas seorang banyak tergantung dari tugas yang

lainnya.

3) Menciptakan koordinasi

Bila dalam suatu proyek masing – masing keahlian berjalan secara terpisah,

kemungkinan besar tidak akan tercapai suatu inkronisasi dalam pelaksanaan.

Karena itu sangat diperlukan adanya koordinasi antara beberapa aktivitas yang

dilakukan.

4) Menjamin tercapainya kemajuan

Suatu perencanaan umumnya telah menggariskan suatu program yang hendak

dilakukan meliputi tugas yang tanggung jawab tiap individu atau tim dalam

proyek yang dikerjakan. Bila ada penyimpangan antara yang telah

direncanakan dengan apa yang telah dilaksanakan, akan segera dapat

dihindarkan. Dengan demikian akan dapat dilakukan koreksi pada saat

diketahui, sehingga sistem ini akan mempercepat penyelesaian suatu proyek.

!

!

59!

5) Untuk memperkecil resiko

Perencanaan mencakup mengumpulkan data yang relevan (baik yang tersedia,

maupun yang tidak tersedia) dan secara hati – hati menelaah segala

kemungkinan yang terjadi sebelum di ambil auatu keputusan. Keputusan yang

di ambil atas dasar intuisi, kerjakan ini kerjakan itu tanpa melakukan suatu

penelitian pasar atau tanpa melakukan perhitungan rates of return on

invesment, sangat dikhawatirkan akan menghadapi resiko besar. Karena itu

perencanaan lebih lebih memperkecil resiko yang timbul berlebihan.

6) Mendorong dalam pelaksanaan

Perencanaan terjadi agar suatu organisasi dapat memperoleh kemajuan secara

sistematis dalam mencapai hasil yang diinginkan melalui inisiatif sendiri. Itu

pulalah sebabnya untuk mencapai suatu hasil diperlukan tindakan, namun

demikian untuk melakukan tindakan dibutuhkan suatu perencanaan dan

program. Di samping itu untuk membuat suatu perencanaan diperlukan suatu

kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian untuk

mengetahui data yang perlu dikumpulkan kita memerlukan tujuan yang hendak

dicapai terlebih dahulu, sedangkan untuk mencapai suatu tujuan (objectives)

diperlukan suatu pemikiran (thought) yang khusus. Jadi perencanaan

(planning) merupakan suatu mata rantai yang esensial antara pemikiran

(thought) dan pelaksanaan (action). Dengan perkataan lain kita dapat

mengatakan bahwa “Thought without action is merely philosophy, action

without thought is merely stupidity” (Yoeti, 1997).

!

!

60!

C. Pengembangan Destinasi Pariwisata

Ketika melakukan perjalanan, pasti terdapat daerah yang dituju. Daerah

inilah yang di sebut dengan Daerah Tujuan Wisata. Sesuai Undang – Undang

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Daerah

Tujuan Wisata yang selanjutnya di sebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan

geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administrasi yang di dalamnya

terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta

masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan (UU RI

No.10 Th.2009).

Menurut Prof. Mariotti, daerah tujuan wisata harus memiliki hal menarik

yang dapat ditawarkan kepada para wisatawan (Oka A Yoeti, 1996). Destinasi

Pariwisata harus memenuhi tiga syarat, yaitu.

1) Harus memiliki something to see, yaitu di tempat tersebut harus ada obyek dan

atraksi wisata khusus, yang berbeda dengan apa yang dimiliki daerah lain

untuk di lihat.

2) Harus menyediakan something to do, yaitu di tempat tersebut harus disediakan

fasilitas untuk melakukan kegiatan rekreasi yang dapat membuat betah

wisatawan.

3) Harus menyediakan something to buy, yaitu di tempat tersebut harus tersedia

fasillitas untuk berbelanja, terutama oleh-oleh dan barang kerajinan khas yang

dapat dibawa pulang ke tempat asal oleh wisatawan.

Prof. Moratti juga berpendapat bahwa terdapat tiga hal yang dapat menarik

wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah. Ketiga hal tersebut adalah benda –

!

!

61!

benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta (contoh: pemandangan, iklim,

flora dan fauna), benda – benda hasil ciptaan manusia (contoh: monumen dan

museum), dan tata cara hidup masyarakat setempat. Ketiga hal inilah yang

dimaksud dengan obyek dan atraksi wisata.

Pada dasarnya seseorang atau yang di sebut wisatawan memiliki kriteria

khusus dalam memilih daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya, baik yang

berdasarkan pada minat hobinya maupun tujuan perjalanannya. Pemilihan daerah

tujuan wisata secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis

pariwisata. Menurut Nyoman S. Pendit (2002), terdapat beberapa jenis pariwisata

yang sudah dikenal, yaitu.

1) Wisata budaya, yaitu perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk

memperluas pandangan hidup seseorang dengan cara mengadakan kunjungan

ke tempat lain atau ke luar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan

adat istiadat mereka, cara hidup mereka, kebudayaan dan seni mereka.

2) Wisata kesehatan, yaitu perjalanan seseorang wisatawan dengan tujuan untuk

menukar keadaan dan lingkungan tempat sehari-hari di mana ia tinggal demi

kepentingan beristirahat baginya dalam arti jasmani dan rohani.

3) Wisata olahraga, yaitu wisatawan-wisatawan yang melakukan perjalanan

dengan tujuan berolahraga atau memang sengaja bermaksud mengambil bagian

aktif dalam pesta olahraga di suatu tempat atau negara.

4) Wisata komersial, yaitu termasuk perjalanan untuk mengunjungi pameran-

pameran dan pekan raya yang bersifat komersial, seperti pameran industri,

pameran dagang dan sebagainya.

!

!

62!

5) Wisata industri, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau

mahasiswa, atau orang-orang awam ke suatu kompleks atau daerah

perindustrian, dengan maksud dan tujuan untuk mengadakan peninjauan atau

penelitian.

6) Wisata Politik, yaitu perjalanan yang dilakukan untuk mengunjungi atau

mengambil bagian secara aktif dalam peristiwa kegiatan politik.

7) Wisata Konvensi, yaitu perjalanan yang dilakukan untuk menghadiri konvensi,

konferensi, musyawarah atau pertemuan yang bersifat nasional maupun

internasional.

8) Wisata Sosial, yaitu pengorganisasian suatu perjalanan murah serta mudah

untuk memberi kesempatan kepada golongan masyarakat ekonomi lemah

untuk dapat mengadakan perjalanan, misalnya bagi kaum buruh, pemuda,

pelajar, dan sebagainya.

9) Wisata Pertanian, yaitu perjalanan yang diorganisasikan oleh proyek pertanian,

perkebunan, dan ladang pembibitan sehingga wisatawan dapat melakukan

kunjungan dan peninjauan dengan tujuan studi.

10) Wisata Bahari, yaitu wisata yang banyak dikaitkan dengan danau, pantai atau

laut.

11) Wisata Cagar Alam, yaitu jenis wisata yang biasanya diselenggarakan oleh

agen atau biro perjalanan yang mengkhususkan usaha-usaha dengan mengatur

wisata ke tempat atau daerah cagar alam, taman lindung, hutan daerah

pegunungan dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi oleh undang-

undang.

!

!

63!

12) Wisata Bulan Madu, yaitu suatu penyelenggaraan perjalanan bagi pasangan-

pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu dengan fasilitas-fasilitas

khusus dan tersendiri demi kenikmatan perjalanan.

13) Wisata Buru, yaitu perjalanan yang dilakukan untuk berburu ke daerah atau

hutan yang telah ditetapkan sebagai tempat berburu oleh pemerintah negara

yang bersangkutan.

14) Wisata Pilgrim, yaitu perjalanan ziarah ke tempat suci, ke makam orang besar

atau pemimpin yang diagungkan dengan niat memperoleh restu, kekuatan

batin, dan keteguhan iman.

15) Wisata Petualangan, yaitu perjalanan ke daerah atau hutan belantara yang

belum pernah dijelajahi.

Selanjutnya Wahab (1996) menyatakan bahwa ada beberapa bagian penting

dari pariwisata, yaitu; manusia (unsur insani sebagai pelaku kegiatan pariwisata);

tempat (unsur fisik sebagai tempat manusia melakukan kegiatan wisatanya); dan

waktu (unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalanan wisata dan selama berdiam

di tempat tujuan wisata). Dutton dan Hall (1989) menyatakan bahwa pemerintah

harus secara aktif mencari dan mempertimbangkan sikap masyarakat setempat

untuk pariwisata. Keterlibatan beberapa kelompok pemangku kepentingan

dianggap sebagai masalah penting dalam pendekatan berkelanjutan seperti dalam

proses perencanaan khas stakeholder berkonsultasi minimal dekat akhir proses,

yang meninggalkan sedikit kesempatan untuk masukan yang berarti dalam proses.

Sebuah prasyarat lebih lanjut untuk pendekatan perencanaan pariwisata

berkelanjutan adalah penggunaan perencanaan strategis untuk menggantikan

!

!

64!

pendekatan perencanaan konvensional. Terdapat kesenjangan yang tumbuh antara

doktrin keberlanjutan dan yang aplikasi 'dunia nyata' (Simpson, 2001; Trousdale,

1999). Artinya, meskipun penerimaan yang luas dari konsep keberlanjutan,

terutama di sektor akademik, pertanyaan harus ditanyakan apakah para perencana

tujuan, manajer dan operator industri yang membuat keputusan tentang pariwisata

dalam tujuan masing-masing , yang benar-benar menerapkan prinsip-prinsip kunci

dari teori pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan dengan sifatnya adalah proses perubahan dan dapat

dijelaskan dalam berbagai cara. Harrison (1992) dan Woodcock dan Francis (1994)

menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan tradisional bisa membuktikan

kerangka yang berguna untuk penjelasan dari pola pengembangan pariwisata dan

proses. Dalam literatur, pendekatan untuk pengembangan berbagai dari laissez-

faire (hanya melakukan apa-apa) ke diffusionism, ketergantungan dan

keberlanjutan, meskipun tidak ada pendekatan yang pernah mencapai dominasi

mutlak. Selain itu, berbagai alternatif dikotomis telah diusulkan untuk pelaksanaan

pendekatan di atas, seperti besar versus kecil, massa dibandingkan alternatif,

eksogen terhadap endogen dan modal dibandingkan padat karya. Ada dua jenis

model yang berkontribusi terhadap pemahaman yang lebih baik dari

pengembangan: jelas dan deskriptif. Model jelas (misalnya diffusionist) mengacu

pada faktor (prasyarat) yang menyebabkan pembangunan / pertumbuhan. Dalam

pariwisata, ada dua pra-kondisi pembangunan, yaitu 'diperlukan' dan 'cukup'

(Rostow, 1960; Auty, 1995). 'Diperlukan' pra-kondisi termasuk berbagai faktor

yang menarik orang untuk tujuan yang berbeda, sangat sering lanskap bagus dan

!

!

65!

jalan-jalan arkeologi. Namun, meskipun ada banyak tujuan yang memiliki beberapa

diperlukan pra-kondisi, mereka tidak pernah bergerak dari potensi pengembangan

untuk benar-benar berkembang, karena mereka tidak memiliki 'cukup' prasyarat,

kehendak yaitu seseorang untuk mengembangkan industri pariwisata, misalnya

investasi di bidang infrastruktur dan akomodasi.

Model deskriptif (misalnya penjelasan siklus hidup, model fisik dan

kantong dibandingkan menyebar perkembangan) memeriksa pariwisata dari sudut

apa yang muncul di tanah, misalnya hotel besar, fasilitas dan lain-lain Mayoritas

penelitian pengembangan pariwisata telah berkonsentrasi pada penjelasan

deskriptif, terutama model siklus hidup (Butler, 1980; Cooper, 1990; Martin dan

Uysal, 1990; Foster dan Murphy, 1991; Getz, 1992; Ioannides, 1992; di Benedetto

dan Bojanic, 1993; Bianchi, 1994; Agarwal, 1997; Tooman, 1997; Oppermann,

1998; Priestley dan Mundet, 1998; Russell dan Faulkner, 1998; Knowles dan

Curtis, 1999). Demikian pula, banyak penelitian telah dilakukan menekankan hasil

pembangunan-ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (Mathieson dan Wall, 1982;

Dogan, 1989; Uysal, 1990; Gandum, 1993; Buhalis dan Fletcher, 1995;

Haralambopoulos dan Pizam, 1996).

Konsep pembangunan telah di bahas selama bertahun-tahun dan telah

diberikan berbagai interpretasi. Friedmann (1980) dan Oppermann dan Chon

(1997) mengamati pembangunan sebagai salah satu 'istilah yang lebih licin di lidah

kita dan menunjukkan perkembangan sebagai' proses evolusi 'dengan' konotasi

positif.

!

!

66!

Ingham (1993) memandang pembangunan di cara yang mirip dengan

Friedman dengan menghubungkan ke pengembangan sifat ganda, yang terdiri dari

kedua proses dan tujuan. Todaro (1994) menetapkan tiga tujuan pembangunan:

kebutuhan kelangsungan hidup manusia (terutama makanan dan tempat tinggal),

standar hidup (seperti pendidikan dan kesehatan), dan hak asasi manusia (seperti

keadilan sosial dan kedaulatan politik).

Meskipun pertumbuhan pariwisata meresap selama dekade terakhir dan

penggunaan pariwisata dengan banyak negara dan pulau-pulau sebagai strategi

pembangunan, sastra pembangunan telah hampir diabaikan pariwisata sebagai

pendekatan pembangunan (Apostolopoulos, 1996; Gunn, 1994; Sinclair, 1997).

Namun, pengembangan pariwisata melalui adalah strategi yang digunakan oleh

pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pendapatan dan penciptaan

lapangan kerja, dan untuk membantu tujuan untuk berpindah dari posisi 'warga

miskin' atau 'bawah-pengembangan' ke posisi 'kekayaan' atau 'pengembangan

lebih'.

Rostow (1960) mengidentifikasi jalur alami untuk pertumbuhan ekonomi

(proses) yang semua masyarakat atau bangsa harus mengikuti jika mereka ingin

menjadi modern. Jalur ini meliputi lima tahap awal dengan masyarakat tradisional

dan maju melalui tahap prakondisi untuk take-off, take-off, dan drive hingga jatuh

tempo, sebelum mencapai tahap akhir dari konsumsi massa tinggi. Rostow (1960)

mengakui bahwa untuk pengembangan lebih cepat dan lebih baik dari negara peran

utama dimainkan oleh sektor swasta bebas dan dinamis dalam kemitraan dengan

sektor publik yang efisien. Namun, ia mengidentifikasi bahaya detouring, ketika

!

!

67!

beberapa negara berangkat dari pembangunan kapitalis untuk rute menyimpang dari

sosialisme-komunisme.

Walaupun model Rostow tidak membahas pertumbuhan pariwisata,

khususnya, namun pertumbuhan ekonomi secara umum dari semua jenis kegiatan,

itu adalah alat yang berguna untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi di sektor

pariwisata. Pariwisata dapat menawarkan untuk tujuan jalur alami untuk

pertumbuhan ekonomi melalui berbagai tahap, mulai dari non-pariwisata tradisional

di mana ada wisatawan mengunjungi tujuan, untuk prasyarat untuk lepas landas di

mana penjelajah dan drifter membuat penampilan mereka, hingga jatuh tempo di

mana tujuan dikunjungi oleh wisatawan individu massa, untuk tahap akhir dari

konsumsi massa di mana tujuan dikunjungi oleh wisatawan massa terorganisir. Dari

sini jelas bahwa Rostow mengatur akar untuk sebagian besar model yang telah

berusaha untuk menjelaskan evolusi pariwisata. Oleh karena itu, banyak penulis

telah dimasukkan ke dalam model evolusi mereka banyak tahapan Rostow,

meskipun menggunakan terminologi pariwisata yang spesifik.

Tradisi 'laissez faire' menunjukkan bahwa dengan gangguan minimum oleh

pemerintah dan operasi yang efisien dari pengusaha individu produksi dan

pertukaran barang dapat dirangsang dan peningkatan konsekuensi dalam standar

umum hidup yang dicapai. Namun, kebebasan tersebut tidak dapat memastikan

nilai-nilai sosial dasar, seperti distribusi pendapatan yang merata. Sebaliknya, itu

memungkinkan akumulasi kekayaan yang luas dan kepentingan pribadi yang kuat

yang mengarah ke kemiskinan bagian utama dari masyarakat. Pariwisata

pendekatan laissez-faire harus dihindari karena dapat mengakibatkan efek merusak

!

!

68!

karena konsekuensi yang luar biasa dari pengembangan pariwisata yang tidak

terkendali pada kelangsungan hidup sumber daya lingkungan dan budaya dan

bahaya tujuan kehilangan keasliannya di drive untuk keuntungan cepat dan mudah .

Difusi adalah proses di mana pertumbuhan ekonomi menyebar-out dari satu

lokasi ke sejumlah orang lain (Sarre, 1977; Rostow, 1960; Auty, 1995). Proses

penyebaran-out ini dapat lebih baik dilaksanakan melalui pengembangan.

"Pembangunan tidak bisa dihindari, (itu) terjadi dalam tahap pengembangan, dan

disebarkan dari inti pembangunan menuju daerah pinggiran" (Oppermann dan

Chon 1997, p.36). Sebuah prasyarat difusi adalah proses inovasi, yang tidak harus

menjadi sesuatu yang baru, tetapi mungkin ada di daerah lain, dan dapat merujuk

pada benda-benda nyata, seperti mesin, atau fenomena kurang nyata, seperti

pariwisata (Sarre, 1977).

Difusi dalam pariwisata memiliki dua sisi. Pertama, sisi permintaan yang

bersangkutan dengan bagaimana wisatawan diinformasikan tentang tujuan dan

memutuskan untuk mengunjunginya. Biasanya produk wisata tidak diberikan

langsung kepada masyarakat tetapi intermediet mengendalikan distribusinya.

Akibatnya, sisi penawaran yang bersangkutan dengan cara yang tujuan

mengembangkan industri pariwisata. Sisi penawaran melibatkan lembaga, misalnya

lembaga pemerintah atau eksogen yang membuat keputusan. Dalam setiap tujuan

ada beberapa individu atau lembaga yang memutuskan pertama untuk

menghasilkan fasilitas wisata. Setelah sejumlah kecil produsen membuat beberapa

fasilitas yang sukses dalam menarik wisatawan, lebih individu memutuskan untuk

mengadopsi inovasi, biasanya terletak di dekat produsen yang ada. Ini difusi hasil

!

!

69!

inovasi dalam perubahan sosial dengan perubahan yang terjadi dalam struktur dan

fungsi sistem sosial, dengan meminjam atau mengadopsi ciri-ciri budaya dari

negara-negara lain (Rogers, 1995).

Miossec (1976) mengembangkan model diffusionist ruang pariwisata, yang

menggambarkan evolusi struktural tujuan melalui ruang dan waktu dan perubahan

dicatat dalam penyediaan resor dan fasilitas transportasi dan perubahan perilaku

dan sikap selanjutnya antara wisatawan, pengambil keputusan dan populasi tuan

rumah. Dia berargumen difusi yang terjadi dalam lima fase (0, 1, 2, 3 dan 4) dari

isolasi, tanpa pembangunan, penciptaan sebuah resor perintis bersama-sama dengan

transportasi yang diperlukan berarti untuk aksesibilitas resort, untuk perkalian

resort dan jaringan transportasi lanjut, dan kejenuhan melalui pemerataan resort di

seluruh negeri. Melalui fase perubahan dalam sikap lokal terjadi yang dapat

menyebabkan penerimaan lengkap pariwisata, penerapan kontrol perencanaan atau

bahkan penolakan pariwisata (Pearce, 1989).

Miossec menyarankan bahwa lebih-pembangunan dapat mengakibatkan

penurunan, pengaturan sehingga batas tingkat pembangunan yang resort atau

negara dapat mempertahankan. Namun, Miossec dapat dikritik karena ia gagal

untuk mengakui bahwa pariwisata tidak dapat berkembang dalam 'ruang kosong'

tetapi biasanya berkembang "dalam struktur ekonomi yang ada sosial di mana

beberapa bentuk hirarki perkotaan dan beberapa jaringan transportasi yang sudah

ditemukan" (Pearce, 1989).

Proses difusi dari inti pembangunan ke pinggiran dapat dengan mudah

terwujud melalui pariwisata, karena meningkatnya permintaan dari wisatawan

!

!

70!

modern untuk tujuan baru. Perluasan industri pariwisata menyiratkan interaksi yang

lebih besar dari 'trickle-down effect’ dan kemungkinan penyesuaian kesenjangan

regional. Pariwisata dapat menghasilkan pengaruh positif pada pariwisata

menerima tujuan dengan manfaat untuk kesejahteraan individu dan kolektif dalam

pembangunan sosial-ekonomi. Sejak hasil pengeluaran pariwisata di keterkaitan

dengan sektor ekonomi lainnya, misalnya pertanian, kerajinan, dan bangunan, efek

multiplier yang tinggi, dan penciptaan lapangan kerja bagi penduduk setempat,

pariwisata internasional telah di lihat oleh pemerintah daerah perifer sebagai alat

untuk pembangunan ekonomi mereka, seperti yang ditekankan oleh Christaller

(1966).

Dalam negara dunia ketiga kubu elitis berlaku dan masih ada kesenjangan

besar antara kelas-kelas sosial dan ekonomi, serta antar daerah, di tingkat

kesejahteraan sosial dan pembangunan ekonomi. Namun demikian, kadang-kadang

hasil dari proses difusi berbeda. Di beberapa negara difusi, melalui pariwisata, tidak

menyebabkan perkembangan ekonomi yang signifikan dan peningkatan

kesejahteraan individu, tetapi telah meningkat ketimpangan regional, kesenjangan

antara kelas sosial-ekonomi dan kubu elitis. Akibatnya, difusi tidak segera muncul

di seluruh negara atau pulau. Ada daerah di mana difusi muncul pertama, pada

orang lain kemudian, dan dalam beberapa tidak pernah. Namun, apa alasan untuk

ini? Sebagai Friedmann (1973) menegaskan, biasanya inti mendominasi pinggiran

dalam fungsi ekonomi, politik dan inovatif, dan karena itu difusi dalam inti

biasanya muncul pertama. Di sisi lain, pinggiran bukanlah entitas yang homogen,

dan oleh karena itu, bagian-bagian itu berbeda dalam potensi mereka untuk

!

!

71!

pembangunan. Brown (1981) menyarankan: daerah pinggiran mungkin atas transisi

karena mereka berada di dekat dengan impuls pembangunan yang berasal dari inti,

atau karena mereka berada di antara dua kota inti dan dengan demikian merupakan

koridor pembangunan. Atau, ada daerah pinggiran yang bawah transisi karena

mereka berada jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi, atau karena norma-norma

sosial mereka yang luar biasa tradisional.

Ini telah digambarkan oleh banyak penulis (misalnya Pearce, 1987;

Oppermann, 1993) yang mengusulkan bahwa resort wisata biasanya dibuat di

sekitar bandara internasional. Karena sebagian besar waktu bandara internasional

sering dekat dengan ibukota, resort yang terletak di daerah-daerah. Misalnya, di

Dominika, setengah dari semua perusahaan akomodasi berada di ibukota Rousseau.

Oppermann (1993) menegaskan bahwa cara yang paling sukses untuk mengarahkan

wisatawan ke daerah lain adalah pembukaan bandara baru. Karena laut dan pasir

menarik sebagian besar wisatawan, bandara sering dibangun di sepanjang pantai.

Negara-negara berkembang dan kepulauan terdiri dari penurunan sektor

'tradisional', dan sektor tumbuh 'modern'. Sektor tradisional terdiri dari budaya asli

dan ditandai oleh sub-budaya tani atau norma-norma sosial berorientasi

mempertahankan status quo (Brown, 1981). Di sisi lain, sektor modern

menggabungkan pengaruh, dunia terutama dikembangkan, praktik ekonomi asing

dan norma-norma sosial (Brown, 1981). Melalui masukan dari ideologi baru,

teknologi dan keahlian dari eksternal ke agen daerah, terjadi perubahan dalam

struktur ekonomi dan masyarakat daerah tertinggal. Seperti Harrison (1992)

mengatakan:

!

!

72!

Secara ekonomi, ada pergeseran dari pertanian ke industri (dan dari desa ke

kota), dan peran sentral untuk uang dan pasar uang. Sosial, pengaruh keluarga dan

lain jajahan menurun, lembaga menjadi lebih berbeda, dan peran penting yang

dimainkan oleh 'modernisasi' elit dan 'agen perubahan' lainnya dalam

memperkenalkan nilai-nilai dan lembaga-lembaga modern, sering dalam

menghadapi tradisi bermusuhan atau resisten. Jika modal investasi, keterampilan

wirausaha, pengetahuan teknologi dan nilai-nilai yang diperlukan untuk modernitas

yang absen dari masyarakat yang 'mengembangkan', mereka dapat menyebar dari

luar, mungkin karena beberapa bentuk bantuan, asalkan ada cukup, dan cukup kuat,

agen perubahan adat untuk bertindak sebagai katalis dan membawa seluruh

masyarakat dengan mereka, meskipun enggan.

Menurut gagasan pembangunan tergantung, sementara pertumbuhan

ekonomi telah terjadi di beberapa negara pinggiran, pembangunan tersebut telah

menghasilkan fitur yang tidak diinginkan yang dibedakan dari pengembangan

kapitalis di inti. Tidak adanya modal yang cukup, dan investasi rendah berikutnya

dan produktivitas, menghasilkan pinggiran terjebak dalam lingkaran setan

kemiskinan (Mydral 1957), dengan pariwisata perifer dikendalikan dan

dimanfaatkan oleh 'daerah inti industri (Keller, 1987). Akibatnya, evolusi

pariwisata di banyak tujuan Pulau cocok pola neo-kolonialisme dan ketergantungan

ekonomi, di mana' masyarakat Barat metropolitan kaya 'sangat mendominasi bisnis

perjalanan di bawah-dikembangkan tujuan dengan memanfaatkan sumber daya

mereka melalui pengembangan 'kantong-kantong pariwisata', seperti Matthews

(1977) telah melaporkan mengenai kepulauan Karibia. Situasi digambarkan ini

!

!

73!

dalam model kantong pariwisata di negara-negara berkembang. Dia menunjukkan

bahwa pariwisata di negara-negara berkembang spasial terkonsentrasi dan

terorganisir dalam ekonomi metropolitan, biasanya ibu kota, di mana "markas

perusahaan pariwisata metropolitan dan perusahaan non-pariwisata terkait

berlokasi". Sejak perusahaan metropolitan sebenarnya terletak di dalam pasar

wisata utama mereka memiliki kontak langsung dengan wisatawan, mereka

mendominasi aspek utama dari industri, seperti teknologi, pemasaran, harga produk

dan desain, dan dengan demikian, mereka mengontrol link dalam rantai arus

wisatawan (Wilkinson, 1997). Markas asing negara pariwisata menghasilkan

mengatur paket tour (transportasi, akomodasi dan wisata) dan oleh karena itu ada

"kapasitas sektor pariwisata yang dominan untuk mengendalikan pengeluaran

wisatawan melalui kontrol gerakan wisata, dengan mengesampingkan relatif

produsen kecil sektor ".

Satu-satunya aspek yang tidak terkontrol oleh kantor pusat asing beberapa

pola konsumsi wisatawan selama tinggal mereka, misalnya barang yang mereka

beli, hiburan, dan layanan lainnya. Akibatnya, lokus kontrol atas proses

pembangunan dan sumber daya lokal bergeser dari orang-orang yang paling terkena

dampak pembangunan, masyarakat tuan rumah, ke negara-negara pariwisata

menghasilkan, dengan efek buruk pada lingkungan, masyarakat dan ekonomi.

Masyarakat setempat menemukan diri mereka "terperangkap dalam sistem yang

terintegrasi secara global penggunaan sumber daya di mana mereka tidak dapat

melakukan kontrol" dan mereka menjadi "sasaran pengambilan keputusan top-

down oleh badan-badan elitis eksogen kepada masyarakat" (Brohman, 1996).

!

!

74!

Paradigma ketergantungan disajikan dalam model kantong Britton mungkin

akan dikritik karena diarahkan hanya satu segmen pasar pariwisata, paket wisata.

Akibatnya, mengabaikan pentingnya wisatawan individu dan domestik bagi

perekonomian dan kesejahteraan daerah tujuan. Selain itu, teori ketergantungan

mengabaikan pentingnya institusi domestik, khususnya pemerintah daerah dan

nasional, dan akibatnya badan-badan mempengaruhi proses pembangunan industri.

Gagal untuk merumuskan resep alternatif untuk pengembangan pariwisata di

negara-negara berkembang (Oppermann dan Chon 1997) dan mengabaikan fakta

bahwa dalam beberapa kasus perusahaan lokal negara-negara berkembang

mengendalikan aspek utama dari industri pariwisata mereka, misalnya perusahaan

akomodasi di Jamaika (Wilkinson, 1997).

Paradigma ketergantungan telah mengabaikan aspek domestik pariwisata di

negara-negara berkembang, seperti yang digambarkan model kedua Britton ini:

model struktural pariwisata di negara-negara berkembang. Britton mencoba

menjelaskan bahwa ketergantungan tidak ada hanya antara negara-negara

metropolitan dan berkembang, tetapi juga di negara-negara berkembang, antara

pusat-pusat kota yang lebih maju dan daerah perifer. Pengembangan pariwisata

tidak berkembang dalam ruang kosong tapi biasanya berkembang di ibukota dan

kota-kota besar dengan kedekatannya dengan bandara internasional. Perusahaan

yang berlokasi di pusat-pusat perkotaan negara-negara berkembang memiliki

kemampuan finansial dan dukungan politik untuk berinvestasi di daerah perifer.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini mengendalikan industri dari pinggiran,

mengurangi lebih lanjut manfaat ekonomi dari daerah perifer.

!

!

75!

Pendekatan tersebut gagal untuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat

setempat dan pentingnya pelestarian lingkungan dan budaya dalam pembangunan.

Akibatnya, pendekatan yang lebih kontemporer berasal, pendekatan pembangunan

berkelanjutan. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk

mengarahkan perubahan dari pembangunan menuju 'masa depan yang lebih ideal

dan lebih hijau' (Woodcock dan Francis, 1994).

Meskipun kepedulian terhadap lingkungan merupakan fenomena baru,

pembusukan lingkungan adalah fenomena berabad-abad. Selanjutnya konsep

pembangunan berkelanjutan telah didefinisikan dalam banyak cara. Definisi yang

paling banyak diterima dari pembangunan berkelanjutan telah diberikan oleh

Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan dalam Laporan Brundland

'Our Common Future', menggambarkannya sebagai:

Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri ... (Ini adalah) proses perubahan di mana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan semua selaras dan meningkatkan baik potensi saat ini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (WCED, 1987). Dari definisi di atas jelas bahwa pembangunan berkelanjutan, seperti dengan

semua pendekatan pembangunan lainnya, adalah proses perubahan. Namun,

pendekatan ini menekankan pelestarian sumber daya dan menghormati kebutuhan

generasi mendatang. Aronsson (2004) menyarankan pembangunan berkelanjutan

sebagai "masalah secara bersamaan melestarikan, kekayaan spesies dan keragaman

di daerah alam, dan berusaha untuk mengembangkan sebuah komunitas untuk

mencapai kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang". Definisi membayar

!

!

76!

perhatian khusus pada kepuasan kebutuhan manusia, khususnya kebutuhan pokok

kaum miskin di dunia, seperti makanan yang cukup, air bersih, tempat tinggal,

pakaian dan pekerjaan, serta aspirasi manusia normal untuk hal-hal yang

berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik, seperti standar hidup yang lebih

tinggi, pilihan konsumen lebih besar, lebih keamanan dan meningkatkan

kesempatan liburan (Hunter dan Green, 1995). Dimana kebutuhan dasar tidak

terpenuhi, pembangunan berkelanjutan membutuhkan pertumbuhan ekonomi

sebagai senjata dalam memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Hanya dengan

pertumbuhan ekonomi, dan di bawah kondisi meningkatkan potensi produktif dan

memastikan peluang yang adil bagi semua, adalah kemampuan untuk 'mengurangi

kemiskinan dan mengatasi ancaman lingkungan sukses.

Sebagai sebuah satu kesatuan sistem kepariwisataan, destinasi pariwisata

umumnya dikembangkan dengan sejumlah pendekatan dan model. Pendekatan dan

model yang digunakan umumnya bersifat umum dan dapat dilakukan secara

mandiri dan gabungan antara model yang satu dengan model yang lain. Mengacu

kepada Prasiasa (2013), model pengelolaan destinasi wisata dibedakan atas.

1) Unsur Pengelola dari Pranata Kemasyarakatan Lokal. Model ini melibatkan

pranata kemasyarakatan lokal sebagai pengelola utama, sedangkan pemerintah

dan pelaku pariwisata sebagai mitra. Semua yang terlibat saling melengkapi

kekurangan masing – masing mitra, sehingga pengelolaan menjadi satu

kesatuan yang utuh dan terpadu. Dalam konteks ini terjadi pemberdayaan

masyarakat melalui pranata kemasyarakatan lokal. Kelemahan model ini

!

!

77!

adalah pranata kemasyarakatan lokal lemah dalam pengelolaan destinasi

pariwisata.

2) Unsur pengelola Pelaku Pariwisata. Pada model ini, pelaku pariwisata sebagai

pengelola utama, sedangkan masyarakat dan pemerintah menjadi mitra kerja.

Kelemahan model ini adalah masyarakat sering dijadikan objek komodifikasi,

pemberdayaan masyarakat relatif sedikit, dan adanya potensi konflik antara

pelaku pariwisata dengan masyarakat.

3) Unsur pengelola pemerintah. Pada model ini fungsi pemerintah sebagai

pengelola destinasi pariwisata dapat berwujud badan usaha milik negara, UPT,

Badan Usaha Milik Daerah atau BLU. Kelemahan model ini adalah partisipasi

masyarakat terbatas, keuntungan yang dinikmati masyarakat cukup kecil, dan

masyarakat sulit melakukan kontrol

4) Unsur pengelola berupa badan pengelola. Model ini mengetengahkan

keterpaduan antara pranata kemasyarakatan lokal, pelaku pariwisata dan

pemerintah. Semua unsur terlibat dalam pengelolaan Destinasi pariwisata

berdasarkan peranannya masing – masing yang disepakati bersama.

D. Pemasaran Pariwisata

Strategi pemasaran menurut Marpaung (2002a) adalah dasar dari seluruh

kebijaksanaan perusahaan, karena strategi pemasaran merupakan basis dari

penentuan serta memberikan pengarahan bagi keputusan perusahaan. Rencana

perusahaan juga berisi rencana rancangan tindakan yang perlu di ambil bagi setiap

elemen dari marketing mix. Sehingga tugas dari seorang marketing tidak hanya

terkait pada pengambilan keputusan operasional, melainkan juga harus terlibat

!

!

78!

dalam rencana-strategi jangka panjang.

Hubungan antara strategi pemasaran dengan strategi kebijaksanaan

perusahaan dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Misi organisasi pariwisata, misi suatu organisasi pariwisata merupakan rencana

jangka panjang yang ingin dicapai disertai dengan tindakan-tindakan yang

sesuai dengan target yang ingin dicapai tersebut.

2) Kebijaksanaan perusahaan, merupakan penjabaran misi organisasi yang

dituangkan kedalam bentuk target-target yang lebih spesifik dari tiap misi yang

akan dicapai dalam jangka waktu tertentu.

3) Rencana strategi perusahaan, adalah pernyataan langkah-langkah pelaksanaan

dan pemanfaatan sumber daya secara detail. Strategi alternatif pemasaran

pariwisata: market penetration, market development, new product

development. Market penetration dicapai dengan meningkatkan produktivitas

dan mengungkit masalah pemasaran, market development dilakukan melalui

proses mengidentifikasikan pelanggan baru untuk produk-produk yang akan

dijual, dan strategi new product development bertujuan memperluas basis pasar

dengan meng-embangkan produk baru.

Dalam menentukan suatu stategi pemasaran, perlu adanya manajemen

pemasaran dari produk pariwisata yang hendak ditawarkan pada wisatawan.

Manajemen pemasaran menurut Marpaung (2002b) adalah proses dari program-

program analisis, perencanaan, pengembangan pelaksanaan, pengkoordinasian dan

pengawasan yang melibatkan pemikiran, penetapan harga, promosi dan distribusi

produk dan pelayanan serta desain ide-ide untuk menciptakan dan menambah

!

!

79!

beneficial enchanges melalui target pasar untuk pencapaian tujuan organisasi. Guna

membentuk suatu program strategi pemasaran, menurut Marpaung (2002b) perlu

diperhatikan.

1) Membuat tujuan dan sasaran yang spesifik dengan memberikan target pasar

yang akan diraih. Tujuan ini harus dapat dimonitor dan dievaluasi setiap waktu,

2) Membuat keputusan mengenai strategi pemasaran secara menyeluruh dengan

pertimbangan keinginan pasar dan sedemikian rupa untuk mencapai

keuntungan sesuai dengan target pasar yang telah ditetapkan, dan

3) Membuat keputusan mengenai taktik pemasaran (dalam tahap operasional)

untuk mendukung strategi yang telah dibuat.

Selanjutnya ditambahkan oleh Marpaung (2002a) hal-hal yang terkait dalam

membentuk formula strategi pemasaran adalah sebagai berikut.

1) Product Mix. Product mix membutuhkan analisis mengenai produk dan pasar-

pasarnya.

2) Pricing. Penentuan harga harus menjadi bagian dari strategi pemasaran

3) Promotion Mix. Harus diperhatikan mengenai bauran promosi ini dalam

membuat strategi pemasaran, karena hal ini sangat mempengaruhi pasar untuk

mau mengambil produk (berperan dalam customers buying decision process),

dan

4) Distribution/ Place. Hal yang penting untuk dijawab dalam pendistribusian

produk adalah; Jalur-jalur mana yang paling produktif? Adakah dibutuhkan

jalur produk yang baru? Pendistribusian produk ini harus didukung oleh

pelayanan informasi, materi publikasi, jenis promosi, dan lain-lain.

!

!

80!

Pemasaran pariwisata menurut Marpaung (2002b) mencakup; menemukan

apa yang menjadi keinginan konsumen (market research), mengembangkan

pemberian pelayanan yang sesuai kepada wisatawan (product planning),

pemberitahuan tentang produk yang dibuat (advertising and promotion), dan

memberikan instruksi di mana mereka dapat memperoleh produk-produk tersebut

(channies of distribution-tout operator and travel agent). Melalui rencana

pemasaran, menurut Marpaung (2002b) akan diperoleh banyak keuntungan, seperti.

1) Penganalisaan lingkungan pemasaran,

2) Mengidentifikasikan ancaman dan peluang pasar,

3) Mengidentifikasikan kekurangan dan kelebihan unit bisnis,

4) Menjelaskan misi dari unit bisnis,

5) Memberikan arah pengembangan yang jelas,

6) Memberikan gambaran mengenai strategi dalam menghadapi pesaing dan

perubahan kondisi pasar, memberikan penilaian bagaimana seluruh fungsi-

fungsi bidang-bidang usaha terintegrasi dalam mencapai tujuan,

7) Mencantumkan batas waktu pencapaian target dan pembagian tugas dan

tanggung jawab, dan

8) Mengidentifikasikan sumber daya yang digunakan.

Selanjutnya ditambahkan oleh Marpaung (2002a) komponen-komponen

yang terkandung dalam rencana pemasaran adalah.

1) Analisis lingkungan,

2) Analisis SWOT,

3) Misi dan tujuan,

!

!

81!

4) Strategi pemasaran,

5) Taktik-taktik operasional,

6) Pemanfaatan sumber daya dan fungsinya, dan

7) Evaluasi dan control.

Studi kelayakan pasar atau Marketing Feasibility Study (MFS) merupakan

satu tahap yang vital dalam suatu rancangan pariwisata. Tahapan ini membantu

para pembuat keputusan untuk mengidentifikasikan apakah ada gap antara

antisipasi supply dan dilakukan dengan jumlah permintaan (demand).

Perubahan teknologi secara langsung akan mempengaruhi persaingan dalam

mencapai pengurangan biaya, pemberian pelayanan yang lebih cepat dan lebih baik

kepada konsumen dan kemungkinan penanganan yang efektif terhadap peningkatan

jumlah transaksi yang terjadi. Dengan teknologi, maka dalam proses produksi akan

mengalami penekanan biaya, waktu yang efisien tanpa mengurangi kualitas produk,

bahkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produk serta yang utama

membantu kelancaran proses administrasi. Lima prinsip dasar bagi perencanaan

strategi pemasaran meliputi: identifikasi strategi-strategi inti pemasaran,

pengumpulan fakta-fakta yang akurat, keberhasilan penerapan strategi ialah refleksi

dari pada situasi pasar, memfokuskan strategi pemasaran pada pemasaran, distribusi

dan produksi, dan memperhatikan faktor lingkungan.

Menurut Marpaung (2002a) istilah penetrasi atau penembusan pasar

memiliki 3 pengertian, yaitu: perbandingan dari para pemakai pasar (market users)

dalam periode tertentu dengan total target pasar-pasar potensial; nilai rata-rata

produk atau pelayanan baru yang diterima pasar; dan dalam strategi pemasaran,

!

!

82!

dimana strategi pasar digambarkan sebagai upaya untuk memperluas penjualan

produk terbaru dalam pasar yang baru. Melalui penetrasi pasar akan banyak

keuntungan yang akan diperoleh, diantaranya.

1) Meningkatkan market share

2) Merupakan suatu strategi yang dapat segera dilaksanakan di lapangan dengan

dampak yang segera nampak,

3) Merupakan analisa mengenai strategi praktis dalam menghadapi pesaing

dengan berhasil, dan

4) Biaya yang lebih murah dibandingkan strategi lainnya.

Pembuatan anggaran pemasaran memberikan tujuan penting; mendorong

untuk mengkoordinasikan mengenai sumber daya dan proyek, membantu

memberikan definisi mengenai standar-standar yang dibutuhkan dalam keseluruhan

sistem pengawasan, sebagai pedoman dalam menjelaskan sumber daya dan

pengharapan kegiatan wisata, dan memberikan kemudahan dalam mengevaluasi

keberadaan/penampakan manajer dan unit-unit kegiatan usaha.

Marketing audit adalah pemeriksaan sistematis dari suatu organisasi

mengenai tujan pemasaran, strategi, organisasi, berikut performance-nya.

Pemeriksaan ini dapat dilaksanakan baik oleh orang-orang yang ada dalam

organisasi ataupun di luar organisasi, misalnya oleh konsultan. Salah satu cara dari

audit pemasaran adalah check list approach, dengan cara ini maka auditor tidak

perlu lagi berpikir ulang atau menulis ulang hal-hal yang sudah terjadi dan

meyakinkan bahwa pokok-pokok penting telah terawasi. Audit pemasaran penting

sebagai bahan pertimbangan sebelum perusahaan mengambil keputusan (penting)

!

!

83!

untuk melakukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.

E. Industri Pariwisata dan Kelembagaan

Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan

terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta

berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa

kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah

pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21

adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab, 1996).

Pitana, Sirtha, Anom, et.al, (2005) dalam “ Hospitality Industry and

Tourism Education (The Case of Indonesia) menyatakan “ Tourism has been one of

the biggest industries in the world, seen from various indicators, such as labor

absorption, people movement, and income earned. For a number of countries and

territories, tourism has been the biggest contributor in the formation of their gross

domestics products”.

Pemerataan pembangunan perlu mendapat perhatian serius karena menurut

kajian Colman dan Nixon (1978) bahwa pembangunan yang menyebabkan

peningkatan dibidang ekonomi, bila tidak dibarengi dengan penyebaran yang

merata antar mesyarakat, maka pembangunan tersebut dikatakan gagal. Ini telah

terbukti saat negara Indonesia kolap akibat tidak meratanya dampak positif dari

pembangunan. Konglomerasi telah melemahkan sendi-sendi perekonomian

Indonesia. Konsep pembangunan yang mengagungkan paradigma pertumbuhan,

yang percaya sepenuhnya dengan tricle down effect, dimana konsep dasarnya

adalah dengan mengembangkan industri besar, secara otomatis akan memberikan

!

!

84!

pengaruh positif pada perusahaan kecil di bawahnya atau masyarakat di sekitarnya.

Ternyata kajian empiris menunjukkan bahwa asumsi teori pertumbuhan ini tidak

sepenuhnya benar karena implementasinya ada yang tidak sesuai dengan harapan.

Pariwisata pernah dipromosikan sebagai kegiatan ekonomi bersih dan tidak

berbahaya; bebas dari dampak lingkungan dikaitkan dengan industri lain, seperti

manufaktur, pertambangan, dan pertanian intensif. Pengembangan pariwisata

Namun, dampak fisik kaki, sampah, kemacetan, lebih-bangunan dan dampak sosial

dari kunjungan massa pada budaya dan masyarakat adat, telah menyebabkan

dipertanyakan, dan pariwisata akan dianggap sebagai 'ancaman terhadap

keberlanjutan' dari banyak daerah (Butler, 1992; Long, 1993). Akibatnya doktrin

"pariwisata memelihara angsa yang meletakkan telur emas" dan gagasan bahwa

"ada hubungan simbiosis antara pariwisata dan lingkungan" yang dipertanyakan.

Namun demikian, tujuan wisata saat ini tergantung pada lingkungan fisik yang

bersih, lingkungan yang dilindungi dan pola budaya khas masyarakat setempat.

Tujuan yang tidak menawarkan kualitas lingkungan biasanya menderita penurunan

kualitas dan wisata digunakan. Oleh karena itu, setiap kegiatan ekonomi, termasuk

pariwisata, harus memastikan kapasitas untuk kelanjutan. Beberapa pola

pengelolaan pariwisata di suatu negara dapat dijadikan referensi dengan

penyesuaian berdasarkan skala dan kepentingan sebagai berikut.

1) Scotland Tourism Board

STB merupakan lembaga yang bekerjasama dengan pelaku usaha pariwisata,

agen perjalanan dan otoriras lokal dalam mewujudkan kualitas berwisata

di Skotlandia dengan memberdayakan sumberdaya wisata yang ada. Langkah

!

!

85!

ini ditempuh melalui pemasaran pariwisata Skotlandia ke seluruh dunia,

menyediakan informasi dan arahan kepada wisatawan sehingga wisatawan

mendapatkan pengelaman yang terbaik saat berkunjung, memberikan jaminan

kualitas berwisata kepada wisatawan dan dukungan regulasi terhadap pelaku

industri pariwisata lokal dan pada akhirnya mewujudkan sinergi antara

kebutuhan wisatawan, pelaku industri pariwisata dan pemerintah.

2) Maldives Tourism Department

MTD bertugas untuk menyusun dan mengimplementasikan kebijakan

pariwisata, perencanaan jangka panjang pengembangan pariwisata dalam skala

nasional, mengkoordinasikan kegiatan pengembangan yang berlangsung,

membuat sistem administrasi dalam standard fasilitas dan pelayanan,

memastikan adanya pengembangan yang tetap memperhatikan lingkungan,

menyusun data statistik pariwisata, melakukan penelitian terkait

pengembangan pariwisata, perencanaan dan pengembangan sumber daya

manusia dibidang pariwisata, menyusun standar kompetensi dan

pelatihan untuk tenaga kerja pariwisata, penyewaan lahan untuk

kegiatan pariwisata dan pendaftaran secara resmi fasilitas dan operator

terkait pariwisata.

3) Amsterdam Tourism and Convention Board

ATCB merupakan lembaga yang menyusun strategi pemasaran dan

komunikasi dalam industri pariwisata untuk mendorong tingkat kunjungan ke

Amsterdam melalui kegiatan promosi, inovasi produk, penelitian dan press-

trips. Kegiatan ATCB bekerjasama dengan Amsterdam Partner, Amsterdam

!

!

86!

Convention Board, Amsterdam Cruise Port. Kegiatan ATCB ditujukan untuk

mengoptimalkan jumlah pengeluaran wisatawan yang pada akahirnya akan

mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan.

Beberapa kegiatan ATCB lainnya adalah pembangunan citra pariwisata,

kegiatan pemasaran yang berkesinambungan dan pada tahun 2009 ATCB

menetapkan standar minimum kunjungan ke Amsterdam akibat dari krisis

ekonomi di Eropa. !

4) Victoria Tourism Board

VTB merupakan partner industri pariwisata yang bertujuan untuk

mengembangkan potensi pasar wisatawan lokal dan dunia sesuai dengan

karakteristik sumber daya pariwisata Victoria. Tourism Victoria merupakan

motor pemerintah dalam kegiatan pariwisata dan industri perjalanan

dengan tujuan memasarkan Victoria sebagai destinasi pariwisata dalam skala

nasional dan internasional, meningkatkan jumlah kunjungan, meningkatkan

pemanfaatan fasilitas pariwisata, meningkatkan kualitas fasilitas

pariwisata, mendukung dan mengkoordinasikan jumlah fasilitas wisata,

menyediakan cara yang efektif dan efisien dalam investasi di bidang parwisata.

Salah satu tujuan pokok VTB adalah memastikan implementasi kebijakan dan

aturan pemerintah dalam kegiatan pariwisata

5) CTDC-Canada

Canadian Tourism Development Corporation (CTDC) merupakan lembaga

independen yang ikut serta dalam usaha menumbuhkan pengembangan industri

pariwisata di Kanada. CTDC bekerjasama dengan rekan industri untuk

!

!

87!

menyediakan tenaga ahli pariwisata bagi anggotanya, menyediakan

peluang pemasaran, konsultasi dan dampingan dalam pengelolaan kegiatan dan

fasilitas wisata. Misi dari CTDC adalah memfasilitasi pertumbuhan industri

pariwisata yang baik (kuat) melalui kerjasam a dengan semua partner

strategis untuk memberikan dampak positif dalam pengembangan kegiatan

pariwisata. CTDC tidak di danai oleh pemerintah atau instansi lain terkait di

bidang pariwisata.

6) Lucerne Tourism Ltd.

Lucerne Tourism Ltd. merupakan pusat kompetensi dalam kegiatan

positioning, kehumasan, pemasaran dan menawarkan jasa pelayanan pariwisata

di sekitar destinasi Lucerne-Wilayah Danau Lucerne, Swiss.

F. Pariwisata Kerakyatan

Prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan

masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam

berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-

besarnya diperuntukkan bagi masyarakat. Sasaran utama pengembangan

kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat).

Konsep Community Based Development lazimnya digunakan oleh para perancang

pembangunan pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi

secara aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata. Tujuan yang

ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan

meletakkan nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan.

Community Based Development adalah konsep yang menekankan kepada

!

!

88!

pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-nilai dan aset yang

mereka miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup.

Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut haruslah secara mandiri

melakukan mobilisasi asset dan nilai tersebut menjadi daya tarik utama bagi

pengalaman berwisata wisatawan. Melalui konsep Community Based Tourism,

setiap individu dalam komunitas diarahkan untuk menjadi bagian dalam rantai

ekonomi pariwisata, untuk itu para individu diberi keterampilan untuk

mengembangkan small business.

Menurut Suansri (2003), ada beberapa prinsip dari community based

tourism yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut.

1) Mengenali, mendukung, dan mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam

pariwisata.

2) Melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata

dalam berbagai aspeknya.

3) Mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan.

4) Meningkatkan kualitas kehidupan.

5) Menjamin keberlanjutan lingkungan.

6) Melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal.

7) Mengembangkan pembelajaran lintas budaya.

8) Menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia.

9) Mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional

kepada anggota masyarakat.

10) Memberikan kontribusi dengan presentase tertentu dari pendapatan yang

!

!

89!

diperoleh untuk proyek pengembangan masyarakat.

11) Menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.

Pembangunan community based tourism terdapat 5 aspek yang harus

diberdayakan, yakni.

1) Sosial asset yang dimiliki oleh komunitas tersebut, seperti : budaya, adat-

istiadat, sosial network, gaya hidup;

2) Sarana dan prasarana, bagaimana sarana dan prasarana objek wisata tersebut

apakah sudah ideal dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan;

3) Organisasi, apakah telah ada organisasi masyarakat yang mampu secara

mandiri mengelola objek dan daya tarik wisata tersebut;

4) Aktivitas ekonomi, bagaimanakan aktivitas ekonomi dalam rantai ekonomi

pariwisata di komunitas tersebut, apakah secara empiris telah menimbulkan

distribution economic benefit di antara masyarakat lokal, ataukah manfaat

tersebut masih dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu;

5) Proses pembelajaran, satu hal yang tak kalah pentingnya dari komunitas

tersebut dalam mewujudkan objek dan daya tarik wisata.

Dalam buku pegangan yang diterbitkan REST, dimuat hal-hal konseptual

dan praktis dari CBT, Menurut REST, secara terminologis, pelibatan partisipasi

masyarakat dalam proyek pengembangan pariwisata mempunyai banyak nama,

yakni Community-Based Tourism (CBT), Community-Based Ecotourism (CBET),

Agrotourism, Ecoand Adventure Tourism dan homestay. Dikalangan akademik,

belum ada konsensus terhadap istilah-istilah dari beragam tipe pariwisata ini.

Adapun definisi CBT adalah pariwisata yang menyadari kelangsungan

!

!

90!

budaya, sosial, dan lingkungan. Bentuk pariwisata ini di kelola dan dimiliki oleh

masyarakat untuk masyarakat, guna membantu para wisatawan untuk

meningkatkan kesadaran mereka dan belajar tentang masyarakat dan tata cara hidup

masyarakat lokal (local way of life). Dengan demikan, CBT sangat berbeda dengan

pariwisata massa (mass tourism). CBT merupakan model pengembangan

pariwisata yang berasumsi bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-

nilai kebutuhan masyarakat sebagai upaya membangun pariwisata yang lebih

bermanfaat bagi kebutuhan, inisiatif dan peluang masyarakat lokal (Pinel: 277)

CBT bukanlah bisnis wisata yang bertujuan untuk memaksimalkan profil bagi para

investor. CBT lebih terkait dengan dampak pariwisata bagi masyarakat dan sumber

daya lingkungan (environmental resources). CBT lahir dari strategi pengembangan

masyarakat dengan menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat

kemampuan organisasi masyarakat rural/lokal. Dalam penerapan konsep CBT di

desa wisata, sejumlah aspek yang menjadi bahan pertimbangan penyusunan model

pariwisata berbasis masyarakat yaitu karakter sosial, budaya, potensi budaya,

tingkat partisipasi masyarakat (Isnaini Muallisin, 2007).! Meskipun menuntut

banyak prasyarat dan prakondisi, pergulatan untuk menjadikan perkembangan

pariwisata dunia berkelanjutan (sustainable) bagi negara-negara Dunia III melalui

pembangunan pariwisata berbasis komunitas bukan hanya merupakan sebuah

harapan melainkan sebuah peluang. Ia memperoleh rasionalnya di dalam properti

dan ciri-ciri unik yang dimilikinya, yang antara lain dan terutama meliputi paling

sedikit empat hal berikut (Nasikun, 2001). Pertama, oleh karena karakternya yang

lebih mudah diorganisasi di dalam skala yang kecil, jenis pariwisata ini pada

!

!

91!

dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan,

secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang

dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang berskala massif. Kedua,

pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan

obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil, dan oleh karena itu dapat di

kelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal, menimbulkan

dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian memiliki peluang yang

lebih besar untuk diterima oleh masyarakat. Ketiga, berkaitan sangat erat dan

sebagai konsekuensi dari keduanya, lebih dari pariwisata konvensional yang

bersifat massif pariwisata alternatif yang berbasis komunitas memberikan peluang

yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di dalam

proses pengambilan keputusan keputusan dan di dalam menikmati keuntungan

perkembangan industri pariwisata, dan oleh karena itu lebih memberdayakan

masyarakat. Keempat, “last but not least”, pariwisata alternatif yang berbasis

komunitas tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya “keberlanjutan

kultural” (cultural sustainability), akan tetapi secara aktif bahkan berupaya

membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain

melalui pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan. Dalam

pembangunan pariwisata berbasis komunitas, yang terpenting adalah bagaimana

memaksimalkan peran serta masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan

pariwisata itu sendiri. Masyarakat diposisikan sebagai penentu, serta keterlibatan

maksimal masyarakat mulai dari proses perencanaan sampai kepada

pelaksanaannya. Masyarakat berhak menolak jika ternyata pengembangan yang

!

!

92!

dilakukan tidaklah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat itu

sendiri. Dengan demikian tidaklah berlebihan pariwisata berbasis masyarakat

dijadikan sebagai salah satu bentuk paradigma baru pembangunan pariwisata yang

mengusung prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development)

demi pencapaian pendistribusian kesejahteraan rakyat secara lebih merata.

1. Model Pengembangan CBT

Konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat pertama kali

dikembangkan oleh Murphy (1985), yang menyatakan bahwa produk pariwisata

secara lokal diartikulasikan dan dikonsumsi, produk wisata dan konsumennya harus

visible bagi masyarakat lokal yang seringkali sangat sadar terhadap dampak

turisme. Untuk itu, pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal, sebagai bagian

dari produk turisme, lalu kalangan industri juga harus melibatkan masyarakat lokal

dalam pengambilan keputusan. Sebab, masyarakat lokallah yang harus

menanggung dampak kumulatif dari perkembangan wisata dan mereka butuh untuk

memiliki input yang lebih besar, bagaimana masyarakat dikemas dan dijual sebagai

produk pariwisata (Murphy, 1985).

Getz dan Jamal (1994) mengkritik model Murphy, sebab tidak menawarkan

blueprint untuk mengimplementasikannya dalam bentuk konkrit. Konsep Murphy

dalam implementasinya masih terdapat berbagai masalah. Partisipasi publik di lihat

sebagai alat untuk memelihara integritas dan otentisitas dan juga kemampuan

kompetitif produk pariwisata (Gunn, 1994). Tetapi, ketika partisipasi public

muncul, perencanaan tujuan pariwisata tetap terpusat pada inters-inters komersial

dan pelibatan masyarakat sangat kecil. Dan tujuan dari perencanaan pariwisata

!

!

93!

model ini lebih terfokus pada upaya melestarikan keunikan dan daya tarik wisata,

dan pada faktanya lebih top-down, bersifat bisnis, dan dengan pendekatan yang

berorientasi ekonomi (bahaire and Elliott-White, 1999).

Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku

bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan

masyarakat didalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk

wisata. D’amore memberikan guidelines model bagi pengembangan pariwisata

berbasis masyarakat, yakni; Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang

dilakukan masyarakat lokal (resident), Mempromosikan dan mendorong

masyarakat lokal, Pelibatan masyarakat lokal dalam industry, Investasi modal lokal

atau wirausaha sangat dibutuhkan, Partisipasi masyarakat dalam event-event dan

kegiatan yang luas, Produk wisata untuk menggambarkan identitas lokal. Mengatasi

problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh

Poin-poin diatas merupakan ringkasan dari community approach.

Masyarakat lokal harus “dilibatkan”, sehingga mereka tidak hanya dapat menikmati

keuntungan pariwisata dan selanjunya mendukung pengembangan pariwisata yang

mana masyarakat dapat memberikan pelajaran dan menjelaskan secara lebih rinci

mengenai sejarah dan keunikan yang dimiliki. Kemudian pada 1990-an, seiring

dengan pengembangan interest dalam mengembangkan produk pariwisata yang

berkesinambungan, kebutuhan untuk menggunakan bentuk partisipasi masyarakat

menjadi sesuatu yang sangat urgen. Bentuk partisipasi masyarakat menjadi esensil

bagi pencapaian pariwisata yang berkelanjutan dan bagi realisasi pariwisata yang

berkualitas. Getz dan Jamal (1994) mengembangkan pondasi teorintis pelibatan

!

!

94!

masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata dan menganalisis

watak dan tujuan dari model kolaborasi (collaboration) yang berbeda dari model

kerjasama (cooperation). Mereka berdua mendefinisikan kolaborasi sebagai

“sebuah proses pembuatan keputusan bersama diantara stakeholders otonom dari

domain interorganisasi untuk memecahkan problem-problem atau me-manage isu

yang berkaitan dengan pariwisata (Getz dan Jamal, 1994). Proses kolaborasi

meliputi ; 1) Problem Setting dengan mengidentifikasi stakeholders kunci dan isu-

isu. 2) Direction Setting dengan berbagi interpretasi kolaboratif, mengapresiasi

tujuan umum. 3) strukturisasi dan implementasikan, 4) institusionalisasi. Supaya

pelaksanaan CBT dapat berhasil dengan baik, ada elemen-elemen CBT yang musti

diperhatikan, yakni: sumberdaya alam dan budaya,Organisasi-organisasi

masyarakat, manajemen, dan pembelajaran (Learning). Pembelajaran disini

bertujuan untuk membantu proses belajar antara tuan rumah (host Community) dan

tamu (Guest), mendidik dan membangun pengertian antara cara hidup dan budaya

yang beragam, meningkatkan kesadaran terhadap konservasi budaya dan

sumberdaya diantara turis dan masyarakat luas.

2. Prinsip-prinsip dari CBT

Prinsip-prinsip pengembangan CBT, meliputi 5 (lima) prinsip, antara lain:

1) Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (prinsip

konservasi dan partisipasi masyarakat)

Ekowisata yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata yang

“HIJAU dan ADIL” (Green & Fair) untuk kepentingan pembangunan

berkelanjutan dan konservasi, yaitu sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk

!

!

95!

menyediakan alternatif ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan

yang dilindungi, berbagi manfaat dari upaya konservasi secara layak (terutama bagi

masyarakat yang lahan dan sumberdaya alamnya berada di kawasan yang

dilindungi), dan berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian

dan dukungan terhadap perlindungan bentang lahan yang memiliki nilai biologis,

ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. Prinsip ini meliputi kriteria, antara lain:

a) Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan

kegiatan wisatawan pada sebuah daerah tujuan ekowisata di kelola sesuai

dengan batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam maupun sosial-

budaya Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan (listrik

tenaga surya, mikrohidro, biogas, dan lain-lain)

b) Mendorong terbentuknya ”ecotourism conservancies” atau kawasan ekowisata

sebagai kawasan dengan peruntukan khusus yang pengelolaannya diberikan

kepada organisasi masyarakat yang berkompeten.

2) Pengembangan institusi masyarakat lokal dan kemitraan (Prinsip partisipasi

masyarakat)

Aspek organisasi dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata

juga menjadi isu kunci: pentingnya dukungan yang profesional dalam menguatkan

organisasi lokal secara kontinyu, mendorong usaha yang mandiri dan menciptakan

kemitraan yang adil dalam pengembangan ekowisata. Beberapa contoh di lapangan

menunjukan bahwa ekowisata di tingkat lokal dapat dikembangkan melalui

kesepakatan dan kerjasama yang baik antara Tour Operator dan organisasi

masyarakat (contohnya: KOMPAKH, LSM Tana Tam). Peran organisasi

!

!

96!

masyarakat sangat penting oleh karena masyarakat adalah stakeholder utama dan

akan mendapatkan manfaat secara langsung dari pengembangan dan pengelolaan

ekowisata. Koordinasi antar stakeholders juga perlu mendapatkan perhatian. Salah

satu model percontohan organisasi pengelolaan ekowisata yang melibatkan semua

stakeholders termasuk, masyarakat, pemerintah daerah, UPT, dan sektor swasta,

adalah ”Rinjani Trek Management Board”. Terbentuknya Forum atau dewan

pembina akan banyak membantu pola pengelolaan yang adil dan efektif terutama di

daerah di mana ekowisata merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat

setempat. Prinsip partisipasi asyarakat, meliputi kriteria:

a) Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan Tour Operator untuk

memasarkan dan mempromosikan produk ekowisata; dan antara lembaga

masyarakat dan Dinas Pariwisata dan UPT

b) Adanya pembagian adil dalam pendapatan dari jasa ekowisata di masyarakat

c) Organisasi masyarakat membuat panduan untuk turis. Selama turis berada di

wilayah masyarakat, turis/tamu mengacu pada etika yang tertulis di dalam

panduan tersebut.

d) Ekowisata memperjuangkan prinsip perlunya usaha melindungi pengetahuan

serta hak atas karya intelektual masyarakat lokal, termasuk: foto, kesenian,

pengetahuan tradisional, musik, dan lain-lain.

3) Ekonomi berbasis masyarakat (Prinsip partisipasi masyarakat)

Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata.

Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana

yang di kelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah

!

!

97!

keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak

memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat

merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan turis, dan distribusi

manfaat di masyarakat lebih terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi

sebagai produk ekowisata di mana soerang turis mendapatkan kesempatan untuk

belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi

tersebut. Pihak turis dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan belajar satu

sama lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang

lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan orang Indonesia. Dalam

ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan pengalamannya

tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting dalam jasa

yangdiberikan kepada turis. Demikian juga seorang pemandu lokal akan merasakan

langsung manfaat ekonomi dari ekowisata, dan sebagai pengelola juga akan

menjaga kelestarian alam dan obyek wisata. Prinsip partisipasi masyarakat,

meliputi kriteria antara lain.

a) Ekowisata mendorong adanya regulasi yang mengatur standar kelayakan

homestay sesuai dengan kondisi lokasi wisata

b) Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai dengan

kondisi lokasi wisata

c) Ekowisata mendorong ketersediaan homestay

d) Ekowisata dan tour operator turut mendorong peningkatan pengetahuan dan

keterampilan serta perilaku bagi para pelaku ekowisata terutama masyarakat.

4) Prinsip Edukasi

!

!

98!

Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada

wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap

kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, Pusat Informasi menjadi hal yang

penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai

dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap

tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan acara

seni, kerajinan dan produk budaya lainnya. Prinsip edukasi meliputi kriteria.

a) Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan

upaya konservasi

b) Kegiatan ekowisata selalu beriringan dengan aktivitas meningkatkan kesadaran

masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

c) Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis/tamu menjadi

bagian dari paket ekowisata

d) Mengembangkan skema di mana tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan

konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungannya (stay &

volunteer).

5) Pengembangan dan penerapan rencana tapak dan kerangka kerja pengelolaan

lokasi ekowisata (prinsip konservasi dan wisata).

Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (=carrying

capacity) perlu diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak

negative terhadap alam (dan budaya) setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu

dipertimbangkan adalah: jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis; berapa

!

!

99!

sering lokasi yang “rentan” secara ekologis dapat dikunjungi; dan lain-lain. Bagian

isi dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga

nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata. Prinsip konservasi meliputi

kriteria.

a) Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan ruang dan

kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan melalui pelaksanaan sistem

bagian isi dan pengaturan waktu kunjungan

b) Fasilitas pendukung yang dibangun tidak merusak atau didirikan pada

ekosistem yang sangat unik dan rentan

c) Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin sesuai tradisi lokal, dan

masyarakat lokal terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan

d) Ada sistem pengolahan sampah di sekitar fasilitas umum.

e) Kegiatan ekowisata medukung program reboisasi untuk menyimbangi

penggunaan kayu bakar untuk dapur dan rumah

f) Mengembangkan paket-paket wisata yang mengedepankan budaya, seni dan

tradisi lokal.

g) Kegiatan sehari-hari termasuk panen, menanam, mencari ikan/melauk, berburu

dapat dimasukkan ke dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan wisatawan

pada cara hidup masyarakat dan mengajak mereka menghargai pengetahuan

dan kearifan lokal.

Pariwisata kerakyatan merupakan konsep pariwisata alternatif sebagai

antisipasi terhadap pariwisata konvensional. Pariwisata alternatif (alternative

tourism) mempunyai pengertian ganda, di satu sisi dianggap sebagai salah satu

!

!

100!

bentuk kepariwisataan yang ditimbulkan sebagai reaksi terhadap dampak-dampak

negatif dari pengembangan pariwisata konvensional. Di sisi lain dianggap sebagai

bentuk kepariwisataan yang berbeda dari pariwisata konvensional untuk menunjang

kelestarian lingkungan (Kodyat, 1996). Pariwisata alternatif merupakan pariwisata

yang berupaya untuk memberikan situasi saling pengertian, solidaritas dan keadilan

di antara wisatawan, pelaku pariwisata dan masyarakat lokal dan lingkungannya

(Sumarwoto, 1995).

2.2 Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Wells (1997) membedakan antara dampak ekonomi dari wisata alam, yang

ia mendefinisikan sebagai jumlah uang yang dihabiskan oleh alam turis dalam

perekonomian tentang wisata, akomodasi, makanan, souvenir, dan lain-lain, dan

nilai ekonomi total, yang meliputi manfaat ekonomi luas, konservasi yang dapat

dikaitkan dengan tujuan wisata alam. Penggunaan langsung oleh wisatawan adalah

hanya salah satu dari nilai-nilai ekonomi yang mengalir dari tujuan wisata alam

(Wells, 1997). Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah

kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat

pragmatis dan teknis. Pada kenyataannya semua hal dalam kehidupan masyarakat

Hindu-Bali khususnya, tidak bisa lepas dari peranan kearifan lokal.

Penelitian yang dilakukan oleh Komsan Suriya (2002) menggambarkan

bahwa perkembangan pariwisata telah mengakibatkan perubahan social dan

ekonomi yang terdiri atas perubahan pekerjaan dan pendapatan, pola pembagian

kerja, kesempatan kerja dan berusaha, perubahan lingkungan mencakup perubahan

pola guna lahan. Pada akhir penelitiannya Komsan Suriya menegaskan bahwa

!

!

101!

kegiatan pariwisata yang dilakukan yang berbasis masyarakat dapat memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Dalam

penelitiannya Konsam Suriya menjelaskan bahwa pelayanan jasa home stay yang

dilakukan oleh masyarakat yang lebih kaya memperoleh pendapatan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan pendapatan masyarakat yang lebih miskin.

Tujuan pelaksanaan penelitian adalah untuk mengetahui dampak langsung

dan tidak langsung terhadap peningkatan harga/tarif jasa pariwisata yang dikenakan

kepada wisatawan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa peningkatan

harga jasa wisata sangat berpengaruh terhadap perubahan jumlah kunjungan

wisatawan yang berakibat pada penurunan kondisi ekonomi desa. Disisi lain,

pelayanan jasa home stay yang dilakukan oleh masyarakat yang lebih kaya

memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan

masyarakat yang lebih miskin. Dalam penelitian ini juga diperoleh bahwa

penjualan souvenir memberikan manfaat ekonomi yang besar. Kondisi ini yang

mendorong perlunya promosi secara bersama oleh semua pihak terkait dengan

pariwisata berbasis masyarakat yang sedang dilaksanakan melalui souvenir.

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesamaan bahwa fokus penelitian

adalah penelitian pariwisata yang dilakukan berbasis masyarakat dan penelitian

dampak kegiatan pariwisata terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat utamanya

ekonomi atau pemenuhan kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian Komsan Suriya

ini dapat dijadikan rujukan hipotesis bahwa kegiatan pariwisata yang dilakukan

yang berbasis masyarakat dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

peningkatan pemenuhan kebutuhan/ekonomi masyarakat.

!

!

102!

Penelitian terkait dengan dampak kegiatan pariwisata dilakukan oleh

Angelica M. , et,all. Dengan judul “Social and environmental effects of ecotourism

in the Osa Peninsula of Costa Rica: the Lapa Rios case”. Penelitian ini membahas

bagaimana dampak operasional pelayanan wisata oleh Lapa Rios Eco-Lodge

terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat dan pelestarian lingkungan.

Penelitian ini menggunakan metode Nested-Scale Analysis yang diperkuat dengan

interview serta analisis remote sensing perbandingan pola guna lahan dan

penggundulan hutan yang terjadi. Berdasarkan hasil analisis, kegiatan pariwisata

yang dilakukan oleh Lapa Rios Eco-Lodge telah memberikan dampak positif secara

ekonomi, sosial dan lingkungan bagi wilayah sekitarnya. Penelitian ini

memperkuat perumusan hipotesis yang akan dilakukan, bahwa dengan adanya

pelibatan masyarakat dan persepsi yang baik dari masyarakat terkait kegiatan

pariwisata mengakibatkan dampak positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan

sekitar.

Mikkelsen dalam Soetomo (2006), mengatakan bahwa pembangunan pada

dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang

diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Penjabaran hubungan teoritis ini

diperkuat oleh penelitian Komsan Suriya dengan judul “Impact of Community-

based Tourism in a Village Economy in Thailand: An analysis with VCGE model”.

Sejumlah kasus pengelolaan pariwisata berbasis alam telah menjadi pelajaran yang

berharga bagi hubungan antara manusia dengan lingkungan. Rodger et al. (2007)

menyoroti kebutuhan untuk lebih memahami pertemuan antara pengunjung dan

satwa liar. Mereka mencatat bahwa pemahaman tentang konteks sosial dan

!

!

103!

lingkungan, pariwisata satwa liar umumnya harus memberikan kontribusi penting

bagi keberlanjutan satwa liar. Penelitian Chien-Chiang Lee, Chun-Ping Chang

(2008) membahas hubungan antara pembangunan pariwisata dengan pertumbuhan

ekonomi pada periode tahun 1990 – 2002. Hasil penelitian menggambarkan

bahwa pada skala global, terdapat hubungan substitusi antara pertumbuhan

ekonomi dengan pembangunan kepariwisataan. Di sebutkan oleh Chien-Chiang

Lee, Chun-Ping Chang bahwa pembangunan pariwisata memberikan dampak yang

lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Chien-Chiang Lee, Chun-Ping Chang

menggambarkan bahwa terdapat perbedaan besaran skala hubungan antara

sejumlah daerah di asia dan afrika yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah

daerah dalam pembangunan kepariwisataan.

Robin Nunkoo melakukan penelitian yang berjudul “Developing A

Community Support Model For Tourism” dengan cara membangun model

partisipasi masyarakat dalam pertukaran sosial. Robin Nunkoo menyimpulkan

bahwa dukungan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh pengharapan terhadap

keuntungan, perkiraan besaran biaya dan tingkat kepuasan masyararakat terhadap

pengelolaan pariwisata. Pengharapan keuntungan mempengaruhi kepuasan

masyarakat, kepercayaan kelembagaan, kemampuan pelayanan kegiatan wisata,

dan kondisi lingkungan.

Penelitian yang dilakukan Norman McIntyre dilakukan pada kawasan Asia-

Pasifik, Eropa, Samudera India dan Samudera Amerika. Norman McIntyre

menjabarkan bahwa kegiatan pariwisata pada daerah pesisir saat ini memiliki tren

yang sangat tinggi dalam perkembangannya. Norman McIntyre menggambarkan

!

!

104!

kegiatan pariwisata pesisir kedalam sejumlah morpologi, tipologi, aktivitas wisata,

tekanan lingkungan dan pengelolaan pesisir untuk tiap tipe kawasan pesisir baik

daerah pantai berpasir, daerah pasang surut atau daerah terumbu karang.

Kompleksitas pengelolaan dan perencanaan kawasan pesisir dijabarkan Norman

McIntyre sebagai sebuah area yang dimiliki oleh lintas sektor, lintas stakeholder,

dampak lingkungan yang luas dan serangkaian aspek lain yang berhubungan

dengan kawasan pesisir.

Penelitian Kurniadi (2009) dengan judul ” Analisis Strategi Pengembangan

Kawasan Ekowisata Ciwidey di Perum Perhutani Unit III – Bandung” membahas

pengembangan jasa layanan ekowisata Ciwidey yang dengan optimalisasi kesatuan

usaha wisata, usaha benih dan usaha lain. Peneliti membandingkan potensi

pengelolaan kawasan Perum Perhutani III untuk pengembangan hutan dan

pengembangan ekowisata. Metode digunakan dengan metode survei melalui

kegiatan wawancara dan FGD dengan berbagai pihak yang terkait dengan tema

kajian. Data yang digunakan meliputi data primer yang dikaji melalui wawancara,

diskusi (FGD), observasi, sedangkan data sekunder dilakukan melalui review

terhadap buku bahan bacaan, laporan, dan peraturan perundangan. Kegiatan dalam

penelitian ini antara lain ; melakukan identifikasi faktor, melakukan analisis faktor

eksternal, melakukan analisis faktor internal, melakukan analisis SWOT/TOWS,

melakukan analisis Portofolio dan selanjutnya mengkaji prioritas melalui analisis

QSPM.

Berdasarkan hasil SWOT dan analisa prioritas melalui analisis QSPM

dihasilkan beberapa alternatif strategi. Irianto (2011) menjabarkan bahwa kegiatan

!

!

105!

pariwisata telah memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan

ekonomi masyarakat dan pendapatan daerah berdasarkan penelitian yang dilakukan

di Gili Trawangan. Adanya kegiatan wisata juga telah memberikan dampak

ekonomi bagi masyarakat seperti peningkatan pendapatan, peningkatan kesempatan

kerja, dan peluang usaha (Achadiat Dritasto, 2013). Mengukur dampak ekonomi

suatu kegiatan wisata terhadap perekonomian masyarakat lokal dibagi menjadi dua

tipe, yaitu (Vanhove, 2005):

1. Keynesian Local Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan berapa besar

pengeluaran pengunjung berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat

lokal.

2. Ratio Incorne Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar dampak

langsung yang dirasakan dari pengeluaran pengunjung berdampak terhadap

perekonomian lokal. Pengganda ini mengukur dampak tidak langsung dan

dampak lanjutan (indirect).