View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis mencoba menggambarkan secara terperinci tentang
beberapa landasan teori yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan
penulis kaji. Teori-teori tersebut adalah aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik.
Aspek intrinsik meliputi, masalah dan tema, tokoh penokohan, latar, gaya bahasa
serta konflik feminisme. Pada aspek ekstrinsik ini penulis cenderung
memfokuskan pada kritik sastra feminisme.
A. Aspek intrinsik
1. Masalah dan Tema
Dalam KBBI masalah diartikan sebagai sesuatu yang harus diselesaikan
atau dipecahkan (TPK, 1999:1029). Masalah bersinonim dengan soal atau
persoalan. Masalah mempunyai arti yang berbeda dengan tema, walaupun tema
selalu berkaitan dengan masalah. Masalah terdapat dalam peristiwa-peristiwa
yang menyusun jalannya cerita; sedangkan tema sebuah karya sastra dapat
disimpulkan dari keseluruhan cerita.
Kata tema berasal dari kata latin Thema yang berarti pokok pembicaraan.
Dalam KUBI tema berarti: (1) pokok pikiran; dasar cerita (yang dipercakapkan,
dipakai sebagai dasar mengarang sajak dan sebagainya); (2) latihan
menterjemahkan dari bahasa sendiri kepada bahasa asing
(Poerwadarminta,1976:1040).
16
17
Tema adalah sesuatu yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan kajian fiksi yang
diciptakannya. Seorang pengarang harus mematuhi tema cerita sebelum
melaksanakan proses kreatif penciptaan. Sementara pembaca baru dapat
mengetahui tema cerita setelah memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi
media pemaparnya (Aminudin,1991:41)
Dalam sebuah cerita naratif seorang pengarang tidak hanya menyampaikan
sebuah cerita saja, akan tetapi ada sebuah konsep sentral. Dari seluruh komponen
struktur sebuah karya sastra, tema merupakan komponen yang berada ditengah
komponen yang lain. Dengan kata lain, semua bahasa komponen yang lain selalu
terkait pada tema. Hal ini dapat dikatakan bahwasanya tema mempunyai pengaruh
yang sangat kuat dalam alur sebuah karya sastra.
Tema tidak dapat disimpulkan dari keseluruhan cerita. walaupun sulit
ditentukan secara pasti, tema bukanlah makna yang disembunyikan. Tema sebagai
makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara sengaja disembunyikan karena justru
hal tersebut yang ditawarkan kepada pembaca. Tema merupakan makna
keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik
cerita yang mendukungnya (Nurgiantoro, 2000:66-68).
The theme is the central idea or meaning of story. It provides a unifying point around which the plot, character, setting, point of view, symbols or other elements of story are organized.
(Meyer, 1990:196)
Dengan melihat uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwasanya tema
merupakan pokok pikiran yang utama dari sebuah cerita. Disamping itu tema
merupakan komponen yang berada ditengah komponen yang lain antara plot,
18
karakter, sudut pandang dan sebagainya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa, semua
bahasa komponen selalu terkait pada tema.
In literature, theme is the central idea or statement about life that unifies and controls that total work. Theme is not the issue or problem, or subject with which the work deals but the comment or statement the author make about the subjects it necessarily and invariably emerges from interplay of the various element.
(Hooper, 1981:61)
Pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tema adalah masalah yang
menjadi bahan pembicaraan yang utama dalam sebuah cerita. Dalam sebuah karya
fiksi, tema merupakan suatu pokok persoalan pengarang yang kemudian
mempengaruhi semua unsur cerita. Tema bukan merupakan unsur pelengkap saja
melainkan juga diperlukan dan sangat penting dalam sebuah cerita.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh Memiliki peranan penting dalam membangun sebuah cerita, selain
itu tokoh adalah salah satu bagian dari beberapa unsur intrinsik yang terdapat pada
sebuah novel. Tokoh itu sendiri menurut Abrahms yang dikutip oleh Nurgiyantoro
(1995:170) dijelaskan sebagai berikut:
“Tokoh cerita (character) adalah orang yang di tampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca di tafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”
(Abrahams via Nurgiyantoro, 1981:20)
Potter memaparkan bahwa istilah tokoh yang selama ini digunakan tidak
mengacu pada orangnya, melainkan pada sifat, kepribadian, tingkah laku, keadaan
fisik dan moral tokoh.
“ When the term character is used not to refer to a person an a literary work but he is like, it generally refers to his whole nature, his personality,
19
his attitude toward life, his “spiritual” qualities, his intelligence, even his physical build, as well as his moral attributes”
(Potter, 1967: 3)
Menurut Berret penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh,
baik digambarkan secara langsung, ditunjukkan dalam aktivitasnya maupun
ditunjukkan oleh tokoh yang lain.
“Characterization is the presentation of character, wether by direct description, by showing the character in action, or by presentation of other characters that help to define each other”.
(Barret, 1989:1251)
Tokoh cerita menempati posisi setrategis sebagai pembawa dan penyampai
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada
pembaca. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan,
bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan
pengarang (Nurgiantoro, 2000: 168)
Penyajian tersebut dapat berupa pemberian nama yang menyiratkan arti,
uraian pengarang secara emplisit mengenai tokoh, maupun percakapan atau
pendapat tokoh-tokoh lain dalam cerita. Namun, yang paling penting adalah
semua dialog dan tingkah laku tokoh itu sendiri (Stanton, 1965: 17-18).
3. Konflik
Setiap hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik,
pertentangan pendapat, atau perbedaan kepentingan. Yang dimaksud konflik
adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi,
menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain (Supratiknya, 1995: 94).
20
Clinton F.F (Kartono, 2003: 213), mendefinisikan konflik sebagai berikut:
a. Konflik ialah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan
tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan; interest-interest eksklusif dan tidak
bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-
struktur nilai yang berbeda.
b. Konflik adalah interaksi yang antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah
yang tampak jelas, mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol,
tersembunyi, tidak langsung; sampai pada bentuk perlawanan terbuka, dan
kekerasan perjuangan tidak terkontrol. Asumsi-asumsi diatas sangat berbeda
dengan peryataan Potter seperti dibawah ini.
The term of “conflict” is familiar; it is the result of an opposition between at least two sides. The conflict may be overt and violent, or implicit and subdued; it may be visible in action, or it may take place entirely in a character’s mind; it may exist in different and sometimes contrasting forms, and on different levels of meaning; but by definition it is inherent in the concept of plot.
(Potter, 1967: 25)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konflik yang di perankan oleh
tokoh dapat dipresentasikan secara jelas atau terselubung dengan menganalisa
tindakan dan pikiran tokoh tersebut dalam keadaan yang saling bertentangan.
Keraf (1991: 168-169) membagi konflik menjadi tiga macam, yaitu:
1. Konflik melawan Alam
Konflik melawan alam adalah suatu pertarungan yang dilakukan oleh seorang
tokoh atau manusia secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melawan
kekuatan alam yang mengancam hidup manusia itu sendiri. Misalnya
21
pertarungan seorang pelaut melawan ombak samudera yang dahsyat yang
membalikkan perahu tempat nyawanya bergantung.
2. Konflik antar Manusia
Konflik kedua adalah pertarungan seorang melawan seorang manusia yang
lain, seorang melawan kelompok yang lain, sebuah negara melawan negara
yang lain, karena hak-hak mereka diperkosa.
3. Konflik Batin
Konflik ketiga adalah konflik batin, yaitu suatu pertarungan individual
melawan dirinya sendiri. Dalam konflik ini timbul kekuatan-kekuatan yang
saling bertentangan dalam batin seseorang, keberanian melawan ketakutan,
kejujuran melawan kecurangan, kekikiran melawan kedermawanan, dan
sebagainya.
4. Latar
Latar cerita adalah lingkungan peristiwa, yaitu dunia cerita tempat
terjadinya peristiwa. Biasanya latar dihadirkan dalam bentuk deskripsi. Kadang-
kadang latar secara langsung mempengaruhi tokoh dan kadang-kadang
memperjelas tema. Dalam banyak cerita, latar dapat menggugah nada emosi di
sekeliling tokoh (Stanton,1965: 18).
Latar itu sendiri menurut Kenney yang dikutip oleh Panuti-Sudjiman
berpendapat bahwa latar meliputi pengambaran lokasi geografis, termasuk
topografi, pemandangan, sampai pada perincian perlengkapan sebuah ruangan,
pekerjaan atau kesibukan sehari-hari tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa
22
sejarahnya, musim terjadinya, linkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan
emosional para tokoh (Kenney, 1991: 44).
Unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut, walau masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
Latar tempat menyarankan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial
menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi.
B. Aspek Ekstrinsik
1. Hubungan Sastra dan Feminisme
Dalam hubungan gerakan feminis dengan karya sastra, Register menilai
karya sastra sebagai sesuatu yang berguna bagi pergerakan kebebasan perempuan
sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut:
Because of its origin in the women’s liberation movement, feminism criticism values literature that is of some use to the movement. Prescriptive criticism, then, is best defined in the terms of the ways in which literature can serve the cause of liberation. To earn feminist approval, literature must perform one or more of the following function: (1) serve as a forum for women; (2) help to achieve cultural androgyny; (3) provide role-models; (4) promote sisterhood; and (5) augment consciousness-raising.
(Stimpson, 1981: 234)
23
Sejalan dengan pendapat tersebut, Faruk menerangkan hubungan sastra
dengan struktur gender dengan mejelaskan masalah bahasa terlebih dahulu.
Bahasa merupakan proses yang terus-menerus melakukan “tindakan gender”
dalam berbagai situasi dan interaksi antara perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan sehari-hari.
Ketika laki-laki dan perempuan berpikir untuk melakukan komunikasi
kebahasaan, mereka dihadapkan pada bahasa sebagai sebuah kondisi objektif ynag
bersifat eksternal yang memberikan batas, kerangka, bahkan arah terhadap apa
yang dipikirkan dan dikemukakannya (Faruk, 1997: 34).
2. Kritik Sastra Feminisme
Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan
terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat. Patriarki meletakkan
perempuan sebagai laki-laki yang inferior. Kekuatan digunakan, baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk
membatasi perempuan untuk berkreasi dan mengembangkan bakat yang
dimilikinnya. Pendapat Goefe yang dikutip oleh Sugihastuti mengartikan
feminisme sebagai berikut. Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-
laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan
(Goefe, 2000: 37). Para feminis menggunakan kritik sastra feminis untuk
menunjukkan citra perempuan dalam karya penulis-penulis pria yang
menampilkan perempuan sebagai makluk yang dengan berbgai cara ditekan,
disalahtafsirkan serta disepelekan oleh tradisi patriarki yang dominan.
24
Feminisme berbeda dengan emansipasi. Emansipasi cenderung lebih
menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa
mempersoalkan ketidakadilan gender, sedangkan feminisme sudah
mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang selama ini dinilai tidak adil.
Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktifitas dan inisiatif sendiri
untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai
gerakan.Sehubungan dengan adanya tokoh pembawa idiologi feminisme dalam
The Scarlet Letter, dalam skripsi ini mengangkat ideologi feminisme moderat
Betty Friedan. Ideologi ini tidak menentang perkawinan. Perempuan tidak
dianjurkan untuk melajang seumur hidupnya. Feminisme moderat menjunjung
tinggi kodrat perempuan yang memungkinkannya melahirkan dan merawat bayi.
Feminisme moderat mendukung perempuan dalam melaksanakan tugas-
tugas alami ini. Akan tetapi, feminisme moderat juga menganjurkan dirinya agar
hidup mandiri, baik secara intelektual maupun secara ekonomis. Kesanggupan
tersebut akan membuat perempuan memiliki kedudukan sejajar dengan laki-laki
dan melepaskan dirinya dari kebergantungan terhadap laki-laki. Dari berbagai
uraian mengenai feminis, didapatkan sebuah pengertian bahwa feminisme adalah
orang yang menganut paham feminisme, yaitu perjuangan mengubah struktur
hiearki antara laki-laki dan perempuan menjadi persamaan hak, status,
kesempatan dan persamaan dalam masyarakat. Untuk memperjelas masalah
feminisme maka digunakan istilah tokoh profeminisme dan kontrafeminisme.
Tokoh profeminisme ialah tokoh yang mendukung ide-ide feminisme, sedangkan
tokoh kontrafeminisme ialah tokoh yang tidak sesuai dengan ide-ide feminisme.
Recommended