View
122
Download
5
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan bawah masih tetap merupakan masalah utama
dalam bidang kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Berdasarkan laporan WHO tahun 1999, infeksi saluran pernafasan bawah
merupakan penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia. Di
Indonesia sendiri, infeksi saluran pernafasan bawah merupakan penyebab
kematian nomor 6 setelah penyakit kardiovaskuler, penyakit serebrovaskuler,
keganasan, tuberkulosis, dan penyakit paru lainnya.
Penyebab tersering infeksi saluran pernafasan bawah adalah bakteri, baik
bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Untuk saat ini,
penatalaksanaan infeksi saluran pernafasan bawah masih menggunakan metode
empirik, biasanya dengan menggunakan antibiotik spectrum luas, Metode
empirik rupanya digunakan untuk penatalaksanaan awal infeksi saluran
pernafasan bawah karena infeksinya bersifat membahayakan nyawa akibat
komplikasi yang ditimbulkannya, seperti gagal nafas, sepsis, efusi pleura,
empisema, abses paru, dan pneumotoraks jika tidak segera ditangani. Selain itu
mikroba yang berhasil diisolasi juga belum tentu sebagai penyakit infeksi saluran
nafas bawah, juga diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengkultur bakteri
yang berhasil diisolasi.
Menurut American Thoracic Society (ATS), terdapat beberapa antibiotik
yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan infeksi saluran nafas bawah,
diantaranya adalah sefalosporin, generasi ketiga. Saat ini, seftriaxon, salah satu
antibiotik sefalosporin generasi ketiga, masih dipakai untuk mengobati infeksi
saluran nafas bawah khususnya yang disebabkan oleh bakteri gram negative
karena aktivitasnya yang cukup kuat untuk melawan bakteri gram negatif. Akan
tetapi masih perlu dipertanyakan efektivitas dari penggunaan antibiotic tersebut.
Berdasarkan hasil uji resistensi bakteri saluran nafas bawah terhadap
beberapa antibiotik yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2000, terdapat 40% dari
2
55 isolat, bakteri saluran nafas bawah resisten terhadap seftriaxon, 25%
intermediet, dan 35% sensitif, Pola kepekaan ini terus berubah setiap tahunnya.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang dapat melaporkan pola kepekaan
bakteri terhadap beberapa antibiotik secara kontinu untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan.
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui perjalanan obat dalam tubuh pada pasien infeksi
saluran pernafasan bawah.
1.3. Masalah
Apakah perbedaan bentuk sediaan obat dapat mempengaruhi pengobatan
pada penyakit infeksi saluran pernafasan bawah.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi paru
Paru-paru adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada di dalam
kantong yang dibentuk oleh pleura pariestaslis dan pleura viseralis. Kedua paru-
paru sangat lunak, elastis, sifatnya ringan terapung di dalam air, dan berada dalam
rongga torak. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90 m2. Banyaknya
gelembung paru-paru. Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian
besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa, alveoli). Gelembung alveoli
terdiri dari sel-sel epitel dan endotel kurang lebih 700 juta buah.
Bagian-bagian utama paru-paru adalah alveoli, trachea, diafragma,
bronchi, dan bronchioles. Trachea atau batang tenggorokan berupa pipa tempat
lalunya udara. Udara yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke trachea
menuju paru-paru. Bronchi merupakan batang yang menghubungkan paru-paru
kanan dan kiri dengan trachea. Udara dari trachea akan di bawa keparu-paru lewat
batang ini. Bronchioles merupakan cabang-cabang dari bronchi berupa tabung-
tabung kecil yang jumlahnya sekitar 30.000 buah untuk satu paru-paru.
Bronchioles ini akan membawa oksigen lebih jauh ke dalam paru-paru. Alveoli
4
merupakan ujung dari bronchioles yang jumlahnya sekitar 600 juta pada paru-paru
manusia dewasa. Pada aveoli ini oksigen akan didifusi menjadi karbondioksida
yang diambil dari dalam darah.
2.2. Bronhkitis kronis
2.2.1. Definisi
Bronkitis kronis adalah penyakit yang tidak spesifik pada orang dewasa.
Biasanya pasien akan melaporkan batuk dengan sputum hampir sepanjang hari
selama paling tidak 3 bulan berturutan setiap tahun selama 2 tahun berturutan.
(ISO Farmakoterapi, 2008)
2.2.2. Patofisiologi
Bronkitis kronis terjadi akibat dari beberapa faktor pendukung termasuk
merokok, terpapar debu, asap, polusi lingkungan, dan infeksi bakteri atau virus.
Pada bronkitis kronis, dinding bronkus menebal dan jumlah mukus yang
disekresi sel globet di permukaan epitel bronkus besar dan kecil meningkat nyata
(ISO Farmakoterapi, 2008).
Bronkitis kronis menyebabkan penyempitan saluran nafas. Penyempitan
ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada
bronchitis kronis, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm
menjadi lebih sempit, berkelok-kelok, dan berobliterasi. Saluran nafas besar juga
menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus (Kapita Selekta
Kedokteran, 2001)
2.2.3. Manifestasi klinis dan Diagnosis
1. Manifestasi klinis
1. Batuk
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas
5
2. Diagnosis
1. Anamnesis : riwayat penyakit yang ditandai 3 gejala klinis di atas dan faktor-
faktor penyebab
2. Pemeriksaan fisik :
a. Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shaped chest (diameter
anteroposterior dada meningkat
b. Fremitus taktil dada kurang atau tidak ada
c. Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih
rendah, pekak jantung berkurang
d. Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto toraks pada bronchitis kronik memperlihatkan tubular shadow
bayangan garis-garis yang parallel keluar dari hilus menuju apeks paru
dan corakan paru yang bertambah
b. Pada emfisema paru, foto toraks menunjukkan adanya overinflasi dengan
gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah
pulmonal, dan penambahan corakan ke distal
4. Pemeriksaan fungsi paru
5. Pemeriksaan gas darah
6. Pemeriksaan EKG
7. Pemeriksaan laboratorium darah: hitung sel darah putih
2.2.4. Pencegahan
1. Pencegahan : mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2. Terapi eksaserbasi akut digunakan antibiotik karena biasanya disertai
infeksi
3. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
4. Fisioterapi membantu mengeluarkan sputum
5. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas
6
2.2.5. Terapi
Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi keparahan gejala dan
menghilangkan kekambuhan akut mencapai perpanjangan interval yang bebas
infeksi.
Terapi farmakologi
Pada eksaserbasi akut pemberian bronkodilator oral atau aerosol seperti
albuterol aerosol
Untuk pasien yang secara konsisten tetap menunjukkan keterbatasan
dalam masuknya udara pernafasan, perubahan terapi bronkodilator harus
dipertimbangkan
Penggunaan antibiotic masih diperdebatkan, walaupun penting. Pemilihan
antibiotik sesuai dengan pathogen, resiko interaksi rendah, dan tidak
menimbulkan masalah kepatuhan.
Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan resistensi pathogen
terhadap penisilin yaitu H. influenza 30-40%, M. peneumoniae penghasil
B laktamase 95% dan S. pneumonia 30%. Ampisilin sering
dipertimbangkan sebagai pilihan untuk bronchitis kronis eksaserbasi akut,
tetapi regimen dosis dan resisten terhadap betalaktamase membatasi
keamanan dan cost-ffectiveness
Bila mikoplasma terlibat dalam infeksi, penggunaan makrolid masih
diragukan. Azitromisin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk kasus
mikoplasma.
Fluorokuinolon antibiotic alternative yang efektif untuk dewasa terutama
bila pathogen adalah gram atau untuk pasien yang parah. Beberapa S.
penumonii resisten terhadap fluorokuinolon yang generasi yang lebih baru
seperti gatifloksasin
Pada pasien yang mempunyai riwayat kekambuhan oleh faktor pencetus
kejadian tertentu seperti musim dingin, percobaan profilaksis antibiotic
mungkin bermanfaat. Bila tidak ada perbaikan secara klinik, selama
periode yang sesuai misalnya 2-3 bulan/tahun, terapi profilaksis dapat
dihentikan
7
Antibiotik yang umum digunakan dengan durasi 10-14 hari
2.3. Bronkhitis akut
2.3.1. Definisi
Bronkhitis adalah suatu peradangan pada cabang tenggorok (bronchus/
saluran udara ke paru-paru) tidak termasuk alveoli, yang umumnya berhubungan
dengan infeksi pernafasan umum. Penyakit ini biasanya bersifat ringan dan pada
akhirnya akan sembuh sempurna, tetapi pada penderita yang memiliki penyakit
menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia
lanjut, bronchitis bisa bersifat serius. Bronkhitis akut terutama terjadi selama
musim dingin. Faktor pencetusnya adalah: Cuaca dingin, lembab, dan banyaknya
zat pengiritasi seperti polusi udara, asap rokok (ISO Farmakoterapi, 2008)
.
2.3.2.Patofisiologi
Penyebab utamanya adalah virus, terutama virus common cold, rhinovirus, coronavirus, virus pathogen pada saluran pernafasan bawah seperti virus influenza, adenovirus, respiratory virus, syncytial virus. Patogen penyebab lainnya adalah : Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumoniae, Bordetella pertussis. Infeksi pernafasan akut mungkin berkaitan dengan peningkatan hipersensivitas saluran pernafasan dan mungkin terjadi menjadi pathogenesis penyakit paru kronis obstruktif (ISO Farmakoterapi, 2008)
Serangan bronchitis berulang bisa terjadi pada perokok dan penderita
penyakit paru-paru dan saluran pernafasan menahun. Infeksi berulang bisa
merupakan akibat dari : Sinusitis kronis, bronkiektasis, alergi, dan pembesaran
amandel dan adenoid pada anak-anak. Bronkhitis iritatif bias disebabkan oleh :
Berbagai jenis debu, asap dari asam kuat, ammonia, beberapa pelarut organic,
klorin, hydrogen sulfide, sulfur dioksida dan bromine, polusi udara yang
menyebabkan iritasi ozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok lainnya.
Infeksi brpnkus dan trakea menyebabkan membrane mukosa udem dan
merah serta peningkatan sekresi bronkus. Kerusakan epitel saluran pernafasan
dapat bervariasi dari ringan-berat dan dapat berpengaruh pada fungsi mukosiliari
bronkus. Selain itu peningkatan sekresi bronchial yang kental dan lengket akan
mengganggu aktivitas mukosiliari (ISO Farmakoterapi, 2008)
8
Infeksi saluran pernafasan akut mungkin berkaitan dengan peningkatan
hiperreaktivitas saluran pernafasan dan mungkin menjadi pathogenesis penyakit
paru kronis obstruktif (ISO Farmakoterapi, 2008)
2.3.3. Manifestasi klinis dan diagnosis
Bronkitis adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan jarang
menyebabkan kematian. Bronkitis akut biasanya diawali dengan infeksi saluran
pernafasan atas. Pasien mengalami gejala yang tidak spesifik seperti tidak enak
badan dan sakit kepala, ingusan, dan sakit leher (ISO Farmakoterapi, 2008)
Batuk adalah penanda bronchitis akut yang terjadi awal dan akan menetap
walaupun keluhan nasal dan nasofaring menghilang. Seringkali, awalnya, batuk
nonproduktif tapi berkembang menghasilkan sputum yang mukopurulen. (ISO
Farmakoterapi, 2008)
Pemeriksaan dada menunjukkan adanya ronki dan bunyi tidak normal
bilateral (rale moist bilateral). Foto sinar X menunjukkan hasil normal. Kultur
bakteri sputum umumnya digunakan secara terbatas karena ketidakmampuan
untuk meniadakan flora normal nasofaring dengan teknik sampling (ISO
Farmakoterapi, 2008)
Uji deteksi virus dapat digunakan bila diagnose spesifik dibutuhkan.
Kultur atau diagnose serologi M. pneumonia dan kultur atau deteksi Ab langsung
secara fluororescensi untuk B. pertusis seharusnya dilakukan pada kasus berat dan
lama bila perkiraan epidemiologi menunjukkan keterlibatan pathogen tersebut
(ISO Farmakoterapi, 2008)
2.3.4. Terapi Farmakologi
Tujuan terapi untuk membuat pasien nyaman dan pada kasus berat untuk
mengobati dehidrasi dan gangguan respirasi.
Terapi simtomatis dan suportif. Antipiretik tunggal seringkali cukup .
Istrirahat dan analgetik-antipiretik lemah sering dapat mengatasi keluhan
lemah dan demam. Aspirin atau paracetamol (650 mg untuk dewasa dan
atau 10-15 mg/kgbb/dosis pada anak dengan dosis harian maksimum
dewasa 4 g dan anak 60 mg/kg)
9
Atau gunakan ibuprofen 200-800 mg pada dewasa, anak 10 mg/kg. Dosis
maksimum dewasa 3,2 g dan 40 mg/kg/dosis pada anak. Berikan setiap 4-
6 jam.
Pasien dianjurkan untuk minum cairan untuk mencegah dehidrasi dan
kemungkinan penurunan sekresi respirasi dan kekentalan mucus. Pada
anak pemberian aspirin harus dihindari karena adanya hubungan antara
penggunaan aspirin dengan munculnya sindroma Reye. Paracetamol lebih
dianjurkan
Terapi embun dan atau penggunaan uap dapat mengencerkan secret. Batuk
ringan yang menetap yang mengganggu dapat diterapi dengan
dextromethorpan, terapi batuk yang lebih berat mungkin membutuhkan
kodein atau obat yang sejenis.
Penggunaan antibiotic tidak dianjurkan, tetapi pada pasien dengan demam
menetap dan gejala pernafasan lebih dari 4-6 hari, kemungkinan adanya
infeksi bakteri harus dicurigai
Bila mungkin terapi antibiotic ditujukan terhadap pathogen yang
diantisipasi (misalnya Streptococcus peneumoniae dan Haemophilus
influenza) dan atau bakteri yang dominan tumbuh pada kultur
kerongkongan
M. pneumoniae bila dicurigai atau positif agglutinin dingin (titer ≥ 1:32)
atau dipastikan oleh kultur/serologi. Terapi dengan eritromisin atau
analognya (klaritromisin atau azitromisin). Fluorokuinolon juga
menunjukkan aktivitas terhadap pathogen tersebut (misalnya gatifloksasin
atau levofloksasin dosis tinggi) dan dapat digunakan pada orang dewasa.
Selama epidemic yang melibatkan virus influenza A, Amantadin atau
Rimantadin mungkin efektif untuk meminimkan gejala-gejala terkait bila
diberikan di awal penyakit.
2.4. Bronkhiolitis
2.4.1. Definisi
Bronchiolitis adalah suatu peradangan pada bronchiolus yang disebabkan
oleh Virus. ( suriadi & Rita, 2006: 135 )
10
Bronchiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran
nafas kecil (bronkiolus), terjadi pada anak berusia kurang dari 2 tahun dengan
insidens tertinggi sekitar usia 6 bulan.( Mansjoer, arif, 2000: 468 )
Bronchiolitis merupakan suatu inflamasi infeksi virus pada bronkiolus,
yang menyebabkan obstruktif akut jalan nafas dan penurunan pertukaran gas
dalam alveoli. ( CPD_ContinuingProfessionalDevelopmentDokterIndonesia,
diunduh: Kamis, 25 April 2013 )
Bronkiolitis adalah peradangan pada bronkiolus, ditandai dengan adanya
penyempitan jalan nafas sekunder karena penumpukan sel-sel radang. Bronkiolitis
merupakan penyakit paru yanghanya diderita anak umur kurang dari 2 tahun
(tersering adalah 6 bulan-2 tahun), karena diameterbronkiolus yang relatif masih
kecil, sehingga peradangan sedikit saja dapat menimbulkan sesak nafas. Penyebab
utamanya adalah infeksi oleh RSV (Respiratory Syncitial Virus)
.Pemeriksaan fisik pada bronkiolitis serupa pada asma bronkiale, karena
patofisiologinyahampir mirip, yaitu adanya penyempitan saluran nafas. Bedanya
dengan asma adalah bahwabronkiolitis tidak berespon terhadap pemberian
inhalasi beta agonis atau adrenalin
2.4.2. Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV),
60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2,
dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah
penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat
menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV
menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia
sebanyak 40%. ( Mansjoer, Arif. 2000 :468)
Parainfluenza virus (PIV) 3 menyebabkan sekitar 25-50% kasus,
sedangkan PIV tipe 1 dan 2, adenovirus tipe 1,2 dan 5, rinovirus, virus influenza,
enterovirus, herpes simplex virus, dan Mycoplasma pneumonia masing-masing
menyebabkan sedikit kasus (< 25%).
Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh RSV
terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis
11
biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat
mungkin terjadi oleh karena kadar antibodi maternal yang rendah.
Insiden infeksi Respiratory Syncitial Virus (RSV) sama pada laki-laki dan
wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-laki. Faktor resiko
terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status ekonomi rendah,
jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, rendahnya antibodi maternal
terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) (Razi
maulana, 2011)
2.4.3. Patofisiologi
Infeksi pernafasan atas oleh Respiratory Synctial Virus ( RSV ) Edema
secret atau lender, debris seluller menghambat bronkiolus Bronkiolus konstriksi
selama ekspirasi, dan menyebabkan hyperinflasi pada paru Terjadi atelektasis
karena obstruksi komplit dan udara tidak teraborbsi Pertukaran gas terganggu
atau abnormal Hypoxemia Terjadi asidosis metabolic dan alkalosis respiratorik
ringan.
Terjadinya hyperinflasi pada paru merupakan akibat dari udara yang tidak
terabsorbsi oleh karena terjadi konstriksi pada bronkiolus selama ekspirasi.
Dengan mekanisme terjadinya konstriksi dimana udara tidak dapat diabsorbsi
maka akan terjadinya atelektasis. ( Mansjoer,arif. 2000: 35).
2.4.4. Manifestasi Klinik
a. Tanda dan Gejala
Diawali dengan gelisah, demam rendah, batuk, ingusan
Gejala berkembang; muntah, diare, pernafasan berbunyi, peningkatan
laju pernafasan. Pernafasan lambat dan sulit dengan dada tertarik,
hidung memerah
Pemeriksaan fisik yaitu takikardi, laju pernafasan 40-80/menit pada bayi di
RS. Pernafasan berbunyi, konjuntivitas ringan pada sepertiga pasien, otitis media
pada 5-10% pasien.
12
Pemerkisaan laboratorium yaitu:
Sel darah putih perifer normal atau sedikit meningkat. Gas darah arteri:
hipoksemia dan hipercarbia/hiperkapnia (jarang). Sering terjadi dehidrasi
karena intake cairan kurang pada penderita yang batuk, demam, mual
muntah
Diagnosa terutama berdasarkan pada penemuan klinik dan riwayat. Isolasi
patogen akan menegakkan diagnosa dugaan
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang
encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai
demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai
oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel,
muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak
dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas
yang ringan. Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan
bahkan ada yang mengalami hipotermi. (breathebetter.blogspot.com, diunduh:
kamis, 25 April 2013 )
Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit,
kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas
cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya
tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).
Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan
ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi
hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien
dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.
Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau
inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). ( Mansjoer,arif.
2000: 468 ).
2.4.5. Terapi
13
Bronkhiolitis adalah penyakit yang sembuh sendiri dan umumnya tidak
memerlukan terapi, selain menghilangkan kecemasan dan antipiretik,
kecuali bila bayi hipoksia atau dehidrasi
Pada kasus berat, terapi pilihan adalah terapi oksigen dan cairan IV
Terapi beta adrenergic aerosol nampaknya bermanfaat sedikit untuk
sebagian besar pasien tetapi mungkin berguna pada anak dengan
predisposisi yang mengarah ke bronkospasme
Karena bakteri bukan penyebab utama maka antibiotik secara rutin
sebaiknya tidak diberikan. Tetapi sering dokter memberikan di awal
karena penemuan klinik dan radiologi sering menunjukkan kemungkinan
pneumonia bakteri
Ribavirin dapat dipertimbangkan pada pasien yang menderita penyakit
paru atau jantung dengan infeksi akut. Penggunaan obat ini membutuhkan
peralatan khusus, generator aerosol partikel kecil dan pelaksana terlatih
2.4.6. Pencegahan
Tidak ada vaksin untuk mencegah terjadinya infeksi RSV ( Respiratory
Syncytial Virus). Tapi bila kita bertindak secara rasional dan berhati-hati, kita
dapat mencegah tersebarnya infeksi virus ini
Sering-sering mencuci tangan. Lakukan hal tersebut terutama sebelum
menyentuh anak, dan ajarkan pada anak-anak pentingnya mencuci tangan.
Hindari paparan terhadap infeksi RSV. Batasi kontak antara bayi dengan
orang-orang yang sedang mengalami demam dan selesma.
Jagalah kebersihan. Pastikan agar rak-rak selalu dalam keadaan bersih
terutama rak yang terdapat di dapur dan kamar mandi, terutama bila ada
anggota keluarga yang sedang selesma. Segera buang tisu bekas pakai.
Jangan menggunakan gelas yang sudah digunakan oleh orang lain.
Gunakan gelas sendiri atau gunakan gelas sekali pakai bila anda atau
orang lain sedang sakit.
Jangan merokok. Bayi yang terkena paparan tembakau memiliki resiko
lebih tinggi terkena infeksi RSV dan berpotensi lebih besar terkena gejala
yang lebih parah.
14
2.4.7. Obat-obat Infeksi saluran pernafasan bawah
1. Antibiotik
a. Makrolid
Aktivitasnya sangat baik terhadap Chlamydia. Kadar azitromycin yang
tercapai dalam serum setelah pemberian oral relative rendah, tetapi
kadar di jaringan dan sel fagosit sangat tinggi.Obat yang dilepaskan
perlahan-lahan sehingga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitar
3 hari. Dengan demikian, obat cukup diberikan sekali sehari dan lama
pengobatan dapat dikurangi. Absorpsinya berlangsung cepat, namun
terganggu bila diberikan bersama dengan makanan. Obat ini tidak
menghambat sitokrom P-450 sehingga praktis tidak menimbulkan
masalah interaksi obat.
Dosis azitromycin untuk dewasa 1x 500 mg/hari selama 3 hari
sedangkan untuk anak-anak 10 mg/kgBB/hari, sekali sehari selama 3
hari.
Eritromisin efektif terhadap kokus Gram-positif, seperti S.pyogenes
dan S.pneumoniae.
Basa eritromisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas;
aktivitasnya menurun karena obat dirusak oleh lambung. Untuk
mencegah pengrusakan oleh asam lambung, basa eritromisin diberi
selaput yang tahan asam atau digunakan dalam ester stearat atau
etilsuksinat. Adanya makanan juga menghambat penyerapan
eritromisin.
Hanya 2-5% eritromisin yang dieksresi dalam bentuk aktif melalui
urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar
obat aktif dalam cairan empedu dapat melebihi 100x kadar yang
tercapai dalam darah. Masa paruh eliminasi eritromisin adalah sekitar
1,5 jam. Dalam keadaan insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi
dosis. Obat ini diekskresi terutama melalui hati. Dialisis peritoneal dan
hemodialisis tidak dapat mengeluarkan eritromisin dari tubuh.
15
b. Amoxicillin dan Ampicillin
Mekanisme kerja antibiotik betalaktam adalah :
Obat bergabung dengan penicillin-binding protein (PBPs) pada
kuman
Terjadi hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses
tranpeptidasi antar ratai peptidoglikan terganggu
Terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel
Jumlah ampicillin pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan
ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil
persentase yang diabsorpsi relative lebih besar
Absorpsi ampicillin oral akan dihambat dengan adanya makanan
dalam saluran cerna. Perbedaan absorpsi ampisilin bentuk trihidrat dan
bentuk anhidrat tidak memberikan perbedaan bermakna dalam
penggunaan di klinik (Rianto Setiabudy, 2007)
Absorpsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada
ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar
dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada yang
dicapai oleh ampisilin, sedang waktu paruh eliminasi kedua obat ini
hamper sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan
di lambung, sedangkan amoksisilin tidak.
Ampisilin didistribusikan luas di dalam tubuh dan peningkatannya
oleh protein plasma hanya 20%. Ampisilin yang masuk ke dalam
empedu mengalami sirkulasi enterohepatik, tetapi yang diekskresi
bersama tinja jumlahnya cukup tinggi. Pada bronchitis atau
pneumonia, ampisilin disekresi ke dalam sputum sekitar 10% kadar
serum. Bila diberikan sesaat sebelum persalinan, dalam satu jam kadar
obat dalam darah fetus menyamai kadar obat dalam darah ibunya. Pada
bayi premature dan neonates, pemberian ampisilin menghasilkan kadar
dalam darah yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah
(Rianto Setiabudy, 2007)
Distribusi amoksisilin secara garis besar sama dengan ampisilin.
16
Biotransformasi golongan penisilin umumnya dilakukan oleh
mikroba berdasarkan pengaruh enzim penisilinase dan amidase. Proses
biotransformasi oleh hospes tidak bermakna. Akibat pengaruh
penisilinase terjadi pemecahan cincin betalaktam, dengan kehilangan
seluruh aktivitas antimikroba. Amidase memecah rantai samping,
dengan akibat penurunan potensi mikroba.
Ekskresi umumnya melalui proses sekresi tubuli ginjal yang dapat
dihambat oleh probenesid. Masa paruh eliminasi dalam darah
diperpanjang oleh probenesid menjadi 2-3 kali lebih lama.
c. Fluorokuinolon
Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama yang sama
dengan kelompok kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru
menghambat topoisomerase II (= DNA girase) dan IV pada kuman.
Enzim topoisomerase II berfungsi menimbulkan relaksasi pada DNA
yang mengalami positive supercoiling (pilinan positif yang berlebihan)
pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topoisomerase
IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah
proses replikasi DNA kuman selesai (Rianto Setiabudy, 2007)
Bioavailabilitas pada pemberian per oral sama dengan pemberian
parenteral. Penyerapan siprofloksasin dan mungkin juga
fluorokuinolon lainnya terhambat bila diberikan bersama antasida.
Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein. Golongan obat ini
didistribusi dengan baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin semua
fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui Kadar Hambat
Minimal untuk kebanyakan kuman pathogen selama minimal 12 jam.
Masa paruh eliminasi panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali
sehari. Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan
diekskresikan melalui ginjal. Sebagian kecil obat akan dikeluarkan
melalui empedu.
Secara umum, efektivitas fluorokuinolon generasi pertama
(siprofloksasin, ofloksasin, enoksasin) untuk infeksi bakteri saluran
nafas bawah adalah cukup baik. Kuinolon baru (gatifloksasin,
17
moksifloksasin dan gemifloksasin) dan levofloksasin mempunyai daya
antibakteri yang cukup baik terhadap kuman Gram positif, Gram
negative, dan kuman atipik penyebab infeksi saluran nafas bawah.
2. Analgetik dan antipiretik
Paracetamol merupakan obat untuk menghilangkan atau mengurangi
nyeri ringan sampai sedang. Dan mempunyai efek menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Paracetamolmerupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek
iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian
juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa (sulistia Gan,
2007).
Paracetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 0,5 jam dan masa
paruh plasma dicapai antara 1-3 jam. Dalam plasma 25% paracetamol
terikat dengan protein plasma. Obat ini mengalami hidroksilasi. Metabolit
hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan
hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil
sebagai paracetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonyugasi.
3. Antitusif dan ekspektoran
Dextrometorfan merupakan antitusif non narkotika. Obat ini diabsorpsi
dengan cepat dengan presentase ikatan protein dan waktu paruh belum
diketahui. Dextrometorfan di metabolism di hati dan diekskresi melaui
urin. Depresi SSO meningkat bila ditelan bersama dengan alcohol,
narkotik, sedative-hipnotik, barbiturate atau antidepresi.
Onset kerja dextrometorfan relative cepat yaitu 15-30 menit dan lama
kerjanya adalah 3-6 jam.
Ekspektoran adalah melunakkan secret bronkus sehingga dapat
dihilangkan dengan batuk. Obat ini dapat dipakai dengan atau tanpa agen
farmakologi lain. Ekspektoran yang sering digunakan adalah glyceril
guaiacolat atau guaiafenesin. Ekspektoran lain adalah ambroxol yang
berikatan dengan protein plasma sebanyak 90% dan waktu paruh 9 jam
dalam bentuk metabolit aktif.
18
4. Bronkhospasmolitik
β2 simpatomimetik dengan merangsang reseptor β₂ akan menyebabkan
relaksasi otot bronkus dan dengan demikian menanggulangi
bronkhospasmus. Senyawa ini merangsang gerakan flimer silia sehingga
bersihan mucus silier meningkat.
Teofilin demikian juga garamnya dengan basa organik yang larut air,
misalnya etilendiamin (aminofilin , euphyllin) seperti pada beta
simpatomimetik merupakan bronkhospasma kuat. Harus diperhatikan
bahwa indeks terapeutik relative kecil, yang pada kadar plasma yang
tinggi menimbulkan efek samping yang berat. Kadar plasma terapeutik
yang baik terletak antara 10 dan 20 µg/ml. Untuk profilaksis digunakan
preparat teofilin dalam bentuk retard. Dengan cara ini tidak hanya kerja
obat diperpanjang, tetapi munculnya kadar puncak dalam plasma yang
tidak diinginkan akan terhindarkan.
19
BAB III
PEMBAHASAN
Berikut adalah kasus bronchitis kronis dan bronkiolitis yang dapat dilihat
dari data tabel berikut ini:
Kasus 1
Keluhan/tindakan awal Pemeriksaan penunjang TerapiBronkitis kronis Batuk, sesak, suhu EKG : sinus takikardi O₂ 2 lt/menit(Tn Udin 78 thn) suhu badan 37⁰, kurang Lab :
Infus RL 20 tts/menit
tidur, lemas, cepat capekHb : 15,9 g/dl (11,6-16,3) Inhalasi :
tekanan darah 135/75 mmHg Leukosit : 6200/mm3
(combivent & ventolin)
denyut nadi 84x/menit Hematokrit : 45.0 % (35-45 Terapi Injeksi : Eritrosit :5,34 juta/mm³ ceftriaxon, methil
Trombosit : 180.000 U/Lprednisolon, aminop-
Basofil : 0,2 % (0-2) ylin injeksi GDS : 148 mg/dl Rontgen thorax COR normal, gambaran bronkitis kronis
Kasus 2
Bronkhiolitisbatuk, berkeringat, demam, X-ray, pemberian oksigen
Paracetamol drop,
(An. Sari (5 bulan) pucat, nafsu makan kurang,
cetirizin drop, vitamin
gelisah drop, ambroxol drop
Kasus 3 Bronchitis akut batuk, sesak Rontgent Levofloxacin 500,
Tn F (38 thn) BB : 67 kg teofillin, seretide disk
TB : 162 cm salbutamol, ambroxol
TD : 159/97 mm Hg Nadi : 101 x/menit
20
Kasus 1
Pasien mendapat combivent udv yaitu terdiri dari ipratropium bromide dan
salbutamol. Ipratropium bromide adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Pada pemberian inhalasi ipratropium bromide tidak mempengaruhi
kekentalan, produksi, maupun pembersihan mucus. Obat ini bermanfaat untuk
penyakit saluran pernafasan walaupun efektivitasnya sebagai bronkodilator tidak
sekuat β-agonis. Untuk bronchitis kronis, ipratropium bromide lebih efektif
daripada β-2 agonis dan sebagai pilihan utama. Obat ini juga tidak diserap
sehingga jarang menimbulkan efek samping sistemik.
Efek obat mencapai puncaknya antara 1-2 jam setelah pemberian inhalasi
dan bertahan selama 3-5 jam. Toleransi tidak terjadi dalam pemakaian sampai 5
tahun.
Pasien mendapat kortikosteroid yaitu metil prednisolon, meskipun tidak
secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai anti inflamasi obat
ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan
permeabilitas vascular, sehingga saat ini kortikosteroid adalah obat paling efektif
untuk penyakit saluran nafas.
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya
merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah penyuntikkan IV
steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam dieksresi dalam urin,
sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Pada kasus bronchitis kronis,
glukokortikoid dosis besar diberikan metil prednisolon 60-100 mg setiap 6 jam
dapat diberikan secara IV. Bila gejala mereda dapat diikuti pemberian prednisone
oral 40-60 mg/hari.
Pemberian antibiotik ceftriaxon pada pasien tersebut diperlukan karena
bronchitis kronis disebabkan oleh bakteri. Ceftriakson merupakan sefalosporin
generasi ketiga yang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi kurang aktif
dibandingkan dengan generasi pertama. Ceftriakson diberikan secara IM atau IV.
Obat ini melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan synovial dan
cairan pericardium. Pada pemberian sistemik, kadar obat di cairan mata relative
21
tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar ceftriaxon dalam empedu cukup
tinggi. Ceftriaxon diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal. Ceftriaxon
mempunyai ikatan dengan protein 83-96%, waktu paruh dalam plasma adalah 8
jam sedangkan ekskresi dalam urin sebesar 60-80%.
Kasus 2
Pada kasus kedua yaitu kasus bronchiolitis, dimana pasien mengalami
gejala batuk, pilek dan penurunan nafsu makan. Obat-obat yang diberikan
meliputi cetirizin, paracetamol, vitamin dan ambroxol.
Paracetamol adalah suatu analgetik dan antipiretik derivate para amino
fenol. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Efek analgetik
paracetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri
ringan sampai sedang yang dapat menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme
berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Paracetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Obat ini
dimetabolisme di hati oleh enzim mikrosom hati. Sebagian besar paracetamol
(80%) dikonyugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil oleh asam sulfat.
Obat ini mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat
menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Paracetamol diekskresi
melalui ginjal, sebagian kecil yaitu 3% dan sebagian besar dalam bentuk
terkonyugasi.
Cetirizin merupakan antagonisme terhadap histamine. AH1 menghambat
efek histamine pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos,
selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan
lain yang disertai penglepasan histamine endogen berlebihan. AH1 dapat
menghambat kerja histamine pada otot polos usus dan bronkus dan
bronkokonstriksi dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan marmot.
Pada kasus bronkhiolitis kasus diatas diperlukan karena pasien mengalami
gejala pilek sehingga penggunaan cetirizin sangat diperlukan untuk mengurangi
gejala bronkhiolitis tersebut.
22
Cetirizin diabsorpsi dengan baik, efeknya timbul 15-30 menit setelah
pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Masa kerja cetirizin lama yaitu 12-
24 jam dibandingkan dibandingkan AH1 generasi pertama yang hanya 4-6 jam.
Kadar obat tertinggi terdapat dalam paru-paru sedangkan pada limfa, ginjal,otak,
otot dan kulit lebih rendah. Tempat utama biotransformasi adalah hati tetapi dapat
juga pada ginjal dan paru-paru. Cetirizin merupakan metabolit hasil karboksilasi
dari hidroksizin. Cetirizin diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam
bentuk metabolitnya.
Pemberian vitamin diperlukan karena pasien mengalami gejala kurang
nafsu makan dan untuk memberikan asupan gizi yang cukup.
Sedangkan pemberian ambroksol diperlukan karena pasien mengalami
batuk dengan retensi dahak yang banyak. Obat ini bersifat mukolitik yaitu obat
yang dapat mengencerkan secret saluran nafas dengan jalan memecah benang-
benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.
Kasus 3
Pada kasus ketiga pasien mendapat obat levofloxacin, teofillin,
salbutamol, ambroxol dan seretide diskus.
Pemberian antibiotik pada pasien dengan kasus 3 sebenarnya tidak mutlak
diperlukan tetapi dalam keadaan khusus memang diperlukan, dalam hal ini
levofloxacin yaitu suatu antibiotik golongan kuinolon baru yang mempunyai daya
antibakteri cukup baik terhadap bakteri gram positif, gram negative dan bakteri
atipik penyebab infeksi saluran pernafasan bawah.
Mekanisme kerja levofloxacin adalah menghambat topoisomerase II
(=DNA girase) dan IV pada bakteri. Enzim topoisomerase II berfungsi
menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling (pilinan
positif yang berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA.
Bioavailabilitas levofloxacin hampir 90% dan kadar puncak 2 mg/L
dengan waktu paruh 4,6 jam sedangkan eliminasi renal sebanyak 85-90%.
Pada pasien kasus 3 mendapat obat teofillin yang merupakan turunan metil
xantin yang mempunyai efek antara lain merangsang susunan saraf pusat dan
melemaskan otot polos terutama bronkus.
23
Mekanisme kerja teofillin adalah menghambat enzim fosfodiesterase
(PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP dan cGMP menjadi 5’-AMP dan 5’-
GMP. Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel
sehingga menyebabkan relaksasi otot polos, termasuk otot polos bronkus.
Teofillin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rectal atau parenteral.
Absorpsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa sediaan lepas lambat. Dalam
keadaan perut kosong, sediaan teofillin bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat
menghasilkan kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam. Adanya makanan dalam
lambung akan memperlambat kecepatan absorpsi teofillin tetapi tidak
mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Teofillin didistribusikan ke seluruh
tubuh. Dalam kadar terapi, teofillin mempunyai ikatan protein 60%. Eliminasi
teofillin terutama melalui metabolism di hati. Sebagian besar diekskresi melalui
urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin. Waktu paruh dari teofillin
adalah 8-9 jam.
Pemakaian ambroxol dalam kasus 3 diperlukan karena pasien mengalami
batuk berdahak. Ambroxol mempunyai efek mukolitik dan sekretorik, sehingga
dapat mengeluarkan lendir kental dan lengket dari saluran pernafasan. Ambroxol
dapat menormalkan kembali sekresi lendir, mengurangi batuk dan volume dahak,
sehingga mukosa pernafasan menjadi normal dan pernafasan menjadi lega.
Pada kasus 3 pasien mendapat seretide diskus yang terdiri dari salmeterol
xinafoate dan fluticasone propionate yaitu suatu kortikosteroid inhalasi dengan
long acting-β2 agonis yang dapat mengurangi eksaserbasi sedang sampai berat
pada penyakit infeksi saluran pernafasan bawah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
24
4.1. Kesimpulan
1. Bronkitis kronis adalah penyakit yang tidak spesifik pada orang dewasa.
Biasanya pasien akan melaporkan batuk dengan sputum hampir sepanjang
hari selama paling tidak 3 bulan berturutan setiap tahun selama 2 tahun
berturutan.
Bronkhitis adalah suatu peradangan pada cabang tenggorok (bronchus/
saluran udara ke paru-paru) tidak termasuk alveoli, yang umumnya
berhubungan dengan infeksi pernafasan umum
Bronchiolitis adalah suatu peradangan pada bronchiolus yang disebabkan
oleh Virus. Bronchiolitis merupakan penyakit obstruktif akibat inflamasi
akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus), terjadi pada anak berusia
kurang dari 2 tahun dengan insidens tertinggi sekitar usia 6 bulan
2. Obat- obat yang biasa digunakan dalam infeksi saluran nafas bawah adalah
golongan antibiotik betalaktam yaitu ampisilin dan amoksisilin, golongan
fluorokuinolon antara lain ciprofloksasin, azitromisin, levofloksasin;
golongan obat analgetik dan antipiretik antara lain paracetamol dan
golongan obat antitusif dan ekspektoran antara lain bromheksin,
ambroksol dan glyceril guaiacolat. Selain itu dapat digunakan obat
golongan xantin yaitu teofillin dan kortikosteroid antara lain metil
prednisolon dan kortikosteroid inhalasi.
3. Bentuk sediaan obat seperti nebules atau inhaler lebih cepat bereaksi dan
menimbulkan efek daripada dalam bentuk tablet atau kapsul karena obat
dalam bentuk nebules atau inhaler tidak memerlukan metabolisme seperti
pada tablet atau kapsul karena efeknya lokal. Oleh karena itu lebih tepat
penanganannya untuk pasien bronchitis yang biasanya diiringi dengan
gejala sesak nafas.
4.2. Saran
Pada pasien dengan kasus bronchitis kronis harus mendapat perawatan
yang lebih intensif karena biasanya ada obat yang harus diberikan melalui
25
injeksi sedangkan pada kasus bronchitis akut biasanya cukup diberikan
obat oral saja dan bisa ditambahkan pula obat dalam bentuk diskus atau
MDI (meter dose inhalation). Sedangkan untuk kasus bronchiolitis hanya
diberikan obat simptomatis saja yaitu untuk menurunkan demam dan pilek
atau alergi saja dan tidak memerlukan penambahan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Arief mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1, Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001
Barbara G. Wells, Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition, Mc Graw Hill
Medical
Rianto Setiabudy, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007
Retnosari Andrajati, Iso Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta, 2008
Www.medicastore.com
Yati H Istiantoro, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007
Recommended